Blog ini ditujukan kepada seluruh ummat Islam yang cinta kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Para Sahabat RA, Auliya', Habaib, Ulama', dan sejarah kebudayaan Islam.

Kamis, 19 Agustus 2010

Al-Habib ‘Umar bin Hafidz

Al-Imam Al-’Arifbillah Al-Musnid Al-Hafizh Al-Mufassir Al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidh. Beliau adalah al-Habib ‘Umar putera dari Muhammad putera dari Salim putera dari Hafiz putera dari Abd-Allah putera dari Abi Bakr putera dari‘Aidarous putera dari al-Hussain putera dari al-Shaikh Abi Bakr putera dari Salim putera dari ‘Abd-Allah putera dari ‘Abd-al-Rahman putera dari ‘Abd-Allah putera dari al-Shaikh ‘Abd-al-Rahman al-Saqqaf putera dari Muhammad Maula al-Daweela putera dari ‘Ali putera dari ‘Alawi putera dari al-Faqih al-Muqaddam Muhammad putera dari ‘Ali putera dari Muhammad Sahib al-Mirbat putera dari ‘Ali Khali‘ Qasam putera dari ‘Alawi putera dari Muhammad putera dari ‘Alawi putera dari ‘Ubaidallah putera dari al-Imam al-Muhajir to Allah Ahmad putera dari ‘Isa putera dari Muhammad putera dari ‘Ali al-‘Uraidi putera dari Ja’far al-Sadiq putera dari Muhammad al-Baqir putera dari ‘Ali Zain al-‘Abidin putera dari Hussain sang cucu laki-laki, putera dari pasangan ‘Ali putera dari Abu Talib dan Fatimah al-Zahra puteri dari Rasul Muhammad s.a.w.

Beliau terlahir di Tarim, Hadramaut, salah satu kota tertua di Yaman yang menjadi sangat terkenal di seluruh dunia dengan berlimpahnya para ilmuwan dan para alim ulama yang dihasilkan kota ini selama berabad-abad. Beliau dibesarkan di dalam keluarga yang memiliki tradisi keilmuan Islam dan kejujuran moral dengan ayahnya yang adalah seorang pejuang martir yang terkenal, Sang Intelektual, Sang Da’i Besar, Muhammad bin Salim bin Hafiz bin Shaikh Abu Bakr bin Salim. Ayahnya adalah salah seorang ulama intelektual Islam yang mengabdikan hidup mereka demi penyebaran agama Islam dan pengajaran Hukum Suci serta aturan-aturan mulia dalam Islam. Beliau secara tragis diculik oleh kelompok komunis dan diperkirakan telah meninggal, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya. Demikian pula kedua kakek beliau, al-Habib Salim bin Hafiz dan al-Habib Hafiz bin Abd-Allah yang merupakan para intelektual Islam yang sangat dihormati kaum ulama dan intelektual Muslim pada masanya. Allah seakan menyiapkan kondisi-kondisi yang sesuai bagi al-Habib ‘Umar dalam hal hubungannya dengan para intelektual muslim disekitarnya serta kemuliaan yang muncul dari keluarganya sendiri dan dari lingkungan serta masyarakat dimana ia dibesarkan.

Beliau telah mampu menghafal Al Qur’an pada usia yang sangat muda dan ia juga menghafal berbagai teks inti dalam fiqh, hadith, Bahasa Arab dan berbagai ilmu-ilmu keagamaan yang membuatnya termasuk dalam lingkaran keilmuan yang dipegang teguh oleh begitu banyaknya ulama-ulama tradisional seperti Muhammad bin ‘Alawi bin Shihab dan al-Shaikh Fadl Baa Fadl serta para ulama lain yang mengajar di Ribat, Tarim yang terkenal itu. Maka beliau pun mempelajari berbagai ilmu termasuk ilmu-ilmu spiritual keagamaan dari ayahnya yang meninggal syahid, al-Habib Muhammad bin Salim, yang darinya didapatkan cinta dan perhatiannya yang mendalam pada da’wah dan bimbingan atau tuntunan keagamaan dengan cara Allah s.w.t. Ayahnya begitu memperhatikan sang ‘Umar kecil yang selalu berada di sisi ayahnya di dalam lingkaran ilmu dan dhikr.

Namun secara tragis, ketika al-Habib ‘Umar sedang menemani ayahnya untuk sholat Jum‘ah, ayahnya diculik oleh golongan komunis, dan sang ‘Umar kecil sendirian pulang ke rumahnya dengan masih membawa syal milik ayahnya, dan sejak saat itu ayahnya tidak pernah terlihat lagi. Ini menyebabkan ‘Umar muda menganggap bahwa tanggung jawab untuk meneruskan pekerjaan yang dilakukan ayahnya dalam bidang Da‘wah sama seperti seakan-akan syal sang ayah menjadi bendera yang diberikan padanya di masa kecil sebelum beliau mati syahid. Sejak itu, dengan sang bendera dikibarkannya tinggi-tinggi, ia memulai, secara bersemangat, perjalanan penuh perjuangan, mengumpulkan orang-orang, membentuk Majelis-majelis dan da’wah. Perjuangan dan usahanya yang keras demi melanjutkan pekerjaan ayahnya mulai membuahkan hasil. Kelas-kelas mulai dibuka bagi anak muda maupun orang tua di mesjid-mesjid setempat dimana ditawarkan berbagai kesempatan untuk menghafal Al Qur’an dan untuk belajar ilmu-ilmu tradisional.

Ia sesungguhnya telah benar-benar memahami Kitab Suci sehingga ia telah diberikan sesuatu yang khusus dari Allah meskipun usianya masih muda. Namun hal ini mulai mengakibatkan kekhawatiran akan keselamatannya dan akhirnya diputuskan beliau dikirim ke kota al-Bayda’ yang terletak di tempat yang disebut Yaman Utara yang menjadikannya jauh dari jangkauan mereka yang ingin mencelakai sang sayyid muda.

Disana dimulai babak penting baru dalam perkembangan beliau. Masuk sekolah Ribat di al-Bayda’ ia mulai belajar ilmu-ilmu tradisional dibawah bimbingan ahli dari yang Mulia al-Habib Muhammad bin ‘Abd-Allah al-Haddar, semoga Allah mengampuninya, dan juga dibawah bimbingan ulama mazhab Shafi‘i al-Habib Zain bin Sumait, semoga Allah melindunginya. Janji beliau terpenuhi ketika akhirnya ia ditunjuk sebagai seorang guru tak lama sesudahnya. Ia juga terus melanjutkan perjuangannya yang melelahkan dalam bidang Da‘wah.

Kali ini tempatnya adalah al-Bayda’ dan kota-kota serta desa-desa disekitarnya. Tiada satu pun yang terlewat dalam usahanya untuk mengenalkan kembali cinta kasih Allah dan Rasul-Nya s.a.w pada hati mereka seluruhnya. Kelas-kelas dan majelis didirikan, pengajaran dimulai dan orang-orang dibimbing. Usaha beliau yang demikian gigih menyebabkannya kekurangan tidur dan istirahat mulai menunjukkan hasil yang besar bagi mereka tersentuh dengan ajarannya, terutama para pemuda yang sebelumnya telah terjerumus dalam kehidupan yang kosong dan dangkal, namun kini telah mengalami perubahan mendalam hingga mereka sadar bahwa hidup memiliki tujuan, mereka bangga dengan indentitas baru mereka sebagai orang Islam, mengenakan sorban/selendang Islam dan mulai memusatkan perhatian mereka untuk meraih sifat-sifat luhur dan mulia dari Sang Rasul Pesuruh Allah s.a.w.

Sejak saat itu, sekelompok besar orang-orang yang telah dipengaruhi beliau mulai berkumpul mengelilingi beliau dan membantunya dalam perjuangan da‘wah maupun keteguhan beliau dalam mengajar di berbagai kota besar maupun kecil di Yaman Utara. Pada masa ini, beliau mulai mengunjungi banyak kota-kota maupun masyarakat diseluruh Yaman, mulai dari kota Ta’iz di utara, untuk belajar ilmu dari mufti Ta‘iz al-Habib Ibrahim bin Aqil bin Yahya yang mulai menunjukkan pada beliau perhatian dan cinta yang besar sebagaimana ia mendapatkan perlakuan yang sama dari Shaikh al-Habib Muhammad al-Haddar sehingga ia memberikan puterinya untuk dinikahi setelah menyaksikan bahwa dalam diri beliau terdapat sifat-sifat kejujuran dan kepintaran yang agung.

Tak lama setelah itu, beliau melakukan perjalanan melelahkan demi melakukan ibadah Haji di Mekkah dan untuk mengunjungi makam Rasul s.a.w di Madinah. Dalam perjalanannya ke Hijaz, beliau diberkahi kesempatan untuk mempelajari beberapa kitab dari para ulama terkenal disana, terutama dari al-Habib ‘Abdul Qadir bin Ahmad al-Saqqaf yang menyaksikan bahwa di dalam diri ‘Umar muda, terdapat semangat pemuda yang penuh cinta kepada Allah dan Rasul-Nya s.a.w dan sungguh-sungguh tenggelam dalam penyebaran ilmu dan keadilan terhadap sesama umat manusia sehingga beliau dicintai al-Habib Abdul Qadir salah seorang guru besarnya. Begitu pula beliau diberkahi untuk menerima ilmu dan bimbingan dari kedua pilar keadilan di Hijaz, yakni al-Habib Ahmed Mashur al-Haddad dan al-Habib ‘Attas al-Habashi.

Sejak itulah nama al-Habib Umar bin Hafiz mulai tersebar luas terutama dikarenakan kegigihan usaha beliau dalam menyerukan agama Islam dan memperbaharui ajaran-ajaran awal yang tradisional. Namun kepopuleran dan ketenaran yang besar ini tidak sedikitpun mengurangi usaha pengajaran beliau, bahkan sebaliknya, ini menjadikannya mendapatkan sumber tambahan dimana tujuan-tujuan mulia lainnya dapat dipertahankan. Tiada waktu yang terbuang sia-sia, setiap saat dipenuhi dengan mengingat Allah dalam berbagai manifestasinya, dan dalam berbagai situasi dan lokasi yang berbeda. Perhatiannya yang mendalam terhadap membangun keimanan terutama pada mereka yang berada didekatnya, telah menjadi salah satu dari perilaku beliau yang paling terlihat jelas sehingga membuat nama beliau tersebar luas bahkan hingga sampai ke Dunia Baru.

Negara Oman akan menjadi fase berikutnya dalam pergerakan menuju pembaharuan abad ke-15. Setelah menyambut baik undangan dari sekelompok Muslim yang memiliki hasrat dan keinginan menggebu untuk menerima manfaat dari ajarannya, beliau meninggalkan tanah kelahirannya dan tidak kembali hingga beberapa tahun kemudian. Bibit-bibit pengajaran dan kemuliaan juga ditanamkan di kota Shihr di Yaman timur, kota pertama yang disinggahinya ketika kembali ke Hadramaut, Yaman. Disana ajaran-ajaran beliau mulai tertanam dan diabadikan dengan pembangunan Ribat al-Mustafa. Ini merupakan titik balik utama dan dapat memberi tanda lebih dari satu jalan, dalam hal melengkapi aspek teoritis dari usaha ini dan menciptakan bukti-bukti kongkrit yang dapat mewakili pengajaran-pengajaran di masa depan.

Kepulangannya ke Tarim menjadi tanda sebuah perubahan mendasar dari tahun-tahun yang ia habiskan untuk belajar, mengajar, membangun mental agamis orang-orang disekelilingnya, menyebarkan seruan dan menyerukan yang benar serta melarang yang salah. Dar-al-Mustafa menjadi hadiah beliau bagi dunia, dan di pesantren itu pulalah dunia diserukan. Dalam waktu yang dapat dikatakan demikian singkat, penduduk Tarim akan menyaksikan berkumpulnya pada murid dari berbagai daerah yang jauh bersatu di satu kota yang hampir terlupakan ketika masih dikuasai para pembangkang komunis. Murid-murid dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Kepulauan Comoro, Tanzania, Kenya, Mesir, Inggris, Pakistan, Amerika Serikat dan Kanada, juga negara-negara Arab lain dan negara bagian di Arab akan diawasi secara langsung oleh Habib Umar. Mereka ini akan menjadi perwakilan dan penerus dari apa yang kini telah menjadi perjuangan asli demi memperbaharui ajaran Islam tradisional di abad ke-15 setelah hari kebangkitan. Berdirinya berbagai institusi Islami serupa di Yaman dan di negara-negara lain dibawah manajemen al-Habib Umar akan menjadi sebuah tonggak utama dalam penyebaran Ilmu dan perilaku mulia serta menyediakan kesempatan bagi orang-orang awam yang kesempatan tersebut dahulunya telah dirampas dari mereka.

Habib ‘Umar kini tinggal di Tarim, Yaman dimana beliau mengawasi perkembangan di Dar al-Mustafa dan berbagai sekolah lain yang telah dibangun dibawah manajemen beliau. Beliau masih memegang peran aktif dalam penyebaran agama Islam, sedemikian aktifnya sehingga beliau meluangkan hampir sepanjang tahunnya mengunjungi berbagai negara di seluruh dunia demi melakukan kegiatan-kegiatan mulianya.

Sumber: http://hotarticle.org/al-habib-umar-bin-hafiz/

KH. MANSHOER ANWAR

Hadrotus Syekh KH. Manshoer Anwar dilahirkan pada tanggal 20 Sya’ban 1325 H / 1907 M. Di dusun Paculgowang Diwek Jombang. Ketika itu ayahandanya Al Maghfurlah KH. Anwar Alwi telah mengasuh pondok pesantren. Kelahiran beliau di tengah-tengah keluarganya disambut dengan rasa syukur kehadirat Allah S.W.T. yang telah menganugrahkan seorang bayi yang mungil dan lucu yang kemudian diberi nama Abdul Barr. Beliau adalah putera keempat dari pasangan KH. Anwar Alwi dengan Nyai Hj. Khodijah yang berjumlah dua belas :
1. Noer 7. Azizah
2. Mabrur 8. Rumanah
3. Abdul Halim 9. Bariyyah/Robi’ah
4. Abdul Barr 10. Amjad
5. Afifah 11. ‘Alie
6. As’ad/KH. Mahfudz 12. Abdullah

Masa Kanak-kanak
Sebagaimana lazimnya orang-orang yang akan menjadi pemimpin dimasa yang akan datang, Manshoer kecilpun sudah menampakan keistimewahan pada dirinya. Hingga pada hal-hal yang sebenarnya tidak diterima oleh akal secara wajar, dan hal itu pernah terjadi pada beliau ketika berumur lima tahun.
Konon, beliau sedang bermain di bawah pohon kelapa di belakang di belakang rumah. Ketika beliau sedang asyik bermain, tiba-tiba sebuah kelapa jatuh menimpa kepalanya dari ketinggian kira-kira lima belas meter, tetapi anehnya beliau tidak terluka sedikitpun dikepala. Namun hanya tidak sadarkan diri, dalam sekejap kemudian beliau pulih kembali seperti semula. Padahal jelas peristiwa itu tidak masuk akal kalau kepala manusia ditimpa sebuah kelapa dengan ketinggian tersebut tidak mengalami luka sedikitpun. Kejadian aneh yang lain yang pernah terjadi pada beliau, ketika beliau terperosok kedalam kubangan kapur gamping yang dalam keadaan mendidih. Dan beliau tidak juga mengalami luka sedikitpun. Peristiwa ini jelaslah pertolongan Allah S.W.T. yang menghendaki pada salah seorang hambanya, yang akan menjadi panutan serta teladan bagi umat islam dalam masyarakat sekitarnya.
Demikian kejadian-kejadian aneh yang menimpa beliau dimasa kanak-kanak, yang beliau lalui dengan tabah meski penuh penderitaan yang jarang dialami oleh anak-anak kecil waktu itu. Walau begitu beliau sangat tekun memperdalam ilmu pengetahuan dibawah asuhan ayahandanya. Hari demi hari yang beliau lalui semata untuk belajar dan patuh pada orangtua.

Belajar Di Tanah Suci
Pada awalnya keberangkatan KH. Manshoer ke Tanah Suci dengan maksud menunaikan rukun islam yang kelima, yaitu ibadah haji bersama orangtuanya. Tetapi karena waktu itu beliau masih berumur empat belas tahun, maka oleh kedua orangtuanya beliau dititipkan kepada KH. Baidlowi, salah seorang menantu KH. Hasyim Asy’ari yang bermukim di Makkah. Sementara orangtuanya kembali ke Tanah Air.
Selama kurang lebih empat tahun dibawah asuhan dan bimbingan KH. Baidlowi, beliau hendak dikirim ke Mesir untuk meneruskan jenjang pendidikannya di Universitas Al Azhar Kairo. Pada saat itu terjadi perebutab kekuasaan di Tanah Suci antara Syarief Husein dan Ibnu Sa’ud. Maka atas anjuran KH. Baidlowi, beliau yang sudah bergelar haji segera mengirim surat kepada orangtuanya untuk mengutarakan niat dan anjuran KH. Baidlowi, akan tetapi dalam surat balasannya, orangtuanya menghendaki beliau pulang saja dan melanjutkan pendidikannya di Tabah Air. Setelah mengerti akan kehendak orangtuanya KH. Baidlowi pun tidak memaksa kehendak KH. Manshoer untuk belajar di Kairo. Akhirnya atas restu KH. Baidlowi yang selama kurang lebih empat tahun menjadi pengasuh sekaligus gurunya, KH. Manshoer meninggalkan Tanah Suci untuk kembali ke Tanah Air bersama rombongan.

Mondok Di Tanah Air
Sekembalinya beliau dari Tanah Suci, KH. Manshoer lalu meneruskan pelajarannya dipondok pesantren Tebuireng. Pondok yang berjarak dua kilometer dari arah barat Paculgowang yang kala itu diasuh oleh Hadrotus Syeh KH. Hasyim Asy’ari, seorang sahabat ayah beliau.
Di Pondok pesantren Tebuireng beliau sempat mengenyam pendidikan selama tiga tahun. Kemudian melanjutkan pendidikan belajarnnya di Pondok Lirboyo Kediri. Di Pondok ini pun beliau belajar selama tiga tahun. Namun dalam masa tiga tahun pendidikan tersebut cukup berpengaruh bagi perkembangan pribadi beliau yang luhur. Perilaku dan kepribadian beliau dalam kesehariannya telah tampak ciri-ciri keistimewah yang memancar dalam dirinya. Semangat serta ketekunan dalam mempelajari ilmu-ilmu agama membuat teman-teman merasa segan dan menaruh rasa hormat. Maklum selain beliau seorang putera Jombang, juga waktu itu beliau sudah bergelar haji, yang memang langka bagi kalangan santri pada waktu itu, tetapi bukan berarti beliau menjadi santri yang sombong karena faktor keturunan maupun gelar haji yang disandangnya. Bahkan satu sikap yang jarang dimiliki oleh santri pada waktu itu adalah pembawaan beliau yang tenang dan tidak ceroboh.
Maka tidak salah apabila Hadrotus Syeh KH. Abdul Kariem merasa simpati dan tertarik untuk dijadikan sebagai menantu. Sehingga pada waktu itu keluarga Lirboyo menghubungi KH. Anwar, ayahanda beliau. Dan ternyata keinginan KH. Abdul Kariem disambut hangat oleh pihak keluarga Paculgowang terutama KH. Anwar sendiri.

Pernikahan KH. Manshoer Anwar
Beberapa hari setelah peristiwa itu berlangsung kemudian KH. Manshoer pindah ke Pondok pesantren Panji Sidoarjo. Sebenarnya semua pihak keluarga menghendaki akan pernikahan segera dilaksanakan. Tapi keinginan ini oleh KH. Anwar ditolak secara halus dengan alasan KH. Manshoer belum pantas naik ke jenjang pelaminan, masih harus sabar menunggu waktu agar beliau tetap meneruskan pendidikannya di Pondok pesantren Panji Sidoarjo. Akan tetapi alas an itu tidak membuat pihak Lirboyo hilang harapan, karena bagaimanapun rencana untuk melangsungkan pernikahan KH. Manshoer telah disetujui oleh kedua belah pihak. Maka KH. Abdul Kariem mengirim sebuah surat kepada adik KH. Manshoer yaitu KH. Mahfud (pengasuh pondok pesantren Al-Khoiriah Seblak Kwaron Jombang sekarang), yang ketika itu sedang mondok di Tebuireng agar menjemput kakaknya yang ada di Pondok pesantren Panji untuk diajak ke Lirboyo untuk dinikahkan. Akhirnya dilangsungkan acara akad nikah antara KH. Manshoer dengan puteri kedua KH. Abdul Kariem bersamaan dengan peresmian berdirinya masjid pondok pesantren Lirboyo pada tahun 1928 M.
Pada sore harinya setelah akad pernikahan, datanglah KH. Anwar Alwi dengan maksud meminta KH. Manshoer kepada KH. Abdul Kariem untuk meneruskan mondok di Panji. Hal ini terjadi karena KH. Manshoer melangsungkan pernikahan tanpa sepengetahuan pihak Paculgowang, sehingga tidak ada yang menghadiri acara pernikahan KH. Manshoer kecuali adik beliau. Ketidak hadiran keluarga Paculgowang bukan berarti tidak setuju dengan pernikahan KH. Manshoer, akan tetapi KH. Manshoer dibawa ke Lirboyo tanpa sepengetahuan dan izin dari ayahandanya.
Sungguh pada peristiwa yang jarang sekali ditemukan, sepasang pengantin baru harus menjalani hidup terpisah karena sang suami harus menuntut ilmu di Pondok pesantren. Tapi keadaan ini oleh KH. Manshoer dan Nyai Salamah diterima dengan sabar dan lapang dada, sebab beliau sadar dengan sepenuhnya bahwa ilmu agama sangat dibutuhkan oleh masyarakat disekitarnya yang memang ketika itu baik daerah Paculgowang maupun Lirboyo masih sangat awam masalah agama.
Di pondok Panji, KH. Manshoer memperdalam ilmunya selama tiga tahun. Rasa rindu dan gelisah beliau tahan dengan sabar, tawakkal dan qona’ah. Baru setelah ayahanda KH. Anwar Alwi wafat, beliau bertemu dengan Nyai Salamah sang istri yang ditinggalkan selama tiga tahun. Alangkah bahagia dan harmonisnya pertemuan itu.

Pengasuh Pondok
Setelah KH. Anwar Alwi wafat, beliau merupakan sosok yang dianggap mumpuni sebagai pengganti ayahnda beliau sebagai penerus cita-cita sang ayah seperti juga ayahndanya KH. Manshoer mewarisi ketekunan dan ketelatenan dari ayahnya dalam mendidik para santri dan muridnya, terutama dalam mengajarkan bacaan al-qur’an. Kefashihan dalam mambaca al-qur’an adalah tolak ukur dalam membaca kitab kuning. Beliau sangat rajin membaca al-qur’an sambil berkeliling dibagian dalam masjid. Meskipun beliau bukan seorang yang Hafidzul Qur’an 9orang yang hafal Al-qur’an) tapi beliau betul-betul menguasai dan mendalami tentang bacaan Al-qur’an serta menguasai tafsirnya.
Dedikasi dan semangat beliau dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan tidak hanya terbatas pada pengajian kitab kuning secara sarasehan. Bahkan lebih dari sekedar itu, beliau juga merintis system sekolah yang terbagi menjadi beberapa kelas.
Tepatnya pada tahun 1931 M, beliau mendirikan sekolah madrasah diniyah. Materi pelajarannya diambil dari kitab-kitab salaf. Kelebihan dari system ini, pelajaran disampaikan secara tertulis dan ditambahi keterangan secara mendalam.
Pada awal berdirinya, madrasah ini diselenggarakan di Serambi Masjid yang kemudaian dipindah ke Gedung baru yang terletak di depan masjid (sekarang kantor lama). Semula jam pertama dimulai setelah maghrib. Tetapi kemudian waktu itu dipindah setelah dzuhur, karena waktu maghrib dianggap terlalu sempit. Sejak mulai inilah siswa mulai bertambah.
Pada wal berdirinya, KH. Manshoer dibantu oleh diantara lain bapak Muhsin (pindah ke Sidoarjo yang kemudian menjadi kiyai disana) dan Almarhum Bapak Abdul Qodir.
Sementara itu KH. Manshoer sebagai pengasuh pondok sibuk mengisi pengajian-pengajian di pondok maupun di Masyarakat. Dalam kesehariannya, beliau selalu membaca kitab kuning. Dari sekian kitab yang dijadikan sebagai wiridan yaitu tafsir jalalain yang mengikuti kebiasaan ayahandanya.

Di Zaman Kolonial
Dalam masyarakat, KH. Manshoer selalu aktif di dalam organisasi. Beliau menjadi anggota jam’iyyah(perkumpulan). Baik ditingkat desa, kecamatan, kabupaten bahkan organisasi yang berskala nasional. Sehingga nama beliau masyhur dikalangan masayarakat Jombang dan diinstansi pemerintahan. Sebab selain beliau seorang ulama yang gigih memperjuangkan agama juga beliau termasuk kiyai militant dalam berjuang mengusir kaum penjajah.
Pada zaman kontra revolusi menghadapi agresi militer Belanda, beliau bergabung dengan Sabililah (Laskar Hizbulloh) yang beroperasi di daerah Tambak Oso, Sidoarjo. Bahkan pada waktu itu beliau menjadi komandan yang membawahi ratusan gerilyawan muslim. Kaum muslimin bertekad mengusir orang-orang bule dari bumi Indonesia.
Konon, ketika KH. Manshoer dan Kh. Thohir diperintahkan membawa surat oleh KH. Hasyim Asy’ari, ditengah-tengah perjalanan beliau diikuti oleh mata-mata serdadu Belanda, ketika hari mulai senja dan malampun mulai pekat beliau pun menginap di Rumah yang kosong. Tapi rupa-rupanya pihak Belanda telah mengetahui dimana beliau menginap. Ketika beliau berdua sedang beristirahat, maka sebuah bom pun meluncur memporak porandakan tempat penginapan beliau. Namun berkat perlindungan Allah maka beliau selamat dari mara bahaya. Kemudian pada pagi harinya beliau bangun, beliau kaget dan melihat rumahnya telah hancur porak poranda bahkan atap rumahnya pun telah berjatuhan dan menakjubkan adalah beliau selamat dari petaka. Setelah beliau merenung sejenak lalu beliau memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah S.W.T. yang melindungi beliau dari mara bahaya, lalu beliaupun keluar dari reruntuhan bangunan.
Pada waktu memimpin pertempuran di Tambak Oso beliau sakit pada bagian paha dan rahang yang mambengkak, ini disebabkan karena siang malam beliau berjuang di daerah Tambak Oso yang masih berupa rawa-rawa dan terkenal dengan sebutan daerah yang penuh dengan nyamuk malaria. Oleh karena penyakit beliau tidak kunjung sembuh, maka beliau terpaksa pulang untuk istirahat. Pada saat itulah dating satu kompi pasukan Belanda sampai di Desa Jatirejo dan bertemu dengan seorang warga Paculgowang. Orang itu pun masuk di Paculgowang, mereka sempat menangkap dua orang yang mereka curigai sebagai mata-mata RI. Sesampainya di Halaman rumah KH. Manshoer, beberapa serdadu diantar masuk untuk menggeledah dan mencari kiyai Manshoer dan yang lain berjaga-jaga diluar, karena waktu itu beliau sedang terbaring sakit pemimpin pasukan Belanda pun mengira bahwa beliau bukanlah orang yang mereka cari, akhirnya ia memerintahkan pasukannya meninggalkan rumah KH. Manshoer, dan akhirnya beliau lolos dari penangkapan. Padahal waktu itu beliau menyimpan dua pucuk senapan laras panjang, bayonet dan sepatu panjang. Ketika isteri baliau melihat serdadu belanda, maka segera barang-barang dibuang kedalam sumur sehingga pada waktu penggeledahan Belanda tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan.

Aktifitas Perjuangan
Selain sebagai seorang pejuang yang ikut memperjuangkan Negara dari ke dzoliman penjajah, beliau juga seorang pemangku pondok pesantren Paculgowang. Beliau meluangkan waktu dan tenaganya demi terciptanya kwaliatas santri yang berilmu dan berbudi luhur. Sebagai aktifis organisasi, beliau selalu mencurahkan pikirannya demi kemajuan serta memberantas keterbelakangan umat islam melalui kegiatan-kegiatan yang tertampung dalam organisasi di daerah Jombang.
Kiprah beliau dalam segala hal selalu dilandasi tekad serta semangat keagamaan untuk menjalin tali Ikhuwwah Isalamiyah. Ketika itu salah satu seorang teman yang paling dekat dan selalu bertukar pikiran adalah Kiyai Adlan ‘Ali Almarhum (pengasuh ponok pesantren Wali Songo Cukir). Bersama beliau KH. Manshoer membina Jam’iyyah NU di daerah Jombang. Selain itu beliau juga aktif mengisi pengajian pada anggota muslimat di Kecamatan Diwek Jombang.
Kegiatan-kegiatan beliau ditengah masyarakat benar-benar merupakan andil besar bagi perkembangan islam di daerah Jombang. Bahkan beliau banyak mendirikan majlis-majlis ta’lim yang ada di Paculgowang danJatirejo. Sedangkan hari-hari selain itu beliau juga pernah menjabat penghulu ketua pengadilan agama Jombang.

Wafatnya KH. Manshoer Anwar
Dalam usia beliau yang sudah senja, beliau sering jatuh sakit. Ketika itu belia berusia sekitar 76 tahun. Namun demikian beliau tidak pernah berhenti dari kegiatan mengasuh pondok untuk mengajar para santrinya meski sambil berbaring. Bahkan beliau masih sempat mendirikan Madrasah Tsanawiyah ‘Aliyah yang diberi nama AL-ANWAR. Akan tetapi ketika lembaga ini akan diresmikan dan dibuka pada tahun 1983 M, kondisi beliau mulai menurun. Pada suatu malam kondisi beliau semakin kritis, tetapi beliau menolak untuk dibawa ke dokter. Oleh karena desakan dan permohonan sanak keluarga yang siang dan malam selalu setia menemani beliau, maka pada suatu malam beliau dibawa ke dokter dengan syarat dokter yang akan memeriksa beliau harus beragama islam. Namun karena disekitar Kecamatan Diwek tidak ada dokter yang beragama islam, maka beliau dibawa ke Rumah Sakit Umum (RSU) Jombang setelah dzuhur dalam keadaan setengah sadar, selama di Rumah Sakit beliau selalu mengatakan hal-hal yang beliau kerjakan sehari-hari seperti beliau mengutus para santri-santrinya agar selalu mengerjakan sholat ketika azan tiba. Bahkan pada suatu malam biasa dimana beliau memimpin kegiatan Lailatul Ijtima’ seakan-akan beliau menghadiri dan memimpin acara tersebut. Walaupun beliau berbaring di Rumah Sakit. Hal ini disebabkan karena beliau sangat cinta dengan kegiatan yang sangat erat hubungannya dengan agama dan masyarakat.
KH. Manshoer menjalani perawatan secara intensif di Rumah Sakit selama dua belas hari. Pada hari kesepuluh, beliau memanggil putera-puterinya dan member pesan serta nasehat tentang hal-hal yang menyangkut tentang warisan. Waktu itu putera-puteri beliau hadir kecuali ibu Nyai Sholhah (Banyuwangi), ibu Nyai Kariemah (Probolinggo), Kiyai Abdul Aziz(Lirboyo, Kediri) dan Agus Abdul Kariem yang ketika itu masih belajar di Kairo Mesir.
Pada suatu hari, rombongan yang dipimpin oleh Kiyai Adlan ‘Ali (Almarhum) dan Al mukarom KH. Syamsuri Badlowi yang telah selesai mengadakan rapat NU di Kab Jombang dating menjenguk beliau, dengan mengajak para anggota jama’ah. Karena pada waktu itu keadaan beliau sangat kritis, maka rombongan itu pun tidak dapat menemui beliau dan hanya bisa mendo’akan beliau, kemudian rombingan segera kembali. Selang beberapa saat ketika rombongan itu meninggalkan beliau tepat pukul 23.00, hari Ahad tanggal 15 Agustus 1983 M/ 6 Dzul Qo’dah 1402 H, Hadrotus Syekh Al Mukarrom KH. Manshoer Anwar pulang ke Hadirat Allah yang maha pencipta. Inna lilahi wa innailaihi Roji’un. Semoga semua amal perjuangan dan amal ibadah beliau diterima di sisi Allah S.W.T. Amin Yaa Robbal ‘Alamiin.
Beberapa saat setelah beliau wafat, jenazah beliau dibawa dari rumah sakit dan baru tiba di Rumah duka sekitar pukul 24.00 dengan ambulance. Setelah jenazah beliau tiba di Rumah duka, disambut dengan isak tangis keharuan oleh keluarga dan masyarakat. Tak lama berselang, kemudian jenazah beliau dimandikan oleh KH. Anwar Manshoer, KH. Aziz Manshoer dan Agus H. An’im Falahuddin Machrus.
Pada keesokan harinya masyarakat berduyun-duyun untuk berta’ziyah yang hingga memadati halaman dan pekarangan rumah duka. Hampir disemua tempat para pelayat telah menunggu dengan sabar untuk bisa melaksanakan sholat jenazah. Sholat jenazah dilaksanakan sebanyak 27 kali, hal ini dikarenakan banyak orang yang menyolati. Yang bertindak menjadi imam pertama kali adalah Kiyai Adlan ‘Ali dan disusul oleh para kiyai yang lain yang kemudian diakhiri oleh Kiyai Machrus ‘Ali yang sekaligus memimpin acara pelepasan jenazah. Pelepasan jenazah ditunda karena puteri beliau Nyai Kariemah serta rombongannya belum melaksanakan sholat jenazah, maka jenazah yang sudah ada di Masjid dikembalikan lagi ke Rumah duka untuk disholati. Barulah setelah itu jenazah diantar ke Maqbaroh dengan diiringi ratusan kaum muslimin beliau pulang ke Rahmatulloh dengan meninggalkan tiga orang putera dan tujuh orang puteri, delapan menantu dan tiga puluh cucu serta tiga buyut.
sumber : http://paculgowang.wordpress.com/biografi-al-maghfurlah-kh-manshoer-anwar/

KH. Muhammad Kholil Bangkalan

KH. Muhammad Kholil dilahirkan pada 11 Jamadilakhir 1235 Hijrahatau 27 Januari 1820 Masihi di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Beliau berasal dari keluarga Ulama dan digembleng langasung oleh ayah Beliau menginjak dewasa beliau ta’lim diberbagai pondok pesantren. Sekitar 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Kiyai Muhammad Khalil belajar kepada Kiyai Muhammad Nur di Pondok-pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok-pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok-pesantren Keboncandi. Selama belajar di pondok-pesantren ini beliau belajar pula kepada Kiyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kiyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya. Sewaktu menjadi Santri KH Muhammad Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). disamping itu juga beliau juga seorang hafiz al-Quran . Belia mampu membaca alqur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca al-Quran).

Pada 1276 Hijrah/1859 Masihi, KHMuhammad Khalil Belajar di Mekah. Di Mekah KH Muhammad Khalil al-Maduri belajar dengan Syeikh Nawawi al-Bantani(Guru Ulama Indonesia dari Banten). Di antara gurunya di Mekah ialah Syeikh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi, Saiyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad al-Afifi al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani i. Beberapa sanad hadis yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima, Sumbawa). Kh.Muhammad Kholil Sewaktu Belajar di Mekkah Seangkatan dengan KH.Hasym Asy’ari,Kh.Wahab Hasbullah dan KH.Muhammad Dahlan namum Ulama-ulama Dahulu punya kebiasaan Memanggil Guru sesama Rekannya, Dan Kh.Muhammad KHolil yang Dituakan dan dimuliakan diantara mereka.

Sewaktu berada di Mekah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Kh.Muhammad Khalil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi al-Bantani, Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri dan Syeikh Saleh as-Samarani (Semarang) menyusun kaedah penulisan huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.

karena Kiyai Muhammad Khalil cukup lama belajar di beberapa pondok-pesantren di Jawa dan Mekah, maka sewaktu pulang dari Mekah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqih, thariqat ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Kiyai Muhammad Khalil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya. Kh. Muhammad Khalil al-Maduri adalah seorang ulama yang bertanggungjawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau sedar benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya. Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus peratus memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama Kristian. Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Mekah telah berumur lanjut, tentunya Kiyai Muhammad Khalil tidak melibatkan diri dalam medan perang, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang diasaskannya. Kiyai Muhammad Khalil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda kerana dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya. beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaana lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri .

Kh.Ghozi menambahkan, dalam peristiwa 10 November, Mbah Kholil bersama kiai-kiai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari, Wahab Chasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, menge-rahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu.

Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan kiai-kiai itu bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar.

Tak ketinggalan, Mbah Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan buyar.

Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita gantian menghantam lawan. ”Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir tentara lawan yang senjatanya super modern. Tapi sayang, peran ulama yang mengerahkan kekuatan gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan,” papar Kiai Ghozi, cucu KH Wahab Chasbullah ini.

Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan.

Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyub,” cerita kh Ghozi.

Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju.

Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Kholil.

”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” papar kh Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.

di antara sekian banyak murid Kh Muhammad Khalil al-Maduri yang cukup menonjol dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah Kh Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok-pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdhatul Ulama / NU) Kiyai Haji Abdul Wahhab Hasbullah (pendiri Pondok-pesantren Tambakberas, Jombang); Kiyai Haji Bisri Syansuri (pendiri Pondok-pesantren Denanyar); Kiyai Haji Ma’shum (pendiri Pondok-pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda Kiyai Haji Ali Ma’shum), Kiyai Haji Bisri Mustofa (pendiri Pondok-pesantren Rembang); dan Kiyai Haji As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok-pesantren Asembagus, Situbondo).
Kh. Muhammad Khalil al-Maduri, wafat dalam usia yang lanjut 106 tahun, pada 29 Ramadan 1341 Hijrah/14 Mei 1923 Masihi.
sumber : http://berdzikir.wordpress.com/2009/07/30/kh-kholil-bangkalan/

Senin, 16 Agustus 2010

BIOGRAFI HABIBINA AL HAFIDZ HABIB MUNZIR AL MUSAWWA

Berikut ini adalah biografi dari HABIB MUNZIR BIN FUAD AL-MUSAWA yang dijelaskan oleh beliau.
"Ayah saya bernama Fuad Abdurrahman Almusawa, yang lahir di Palembang, Sumatera selatan, dibesarkan di Makkah Al mukarramah, dan kemudian mengambil gelar sarjana di Newyork University, di bidang Jurnalistik, yang kemudian kembali ke Indonesia dan berkecimpung di bidang jurnalis, sebagai wartawan luar negeri, di harian Berita Yudha, yang kemudian di harian Berita Buana, beliau menjadi wartawan luar negeri selama kurang lebih empat puluh tahun, pada tahun 1996 beliau wafat dan dimakamkan di Cipanas cianjur jawa barat."
Nama saya Munzir bin Fuad bin Abdurrahman Almusawa, saya dilahirkan di Cipanas Cianjur Jawa barat, pada hari jum'at 23 februari 1973, bertepatan 19 Muharram 1393 H, setelah saya menyelesaikan sekolah menengah atas, saya mulai mendalami Ilmu Syariah Islam di Ma'had Assaqafah Al Habib Abdurrahman Assegaf di Bukit Duri Jakarta Selatan, lalu mengambil kursus bhs.Arab di LPBA Assalafy Jakarta timur, lalu memperdalam lagi Ilmu Syari'ah Islamiyah di Ma'had Al Khairat, Bekasi Timur, kemudian saya meneruskan untuk lebih mendalami Syari'ah ke Ma'had Darul Musthafa, Tarim Hadhramaut Yaman, selama empat tahun, disana saya mendalami Ilmu Fiqh, Ilmu tafsir Al Qur'an, Ilmu hadits, Ilmu sejarah, Ilmu tauhid, Ilmu tasawuf, mahabbaturrasul saw, Ilmu dakwah, dan ilmu ilmu syariah lainnya.
Saya kembali ke Indonesia pada tahun 1998, dan mulai berdakwah, dengan mengunjungi rumah rumah, duduk dan bercengkerama dg mereka, memberi mereka jalan keluar dalam segala permasalahan, lalu atas permintaan mereka maka mulailah saya membuka majlis, jumlah hadirin sekitar enam orang, saya terus berdakwah dengan meyebarkan kelembutan Allah swt, yang membuat hati pendengar sejuk, saya tidak mencampuri urusan politik, dan selalu mengajarkan tujuan utama kita diciptakan adalah untuk beribadah kpd Allah swt, bukan berarti harus duduk berdzikir sehari penuh tanpa bekerja dll, tapi justru mewarnai semua gerak gerik kita dg kehidupan yang Nabawiy, kalau dia ahli politik, maka ia ahli politik yang Nabawiy, kalau konglomerat, maka dia konglomerat yang Nabawiy, pejabat yang Nabawiy, pedagang yang Nabawiy, petani yang Nabawiy, betapa indahnya keadaan ummat apabila seluruh lapisan masyarakat adalah terwarnai dengan kenabawian, sehingga antara golongan miskin, golongan kaya, partai politik, pejabat pemerintahan terjalin persatuan dalam kenabawiyan, inilah Dakwah Nabi Muhammad saw yang hakiki, masing masing dg kesibukannya tapi hati mereka bergabung dg satu kemuliaan, inilah tujuan Nabi saw diutus, untuk membawa rahmat bagi sekalian alam. Kini majlis taklim saya yang dulu hanya dihadiri enam orang, sudah berjumlah sekitar tiga ribu hadirin, saya sudah membuka puluhan majlis taklim di seputar Jakarta pusat, saya juga sudah membuka majlis di seputar pulau jawa, yaitu:
Jawa Barat :
Ujungkulon Banten, Cianjur, Bandung, Majalengka, Subang.
Jawa tengah :
Slawi Tegal, Purwokerto, Wonosobo, Jogjakarta, Solo, Sukoharjo, Jepara, Semarang,
Jawa timur :
Mojokerto, Malang, Sukorejo, Tretes, Pasuruan, Sidoarjo, Probolinggo.
Bali :
Denpasar, Klungkung, Negara, Karangasem.
NTB
Mataram Ampenan
Luar Negeri :
Singapura, Johor, Kualalumpur.
namun kini kesemua kunjungan keluar jakarta telah saya cukupkan setahun sekali dengan perintah Guru saya.
Dan saya pun telah menjadi Narasumber di beberapa stasion TV swasta, yaitu di Indosiar untuk acara Embun Pagi tayangan 27 menit, di ANTV untuk acara Mutiara Pagi tayangan 27menit, RCTI, TPI, Trans TV dan La TV.
saya membina puluhan majelis di jakarta, yg kesemuanya mendapat giliran jadwal kunjungan sebulan sekali, selain Majelis Induk di Masjid Almunawar Pancoran jakarta selatan yg diadakan setiap senin malam dan setiap malam jumat di kediaman saya, maka padatlah jadwal saya setiap malamnya sebulan penuh, namun tuntutan dari wilayah wilayah baru terus mendesak saya, maka saya terus berusaha memberi kesempatan kunjungan walaupun dg keterbatasan waktu.
Email pribadi saya : munziralmusawa@yahoo.com
Demikianlah sekilas dari Biografi saya, untuk memperjelas gerakan dakwah yang saya jalankan, semoga limpahan rahmat Allah swt bagi mereka yang berminat menerima seruan seruan Kelembutan Allah swt, Amin Allahumma Amin.
Demikian Biografi ini saya buat,
Hormat Saya,
Khadim Majelis Rasulullah saw (Munzir Almusawa)
silsilah/ nasab habib munzir :
Munzir bin Fuad bin Abdurrahman bin Ali bin Abdurrahman bin Ali bin Aqil bin Ahmad bin Abdurrahman bin Umar bin Abdurrahman bin Sulaiman bin Yaasin bin Ahmad Almusawa bin Muhammad Muqallaf bin Ahmad bin Abubakar Assakran bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah bin Ali bin Alwi Alghayur bin Muhammad Faqihil Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Marbath bin Ali Khali' Qasim bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Almuhajir bin Isa Arrumiy bin Muhammad Annaqib Ali Al Uraidhiy bin Jakfar Asshadiq bin Muhammad Albaqir bin ALi Zainal Abidin bin Husein Dari Fathimah Azahra Putri Rasul saw.

Cerita dari jamaah Majelis Rasulullah tentang Karomah Habib Munzir Al Musawwa
Ketika ada orang yg iseng bertanya padanya : wahai habib, bukankah Rasul saw juga punya rumah walau sederhana??, beliau tertegun dan menangis, beliau berkata : iya betul, tapikan Rasul saw juga tidak beli tanah, beliau diberi tanah oleh kaum anshar, lalu bersama sama membangun rumah.., saya takut dipertanyakan Allah kalau ada orang muslim yg masih berumahkan koran di pinggir jalan dan di gusur gusur, sedangkan bumi menyaksikan saya tenang tenang dirumah saya..

pernah ada seorang wali besar di Tarim, guru dari Guru Mulia Almusnid alhabib Umar bin Hafidh, namanya Hb Abdulqadir Almasyhur, ketika hb munzir datang menjumpainya, maka habib itu yg sudah tua renta langsung menangis.. dan berkata : WAHAI MUHAMMAD…! (saw), maka Hb Munzir berkata : saya Munzir, nama saya bukan Muhammad.., maka habib itu berkata : ENGKAU MUHAMMAD SAW..!, ENGKAU MUHAMMAD.. SAW!, maka hb Munzir diam… lalu ketika ALhabib Umar bin Hafidh datang maka segera alhabib Abdulqadir almasyhur berkata : wahai umar, inilah Maula Jawa (Tuan Penguasa Pulau Jawa), maka Alhabib Umar bin Hafidh hanya senyam senyum.. (kalo ga percaya boleh tanya pada alumni pertama DM)

lihat kemanapun beliau pergi pasti disambut tangis ummat dan cinta, bahkan sampai ke pedalaman irian, ongkos sendiri, masuk ke daerah yg sudah ratusan tahun belum dijamah para da’i, ratusan orang yg sudah masuk islam ditangannya, banyak orang bermimpi Rasul saw selalu hadir di majelisnya,

bahkan ada orang wanita dari australia yg selalu mimpi Rasul saw, ia sudah bai’at dengan banyak thariqah, dan 10 tahun ia tak lagi bisa melihat Rasul saw entah kenapa, namun ketika ia hadir di Majelis Hb Munzir di masjid almunawar, ia bisa melihat lagi Rasulullah saw..

maka berkata orang itu, sungguh habib yg satu ini adalah syeikh Futuh ku, dia membuka hijabku tanpa ia mengenalku, dia benar benar dicintai oleh Rasul saw, kabar itu disampaikan pada hb munzir, dan beliau hanya menunduk malu..

beliau itu masyhur dalam dakwah syariah, namun mastur (menyembunyikan diri) dalam keluasan haqiqah dan makrifahnya. .

bukan orang yg sembarangan mengobral mimpi dan perjumpaan gaibnya ke khalayak umum

ketika orang ramai minta agar Hb Umar maulakhela didoakan karena sakit, maka beliau tenagn tenang saja, dan berkata : Hb Nofel bin Jindan yg akan wafat, dan Hb Umar Maulakhela masih panjang usianya.. benar saja, keesokan harinya Hb Nofel bin Jindan wafat, dan Hb Umar maulakhela sembuh dan keluar dari opname.., itu beberapa tahun yg lalu..

ketika Hb Anis Alhabsyi solo sakit keras dan dalam keadaan kritis, orang orang mendesak hb munzir untuk menyambangi dan mendoakan Hb Anis, maka beliau berkata pd orang orang dekatnya, hb anis akan sembuh dan keluar dari opname, Insya Allah kira kira masih sebulan lagi usia beliau,..

betul saja, Hb Anis sembuh, dan sebulan kemudian wafat..

ketika gunung papandayan bergolak dan sudah dinaikkan posisinya dari siaga 1 menjadi “awas”, maka Hb Munzir dg santai berangkat kesana, sampai ke ujung kawah, berdoa, dan melemparkan jubahnya ke kawah, kawah itu reda hingga kini dan kejadian itu adalah 7 tahun yg lalu (VCD nya disimpan di markas dan dilarang disebarkan)

demikian pula ketika beliau masuk ke wilayah Beji Depok, yg terkenal dg sihir dan dukun dukun jahatnya., maka selesai acara hb munzir malam itu, keesokan harinya seorang dukun mendatangi panitya, ia berkata : saya ingin jumpa dg tuan guru yg semalam buat maulid disini..!, semua masyarakat kaget, karena dia dukun jahat dan tak pernah shalat dan tak mau dekat dg ulama dan sangat ditakuti, ketika ditanya kenapa??, ia berkata : saya mempunyai 4 Jin khodam, semalam mereka lenyap., lalu subuh tadi saya lihat mereka (Jin jin khodam itu) sudah pakai baju putih dan sorban, dan sudah masuk islam, ketika kutanya kenapa kalian masuk islam, dan jadi begini??, maka jin jin ku berkata : apakah juragan tidak tahu?, semalam ada Kanjeng Rasulullah saw hadir di acara Hb Munzir, kami masuk islam..!

kejadian serupa di Beji Depok seorang dukun yg mempunyai dua ekor macan jadi jadian yg menjaga rumahnya, malam itu Macan jejadiannya hilang, ia mencarinya, ia menemukan kedua macan jadi2an itu sedang duduk bersimpuh didepan pintu masjid mendengarkan ceramah hb munzir..

demikian pula ketika berapa muridnya berangkat ke Kuningan Cirebon, daerah yg terkenal ahli santet dan jago jago sihirnya, maka hb munzir menepuk bahu muridnya dan berkata : MA’ANNABIY.. !, berangkatlah, Rasul saw bersama kalian..

maka saat mereka membaca maulid, tiba tiba terjadi angin ribut yg mengguncang rumah itu dg dahsyat, lalu mereka mnta kepada Allah perlindungan, dan teringat hb munzir dalam hatinya, tiba tiba angin ribut reda, dan mereka semua mencium minyak wangi hb munzir yg seakan lewat dihadapan mereka, dan terdengarlah ledakan bola bola api diluar rumah yg tak bisa masuk kerumah itu..

ketika mereka pulang mereka cerita pd hb munzir, beliau hanya senyum dan menunduk malu..

demikian pula pedande pndande Bali, ketika Hb Munzir kunjung ke Bali, maka berkata muslimin disana, habib, semua hotel penuh, kami tempatkan hb ditempat yg dekat dengan kediaman Raja Leak (raja dukun leak) di Bali, maka hb munzir senyum senyum saja, keesokan harinya Raja Leak itu berkata : saya mencium wangi Raja dari pulau Jawa ada disekitar sini semalam..

maaf kalo gue ceplas ceplos, cuma gue lebih senang guru yg mengajar syariah namun tawadhu, tidak sesohor, sebagaimana Rasul saw yg hakikatnya sangat berkuasa di alam, namun membiarkan musuh musuhnya mencaci dan menghinanya, beliau tidak membuat mereka terpendam dibumi atau ditindih gunung, bahkan mendoakan mereka,

demikian pula ketika hb munzir dicaci maki dg sebutan Munzir ghulam ahmad..!, karena ia tidak mau ikut demo anti ahmadiyah, beliau tetap senyum dan bersabar, beliau memilih jalan damai dan membenahi ummat dg kedamaian daripada kekerasan, dan beliau sudah memaafkan pencaci itu sebelum orang itu minta maaf padanya, bahkan menginstruksikan agar jamaahnya jangan ada yg mengganggu pencaci itu,
kemarin beberapa minggu yg lalu di acara almakmur tebet hb munzir malah duduk berdampingan dg si pencaci itu, ia tetap ramah dan sesekali bercanda dg Da’i yg mencacinya sebagai murtad dan pengikut ahmadiyah..

Sumber : http://sang-pemujarahasia.blogspot.com/2009/03/biografi-habibina-al-hafidz-habib.html dan Mailing list Majelis Rasulullah pemudasuci@yahoo.com

Selasa, 10 Agustus 2010

Al-Habib Abdullah Asy-Syathiry

Al-Habib Abdullah Asy-Syathiry berguru kepada Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad Almasyhur (mufti Dhiyar Hadramaut). Setelah itu, beliau pergi ke Seiwun untuk belajar kepada Al-Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi selama 4 bulan. Kemudian beliau melanjutkan perjalanan ke kota Makkah dan belajar dari para ulama di kota tersebut selama 4 tahun.

Dalam sehari, tidak kurang dari 12 mata pelajaran yang dipelajari oleh beliau, diantaranya Nahwu, Tafsir, Figih, Tauhid dll. Seusai belajar, beliau pergi ke Multazam dan berdoa disana, “Ya Allah, aku mohon kepada-Mu agar ilmuku dapat bermanfaat bagi seluruh penjuru dunia dari timur hingga ke barat”. Dan Allah akhirnya mengabulkan doa beliau. Setelah beliau menamatkan pelajarannya, beliau kembali pulang ke kota Tarim dan mengajar di Rubath Tarim selama 50 tahun.

RUBATH TARIM

Rubath Tarim adalah rubath yang tertua di Hadramaut dan terletak di kota Tarim. Rubath ini usianya mencapai 118 tahun. Asy-Syeikh Abubakar Bin Salim yang hidup jauh sebelum masa Al-Habib Abdullah Asy-Syathiry setiap kali pergi ke kota Tarim, beliau selalu berhenti di suatu tanah sambil berkata, “Tanah ini nantinya akan menjadi sebuah Rubath…”.

Benarlah apa dikatakan oleh beliau, diatas tanah itu akhirnya terbangunlah Rubath Tarim. Dikatakan di sebagian riwayat bahwa 2 wali min Auliyaillah Al-Fagih Al-Muqoddam dan Asy-Syeikh Abubakar Bin Salim selalu menjaga Rubath Tarim. Juga dikatakan bahwa setiap harinya arwah para auliya turut menghadiri majlis-majlis taklim di Rubath.

MURID-MURID BELIAU

Al-Habib Abdullah Asy-Syathiry memiliki banyak murid yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Tidak kurang dari 13.000 ulama tercatat sebagai alumni Rubath (ma’had/ponpes) Tarim yang diasuh oleh beliau. Bahkan riwayat lain menyebutkan lebih dari 500.000 ulama pernah belajar dari beliau. Al-Habib Alwi bin Muhammad bin Thohir Alhaddad sempat berkata, “Tidak pernah aku masuk ke suatu desa, kota atau tempat lainnya, kecuali aku dapatkan bahwa ulama-ulama di tempat tersebut adalah murid dari Al-Habib Abdullah Asy-Syathiry atau murid dari murid beliau”.

Sebagian ulama alumni Rubath pimpinan Al-Habib Abdullah Asy-Syathiry diantaranya adalah :

Di Hadramaut

Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Bin Syeikh Abubakar
Beliau adalah pimpinan Rubath Syihir. Setelah beliau wafat, dilanjutkan oleh Al-Habib Kadhim bin Ja’far bin Muhammad Assegaf. Semasa belajar di Rubath Tarim, beliau Al-Habib Ahmad belum pernah tidur. Tempat tidur beliau selalu kosong dan rapi dan hal ini berlangsung selama 10 tahun.

Al-Habib Muhammad bin Abdullah Alhaddar
Beliau belajar kepada Al-Habib Abdullah Asy-Syathiry selama 4 tahun. Semasa belajar, beliau selalu menghafal pelajaran di pinggiran atap (balkon) Rubath Tarim. Beliau pernah berkata, “Kalau saya masih mau hidup, saya harus menghafalkan pelajaran dan tidak boleh tidur”. Kalau hendak tidur, beliau selalu mengikat kakinya dengan tali dan diikatkan ke jendela kecil. Beliau hanya tidur selama beberapa jam. Sisanya dipergunakan untuk mendalami ilmu agama. Jika waktunya bangun, Al-Habib Alwi bin Abdullah Bin Syahab menarik tali yang terikat di kaki Al-Habib Muhammad sambil berseru, “Wahai Muhammad, bangunlah…!”, lalu terbangunlah beliau. Itulah sebagian mujahadah beliau sewaktu belajar di Rubath Tarim.

Al-Habib Hasan bin Ismail Alhamid
Beliau adalah pimpinan Rubath Inat. Di Rubath Tarim beliau belajar selama beberapa tahun, lalu beliau diperintahkan oleh Al-Habib Abdullah Asy-Syathiry untuk membuka Rubath di kota Inat. Sampai sekarang Rubath Inat terus berkembang dan berkembang.

Di Indonesia

Al-Habib Abdul Qodir bin Ahmad Bilfagih.
Beliau adalah seorang wali Qutub dan pimpinan Ma’had Darul Hadits Malang. Dari sebagian murid beliau diantaranya putera beliau sendiri Al-Habib Abdullah, Al-Habib Salim bin Ahmad Bin Jindan dll.

Al-Habib Abdullah bin Husin Al-’Attas As-Syami
Beliau seorang wali min auliyaillah dan tinggal di Jakarta. Sampai sekarang beliau masih ada (semoga Alloh memanjangkan umurnya dan memberikan manfaat kepada kita dari keberadaannya)

Al-Habib Abdullah bin Ahmad Alkaf
Beliau tinggal di kota Tegal. Beliau adalah ayah dari Ustadz Thohir Alkaf, seorang dai yang melanjutkan tongkat estafet dakwah ayahnya.

Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Alkaf
Beliau adalah pengarang kitab Sullamut Taysir.

dan masih banyak lagi anak didik beliau Al-Habib Abdullah Asy-Syathiry yang tak dapat ditulis satu persatu. Putera beliau Al-Habib Salim pernah ditanya oleh seseorang, “Kenapa Al-Habib Abdullah Asy-Syathiry tidak mengarang kitab sebagaimana umumnya para ulama ?”. Beliau Al-Habib Salim menjawab, “Beliau tidak mengarang kitab, tapi mencetak ulama-ulama”.

Beliau RA dilahirkan pada bulan Romadhon tahun 1290 H di kota Tarim Al-Ghonna, tepatnya di sebelah Rubath Tarim. Beliau hidup dan tumbuh di lingkungan kalangan kaum Sholihin.

NASAB BELIAU

Abdulloh bin Umar bin Ahmad bin Umar bin Ahmad bin Umar bin Ahmad bin Ali bin Husin bin Muhammad bin Ahmad bin Umar bin Alwi Asy-Syathiry bin Al-Fagih Ali bin Al-Qodhi Ahmad bin Muhammad Asaadulloh bin Hasan At-Turobi bin Ali bin Al-Fagih Al-Muqoddam Muhammad bin Ali dan terus bersambung hingga sampai dengan datuk beliau yang termulia Rasululloh SAW.

Garis nasab beliau adalah pohon nasab yang penuh petunjuk dan hidayah. Sebagaimana yang telah diisyaratkan dalam perkataan Al-Habib Abdulloh bin Alwi Alhaddad :

“Mereka mengikuti jejak Rasululloh dan para sahabatnya

serta para tabi’in maka berjalanlah kamu dan ikutilah mereka

Mereka berjalan menuju suatu jalan kemuliaan

generasi demi generasi dengan begitu kokohnya”

NASAB IBU DAN AYAH BELIAU

Adapun nasab ibu beliau yang sholihah afifah adalah Nur binti Umar bin Abdulloh bin Husin bin Syihabuddin.

Ayah beliau adalah Al-Habib Umar bin Ahmad bin Umar Asy-Syathiry. Beliau Al-Habib Umar meninggal di kota Tarim pada tanggal 2 atau 4 Syawal 1350 H. Beliau adalah merupakan salah seorang pembesar kota Tarim yang terpandang, kaya raya, jenius dan pendapat-pendapatnya jitu dan diikuti.

Al-Habib Umar mempunyai andil yang cukup besar didalam mendidik anak-anaknya, memerintahkan mereka untuk menuntut ilmu dan menyebarluaskannya dalam dakwah fisabilillah. Kemuliaan dan keutamaan beliau yang terbesar adalah didalam mendidik dan mendorong putra-putranya agar menjadi orang besar serta kemampuan keuangannya didalam mencukupi putra-putranya.

MASA BELAJAR BELIAU

Ketika Al-Habib Abdulloh bin Umar Asy-Syathiry mencapai usia tamyiz (mampu makan, minum dan istinja’ tanpa dibantu orang lain), beliau diperintahkan oleh ayah dan kakeknya untuk mempelajari ilmu agama, yaitu belajar kitab Syeikh Barosyid. Beliau kemudian belajar membaca dan menulis serta membaca Al-Qur’an kepada 2 orang ulama yang paling terkemuka di jaman itu. Mereka adalah Syeikh Muhammad bin Sulaiman Bahalmi dan putranya Syeikh Abdurrahman. Setelah tamat belajar pada Syeikh Muhammad dan putranya, beliau yang masih kecil pada saat itu mengatur waktu belajarnya sendiri di qubah Al-Habib Abdulloh bin Syeikh Alaydrus.

Teman akrab beliau saat belajar di qubah Al-Habib Abdulloh bin Syeikh Alaydrus adalah Al-Habib Abdul Bari’ bin Syeikh Alaydrus. Begitu dekat hubungan antara keduanya hingga Habib Abdul Bari Alaydrus berkata, “Al-Habib Abdulloh Asy-Syathiry benar-benar belajar denganku di qubah Al-Habib Abdulloh bin Syeikh Alaydrus”.

Guru beliau yang mengajar disana waktu itu adalah Syihabuddin (lentera agama) Habib Ahmad bin Muhammad bin Abdulloh Alkaf. Habib Ahmad adalah orang yang sangat takwa. Selain Habib Ahmad Alkaf, guru beliau yang lain waktu itu adalah Al-Habib Syeikh bin Idrus bin Muhammad Alaydrus yang terkenal dengan selalu memakai pakaian yang terbaik. Beliau belajar dari kedua guru tersebut dalam bidang figih dan tasawuf, hingga beliau hafal beberapa juz Al-Qur’an. Beliau memiliki semangat belajar yang tinggi dan selalu mencurahkan waktunya untuk mendalami ilmu agama.

Setelah belajar dari kedua guru beliau tersebut, Al-Habib Abdulloh Asy-Syathiry melanjutkan belajar kepada Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad Almasyhur Mufti Dhiyar (pengarang kitab Bughyatul Murtarsyidin) dan juga belajar kepada Al-Habib Al-’Allamah penyebar bendera dakwah Al-Habib Alwi bin Abdurrahman bin Abubakar Almasyhur. Selain itu beliau juga mempelajari dari para ulama yang tinggal di kota Tarim ilmu-ilmu agama seperti figih, tafsir, hadits, tasawuf, mantiq (kalam) dan lain-lain.

Antusias beliau seakan tak pernah surut untuk semakin memperdalam ilmu agama. Untuk itu beliau pergi ke kota Seiwun. Disana beliau belajar kepada Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husin Alhabsyi (pengarang maulud Simthud Duror) selama 4 bulan. Meskipun tak seberapa lama, beliau benar-benar memanfaatkan waktu dan mengaturnya dengan baik, sehingga dengan waktu yang sedikit tersebut dapat menghasilkan ilmu yang lebih banyak dari yang beliau dapatkan sebelumnya. Selain itu beliau juga belajar kepada saudara Al-Habib Ali, yaitu Al-Habib Alwi bin Ali Miuhammad bin Husin Alhabsyi.

Setelah menamatkan pelajarannya, beliau kembali ke kota Tarim. Beliau tidak pernah merasa cukup untuk menuntut ilmu. Himmah (keinginan kuat) beliau untuk belajar tak pernah pudar, bahkan semakin bertambah, sehingga beliau dapat menghafalkan banyak matan terutama dalam ilmu figih seperti matan Al-Irsyad yang beliau hafalkan sampai bab Syuf’ah.

Demikianlah secuil manaqib yang diambil dari lautan kemuliaan beliau. Semoga bermanfaat bagi kita yang senantiasa mengharapkan kesempurnaan dan kemuliaan.

web : http://ahlussunahwaljamaah.wordpress.com

Senin, 09 Agustus 2010

KH Idham Chalid

BIODATA

Nama : KH. Dr. Idham Chalid
Lahir : Satui, Kalimantan Selatan, 27 Agustus 1921
Alamt: Jalan Fatmawati,Komp.Darul Ma’arif Jakarta Selatan
Jabatan Penting :

Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU)
Ketua Partai Masyumi
Pendiri/Ketua Partai NU
Pendiri/Ketua Partai Persatuan Pembangunan ( PPP)
Wakil Perdana Menteri Indonesia
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan MPR
Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Kabinet Pembangunan I 1968-1973)
Menteri Sosial
Tim Penasehat Presiden, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4)

PENGHARGAAN: Doktor Honoris Causa dari Al-Azhar University, Kairo, Mesir

BIOGRAFI

KH Idham Chalid kelahiran Satui, Kalimantan Selatan, 27 Agustus 1921, seorang ulama dan politikus pelaku filosofi air. Dia seorang tokoh Indonesia yang pernah menjadi pucuk pimpinan di lembaga eksekutif, legislatif dan ormas (Wakil Perdana Menteri, Ketua DPR/MPR, dan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama). Juga pernah memimpin pada tiga parpol berbeda yaitu Masyumi, NU dan PPP.

Laksana air, peraih gelar Doktor Honoris Causa dari Al-Azhar University, Kairo, ini seorang tokoh nasional, yang mampu berperan ganda dalam satu situasi, yakni sebagai ulama dan politisi. Sebagai ulama, ia bersikap fleksibel dan akomodatif dengan tetap berpegang pada tradisi dan prinsip Islam yang diembannya. Demikian pula sebagai politisi, ia mampu melakukan gerakan strategis, kompromistis, bahkan pragmatis. Dengan sikap dan peran ganda demikian, termasuk kemampuan mengubah warna kulit politik dan kemampuan beradaptasi terhadap penguasa politik ketika itu, ulama dari Madrasah Pondok Modern Gontor, ini tidak kuatir mendapat kritikan dan stereotip negatif sebagai tokoh yang tidak mempunyai pendirian, bunglon bahkan avonturir.

Peran ganda dan kemampuan beradaptasi dan mengakomodir itu kadang kala membuat banyak orang salah memahami dan mendepksripsi diri, pemikiran serta sikap-sikap socio-polticnya.

Namun jika disimak dengan seksama, sesungguhnya KH Idham Chalid yang berlatarbelakang guru itu adalah seorang tokoh nasional (bangsa) yang visi perjuangannya dalam berbagai peran selalu berorientasi pada kebaikan serta manfaat bagi umat dan bangsa.

Dengan visi perjuangan seperti itu, pemimpin NU selama 28 tahun (1955-1984), itu berpandangan tak harus kaku dalam bersikap, sehingga umat selalu terjaga kesejahteraan fisik dan spiritualnya. Apalagi situasi politik di masa demokrasi terpimpin dan demokrasi Pancasila, tidak jarang adanya tekanan keras dari pihak penguasa serta partai politik dan Ormas radikal.

Sebagaimana digambarkannya dalam buku biografi berjudul “Idham Chalid: Guru Politik Orang NU” yang ditulis Ahmad Muhajir (Penerbit Pustaka Pesantren, Yogyakarta, Cetakan Pertama, Juni 2007) bahwa seorang politisi yang baik mestilah memahami filosofi air.

“Apabila air dimasukkan pada gelas maka ia akan berbentuk gelas, bila dimasukkan ke dalam ember ia akan berbentuk ember, apabila ia dibelah dengan benda tajam, ia akan terputus sesaat dan cepat kembali ke bentuk aslinya. Dan, air selalu mengalir ke temapat yang lebih rendah. Apabila disumbat dan dibendung ia bisa bertahan, bergerak elastis mencari resapan. Bila dibuatkan kanal ia mampu menghasilkan tenaga penggerak turbin listrik serta mampu mengairi sawah dan tanaman sehingga berguna bagi kehidupan makhluk di dunia. (Hal 55)

Sebagai ulama dan politisi pelaku filosofi air, Idham Chalid dapat berperan sebagai tokoh yang santun dan pembawa kesejukan. Apresiasi ini sangat mengemuka pada acara peluncuran buku otobiografi: “Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah”, di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Kamis 6 Maret 2008.

Buku otobiografi Idham Chalid itu diterbitkan Yayasan Forum Indonesia Satu (FIS) yang dipimpin Arief Mudatsir Mandan, yang juga anggota Komisi I DPR dari PPP, juga selaku editor buku tersebut. Idham Chalid sendiri tengah terbaring sakit di rumahnya Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan.

“Saya kira tidak ada tokoh yang bisa seperti beliau. Ketokohannya sangat menonjol, sehingga pernah memimpin partai politik pada tiga parpol berbeda yaitu Masyumi, NU dan PPP,” kata Wapres Jusuf Kalla mengapresiasi sosok Idham Chalid, saat memberi sambutan pada acara peluncuran buku tersebut.

”Beliau itu moderat, bisa diterima di ’segala cuaca’, berada di tengah, oleh sebab itu ia bisa diterima di mana-mana. Ia berada di tengah titik ekstrem yang ada,” ujar Kalla dihadapan sejumlah undangan, antara lain Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Ketua DPR Agung Laksono, Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi, dan sejumlah anggota kabinet dan DPR.

Menurut Jusuf Kalla, sikapnya yang moderat hanya bisa dijalankan oleh orang yang santun. “Hanya orang santunlah yang bisa bersikap moderat,” puji Jusuf Kalla untuk menegaskan bahwa Idham Chalid merupakan sosok ulama dan politisi yang moderat dan santun. Itulah sebabnya, ia bisa diterima di berbagai era politik dan kepemimpinan bangsa.

Menurut Wapres, jika berada di titik yang sama ekstremnya, maka selain demokrat, sosok politik orang yang menjalani itu sudah pasti santun. ”Karena itu, sikap yang santun bisa menjaga suasana kemoderatan,” katanya.

Idham Chalid yang memulai karir politik dari anggota DPRD Kalsel, seorang ulama karismatik, yang selama 28 tahun memimpin Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Pernah menjadi Wakil Perdana Menteri pada era pemerintahan Soekarno, Menteri Kesejahteraan Rakyat dan Menteri Sosial pada era pemerintahan Soeharto dan mantan Ketua DPR/MPR. Idham juga pernah menjadi Ketua Partai Masyumi, Pendiri/Ketua Partai Nahdlatul Ulama dan Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Sementara itu, editor buku, Arief Mudatsir Mandan, mengemukakan, Idham Chalid satu-satunya Ketua Umum PBNU yang paling lama dan bukan ”berdarah biru” NU. Menurutnya, selama kepemimpinan Idham, NU tidak pernah bergejolak. Kendati ia sering dinilai lemah, tetapi sebenarnya itulah strateginya sehingga bisa diterima berbagai zaman,” ujar Arief Mudatsir Mandan.

Sumber: aatsafwat.blogspot.com

Riwayat Hidup KH Idham Chalid

Idham Chalid lahir pada tanggal 27 Agustus 1922 di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan, dan merupakan anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya H Muhammad Chalid, penghulu asal Amuntai, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 kilometer dari Banjarmasin.

Saat usia Idham enam tahun, keluarganya hijrah ke Amuntai dan tinggal di daerah Tangga Ulin, kampung halaman leluhur ayahnya.

Selain tercatat sebagai salah satu tokoh besar bangsa ini pada zaman Orde Lama maupun Orde Baru, sebagian besar kiprah Idham dihabiskan di lingkungan Nahdlatul Ulama.

Idham tercatat sebagai tokoh paling muda sekaligus paling lama memimpin ormas Islam yang didirikan para ulama pada tahun 1926 tersebut.

Dalam ormas berlogo bola dunia dan bintang sembilan itu, Idham menapaki karier yang sangat cemerlang hingga menjadi pucuk pimpinan. Dalam usia 34 tahun, Idham dipercaya menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Jabatan tersebut diembannya selama 28 tahun, yaitu hingga tahun 1984. Pada tahun 1984, posisi Idham di PBNU digantikan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang ditandai dengan fase Khittah 1926 atau NU kembali menegaskan diri sebagai ormas yang tidak terlibat politik praktis serta tidak berafiliasi terhadap partai mana pun.

Selain itu, Idham juga tercatat sebagai “Bapak” pendiri Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Setelah tidak berkiprah di panggung politik praktis yang telah membesarkan namanya, waktu Idham dihabiskan bersama keluarga dengan mengelola Pesantren Daarul Maarif di bilangan Cipete.

Sumber: Antara

Selama 28 Tahun Almarhum Idham Chalid Pimpin NU

Tidak banyak orang yang memiliki pengalaman seperti almarhum Mantan Ketua Umum PBNU KH Idham Chalid dengan berbagai peran dan jabatan yang disandangnya.

Idham Chalid yang lahir pada tanggal 27 Agustus 1922 di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan, adalah anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya H Muhammad Chalid, penghulu asal Amuntai, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 km dari Banjarmasin.

Alamarhum memiliki pengabdian dan pengalaman yang begitu beragam. Setidak Idham Cholid yang telah memimpin NU selama 28 tahun ini dalam karirnya selalu berada dalam tiga sosok, yaitu ketua NU sebagai ormas, NU sebagai parpol dan sebagai pejabat negera. Dia juga pernah memimpin tiga partai yaitu Masyumi, NU dan PPP.

Kiai Idham Chalid pernah menduduki tiga jabatan menteri, yaitu wakil perdana menteri, menkopolkam, dan menteri sosial. Di posisi legislatif, ia juga menduduki berbagai jabatan mulai dari anggota DPRD Kalsel, DPR dan MPR.

Mengenai kemampuannya membawa NU dalam berbagai situasi, hal ini dikarenakan ia merupakan orang moderat yang selalu berada ditengah, disertai sikap kesantunan sehingga bisa diterima oleh semua pihak. Kiai Idham Chalid juga telah berhasil membawa NU keluar dari masa-masa pelik, bahkan genting saat Indonesia masih berusia muda dengan dinamika politik yang luar biasa.

Kiai Idham tercatat sebagai tokoh yang paling muda sekaligus paling lama memimpin ormas Islam yang didirikan para ulama pada tahun 1926 tersebut. Dalam ormas berlambang bola dunia dan bintang sembilan itu, Idham menapaki karir yang sangat cemerlang hingga menjadi pucuk pimpinan.

Dalam usia 34 tahun, Idham dipercaya menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Jabatan tersebut diembannya selama 28 tahun, yaitu hingga tahun 1984. Selanjutnya posisi Idham di PBNU digantikan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur),

Setelah tidak berkiprah di panggung politik praktis yang telah membesarkan namanya, waktu Idham dihabiskan bersama keluarga dengan mengelola Pesantren Daarul Maarif di Bilangan Cipete.

KH Idham Chalid Bukan Hanya Milik Warga NU

Meninggalnya KH Idham Chalid (88) menjadi kehilangan besar bagi warga NU se-Indonesia. Baik semasa Orla maupun Orba, Idham Chalid selalu mengabdikan hidupnya untuk kepentingan bangsa dan negara.

Menurut tokoh NU Kabupaten Magelang, KH Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf), mengemukakan, almarhum telah menjadi bagian dari perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia. Dia juga berjasa besar bagi pengembangan organisasi NU maupun partai yang pernah berafiliasi dengan NU seperti PPP.

“Beliau adalah tokoh panutan kami. Bangsa Indonesia kehilangan sosok dia karena beliau telah mewarnai sejarah bangsa ini lewat kiprahnya,” kata Gus Yusuf, yang juga pengasuh Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, kemarin.

Idham Chalid meninggal dunia pada Minggu (11/7), sekitar pukul 08.00 WIB, di rumah duka Pondok Pesantren Daarul Maarif, Cipete, Jakarta Selatan. 10 tahun terakhir dia harus berjuang melawan serangan jantung dan stroke.

Rencananya, jenazah akan dimakamkan Senin (12/7) di Ponpes Darul Quran, milik keluarga, di Cisarua, Bogor, Jawa Barat karena menunggu kehadiran sebagian putra-putri dan sanak saudara yang tinggal baik di Kalimantan Selatan maupun berbagai daerah lain di Tanah Air.

Perjuangkan Idealisme

Semasa hidupnya, KH Idham Chalid selalu memperjuangkan idealismenya bagi kemajuan bangsa dan negara tanpa meninggalkan posisi dirinya sebagai seorang kiai. Di tengah himpitan situasi politik terutama masa Orde Baru, dia memerankan diri sebagai politisi ulung namun tetap kukuh sebagai seorang kiai.

“Dia tidak meninggalkan jati diri sebagai ulama NU. Hal ini karena dia berpolitik dilandasi ketekunan menjalankan ibadah,” lanjut Gus Yusuf.

Karena itu, Gus Yusuf tak ragu menyebut Chalid sebagai pribadi yang seimbang antara kepentingan rohani dengan duniawi. “Tidak seperti politikus saat ini yang sibuk dengan urusan-urusan politik tetapi tidak menjalankan secara konsekuen ibadahnya,” kritik tokoh seniman Komunitas Lima Gunung Magelang ini.

Sumber: suaramerdeka.com,http://gp-ansor.org/biografi/biografi-k-h-idham-chalid

Sabtu, 07 Agustus 2010

KH. Cholil Nawawie, Sidogiri, Jawa Timur: Teladan dari Kitab Berjalan

“Ya Allah, hidupkan aku dalam keadaan miskin. Dan ambil nyawaku dalam keadaan yang sama. Serta, kumpulkanlah aku bersama orang-orang miskin.”


Sekitar tahun 1925 M/1343H. Nyai Nadzifah, istri Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri, KH. Nawawie Noerhasan, melahirkan seorang bayi lelaki. Atas saran Mbah Cholil Bangkalan, kiai dan wali kesohor dari Bangkalan, bayi itu kemudian diberi nama Muhammad Cholil.

Keistimewaan Kiai Cholil memang sudah tampak sejak kecil, hingga sebagian orang pun meyakininya sudah menjadi wali sejak kecilnya itu.

Sehari sebelum Mbah Cholil Bangkalan wafat, Mas Cholil (panggilan akrab Kiai waktu kecil) berteriak-teriak, “Medura kiamat, Medura kiamat (Madura kiamat, Madura kiamat)”. Ucapan itu diteriakkan Mas Cholil berkali-kali, sehingga didengar oleh abahnya, Kiai Nawawie, yang waktu itu sedang mengajar di surau.

“Ana apa, Lil (ada apa Lil)?” Kiai Nawawie bertanya.

“Medura kiamat, Ba (Madura kiamat, Abah), “ kata Mas Cholil, mengulang.

Kiai Nawawie baru mengerti perkataan Mas Cholil pada keesokan harinya, ketika sampai berita kepadanya bahwa Mbah Cholil Bangkalan wafat. Ulama adalah pilar dunia yang dapat menahan murka Allah untuk menurunkan adzab pada manusia. Karena itu, wafatnya seorang ulama besar sekelas Mbah Cholil bisa disebut sebagai kiamat.

Dalam menjalani masa-masa belajar, Kiai Cholil mengembara dari satu pondok ke pondok yang lain. Selain mengaji kepada Kiai Abdul Djalil, Kiai Cholil juga pernah ngaji di Pesantren Sarang, Jawa Tengah, saat pesantren itu diasuh oleh Kiai Zubair, ayahanda K.H. Maimun Zubair.

Saat mondok di sana, di samping mengaji, secara sembunyi-sembunyi ia mengisi bak mandi Kiai Zubair. Selang beberapa lama, hal itu diketahui, Kiai Zubair berkata kepada Kiai Cholil, “Mas, sampeyan wangsul mawon, sa aken liane (Mas, kamu pulang saja, kasihan yang lain).”

Maksud kata “kasihan” tersebut karena hampir di setiap sisi ia unggul, sementara santri lainnya tertinggal jauh. Bahkan pada masalah yang tak terkait dengan pelajaran secara langsung, seperti kerja mengabdi kepada guru, ia mengungguli yang lainnya.

Di Pondok Sarang, Kiai Cholil mondok hanya sekitar tiga bulan.

Selepas dari Sarang, Kiai Cholil melanjutkan mengaji kepada Kiai Mahfudz, Termas, dan Kiai Masduki, Lasem, Jawa Tengah. Tidak diketahui secara pasti berapa lama Kiai Cholil mengaji kepada dua ulama kenamaan tersebut.

Selang beberapa lama, Kiai Cholil berangkat nyantri ke Makkah. Di Tanah Suci, Kiai Cholil mengaji kepada ulama-ulama besar, di antaranya Syaikh Amin Kutbi dan Syaikh Hasan Al-Yamani. Disebutkan, sewaktu di Makkah ia mondok selama tiga tahun.


Dua Lumbung Padi

Di dalem Kiai Cholil ada dua lumbung padi, satu untuk keperluan dalem, yang satunya untuk persediaan seandainya masyarakat kampung membutuhkan. Kondisi seperti itu sudah lama ia perhitungkan. Sebab, ketika waktu paceklik datang, biasanya masyarakat akan datang meminta bantuan kepadanya.

Suatu saat panen gagal, sehingga masyarakat berduyun-duyun meminta bantuan. Saking banyaknya yang datang, lumbung persediaan yang biasanya untuk keperluan dalem juga dikeluarkan, tapi tetap saja tidak mencukupi.

Kondisi itu membuatnya menangis sedih. Ia merasa tidak dapat membantu masyarakat dengan maksimal.

Bila hari raya sudah dekat, seperti biasanya banyak orang berkeliling menjajakan dagangan dari rumah ke rumah. Setiap orang yang datang kepadanya untuk menawarkan barang, hampir pasti barang dagangannya dibelinya, dan untuk sementara waktu disimpannya di dalem. Ketika hari raya tiba, semua barang itu dibagikan kepada tetangga sekitar.

Kiai Cholil juga dikenal sebagai seorang yang sangat menghormati tamu dan tidak membeda-bedakan siapa pun tamu yang datang kepadanya. Semua tamu ia sambut dengan penuh hormat dengan sambutan yang hangat.

Wujud kepeduliannya juga dapat dilihat dari komitmennya yang bukan saja mengajar santri-santri didiknya, tetapi juga mendidik masyarakat. Secara rutin ia memberikan pengajian kepada masyarakat kampung setiap hari Selasa. Sementara pada hari Ahad ia memberi pengajian kitab Bidayatul Hidayah kepada kepala desa dan aparatnya se-Kecamatan Kraton.


Pendidik Sejati nan Bersahaja

Kiai Cholil adalah sosok yang kesehariannya penuh dengan keteladanan. Di antara teladan istimewanya adalah keistiqamahannya yang sangat menonjol dalam hal belajar dan mengajar.

Sedari kecil, kecintaannya pada ilmu sudah sangat kuat. Itu ditandai di antaranya dengan kepergiannya yang selalu tak pernah lepas dari kitab.

Sementara dalam hal mengajar, para santrinya sangat merasakannya. Bagi mereka, hampir tidak pernah ada libur dalam majelis-majelis rutin bersama Kiai Cholil di sepanjang hidupnya.

Cerita salah seorang muridnya, Ustadz Abdurrahman Syakur, dirinya sering diajak Kiai Cholil untuk menghadiri undangan. Biasanya naik dokar. Di sela-sela perjalanan, Kiai Cholil sering kali menyempatkan diri mengajari pelajaran ilmu faraidh. Sampai sekarang pelajaran yang diberikan Kiai Cholil terus teringat dan banyak manfaatnya bagi si ustadz.

Terhadap pengembangan kualitas keilmuan santri, khususnya para santri senior, ia sangat menaruh perhatian. Secara bergilir santri senior dipanggil untuk membaca kitab di hadapannya. Karena Kiai Cholil yang memanggil, mau tidak mau, mereka tertuntut untuk selalu siap menguasai materi pelajaran, khawatir bila mereka dipanggil secara mendadak.

Ketekunannya dalam menyimak memang luar biasa. Adiknya, Kiai Hasani, sangat mengagumi sifat kakaknya itu. Kiai Hasani pun sampat mengutarakan langsung kekagumannya kepada sang kakak.

Namun dengan tawadhu’ Kiai Cholil menganggap ketekunan itu satu hal yang sangat wajar dan tidak perlu dikagumi. “Tidak tahu, Ni (Kiai Hasani), saya senang muthala’ah, anak-anak senang mendengarkan),” katanya kepada Kiai Hasani.

Salah seorang kiai, Kiai Aqib Yasin, pernah menuturkan, dalam hal ibadah zhahir, Kiai Cholil bisa dibilang “biasa”. Tapi dalam hal ta’lim wa ta’allum, ia luar biasa. “Tirakat Kiai Cholil itu ta’lim wa ta’allum.”

Mengenai ketekunannya tersebut, Kiai Cholil pernah menukil dhawuh dari ayahnya, Kiai Nawawie Noerhasan, “Tekunlah belajar dan shalat berjama’ah, niscaya kau peroleh ilmu yang bermanfaat”. Rupanya, dhawuh itu sangat membekas dan menjadi prinsip hidup Kiai Cholil. Tidak ada kamus berleha-leha, melepaskan waktu tersia-sia tanpa belajar.

Teringat akan dhawuh itu pula, selain dalam hal ilmu, dalam hal shalat berjama’ah selama hidupnya bisa dikatakan ia tidak pernah meninggalkan shalat berjama’ah. Ketika hampir wafat pun, ia memaksakan diri shalat berjama’ah dengan bermakmum kepada seorang kiai lainnya, K.H. Abdul Halim.

Kiai Cholil termasuk seorang hafizhul Qur’an, orang yang hafal Al-Quran. Bila ia mengimami shalat berjama’ah, suaranya menyejukkan qalbu dan sangat menyentuh hati, hingga tak jarang membuat air mata orang yang bermakmum kepadanya menetes tanpa mereka sadari.

Kiai Cholil adalah sebuah kitab yang telah termanifestasi dalam tingkah laku. Demikian buku Jejak Langkah Masyayikh Sidogiri menyebutkannya. Dengan kata lain, ia adalah kitab berjalan yang berhias perilaku yang penuh dengan keteladanan dalam gerak-geriknya sehari-hari. Akhlaq dan syari’atnya tepat berpadu dengan ilmunya.

Sepulang menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya, Kiai Cholil berkata pada Kiai Hasani, “Tidak pas, Ni. Mengerjakan sunnah, meninggalkan yang wajib.” Kalimat itu adalah ungkapan protes darinya pada sistem dan juga praktek pelaksanaan ibadah haji yang sering mengabaikan salat dalam perjalanan.

Pada suatu acara walimah, uang Kiai Cholil diambil oleh Gus ‘Ud, seorang yang terkenal sebagai wali majdzub. Kiai Cholil mengingatkan, “Haram, Gus… haram, Gus!” Kiai Cholil mengingatkan, siapapun orangnya, jika tidak sesuai syari’at, harus ditegur.

Selain tegas dalam hal syari’at, profilnya dikenal sangat sederhana dan tidak suka ditonjol-tonjolkan. Dalam forum-forum apapun ia lebih senang diam. Diamnya bukan berarti diam tidak paham atau acuh tak acuh. Diamnya itu adalah untuk memberikan kesempatan bicara yang lebih luas kepada yang lainnya. Terbukti, biasanya setelah semua anggota dalam suatu forum kehabisan argumen atau ada yang musykil, barulah Kiai Cholil angkat bicara, dan mereka semua langsung bisa menerima. Sehingga, bisik-bisik di kalangan mereka menyebutkan, ”Kiai Cholil banyak hafal kitab”.

Saat makan, bila sudah terasa nikmat, ia berhenti seketika. Soal kebiasaannya ini, Kiai Cholil tidak pernah bercerita, hingga sampai suatu ketika salah seorang yang biasa mendampinginya bertanya kepadanya tentang hal itu. “Saya khawatir nikmat saya habis di dunia,” jawab Kiai Cholil.

Sikap hidup sederhana Kiai Cholil bisa dibaca dari doa yang tertampang di dalemnya, “Ya Allah, hidupkan aku dalam keadaan miskin. Dan ambil nyawaku dalam keadaan yang sama. Serta kumpulkankanlah aku bersama orang-orang miskin.” Juga sebuah ayat Al-Quran yang maknanya, “Kami memberikan makan pada kalian hanya untuk (mencari) ridha Allah. Kami tidak mengharap dari kalian balasan dan juga kata terima kasih.”

Kedua kalimat itu terpampang di ruang tamu dalem Kiai Cholil dan sering dibaca olehnya. Tulisan itu bukan sebuah hiasan belaka atau slogan kosong, tapi betul-betul terwujud nyata dalam kehidupan Kiai Cholil sehari-hari.


Kepergian Sang Teladan

Segala yang hidup akan kembali kepada-Nya. Tak ada yang mampu menebak kapan Malaikat Maut akan datang menjemput ajal. Tak ada pula orang yang dapat mengulur waktu dari jadwal yang telah ditentukan.

Di salah satu malam ganjil pada bulan yang amat mulia, Senin Pon 21 Ramadhan 1397 H atau 05 September 1977, Kiai Cholil wafat.

Shalat terakhirnya adalah shalat Isya yang kemudian dilanjutkan dengan shalat Tarawih. Ia shalat duduk bermakmum kepada K.H. Abdul Halim. Sebelum shalat, karena sifat tawadhu’nya, ia bertanya kepada K.H. Abdul Halim, apakah sudah boleh dirinya shalat dengan duduk.

Saat sedang mengerjakan shalat Tarawih seperti malam-malam sebelumnya, ia pergi ke kamar kecil. Ketika itu, ia terjatuh tanpa ada seorang pun bersamanya.

Tak lama berselang salah seorang santri yang biasa mengirinya dating menolong. Tapi tak lama kemudian, Kiai Cholil mengembuskan napas yang terakhir.

Beribu-ribu orang hadir untuk memberikan penghormatan kepada seorang yang pernah dikomentari oleh Rais Am NU K.H. Ahmad Shiddiq Jember, “Kiai Cholil itu wali karena istiqamahnya.” Dengan mata berkaca-kaca mereka mengenang dengan doa kepada sosok kiai tercinta. Kiai yang penuh rasa kasih sayang.

Saat itu, keranda seperti berjalan di atas ujung jari, karena begitu banyak dan rapatnya orang yang memikul. Bahkan, tikar yang dibuat sebagai alas keranda menjadi rebutan ribuan jama’ah sampai habis tak tersisa. Semuanya berebut untuk mengambil, kendati secuil, barakah Kiai Cholil. []

IY*AP



Catatan:
1. Yang disebut “Kiai Abdul Djalil” adalah K.H. Abd. Djalil bin Fadlil, kakak ipar K.H. Cholil Nawawie dan Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri sebelum beliau.
2. Yang disebut “Ustadz Abdurrahman Syakur” adalah K.H. AD. Rohman Syakur, Rais Syuriah PCNU Kab. Pasuruan.
3. Yang disebut “K.H. Abdul Halim” adalah K.H. Abd. Alim Abd. Djalil (wafat 2005), keponakan K.H. Cholil Nawawie dan penerusnya sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.
4. Yang disebut “Kiai Aqib Yasin” adalah keponakan K.H. Cholil Nawawie dan kiai di PP. Salafiyah, Kota Pasuruan.
(“Ya Allah, hidupkan aku dalam keadaan miskin. Dan ambil nyawaku dalam keadaan yang sama. Serta, kumpulkanlah aku bersama orang-orang miskin.”


Sekitar tahun 1925 M/1343H. Nyai Nadzifah, istri Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri, KH. Nawawie Noerhasan, melahirkan seorang bayi lelaki. Atas saran Mbah Cholil Bangkalan, kiai dan wali kesohor dari Bangkalan, bayi itu kemudian diberi nama Muhammad Cholil.

Keistimewaan Kiai Cholil memang sudah tampak sejak kecil, hingga sebagian orang pun meyakininya sudah menjadi wali sejak kecilnya itu.

Sehari sebelum Mbah Cholil Bangkalan wafat, Mas Cholil (panggilan akrab Kiai waktu kecil) berteriak-teriak, “Medura kiamat, Medura kiamat (Madura kiamat, Madura kiamat)”. Ucapan itu diteriakkan Mas Cholil berkali-kali, sehingga didengar oleh abahnya, Kiai Nawawie, yang waktu itu sedang mengajar di surau.

“Ana apa, Lil (ada apa Lil)?” Kiai Nawawie bertanya.

“Medura kiamat, Ba (Madura kiamat, Abah), “ kata Mas Cholil, mengulang.

Kiai Nawawie baru mengerti perkataan Mas Cholil pada keesokan harinya, ketika sampai berita kepadanya bahwa Mbah Cholil Bangkalan wafat. Ulama adalah pilar dunia yang dapat menahan murka Allah untuk menurunkan adzab pada manusia. Karena itu, wafatnya seorang ulama besar sekelas Mbah Cholil bisa disebut sebagai kiamat.

Dalam menjalani masa-masa belajar, Kiai Cholil mengembara dari satu pondok ke pondok yang lain. Selain mengaji kepada Kiai Abdul Djalil, Kiai Cholil juga pernah ngaji di Pesantren Sarang, Jawa Tengah, saat pesantren itu diasuh oleh Kiai Zubair, ayahanda K.H. Maimun Zubair.

Saat mondok di sana, di samping mengaji, secara sembunyi-sembunyi ia mengisi bak mandi Kiai Zubair. Selang beberapa lama, hal itu diketahui, Kiai Zubair berkata kepada Kiai Cholil, “Mas, sampeyan wangsul mawon, sa aken liane (Mas, kamu pulang saja, kasihan yang lain).”

Maksud kata “kasihan” tersebut karena hampir di setiap sisi ia unggul, sementara santri lainnya tertinggal jauh. Bahkan pada masalah yang tak terkait dengan pelajaran secara langsung, seperti kerja mengabdi kepada guru, ia mengungguli yang lainnya.

Di Pondok Sarang, Kiai Cholil mondok hanya sekitar tiga bulan.

Selepas dari Sarang, Kiai Cholil melanjutkan mengaji kepada Kiai Mahfudz, Termas, dan Kiai Masduki, Lasem, Jawa Tengah. Tidak diketahui secara pasti berapa lama Kiai Cholil mengaji kepada dua ulama kenamaan tersebut.

Selang beberapa lama, Kiai Cholil berangkat nyantri ke Makkah. Di Tanah Suci, Kiai Cholil mengaji kepada ulama-ulama besar, di antaranya Syaikh Amin Kutbi dan Syaikh Hasan Al-Yamani. Disebutkan, sewaktu di Makkah ia mondok selama tiga tahun.


Dua Lumbung Padi

Di dalem Kiai Cholil ada dua lumbung padi, satu untuk keperluan dalem, yang satunya untuk persediaan seandainya masyarakat kampung membutuhkan. Kondisi seperti itu sudah lama ia perhitungkan. Sebab, ketika waktu paceklik datang, biasanya masyarakat akan datang meminta bantuan kepadanya.

Suatu saat panen gagal, sehingga masyarakat berduyun-duyun meminta bantuan. Saking banyaknya yang datang, lumbung persediaan yang biasanya untuk keperluan dalem juga dikeluarkan, tapi tetap saja tidak mencukupi.

Kondisi itu membuatnya menangis sedih. Ia merasa tidak dapat membantu masyarakat dengan maksimal.

Bila hari raya sudah dekat, seperti biasanya banyak orang berkeliling menjajakan dagangan dari rumah ke rumah. Setiap orang yang datang kepadanya untuk menawarkan barang, hampir pasti barang dagangannya dibelinya, dan untuk sementara waktu disimpannya di dalem. Ketika hari raya tiba, semua barang itu dibagikan kepada tetangga sekitar.

Kiai Cholil juga dikenal sebagai seorang yang sangat menghormati tamu dan tidak membeda-bedakan siapa pun tamu yang datang kepadanya. Semua tamu ia sambut dengan penuh hormat dengan sambutan yang hangat.

Wujud kepeduliannya juga dapat dilihat dari komitmennya yang bukan saja mengajar santri-santri didiknya, tetapi juga mendidik masyarakat. Secara rutin ia memberikan pengajian kepada masyarakat kampung setiap hari Selasa. Sementara pada hari Ahad ia memberi pengajian kitab Bidayatul Hidayah kepada kepala desa dan aparatnya se-Kecamatan Kraton.


Pendidik Sejati nan Bersahaja

Kiai Cholil adalah sosok yang kesehariannya penuh dengan keteladanan. Di antara teladan istimewanya adalah keistiqamahannya yang sangat menonjol dalam hal belajar dan mengajar.

Sedari kecil, kecintaannya pada ilmu sudah sangat kuat. Itu ditandai di antaranya dengan kepergiannya yang selalu tak pernah lepas dari kitab.

Sementara dalam hal mengajar, para santrinya sangat merasakannya. Bagi mereka, hampir tidak pernah ada libur dalam majelis-majelis rutin bersama Kiai Cholil di sepanjang hidupnya.

Cerita salah seorang muridnya, Ustadz Abdurrahman Syakur, dirinya sering diajak Kiai Cholil untuk menghadiri undangan. Biasanya naik dokar. Di sela-sela perjalanan, Kiai Cholil sering kali menyempatkan diri mengajari pelajaran ilmu faraidh. Sampai sekarang pelajaran yang diberikan Kiai Cholil terus teringat dan banyak manfaatnya bagi si ustadz.

Terhadap pengembangan kualitas keilmuan santri, khususnya para santri senior, ia sangat menaruh perhatian. Secara bergilir santri senior dipanggil untuk membaca kitab di hadapannya. Karena Kiai Cholil yang memanggil, mau tidak mau, mereka tertuntut untuk selalu siap menguasai materi pelajaran, khawatir bila mereka dipanggil secara mendadak.

Ketekunannya dalam menyimak memang luar biasa. Adiknya, Kiai Hasani, sangat mengagumi sifat kakaknya itu. Kiai Hasani pun sampat mengutarakan langsung kekagumannya kepada sang kakak.

Namun dengan tawadhu’ Kiai Cholil menganggap ketekunan itu satu hal yang sangat wajar dan tidak perlu dikagumi. “Tidak tahu, Ni (Kiai Hasani), saya senang muthala’ah, anak-anak senang mendengarkan),” katanya kepada Kiai Hasani.

Salah seorang kiai, Kiai Aqib Yasin, pernah menuturkan, dalam hal ibadah zhahir, Kiai Cholil bisa dibilang “biasa”. Tapi dalam hal ta’lim wa ta’allum, ia luar biasa. “Tirakat Kiai Cholil itu ta’lim wa ta’allum.”

Mengenai ketekunannya tersebut, Kiai Cholil pernah menukil dhawuh dari ayahnya, Kiai Nawawie Noerhasan, “Tekunlah belajar dan shalat berjama’ah, niscaya kau peroleh ilmu yang bermanfaat”. Rupanya, dhawuh itu sangat membekas dan menjadi prinsip hidup Kiai Cholil. Tidak ada kamus berleha-leha, melepaskan waktu tersia-sia tanpa belajar.

Teringat akan dhawuh itu pula, selain dalam hal ilmu, dalam hal shalat berjama’ah selama hidupnya bisa dikatakan ia tidak pernah meninggalkan shalat berjama’ah. Ketika hampir wafat pun, ia memaksakan diri shalat berjama’ah dengan bermakmum kepada seorang kiai lainnya, K.H. Abdul Halim.

Kiai Cholil termasuk seorang hafizhul Qur’an, orang yang hafal Al-Quran. Bila ia mengimami shalat berjama’ah, suaranya menyejukkan qalbu dan sangat menyentuh hati, hingga tak jarang membuat air mata orang yang bermakmum kepadanya menetes tanpa mereka sadari.

Kiai Cholil adalah sebuah kitab yang telah termanifestasi dalam tingkah laku. Demikian buku Jejak Langkah Masyayikh Sidogiri menyebutkannya. Dengan kata lain, ia adalah kitab berjalan yang berhias perilaku yang penuh dengan keteladanan dalam gerak-geriknya sehari-hari. Akhlaq dan syari’atnya tepat berpadu dengan ilmunya.

Sepulang menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya, Kiai Cholil berkata pada Kiai Hasani, “Tidak pas, Ni. Mengerjakan sunnah, meninggalkan yang wajib.” Kalimat itu adalah ungkapan protes darinya pada sistem dan juga praktek pelaksanaan ibadah haji yang sering mengabaikan salat dalam perjalanan.

Pada suatu acara walimah, uang Kiai Cholil diambil oleh Gus ‘Ud, seorang yang terkenal sebagai wali majdzub. Kiai Cholil mengingatkan, “Haram, Gus… haram, Gus!” Kiai Cholil mengingatkan, siapapun orangnya, jika tidak sesuai syari’at, harus ditegur.

Selain tegas dalam hal syari’at, profilnya dikenal sangat sederhana dan tidak suka ditonjol-tonjolkan. Dalam forum-forum apapun ia lebih senang diam. Diamnya bukan berarti diam tidak paham atau acuh tak acuh. Diamnya itu adalah untuk memberikan kesempatan bicara yang lebih luas kepada yang lainnya. Terbukti, biasanya setelah semua anggota dalam suatu forum kehabisan argumen atau ada yang musykil, barulah Kiai Cholil angkat bicara, dan mereka semua langsung bisa menerima. Sehingga, bisik-bisik di kalangan mereka menyebutkan, ”Kiai Cholil banyak hafal kitab”.

Saat makan, bila sudah terasa nikmat, ia berhenti seketika. Soal kebiasaannya ini, Kiai Cholil tidak pernah bercerita, hingga sampai suatu ketika salah seorang yang biasa mendampinginya bertanya kepadanya tentang hal itu. “Saya khawatir nikmat saya habis di dunia,” jawab Kiai Cholil.

Sikap hidup sederhana Kiai Cholil bisa dibaca dari doa yang tertampang di dalemnya, “Ya Allah, hidupkan aku dalam keadaan miskin. Dan ambil nyawaku dalam keadaan yang sama. Serta kumpulkankanlah aku bersama orang-orang miskin.” Juga sebuah ayat Al-Quran yang maknanya, “Kami memberikan makan pada kalian hanya untuk (mencari) ridha Allah. Kami tidak mengharap dari kalian balasan dan juga kata terima kasih.”

Kedua kalimat itu terpampang di ruang tamu dalem Kiai Cholil dan sering dibaca olehnya. Tulisan itu bukan sebuah hiasan belaka atau slogan kosong, tapi betul-betul terwujud nyata dalam kehidupan Kiai Cholil sehari-hari.


Kepergian Sang Teladan

Segala yang hidup akan kembali kepada-Nya. Tak ada yang mampu menebak kapan Malaikat Maut akan datang menjemput ajal. Tak ada pula orang yang dapat mengulur waktu dari jadwal yang telah ditentukan.

Di salah satu malam ganjil pada bulan yang amat mulia, Senin Pon 21 Ramadhan 1397 H atau 05 September 1977, Kiai Cholil wafat.

Shalat terakhirnya adalah shalat Isya yang kemudian dilanjutkan dengan shalat Tarawih. Ia shalat duduk bermakmum kepada K.H. Abdul Halim. Sebelum shalat, karena sifat tawadhu’nya, ia bertanya kepada K.H. Abdul Halim, apakah sudah boleh dirinya shalat dengan duduk.

Saat sedang mengerjakan shalat Tarawih seperti malam-malam sebelumnya, ia pergi ke kamar kecil. Ketika itu, ia terjatuh tanpa ada seorang pun bersamanya.

Tak lama berselang salah seorang santri yang biasa mengirinya dating menolong. Tapi tak lama kemudian, Kiai Cholil mengembuskan napas yang terakhir.

Beribu-ribu orang hadir untuk memberikan penghormatan kepada seorang yang pernah dikomentari oleh Rais Am NU K.H. Ahmad Shiddiq Jember, “Kiai Cholil itu wali karena istiqamahnya.” Dengan mata berkaca-kaca mereka mengenang dengan doa kepada sosok kiai tercinta. Kiai yang penuh rasa kasih sayang.

Saat itu, keranda seperti berjalan di atas ujung jari, karena begitu banyak dan rapatnya orang yang memikul. Bahkan, tikar yang dibuat sebagai alas keranda menjadi rebutan ribuan jama’ah sampai habis tak tersisa. Semuanya berebut untuk mengambil, kendati secuil, barakah Kiai Cholil. []

IY*AP



Catatan:
1. Yang disebut “Kiai Abdul Djalil” adalah K.H. Abd. Djalil bin Fadlil, kakak ipar K.H. Cholil Nawawie dan Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri sebelum beliau.
2. Yang disebut “Ustadz Abdurrahman Syakur” adalah K.H. AD. Rohman Syakur, Rais Syuriah PCNU Kab. Pasuruan.
3. Yang disebut “K.H. Abdul Halim” adalah K.H. Abd. Alim Abd. Djalil (wafat 2005), keponakan K.H. Cholil Nawawie dan penerusnya sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.
4. Yang disebut “Kiai Aqib Yasin” adalah keponakan K.H. Cholil Nawawie dan kiai di PP. Salafiyah, Kota Pasuruan.
(“Ya Allah, hidupkan aku dalam keadaan miskin. Dan ambil nyawaku dalam keadaan yang sama. Serta, kumpulkanlah aku bersama orang-orang miskin.”


Sekitar tahun 1925 M/1343H. Nyai Nadzifah, istri Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri, KH. Nawawie Noerhasan, melahirkan seorang bayi lelaki. Atas saran Mbah Cholil Bangkalan, kiai dan wali kesohor dari Bangkalan, bayi itu kemudian diberi nama Muhammad Cholil.

Keistimewaan Kiai Cholil memang sudah tampak sejak kecil, hingga sebagian orang pun meyakininya sudah menjadi wali sejak kecilnya itu.

Sehari sebelum Mbah Cholil Bangkalan wafat, Mas Cholil (panggilan akrab Kiai waktu kecil) berteriak-teriak, “Medura kiamat, Medura kiamat (Madura kiamat, Madura kiamat)”. Ucapan itu diteriakkan Mas Cholil berkali-kali, sehingga didengar oleh abahnya, Kiai Nawawie, yang waktu itu sedang mengajar di surau.

“Ana apa, Lil (ada apa Lil)?” Kiai Nawawie bertanya.

“Medura kiamat, Ba (Madura kiamat, Abah), “ kata Mas Cholil, mengulang.

Kiai Nawawie baru mengerti perkataan Mas Cholil pada keesokan harinya, ketika sampai berita kepadanya bahwa Mbah Cholil Bangkalan wafat. Ulama adalah pilar dunia yang dapat menahan murka Allah untuk menurunkan adzab pada manusia. Karena itu, wafatnya seorang ulama besar sekelas Mbah Cholil bisa disebut sebagai kiamat.

Dalam menjalani masa-masa belajar, Kiai Cholil mengembara dari satu pondok ke pondok yang lain. Selain mengaji kepada Kiai Abdul Djalil, Kiai Cholil juga pernah ngaji di Pesantren Sarang, Jawa Tengah, saat pesantren itu diasuh oleh Kiai Zubair, ayahanda K.H. Maimun Zubair.

Saat mondok di sana, di samping mengaji, secara sembunyi-sembunyi ia mengisi bak mandi Kiai Zubair. Selang beberapa lama, hal itu diketahui, Kiai Zubair berkata kepada Kiai Cholil, “Mas, sampeyan wangsul mawon, sa aken liane (Mas, kamu pulang saja, kasihan yang lain).”

Maksud kata “kasihan” tersebut karena hampir di setiap sisi ia unggul, sementara santri lainnya tertinggal jauh. Bahkan pada masalah yang tak terkait dengan pelajaran secara langsung, seperti kerja mengabdi kepada guru, ia mengungguli yang lainnya.

Di Pondok Sarang, Kiai Cholil mondok hanya sekitar tiga bulan.

Selepas dari Sarang, Kiai Cholil melanjutkan mengaji kepada Kiai Mahfudz, Termas, dan Kiai Masduki, Lasem, Jawa Tengah. Tidak diketahui secara pasti berapa lama Kiai Cholil mengaji kepada dua ulama kenamaan tersebut.

Selang beberapa lama, Kiai Cholil berangkat nyantri ke Makkah. Di Tanah Suci, Kiai Cholil mengaji kepada ulama-ulama besar, di antaranya Syaikh Amin Kutbi dan Syaikh Hasan Al-Yamani. Disebutkan, sewaktu di Makkah ia mondok selama tiga tahun.


Dua Lumbung Padi

Di dalem Kiai Cholil ada dua lumbung padi, satu untuk keperluan dalem, yang satunya untuk persediaan seandainya masyarakat kampung membutuhkan. Kondisi seperti itu sudah lama ia perhitungkan. Sebab, ketika waktu paceklik datang, biasanya masyarakat akan datang meminta bantuan kepadanya.

Suatu saat panen gagal, sehingga masyarakat berduyun-duyun meminta bantuan. Saking banyaknya yang datang, lumbung persediaan yang biasanya untuk keperluan dalem juga dikeluarkan, tapi tetap saja tidak mencukupi.

Kondisi itu membuatnya menangis sedih. Ia merasa tidak dapat membantu masyarakat dengan maksimal.

Bila hari raya sudah dekat, seperti biasanya banyak orang berkeliling menjajakan dagangan dari rumah ke rumah. Setiap orang yang datang kepadanya untuk menawarkan barang, hampir pasti barang dagangannya dibelinya, dan untuk sementara waktu disimpannya di dalem. Ketika hari raya tiba, semua barang itu dibagikan kepada tetangga sekitar.

Kiai Cholil juga dikenal sebagai seorang yang sangat menghormati tamu dan tidak membeda-bedakan siapa pun tamu yang datang kepadanya. Semua tamu ia sambut dengan penuh hormat dengan sambutan yang hangat.

Wujud kepeduliannya juga dapat dilihat dari komitmennya yang bukan saja mengajar santri-santri didiknya, tetapi juga mendidik masyarakat. Secara rutin ia memberikan pengajian kepada masyarakat kampung setiap hari Selasa. Sementara pada hari Ahad ia memberi pengajian kitab Bidayatul Hidayah kepada kepala desa dan aparatnya se-Kecamatan Kraton.


Pendidik Sejati nan Bersahaja

Kiai Cholil adalah sosok yang kesehariannya penuh dengan keteladanan. Di antara teladan istimewanya adalah keistiqamahannya yang sangat menonjol dalam hal belajar dan mengajar.

Sedari kecil, kecintaannya pada ilmu sudah sangat kuat. Itu ditandai di antaranya dengan kepergiannya yang selalu tak pernah lepas dari kitab.

Sementara dalam hal mengajar, para santrinya sangat merasakannya. Bagi mereka, hampir tidak pernah ada libur dalam majelis-majelis rutin bersama Kiai Cholil di sepanjang hidupnya.

Cerita salah seorang muridnya, Ustadz Abdurrahman Syakur, dirinya sering diajak Kiai Cholil untuk menghadiri undangan. Biasanya naik dokar. Di sela-sela perjalanan, Kiai Cholil sering kali menyempatkan diri mengajari pelajaran ilmu faraidh. Sampai sekarang pelajaran yang diberikan Kiai Cholil terus teringat dan banyak manfaatnya bagi si ustadz.

Terhadap pengembangan kualitas keilmuan santri, khususnya para santri senior, ia sangat menaruh perhatian. Secara bergilir santri senior dipanggil untuk membaca kitab di hadapannya. Karena Kiai Cholil yang memanggil, mau tidak mau, mereka tertuntut untuk selalu siap menguasai materi pelajaran, khawatir bila mereka dipanggil secara mendadak.

Ketekunannya dalam menyimak memang luar biasa. Adiknya, Kiai Hasani, sangat mengagumi sifat kakaknya itu. Kiai Hasani pun sampat mengutarakan langsung kekagumannya kepada sang kakak.

Namun dengan tawadhu’ Kiai Cholil menganggap ketekunan itu satu hal yang sangat wajar dan tidak perlu dikagumi. “Tidak tahu, Ni (Kiai Hasani), saya senang muthala’ah, anak-anak senang mendengarkan),” katanya kepada Kiai Hasani.

Salah seorang kiai, Kiai Aqib Yasin, pernah menuturkan, dalam hal ibadah zhahir, Kiai Cholil bisa dibilang “biasa”. Tapi dalam hal ta’lim wa ta’allum, ia luar biasa. “Tirakat Kiai Cholil itu ta’lim wa ta’allum.”

Mengenai ketekunannya tersebut, Kiai Cholil pernah menukil dhawuh dari ayahnya, Kiai Nawawie Noerhasan, “Tekunlah belajar dan shalat berjama’ah, niscaya kau peroleh ilmu yang bermanfaat”. Rupanya, dhawuh itu sangat membekas dan menjadi prinsip hidup Kiai Cholil. Tidak ada kamus berleha-leha, melepaskan waktu tersia-sia tanpa belajar.

Teringat akan dhawuh itu pula, selain dalam hal ilmu, dalam hal shalat berjama’ah selama hidupnya bisa dikatakan ia tidak pernah meninggalkan shalat berjama’ah. Ketika hampir wafat pun, ia memaksakan diri shalat berjama’ah dengan bermakmum kepada seorang kiai lainnya, K.H. Abdul Halim.

Kiai Cholil termasuk seorang hafizhul Qur’an, orang yang hafal Al-Quran. Bila ia mengimami shalat berjama’ah, suaranya menyejukkan qalbu dan sangat menyentuh hati, hingga tak jarang membuat air mata orang yang bermakmum kepadanya menetes tanpa mereka sadari.

Kiai Cholil adalah sebuah kitab yang telah termanifestasi dalam tingkah laku. Demikian buku Jejak Langkah Masyayikh Sidogiri menyebutkannya. Dengan kata lain, ia adalah kitab berjalan yang berhias perilaku yang penuh dengan keteladanan dalam gerak-geriknya sehari-hari. Akhlaq dan syari’atnya tepat berpadu dengan ilmunya.

Sepulang menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya, Kiai Cholil berkata pada Kiai Hasani, “Tidak pas, Ni. Mengerjakan sunnah, meninggalkan yang wajib.” Kalimat itu adalah ungkapan protes darinya pada sistem dan juga praktek pelaksanaan ibadah haji yang sering mengabaikan salat dalam perjalanan.

Pada suatu acara walimah, uang Kiai Cholil diambil oleh Gus ‘Ud, seorang yang terkenal sebagai wali majdzub. Kiai Cholil mengingatkan, “Haram, Gus… haram, Gus!” Kiai Cholil mengingatkan, siapapun orangnya, jika tidak sesuai syari’at, harus ditegur.

Selain tegas dalam hal syari’at, profilnya dikenal sangat sederhana dan tidak suka ditonjol-tonjolkan. Dalam forum-forum apapun ia lebih senang diam. Diamnya bukan berarti diam tidak paham atau acuh tak acuh. Diamnya itu adalah untuk memberikan kesempatan bicara yang lebih luas kepada yang lainnya. Terbukti, biasanya setelah semua anggota dalam suatu forum kehabisan argumen atau ada yang musykil, barulah Kiai Cholil angkat bicara, dan mereka semua langsung bisa menerima. Sehingga, bisik-bisik di kalangan mereka menyebutkan, ”Kiai Cholil banyak hafal kitab”.

Saat makan, bila sudah terasa nikmat, ia berhenti seketika. Soal kebiasaannya ini, Kiai Cholil tidak pernah bercerita, hingga sampai suatu ketika salah seorang yang biasa mendampinginya bertanya kepadanya tentang hal itu. “Saya khawatir nikmat saya habis di dunia,” jawab Kiai Cholil.

Sikap hidup sederhana Kiai Cholil bisa dibaca dari doa yang tertampang di dalemnya, “Ya Allah, hidupkan aku dalam keadaan miskin. Dan ambil nyawaku dalam keadaan yang sama. Serta kumpulkankanlah aku bersama orang-orang miskin.” Juga sebuah ayat Al-Quran yang maknanya, “Kami memberikan makan pada kalian hanya untuk (mencari) ridha Allah. Kami tidak mengharap dari kalian balasan dan juga kata terima kasih.”

Kedua kalimat itu terpampang di ruang tamu dalem Kiai Cholil dan sering dibaca olehnya. Tulisan itu bukan sebuah hiasan belaka atau slogan kosong, tapi betul-betul terwujud nyata dalam kehidupan Kiai Cholil sehari-hari.


Kepergian Sang Teladan

Segala yang hidup akan kembali kepada-Nya. Tak ada yang mampu menebak kapan Malaikat Maut akan datang menjemput ajal. Tak ada pula orang yang dapat mengulur waktu dari jadwal yang telah ditentukan.

Di salah satu malam ganjil pada bulan yang amat mulia, Senin Pon 21 Ramadhan 1397 H atau 05 September 1977, Kiai Cholil wafat.

Shalat terakhirnya adalah shalat Isya yang kemudian dilanjutkan dengan shalat Tarawih. Ia shalat duduk bermakmum kepada K.H. Abdul Halim. Sebelum shalat, karena sifat tawadhu’nya, ia bertanya kepada K.H. Abdul Halim, apakah sudah boleh dirinya shalat dengan duduk.

Saat sedang mengerjakan shalat Tarawih seperti malam-malam sebelumnya, ia pergi ke kamar kecil. Ketika itu, ia terjatuh tanpa ada seorang pun bersamanya.

Tak lama berselang salah seorang santri yang biasa mengirinya dating menolong. Tapi tak lama kemudian, Kiai Cholil mengembuskan napas yang terakhir.

Beribu-ribu orang hadir untuk memberikan penghormatan kepada seorang yang pernah dikomentari oleh Rais Am NU K.H. Ahmad Shiddiq Jember, “Kiai Cholil itu wali karena istiqamahnya.” Dengan mata berkaca-kaca mereka mengenang dengan doa kepada sosok kiai tercinta. Kiai yang penuh rasa kasih sayang.

Saat itu, keranda seperti berjalan di atas ujung jari, karena begitu banyak dan rapatnya orang yang memikul. Bahkan, tikar yang dibuat sebagai alas keranda menjadi rebutan ribuan jama’ah sampai habis tak tersisa. Semuanya berebut untuk mengambil, kendati secuil, barakah Kiai Cholil. []

IY*AP



Catatan:
1. Yang disebut “Kiai Abdul Djalil” adalah K.H. Abd. Djalil bin Fadlil, kakak ipar K.H. Cholil Nawawie dan Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri sebelum beliau.
2. Yang disebut “Ustadz Abdurrahman Syakur” adalah K.H. AD. Rohman Syakur, Rais Syuriah PCNU Kab. Pasuruan.
3. Yang disebut “K.H. Abdul Halim” adalah K.H. Abd. Alim Abd. Djalil (wafat 2005), keponakan K.H. Cholil Nawawie dan penerusnya sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.
4. Yang disebut “Kiai Aqib Yasin” adalah keponakan K.H. Cholil Nawawie dan kiai di PP. Salafiyah, Kota Pasuruan.
(Majalah alkisah No. 20/tahun VII/5-18 Oktober 2009,http://syamsu-l.blogspot.com/2009/12/kh-cholil-nawawie-sidogiri-jawa-timur.html)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons