Blog ini ditujukan kepada seluruh ummat Islam yang cinta kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Para Sahabat RA, Auliya', Habaib, Ulama', dan sejarah kebudayaan Islam.

Kamis, 29 Juli 2010

KH. Abdullah Abbas


KH. Abdullah Abbas adalah sesepuh Pondok Buntet Pesantren Cirebon. Beliau termasuk Kiai Khos yang menjadi rujukan umat Islam Indonesia. Bahkan banyak orang yang menyebutnya sebagai “Sang Panutan” dan “Penyangga Masyarakat”.

Kiai Abdullah Abbas sejak usia muda sampai jelang wafat banyak memberikan sumbangan pikiran dan tenaga dalam membangun bangsa ini. Prinsip tersebut memang sudah terpatri dalam diri Kiai Dullah, karena Kiai Abdullah Abbas termasuk yang ikut meletakan pundi-pundi kemerdekaan. KH. Abdullah Abbas adalah satu-satunya putera Kiai Abbas yang ikut memimpin dalam berbagai pertempuran melawan Penjajah Belanda.

Saat itu, Kiai Abbas bertempur di Surabaya pada 10 November 1945. Kiai Abdullah Abbas pun turut berangkat bertempur melawan Penjajah. Kiai Dullah melawan Belanda di daerah Sidoarjo bersama Mayjen Sungkono. Bukan itu saja, Kiai Abdullah Abbas dengan pasukannya sering diminta untuk membantu pasukan lain seperti di Tanjung Priok, Cikampek, Menengteng (Kuningan), dan pernah juga berhasil menyerang pabrik gula Sindang Laut. Kiai Dullah aktif menjadi pasukan Hisbullah, bahkan menjadi Kepala Staf Batalyon Hisbullah. Beliau juga menjadi anggota Batalyon 315/Resimen I/Teritorial Siliwangi dengan pangkat Letnan Muda.


Riwayat Pendidikan
Kiai Abdullah Abbas merupakan anak pertama Kiai Abbas dari istrinya yang kedua yaitu Nyai Hajjah I’anah. Kiai Abdullah Abbas mempunyai seorang adik perempuan yaitu Nyai Hajjah Sukaenah, serta adik laki-laki yaitu KH. Nahduddin Royandi. Kiai Abdullah Abbas lahir di Buntet Pesantren Cirebon pada tanggal 7 Maret 1922. Dari perkawinan dengan istri pertamanya yaitu Nyai Hajjah Aisah, Kiai Abdullah mempunyai seorang puteri yaitu Nyai Hajjah Qoriah yang dipersunting oleh KH. Mufassir dari Pandeglang Banten.

Pada tahun 1965, Nyai Hajjah Aisah meninggal dunia. Tak lama kemudian Kiai Abdullah Abbas menikah dengan Nyai Hajjah Zaenab, Putri Qori terkenal KH. Jawahir Dahlan. Dari perkawinan dengan Nyai Hajjah Zaenab, Kiai Dullah dikaruniai sepuluh putra, yaitu Ani Yuliani, Ayip Abbas, Asiah, Ismatul Maula, Laela, Mustahdi, Muhammad, Yusuf, Neneng Mar’atussholiha,dan Abdul Jamil.

Kiai Abdullah Abbas sejak kecil mendapat pembinaan yang serius oleh ayahnya, Kiyai Abbas. Maka tak ayal bila jejak-jejak dan pola hidup Kiai Abbas banyak ditiru oleh Kiai Abdullah Abbas. Selain itu, Kiai Abdullah Abbas mendapat gemblengan dari beberapa Pesantren, Pesantren yang pertama kali disinggahi adalah Pesantren di Pemalang yang dipimpin oleh Kiai Makmur.

Selepas dari Pemalang Jawa Tengah, Kiai Dullah menimba ilmu pada Kiai Ma’sum di Lasem Jawa Tengah. Rampung dari Lasem, Kiai Dullah berguru pada Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari Jombang Jawa Timur. Dan terakhir Kiai Dullah digembleng oleh Kiai Abdul Karim Manaf di Lirboyo.

Selepas dari Pondok Pesantren, Kiai Abdullah Abbas langsung berkiprah di masyarakat. Dengan diserahi sebagai Ketua Batalyon Hisbullah, Kiai Dullah berjuang merebut kemerdekaan. Selepas revolusi fisik, Kiai Abdullah Abbas mengalihkan perjuanganya dari mengangkat senjata beralih pada berdakwah langsung di masyarakat. Jabatan kemiliterannya (Letnan Muda) ditinggalkan dan lebih memilih menjadi Juru Warta pada Juru Penerangan Agama Kabpaten Cirebon. Lalu menjadi Pengatur Guru Agama Islam Kabupaten Cirebon dan Jabatan terakhir adalah Kepala MAN Buntet Pesantren Kabupaten Cirebon.


Tokoh Pluralis Sejati
Kiai Abbas, ayahanda Kiai Abdullah Abbas, adalah seorang tokoh yang sangat menghargai manusia dengan apa adanya, Beliau tidak membeda-bedakan manusia baik dari segi ras, agama dan keturunan. Dihadapan Kiai Abbas semua manusia sama. Ini dibuktikan dengan banyaknya tamu dari berbagai kalangan yang datang dari berbagai kalangan ke rumah Kiai Abbas. Bahkan Beliau mempunyai anak angkat keturunan Tionghoa yaitu Kiai Usman.

Tampaknya pola hidup ini juga yang diikuti oleh anak-anaknya. Nyai Hajjah Sukaenah (Istri KH. Kahawi) pada tahun 1970-an ketika mempunyai mobil angkutan, sopirnya bernama Siem Oek, warga Sindang Laut Cirebon keturunan Tionghoa yang beragama Kristen. Padahal saat itu, berhubungan dengan orang yang tidak seagama masih dipandang sangat tabu. Sementara KH. Nahduddin Royandi yang tinggal di London (Inggris) menikah dengan warga negara Inggris keturunan Perancis.

KH. Abdullah Abbas sendiri, sering sekali didatangi tamu dari berbagai kalangan. Semuanya diterima dengan baik. Dr. Ferdy Sulaeman, STh, Ketua wadah Komunikasi dan Pelayananan Umat Beragama Jakarta Timur, ketika mengadakan Live In Pemuda Pemudi Lintas Agama pada tanggal 5 sampai 8 bulan Januari tahun 2006.

Kiai Abdullah Abbas, sebagaimana juga Kiai Abbas ayahnya, selalu menghormati tamu-tamunya tanpa pandang bulu. Siapa pun yang hadir di rumahnya, pasti mendapat penghormatan yang sama. Maka wajar bila rumah Kiai Dullah sering kedatangan tamu, baik pejabat seperti Presiden, Gubernur, Bupati, dan pejabat lainnya, pernah juga beberapa Bintang Film dan rakyat kecil.

Ketika warga Buntet Blok Bulak mendapat tekanan dari aparat karena mendemo Galian C yang hampir sampai rumah mereka, wong-wong cilik itu langsung memohon perlindungan pada Kiai Abdullah Abbas. Walaupun saat itu beliau dalam keadaan sakit, Kiai Dullah menemui mereka dan memberi semangat, “Teruskan perjuangan dan semoga berhasil,” pesan Kiai Dullah singkat.

Kecintaan Kiai Dullah terhadp wong cilik, sangat dirasakan dalam pola kehidupan sehari-harinya. Kiai Dullah selalu ngemong rakyat cilik. Dalam pengajian kitab Kuning, Kiai Dullah cenderung mengajarkan kitab-kitab yang sederhana dan simpel, seperti Kitab Safinah Annajah, Sulam Annajah, Sulam Attaufiq, Uquduljain dan kitab-kitab yang relatif tipis. Hal itu karena ia mengikuti pola pendidikan Mbah Muqoyyim (salah satu sesepuh Buntet Pesantren) yang populis, “Ajarkan Kitab Safinah (dengan bahasa yang sederhana) dengan wawasan Ihya Ulumuddin (Penjelasan yang Koprehensip).”

Maka tak aneh, setiap kali ngaji pasaran (pengajian khusus bulan Ramadhan), walaupun kitab yang dibaca sangat sederhana dan tipis, tapi yang ngaji banyak juga banyak juga orang dewasa. Selain cara pendidikan yang mengarah pada penyampaian yang sederhana tapi luas, Kiai Dullah juga secara priodik memberikan santunan kepada anak yatim dan fakir miskin yang berada di Buntet Pesantren.


Perjuangan Khittah NU
Pada tahun 1984, ketika situasi politik telah membelokan arah NU, Kiai Dullah bersama Kiai Syafi’i dari Plumbon dan Gus Dur, melakukan gerakan perlunya NU kembali ke Khittah tahun 1926. Gerakan ini tentunya mendapat tantangan yang sangat hebat dari berbagai kalangan.

Walau mendapat tantangan yang cukup berat, namun karena cintanya kepada warga NU, Kiai Abdullah Abbas terus berjuang dengan bersafari dari satu daerah ke daerah yang lain untuk melakukan kampanye perlunya NU kambali ke Khittah tahun 1926. Kiai Abdullah Abbas memang sejak muda aktif di NU. Bermula dari GP Anshor. Beliaupun pernah menjadi Ketua Rois Syuriah NU Jawa Barat.

Bertemunya Kiai Abdullah Abbas dengan Gus Dur, seakan menemukan kembali persaudaraan yang sempat renggang. KH. Abbas ayah Kiai Abdullah Abaas sangat akrab dengan Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, Kakek Gus Dur. Maka pertemanan antara keduanya membuat Kiai Abdullah Abbas mampu mengembangkan berbagai ide dan gagasan. Dinobatkannya Kiai Dullah sebagi Kiai Khos pada masa Gus Dur, telah membuat Kiai Dullah menjadi rujukan berbagai kalangan.

Dalam usianya yang sudah relatif sepuh, Kiai Abdullah beberapa kali masuk Rumah Sakit Ciremai. Ada beberapa gagasan Kiai Dullah yang sampai sekarang masih dalam proses realisasi yaitu ingin didirikannya Sebuah Sekolah Tinggi Kesehatan, Akademi Kebidanan, Sekolah Tinggi Agama Islam dan Rumah Sakit.

Beberapa sarana pendidikan yang sudah berdiri Saat ini sudah berdiri Madrasah Ibtidaiyah Putra dan Putri, Madrasah Tsanawiyah (MTs) NU Putra 1 dan MTs NU Putra 2 dan MTs Putri, Madrasah Aliyah (MA) NU Putra, MA NU Putri, Akademi Keperawatan, serta Lembaga Bahasa dan Ketrampilan.



Sumber : http://www.buntetpesantren.com

Rabu, 28 Juli 2010

GELAR KELUARGA AL-HASANI


Diantara marga-marga keturunan Al-Hasan
Syambar (Syanabirah) : Keturunan Sayyid Syambar bin Hasan bin Abu Numai Ats-Tsani. Bersambung pada Sayyid Qatadah bin Idris bin Mutha’in. Bersambung pada Sayyid Musa Al-Jun bin Abdullah Al-Kamil bin Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Tersebar di sekitar Makkah dan Tha’if.
Barakat : Keturunan Barakat bin Abu Numai Ats-Tsani. Tersebar di sekitar Makkah dan Tha’if. merekapun banyak yang dikenal dengan marga baru, seperti Al-Ghaits, Nasir, Aal-Muflih dll.
Al-Jazan : Keturunan Sayyid Jazan bin Qaytabay bin Hasan bin Abu Numai Ats-Tsani. Tersebar di Tha’if dan sekitarnya.
Al-Harits : Keturunan Sayyid Muhammad Al-Harits bin Hasan bin Abu Numai Ats-Tsani. Tersebar di Mekkah, Tha’if dan sekitarnya.
Hamud : Bersambung pada Hasan Abu Numai Ats-Tsani. Tersebar di Makkah dan sekitarnya.
Al-Hazim : Keturunan Sayyid Hasan bin Abu Numai Ats-Tsani. Tersebar di Makkah, Jeddah dll. Sebagian mereka dikenal dengan julukan Barakat.
Zaid : Keturunan Sayyid Zaid bin Muhsin bin Husain bin Hasan bin Abu Numai Ats-Tsani. Kekuasaan kota Makkah ada pada keluarga mereka selama lebih dari dua abad sebelum keluarga ‘Aun. Dari mereka banyak yang dikenal dengan julukan lain, seperti marga Yahya, Abdullah, Ghalib, Musa’id dll.
Al-Amir : Keturunan Al-Amir Khalid Quthbuddin bin Muhammad bin Hasyim bin Wahhas bin Muhammad bin Hasyim bin Ghanim. Bersambung pada Sayyid Sulaiman bin Abdullah Ar-Ridha bin Musa Al-Jun.
Ats-Tsa’labi (Tsa’alibi) : Keturunan Tsa’lab bin Mutha’in. Bersambung pada Sayyid Musa Al-Jun. Kebanyakan mereka tinggal di pesisir pantai Laut Merah di Jeddah.
Al-Ja’fari : Keturunan Sayyid Ja’far bin Ni’matullah Al-Akbar bin Ali bin Dawud bin Sulaiman bin Abdullah Ar-Ridha bin Musa Al-Jun. Tersebar di Yaman dll.
Al-Jailani : Keturunan Sayyid Asy-Syehk Abdulqadir Al-Jailani. Bersambung pada Sayyid Musa Al-Jun. Tersebar di Iraq, Siria, Maroko dll. Di Maroko mereka lebih dikenal dengan julukan Al-Kailani dan Al-Qadiri.
Az-Za’bi : Keturunan Sayyid Abdul Aziz Az-Za’bi bin Abudulqadir Al-Jailani. Tersebar di Palestina, Jordan, Siria, Beirut dll
Al-Khawaji : Keturunan Sayyid Ali Al-Khawaji bin Sulaiman bin Ghanim. Bersambung pada Sayyid Sulaiman bin Abdullah Ar-Ridha bin Musa Al-Jun.
Asy-Syammakhi : Keturunan Sayyid Syammakh bin Yahya bin Dawud bin Abi Ath-Thayyib. Bersambung pada Sayyid Sulaiman bin Abdullah Ar-Ridha bin Musa Al-Jun bin Abdullah Al-Kamil bin Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Adz-Dzarwi : Keturunan Sayyid Dzarwah bin Hasan bin Yahya bin Dawud Abu Ath-Thayyib.
Al-Anbari : Bersambung pada Adz-Dzarwi.
Thayyib : Bersambung pada Adz-Dzarwi.
Al-Musaawi : Bersambung pada Adz-Dzarwi.
Al-Jauhari (Jawahirah) : Keturunan Asy-Syarif Syaiban bin Yahya bin Dawud Abu Ath-Thayyib.
Al-Idrisi Al-Maghribi : Keturunan Sayyid Idris bin yang bersambung padan Sayyidina Muhammad bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Leluhur mereka adalah pendiri Kerajaan Maroko, kerajaan ini berjaya sampai kini dan secara turun temurun dikuasai oleh keluarga Al-Idrisi atau Adarisah.
Al-Idrisi Al-Ifriqi : Keturunan Sayyid Idris bin Abdullah bin Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Abi Thalib. Tersebar di Afrika Utara.
Al-Maliki Al-Hasani : Bersambung pada Al-Idrisi.
Al-Masyhur Al-Hasani : Marga ini sebenarnya adalah “Bin Masyhur”, namun, pada masa kolonial Belanda, orang-orang Belanda menyebut “Al-Masyhur” untuk memukul rata marga-marga Arab dengan awalan “al”
Sumber :

Kamis, 22 Juli 2010

Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani - Makkah

Sayyid Prof. Dr. Muhammad ibn Sayyid ‘Alawi ibn Sayyid ‘Abbas ibn Sayyid ‘Abdul ‘Aziz al-Maliki al-Hasani al-Makki al-Asy’ari asy-Syadzili lahir di Makkah pada tahun 1365 H. Pendidikan pertamanya adalah Madrasah Al-Falah, Makkah, dimana ayah beliau Sayyid Alawi bin Abbas al Maliki sebagai guru agama di sekolah tersebut yang juga merangkap sebagai pengajar di halaqah di Haram Makki. Beliau juga belajar kepada ulama-ulama Makkah terkemuka lainnya, seperti Sayyid Amin Kutbi, Hassan Masshat, Muhammad Nur Sayf, Sa’id Yamani, dan lain-lain. Sayyid Muhammad memperoleh gelar Ph.D-nya dalam Studi Hadits dengan penghargaan tertinggi dari Jami’ al-Azhar di Mesir, pada saat baru berusia dua puluh lima tahun. Beliau kemudian melakukan perjalanan dalam rangka mengejar studi Hadits ke Afrika Utara, Timur Tengah, Turki, Yaman, dan juga anak benua Indo-Pakistan, dan memperoleh sertifikasi mengajar (ijazah) dan sanad dari Imam Habib Ahmad Mashhur al Haddad, Syaikh Hasanayn Makhluf, Ghumari bersaudara dari Marokko, Syekh Dya’uddin Qadiri di Madinah, Maulana Zakariyya Kandihlawi, dan banyak lainnya. Sayyid Muhammmad merupakan pendidik Ahlus Sunnah wal Jama’ah, seorang ‘alim kontemporer dalam ilmu hadits, ‘alim mufassir (penafsir) Qur’an, Fiqh, doktrin (‘aqidah), tasawwuf, dan biografi Nabawi (sirah).

Sayyid Muhammad al-Makki merupakan seorang ‘aliim yang mewarisi pekerjaan dakwah ayahanda, membina para santri dari berbagai daerah dan negara di dunia Islam di Makkah al-Mukarromah. Ayahanda beliau adalah salah satu guru dari ulama-ulama sepuh di Indonesia, seperti Hadratus Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari, KH. Abdullah Faqih Langitan, KH. Maimun Zubair dan lain-lain. Dalam meneruskan perjuangan ayahandanya, Sayyid Muhammad sebelumnya mendapatkan sedikit kesulitan karena beliau merasa belum siap untuk menjadi pengganti ayahnya. Maka langkah pertama yang diambil adalah melanjutkan studi dan ta’limnya terlebih dahulu. Beliau berangkat ke Kairo dan Universitas al-Azhar Assyarif merupakan pilihannya. Setelah meraih S1, S2 dan S3 dalam fak Hadith dan Ushuluddin beliau kembali ke Makkah untuk melanjutkan perjalanan yang telah di tempuh sang ayah. Disamping mengajar di Masjidil Haram di halaqah, beliau diangkat sebagai dosen di Universitas King Abdul Aziz- Jeddah dan Univesitas Ummul Qura Makkah bagian ilmu Hadith dan Usuluddin. Cukup lama beliau menjalankan tugasnya sebagai dosen di dua Universitas tsb, sampai beliau memutuskan mengundurkan diri dan memilih mengajar di Masjidil Haram sambil membuka majlis ta’lim dan pondok di rumah beliau. Adapun pelajaran yang di berikan baik di masjidil haram atau di rumah tidak bertumpu pada ilmu tertentu seperti di Universitas, akan tetapi semua pelajaran yang diberikannya bisa di terima semua masyarakat baik masyarakat awam atau terpelajar, semua bisa menerima dan mencicipi apa yang diberikan Sayyid Muhammad Maka dari itu beliau selalu menitik beratkan untuk membuat rumah yang lebih besar dan bisa menampung lebih dari 500 murid per hari yang biasa dilakukan selepas sholat Maghrib sampai Isya di rumahnya di Hay al Rashifah. Begitu pula setiap bulan Ramadan dan hari raya, beliau selalu menerima semua tamu dan muridnya dengan tangan terbuka tanpa memilih golongan atau derajat. Semua di sisinya sama tamu-tamu dan murid murid, semua mendapat penghargaan yang sama dan semua mencicipi ilmu bersama.

Dari rumah beliau telah keluar ulama-ulama yang membawa panji Rasulallah ke suluruh pelosok permukaan bumi. Di Indonesia, India, Pakistan, Afrika, Eropa, Amerika, apa lagi di Asia yang merupakan sebagai orbit dakwah Sayyid Muhammad al Maliki, ribuan murid murid beliau yang bukan hanya menjadi kyai dan ulama akan tetapi tidak sedikit yang masuk ke dalam pemerintahan. Di samping pengajian dan taklim yang rutin di lakukan setiap hari, beliau juga mengasuh pondok yang jumlah santrinya tidak sedikit, semua berdatangan dari penjuru dunia, belajar, makan, dan minum tanpa di pungut biaya sepeser pun bahkan beliau memberikan beasiswa kepada para santri sebagai uang saku. Setelah beberapa tahun belajar, para santri dipulangkan ke negara-negara mereka untuk menyiarkan agama.

Sayyid Muhammad al Maliki dikenal sebagai guru, pengajar dan pendidik yang tidak beraliran keras, tidak berlebih- lebihan, dan selalu menerima hiwar dengan hikmah dan mauidhah hasanah. Beliau ingin mengangkat derajat dan martabat Muslimin menjadi manusia yang berperilaku, baik dalam muamalatnya kepada Allah dan kepada sesama, terhormat dalam perbuatan, tindakan serta pikiran dan perasaannya. Beliau adalah orang cerdas dan terpelajar, berani dan jujur serta adil dan cinta kasih terhadap sesama. Itulah ajaran utama Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki. Beliau selalu menerima dan menghargai pendapat orang dan menghormati orang yang tidak sealiran dengannya. Semua yang berlawanan diterima dengan sabar dan usaha menjawab dengan hikmah dan memecahkan sesuatu masalah dengan kenyataan dan dalil-dalil yang benar bukan dengan emosi dan pertikaian yang tidak bermutu dan berkesudahan.

Sayyid Muhammad tahu persis bahwa kelemahan Islam terdapat pada pertikaian para ulamanya dan ini memang yang diinginkan musuh Islam. Sampai-sampai beliau menerima dengan rela digeser dari kedudukannya baik di Universitas dan ta’lim beliau di masjidil Haram. Semua ini beliau terima dengan kesabaran dan keikhlasan bahkan beliau selalu menghormati orang orang yang tidak sependapat dan sealiran dengannya, semasih mereka memiliki pandangan khilaf yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunah. Adapun ulama yang telah mendapat gemblengan dari Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki, mereka sangat pandai, di samping menguasai bahasa Arab, mereka juga menguasai ilmu-ilmu agama yang cukup untuk dijadikan pegangan dan referensi di negara-negara mereka. Pada akhir hayat beliau saat terjadi insiden teroris di Saudi Arabia, beliau mendapatkan undangan dari ketua umum Masjidil Haram Syekh Sholeh bin Abdurahman Alhushen untuk mengikuti “Hiwar Fikri” di Makkah yang diadakan pada tg 5 sd 9 DhulQo’idah 1424 H dengan judul “Al-qhuluw wal I’tidal Ruya Manhajiyyah Syamilah”, di sana beliau mendapat kehormatan untuk mengeluarkan pendapatnya tentang thatarruf atau yang lebih poluler disebut ajaran yang beraliran fundamentalists atau extremist (keras). Dan dari sana beliau telah meluncurkan sebuah buku yang sangat popular dikalangan masyarakat Saudi yang berjudul “Alqhuluw Dairah Fil Irhab Wa Ifsad Almujtama”.

Dari situ, mulailah pandangan dan pemikiran beliau tentang da’wah selalu mendapat sambutan dan penghargaan masyarakat luas. Pada tg 11/11/1424 H, beliau mendapat kesempatan untuk memberikan ceramah di hadapan wakil raja Amir Abdullah bin Abdul Aziz yang isinya beliau selalu menggaris-bawahi akan usaha menyatukan suara ulama dan menjalin persatuan dan kesatuan da’wah. Di samping tugas beliau sebagai da’i, pengajar, pembibing, dosen, penceramah dan segala bentuk kegiatan yang bermanfaat bagi agama, beliau juga seorang pujangga besar dan penulis unggul. Tidak kurang dari 100 buku yang telah dikarangnya, semuanya beredar di seluruh dunia. Tidak sedikit dari kitab-kitab beliau yang beredar telah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, Prancis, Urdu, Indonesia dll. Mafahim Yujibu an-Tusahhah (Konsep-konsep yang perlu diluruskan) adalah salah satu kitab karya Sayyid Muhammad, red. bersinar layaknya suatu kemilau mutiara.

Inilah seorang manusia yang menantang rekan-rekan senegaranya, kaum Salafi-Wahhabi, dan membuktikan kesalahan doktrin-doktrin mereka dengan menggunakan sumber-sumber dalil mereka. Untuk keberanian intelektualnya ini, Sayyid Muhammad dikucilkan oleh ‘rumah Najd’ dan dituduh sebagai “seorang yang sesat”. Beliau pun dicekal dari kedudukannya sebagai pengajar di Haram (yaitu di Masjidil Haram, Makkah, red.). Kitab-kitab karya beliau dilarang, bahkan kedudukan beliau sebagai professor di Umm ul-Qura pun dicabut. Beliau ditangkap dan passport-nya ditahan. Namun, dalam menghadapi semua hal tersebut, Sayyid Muhammad sama sekali tidak menunjukkan kepahitan dan keluh kesah. Beliau tak pernah menggunakan akal dan intelektualitasnya dalam amarah, melainkan menyalurkannya untuk memperkuat orang lain dengan ilmu (pengetahuan) dan tasawwuf.

Saat kaum Salafi-Wahhabi mendiskreditkan beliau, beliau pun menulis lebih banyak buku dan mendirikan Zawiyyah beliau sendiri yang menjadi “United Nations” (Perserikatan Bangsa- Bangsa) dari para ‘Ulama. Akhirnya, protes dari dunia Muslim memaksa kaum Salafi-Wahhabi untuk menghentikan usaha mereka mem-peti es-kan sang ‘alim kontemporer’ yang paling terkenal dalam mazhab Maliki ini. Beberapa di antara mereka bahkan mulai mendukung beliau. Kedengkian mereka sebenarnya didorong oleh fakta bahwa Sayyid Muhammad al-Maliki jauh lebih unggul untuk dijadikan tandingan mereka. Dengan sendirian saja, beliau mengambil Islam Sunni dari klaim tangan-tangan Neo-Khawarij Salafi-Wahhabi dan menempatkannya kembali ke tangan mayoritas ummat ini. Melalui berbagai karya-karyanya yang menonjol, beliau menyuntikkan kepercayaan diri yang amat dibutuhkan dalam perdebatan saat kaum jahil yang mengandalkan ijtihad pribadi mulai meracuni pemikiran umat Islam.

Beliau wafat hari jumat tgl 15 ramadhan 1425 H ( 2004 M) dan dimakamkan di pemakaman Al-Ma’la disamping makam istri Rasulullah Saw. Khadijah binti Khuailid Ra. dengan meninggalkan 6 putra, Ahmad, Abdullah, Alawi, Ali, al- Hasan dan al-Husen dan beberapa putri-putri yang tidak bisa disebut satu persatu disini. Dan yang menyaksikan pemakaman beliau hampir seluruh umat muslimin yang berada di Makkah pada saat itu termasuk para pejabat, ulama, para santri yang datang dari seluruh pelosok negeri, baik dari luar Makkah atau dari luar negeri. Semuanya menyaksikan hari terakhir beliau sebelum disemayamkan, setelah disholatkan di Masjidil Haram ba’da sholat isya yang dihadiri oleh tidak kurang dari sejuta manusia. Begitu pula selama tiga hari tiga malam rumahnya terbuka bagi ribuan orang yang ingin mengucapkan belasungkawa dan melakukan `aza’. Dan di hari terakhir `Aza, wakil Raja Saudi, Amir Abdullah bin Abdul Aziz dan Amir Sultan datang ke rumah beliau untuk memberikan sambutan belasungkawa dan mengucapkan selamat tinggal kepada pemimpin agama yang tidak bisa dilupakan umat.

Ketika jenazah Sayyid Muhammad Al Maliki hendak dishalatkan di Masjidil Haram, ribuan warga kota Mekkah bergantian menggusung jenazahnya. Dikabarkan toko-toko di sekitar Masjidil Haram yang dilewati jenazah mematikan lampu sebagai tanda dukacita. Kebesaran keluarga Al Maliki, bukan hanya di Indonesia, tapi juga di negara-negara Afrika, Mesir, dan Asia Tenggara. Jadi tidak heran dengan meninggalnya Sayyid Muhammad Al Maliki umat Islam telah kehilangan satu ulama yang telah mengoreskan tinta sejarah perjuangan menegakkan kalimat tauhid di muka bumi ini yang menjadi tauladan buat kita semua.
sumber : http://purnamarjuna.blogspot.com

HABIB SHOLEH BIN MUHSIN AL HAMID ( TANGGUL JEMBER JAWA TIMUR)

Beliau adalah Seorang wali qhutub yang lebih dikenal Dengan nama habib Sholeh Tanggul, Ulama Karismatik yang berasal dari Hadro maut pertama kali melakukan da’wahnya ke Indonesia sekitar tahun 1921 M dan menetap di daerah tanggul Jember Jawa timur. Habib Sholeh lahir tahun 1313 H dikota Korbah , ayahnya bernama Muhsin bin Ahmad juga seorang tokoh Ulama dan Wali yang sangat di cintai masyarakat , Ibunya bernama Aisyah ba umar.

Sejak Kecil Habib sholeh gemar sekali menuntut ilmu , beliau banyak belajar dari ayahandanya yang memang seorang Ahli ilmu dan Tashauf , berkat gembelengan dan didikan dari ayahnya Habib sholeh memilki kegelisahan Batiniyah yang rindu akan Alloh Swt dan Rindunya Kepada Rosululloh SAW, akhirnya beliau melakukan Uzlah ( Mengasingkan diri) selama hampir 7 tahun sepanjang waktu selama beruzlah Habib Sholeh memperbanyak Baca al quran , Dzikir dan membaca Sholawat . Hingga Akhirnya Habib Sholeh Di datangi Oleh tokoh Ulama yang juga wali Quthub Habib Abu bakar bin Muhammad assegaf dari Gresik, Habib Sholeh Diberi sorban hijau yang katanya Sorban tersebut dari Rosululloh SAW dan ini menurut Habib Abu bakar assegaf adalah suatu Isyarat bahwa Gelar wali Qhutub yang selama ini di sandang oleh habib Abubakar Assegaf akan diserahkan Kepada Habib Sholeh Bin Muhsin , Namun Habib sholeh Tanggul merasa bahwa dirinya merasa tidak pantas mendapat gelar Kehormatan tersebut. Sepanjang Hari habib Sholeh tanggul Menangis memohon kepada Alloh Swt agar mendapat Petunjuknya.

Dan suatu ketika habib Abyubakar Bin Muhammad assegaf gresik mengundang Habib sholeh tanggul untuk berkunjung kerumahnya , setelah tiba dirumah habib Abubakar Bin Muhammad assegaf menyuruh Habib Sholeh tanggul untuk melakukan Mandi disebuah kolam Milik Habib Abu bakar Assegaf , setelah mandi habib Sholeh tanggul di beri Ijazah dan dipakaikan Sorban kepadanya. Dan hal tersebut merupakan Isyarat Bahwa habib Abubakar Bin Muhammad Assegaf telah memberikan Amanat kepada Habib sholeh tanggul untuk melanjutkan Da’wak kepada masyrakat.

Habib Sholeh mulai melakukan berbagai aktifitas dakwahnya kepada Masyarakat, dengan menggelar berbagai Pengajian-pengajian . Kemahiran beliau dalam penyampaian dakwahnya kepada masyarakat membuat beliau sangat dicintai , dan Habib sholeh Mulai dikenal dikalangan Ulama dan habaib karena derajat keimuan serta kewaliaan yang beliau miliki. Habib sholeh tanggul sering mendapat Kunjungan dari berbagai tokoh ulama serta habaib baik sekedar untuk bersilahturahim ataupun untuk membahas berbagai masalah keaganmaan, bahkan para ulama serta habaib di tanah air selalu minta didoakan karena menurut mereka doa Habib sholeh tanggul selalu di kabulkan oleh alloh SWt, Pernah suatu ketika habib Sholeh tanggul berpergian dengan habib Ali Al habsy Kwitang dan Habib ali bungur dalam perjalanan Beliau melihat kerumunan Warga yang sedang melaksanakan sholat Istisqo’ ( Sholat minta hujan ) karena musim kemarau yang berkepanjangan , lalu Habib sholeh Memohon kepada alloh Untuk menurunkan Hujan maka seketika itupula hujan turun. Beliau berpesan kepada jama’ah Majlis ta’limnya apabila do’a-doa kita ingin dikabulkan oleh Alloh Swt jangan sekali-kali kita membuat alloh murka dengan melakukan Maksiyat, Muliakan orang tua mu dan beristiqomalah dalam melaksanakan sholat subuh berjama’ah.

Habib Sholeh berpulang kerahmatulloh pada tanggal 7 sawal 1396 h atau sekitar tahun 1976, hingga sekarang Karomah beliau yang tampak setelah beliau meninggal adalah bahwa maqom beliau tidak pernah sepi dari para jamaah yang datang dari berbagai daerah untuk berziarah apalagi waktu perayaan haul beliau yang diadakan setiap hari kesepuluh dibulan syawal ribuan orang akan tumpah ruah kejalan untuk memperingati Khaul beliau.;

Habib Salim bin Jindan - Jakarta, Ulama dan Pejuang Kemerdekaan

Ulama habaib Jakarta ini menguasai beberapa ilmu agama. Banyak ulama dan habaib
berguru kepadanya. Koleksi kitabnya berjumlah ratusan. Ia juga pejuang
kemerdekaan. Pada periode 1940-1960, di Jakarta ada tiga habaib yang seiring
sejalan dalam berdakwah. Mereka itu: Habib Ali bin Abdurahman Alhabsyi
(Kwitang), Ali bin Husein Alatas (Bungur) dan Habib Salim bin Jindan (Otista).
Hampir semua habaib dan ulama di Jakarta berguru kepada mereka, terutama kepada
Habib Salim bin Jindan - yang memiliki koleksi sekitar 15.000 kitab, termasuk
kitab yang langka. Sementara Habib Salim sendiri menulis sekitar 100 kitab,
antara lain tentang hadits dan tarikh, termasuk yang belum dicetak.

Lahir di Surabaya pada 18 Rajab 1324 (7 September 1906) dan wafat di Jakarta
pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969), nama lengkapnya Habib Salim bin Ahmad
bin Husain bin Saleh bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin Jindan. Seperti
lazimnya para ulama, sejak kecil ia juga mendapat pendidikan agama dari
ayahandanya.

Menginjak usia remaja ia memperdalam agama kepada Habib Abdullah bin Muhsin
Alatas (Habib Empang, Bogor), Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar (Bondowoso),
Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi (Surabaya), Habib Abubakar bin Muhammad
Assegaf (Gresik), K.H. Cholil bin Abdul Muthalib (Kiai Cholil Bangkalan), dan
Habib Alwi bin Abdullah Syahab di Tarim, Hadramaut.
Selain itu ia juga berguru kepada Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih, seorang
ahli hadits dan fuqaha, yang sat itu juga memimpin Madrasah Al-Khairiyah di
Surabaya. Bukan hanya itu, ia juga rajin menghadiri beberapa majelis taklim
yang digelar oleh para ulama besar. Kalau dihitung, sudah ratusan ulama besar
yang ia kunjungi.

Dari perjalanan taklimnya itu, akhirnya Habib Salim mampu menguasai berbagai
ilmu agama, terutama hadits, tarikh dan nasab. Ia juga hafal sejumlah kitab
hadits. Berkat penguasaannya terhadap ilmu hadits ia mendapat gelar sebagai
muhaddist, dan karena menguasai ilmu sanad maka ia digelari sebagai musnid.
Mengenai guru-gurunya itu, Habib Salim pernah berkata, "Aku telah berkumpul dan
hadir di majelis mereka. Dan sesungguhnya majelis mereka menyerupai majelis
para sahabat Rasulullah SAW dimana terdapat kekhusyukan, ketenangan dan
kharisma mereka." Adapun guru yang paling berkesan di hatinya ialah Habib Alwi
bin Muhammad Alhaddad dan Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf. Tentang mereka,
Habib Salim pernah berkata, "Cukuplah bagi kami mereka itu sebagai panutan dan
suri tauladan."

Pada 1940 ia hijrah ke Jakarta. Di sini selain membuka majelis taklim ia juga
berdakwah ke berbagai daerah. Di masa perjuangan menjelang kemerdekaan, Habib
Salim ikut serta membakar semangat para pejuang untuk berjihad melawan penjajah
Belanda. Itu sebabnya ia pernah ditangkap, baik di masa penjajahan Jepang
maupun ketika Belanda ingin kembali menjajah Indonesia seperti pada Aksi
Polisionil I pada 1947 dan 1948.

Dalam tahanan penjajah, ia sering disiksa: dipukul, ditendang, disetrum. Namun,
ia tetap tabah, pantang menyerah. Niatnya bukan hanya demi amar makruf nahi
munkar, menentang kebatilan dan kemungkaran, tetapi juga demi kemerdekaan tanah
airnya. Sebab, hubbul wathan minal iman - cinta tanah air adalah sebagian dari
pada iman.

Kembali Berdakwah

Setelah Indonesia benar-benar aman, Habib Salim sama sekali tidak mempedulikan
apakah perjuangannya demi kemerdekaan tanah air itu dihargai atau tidak. Ia
ikhlas berjuang, kemudian kembali membuka majelis taklim yang diberi nama
Qashar Al-Wafiddin. Ia juga kembalin berdakwah dan mengajar, baik di Jakarta,
di beberapa daerah maupun di luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, Kamboja.

Ketika berdakwah di daerah-daerah itulah ia mengumpulkan data-data sejarah
Islam. Dengan cermat dan tekun ia kumpulkan sejarah perkembangan Islam di
Ternate, Maluku, Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Timor Timur, Pulau
Roti, Sumatera, Pulau Jawa. Ia juga mendirikan sebuah perpustakaan bernama
Al-Fakhriah.

Di masa itu Habib Salim juga dikenal sebagai ulama yang ahli dalam menjawab
berbagai persoalan - yang kadang-kadang menjebak. Misalnya, suatu hari, ketika
ia ditanya oleh seorang pendeta, "Habib, yang lebih mulia itu yang masih hidup
atau yang sudah mati?" Maka jawab Habib Salim, "Semua orang akan menjawab, yang
hidup lebih mulia dari yang mati. Sebab yang mati sudah jadi bangkai." Lalu
kata pendeta itu, "Kalau begitu Isa bin Maryam lebih mulia dari Muhammad bin
Abdullah. Sebab, Muhammad sudah meninggal, sementara Isa -- menurut keyakinan
Habib -- belum mati, masih hidup."

"Kalau begitu berarti ibu saya lebih mulia dari Maryam. Sebab, Maryam sudah
meninggal, sedang ibu saya masih hidup. Itu, dia ada di belakang," jawab Habib
Salim enteng. Mendengar jawaban diplomatis itu, si pendeta terbungkam seribu
bahasa, lalu pamit pulang. Ketika itu banyak kaum Nasrani yang akhirnya memeluk
Islam setelah bertukar pikiran dengan Habib Salim.

Habib Salim memang ahli berdebat dan orator ulung. Pendiriannya pun teguh.
Sejak lama, jauh-jauh hari, ia sudah memperingatkan bahaya kerusakan moral
akibat pornografi dan kemaksiatan. "Para wanita mestinya jangan membuka aurat
mereka, karena hal ini merupakan penyakit yang disebut tabarruj, atau
memamerkan aurat, yang bisa menyebar ke seluruh rumah kaum muslimin," kata
Habib Salim kala itu.

Ulama besar ini wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969). Ketika
itu ratusan ribu kaum muslimin dari berbagai pelosok datang bertakziah ke
rumahnya di Jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta Timur. Iring-iringan para
pelayat begitu panjang sampai ke Condet. Jasadnya dimakamkan di kompleks Masjid
Alhawi, Condet, Jakarta Timur.

Almarhum meninggalkan dua putera, Habib Shalahudin dan Habib Novel yang juga
sudah menyusul ayahandanya. Namun, dakwah mereka tetap diteruskan oleh anak
keturunan mereka. Mereka, misalnya, membuka majelis taklim dan menggelar maulid
(termasuk haul Habib Salim) di rumah peninggalan Habib Salim di Jalan Otto
Iskandar Dinata.

Belakangan, nama perpustakaan Habib Salim, yaitu Al-Fachriyyah, diresmikan
sebagai nama pondok pesantren yang didirikan oleh Habib Novel bin Salim di
Ciledug, Tangerang. Kini pesantren tersebut diasuh oleh Habib Jindan bin Novel
bin Salim dan Habib Ahmad bin Novel bin Salim - dua putra almarhum Habib Novel.
"Sekarang ini sulit mendapatkan seorang ulama seperti jid (kakek) kami. Meski
begitu, kami tetap mewarisi semangatnya dalam berdakwah di daerah-daerah yang
sulit dijangkau," kata Habib Ahmad, cucu Habib Salim bin Jindan.

Ada sebuah nasihat almarhum Habib Salim bin Jindan yang sampai sekarang tetap
diingat oleh keturunan dan para jemaahnya, ialah pentingnya menjaga akhlak
keluarga. "Kewajiban kaum muslimin, khususnya orangtua untuk menasihati
keluarga mereka, menjaga dan mendidik mereka, menjauhkan mereka dari
orang-orang yang bisa merusak akhlak. Sebab, orangtua adalah wasilah
(perantara) dalam menuntun anak-anak. Nasihat seorang ayah dan ibu lebih
berpengaruh pada anak-anak dibanding nasehat orang lain."

Disarikan dari Manakib Habib Salim bin Jindan karya Habib Ahmad bin Novel bin
Salim

Habib Muhammad bin Husein al-Aydrus: Pewaris Rahasia Imam Ali Zainal Abidin

Al-Habib Muhammad bin Husein al-Aydrus lahir di kota Tarim Hadramaut. Kewalian dan sir beliau tidak begitu tampak di kalangan orang awam. Namun di kalangan kaum ‘arifin billah derajat dan karomah beliau sudah bukan hal yang asing lagi, karena memang beliau sendiri lebih sering bermuamalah dan berinteraksi dengan mereka.

Sejak kecil habib Muhammad dididik dan diasuh secara langsung oleh ayah beliau sendiri al-’Arifbillah Habib Husein bin Zainal Abidin al-Aydrus. Setelah usianya dianggap cukup matang oleh ayahnya, beliau al-Habib Muhammad dengan keyakinan yang kuat kepada Allah SWT merantau ke Singapura.

أَََلَمْ َتكُنْ أَرْضُ اللهِ وَاسِعَةً فتَََهَاجَرُوْا فِيْهَا
Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu? (Q.S an-Nisa’:97)

Setelah merantau ke Singapura, beliau pindah ke Palembang, Sumatera Selatan. Di kota ini beliau menikah dan dikaruniai seorang putri. Dari Palembang, beliau melanjutkan perantauannya ke Pekalongan, Jawa Tengah, sebuah kota yang menjadi saksi bisu pertemuan beliau untuk pertama kalinya dengan al-Imam Quthb al-Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Seggaf, Gresik. Di Pekalongan jugalah beliau seringkali mendampingi Habib Ahmad bin Tholib al-Atthos.

Dari Pekalongan beliau pidah ke Surabaya tempat Habib Musthafa al-Aydrus yang tidak lain adalah pamannya tinggal. Seorang penyair, al-Hariri pernah mengatakan:

وَحُبِّ البِلَادَ فَأَيُّهَا أَرْضَاكَ فَاخْتَرْهُ وَطَنْ
Cintailah negeri-negeri mana saja yang menyenangkan bagimu dan jadikanlah (negeri itu) tempat tinggalmu

Akhirnya beliau memutuskan untuk tinggal bersama pamannya di Surabaya, yang waktu itu terkenal di kalangan masyarakat Hadramaut sebagai tempat berkumpulnya para auliaillah. Di antaranya adalah Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdor, Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya dan masih banyak lagi para habaib yang mengharumkan nama kota Surabaya waktu itu. Selama menetap di Surabaya pun Habib Muhammad al-Aydrus masih suka berziarah, terutama ke kota Tuban dan Kudus selama 1-2 bulan.

Dikatakan bahwa para sayyid dari keluarga Zainal Abidin (keluarga ayah Habib Muhammad) adalah para sayyid dari Bani ‘Alawy yang terpilih dan terbaik karena mereka mewarisi asrar (rahasia-rahasia). Mulai dari ayah, kakek sampai kakek-kakek buyut beliau tampak jelas bahwa mereka mempunyai maqam di sisi Allah SWT. Mereka adalah pakar-pakar ilmu tashawuf dan adab yang telah menyelami ilmu ma’rifatullah, sehingga patut bagi kita untuk menjadikan beliau-beliau sebagai figur teladan.

Diriwayatkan dari sebuah kitab manaqib keluarga al-Habib Zainal Abidin mempunyai beberapa karangan yang kandungan isinya mampu memenuhi 10 gudang kitab-kitab ilmu ma’qul/manqul sekaligus ilmu-ilmu furu’ (cabang) maupun ushul (inti) yang ditulis berdasarkan dalil-dalil jelas yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh para pakar dan ahli (para ashlafuna ash-sholihin).

Habib Muhammad al-Aydrus adalah tipe orang yang pendiam, sedikit makan dan tidur. Setiap orang yang berziarah kepada beliau pasti merasa nyaman dan senang karena memandang wajah beliau yang ceria dengan pancaran nur (cahaya). Setiap waktu beliau gunakan untuk selalu berdzikir dan bersholawat kepada datuk beliau Rasulullah SAW. Beliau juga gemar memenuhi undangan kaum fakir miskin. Setiap pembicaraan yang keluar dari mulut beliau selalu bernilai kebenaran-kebenaran sekalipun pahit akibatnya. Tak seorangpun dari kaum muslimin yang beliau khianati, apalagi dianiaya.

Setiap hari jam 10 pagi hingga dzuhur beliau selalu menyempatkan untuk openhouse menjamu para tamu yang datang dari segala penjuru kota, bahkan ada sebagian dari mancanegara. Sedangkan waktu antara maghrib sampai isya’ beliau pergunakan untuk menelaah kitab-kitab yang menceritakan perjalanan kaum salaf. Setiap malam Jum’at beliau mengadakan pembacaan Burdah bersama para jamaahnya.

Beliau al-Habib Muhammad al-Aydrus adalah pewaris karateristik Imam Ali Zainal Abidin yang haliyah-nya agung dan sangat mulia. Beliau juga memiliki maqam tinggi yang jarang diwariskan kepada generasi-generasi penerusnya. Dalam hal ini al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad telah menyifati mereka dalam untaian syairnya:

ثبتوا على قـدم النبى والصحب # والتـابعين لهم فسل وتتبع
ومضو على قصد السبيل الى العلى# قدما على قدم بجد أوزع
_Mereka tetap dalam jejak Nabi dan sahabat-sahabatnya
Juga para tabi’in. Maka tanyakan kepadanya dan ikutilah jejaknya_

_Mereka menelusuri jalan menuju kemulyaan dan ketinggian
Setapak demi setapak (mereka telusuri) dengan kegigihan dan kesungguhan_

Diantara mujahadah beliau r.a, selama 7 tahun berpuasa dan tidak berbuka kecuali hanya dengan 7 butir kurma. Pernah juga beliau selama 1 tahun tidak makan kecuali 5 mud saja. Beliau pernah berkata, “Di masa permulaan aku gemar menelaah kitab-kitab tasawuf. Aku juga senantiasa menguji nafsuku ini dengan meniru perjuangan mereka (kaum salaf) yang tersurat dalam kitab-kitab itu”.

(Diadaptasi dari naskah karangan Habib Syekh Musawa Surabaya)

Sumber http://pesantren.or.id.29.masterwebnet.com/dalwa.bangil/
cgi-bin/dalwa.cgi/al_bashiroh/profil/02-jun06.single

Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih, Darul Hadis, Malang

Hafal Ribuan Hadits

Di Kota Bunga, Malang, Jawa Timur, ada seorang auliya’ yang terkenal karena ketinggian ilmunya. Ia juga hafal ribuan hadits bersama dengan sanad-sanadnya.

Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al-Alawy dilahirkan di kota Tarim, Hadramaut, pada hari Selasa 15 Safar tahun 1316 H/1896 M. Saat bersamaan menjelang kelahirannya, salah seorang ulama besar, Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf, bermimpi bertemu Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir Jailani. Dalam mimpi itu Syekh Abdul Qadir Jailani menitipkan kitab suci Al-Quranul Karim kepada Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf agar diberikan kepada Habib Ahmad bin Muhammad Bilfagih.

Pagi harinya Habib Syaikhan menceritakan mimpinya kepada Habib Ahmad. Habib Ahmad mendengarkan cerita dari Habib Syaikhan, kemudian berkata, ”Alhamdulillah, tadi malam aku dianugerahi Allah SWT seorang putra. Dan itulah isyarat takwil mimpimu bertemu Syekh Abdul Qadir Jailani yang menitipkan Al-Quranul Karim agar disampaikan kepadaku. Oleh karena itu, putraku ini kuberi nama Abdul Qadir, dengan harapan, Allah SWT memberikan nama maqam dan kewalian-Nya sebagaimana Syekh Abdul Qadir Jailani.”

Demikianlah, kemudian Habib Ahmad memberi nama Abdul Qadir karena mengharap berkah (tafa’ul) agar ilmu dan maqam Abdul Qadir seperti Syekh Abdul Qadir Jaelani.

Sejak kecil, ia sangat rajin dan tekun dalam mencari ilmu. Sebagai murid, ia dikenal sangat cerdas dan tangkas dalam menerima pelajaran. Pada masa mudanya, ia dikenal sebagai orang yang mempunyai perhatian besar terhadap ilmu dan menaruh penghormatan yang tinggi kepada guru-gurunya. Tidaklah dinamakan mengagungkan ilmu bila tidak memuliakan ahli ilmu, demikian filosofi yang terpatri dalam kalbu Habib Abdul Qadir.

Pernah suatu ketika di saat menuntut ilmu pada seorang mahaguru, ia ditegur dan diperingatkan, padahal Habib Abdul Qadir waktu itu pada pihak yang benar. Setelah memahami dan mengerti bahwa sang murid berada di pihak yang benar, sang guru minta maaf. Namun, Habib Abdul Qadir berkata, ”Meskipun saya benar, andaikan Paduka memukul muka hamba dengan tangan Paduka, tak ada rasa tidak menerima sedikit pun dalam diri hamba ini.” Itulah salah satu contoh keteladanan yang tinggi bagaimana seorang murid harus bersopan-santun pada gurunya.

Guru-guru Habib Abdul Qadir, antara lain, Habib Abdullah bin Umar Asy-Syatiry, Habib Alwy bin Abdurrahman Al-Masyhur, Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf, Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdor, Syekh Segaf bin Hasan Alaydrus, Syekh Imam Muhammad bin Abdul Qadir Al-Kattany, Syekh Umar bin Harridan Al-Magroby, Habib Ali bin Zain Al-Hadi, Habib Ahmad bin Hasan Alatas, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsy, Syekh Abubakar bin Ahmad Al-Khatib, Syekh Abdurrahman Bahurmuz.

Dalam usia yang masih anak-anak, ia telah hafal Al-Quran. Tahun 1331 H/1912 M, ia telah mendapat ijazah dan berhak memberikan fatwa agama, antara lain di bidang hukum, dakwah, pendidikan, dan sosial. Ini merupakan anugerah Allah SWT yang telah diberikan kepada hamba pilihan-Nya.

Maka tidak berlebihan bila salah seorang gurunya, Habib Alwi bin Abdullah bin Syihab, menyatakan, ”Ilmu fiqih Marga Bilfagih setara dengan ilmu fiqih Imam Adzro’iy, sedangkan dalam bidang tasawuf serta kesusastraan bagai lautan tak bertepi.”

Sebelum meninggalkan kota Tarim untuk berdakwah, di tanah kelahirannya ia sempat mendirikan organisasi pendidikan sosial Jami’yyatul Ukhuwwah wal Mu’awanah dan Jami’yyah An-Nasr Wal Fudho’il tahun 1919 M.

Sebelum berhijrah ke Indonesia, Habib Abdul Qadir menyempatkan diri beribadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan dan singgah di beberapa kota dan negara, seperti Aden, Pakistan, India, Malaysia, dan Singapura. Di setiap kota yang disinggahi, ia selalu membina umat, baik secara umum maupun khusus, dalam lembaga pendidikan dan majelis taklim.

Tiba di Indonesia tepatnya di kota Surabaya tahun 1919 M/1338 H dan langsung diangkat sebagai direktur Madrasah Al-Khairiyah. Selanjutnya, ia mendirikan Lembaga Pendidikan Madrasah Ar-Rabithah di kota Solo tahun 1351 H/1931 M.

Selepas bermukim dan menunaikan ibadah haji di Makkah, sekembalinya ke Indonesia tanggal 12 Februari 1945 ia mendirikan Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah dan Perguruan Islam Tinggi di kota Malang. Ia pernah diangkat sebagai dosen mata kuliah tafsir pada IAIN Malang pada 1330 H/1960 M.

Keistimewaan Habib Abdul Qadir adalah, ia ahli ilmu alat, nahwu, sharaf, manthiq, ilmu kalam, serta ma’any, bayan, dan badi (tiga yang terakhir merupakan bagian ilmu sastra). Dalam bidang hadits, penguasaannya adalah bidang riwayat maupun dirayah, dan hafal ribuan hadits. Di samping itu, ia banyak mendapat hadits Al-Musalsal, yakni riwayat hadits yang tersambung langsung kepada Rasulullah SAW. Ini diperolehnya melalui saling tukar isnad (saling menukar periwayatan hadits) dengan Sayid Alwy bin Abas Al-Maliky saat berkunjung ke Makkah.

Sebagai seorang ulama yang menaruh perhatian besar dalam dunia pendidikan, ia juga giat mendirikan taklim di beberapa daerah, seperti Lembaga Pendidikan Guru Agama di Sawangan, Bogor, dan Madrasah Darussalam Tegal, Jawa Tengah.

Banyak santrinya yang di kemudian hari juga meneruskan jejaknya sebagai muballigh dan ulama, seperti Habib Ahmad Al-Habsy (Ponpes Ar-Riyadh Palembang), Habib Muhammad Ba’abud (Ponpes Darul Nasyi’in Malang), Habib Syekh bin Ali Al Jufri (Ponpes Al-Khairat Jakarta Timur), K.H. Alawy Muhammad (Ponpes At-Taroqy Sampang, Madura). Perlu disebutkan, Prof. Dr. Quraisy Shihab dan Prof. Dr. Alwi Shihab pun alumnus pesantren ini.

Habib Abdul Qadir wafat pada 21 Jumadil Akhir 1382 H/19 November 1962 dalam usia 62 tahun. Kala saat-saat terakhirnya, ia berkata kepada putra tunggalnya, Habib Abdullah, ”… Lihatlah, wahai anakku. Ini kakekmu, Muhammad SAW, datang. Dan ini ibumu, Sayyidatunal Fatimah, datang….” Ribuan umat berdatangan untuk meyampaikan penghormatan terakhir kepada sang permata ilmu yang mumpuni itu. Setelah disemayamkan di Masjid Jami’ Malang, ia dimakamkan di kompleks makam Kasin, Malang, Jawa Timur.

Habib Idrus bin Salim al-Jufri, Sulawesi Tengah

VeiLady Guru tua, begitu Beliau disapa. Beliau adalah Ulama Hadamaut yang hijrah ke Indonesia untuk menjaga benteng pertahanan akidah Islam di Sulawesi dari rongrongan ancaman Missionaris Kristen. Beliaulah pendiri Yayasan Alkhairaat, yang kini terdiri dari TK, SD, SMP,SMA, SMK,MI, MTS, MA hingga Universitas. Lembaga-lembaga pendidikan Islam Al-Khairaat berpusat di Kota Palu dan menyebar ke daerah sekitar, menjadikannya sebagai pintu gerbang dakwah Islam di Kawasan Timur Nusantara.

Nasab Beliau adalah : Habib Idrus bin Salim bin Alwi bin Segaf bin Alwi bin Abdullah bin Husein bin Salim bin Idrus bin Muhammad bin Abdullah bin Alwi bin Abu Bakar Aljufri bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ali bin Muhammad Faqqqih Al-Muqaddam bin Alwi bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa An-Naqib bin Ali AL-‘Uraidhi bin Jakfar As-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah Azzahrah binti Rasulullah shallahu alaihi wa sallam.

Habib Idrus lahir di kota Taris, 4 km dari ibu kota Seiwun, Hadramaut, pada 14 sya’ban 1309 H bertepatan dengan 15 Maret 1881 M. Beliau mendapat pendidikan agama langsung dari ayah dan lingkungan keluarganya. Ayah beliau, Habib Salim adalah seorang qadhi (hakim) dan mufti (Ulama yang memiliki otoritas mutlak untuk memberi fatwa) di Kota Taris, Hadramaut. Sedangkan kakek Beliau, Al Habib Alwi bin Segaf Aljufri, adalah seorang ulama di masa itu. Beliau adalah salah satu dari lima orang ahli hukum di Hadramaut yang fatwa-fatwanya terkumpul dalam kitab Bulughul Musytarsyidin, karya Al-Imam Al-habib Abdurrahman Al-Masyhur.

Tatkala Habib Idrus menginjak usia remedial, ayah Beliau Al-Habib Salim melihat bahwa kelak anak nya ini bisa menggantikannya. Beliaupun mendidik anaknya tersebut secara khusus. Habib Salim membuatkan kamar khusus bagi anaknya agar dapat berkonsentrasi dalam belajar. Habib Idrus kemudian mendalami berbagai Ilmu seperti tafsir, hadits, tasawuf, fiqih, Tauhid, Mantiq, ma’ani, bayan, badi’, nahwu, sharaf, falaq, tarikh dan sastra. Selain pada ayahnya, Habib Idrus juga belajar kepada Para Ulama dan Auliya’ di Hadramaut, diantaranya adalah : Al-Habib Muhsin bin Alwi Assegaf, Al-Habib Abdurrahman bin Alwi bin Umar Assegaf, Al-Habib Muhammad bin Ibrahim bilfaqih, Al-Habib Abdullah bin Husein bin Sholeh Al-Bahar, Al-Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi. Dan Al-Habib Abdullah bin Umar As-Syathiri di Rubath Tarim.
Kemudian pada tahun 1327 H. atau sekitar tahun 1909 M bersama sang ayah, Habib Idrus berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam datuknya Rasulullah salallahu alaihi wasallam di Madinah. Di sana mereka menetap selama enam bulan. Selama itu Habib Salim memanfaatkan waktunya untuk mengajak putranya ini berziarah kepada para ulama dan Auliya’ yang berada di Hijaz pada masa itu, untuk memminta berkah, do’a serta ijazah dari mereka. Salah satunya kepada Sayyid Abbas Al-Maliki Al-Hasani di Makkah. Habib Salim kemudian membawa putranya kembali ke Hadramaut. Setelah itu beliau membawa Habib Idrus berlayar ke Indonesia tepatnya di kota Manado untuk menemui ibunya Syarifah Nur Al-Jufri serta Habib Alwi dan Habib Syekh yang merupakan kedua saudara kandung Habib Idrus yang telah terlebih dahulu hijrah ke Indonesia. Setelah beberapa waktu di Indonesia, Habib Idrus dan ayahnya kembali ke Hadramaut. Sebtibanya di Hadramaut, Habib Idrus mengajar di Madrasah yang dipimpin oleh ayah beliau.

Setelah itu Habib Idrus menikah dengan Syarifah Bahiyah, yang kemudian dikaruniai tiga orang anak: Habib Salim, Habib Muhammad dan Syarifah Raguan. Pada bulan Syawwal 1334 H bertepatan dengan 1906 M ayah beliau wafat. Dan pada tahun itu pula Habib Idrus diangkat oleh Sultan Mansur sebagai Mufti dan Qadhi di kota Taris, Hadramaut, padahal usianya saat itu baru 25 Tahun.

Semenjak tahun 1839 M Hadramaut berada dalam penjajahan Inggris. Pada masa penjajahan Inggris itulah Habib Idrus bersama seorang sahabatnya, Habib Abdurrahman bin Ubaidillah (keduanya dikenal sebgai ulama yang moderat) bermaksud ke Mesir untuk mempublikasikan kekjaman Inggris dan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh Inggris di Hadramaut. Setelah sesuatunya dipersiapkan dengan matang dan rapi, keduanya berangkat melalui Pelabuhan Aden. Namun di Pelabuhan Laut Merah itu rencana mereka diketahui oleh pasukan Inggris. Keduanya ditangkap, dokumennya disita dan dimusnahkan. Setelah ditanah beberapa waktu kemudian mereka dibebaskan dengan syarat, mereka tidak diperbolehkan bepergian ke negeri Arab manapun. Setelah kejadian itu Habib Abdurrahman memilih tinggal di Hadramaut, sedangkan Habib Idrus memilih hijrah ke Indonesia.
Pada tahun 1925 M Habib Idrus kembali untuk kedua kalinya ke Indonesia. Pada mulanya beliau tinggal di Pekalongan, Jawa Tengah. Di sana beliau menika dengan Syarifah Aminah Al-Jufri. Dari pernikahan tersebut beliau dikaruniai dua anak perempuan, Syarifah Lulu’ dan Syarifah Nikmah. Syarifah Lulu’ kemudian menikah dengan Sayyid Segaf bin Syekh Al-Jufri, yang salah seorang anaknya adalah Dr.Salim Segaf Al-Jufri, Duta besar Indonesia untuk Arab Saudi periode sekarang.

Pada tahun 1926 M beliau pindah ke kota Jombang, disana beliau mengajar dan berdagang. Namun di penghujung tahun 1928 M karena seringkali mengalami kerugian dalam berdagang, Habib Idrus berhenti Berdagang dan memulai mengajar. Di tahun itu pula beliau pindah ke kota Solo. Pada tanggal 27 Desember 1928 bersama beberapa Habaib beliau mendirikan Madrasah Rabithah Alawiyah di kota Solo. Namun, pada akhir tahun 1929 M Habib Idrus meninggalkan kota Solo dan hijrah ke Sulawesi. Beliau kemudian berlayar menuju Manado. Ketika kapalnya singgah di Donggala, Habib Idrus menggunakan kesempatan itu untuk berkonsolidasi dengan komunitas Arab yang dipimpin Syekh Nasar bin Khams Al-Amri, di situ beliau mengutarakan tentang rencananya untuk mendirikan madrasah di kota Palu.
Setibanya di Manado, Habib Idrus mendapatkan telegram tentang hasil musyawarah masyarakat arab yang ada di Kota Palu mengenai pendirian Madrasah. Pada akhirnya disepakati bersama bahwa sarana pendidikan berupa gedung akan disiapkan oleh masyarakat arab Palu, sedangkan gaji guru, Habib Idrus yang akan mengusahakannya. Pada awal 1930 M Habib Idrus menuju kota Palu. Dan pada tanggal 30 Juni 1930 M setelah mengurus prizinan pendirian dan surat-surat lainnya ke pemerintah Hindia Belanda, maka, diresmikanlah Madrasah Al-Khairaat di Kota Palu.

Dalam perkembangannya, pengelolaan Madrasah sepenuhnya ditangani oleh Habib Idrus. Para murid yang belajar di sana tidak dipungut biaya sama sekali. Hal ini karena Habib Idrus mengadaptasi sistem pendidikan arab yang pada umumnya tidak memungut biaya kepada para muridnya. Sehingga para murid lebih fokus dalam belajar. Habib Idrus membrikan gaji kepada para guru dan staf sekolah dari hasilnya berdagang.

Habib Idrus mengajar para santrinya dengan penuh dedikasi dan profesionalitas yang tinggi. Keikhlasan dan keuletan beliau telah membuahkan hasil. Perguruan Al-Khairaat waktu itu telah menghasilkan guru-guru Islam yang handal yang kemudian disebarkan ke seluruh pelosok Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian Jaya. Keberadaan perguruan Al-Khairaat dan para santrinya telah berhasil membentengi kawasan Timur Indonesia dari para penginjil, yang waktu itu pada masa Hindia Belanda ada tiga organisasi yang bertugas mengkristenkan suku-suku terasing di Sulawesi Tengah. Mereka adalah Indische Kerk (IK) berpusat di Luwu, Nederlands Zending Genootschap (NZG) berpusat di Tentena, dan Leger Dois Hest (LDH) berpusat di Kalawara.

Pada tanggal 11 Januari 1942 M Jepang menduduki Sulawesi dan menjadikan kota Manado sebagai pusat pangkalan di Kawasan Timur Indonesia. Tidak berselang lama stelah itu, Jepang memerintahkan penutupan perguruan Al-Khairaat. Selama tiga setengah tahun kependudukan Jepang, Habib Idrus tidak menyerah sedikitpun untuk mengajar para muridnya. Proses belajar mengajar tetap berlangsung meskipun secara sembunyi-sembunyi. Lokasi pembelajarandialihkan ke desa Bayoge, yang berjarak satu setengah kilometer dari lokasi perguruan Al-Khairaat. Pengajarannya dilaksanakan pada malam hari dan hanya menggunakan penerangan seadanya, para muridnya datang satu persatu secara sembunyi- sembunyi. Tepat saat kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 Habib Idrus kembali membuka perguruan Al-Khairaat secara resmi. Beliau berjuang kembali untuk mengembangkan dakwah dan pendidikan Islam. Hingga selama kurun waktu 26 tahun (1930-1956) lembaga yang telah dirintisnya ini telah menjangkau seluruh kawasan Indonesia Timur.

Perguruan Alkhairaat kemudian mengembangkan sayapnya dengan membuka perguruan tinggi pada tahun 1964 M dengan nama Universitas Islam Al-Khairaat dengan tiga fakultas di dalamnya, yaitu: Fakultas Sastra, Fakultas Tarbiyah, dan Fakultas Syariah. Dan Habib Idrus sebagai Rektor pertamanya. Ketika terjadi peristiwa pemberontakan G30S PKI pada tahun 1965, perguruan tinggi Al-Khairaat dinonaktifkan untuk sementara. Para Mahasiswanya diberikan tugas untuk berdakwah di daerah-daerah terpencil kawasan Sulawesi. Hal ini sebagai upaya untuk membendung paham komunis sekaligus melebarkan dakwah Islam. Setelah keadaan kondusif, pada tahun 1969 perguruan Tinggi Al-Khairaat dibuka kembali.

Masih dalam suasana Idul Fitri, sakit parah yang telah lama diderita Habib Idrus kembali kambuh. Bertambah hari sakitnya semakin berat. Maka, guru, Ulama dan Sastrawan itu wafat, pada hari senin 12 Syawwal 1389 H betepatan dengan 22 Desember 1969 M. sebelum menjelang detik-detik kewafatannya, Habib Idrus sudah mewasiatkan tentang siapa saja yang memandikan jenazah, imam shalat jenazah, tempat pelaksanaan shalat jenazah, siapa yang menerima jenazah di Liang lahat, muadzin di liang lahad, sampai yang membaca talqin di kubur.

Habib Idrus tidak meninggalkan karangan kitab, namun karya besarnya adalah Al-Khairaat dan murid-muridnya yang telah memberikan pengajaran serta pencerahan agama kepada umat. Mereka para murid-murid Al-Khairaat meneybar di seluruh kawasna Indonesia untuk meneruskan perjuangan sang Pendidik yang tak kenal putus asa ini. Salah satu murid belia yang melanjutkan dakwahnya adalah Ustad Abdullah Awadh Abdun, yang hijarh dari kota Palu ke Kota Malang untuk berdakwah dan mendidik para muridnya dengan mendirikan pesantren Daarut Tauhid di Kota Malang. Ketika wafat, Habib Idrus telah mewariskan 25 cabang Alkhairaat dan ratusan sekolah, serta beberapa madrasah yang beliau dirikan kala hidupnya. Kini perguruan Besar Alkahiraat danYayasan Al-khairaat, dibentuk pula Wanita Islam Al-Khairaat dan Himpunan Pemuda Al-Khairaat.

Al-Habib Ali bin Husein Al-Attas (Bungur)

Al-Habib Ali bin Husein Al-Attas, beliau lebih dikenal dengan sebutan Habib Ali Bungur. Beliau merupakan rantai jaringan Ulama Betawi sampai sekarang ini. Beliau memiliki jasa yang sangat besar dalam menorehkan jejak langkah dakwah dikalangan masyarakat Betawi. Beliau menjadi rujukan umat di zamannya, Al-Habib Salim bin Jindan mengatakan bahwa Al-Habib Ali bin Husein Al-Attas dan Al-Habib Ali Kwitang bagaikan kedua bola matanya, dikarekan keluasan khazanah keilmuan kedua habib itu.
Silsilah beliau adalah : Al-Habib Ali bin Husein bin Muhammad bin Husein bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husein bin Al-Imam Al-Qutub Al-Habib Umar bin Abdurrahman Al-Attas bin Agil bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman Assegaf bin Mauladawilah bin Ali bin Alwi Al-Ghuyyur bin Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam bin Ali bin Muhammmad Sahib Mirbath bin Ali Khala’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin ‘Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-‘Uraidhi bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad Baqir bin Ali Zaenal Abidin bin Husein bin Ali bin Ali Thalib suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam.
Beliau lahir di Huraidhah, Hadramaut, pada tanggal 1 Muharram 1309 H, bertepatan dengan 1889 M. semenjak usia 6 tahun beliau belajar berbagai ilmu keislaman pada para ulama dan auliya yang hidup di Hadramaut saat itu, sebagaimana jejak langkah generasi pendahulunya, seelah mendalami agama yang cukup di Hadramaut, pada tahun 1912 M beliau pergi ke tanah suci unuk menunaikan haji serrta berziarah ke makam datuknya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam di Madinah. Disana beliau menetap di Makkah. Hari-hari beliau dipergunakan untuk menimba ilmu kepada para ulama yang berada di Hijaz. Setelah 4 tahun (tak banyak sejarawan yang menulis bagaimana perjalanan beliau hingga kemudian tiba di Jakarta) setelah menetap di Jakarta, beliau berguru kepada para ulama yang berada di tanah air,diantaranya : Al-Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas (Empang-Bogor), Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Attas (Pekalongan) dan Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya), Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhor (Bondowoso).
Di daerah Cikini beliau tinggal, sebuah kampung yang masyarakatnya hidup dibawah gais kemiskinan. Beliau tinggall bersama-sama rakyat jelata. Setiap orang mengenal Habib Ali, pasti akan berkata “hidupnya sederhana,tawadhu’,teguh memegang prinsip, menolak pengkultusan manusia, berani membela kebenaran, luas dalam pemikiran, mendalam di bidang ilmu pengetahuan, tidak membeda-bedakan yang kaya dan yang miskin, mendorong terbentuknya Negara Indonesia yang bersatu, utuh serta berdaulat, tidak segan-segan menegur para pejabat yang mendatanginya dan selalu menyampaikan agar jurang antara pemimpin dan rakyat dihilangkan, rakyat mesti dicintai,”hal inilah yang menyebabkan rakyat mencintai Al-Habib Ali bin Husein Al-Attas, beliau tidak pernah menadah tangannya kepada orang-orang kaya harta, sebab beliau memiliki kekayaan hati, beliau tidak mau menengadahkan tangannyadibawah, kecuali hanya memohon kepada Rabbul ‘Alamin. Beliau memiliki ketawakalan yang tinggi kepada Allah azza wa jalla. Beliau selalu mengorbankan semangat anti penjajah dengan membawakan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam yang menganjurkan melawan penjajah. “Penjajah adalah penindas, kafir dan wajib diperangi” begitulah yang sering beliau ucapkan. Beliau tergolong pejuang yang anti komunis. Pada masa pemberontakan PKI, beliau selalu mengatakan bahwa “PKI dan komunis akan lenyap dari bumi Indonesia dan rakyat akan selalu melawan kekuatan atheis. Ini berkah perjuangan para ulama dan auliya yang jasadnya bertebaran di seluruh nusantara”.
Semasa hidupnya beliau tidak pernah berhenti dan tak kenal lelah dalam berdakwah. Salah satu karya terbesar beliau adalah kitab Tajul A’ras fi Manaqib Al-Qutub Al-Habib Sholeh bin Abdullah Al-Attas, sebuah kitab sejarah para ulama Hadramaut yang pernah beliau jumpai, dari masa penjajahan Inggris di Hadramaut, sehingga sekilas perjalanan para ulama Hadramaut di Indonesia. Buku itu juga berisi tentang beberapa kandungan ilmu tasawuf dan Thariqah Alawiyah. Semasa hidupnya beliau selalu berjuang membela umat, kesederhanaan serta istiqomahnya dalam mempraktekkan ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari menjadi taulan yang baik bagi umat. Beliau selalu mengajarkan dan mempraktekkan bahwa islam mengajak umat dari kegelapan pada cahaya yang terang, membawa dari taraf kemiskinan kepada taraf keadilan dan kemakmuran dan beliau pun wafat pada tanggal 16 Februari 1976, jam 06:10 pagi dam usia 88 tahun dan beliau dimakamkan di pemakaman Al-Hawi, condet Jakarta timur.
(sumber: http://nurulmusthofa.org)

Al Habib Ja’far bin Syaikhan

Beliau adalah Al Habib Ja’far bin Syaikhan bin Ali bin Hasyim bin Syeikh bin Muhammad bin Hasyim Assegaf. Beliau dilahirkan di kota Ghurfah, Hadramaut pada tahun 1298 H. Sebagaimana kebanyakan para Salaf Bani Alawi, semenjak kecil beliau mendapat pendidikan langsung dari ayahnya, Al-Habib Syaikhan bin Ali Assegaf. Selain beliau menuntut ilmu kepada ayahnya, beliau juga mengambil ilmu dari ulama-ulama besar di Hadramaut, diantaranya :

Al-Habib Idrus bin Umar Alhabsyi (pengarang ‘Iqdul Yawaaqit)

Al-Imam Al-Qutub Al-Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi

Al-Imam Al-Habib Ahmad bin Hasan Alatas

Beberapa tahun kemudian, berangkatlah beliau ke kota Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Semangat beliau untuk menuntut ilmu seakan tak pernah pupus. Kesempatan beliau berada di kota Makkah tak beliau sia-siakan. Kesempatan itu beliau pergunakan untuk menuntut ilmu dari para ulama yang ada disana, diantaranya :

Al-Habib Husin bin Muhammad Alhabsyi

Al-Habib Muhammad bin Salim As-Sirry

Setelah dari kota Makkah Al-Mukarramah, kembalilah beliau ke kota kelahirannya, Ghurfah. Disana beliau kemudian diangkat menjadi imam masjid jami Ghurfah. Beliau tinggal di kota tersebut selama 8 tahun. Setelah itu beliau pindah ke kota Tarim. Disana beliau dipercaya mengajar di Rubath Tarim, sebuah sekolah yang banyak sekali mencetak ulama-ulama besar. Di kota Tarim beliau tinggal selama 2 tahun. Kemudian setelah itu, beliau berhijrah ke Indonesia dan tinggal di kota Bondowoso. Tak lama kemudian, beliau lalu pindah ke kota Pasuruan dan menetap disana.

Di kota Pasuruan, beliau berdakwah mengibarkan bendera Laa ilaaha illallah. Beliau membuka majlis taklim dan mengajak masyarakat kepada agama Allah. Pribadinya yang arif menyebabkan beliau menjadi tempat bermusyawarah, mencari perlindungan dan pengayom masyarakat. Beliau selalu memberikan nasihat-nasihat agama dan petunjuk ke arah yang benar. Akhlak beliau mencontoh para pendahulunya yang penuh dengan sifat tawadhu, sabar, dan ramah. Tidaklah itu semua kecuali mengambil daripada akhlak-akhlak Rasulullah SAW.

Jika beliau menerima tamunya, beliau sendirilah yang menuangkan minuman buat si tamu dan beliau menolak jika ada orang lain yang hendak menggantikannya. Melihat kedalaman ilmu beliau terutama dalam ilmu tafsir dan disertai dengan keagungan akhlak beliau, Al-Habib Muhammad bin Ahmad Almuhdhor pernah mengatakan bahwa beliau adalah Al-Qur’an yang berjalan. Begitulah keadaan beliau yang menjadi figur bagi keluarga dan masyarakatnya.

Kehidupan berputar terus dan beliau selalu mengisinya dengan kebaikan. Sampai pada suatu saat dimana Allah hendak memanggilnya. Berpulanglah beliau menuju mardhotillah pada hari Senin, tanggal 14 Jumadil Akhir 1374 H. Jasad beliau lalu disemayamkan di samping masjid jami Pasuruan.

Begitulah kehidupan beliau sebagai profil manusia yang penuh dengan kebaikan dan kemuliaan. Meskipun beliau telah berpulang, ruh kehidupan beliau senantiasa menghidupkan kalbu-kalbu para pengenangnya…mengisi sisi-sisi kehidupan para pecintanya…

Radhiyallahu anhu wa ardhah…

[Disarikan dari Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, Muhammad Syamsu Assegaf dan dari berbagai sumber lainnya]
Sumber: http://yarasulullah.wordpress.com

Habib Husein bin Muhammad bin Thohir al-Haddad, Jombang

Maula dari Jombang
Ia dikenal sebagai orang yang memperhatikan kepentingan kaum muslimin.

Jombang dikenal sebagai tempat belajar santri-santri dari berbagai pelosok Indonesia. Di kabupaten ini paling tidak ada dua pondok pesantren yang dijadikan rujukan oleh pesantren-pesantren salaf di Indonesia, yakni Pondok Pesantren Darul Ulum (didirikan oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah) dan Pesantren Tebuireng (didirikan oleh KH.Hasjim Asy’ari.). Tak heran jika kota Jombang, menjadi rujukan kunjungan tamu-tamu baik ulama’ maupun auliya’ dari berbagai belahan dunia. Mereka berkunjung untuk bertukar ilmu dan sambil menyebarkan dakwah.
Salah satunya adalah Habib Husain bin Muhammad Al-Haddad. Ia dilahirkan di kota Geydoon, Hadramaut, Yaman Selatan pada 1302 H. Sedari kecil ia telah dididik oleh aayah dan kakeknya, dalam lingkungan yang sarat religius, penuh ketakwaan dan kebajikan.
Kegemarannya menuntut ilmu berlanjut hingga usia remaja, di mana ia selalu menghadiri majelis-majelis ta’lim ulama-ulama. Tentu saja ulama-ulama yang ia datangi untuk menimba ilmu, terutama dari ulama-ulama yang suka beramal dan para wali yang saleh. Termasuk saat menunaikan haji dan berziarah ke makam datuknya, Nabi Muhammad SAW di Madinah, ia memanfaatkan kesempatan itu untuk bertemu muka dengan ulama-ulama terkenal dan ia banyak mengambil manfaat dan keutamaan dari mereka.
Pada tahun 1329 H, ia pergi ke Indonesia untuk bertemu dengan sang ayahanda tercinta yakni Habib Muhammad bin Thohir Al-Haddad (Tegal). Selain itu, ia juga berguru dengan banyak ulama yang ada di tanah Jawa ini, diantaranya Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad (kakak kandungnya), Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya), Habib Abdullah bin Muhsin Alattas (Bogor), Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muchdor (Bondowoso), Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya, Habib Abdullah bin Ali Al-Haddad (Bangil), Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf (Gresik) dan Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alattas (Pekalongan).
Ia selalu mengikuti majelis taklim dan mendengarkan fatwa-fatwa mereka, sehingga mereka pun sangat senang melihat, memperhatikan bahkan mencintainya.Guru yang banyak berperan membentuk karakter dan kepribadian Habib Husain adalah Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi dan Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad. Hubungan diantara Husain dan kakaknya memang tergolong sangat istemewa. Mereka berdua dikenal memiliki hubungan yang sangat erat, masing-masing dari mereka menampakan sifat tawadhu’ dan saling menghormati. Puncak dari ahlak dari Habib Husain adalah apabila pulang dari majelis taklim yang diasuh oleh kakaknya, ia berjalan mundur tidak membelakangi punggungnya.
Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf (Gresik) pernah berkata,”Saya belum pernah melihat dua bersaudara seperti Alwi dan Husain. Sesungguhnya salah satu dari mereka memperhatikan lebih banyak urusan saudaranya dari pada dirinya sendiri, sehingga bila salah satu dari mereka meminta doa dari orang lain, maka dimintakan untuk saudaranya dan tidak menyebut dirinya sendiri.”
Pernah suatu hari Habib Husain berada di kota Bogor dan bermalam di rumah Habib Alwi. Saat akan tidur, ia memilih tidur di lantai bawah dan menolak tidur di atas, takut kalau-kalau kakaknya bangun dan menunaikan shalat tahajjud, di mana ia berada di atas sedangkan kakaknya sedang sujud di lantai bawah. Inilah batasan tertinggi dari adab kesopanan dan pengormatan Habib Husain terhadap kakaknya.
Habib Husain pertama kali berkunjung ke Indonesia di kota Tuban. Namun di kota Tuban, tidak lama, ia kemudian pindah lagi dan banyak menetap di kota Jombang. Kedua kota ini menjadi saksi sebagai tempat tujuan para tamu dari seluruh pelosok negeri. Ia dikenal ramah dan suka menolong pada orang lain, terutama kaum fakir miskin. Bahkan tamu yang keluar masuk, siang dan malam selalu diterima dengan senyuman muka, sambutan penuh cinta dan kasih. Ia pun selalu memberi nasehat kepada mereka, oleh karenanya para tamu yang hadir ke rumahnya sangat gembira dengan penghormatan dan nasehat yang bermanfaat.
Dalam menghadapi tamu, khususnya kaum muda dan remaja, ia selalu menasehatkan agar selalu berbakti pada kedua orang tua (birul walidaian). Ia selalu menceritakan akan kedudukan dan kebesaran yang tinggi di mata Allah SWT. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,”Ridha Allah itu tergantung dari ridha orang tua dan murka Allah juga tergantung keduanya.”
Habib Husain menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW juga memberikan ancaman kepada anak-anak yang durhaka kepada kedua orangtuanya, seperti hadits.”Tiga macam dosa yang surga diharamkan oleh Allah SWT untuk dimasukinya yaitu orang yang selalu minumm khamer, orang yang durhaka kepada kedua orang tua, dan dayyuth (orang yang sengaja memelihara pelacur atau orang yang membiarkan isterinya melacur).
Daya pikir nya sangat luas. Ini terpancar dari kata-kata yang senantiasa terpancar penuh hikmah dan ilmu.
Habib Husain sangat menghormati tamu-tamunya. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya saat melayani dan menghormati tamu, menimba air untuk mengisi kamar mandi di tengah malam sebelum shalat malam, semuanya ia lakukan sendiri bahkan melarang orang lain untuk melakukan hal itu.
Ia juga sangat memperhatikan keadaan kaum muslimin dengan sungguh-sungguh. Apabila ia mendengar kabar yang menyenangkan dari mereka, ia sangat gembira. Tetapi sebaliknya, jika mendengar berita yang tidak baik dan menyusahkan, ia sangat sedih namun ia langsung mendoakanya semoga kaum muslimin dijauhkan dari bala dan bencana.
Selain itu, ia dikenal sangat memperhatikan terhadap kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini dibuktikan dengan kemauannya untuk membantu sekolah-sekolah Islam….Perasaan gembira dan senang akan timbul bila mendengar berita akan kemajuan pendidikan agama mereka, tetapi ia akan marah dan menyesal bila mereka tidak mengindahkan dan menomorsatukan pendidikan umum(duniawiyah), yang mana nantinya mereka akan menangis darah dan menyesal selamanya jika menyaksikan putra-putri mereka jauh dari agama Islam dan bahasa Arab.
Puncak ketekunan dalam beribadah adalah istiqamah dan ikhlas. Kebiasaan yang tidak pernah ia tinggalkan yaitu bangun tengah malam untuk bertahajud dan munajat kehadhirat Allah SWT.
Kejadian yang luar biasa pada seorang wali Allah, atau karamah dan yang menherankan serta mengejutkan ini juga terjadi pada Habib Husain. Walaupun ia tidak suka mengatakan dan menyebutkannya. Ia memiliki sifat kasyaf(mejyingkap hati seseorang) atas izin Allah.
Pernah terjadi pada orang yang sangat dekat dengannnya. Ketika itu sahabatnya sedang menunaikan ibadah haji dan saat melaksanakan thawaf ia terjatuh. Saat terjatuh itulah, pertolongan Allah datang, dan ia mendapati dirinya didekat Habib Husain. Setelah sadar, orang tersebut mendapati Habib Husain berada disampignya dan mengatakan bahwa dialah yang telah membantu kecelakaan itu.
Amaliyah ibadahnya, diantaranya bertafakur (merenungkan segala ciptaanAllah dengan memperhatikan segala rahasia dan keajaiban yang terkandung di dalamnya). Berdzikir, dimana lisannya tidak pernah bosan dan kering akan menyebut asma Allah. Setiap detik waktunya, selalu dimanfaatkan untuk mendekatkan diri dengan ketaatan dan ibadah. Praktis, setiap orang yang dating ke Jombang akan mendapatkan banyak faedah dari majelis taklimnya.
Habib Husain sangat disukauii oleh segenap lapisan masyarakat yang umum maupun yang khusus dengan penghormatan yang sempurna. Ia sering menasehati orang-orang kaya agar membantu kaum fakir miskin dan mengingatkan akan ancaman kepada yang bakhil dan kikir. Bagi mereka yang menuruti nasehat nya, maka majulah perdagangannya, tapi sebaliknya, bagi yang bakhil dan kikir, harta benda mereka tertimpa kemusnahan, kehancuran dan kepailitan.
Habib Husain banyak mempunyai andil dalam pembangunan masjid-masjid dan madrasah diniyah diantaranya seperti masjid Araudhoh di kota Jombang dan Madrasah Islamiyah di Gresik.
Sesungguhnya bila diamati, pada hakekatnya Habib Husain terkenal dengan akhlaq, amal perbuatan serta sifat-sifat baik beliau mengisi kehidupannya antara ibadah kepada Allah dan memberi faedah kepada hamba-hamba-Nya. Memanfaatkan waktu dan umurnya serta membelanjakan harta di jalan Allah sampai akhir hayatnya.
Habib Husain wafat pada malam ahad tanggal 21 Jumadil Tsani 1376 H di kota Jombang. Masyarakayt dari seluruh pelosok dalam dan luar kota berduyun-duyun bertakziyah, mereka dalam keadaan sedih dan kerugian yang amat besar karena harus berpisah dengan seorang wali Allah.
Jenazahnya kemudian dishalatkan dan bertindak sebagai imam adalah Habib Ahmad bin Gholib Al-Hamid dan sesuai wasiatnya, jasadnya kemudian dibawa ke kota Tegal,pada hari kedua untuk dimakamkan di dekat ayahnya. Bertindak sebagai imam shalat jenazah Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi.

Al-Habib Alwi bin Muhammad Alhaddad

Al-Habib Alwi bin Muhammad Alhaddad dilahirkan di kota Qeidun, Hadramaut, pada tahun 1299 H. Sanad keturunan beliau termasuk suatu silsilah dzahabiyyah, sambung-menyambung dari ayah yang wali ke kakek wali, demikian seterusnya sampai bertemu dengan Rasulullah SAW. Sebagaimana kebanyakan para Saadah Bani Alawi, beliau dibesarkan dan dididik oleh ayahnya sendiri Al-Habib Muhammad bin Thohir bin Umar Alhaddad.

Kakek beliau Al-Habib Thohir bin Umar Alhaddad adalah seorang ulama besar di kota Geidun, Hadramaut. Sedangkan ayah beliau adalah seorang Wali min Auliyaillah dan ulama besar yang hijrah dari kota Geidun, Hadramaut ke Indonesia dan menetap di kota Tegal. Beliau Al-Habib Thohir banyak membaca buku dibawah pengawasan dan bimbingan ayah dan kakek beliau, sehingga diberi ijazah oleh ayah dan kakeknya sebagai ahli hadist dan ahli tafsir.

Setelah digembleng oleh ayahnya, beliau lalu berguru kepada :

As-Syaikh Abdullah bin Abubakar Al-Murahim Al-Khotib (di kota Tarim)
As-Syaikh Abud Al-Amudi (di kota Geidun)

Setelah itu beliau memulai pengembaraannya di sekitar kota-kota di Hadramaut untuk menuntut ilmu dan menghiasi kemuliaan nasabnya dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Beliau keliling dari satu kota ke kota yang lain untuk mengambil ilmu dari ulama-ulama besar yang beliau jumpai. Diantara para guru yang beliau berguru kepada mereka adalah :

Al-Habib Husain bin Muhammad Albar (di Gerain)
Al-Habib Umar bin Hadun Al-Atthas (di Masyhad)
Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Atthas (di Huraidhah)
Al-Habib Muhammad bin Abdullah Al-Atthas (di Maula Amed)
Al-Habib Umar Maula Amed (di Maula Amed)
Al-Habib Abdillah bin Umar bin Sumaith (di Syibam)
Al-Habib Abdullah bin Hasan bin Shaleh Al-Bahar (di Thi Usbuh)
Al-Habib Abdullah bin Muhammad Al-Habsyi (di Hauthoh Ahmad bin Zein)
Al-Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi (di Ghurfah)
Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur (Mufti Hadramaut)
Al-Habib Idrus bin Alwi Alaydrus
Al-Habib Abdulqodir bin Ahmad Alhaddad (di Tarim)

Itulah guru-guru beliau yang ada di Hadramaut, dimana mereka semua kebanyakan adalah ulama-ulama besar dan tidak jarang pula yang termasuk Wali min Auliyaillah.

Pada suatu saat, beliau ingin sekali menunaikan ibadah Haji dan lalu berziarah ke datuk beliau termulia Rasulullah SAW. Setelah mendapat ijin dari kakek beliau Al-Habib Thohir bin Umar Alhaddad, berangkatlah beliau menuju ke kota Makkah dan Madinah. Setelah beliau menunaikan keinginannya, timbullah niat beliau untuk belajar dari para ulama besar yang ada di dua kota suci tersebut. Lalu beliau menuntut ilmu disana dengan berguru kepada :

As-Syaikh Said Babshail
As-Syaikh Umar bin Abubakar Junaid
Al-Habib Husin bin Muhammad Al-Habsyi (Mufti Syafi’iyah pada masa itu)

Setelah dirasa cukup menuntut ilmu disana, timbullah keinginan beliau untuk berhijrah ke Indonesia, sebagaimana yang dilakukan sebelumnya oleh ayah beliau Al-Habib Muhammad. Sesampailah beliau di Indonesia, beliau lalu berziarah ke makam ayah beliau Al-Habib Muhammad bin Thohir Alhaddad yang wafat di kota Tegal, Jawa Tengah, pada tahun 1316 H.

Keinginan beliau untuk selalu menuntut ilmu seakan tak pernah luntur dan pupus terbawa jaman. Inilah salah satu kebiasaan beliau untuk selalu mencari dan mencari ilmu dimanapun beliau berada. Tidaklah yang demikian itu, kecuali beliau mencontoh para Datuk beliau yang gemar menuntut ilmu, sehingga mereka bisa menjadi ulama-ulama besar. Diantara para guru beliau yang ada di Indonesia adalah :

Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (di Surabaya)
Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhor (di Surabaya, yang kemudian beliau dikawinkan dengan anaknya)
Al-Habib Abdullah bin Muhsin Al-Atthas (di Bogor)
Al-Habib Salim bin Alwi Al-Jufri (menetap di Menado)
Al-Habib Idrus bin Husin bin Ahmad Alaydrus (wafat di India dalam dakwahnya)

Di Indonesia, beliau memilih untuk menetap di kota Bogor. Disana beliau berdakwah dan menyebarkan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Beliau dikenal sebagai seorang ulama besar dan ahli hadits. Di kota Bogor beliau banyak mengadakan majlis-majlis taklim dan mengajarkan tentang Al-Islam. Sampai akhirnya beliau dipanggil oleh Allah menuju ke haribaan-Nya. Beliau wafat di kota Bogor tahun 1373 H dan dimakamkan di Empang, Bogor.

Seorang ulama besar telah berpulang, namun jejak-jejak langkah beliau masih terkenang. Nama baik beliau selalu tersimpan dalam hati para pecintanya…dalam hati yang paling dalam, menyinari kehidupan suram nan kelam…

Radhiyallahu anhu wa ardhah…

Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang)

Beliau adalah Habib ‘Ali bin ‘Abdur Rahman bin ‘Abdullah bin Muhammad al-Habsyi. Lahir di Kwitang, Jakarta, pada 20 Jamadil Awwal 1286H / 20 April 1870M. Ayahanda beliau adalah Habib ‘Abdur Rahman al-Habsyi seorang ulama dan daie yang hidup zuhud, manakala bonda beliau seorang wanita sholehah bernama Nyai Hajjah Salmah puteri seorang ulama Betawi dari Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur.

Adapun kakeknya, Habib Abdullah bin Muhammad Al-Habsyi, dilahirkan di Pontianak, Kalimantan Barat. Dia menikah di Semarang. Dalam pelayaran kembali ke Pontianak, ia wafat, karena kapalnya karam. Adapun Habib Muhammad Al-Habsyi, kakek buyut Habib Ali Kwitang, datang dari Hadramaut lalu bermukim di Pontianak dan mendirikan Kesultanan Hasyimiah dengan para sultan dari klan Algadri.

Habib ‘Abdur Rahman ditakdirkan menemui Penciptanya sebelum sempat melihat anaknya dewasa. Beliau meninggal dunia sewaktu Habib ‘Ali masih kecil. Sebelum wafat, Habib ‘Abdur Rahman berwasiat agar anaknya Habib ‘Ali dihantar ke Hadhramaut untuk mendalami ilmunya dengan para ulama di sana. Tatkala berusia lebih kurang 11 tahun, berangkatlah Habib ‘Ali ke Hadhramaut. Tempat pertama yang ditujunya ialah ke rubath Habib ‘Abdur Rahman bin ‘Alwi al-’Aydrus. Di sana beliau menekuni belajar dengan para ulamanya, antara yang menjadi gurunya ialah Shohibul Mawlid Habib ‘Ali bin Muhammad al-Habsyi, Habib Hasan bin Ahmad al-’Aydrus, Habib Zain bin ‘Alwi Ba’Abud, Habib Ahmad bin Hasan al-’Aththas dan Syaikh Hasan bin ‘Awadh. Beliau juga berkesempatan ke al-Haramain dan meneguk ilmu daripada ulama di sana, antara gurunya di sana adalah Habib Muhammad bin Husain al-Habsyi (Mufti Makkah), Sayyidi Abu Bakar al-Bakri Syatha ad-Dimyati, (pengarang I’aanathuth Thoolibiin yang masyhur) Syaikh Muhammad Said Babsail, Syaikh ‘Umar Hamdan dan ramai lagi.

Ia dikenal sebagai penggerak pertama Majelis Taklim di Tanah Betawi. Majelis taklim yang digelar di Kwitang, Jakarta Pusat, merupakan perintis berdirinya majelis taklim-majelis taklim di seluruh tanah air.
Majelis taklim Habib Ali di Kwitang merupakan majelis taklim pertama di Jakarta. Sebelumnya, boleh dibilang tidak ada orang yang berani membuka majelis taklim. Karena selalu dibayang-bayangi dan dibatasi oleh pemerintah kolonial, Belanda.

Setiap Minggu pagi kawasan Kwitang didatangi oleh puluhan ribu jamaah dari berbagai pelosok, tidak hanya dari Jakarta, saja namun juga dari Depok, Bogor Sukabumi dan lain-lain. Bagi orang Betawi, menyebut Kwitang pasti akan teringat dengan salah satu habib kharismatik Betawi dan sering disebut-sebut sebagai perintis majelis Taklim di Jakarta, tiada lain adalah Habib Ali bin Abdurrahman bin Abdullah Al-Habsyi atau yang kerap disapa dengan panggilan Habib Ali Kwitang.

Menurut beberapa habib dan kiai, majelis taklim Habib Ali Kwitang akan bertahan lebih dari satu abad. Karena ajaran Islam yang disuguhkan berlandaskan tauhid, kemurnian iman, solidaritas sosial, dan nilai-nilai keluhuran budi atau akhlakul karimah. Habib Ali, kata mereka, mengajarkan latihan kebersihan jiwa melalui tasawuf. Dia tidak pernah mengajarkan kebencian, hasad, dengki, gibah, ataupun fitnah. Sebaliknya, almarhum mengembangkan tradisi ahlulbait, yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, menghormati hak setiap manusia tanpa membedakan status sosial.

Dua tahun setelah sang ayah wafat, Habib Ali Kwitang yang saat itu masih berusia 11 tahun, berangkat belajar ke Hadramaut. – sesuai wasiat ayahandanya yang kala itu sudah wafat. Tempat pertama yang dituju adalah rubath Habib Abdurrahman bin Alwi Alaydrus. Di majelis mulia itu ia juga membaca kitab kepada Habib Hsan bin Ahmad Alaydrus, Habib Zen bin Alwi Ba’abud dan Syekh Hasan bin Awadh bin Makhdzam.

Di antara para gurunya yang lain di Hadramaut yaitu Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (penyusun Simthud Durar), Habib Ahmad bin Hasan Alatas (Huraidah), dan Habib Ahmad bin Muhsin Al-Hadar (Bangil). Selama 4 tahun, Habib Ali Kwitang tinggal di sana, lalu pada tahun 1303 H/1886 M ia pulang ke Betawi.

Pulang dari Hadramaut , ia belajar kepada Habib Utsman bin Yahya (mufti Batavia), Habib Husein bin Muhsin Alatas (Kramat, Bogor), Habib Alwi bin Abdurrahman Al-Masyhur, Habib Umar bin Idrus Alaydrus, Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Aththas (Pekalongan), Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhor (Bondowoso).

Ketika terjadi perang di Tripoli Barat (Libya), Habib Utsman menyuruh Habib Ali Kwitang untuk berpidato di masjid Jami’ dalam rangka meminta pertolongan pada kaum muslimin agar membantu umat Islam yang menderita di Tripoli. Padahal pada waktu itu, Habib Ali Kwitang belum terbiasa tampil di podium. Tapi, dengan tampil di podium atas suruhan Habib Utsman, sejak saat itu lidahnya fasih dalam memberikan nasehat dan kemudian ia menjadi dai.

Setelah itu, ia pergi ke Kota Pekalongan untuk berkunjung kepada Habib Ahmad bin Abdullah Al-Aththas. Saat itu hari Jum’at, selepas shalat Jum’at, Habib Ahmad menggandeng tangan Habib Ali dan menaikannya ke mimbar. Habib Ali lalu berkata pada Habib Ahmad, ”Saya tidak bisa berbicara bila antum berada di antara mereka.” Habib Ahmad lalu berkata kepadanya, ”Bicaralah menurut lidah orang lain”(seolah-olah engkau orang lain).

Ia mulai melaksanakan maulid akhir Kamis bulan Rabiul Awwal setelah wafatnya Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi sejak tahun 1338 H/1920 M sampai 1355 H/1937 M di madrasah Jamiat Kheir. Kemudian pada tahun 1356 H/1938 M ia membangun masjid di Kwitang yang dinamakan masjid Ar-Riyadh. Lalu maulid dipindahkan ke masjid tersebut pada tahun 1356 H. Ia mengusahakan pada kawan-kawan dari keluarga Al-Kaf agar mewakafkan tanah masjid itu, sampai ia menulis surat kepada Sayyid Abubakar bin Ali bin Abubakar Shahabuddin agar berangkat ke Hadramaut untuk berbicara dengan mereka. Setelah Sayyid Abubakar bernegosiasi, akhirnya masjid itu diwakafkan, sehingga tanah itu sampai sekarang tercatat sebagai wakaf pada pemerintah Hindia Belanda.

Ukuran tanah masjid itu adalah seribu meter persegi. Habib Ali Habsyi juga membangun madrasah yang dinamakan unwanul Falah di samping masjid tersebut yang tanahnya sekitar 1500 meter persegi dan membayar sewa tanah sebesar 25 rupiah setiap bulan. Kesimpulannya, pekerjaan-pekerjaan dan perbuatan-perbuatannya mengherankan orang yang mau berfikir. Shalatnya sebagian besar dilakukannya di masjid tersebut.

Habib Ali menunaikan haji 3 kali. Pertama tahun 1311 H/1894 M di masa Syarif Aun, kedua tahun 1343 H/1925 M di masa Syarif Husein, dan ketiga tahun 1354 H/1936 M di masa Ibnu Saud dan pergi ke Madinah 2 kali.

Habib Ali sebagaimana para habaib lainnya juga suka melakukan surat menyurat dengan para ulama dan orang-orang sholeh serta meminta ijazah dari mereka. Dan para ulama yang disuratinya pun dengan senang hati memenuhi permintaan Habib Ali karena kebenaran niat dan kebagusan hatinya. Ia memiliki kumpulan surat menyurat yang dijaga dan dinukilkan (dituliskan ) kembali.

Sayyid Abubakar bin Ali bin Abubakar Shahabuddin dalam Rikhlatu Asfar menyebutkan perasaan kecintaan dan persahabatan yang sangat erat. Dalam catatan perjalanan itu, Sayyid Abubakar mencatat saat-saat perjalanan (rikhlah) mereka berdua ke berbagai daerah seperti ke Jawa, Singapura dan Palembang.”Saya juga menghadiri pelajaran-pelajarannya dan shalat Tarawih di masjid. Tidak ada yang menghadalangi saya kecuali udzur syar’i (halangan yang diperbolehkan oleh syariat).”

Pada salah satu surat Sayyid Abubakar ketika Habib Ali Kwitang di Hadramaut, menyebutkan, “Perasaan rindu saya kepadamu sangat besar. Mudah-mudahan Allah mempertemukan saya dan engkau di tempat yang paling disukai oleh-Nya.”

Ternyata setelah itu, mereka berdua dipertemukan oleh Allah di Makkah Al-Musyarrafah. Keduanya sangat bahagia dan belajar di Mekah, mengurus madrasah dan majelis taklimnya diserahkan kepada menantunya, Habib Husein bin Muhammad Alfaqih Alatas. Di Mekah ia mendapat ijazah untuk menyelenggarakan Maulud Azabi, karya Syekh Umar Al-Azabi, putra Syekh Muhammad bin Muhammad Al-Azabi.

Setelah Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, penyusun Simthud Durar, wafat pada 1913, pembacaan Maulid Simthud Durar pertama kali digelar di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, di majelis taklim yang diasuh Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi. Belakangan Maulid Simthud Durar dibaca di majelis taklim di Tegal, Jawa Tengah, kemudian di Bogor, selama beberapa tahun, lalu di Masjid Ampel, Surabaya.

Tahun 1919, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, pelopor peringatan Maulid dengan membaca Simthud Durar, wafat di Jatiwangi. Sebelum wafat ia berpesan kepada Habib Ali Al-Habsyi agar melanjutkannya. Maka sejak 1920 Habib Ali Kwitang mulai menggelar Maulid dengan membaca Simthud Durar di Tanah Abang. Ketika Ar-Rabithah Al-Alawiyah berdiri, perkumpulan itu mendukung Maulid tersebut. Dan sejak 1937 acara Maulid diselenggarakan di Masjid Kwitang – yang kemudian disiarkan secara khusus oleh RRI Studio Jakarta.

Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi wafat 23 Oktober 1968 dalam usia 102 tahun. Ketika itu, TVRI menjadi satu-satunya stasiun televisi yang menyiarkan berita duka cita. Ribuan orang berbondong-bondong melakukan takziah ke kediamannya di Kwitang, Jakarta Pusat, yang sekaligus menjadi majelis taklim tempat ia mengajar.

Sejumlah menteri dan pejabat tinggi negara berdatangan memberikan penghormatan terakhir. Sejumlah murid almarhum dari seluruh Jawa, bahkan seluruh Indonesia dan luar negeri, juga datang bertakziah. Sebelum jenazah di makamkan di Masjid Ar-Riyadh, yang dipimpinnya sejak ia muda, Habib Salim bin Jindan, yang sering berdakwah bersama almarhum, membaiat Habib Muhammad, putra almarhum, sebagai penerusnya. Ia berpesan agar meneruskan perjuangan almarhum dan memegang teguh akidah Alawiyin.

Ada kisah menarik sebelum almarhum wafat. Suatu hari, ia minta tiga orang kiai kondang asal Jakarta maju ke hadapannya. Mereka adalah K.H. Abdullah Syafi’i, K.H. Thahir Rohili, dan K.H. Fathullah Harun. Habib Ali mempersaudarakan mereka dengan putranya, Habib Muhammad. Dalam peristiwa mengharukan yang disaksikan ribuan jemaah itu, Habib Ali berharap, keempat ulama yang dipersaudarakan itu terus mengumandangkan dakwah Islam.

Harapan Habib Ali menjadi kenyataan. Habib Muhammad meneruskan tugas ayahandanya memimpin majelis taklim Kwitang selama 26 tahun. K.H. Abdullah Syafi’i, sejak 1971 hingga 1985, memimpin Majelis Taklim Asy-Syafi’iyah, dan K.H. Thahir Rohili memimpin Majelis Taklim Ath-Thahiriyah. Sedangkan K.H. Fathullah Harun belakangan menjadi ulama terkenal di Malaysia.

Tidak mengherankan jika ketiga majelis taklim tersebut menjadikan kitab An-Nasaih ad-Diniyyah, karya Habib Abdullah Alhadad, seorang sufi dari Hadramaut, penyusun Ratib Hadad, sebagai pegangan. Sebab, kitab itu juga menjadi rujukan Habib Ali Kwitang.

Betapa erat hubungan antara ulama Betawi dan para habaib, dapat kita simak dari pernyataan (alm) K.H. M. Syafi’i Hadzami tentang dua gurunya, Habib Ali Al-Habsyi dan Habib Ali Alatas (wafat 1976). “Sampai saat ini, bila lewat Cililitan dan Condet (dekat Masjid Al-Hawi), saya tak lupa membaca surah Al-Fatihah untuk Habib Ali Alatas,” katanya.

Supaya dekat dengan rumah Habib Ali, gurunya yang tinggal di Bungur, Kiai Syaf’i Hadzami pindah dari Kebon Sirih ke Kepu, Tanah Tinggi. Ia juga tak pernah mangkir menghadiri majelis taklim Habib Ali di Kwitang, Jakarta Pusat. Ketika ia minta rekomendasi untuk karyanya, Al-Hujujul Bayyinah, Habib Ali bukan saja memujinya, tapi juga menghadiahkan sebuah Al-Quran, tasbih, dan uang Rp 5.000. Kala itu, nilai uang Rp 5.000 tentu cukup tinggi.

Demikianlah akhlaq para orangtua kita, akhlaq yang begitu indah antara murid dan guru. Kala itu para habib bergaul erat dan tolong-menolong dengan para ulama Betawi. Akhlaq yang sangat patut kita teladani sebagai generasi penerusnya.

Habib Muhammad bin Ahmad Al Muhdhor

Ulama Bondowoso kelahiran Hadro maut merupakan sosok ulama karismatik yang menjadi panutan masyarakat serta rujukan ilmu dari para ulama. Putra dari seorang ulama besar lahir di desa Quwairoh Hadro maut sekitar tahun 1280 H atau 1859 M. Ayah beliau bernama Habib Ahmad bin Muhammad al muhdhar seorang ulama besar di hadro maut. sejak kecil habib Muhammad bin Ahmad Al muhdhor menuntut ilmu dari ayahnya, kecerdasan dan penguasaan materi yang di berikan Ayahnya membuat Ayahnya merasa bangga terhadap putranya. Menginjak Remaja Habib Muhammad Muhdhor belajar kepada seorang Ulama dan Waliyulloh bernama Habib Ahmad bin Hasan Al athos. Gurunya walaupun buta namun mampu melihat dengan pandangan Batiniyyah yang telah dikaruniakan Alloh SWt.

Sewaktu Gurunya Habib Ahmad bin Hasan Al athos pergi ke suatu daerah untuk berdakwah , beliau mengajak Muridnya Habib Muhammad Al muhdhor untuk menemaninya. Mereka menunggang kuda bersebelahan, dalam perjalanan Habib Muhammad minta izin gurunya untuk membacakan Kitab Al Muhadzdzab karya Imam Abu Ishak. Dan sepanjang Perjalanan Habib Muhammad Al Muhdhor membaca Kitab Muhadzdzab sedangkan gurunya menyimak bacaan Muridnya sampai khatam. Selesai menghatamkan Kitab Muhadzadzab gurunyapun mendo’akan habib Muhammad al muhdhor .

Tahun 1886 M Habib Ahmad Al muhdhor ayah Habib Muhmmad al muhdhor meninggal dunia , Orang yang selama ini menjadi sugesti dan tempat mengadu telah dipanggil Alloh SWt. Setelah itu pula habib Muhammad al muhdhor mulai melakukan ritual Dakwahnya ke berbagai daerah. Gaya bahasa dan tutur kata yang lembut mampu meluluhkan hati setiap orang. Setiap kali daerah yang dikunjungi nya selalu ramai orang berbondong -bondong mengelilinginya untuk belajar kepadanya.
Setelah sekian lama melakukan ritual dakwahnya kebebagai daerah hingga akhirnya Beliau menetap di Bondowoso Jawa timur. Keharuman namanya serta kedalaman ilmu yang dimiliki mampu membuat simpatik masyarakat serta para ulama dari berbagai daerah Ditanah air. Salah seorang ulama Surabaya Habib Muhammad bin Idrus Al Habsyi sangat mengagumi habib Muhammad Al Muhdor hingga Menikahkan dengan salah seorang putrinya. Mertua dan Menantu yang memang seorang ulama bahu membahu untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar kepada masyarakat, pendirian Madrasah Al Khaeiriyyah Surabaya dan darul Aitam Jakarta adalah juga merupakan usaha dari Habib Muhammad Muhdhor untuk mengajak para Donatur menyisihkan hartanya membangun tempat tersebut.

Majlisnya tak pernah sepi dari para Muhiibin yang menghadirinya , kepedulian Habib Muhammad al muhdhor terhadap ilmu sangat besar maka tak heran bila beliau mendapat tempat tersendiri di hati para ulama . tak jarang beliau menghabiskan waktunya untuk menelaah kitab -kitab dan mengajarkannya kepada umat. Perhatian beliau terhadap umatpun sangat besar, tak segan segan Habib Muhammad membantu kesulitan umat baik berupa materi mapun imateril. Begitupun terhadap tamu yang berkunjung ke rumahnya, beliau akan sambut tamu tersebut di depan pintu dengan senyumnya yang bersahaja, maka tak jarang para tamu yang berkunjung kerumahnya untuk datang kembali karena keramah tamahan yang dimilki Habib Muhammad Al muhdhor.
Tanggal 4 may 1926 Habib Muhammad al muhdhor Wafat setelah beberapa hari di rawat di Rumah sakit di surabaya, beliau meninggalkan 5 orang putra dan 3 anak perempuan. Masyarakat dan para ulama baik dari Ahli bait maupun ahwal merasa sangat kehilangan sosok ulama yang sangat perduli dengan umat. Beliau dimaqomkan disamping maqom mertuanya Habib muhammad al habsy.
sumber : http://pondokhabib.wordpress.com

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons