Blog ini ditujukan kepada seluruh ummat Islam yang cinta kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Para Sahabat RA, Auliya', Habaib, Ulama', dan sejarah kebudayaan Islam.

Jumat, 10 Agustus 2012

Syekh Jangkung, Wali Lugu dari Pati

Wali yang termasuk murid Sunan Kalijaga ini terkenal dengan keluguannya. Sifat itu membawanya pada ketulusan sejati seorang manusia.

Masyarakat Desa Miyono gempar. Branjung, salah satu warga yang cukup terpandang karena kekayaannya, ditemukan tewas di kebun belakang rumahnya. Segera petugas dari desa mengusut ke tempat kejadian perkara, menyelidiki sebab kematian Branjung dan siapa pembunuhnya.

Di saat warga Desa Miyono sudah berkerumun di rumah Branjung tiba-tiba muncul Saridin. Masyarakat langsung menunjukkan pandangan pada adik ipar Branjung yang terkenal melarat itu. Saridin datang dengan sebilah bambu runcing yang ujungnya berlumuran darah. Segera Saridin dipanggil. “Kemari kamu, Din,” ujar seorang petugas.

“Ya… saya tuan,” jawab Saridin.

“Kamu tahu siapa yang membunuh Branjung?” ujar petugas itu sambil menunjuk mayat Branjung dengan sikap menyelidik. Saridin menggeleng. Tapi petugas yang sudah curiga itu tak mau menyerah. Mayat Branjung yang mengenakan baju macan ia rapikan lagi hingga tubuh Branjung yang terbaring itu kini menyerupai macan. “Nah, kalau ini kamu tahu siapa yang membunuh?” tanya petugas itu lagi.

“Lha, kalau macan ini saya membunuh,” jawab Saridin. Tak ayal warga Desa Miyono gempar dengan pernyataan Saridin itu. Berarti Saridin-lah yang membunuh Branjung.

Semalam memang telah terjadi peristiwa pembunuhan di kebun belakang rumah Branjung. Ceritanya diawali ketika Saridin menjagal buah durian yang kepemilikannya ia bagi dua dengan abang iparnya, Branjung. Perjanjiannya adalah setiap durian yang jatuh pada siang hari dimiliki oleh Brajung, sedang yang jatuh pada malam hari dimiliki oleh Saridin. Branjung yang mengajukan perjanjian itu. Rupanya Brajung salah mengira, ia pikir pada siang hari durian jatuh dari pohon. Padahal durian jatuh pada umumnya pada malam hari.

Jelas saja setiap siang Branjung tidak mendapat durian satu pun. Sedangkan pada malam hari ia mengintip ke kebun dan melihat Saridin selalu mendapatkan durian jatuh dalam jumlah cukup banyak. Kenyataan ini membuat Brajung memiliki niat licik. Merasa telah rugi ia berencana menakut-nakuti Saridin dengan menyamar sebagai macan. Dan tanpa pikir panjang segeralah ia bergerak sambil berjalan meniru macan.

Pertama Saridin tidak menyadari keberadaan abang iparnya yang menyamar jadi macan itu, tapi Saridin mulai curiga saat ia tidak menemukan durian dari arah suara jatuh yang ia dengar. Begitu sampai beberapa kali, sampai ia memergoki seekor macan yang membawa durian di tangannya. Tahulah Saridin sekarang, si macan yang kurang ajar itulah yang telah menyusup ke kebunnya. Merasa terancam dengan keberadaan macan itu Saridin langsung membunuhnya dengan bambu di genggamannya.
Dijebloskan ke Penjara

Dibawalah Saridin menghadap kepala desa untuk disidang secara adat. “Saridin, benar kamu telah membunuh kakak iparmu?” tanya kepala desa menegaskan.

“Pak kepala desa, demi Tuhan saya tidak membunuh kakak ipar sendiri,” jawab Saridin polos. Sebagaimana dilakukan petugas keamanan desanya, kepala desa lalu menutup lagi tubuh Branjung dengan pakaian macannya. “Nah, kalau macan ini kamu yang membunuh?” tanya kepala desa. “Ya, betul saya yang membunuh macan ini sebab ia mencuri durian saya,” jawab Saridin. Begitu terus sampai berulang-ulang. Saridin tetap tidak mengakui telah membunuh Branjung. Ia hanya membunuh macan, sebab memang itulah yang terjadi.

Kepala desa merasa bingung apa yang harus ia putuskan. Di satu sisi ia mengetahui bahwa Branjung telah dibunuh oleh Saridin, tapi Saridin tidak bisa dihukum sebab yang ia bunuh adalah macan, samaran kakak iparnya. Karena merasa tidak bisa mencari solusi masalah yang baru pertama kali terjadi ini, Kepala Desa Miyono membawa kasus ini ke Kadipaten Pati.

Di hadapan Joyo Kusumo, Bupati Pati, kejadian tadi kembali berulang. Kalau pakaian macan Branjung dibuka, Saridin tidak mengakui ia telah membunuh, sedang kalau pakaian Branjung dirapatkan Saridin mengakui ia telah membunuh. Tahulah Bupati, Saridin yang dihadapannya ini adalah orang desa yang lugu dan dungu maka dengan sedikit berbohong ia berkata.

“Ya sudah, Din, kalau begitu macan yang salah, karena macan salah, ia harus dikubur, kamu sendiri akan saya beri penghargaan karena telah membunuh macan. Kamu nanti akan saya pindahkan ke bangunan besar, di sana kamu akan diberi makan gratis setiap hari, kamu bebas tidur atau mengerjakan apa saja, tapi kamu tidak boleh keluar, kamu hanya boleh keluar kalau kamu bisa. Nanti kalau kamu mau mandi akan ada orang yang mengantar dan menjaga kamu,” ujar Joyo Kusumo kepada Saridin.

Sebagai orang yang melarat tentu saja Saridin senang mau diberi makan gratis. Apalagi kalau mandi akan diantar, “Wah, mirip Priyayi,” ujar Saridin gembira. Maka dibawalah Saridin ke tempat enak yang tidak lain adalah penjara itu. Di sana ia mendekam sebagai tahanan. Disitulah Saridin mulai menyadari apa yang menimpanya. Karena Bupati membolehkan dirinya keluar dari penjara kalau ia bisa. Saridin ingin keluar untuk minta maaf pada istrinya sebab telah menjadi suami yang berulah. Di sana pula Saridin menghayati wejangan Sunan Bonang, yang mengatakan, jika seorang manusia telah menyatukan rasa dengan Sang Pencipta, apa yang diingnkan pasti akan terlaksana.

Begitulah Saridin dapat pulang dan minta maaf kepada istrinya. Beberapa kali itu ia lakukan. Tapi dasar lugu dan jujur, setelah menengok sang istri, Saridin pulang kembali ke penjara. Sampai akhirnya kelakuannya ini diketahui petugas dan membuat berang Bupati, Saridin dijatuhi hukuman mati tapi berhasil meloloskan diri karena Bupati memperbolehkan dirinya kabur bila berhasil lolos dari kepungan prajurit.

Demikianlah satu babak dalam cerita Saridin yang turun temurun dalam tradisi masyarakat Pati. Tokoh ini dikenal masyarakat sebagai seorang wali yang memiliki keluguan tiada tara. Ia memang rakyat biasa yang polos, tapi justru karena kepolosannya itulah yang membuat menguasaai ilmu hakikat.

Saridin yang juga dinamai Syekh Jangkung, hidup di daerah Kajen, Pati. Daerah itu masih ada sampai sekarang. Mengenai kelahirannya tidak ada data yang kongkrit yang m,encatatnya. Tapi menurut kisah turun temurun yang hidup subur dikalangan masyarakat dan pesantren di Pati. Saridin diyakini hidup se zaman dengan para walisongo, yakni pada abad ke-15.
Cerita Lucu di Kudus

Keberadaan Syekh Jangkung amat terkait dengan Sunan Kalijaga. Wali keramat inilah yang mengajarkan Saridin ilmu hakikat. Konon, Sunan Kalijaga juga yang menolongnya saat bayi dibuang oleh ibunya di sungai. Makanya kemudian Saridin mengamalkan beberapa wejangan sufistik dari Sunan Bonang yang ia dapatkan dari Sunan Kalijaga.

Keberadaan Saridin juga tidak bisa lepas dari Sunan Kudus. Saat melarikan diri ke kabupaten Pati, Saridin bertemu dengan Sunan Kalijaga yang menyuruhnya belajar di pesantren Sunan Kudus di Kudus. Maka berangkatlah Saridin untuk menuntut ilmu.

Sekalipun ia murid baru, Saridin sudah menguasai dasar-dasar agama. Seperti syahadat dan rukun iman yang didapatnya dari Sunan Kalijaga. Kepada Sunan Kudus Saridin menggali lagi makna kalimat suci itu. Saat mengaji itulah beberapa peristiwa unik terjadi.

Karena murid baru dikerjai oleh murid-murid lama. Para santri setiap hari diwajibkan mengisi tempat air untuk wudu. Nah, Saridin yang juga terkena kewajiban itu rupanya tidak kebagian ember. Para santri lama tak ada satupun yang mau meminjamkan ember padanya.

Melihat Saridin bingung kesulitan mendapatkan ember, seorang santri bilang dengan maksud mengolok. “Din, kamu tidak kebagian ember ya, tuh ada keranjang…. Bawa saja air di sumur itu pakai keranjang,” ujar santri itu sambil menahan senyum. Terdorong melaksanakan kewajibannya Saridin membawa saja keranjang itu. Ajaib, air yang seharusnya lolos di sela-sela lubang keranjang itu, malah dapat tertampung hingga Saridin dapat mengisi tempat wudu sampai penuh. Para santri yang melihat hanya melongo melihat ulah Saridin.

Berita itu akhirnya sampai kepada Sunan Kudus. Di hadapan mursyidnya itu Saridin dengan jujur menceritakan semuanya tanpa ada satupun yang tertinggal. Menganggap Saridin sedang menyombongkan diri dengan kelebihannya, Sunan Kudus lalu mengetes Saridin. “Din… kamu ;kan tadi mengisi air, sekarang di tempat wudu itu apakah ada ikannya?” tanya Sunan Kudus. “Setiap air pasti ada ikannya, Kanjeng Sunan, begitu pula di tempat air wudu itu,” jawab Saridin polos. Para santri yang mendengar jawaban Saridin kontan tertawa. “Mana mungkin tempat wudu ada ikannya,” pikir mereka. Tapi setelah di cek memang betul ditemukan ikan di dalamnya.

Sunan Kudus gusar melihatnya, kali ini Sunan Kudus merasa ditantang. “Baik, Saridin, sekarang apa yang ada ditanganku ini?” ujar Sunan Kudus. “Buah kelapa, kanjeng,” jawab Saridin pelan.

“Katamu setiap air ada ikannya, kelapa ini didalamnya ada airnya, apakah kau tetap mengatakan bahwa dalam kelapa ini ada ikannya?” tanya Sunan Kudus lagi. “Ada Kanjeng,” jawab Saridin polos. Kembali hadirin tertawa karena menganggap Saridin dungu. Tapi setelah kelapa itu dibelah kagetlah mereka semua, termasuk Sunan Kudus, karena didalamnya ada ikan hidup yang berenang di air kelapa. Menganggap Saridin melakukan hal-hal yang tak patut, yaitu memperlihatkan karomah diri pada orang lain. Sunan Kudus marah, dan Saridin pun di usir dan tidak boleh menginjak tanah Kudus lagi.

Dengan putus asa Saridin pergi, rupanya hal yang dialaminya diketahui Sunan Kalijaga. Wali yang bijak ini lalu menasehati Saridin untuk sabar sekalipun perbuatannya tadi dilakukan tanpa maksud menyombongkan diri. Sikap Sunan Kudus juga dijelaskan oleh Sunan Kalijaga sebagai sikap yang wajar seorang manusia biasa yang merasa malu jika dipermalukan di depan orang lain di hadapan murid-muridnya. Setelah peristiwa itu Sunan Kalijaga Menyuruh Saridin mengasingkan diri untuk lebih dalam mengenal Allah SWT serta menjalani latihan-latihan rohani untuk menyatu dengan-Nya.

Setelah lulus Saridin kembali ke masyarakat, ia kemudian dikenal sebagai sufi yang namanya cukup disegani di masa Kerajaan Mataram. Ia mengajarkan konsep-konsep tasawuf pada orang-oarang yang ingin mengaji padanya. Ia menetap kembali di Kajen, tanah kelahirannya, sampai wafat. Makamnya masih sering diziarahi orang sampai sekarang.

Sumber kisah Alkisah Nomor 07 / 29 Maret – 11 April 2004

Kisah Habib Noh, Wali Sakti dari Singapura

 Singapura, Negeri Melayu yang berpenduduk mayoritas Chinese dan beragama Nasrani, ternyata tetap melestarikan tradisi dan peninggalan bersejarah kaum muslimin. Misalnya karamat Habib Noh. Makam sufi yang berusia lebih dari seabad itu tetap terpelihara dengan baik.

Di ketinggian sebuah bukit terlihat bangunan yang dikelilingi taman asri, bersih dan tenteram. Dari Jalan Palmer, semua tampak jelas. Burung-burung merpati yang bebas berterbangan atau bertengger disekitarnya menambah kesejukan suasana di tengah kesibukan Bandar Raya Negeri Singa tersebut. Penduduk setempat, dari rumpun melayu atau kaum muallaf, juga orang-orang dari berbagai negeri, seperti Malaysia, Thailand dan Indonesia masih banyak menziarahi tempat yang dikenal sebagai keramat Habib Noh ini.
Keramat Habib Noh ini dibangun pada 1890 oleh Syed Mohammad bin Ahmad Alsagoff. Bangunan di atas bukit itu – orang harus melalui 49 anak tangga untuk mencapainya – dibiayai para dermawan. Di masa lalu pemeliharaan tempat keramat itu dilakukan olah para sukarelawan, yaitu orang-orang yang percaya dan mengharap berkah dari memelihara makam wali sakti itu. Tetapi sejak 1936 ditangani Dewan Muslim dan Hindu, yang akhirnya dialihkan kepada Muslim Cuoncil of Singapore (MUIS).
Sekarang makam tersebut dijaga dan dirawat oleh seorang Imam dibantu asistennya. Tugasnya antara lain menertibkan para peminta-peminta. Para peziarah yang ingin memberikan uang kepada para pengemis diminta untuk menyerahkannya kepada mereka, lalu sang asisten Imam akan membagi-bagikannya dengan sama rata. Penduduk di sekitar makampun masih meneruskan tradisi menyumbang sesuatu bagi kepentingan peziarah, dari mulai memberikan makanan sampai kipas angin.
Batu nisan makam dililit kain berwarna kuning terang, yang diasosiasikan dengan kesucian, sementara makamnya diselimuti kain hijau, warna yang selalu dihubungkan dengan Islam. Harumnya wewangian dan bunga memenuhi segenap ruangan makam. Di luar, berterbangan dan bertengger bebas burung-burung merpati sehingga menambah keyakinan para peziarah bahwa makam ini memang amat keramat, burung, ayam dan kelinci pun merasa aman di sana.
Cinta Anak
Siapa sebenarnya Habib Noh? Mengapa ia masih sangat dihormati meski telah meninggal seabad lalu? Sayyid Noh bin Mohammad Alhabshe atau Habib Noh, begitu panggilannya, datang ke Singapura dari Kedah, semenanjung Malaysia. Setelah Sir Stamford Raffles menduduki Malaysia. Ia bermukim selama 30 tahun. Namun ia tetap sering berkeliling Malaysia, kebanyakan ke Johor Baru, untuk berdakwah.
Semasa hidupnya, Habib Noh sangat memperhatikan anak-anak serta orang miskin dan melarat. Ia selalu memberikan anak-anak permen dan menyumbangkan uang untuk orang miskin. Ia amat dicintai orang yang mengenalnya. Tidak aneh bila Habib Noh selalu dikelilingi teman-temannya. Ia juga rajin berziarah kubur, berdoa untuk mereka yang sudah meninggal, meskipun ia tidak mengenalnya secara pribadi.
Menurut catatan, Habib Noh menikah dengan Anchik Hamidah yang berasal dari Provinsi Wellesly, Penang. Mereka memiliki seorang putri yang bernama Sharigah Badaniah. Kemudian Sharifah Badaniah menikah dengan Syed Mohammad bin Hasan Al-Shatri di Jelutong, Penang. Dari pernikahan itu mereka memiliki seorang putri bernama Sharifah Ruqayah yang menikah dengan Syed Alwi bin Ali Al-Junaid. Dari pasangan inilah Habib Noh memperoleh lima cicit: Syed Abdurrahman, Syed Abdullah, Sharifah Muznah, Sharifah Zainah, dan Sharifah Zubaidah.
Habib Noh sendiri memiliki tiga orang adik laki-laki. Mereka adalah Habib Arifin, dan Habib Zain, keduanya meninggal di Penang. Dan yang termuda Habib Salikin yang meninggal di Daik (?) Indonesia.
Tidak mengherankan jika orang seperti Habib Noh, pendakwah yang banyak beramal, dianugerahi kemampuan istimewa. Banyak yang percaya, ia memiliki kemampuan untuk menghilang dan terlihat berada di beberapa tempat pada saat yang sama. Konon, ketika ia berada di Singapura, ada beberapa orang – pada saat yang sama – melihatnya sedang berdoa di Masjidil Haram Mekah, Arab Saudi.
Kelebihan yang muncul dari rasa cintanya terhadap anak-anak. Pernah ia menyembuhkan luka di kaki seorang anak, hanya dengan melatakkan tangannya di atas luka tersebut sambil berdoa. Hanya dalam beberapa saat, si anak itu dapat berlari kembali seperti tidak pernah terjadi apa-apa dengannya. Ayah si anak yang begitu bahagia, memberikan sejumlah uang sebagai tanda terima kasih. Habib Noh menerima hadiah itu, tapi kemudian menyerahkan kembali kepada orang yang membutuhkan.
Kisah-kisah Habib Noh
Bahkan dikisahkan Habib Noh pernah menembus hujan badai untuk menyembuhkan sakit seorang anak. Ia berjalan ke Paya Lebar dari rumahnya di Teluk Belangah. Ketika ia tiba di tempat pasiennya, percaya atau tidak, orang tua si anak yang sakit tadi menyaksikan bahwa jubah Habib Noh tetap kering, tidak basah, atau tanda-tanda lain layaknya orang yang kehujanan.
Di lain waktu Habib Noh pernah terbangun dari tidurnya, karena suara tangis anak kecil berkepanjangan. Ia kemudian menyadari bahwa tangis itu berasal dari sebuah rumah keluarga miskin. Jelas itu tangis bocah yang kelaparan. Habib Noh lalu mengambil daging buah kelapa, diperas menjadi santan, dan dicampurnya dengan air. Setelah itu dibacanya sebuah doa, atas kehendak Allah, santan itu berubah jadi susu dan untuk sementara dapat menghentikan tangis kelaparan bocah papa tersebut.
Habib Noh juga dengan kekuatannya yang akurat membaca pertanda, seakan-akan ia bisa tahu apakah seseorang membutuhkan bantuan atau mempunyai niat yang tidak baik terhadap dirinya. Konon, ada seorang pria India, Muslim yang akan mengunjungi keluarganya di India dengan menggunakan kapal laut. Secara rahasia ia bernazar bila dapat kembali ke Singapura dengan selamat, ia akan memberi hadiah kepada Habib Noh.
Saat tiba kembali di Singapura, ia sangat terkejut mendapati Habib Noh telah menunggunya di pelabuhan. Habib Noh berkata, “Saya yakin Anda telah berjanji untuk memberikan sesuatu kepada saya.” Dengan terkejut si India itu menjawab, “Katakan, wahai orang bijak, apa yang engkau inginkan, maka akan aku berikan kepadamu.” Sang Habib berkata lagi, “Saya ingin memiliki beberapa gulung kain Kuning, yang akan saya berikan kepada orang miskin dan anak-anak.” Yang diminta kain itu pun kemudian memeluk Habib Noh dan sambil menangis, ia berkata, “Demi Allah aku sangat bersedia untuk menghadiahkannya kepada orang yang dimuliakan Tuhan karena kebaikannya terhadap kemanusiaan. Berikan aku waktu tiga hari untuk mempersembahkan kepadamu.” Dan orang India itu pun menepati janjinya.
***
Habib Noh rupanya sudah merasa bahwa ia akan segera meninggal dunia. Beberapa hari sebelum saatnya tiba, ia melakukan apa saja agar dapat menyampaikan sebanyak mungkin nasihat kepada teman-temannya yang dicintai. Beberapa kata bijak yang patut kita ingat adalah: “Jangan serakah akan harta dan materi yang bersifat duniawi, atau memiliki perasaan benci kepada siapapun sepanjang hidupmu.”
Pada akhir Juli 1866, pada usia 78 tahun, Habib Noh meninggal di kediaman Johor Temenggong Abu Bakar di Teluk Belangah. Ketika berita meninggalnya menyebar, banyak orang dari berbagai kalangan, termasuk para muallaf dan pnduduk dari pulau tetangga, datang untuk memberikan penghormatan terakhir. Bahkan semua Kusir di Pulau Singa menghentikan kegiatannya mencari uang, untuk mengantarkan orang tua, wanita, dan anak-anak ke pemakaman secara gratis.
Namun sebelum rombongan meninggalkan kediaman Temenggong menuju pemakaman Muslil Bidari, terjadi sebuah peristiwa, keranda tidak bisa bergerak meski puluhan orang telah mengerahkan tenaga untuk mengangkatnya. Suasana panik dan tangis hampir-hampir tak terbendung. Untunglah saat itu seorang kerabat ingat pesan terakhir almarhum.
Sebelum wafat, rupanya Habib Noh pernah berwasiat kepada kerabatnya bahwa ia ingin dimakamkan di puncak Gunung Palmer – sebuah pekuburan kecil. Namun entah mengapa, di hari itu kerabatnya melupakan pesan tersebut. Begitu para kerabat dan sahabatnya memutuskan hendak membawa jenazah ke tempat yang diwasiatkan, keranda menjadi enteng, dipikul dari bahu ke bahu, bak melayang mendaki bukit, diiringi gemuruh takbir. Hingga sekarang makam disebelah Gedung YMCA, atau yang dikenal sebgai Bestway Building, itu tetap diziarahi orang.
Meskipun ia telah pergi, tinggal makamnya yang dikeramatkan, ada sebuah keajaiban yang masih diingat penduduk Singapura. Ketika Perang Dunia II, tanpa ampun sebuah bom menghancurkan area di Gunung Palmer, termasuk taman pemakaman yang ada di sana. Tetapi sungguh ajaib, keramat Habib Noh tetap berdiri tegak seakan tak tersentuh sama sekali. Allahu Akbar…!

Sumber : http://www.sufiz.com/jejak-wali/kisah-habib-noh-wali-sakti-dari-singapura.html

Mbah Kyai Musyafa’ Orang “Gila” yang Penuh Karomah

Sebelum dikenal sebagai Wali, Mbah Kiai Musyafa’ dianggap orang Gila. Namun kemudian banyak orang yang menemukan Karomahnya. Karena itu, setelah dia meninggal, makamnya kerap didatangi peziarah.
Kota Kaliwungu, tepatnya di wilayah Kecamatan Kaliwungu, Kendal Jawa Tengah, tampak sangat anggun bila dilihat dari bukit yang terletak di Desa Proto Mulyo, sebelah timur Kampung Gadukan, Kutoarjo, Kaliwungu. Masjid Al-Muttaqin yang berada di pusat kota terlihat sangat dominan dan lebih besar dibanding bangunan lain yang ada di sekitarnya. Menara dan kubah masjid tampak sangat kukuh, seperti menegaskan betapa Allah SWT Mahabesar.
Dari ketinggian bukit itu, tampak kecantikan kota Kaliwungu yang mempesona. Disana terdapat makam alim ulama dan para penyiar agama Islam tempo dulu. Masyarakat menyebutnya sebagai makam Jabal (bukit), sebuah kawasan perbukitan. Salah seorang ulama besar yang dimakamkan disana adalah Kiai Musyafa’ bin Haji Bahram.
Seperti halnya makam wali-wali yang lain, makam Mbah Syafa’, demikian beliau biasa disapa, inipun  kerap dikunjungi para peziarah, terlebih pada hari Kamis wage sore dan Jumat Kliwon. Pada kedua hari tersebut, ratusan bahkan ribuan peziarah datang kesana. Santri dari beberapa pesantren juga kerap menjadikannya sebagai tempat untuk melaksanakan riadah.
Selama hidup (antara tahun 1920 – 1969), Mbah Syafa’ dikenal sebagai sosok yang zuhud. Ia sangat sederhana, baik dalam berpakaian maupun dalam bertutur kata. Kesederhanaannya dalam berpakaian, membuat sebagian orang menganggap Mbah Syafa’ sebagai Kiai yang sangat miskin. Tidak jarang orang juga mengatakan bahwa Mbah Syafa’ adalah orang gila, karena ia memang kerap berperilaku Khawariqul Adah, yaitu berperilaku diluar kebiasaan manusia pada umumnya.
Anggur Mekkah
Sangkaan orang bahwa Mbah Syafa’ adalah orang gila sudah terdengar sebelum masyarakat mengetahui karomah dan kewaliannya. Pada suatu hari tetangga disekitar rumah Mbah Syafa’ di bikin geger. Pasalnya setelah musim haji, ada seorang haji yang datang ke sana, ia mengaku di titipi anggur oleh seseorang di Mekah untuk diserahkan kepada Mbah Syafa’, yang baru saja menunaikan ibadah haji di Mekah. Padahal tetangga Mbah Syafa’ menyaksikan sendiri, selama musim haji itu Mbah Syafa’ berada di rumahnya.
Sejak itu pandangan orang pada dirinya berubah, apalagi setelah karomah-karomahnya disaksikan orang-orang disekitarnya. Suatu saat Mbah Syafa’ menjamu tamu yang datang. Masing-masing tamu menuang sendiri air minum dari ceret yang sudah disediakan. Anehnya air minum yang berasal dari satu ceret itu di rasakan berbeda-beda oleh tamu yang minum.
Dalam kisah yang lain, sekitar tahun 1060-an, Mbah Syafa’ kedatangan seorang tentara. Tentara itu bermaksud memohon restu, karena sebagai pembela negara dia mendapat tugas ikut dalam rombongan pasukan Trikora yang akan membebaskan Irian Jaya dari pendudukan Belanda. Saat dia sampai di tempat tinggal Mbah Syafa’, dan mengemukakan maksudnya, Mbah Syafa’ tidak menjawab sepatah kata pun. Beliau hanya mengambil sebuah wajan yang telah di bakar hingga merah membara.
Oleh Mbah Syafa’ wajan itu di dekatkan ke kepala orang tersebut sambil dipukul beberapa kali. Sesaat kemudian beliau masuk kedalam rumah dan keluar dengan membawa tiga buah biji randu (Klentheng), lantas menyerahkannya pada orang itu. Orang tersebut tidak mengerti apa maksud Mbah Syafa’, namun ia tetap menyimpan biji randu pemberian Mbah Syafa’.
Di belakang hari, isyarat tersebut bisa diketahui setelah kapal yang ditumpangi tentara Indonesia hancur di tengah laut. Namun atas izin Allah orang tersebut selamat.
Dalam kisah yang lain diceritakan pada 1940an, suatu hari Mbah Syafa’ menggali tanah hingga dalam. Orang-orang disekitarnya merasa heran dengan apa yang dikerjakannya itu. Sebagian mengira tempat itu akan digunakan untuk memelihara ikan, sebagian yang lain menyangka akan dibuat sumur.
Setelah beberapa saat, orang baru sadar bahwa Mbah Syafa’ mengetahui peristiwa yang bakal terjadi belakangan. Karena tidak lama berselang, tentara Jepang menyerbu daerah Kaliwungu, dan lubang itu dipergunakan sebagai tempat persembunyian orang-orang yang ada di sekitarnya.
Berbagai peristiwa aneh terjadi termasuk setelah ia meninggal dunia pada 13 Maret 1969 (seperti yang tertulis pada nisannya). Suatu ketika saat sedang membersihkan Balai Desa Krajan Kulon, Mbah Rasyid, tukang sapu kantor tersebut, ditemui  Mbah Syafa’ tanpa berbincang apapun. Mbah Syafa’ memberinya uang seribu rupiah, padahal ia telah meninggal dunia.
Anehnya, ketika sudah dibelanjakan, uang itu tetap utuh dan tetap ada di saku Mbah Rasyid begitu ia sampai di rumah. Hal itu berulang hingga tiga kali, membuat gundah Mbah Rasyid. Hatinya baru tenang setelah uang itu ia kembalikan ke kuburan Mbah Syafa’.

Selasa, 07 Agustus 2012

Kiai Muhammad Na'im Memilih Ngaji

MUHAMMAD NA'IM menolak harapan ayahandanya untuk menjadi jawara. Sebab, meski terhormat, ia tidak nyaman menyaksikan ayahandanya sebagai seorang jawara. Na'im kecil menilai ayahandanya, Haji Na'im, hidup dalam ketidakberaturan. mengembara ke pelbagai tempat dan oleh karenanya sering tidak tidur di rumah.


Muhammad Na'im yang lahir tahun 1912 di Cipete-Jakarta Selatan meminta izin kepada ayahandanya untuk memilih belajar ilmu agama. Ayah dan ibunya, Mera, menyetujui permintaan anaknya yang dinilai agak ganjil.

Saat itulah, sejak anak-anak, Na'im gigih mengaji, keliling dari satu mushola ke mushola lainnya, gigih menemui guru-guru yang ada di kampung-kampung Jakarta. Belajar silat ia lakoni juga, namun
Sekedar menggugurkan kewajiban sebagai anak seorang jawara. Haji Na'im meloloskan Muhammad Na'im untuk tidak mengikuti jejeknya, mungkin karena dua anaknya yang lain, Abdul Madjid dan Abdul Karim --keduanya saudara tua Muhammad Na'im-- bener-benar telah mengikutinya sebagai Jawara. Kelak dua anaknya ini menjadi lurah Cipete Utara. Bahkan, nama Abdul Madjid disematkan sebagai nama jalan. Jawara di jaman itu, memang termasuk masuk kelas terhormat.

Memasuki masa remaja, setelah mengkhatamankan Al-Qru’an, Na'im mulai ngaji di luar kampung. Ia pergi agak jauh ke Kuningan-Jakarta Selatan untuk mengaji kepada Guru Mughni dan Guru Makmun bin Sanusi. Ia pergi lebih jauh lagi, ke Cipinang Muara-Jakarta Timur untuk menimba ilmu kepada Guru Marzuki.

Na'im tidak sendirian. Dari Cipete, ia pergi mengaji bersama tiga sahabatnya: Hamim, Raisin, dan Tabrani. Tiga anak ini kakak beradik, ibu mereka bernama Hj. Rohaya, seorang guru ngaji di Cipete.

Dari Guru Mughni dan Guru Makmun, Naim mempelajari nahwu-shoraf, fiqih, akidah, dan tafsir. Diceritakan, Naim tidak hanya pandai menyerap macam-macam ilmu dari para gurunya, tapi ia juga melakoni nasehat-nasehat gurunya. Sopan santun gurunya diikuti, cara mengajar gurunya dicontoh.

Ketika KH Abdurrazaq Makmun baru datang dari Makkah, Naim langsung datang kepadanya.
“Ini ulama masih anget, harus dimintai ilmunya,” begitu kira-kira kata Naim. Guru dan murid ini amat akrab, seperti teman sebaya, hubungannya tidak kaku. Keduanya juga saling menghormati.

Merintis Ekonomi dan Pengajian
Dalam bab mencari penghidupan, Naim juga meniru para gurunya. Ia memelihara dan mengurus ladang pertanian dan empang di tanah miliknya, yang memang luas. Ia menanam pepaya, rambutan, belimbing, melinjo, jambu, dan jeruk. Empangnya diisi ikan tawes dan gurame. Ia juga berternak sapi. Kelak, ketika putra-putrinya berjumlah tiga puluh, semangatnya untuk mandiri dalam kehidupan ekonomiannya bertambah.

Sementara itu, mushala kecil dibangun dekat empang yang juga berdekatan dengan sumber air alami, masyarakat menyebutnya dengan kobakan. Di tempat sederhana itulah Muhammad Naim mengajarkan Al-Qur'an kepada murid-muridnya. Di antara muridnya itu ada seorang pemuda yang bernama Asyari, yang turut membantu mengurus ladangnya. Kelak, pemuda ini diminta membantunya mengajar.

Berkat kesungguhan dan kegigihan di bidang ekonomi, pada tahun 1932 Muhammad Na’im menunaikan ibadah haji. Seperti umumnya para santri yang naik berhaji, ia juga mukim di Makkah untuk mendalami ilmu agama.

Keberangkatan Na'im ke Tanah Suci menjadi kebanggaan keluarga dan masyarakat sekitar. Mereka bahagia karena selama itu belum ada anak Cipete yang menuntut ilmu di luar daerah, apalagi di luar negeri. Mungkin, dari situlah, perlahan-lahan “kelas” ustadz naik, yang di kemudian hari, “mengungguli” kelas jawara.

Ghirah Dakwah
Di Makkah, Na'im belajar kepada para ulama kenamaan, antara lain Syekh Ali Al- Maliki, Sayyid Alwi Al-Maliki, Syekh Umar Hamdan, Syekkh Ahyad Al-Bughuri. Di sana pula ia bertemu dengan santri-santri dari tanah air, antara lain KH Nur Ali Bekasi.Setelah menetap di sana selama tiga tahun, Muhammad Na’im kembali ke kampung halamannya, Cipete.

Pada tahun 1935 ia menikahi seorang qoriah dari Kuningan-Jakarta Selatan, Siti Mardhiyah binti Haji Sarbini. Kemudian ia juga menikahi Saodah Musyaffa, adik kandung kawannya ketika mengaji di Kuningan, yakni Hamim, Raisin dan Tabrani. Istri ketiganya bernama Hj. Masnah binti Mubarok dari Petogogan, sekarang ini Blok  A.

Kegiatan dakwah yang dilakukan dirasakannya sangat berat, karena keterbatasan tenaga pendakwah di Cipete. Untuk melancarkan dakwahnya, mushala kecil di tepi empang dipindahkan ke dekat lokasi rumahnya. Mulai saat itu, ia membuka pengajian yang lebih luas tiap malam Senin dan Sabtu siang. Pengajian itu diikuti kaum laki-laki dan perempuan.

Lambat tapi pasti pengajian itu mendapat sambutan dari masyarakat. Jama’ahnya tak hanya datang dari kampung Cipete, melainkan juga dari Pangkalan Jati dan Jagakarsa. Di antara mereka ada yang bermukim di rumah-rumah yang disediakan Na’im.

Undangan untuk mengisi pengajian dari luar kampung pun berdatangan, dari Pedurenan, Cipete Selatan, Cipete Utara dan lain-lain. Waktu itu tidak ada kendaraan bermotor, bahkan ia jarang naik sepeda karena kondisi jalan yang tidak baik. Namun ia tidak patah arang. Ghirahnya berdakwah dilakukan dengan kebahagiaan serta dalam rangka mencari ridla Allah SWT dan mengabdi kepada masyarakat.

Dengan bertambah padatnya kegiatan mengajar, KH. Muhammad Na’im minta bantuan salah satu muridnya, Asy’ari untuk mengajar Al-Qur’an kepada murid-muridnya yang lain.

KH Muhammad Na'im bersama para sahabatnya KH Abdurrazaq Ma’mun, KH. Ahmad Hajar Malisi, KH. Madani dan KH. Syakur Khairi kemudian membangun Madrasah Raudhatul Muta’alimin di daerah Mampang Prapatan. Ide mendirikan madrasah tersebut pada masa itu dianggap maju dan cemerlang, karena sekolah agama Islam masih sangat jarang. Waktu itu di Jakarta baru ada sekolah Jami’at Kheir di Tanah Abang, yang dibangun dan dikelola habaib. Di madrasah itulah, anak-anak Naim bersekolah, seperti Abdul Hayyie dan Aisyah.

Pengalaman membangun dan mengelolah madrasah Raudhatul Muta’alimin kemudian dijadikan bekal oleh KH Muhammad Na’im dalam membangun madrasah Daruttahzib atas swadaya masyarakat di atas tanah wakafnya beserta keluarga di Cipete, begitu juga pembangunan Masjid Annur.

Sibuk mengajar di madrasahnya dan penjadi penceramah di mana-mana, tidak menjadikan Muhammad Naim yang sudah dikenal sebagai Kiai Haji lua belajar. Ia masih datang mengaji kepada Habib Ali Al-Habsyi di Kwitang dan Habib Ali Bungur di Bogor.

Jaringan Ulama
Persahabatannya dengan para ulama terkemuka dan para habib, seperti KH Abdurrazaq Makmun, Habib Ali Kwitang, Habib Ali Bungur serta pengalamannya di Mekkah, telah memperluas cakrawala pemikiran KH Muhammad Naim. Pergaulannya diperluas dengan mengikuti perkembangan pendidikan dan perjuangan kemerdekaan di tanah air.

Dalam pandangannya, kiblat pendidikan agama di tanah air adalah Jawa Timur, khususnya Pesantren Tebuireng pimpinan Hadhratusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari. Maka putra pertamanya Abdul Hayyie pun dikirim ke sana. Namun dia juga mendidik putra-putrinya mendalami ilmu-ilmu lainnya di sekolah umum.

Perkenalannya dengan Hadlratusy Syekh bertambah dekat juga seiring sejalan dengan aktifitasnya di NU. NU pula yang mengenalkan Naim dengan KH Abdul Wahid Hasyim, KH Idham Cholid, KH Anwar Musaddad, KH Ilyas, KH Saifuddin Zuhri, KH Tohir Rohili, KH Mursidi, KH Ishaq Yahya, KH Ahmad Syaichu, KH Abdul Aziz Amin.

Statusnya sebagai salah seorang pengurus Syuriah NU Jakarta menyebabkannya sering menghadiri muktamar-muktamar NU yang diselenggarakan di Jawa maupun di daerah lain, seperti muktamar NU di Surabaya, Bandung, Palembang dan Jakarta.

Pada tahun 1949, bersama KH Abdurrazaq Ma’mun, KH Jumhur menghadiriKongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta, pada kesempatan itu bersama KH Abdul Wahid Hasyim, KH Wahab Chasbulloh dan KH Ahmad Dahlan menjadi saksi atas dideklarasikannya pemerintahan Republik Indonesia Serikat.

KH Muhammad Na’im pada 12 Mei 1973 pada usia 61 tahun setelah dirawat empat hari di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta karena menderita penyakit jantung. Jenazahnya dimakamkan di kompleks Masjid Annur Cipete. Seminggu sebelum wafat dia masih sempat meresmikan pembangunan sebuah Mushalla di daerah Pedurenan Jakarta Selatan, yang kemudian diberi nama “Baitun Na’im”. (Abdurrahman Naim, Mantan Musytasyar PCI NU Syiria, tinggal di Jakarta)

Sumber: http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,13-id,38531-lang,id-c,tokoh-t,Kiai+Muhammad+Na+im+Memilih+Ngaji-.phpx

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons