Blog ini ditujukan kepada seluruh ummat Islam yang cinta kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Para Sahabat RA, Auliya', Habaib, Ulama', dan sejarah kebudayaan Islam.

Jumat, 19 Agustus 2011

AL-HIKAM, Aphorisma Sang Sufi

Tak pelak, Al-Hikam (Al-‘Athaiyah) merupakan salah satu karya monumental Ibn ‘Athaillah As-Sakandary (Abul Fadhal Tajuddin Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin ‘Athaillah; wafat tahun 709H). Al-Hikam merupakan mutiara-mutiara cemerlang bagi meningkatkan kesadaran spiritual, tidak hanya untuk para saalik dan murid-murid tasawuf, tapi juga untuk umumnya para peminat olah batin.

Buku yang tidak terlalu tebal ini, tidak hanya dibaca dan didiskusikan tapi juga disyarahi oleh banyak ulama antara lain oleh sufi besar Ibnu ‘Ubad; Ibn ‘Ajiebah; Syeikh Syarqawi; Syeikh Syarnubi; dll. Bahkan seorang alim dari Faz, Syeikh Zarrouq (Ahmad bin Ahmad bin Muhammad Al-Faasi; 846-899H) yang kemana-mana membawa Al-Hikam, telah mensyarahi karya Ibn ‘Athaillah ini tidak kurang dari 30 syarah.

Al-Hikam juga telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk ke dalam bahasa Indonesia dan Melayu. Dari keluarga saya sendiri, paman saya Almarhum KH Misbah Mustofa sudah menerjemahkannya ke dalam bahasa Jawa; adik saya Almarhum KH Adib Bisri telah menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia; dan terakhir kakak saya Almarhum KH Cholil Bisri juga membuat syarah dalam bahasa Indonesia yang diberi judul Indahnya Bertasawuf.

Di samping bil-barakah, para pensyarah dan penterjemah itu pastilah mula-mula terpikat oleh ungkapan-ungkapan istimewa Syeikh Ibn ‘Athaillah dan kandungan isinya yang dalam. Selama ini orang mungkin hanya mengenal aphorisma, ajaran yang dirumuskan secara singkat dan padat, melalui Peribahasa Sulaiman dalam Perjanjian Lama atau karangan-karangan Nietzsche; di kalangan kaum muslimin mungkin melalui Nahjul Burdah-nya sayyidina Ali karramaLlahu wajhah. Namun agaknya aphorisma Ibn ‘Athaillah ini memang lain.

Berbeda dengan kebanyakan ungkapan-ungkapan para sufi terkenal seperti Rabi’ah Al-‘Adawiyah; Rumi; ‘Atthar; dlsb –yang juga diminati oleh kalangan sastrawan di kita—umumnya orang hanya menganggap dan memperlakukan Al-Hikam ‘semata-mata’ sebagai karya tasawuf. Banyak kiai sepuh –terutama dari kalangan thariqah—yang mengajarkan kitab ini kepada santri-santri tua. Dengan kata lain, Al-Hikam lebih diperlakukan sebagai kitab pelajaran akhlak dan tasawuf belaka.

Padahal, paling tidak menurut saya, aphorisma Al-Hikam dari segi bahasanya pun luar biasa indah. Kata dan makna begitu padu, saling mendukung, melahirkan ungkapan-ungkapan yang menggetarkan sebagaimana bisa Anda rasakan sendiri nanti, insya Allah.

Ratusan hikmah (sekitar 284) yang indah diakhiri dengan munajat Syeikh ‘Athaillah yang juga sangat indah, merupakan untaian mutiara yang telah mempesona jutaan hamba pencari keindahan Sang Maha Indah.

Sebenarnya saya ingin berbagi dengan Anda dan mencoba –bil-barakah—menjelaskan ala kadarnya makna dari ungkapan-ungkapan indah Al-Hikam seukur kemampuan saya yang terbatas. Namun , karena kesibukan saya yang tidak jelas, saya hanya berani memberikan kepada Anda icip-icip. Satu mutiara yang mudah-mudahan keindahan dan pelajarannya dapat bersama-sama mencerahkan kita. Apabila benar, Anda pun juga menangkap keindahan dan pelajarannya, alhamduliLlah, pastilah itu berkat inayah Allah. Namun apabila tidak, pastilah semata-mata karena keterbatasan dan kebodohan saya.

Selanjutnya, akan sangat baik apabila di antara jama’ah Fisbuqiyah ada yang melanjutkan membagi keindahan aphorisma Al-Hikam ini.

Saya akan memulai menyuguhkan icip-icip dengan membaca Bismillahirrahmaanirrahiim..

من علامة الاعتماد على العمل نقصان الرجاء عند وجود الزلل

Min ‘alaamatil i’timaadi ‘alal ‘amali nuqshaanur rajaa-i ‘inda wujuudiz zalali
Termasuk tanda pengandalan pada amal ialah berkurangnya harapan ketika ada kesalahan

Kita dituntut beramal, namun untuk keselamatan dan kebahagiaan abadi kita, kita tidak boleh mengandalkan amal kita. Bahkan Rasulullah SAW sendiri ketika ditanya apakah seorang mukmin dapat masuk sorga dengan mengandalkan amal-ibadahnya, beliau menjawab tegas: “Tidak”. Bahkan beliau juga menegaskan “Walaa anaa illa an yataghammadaniyaLlahu birahmatiHi wamaghfiratiHi” (Tidak juga aku, kecuali Allah melimpahiku dengan rahmat dan ampunanNya).

Bagi kalangan sufi, mengandalkan amal merupakan sikap angkuh yang tidak bisa dimengerti. Pertama, karena hamba yang beramal tidak tahu pasti apakah amalnya diterima atau tidak oleh Allah; kedua, karena ia bisa beramal semata-mata karena Allah. Lagi pula biasanya orang yang mengandalkan amalnya, akan merasa puas diri dan mengecilkan sesamanya yang dipandangnya tidak atau kurang beramal seperti dia.

Nah, apakah kita termasuk orang yang mengandalkan amal kita ataukah kita termasuk hamba yang tahu diri dan hanya mengandalkan Allah, syeikh Ibn ‘Athaillah memberi petunjuk mengenai tanda-tanda orang yang mengandalkan amalnya yakni antara lain: berkurangnya harapan (istilah tasawufnya: rajaa) orang yang beramal itu ketika dia berbuat kesalahan. Rajaa, berharap kasihsayang dan fadhal Allah merupakan imbangan dari khauf, cemas atau khawatir akan hukuman dan murka Allah. Seorang hamba Allah, bagaimana pun keadaannya tidak boleh kehilangan rajaa. Karena kehilangan rajaa sama dengan berburuk sangka terhadap Allah. Para ‘aarifiin, mereka yang makrifat kepada Allah, tidak pernah kehilangan rajaa; karena mereka tidak mengandalkan –bahkan tidak melihat—kepada amal mereka.

Sumber: catatan Fb Gus mus http://www.facebook.com/note.php?note_id=109055983333

AMALIYAH GUS DUR

Memperingati 100 hari wafat Gus Dur

Duduk di depan makam Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) dan tokoh-tokoh Tebuireng, Kiai sepuh kharismatik, KH. Maemoen Zubair yang malam itu hadir bersama nyai dalam acara 40 hari wafat Gus Dur di Tebuireng, sempat bertanya –seolah-olah kepada diri—mengenai fenomena presiden keempat itu. Pertanyaan yang juga mengusik pikiran saya dan mungkin banyak orang yang lain. Amaliah Gus Dur apa kira-kira yang membuat cucu Hadhratussyeikh KHM. Hasyim Asy’ari dan KH. Bisri Sansuri itu dihargai dan dihormati orang sedemikian rupa setelah kemangkatannya. Penghormatan yang belum pernah terjadi pada orang lain, termasuk presiden maupun kiai.

Pers dunia tidak hanya memberitakan kewafatannya, tapi menulis tentang diri Gus Dur. Di saat pemakaman, keluarga ; masyarakat; dan pemerintah; seperti ‘berebut’ merasa paling berhak menghormatinya. Dan ternyata pemakaman Kiai Bangsa ini bukanlah penghormatan terakhir. Rombongan demi rombongan dari berbagai pelosok tanah air, setiap hari berdatangan di makamnya. Bahkan banyak peziarah yang memerlukan datang dari luar negeri. Mereka semua datang dengan tulus menangisi dan mendoakannya. Sebagian malah ada yang memohon maaf kepada Gus Dur atas kesalahannya; termasuk seorang ibu yang menangis memohon maaf karena tahun 2004 tidak memilih PKB.

Di samping acara-acara doa bersama untuk Gus Dur, berbagai acara untuk mengenang dan menghormati almarhum diselenggarakan dimana-mana. Ada yang bersifat ritual keagamaan; ada yang dikemas dalam bentuk pengajian umum, saresehan, kesenian, dlsb. Acara-acara itu tidak hanya diselenggarakan oleh kalangan Pesantren, Nahdliyin, kaum muslimin; tapi juga oleh kalangan agama-agama dan etnis lain. Dalam rangka peringatan 40 hari wafatnya, di mana-mana pun orang menyelenggarakan acara khusus. Tidak hanya di Tebuireng dan Ciganjur Saya sendiri dapat sembilan undangan dalam rangka yang sama.

Saya mendatangi undangan Gus Sholahuddin Wahid dan keluarga Bani Wahid di Tebuireng. Menyaksikan ribuan warga masyarakat yang mulai pagi hari sudah berdatangan menuju komplek Pesantren dimana terletak makam Gus Dur. Rahmat Allah berupa hujan, mengguyur Tebuireng dan sekitarnya. Saya menyaksikan sekian banyak orang ber-basah-basah berjalan dari tempat-tempat kendaraan mereka di parkir –yang jaraknya berkisar antara 3 sampai 5 km—menuju ke makam. Saya menyaksikan di samping tempat-tempat parkiran, tukang-tukang ojek dadakan, juga warung-warung baru. Semuanya itu tentu untuk melayani para peziarah.

Dan malam itu, ribuan umat duduk khidmat di sekitar makam untuk berdzikir dan berdoa. Renyai hujan seolah-olah ikut mengamini doa mereka. Saya mendengar kabar, hal yang kurang lebih sama juga terjadi di Ciganjur.

Kembali ke pertanyaan Kiai Maemoen di atas. Ketika Gus Dur ke rumah saya di Rembang, seminggu sebelum wafat, beliau ada menceritakan mimpi saudaranya. Mimpi, yang menurut saudaranya itu, aneh dan ingin ditolaknya. Saudaranya itu bermimpi berada dalam jamaah salat. Termasuk yang ikut menjadi makmum adalah Hadhratussyeikh KHM. Hasyim Asy’ari dan yang menjadi imam … Gus Dur.
Barangkali untuk menghilangkan kekecewaan saudaranya yang tampak kurang senang Mbah Hasyim kok makmun Gus Dur meski hanya dalam mimpi, Gus Dur pun berkata menafsiri mimpinya itu: “Ya kalau soal akhlak dan agama, imamnya memang harus Hadhratussyeikh; tapi kalau soal politik, imamnya ya saya.”

Tapi tentu saja bukan karena ‘politik’nya, Gus Dur mendapat penghargaan dan penghormatan yang begitu fenomenal dari umat. Apalagi pada saat dunia politik cemar dan memuakkan seperti sekarang ini. Lalu, apakah karena ‘amaliyah pluraliyah’-nya? Tentu bukan juga. Sebab kalau karena ini, bagaimana kita menjelaskan tentang banyaknya kiai yang juga merasa sangat kehilangan dengan wafatnya Gus Dur dan dengan tulus mendoakannya, padahal mereka tidak paham atau tidak setuju pluralisme?

Ataukah fenomena itu hanya sekedar pengejawentahan dari rasa kesal masyarakat terhadap umumnya pemimpin yang masih hidup, yang tidak jujur (lain di mulut, lain di perbutan), dan tidak konsisten memikirkan dan berpihak kepada rakyat?

Menurut saya sendiri; Gus Dur dihargai dan dicintai beragam orang, karena Gus Dur menghargai keberagaman dan mencintai beragam orang. Gus Dur dihormati orang secara tulus, karena Gus Dur tulus menghormati orang. Gus Dur bersemayam di hati orang banyak, karena orang banyak selalu berada di hati Gus Dur. Gus Dur, setahu saya, sering dan banyak berbeda dengan orang, tapi tidak pernah benci kepada mereka yang berbeda, bahkan kepada yang membencinya sekalipin. Gus Dur tidak hanya mengenal persaudaraan kepartaian; persaudaraan ke-NU-an; persaudaraan keIslaman; persaudaraan keseimanan; persaudaraan keIndonesiaan; tapi lebih dari itu juga persaudaraan kemanusiaan. Dan itu amaliyah. Bukan sekedar ucapan.
Wallahu alam.

Sumber:http://www.facebook.com/note.php?note_id=382085558333

KH. Abdullah Salam Kajen


MBAH DULLAH
oleh Simbah Kakung (Gus Mus)pada 28 Juli 2011

Berkenaan dengan haul Simbah KH. Abdullah Salam Kajen, rahimahuLlah, aku turunkan kembali tulisanku saat itu. Saat kudengar kepulangan orang hebat ini ke hadirat Ilahi 25 Sya'ban 1422. Mudah-mudahan ada manfaatnya.

Di Surabaya, dalam perjalanan pulang dari Jember, saya mendapat telpon dari anak saya bahwa Mbah Dullah, KH. Abdullah Salam Kajen, telah pulang ke rahamtuLlah. Innaa liLlahi wainnaa ilaiHi raaji’uun! Dikabarkan juga, berdasarkan wasiat almarhum walmaghfurlah, jenazah beliau akan langsung dikebumikan sore hari itu juga.



SubhanaLlah! Selalu saja setiap kali ada tokoh langka yang dicintai banyak orang meninggal, saya merasa seperti anak-anak yang terpukul, lalu hati kecil bicara yang tidak-tidak. Seperti kemarin itu ketika mendengar Mbah Dullah wafat, secara spontan hati kecil saya ‘gerundel’: “Mengapa bukan koruptor dan tokoh-tokoh jahat yang sibuk pamer gagah tanpa mempedulikan kepentingan orang banyak itu yang dicabut nyawanya? Mengapa justru orang baik yang dicintai masyarakat seperti mbah Dullah yang dipanggil?” Astaghfirullah!



Sepanjang perjalanan itu pun saya terus diam dengan pikiran mengembara. Kenangan demi kenangan tentang pribadi mulia mbah Dullah, kembali melela bagai gambar hidup.



Berperawakan gagah. Hidung mancung. Mata menyorot tajam. Kumis dan jenggotnya yang putih perak, menambah wibawanya. Hampir selalu tampil dengan pakaian putih-putih bersih, menyempurnakan kebersihan raut mukanya yang sedap dipandang.



Melihat penampilan dan rumahnya yang tidak lebih baik dari gotakan tempat tinggal santri-santrinya, mungkin orang akan menganggapnya miskin; atau minimal tidak kaya. Tapi tengoklah; setiap minggu sekali pengajiannya diikuti oleh ribuan orang dari berbagai penjuru dan … semuanya disuguh makan.



Selain pengajian-pengajian itu, setiap hari beliau menerima tamu dari berbagai kalangan yang rata-rata membawa masalah untuk dimintakan pemecahannya. Mulai dari persoalan keluarga, ekonomi, hingga yang berkaitan dengan politik. Bahkan pedagang akik dan minyak pun beliau terima dan beliau ‘beri berkah’ dengan membeli dagangan mereka.



Ketika beliau masih menjadi pengurus (Syuriah) NU, aktifnya melebihi yang muda-muda. Seingat saya, beliau tidak pernah absen menghadiri musyawarah semacam Bahtsul masaail, pembahasan masalah-masalah yang berkaitan dengan agama, yang diselenggarakan wilayah maupun cabang. Pada saat pembukaan muktamar ke 28 di Situbondo, panitia meminta beliau –atas usul kiai Syahid Kemadu—untuk membuka Muktamar dengan memimpin membaca Fatihah 41 kali. Dan beliau jalan kaki dari tempat parkir yang begitu jauh ke tempat sidang, semata-mata agar tidak menyusahkan panitia.



Semasa kondisi tubuh beliau masih kuat, beliau juga melayani undangan dari berbagai daerah untuk memimpin khataman Quran, menikahkan orang, memimpin doa, dsb.

Ketika kondisi beliau sudah tidak begitu kuat, orang-orang pun menyelenggarakan acaranya di rumah beliau. Saya pernah kebetulan sowan, agak kaget di rumah beliau ternyata banyak sekali orang. Belakangan saya ketahui bahwa Mbah Dullah sedang punya gawe. Menikahkan tiga pasang calon pengantin dari berbagai daerah.



Mbah Dullah, begitu orang memanggil kiai sepuh haamilul Qur’an ini, meskipun sangat disegani dan dihormati termasuk oleh kalangan ulama sendiri, beliau termasuk kiai yang menyukai musyawarah. Beliau bersedia mendengarkan bahkan tak segan-segan meminta pendapat orang, termasuk dari kalangan yang lebih muda. Beliau rela meminjamkan telinganya hingga untuk sekedar menampung pembicaraan-pembicaraan sepele orang awam. Ini adalah bagian dari sifat tawaduk dan kedermawanan beliau yang sudah diketahui banyak orang.



Tawaduk atau rendah hati dan kedermawanan adalah sikap yang hanya bisa dijalani oleh mereka yang kuat lahir batin, seperti Mbah Dullah. Mereka yang mempunyai (sedikit) kelebihan, jarang yang mampu melakukannya. Mempunyai sedikit kelebihan, apakah itu berupa kekuatan, kekuasaan, kekayaan, atau ilmu pengetahuan, biasanya membuat orang cenderung arogan atau minimal tak mau direndahkan.



Rendah hati berbeda dengan rendah diri. Berbeda dengan rendah hati yang muncul dari pribadi yang kuat, rendah diri muncul dari kelemahan. Mbah Dullah adalah pribadi yang kuat dan gagah luar dalam. Kekuatan beliau ditopang oleh kekayaan lahir dan terutama batin. Itu sebabnya, disamping dermawan dan suka memberi, Mbah Dullah termasuk salah satu –kalau tidak malah satu-satunya – kiai yang tidak mudah menerima bantuan atau pemberian orang, apalagi sampai meminta. Pantangan. Seolah-olah beliau memang tidak membutuhkan apa-apa dari orang lain. Bukankah ini yang namanya kaya?



Ya, mbah Dullah adalah tokoh yang mulai langka di zaman ini. Tokoh yang hidupnya seolah-olah diwakafkan untuk masyarakat. Bukan saja karena beliau punya pesantren dan madrasah yang sangat berkualitas; lebih dari itu sepanjang hidupnya, mbah Dullah tidak berhenti melayani umat secara langsung maupun melalui organisasi (Nahdlatul Ulama).



Mungkin banyak orang yang melayani umat, melalui organanisi atau langsung; tetapi yang dalam hal itu, tidak mengharap dan tidak mendapat imbalan sebagaimana mbah Dullah, saya rasa sangat langka saat ini. Melayani bagi mbah Dullah adalah bagian dari memberi. Dan memberi seolah merupakan kewajiban bagi beliau, sebagaimana meminta –bahkan sekedar menerima imbalan jasa-- merupakan salah satu pantangan utama beliau.



Beliau tidak hanya memberikan waktunya untuk santri-santrinya, tapi juga untuk orang-orang awam. Beliau mempunyai pengajian umum rutin untuk kaum pria dan untuk kaum perempuan yang beliau sebut dengan tawadluk sebagai ‘belajar bersana’. Mereka yang mengaji tidak hanya beliau beri ilmu dan hikmah, tapi juga makan setelah mengaji.



Pernah ada seorang kaya yang ikut mengaji, berbisik-bisik: “Orang sekian banyaknya yang mengaji kok dikasi makan semua, kan kasihan kiai.” Dan orang ini pun sehabis mengaji menyalami mbah Dullah dengan salam tempel, bersalaman dengan menyelipkan uang. Spontan mbah Dullah minta untuk diumumkan, agar jamaah yang mengaji tidak usah bersalaman dengan beliau sehabis mengaji. “Cukup bersalaman dalam hati saja!” kata beliau. Konon orang kaya itu kemudian diajak beliau ke rumahnya yang sederhana dan diperlihatkan tumpukan karung beras yang nyaris menyentuh atap rumah, “Lihatlah, saya ini kaya!” kata beliau kepada tamunya itu.

Memang hanya hamba yang fakir ilaLlah-lah, seperti mbah Dullah, yang sebenar-benar kaya.



Kisah lain; pernah suatu hari datang menghadap beliau, seseorang dari luar daerah dengan membawa segepok uang ratusan ribu. Uang itu disodorkan kepada mbah Dullah sambil berkata: “Terimalah ini, mbah, sedekah kami ala kadarnya.”

“Di tempat Sampeyan apa sudah tak ada lagi orang faqir?” tanya mbah Dullah tanpa sedikit pun melihat tumpukan uang yang disodorkan tamunya, “kok Sampeyan repot-repot membawa sedekah kemari?”

“Orang-orang faqir di tempat saya sudah kebagian semua, mbah; semua sudah saya beri.”

“Apa Sampeyan menganggap saya ini orang faqir?” tanya mbah Dullah.

“Ya enggak, mbah …” jawab si tamu terbata-bata. Belum lagi selesai bicaranya, mbah Dullah sudah menukas dengan suara penuh wibawa: “Kalau begitu, Sampeyan bawa kembali uang Sampeyan. Berikan kepada orang faqir yang memerlukannya!”



Kisah yang beredar tentang ‘sikap kaya’ mbah Dullah semacam itu sangat banyak dan masyhur di kalangan masyarakat daerahnya.



Mbah Dullah ‘memiliki’, di samping pesantren, madrasah yang didirikan bersama rekan-rekannya para kiai setempat. Madrasah ini sangat terkenal dan berpengaruh; termasuk –kalau tidak satu-satunya— madrasah yang benar-benar mandiri dengan pengertian yang sesungguhnya dalam segala hal.

32 tahun pemerintah orde baru tak mampu menyentuhkan bantuan apa pun ke madrasah ini. Orientasi keilmuan madrasah ini pun tak tergoyahkan hingga kini. Mereka yang akan sekolah dengan niat mencari ijazah atau kepentingan-kepentingan di luar ‘menghilangkan kebodohan’, jangan coba-coba memasuki madrasah ini.



Ini bukan berarti madrasahnya itu tidak menerima pembaruan dan melawan perkembangan zaman. Sama sekali. Seperti umumnya ulama pesantren, beliau berpegang kepada ‘Al-Muhaafadhatu ‘alal qadiemis shaalih wal akhdzu bil jadiedil ashlah’, Memelihara yang lama yang relevan dan mengambil yang baru yang lebih relevan. Hal ini bisa dilihat dari kurikulum, sylabus, dan matapelajaran-matapelajaran yang diajarkan yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman.

Singkat kata, sebagai madrasah tempat belajar, madrasah mbah Dullah mungkin sama saja dengan yang lain. Yang membedakan ialah karakternya.



Agaknya mbah Dullah –rahimahuLlah — melalui teladan dan sentuhannya kepada pesantren dan madrasahnya, ingin mencetak manusia-manusia yang kuat ‘dari dalam’; yang gagah ‘dari dalam’; yang kaya ‘dari dalam’; sebagaimana beliau sendiri. Manusia yang berani berdiri sendiri sebagai khalifah dan hanya tunduk menyerah sebagai hamba kepada Allah SWT.



Bila benar; inilah perjuang yang luar biasa berat. Betapa tidak? Kecenderungan manusia di akhir zaman ini justru kebalikan dari yang mungkin menjadi obsesi mbah Dullah. Manusia masa kini justru seperti cenderung ingin menjadi orang kuat ‘dari luar’; gagah ‘dari luar’; kaya ‘dari luar’, meski terus miskin di dalam.



Orang menganggap dirinya kuat bila memiliki sarana-sarana dan orang-orang di luar dirinya yang memperkuat; meski bila dilucuti dari semua itu menjadi lebih lemah dari makhluk yang paling lemah. Orang menganggap dirinya gagah bila mengenakan baju gagah; meski bila ditelanjangi tak lebih dari kucing kurap. Orang menganggap dirinya kaya karena merasa memiliki harta berlimpah; meski setiap saat terus merasa kekurangan.



Waba’du; sayang sekali jarang orang yang dapat menangkap kelebihan mbah Dullah yang langka itu. Bahkan yang banyak justru mereka yang menganggap dan memujanya sebagai wali yang memiliki keistimewaan khariqul ‘aadah. Dapat melihat hal-hal yang ghaib; dapat bicara dengan orang-orang yang sudah meninggal; dapat menyembuhkan segala penyakit; dsb. dst. Lalu karenanya, memperlakukan orang mulia itu sekedar semacam dukun saja. Masya Allah!



Ke-’wali’-an Mbah Dullah –waLlahu a’lam-- justru karena sepanjang hidupnya, beliau berusaha --dan membuktikan sejauh mungkin-- melaksanakan ajaran dan keteladanan pemimpin agungnya, Muhammad SAW, terutama dalam sikap, perilaku, dan kegiatan-kegiatan beliau; baik yang berhubungan dengan Allah maupun dengan sesama hambaNya.



Begitulah; Mbah Dullah yang selalu memberikan keteduhan itu telah meninggalkan kita di dunia yang semakin panas ini. Beliau sengaja berwasiat untuk segera dimakamkan apabila meninggal. Agaknya beliau, seperti saat hidup, tidak ingin menyusahkan atau merepotkan orang. Atau, siapa tahu, kerinduannya sudah tak tertahankan untuk menghadap Khaliqnya.



Dan Ahad, 25 Sya’ban 1422 / 11 November 2001 sore, ketika Mbah Dullah dipanggil ke rahmatuLlah, wasiat beliau pun dilaksanakan. Beliau dikebumikan sore itu juga di dekat surau sederhananya di Polgarut Kajen Pati.



“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rida dan diridai, masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-sejatiKu, dan masuklah ke dalam sorgaKu!”



Selamat jalan, Mbah Dullah! AnnasakumuLlah ilaa yaumi yub’atsuun!

sumber:http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150267279183334

Habib Husein bin Mohammad Alhabsyi (saudara Habib Ali Alhabsyi sohibul maulid Simtud Duror) biasa memimpin Dalail Khoiroot di Mekkah Mimpi Nabi SAW seraya bersabda bhw membaca Burdah sekali lebih afdlol daripada mmbaca Dala'il Khoiroot 70 kali

Burdah artinya mantel dan juga dikenal sebagai Burdah yang berarti shifa (kesembuhan). Imam Busyiri adalah seorang penyair yang suka memuji raja-raja untuk mendapatkan uang. Kemudian beliau tertimpa sakit faalij (setengah lumpuh) yang tak kunjung sembuh setelah berobat ke dokter manapun.

Tak lama kemudian beliau mimpi bertemu Rasulullah S.A.W. yang memerintahkannya untuk menyusun syair yang memuji Rasulullah. Maka beliau mengarang Burdah dalam 10 pasal pada tahun 6-7 H. Seusai menyusun Burdah, beliau kembali mimpi bertemu Rasulullah yang menyelimutinya dengan Burdah (mantel). Ketika bangun, sembuhlah beliau dari sakit lumpuh yang dideritanya.

Qoshidah Burdah ini tersebar ke seluruh penjuru bumi dari timur ke barat. Bahkan disyarahkan oleh sekitar 20 ulama, diantaranya yang terkenal adalah Imam Syaburkhiti dan Imam Baijuri.
Habib Husein bin Mohammad Alhabsyi (saudara Habib Ali Alhabsyi sohibul maulid Simtud Duror) biasa memimpin Dalail Khoiroot di Mekkah. Kemudian beliau mimpi bertemu Rasulullah yang memerintahkannya untuk membaca Burdah di majlis tersebut. Dalam mimpi tersebut, Rasulullah bersabda bahwa membaca Burdah sekali lebih afdol daripada membaca Dalail Khoiroot 70 kali.

Ketika Hadramaut tertimpa paceklik hingga banyak binatang buas berkeliaran di jalan, Habib Abdulrahman Al Masyhur memerintahkan setiap rumah untuk membaca Burdah. Alhamdulillah, rumah-rumah mereka aman dari gangguan binatang buas.
Beberapa Syu’araa (penyair) di zaman itu sempat mengkritik bahwa tidaklah pantas pujian kepada Rasulullah dalam bait-bait Burdah tersebut diakhiri dengan kasroh/khofadz. Padalah Rasulullah agung dan tinggi (rofa’). Kemudian Imam Busyiri menyusun qoshidah yang bernama Humaziyyah yang bait-baitnya berakhir dengan dhommah (marfu’).

Imam Busyiri juga menyusun Qoshidah Mudhooriyah. Pada qoshidah tersebut terdapat bait yang artinya,

“Aku bersholawat kepada Rasulullah sebanyak jumlah hewan dan tumbuhan yang diciptakan Allah. Kemudian dalam mimpinya, beliau melihat Rasulullah bersabda bahwa sesungguhnya malaikat tak mampu menulis pahala sholawat yang dibaca tersebut.

Habib Salim juga bercerita tentang seseorang yang telah berjanji kepada dirinya untuk menyusun syair hanya untuk memuji Allah dan Rasulullah. Suatu ketika ia tidak mempunyai uang dan terpaksa menyusun syair untuk memuji raja-raja agar mendapat uang. Ia punmimpi Rasulullah berkata, ”
Bukankah engkau telah berjanji hanya memuji Allah dan Rasul-Nya?! Aku akan memotong tanganmu.”

Kemudian datanglah Sayidina Abubakar r.a. meminta syafaat untuknya dan dikabulkan oleh Rasulullah. Ketika ia terbangun dari tidurnya, ia pun langsung bertobat. Kemudian ia melihat di tangannya terdapat tanda bekas potongan dan keluar cahaya dari situ.

Habib Salim mengatakan bahwa Burdah ini sangat mujarab untuk mengabulkan hajat-hajat kita dengan izin Allah. Namun terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi. Yaitu mempunyai sanad ke Imam Busyiri, mengulangi bait ” maula ya solli wa sallim “, berwudhu, menghadap kiblat, memahami makna bait-bait, dibaca dengan himmah yang besar, beradab, memakai wewangian.


(Disampaikan di Majlis Burdah Hb Syeikh Alaydrus Jl. Ketapang Kecil Surabaya).
sumber:http://www.facebook.com/note.php?note_id=397648466024
Baca juga:

http://blog.its.ac.id/syafii/2009/09/30/fadhilah-burdah/

http://blog.its.ac.id/syafii/2009/02/24/streaming-mp3-burdah/

http://blog.its.ac.id/syafii/2009/02/21/download-mp3-teks-burdah-imam-busyiri/

http://www.qasidaburdah.com/Qasidat_al-Burda.pdf

BERCANDA JADI SUNGGUHAN (Keteladanan Kyai Hamid)

Kyai Hamid, adalah salah satu dari beberapa wali (kekasih) Allah SWT yang pernah menjadi sumber rujukan penduduk Pasuruan untuk menyelesaikan berbagai problema kehidupan. Beliau sangat menjaga sopan santun kapanpun, dimanapun, dan di hadapan siapapun. Beliau sangat mencotoh perilaku (Akhlaq) nabi besar Muhammad SAW. Maka tak ayal jika beliau adalah menjadi makhluk pilihan Allah SWT, serta mendapatkan gelar waliyullah (kekasih Allah). “Apabila seseorang telah menjadi kekasih Allah, maka segala kebutuhannya akan di penuhi oleh Allah SWT. Dan juga, kalau berdo’a, bisa melihat Ar’s (dalam artian, bisa langsung di kabulkan oleh Allah)”tutur salah satu Ulama’. Jadi apabila beliau berdo’a maka besar kemungkinan langsung di sembadani (diterima) oleh Allah. Sehubungan dengan sering terkabulnya do’a beliau (KH. Hamid), ada satu cerita menarik yang patut kita simak.

Pada suatu hari KH. Bisri Musthofa, ayah dari KH. Musthofa Bisri atau yang biasa dipanggil Gus Mus, Rembang-Jawa Tengah, sowan (berkunjung) di kediaman kyai Hamid. Setelah sampai di depan rumah (Teras) kyai Hamid. Seperti biasa, beliau langsung duduk menunggu kyai Hamid miyos (keluar). Karena kyai Hamid tak kunjung keluar dari kediamannya, dala hatinya kyai Bisri Musthofa berguman “Ya Allah, ya Allah….! kate ketemu waline Allah ae ora metu-metu. Pancen awak iki ake dusone-ake dusone” (ya Allah, ya Allah, mau bertemu dengan seorang wali saja tidak kunjung keluar, memang aku ini banyak dosanya-banyak dosanya). Setelah berkata demikian kyai Hamid keluar dan berkata: “ah . . . ojo ngono a . . . kang . . .!” )ah . . . jangan begitu kang…!). Lalu setelah saling berjabat tangan keduanya bercanda gurau. Karena memang kyai Bisri sendiri suka bercanda dan kalau ngomong juga suka nglantur. “Kyai do’akan saya agar bisa punya mobil dong!” ucap kyai Bisri di sela-sela berguraunya dengan kyai Hamid. Tapi kyai Hamid menganggap permintaannya sebagai permintaan yang serius. “ Al-Fatihah ala niat kyai Bisri, Al-Faatihah . . .” Ucap kyai Hamid yang sertelah itu langsung dilanjutkan berdo’a dan juga diamini oleh Kyai Bisri. “kyai, tadi panjenengan (anda) berdo’a mereknya apa?” tanya kyai Bisri dengan nada bergurau, dan dengan niat menggoda kyai Hamid. “kalau tidak FIAT ya HOLDEN” jawab kyai Hamid enteng. Tapi jawaban tersebut serius. Lalu setelah banyak ngobrol dan bercanda kyai Bisri pun berpamitan untuk pulang.

Selang beberapa hari, kyai Bisri mempunyai uang yang cukup untuk membeli mobil. Lalu menyuruh anaknya (Gus Mus) untuk mencari (membeli) mobil di Surabaya. Sang anakpun menyanggupi. Setelah mencari, ternyata setelah di periksa oleh Gus Mus, beliau cocok dengan mobil yang bermerek HOLDEN. Setelah di bawa pulang oleh Gus Mus, Kyai Bisri bertanya “loh kok HOLDEN nak?”. “Ya bah, yang bagus hanya ini,” jawab Gus Mus enteng. “Ikiloh merkke Mbah Hamid” (iniloh merknya kyai Hamid, kenang kyai Bisri sambil sedikit tertawa sewaktu mengisi acara pada peringatan haul dari kyai Hamid yang ke-27 pada tanggal 7 Maret kemarin . Semua di atas mungkin adalah min karomati kyai hamid, yang mana bercandapun bisa menjadi sungguhan, subhanallah………!(Hadi)

Sumber : K.H. Musthoga Bisri, Rembang, Jawa Tengah (pada waktu peringatan Haul ke-27 Kyai Hamid).
sumber:http://salafiyah.org/beranda/51-kyai-hamid/361-bercanda-jadi-sungguhan.html

Al-Habib M. Luthfi Bin Yahya>Tanda-tanda Malam Lailatul Qadar

BULAN ramadan, kesibukan masjid dan mushala mengalami peningkatan kegiatan yang luar biasa. Jika di hari-hari biasa, sehabis shalat isya suasana nyaris sepi tak ada kegiatan. Jangankan kegiatan membaca Alquran, jamaah shalat isya hampir dipastikan hanya satu shaf depan saja tidak penuh. Akan tetapi di bulan ramadan yang merupakan bulan penuh rahmat dan ampunan, hampir dapat dipastikan jumlah jamaah dan volume kegiatan mengalami peningkatan yang cukup signifikan.

Mengapa? Di samping Allah telah menjanjikan dalam Alquran, barang siapa yang menjalani amal ibadah di bulan ramadan, akan dilipatgandakan pahala ibadahnya yang nilainya terserah Allah sendiri.

Baik itu untuk amalan ibadah mahdlah (yang sudah ditentukan) seperti shalat tarawih, witir, tahajud, puasa dan sejenisnya maupun amalan ibadah ghairu mahdlah (selain yang tidak ditentukan) seperti shadaqah, berbuat baik, hingga memberi makan anak yatim.

Kegiatan masjid dan mushala menjadi semakin ramai menjelang sepuluh terakhir di bulan ramadan, meski jamaah yang mengikuti tarawih mulai berkurang. Tetapi hamba hamba Allah rela tidak tidur dan menahan kantuk untuk menantikan sesuatu yang sangat diidam-idamkan.

Tidak hanya tarawih dan tadarus Alquran, pada malam-malam ganjil yakni tanggal 21, 23, 25, 27 dan 29 ramadan, aktivitas ditambah dengan iktikaf (berdiam diri dalam masjid), shalat tasbih dan lain-lain.

Pada tengah malam di atas jam 00.00 para pengurus takmir membuka pintu dan pagar masjid mushala lebar-lebar dan mengumumkan melalui pengeras suara membangunkan umat untuk shalat tasbih, tahajud, hajat dan shalat sunat lainnya dengan satu tujuan sama, yakni sama sama ingin meraih lailatul qadar.

Malam Istimewa

Siapa pun umat Islam tak ingin melewatkan dan meraih lailatul qodar. Betapa tidak, malam yang yang sangat istimewa sebagaimana disebutkan dalam Alquran adalah malam yang lebih baik dari seribu bulan, yaitu 83 tahun lebih 4 bulan (lailatul qadri khairun min alfi sahr).

Seumpama sehari orang shalat fardlu 17 rakaat, maka selama seribu bulan pahalanya identik dengan shalat 510.000 rakaat. Padahal rata-rata usia umat Muhammad berkisar 60 tahun. Kalau sehari melaksanakan shalat wajib 17 rakaat, maka dalam usia 60 tahun hanya mampu melaksanakan 367.200 rakaat. Betapa besar kemuliaan yang dijanjikan Allah pada lailatul qadar.

Pertanyaannya, kapan sebenarnya malam kemuliaan (lailatul qadar) itu? Dalam Alquran Allah bertanya, tahukah kamu apakah malam kemuliaan (lailatul qadar) itu? Allah menjawab pada ayat berikut (lailatul qodri khoirun min alfi sahr) Allah tampaknya sengaja merahasiakan kapan hari “H” lailatul qadar agar manusia berpikir. Karena kerahasiaan Allah itu sampai sekarang berkembang kontroversi atau polemik tentang malam seribu bulan.

Ada yang berpendapat, hari “H” sengaja dirahasiakan Allah agar umat Islam menghidupkan ramadan sejak awal hingga akhir. Andaikan para kiai dan ulama sepakat lailatul qadar pada malam 27 misalnya, mungkin umat Islam di dunia pilih beribadah habis-habisan pada malam itu saja. Malam-malam ramadan yang lain bisa diabaikan.

Ada juga yang menerjemahkan salamun hiya hatta mathlail fajr atau malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar. Tidak hanya sampai terbitnya matahari, tetapi panjang sampai hitungan yang tidak terbatas. Walhasil kontroversi itu semakin panjang untuk didiskusikan. Bahkan mungkin kalau dibahtsulmasailkan (membahas masalah masalah agama) tidak akan ada habis-habisnya.

Umat Islam yang meyakini lailatul qadar berada di malam likuran atau malam ganjil di atas tanggal 20 ramadan mungkin dilandasi oleh sebuah hadits yang artinya carilah lailatul qadar pada malam ganjil, sepertiga yang terakhir dari bulan ramadlan.

Jadi, tidak perlu disalahkan kalau kemudian para kiai, ulama dan mubalig di masjid dan mushala mengekploitasi hadits tersebut besar-besaran.

Dampaknya tentu pada malam likuran semangat beribadah terasa tertambah seperti mendapat energi baru di tengah tengah kelesuan menjalankan amalan-amalan di bulan ramadan.

Cara Menghitung

Untuk mengetahui kapan hari “H” lailatul qadar, Imam Asy-Syaíroni memberi pedoman dengan melihat awal ramadan. Kalau awal ramadan jatuh pada Jumat atau Selasa, berarti lailatul qadar jatuh pada malam 29 ramadan.

Kalau awal ramadan jatuh pada Ahad atau Rabu maka lailatul qadar jatuh pada malam 27 ramadan.

Jika awal ramadan Kamis, maka lailatul qadar jatuh pada malam 25 ramadan. Kalau awalnya Sabtu jatuh pada malam 23 ramadan dan jika awal ramadan pada Senin maka jatuh pada malam 21 ramadan.

Imam Asy-Syaíroni juga memberikan tanda-tanda, yaitu pada malam itu cuaca dalam keadaan terang benderang dan cerah, tidak ada hujan dan bintang di langit menampakkan sinarnya, angin semilir dan tidak panas.

Pagi harinya matahari terbit tidak langsung memancarkan sinar panas tetapi agak redup dan tidak mendung.

Pada prinsipnya, saya setuju kalau ada yang berpendapat malam kemuliaan itu sejak awal hingga akhir ramadan. Yang penting, gelora semangat untuk beribadah terpompa tidak hanya di bulan suci ramadan, akan tetapi juga 11bulan lain di luar bulan suci ramadlan.

Insya Allah kalau sejak awal ramadan kita membiasakan qiyamul lail, shalat tasbih, tahajud, hajat, tawarih dan lain-lain kita akan mendapat berkah lailatul qadar. Amin ya rabbal alamin.(77)

sumber:http://ahlulkisa.com/tanda-tanda-malam-lailatul-qadar.html

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons