Al-Maghfurlah al-Habib Syekh bin Salim al-Aththas lahir di Huraidhah, Hadramaut, Yaman, pada hari Jum'at bulan Safar 1311 H. Tumbuh dewasa dalam lingkungan keluarga Ba'alawi yang sangat religius. Masa pendidikannya dimulai dari ayahandanya sendiri, Habib Salim bin Umar bin Syekh al-Aththas (wafat 1956).
Sewaktu menginjak usia tujuh tahun, beliau berguru kepada Habib Abdullah bin Alwi al-Aththas, ulama yang lahir di Cirebon, kemudian menetap di Huraidhah, dan mendirikan Masjid Ba'alawi, beberapa waktu setelah kembali dari Haidrabad, India.
Habib Syekh bin Salim al-Aththas berguru kepada Habib Abdullah bin Alwi al-Aththas sepanjang siang dan malam, kecuali pada hari Jum'at di masjid Ba'alawi. Di masjid itu pulalah beliau tinggal. Beliau juga memperoleh bimbingan dalam berbagai hal, terutama hal-hal yang berkaitan dengan kemuliaan pribadi. Beliau juga mempelajari beberapa ilmu Qira'at, seni membaca Al-Qur'an, di bawah bimbingan Syaikh Sa'id bin Sabbah, yang sangat piawai dalam Qira'at Al-Qur'an. Pada usia 12 tahun beliau telah hafal Al-Qur'an secara sempurna.
Ada kisah menarik tentang kepiawaiannya membaca Al-Qur'an, sebagaimana pernah beliau tunjukkan dalam suatu perayaan khatam Al-Qur'an yang dihadiri berbagai tokoh Alawiyin dan para ulama besar. Di antara mereka terdapat Al-'Allamah al-'Arifbillah Ahmad bin Hasan al-Aththas, ulama yang menguasai 10 jenis qira'at, yang kemudian menjadi guru utamanya.
Sebagai orang yang haus ilmu, beliau berguru kepada beberapa ulama di berbagai tempat. Hampir semua cabang pengetahuan agama dipelajarinya dengan tekun. Beliau banyak menimba berbagai ilmu ushul dan furu' (pokok-pokok dan cabang
pengetahuan Islam) kepada Habib Ahmad bin Hasan al-Aththas. Selain itu, beliau juga menuntut berbagai cabang ilmu pengetahuan agama di Makkah di bawah bimbingan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, seorang Mufti Mazhab Syafi'i.
Bukan hanya belajar, Habib Syekh bin Salim juga gemar berdiskusi. Beliau sering menghadiri berbagai majelis bimbingan dan pengajaran agama di bawah pimpinan Habib Ahmad bin Hasan al-Aththas. Ulama yang sangat terkenal dengan suara dan lagunya ketika membaca Al-Qur'an.
Adapun Ulama-ulama yang mengajar agama dan tasawuf kepada Habib Syekh bin Salim, antara lain :
- Habib Abdullah bin Alwi bin Hasan al-Aththas (penyusun kitab Sabilul Muhtadin)
- Habib Muhammad bin Salim bin Abu Bakar bin Abdullah bin Thalib al-Aththas.
Ulama-ulama inilah yang bertindak sebagai Syaikh Fathu (pembimbing Ilmu Fiqih dan Tharekat) bagi Habib Syekh bin Salim yang sekaligus juga mengkaji beberapa kitab, seperti Al-Bahjah, Al-Irsyad dan Al-Minhaj.
Beberapa guru Habib Syekh bin Salim yang lain :
- Habib Muhammad bin Alwi bin Syekh al-Aththas.
- Habib Ahmad bin Abdurrahman Assaqqaf.
- Habib Abdullah bin Umar asy-Syatiri.
- Habib Alwi bin Abdullah bin Syahab.
- Habib Alwi bin Abbas al-Maliki (Mufti Al-Haramain Makkah)
- Habib Muhammad bin Hadi Assaqqaf dari Seiyun, Hadramaut.
Sebagai ulama tulen, beliau bertekad untuk berdakwah ke berbagai penjuru dunia. Pada tahun 1338 H/1920 M, ketika usianya 27 tahun, Habib Syekh bin Salim berkunjung ke Indonesia, langsung menuju Tegal, Jawa tengah.
Di sana beliau menjalin silaturrahmi dengan para ulama, sesepuh dan pembesar setempat. Ketika itu di Indonesia sudah banyak tokoh Alawiyyin yang sudah bermukim. Beberapa di antaranya, Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Aththas
(Pekalongan), Habib Abdullah bin Muhsin al-Aththas (Bogor), Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhar (Bondowoso), Habib Abu Bakar bin Muhammad Assaqqaf (Gresik), Habib Alwi bin muhammad bin Thahir al-Haddad (Bogor), Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (Kwitang, Jakarta) dan Habib Sholeh bin Muhsin al-Hamid (Tanggul, Jember).
Kedatangan Habib Syekh bin Salim al-Aththas menambah semarak perjuangan dan dakwah Islam di Indonesia. Beliau menjalin silaturrahmi dengan para ulama tanah air, seperti Prof. Dr. Buya Hamka (Jakarta), KH. Hasyim Asy'ari (Jombang), KH. Ahmad Sanusi (Sukabumi), KH. Bisri Syamsuri (Jombang), KH. Ahmad Dahlan (Jogja), Prof. Syafi'i Abdul Karim (Surabaya), Prof. Hasbie ash-Shiddiqy (Jogjakarta), Dr. Shaleh Su'aedi (Jakarta), Sayyid Abu Bakar bin Abdullah bin Muhsin al-Aththas (Jakarta), Sayyid Abdullah bin Salim al-Aththas (Jakarta), Sayyid Alwi bin Abu Bakar bin Yahya (Solo), Sayyid Idrus bin Umar al-Masyhur (Surabaya), Sayyid Umar Asseqqaf (Semarang) dan Sayyid Ahmad bin Ghalib Abu Bakar (Surabaya).
Mencermati perjuangan kaum muslimin Indonesia saat itu tak bisa lain bagi Habib Syekh bin Salim kecuali ikut berjuang melawan penjajah Belanda. Tak ayal, gerak-geriknya pun selalu diincar oleh kaum kafir kolonialis itu. Untuk menghindari intel Belanda, beliau menempuh taktik cukup jitu, yaitu berdakwah sambil berniaga.
Maka mulailah beliau berjalan kaki keluar masuk kampung menyelusuri Tegal dan sekitarnya. Di kota Bahari inilah beliau menikah dengan seorang putri dari keluarga bangsawan Tegal, Raden Ali. Dan sejak itu di Tegal beliau sangat disegani oleh berbagai lapisan masyarakat.
Dalam kapasitasnya sebagai ulama dan pemimpin masyarakat, Habib Syekh bin Salim berusaha mendorong dan menggalang kebersamaan dan kerukunan di antara kaum muslimin dalam bingkai roh kemanusiaan. Beliau juga mengajarkan kitab-kitab klasik yang memuat pokok-pokok dan cabang pengetahuan agama, baik ubudiyah (peribadatan) maupun muamalah (kemasyarakatan). Dalam waktu yang relatif singkat beliau mampu menjalin pergaulan dan persahabatan dengan para ulama dan sesepuh di pelbagai daerah.
Beliau bahkan sempat pula berpartisipasi dalam kancah politik meski dalam waktu yang singkat. Dalam setiap diskusi diskusi, beliau tidak pernah menangkis wacana kaum moderat yang mencuat di tengah masyarakat multi etnik dan kultur tanpa argumentasi kuat. Beliau senantiasa mencetuskan pemikiran-pemikiran konstruktif, mengonsolidasi segala aspirasi dan perbedaan antar golongan dengan konsep jalan tengah penuh hikmat demi kemaslahatan bersama.
Acapkali beliau menjawab berbagai persoalan dengan kalimat bijak dan sederhana, selaras dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, seperti, "Serulah mereka ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan anjuran baik." Juga pesan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam seperti, "Gembirakanlah dan janganlah buat mereka lari. Permudahlah urusan mereka dan janganlah dipersulit."
Habib Syekh bin Salim dikenal piawai terutama dalam bidang Fiqih, Sastra dan Tarikh. Kitab-kitab yang diajarkannya, antara lain :
- Al-Umm (Imam Syafi'i)
- Ar-Risalah (Imam Syafi'i)
- Al-Muhadzab (Syaikh Abu Ishaq asy-Syairazy)
- Tuhfatul Muhtaj dan Fathul Jawwad (Syaikh Ibnu Hajar al-Haitamy)
- Nihayatul Muhtaj (Imam Ramli)
- Fathul Wahhab (Syaikh Zakariya al-Anshary)
- Fathul Mu'in (Syaikh Zainudin al-Maibari)
- Tafsir Sirajul Munir (Imam Khatib asy-Syabainy)
- Tafsir Al-Jalalain (Imam Mahali dan
Imam Suyuthi)
- Shahih Bukhari dan Shahih Muslim
- Ihya Ulumuddin (Imam Ghazali)
- Al-Hikam (Syaikh Ibnu 'Atha'illah)
- Ar-Risalah (Syaikh al-Qusyairy)
- Al-Alfiyyah (Syaikh Ibnu Malik)
- Jauhar Maknun (Syaikh Abdurrahman al-Ahdhary)
- 'Uqudul Juman (Syaikh Jalaludin as-Suyuthy)
Gaya Habib Syekh bin Salim berdakwah cukup unik. Beliau selalu memberi hadiah para santri yang hadir pada hari Selasa hingga Sabtu berupa uang jalan. Mereka juga mendapat hadiah beberapa kitab. Belum lagi jamuan makan dan minum. Selesai shalat Ashar, terutama di bulan Ramadhan, beliau selalu menggelar majlis Rauhah dengan menelaah dan mengkaji ulang pelbagai kitab karangan Salafus shalih. Tak mengherankan jika para santrinya sangat banyak. Tidak sedikit anak didiknya yang dibelakang hari menjadi tokoh masyarakat atau mubaligh, terutama di Jawa Barat.
Ulama-ulama yang pernah menjadi santrinya, antara lain :
- KH. Abdullah bin Husein (Pabuaran, guru para Kiai di Sukabumi)
- KH. Ajengan Juragan Nuh (Ulama tertua di Cianjur)
- KH. Ajengan Abdullah bin Nuh, putra KH. Juragan Nuh (pendiri pondok pesantren Al-Ihya, Bogor)
- KH. Ajengan Muhammad Syuza'i (Ciharashas, Cianjur)
- KH. Ajengan Idris Zainudin (Cipetir, Sukabumi)
- KH. Ajengan Munawar (Cilaku, Sukabumi)
- KH. Ajengan Muhammad Masthuro (Tipar, Sukabumi) pendiri Pondok Pesantren Al-Masturiyah, yang dimakamkan di samping makam Habib Syekh bin Salim al-Aththas.
- KH. Ajengan Abdullah Sanusi (Sukamantri, Sukabumi)
- KH. Ajengan Abdullah Mahfudz (Babakan Tipar, Sukabumi)
- KH. Ajengan Shalahuddin (Pasir ayam, Cianjur)
- KH. Ajengan Ahmad Nadziri (Cijurai, Sukabumi)
- KH. Ajengan Zubaidi (Dangdeur, Cijurai)
- KH. Ajengan Ahmad Zarkasyi Sanusi (Gunung Puyuh, Sukabumi)
- KH. Ajengan Badri Sanusi (Gunung Puyuh, Sukabumi)
- KH. Ajengan Syafi'i (Nyalindung, Sukalarang, Sukabumi)
- KH. Ajengan Ilyas dan para putranya (Bogor)
- KH. Ustadz Sholeh (Ranca, Bali, Cianjur)
- KH. Ajengan Endang Muhyiddin (Jambu Dwipa, Cianjur)
- KH. Ajengan Muhammad Suja'i (Pakuan, Parung kuda, Sukabumi)
- KH. Ajengan Aang Syadzili
(Cibereum, Sukabumi).
Habib Syekh bin Salim al-Aththas memang sempat tinggal di Sukabumi. Beliau bahkan dikenal sebagai Mujahid (Pejuang) kemerdekaan Republik Indonesia. Sejak 1942, bersama KH. Ahmad Sanusi (Sukabumi) dan para tokoh pejuang lainnya, beliau berjuang melawan kolonialis Belanda.
Keberadaan beliau di Sukabumi sempat membuat tatanan masyarakat di kota itu jadi lain. Beliau menjadi sandaran bagi umat yang tengah menghadapi berbagai problem hidup. Beliau juga sempat duduk sebagai Rais Mustasyar (Ketua Dewan Pertimbangan), di samping membantu pembangunan dan kemajuan beberapa Pondok Pesantren di berbagai daerah Sukabumi.
Rebagai panutan masyarakat, Habib Syekh bin Salim memiliki akhlaq yang luhur dan dermawan, terutama terhadap masyarakat lemah dan miskin. Beliau juga sangat menghormati dan memuliakan ulama dan orang-orang shaleh, hingga rumah beliau menjadi ma'wa (tempat tujuan) dan persinggahan para tamu dari berbagai lapisan, dari dalam dan luar negeri, khususnya dari Timur tengah, lebih khusus lagi dari Yaman.
Habib Syekh bin Salim al-Aththas wafat pada hari Sabtu, 25 Rajab 1398 H/1 Juli 1978 M, dalam usia 86 tahun, dikebumikan di Masjid Jami' Tipar,
Sukabumi. Tokoh dan Ulama yang melakukan ta'ziah (melayat), antara lain : Habib Abdullah bin Husein asy-Syami al-Aththas dan Habib Hasan bin Abdullah asy-Syatiry yang bertindak sebagai Imam dalam shalat jenazah.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Sewaktu menginjak usia tujuh tahun, beliau berguru kepada Habib Abdullah bin Alwi al-Aththas, ulama yang lahir di Cirebon, kemudian menetap di Huraidhah, dan mendirikan Masjid Ba'alawi, beberapa waktu setelah kembali dari Haidrabad, India.
Habib Syekh bin Salim al-Aththas berguru kepada Habib Abdullah bin Alwi al-Aththas sepanjang siang dan malam, kecuali pada hari Jum'at di masjid Ba'alawi. Di masjid itu pulalah beliau tinggal. Beliau juga memperoleh bimbingan dalam berbagai hal, terutama hal-hal yang berkaitan dengan kemuliaan pribadi. Beliau juga mempelajari beberapa ilmu Qira'at, seni membaca Al-Qur'an, di bawah bimbingan Syaikh Sa'id bin Sabbah, yang sangat piawai dalam Qira'at Al-Qur'an. Pada usia 12 tahun beliau telah hafal Al-Qur'an secara sempurna.
Ada kisah menarik tentang kepiawaiannya membaca Al-Qur'an, sebagaimana pernah beliau tunjukkan dalam suatu perayaan khatam Al-Qur'an yang dihadiri berbagai tokoh Alawiyin dan para ulama besar. Di antara mereka terdapat Al-'Allamah al-'Arifbillah Ahmad bin Hasan al-Aththas, ulama yang menguasai 10 jenis qira'at, yang kemudian menjadi guru utamanya.
Sebagai orang yang haus ilmu, beliau berguru kepada beberapa ulama di berbagai tempat. Hampir semua cabang pengetahuan agama dipelajarinya dengan tekun. Beliau banyak menimba berbagai ilmu ushul dan furu' (pokok-pokok dan cabang
pengetahuan Islam) kepada Habib Ahmad bin Hasan al-Aththas. Selain itu, beliau juga menuntut berbagai cabang ilmu pengetahuan agama di Makkah di bawah bimbingan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, seorang Mufti Mazhab Syafi'i.
Bukan hanya belajar, Habib Syekh bin Salim juga gemar berdiskusi. Beliau sering menghadiri berbagai majelis bimbingan dan pengajaran agama di bawah pimpinan Habib Ahmad bin Hasan al-Aththas. Ulama yang sangat terkenal dengan suara dan lagunya ketika membaca Al-Qur'an.
Adapun Ulama-ulama yang mengajar agama dan tasawuf kepada Habib Syekh bin Salim, antara lain :
- Habib Abdullah bin Alwi bin Hasan al-Aththas (penyusun kitab Sabilul Muhtadin)
- Habib Muhammad bin Salim bin Abu Bakar bin Abdullah bin Thalib al-Aththas.
Ulama-ulama inilah yang bertindak sebagai Syaikh Fathu (pembimbing Ilmu Fiqih dan Tharekat) bagi Habib Syekh bin Salim yang sekaligus juga mengkaji beberapa kitab, seperti Al-Bahjah, Al-Irsyad dan Al-Minhaj.
Beberapa guru Habib Syekh bin Salim yang lain :
- Habib Muhammad bin Alwi bin Syekh al-Aththas.
- Habib Ahmad bin Abdurrahman Assaqqaf.
- Habib Abdullah bin Umar asy-Syatiri.
- Habib Alwi bin Abdullah bin Syahab.
- Habib Alwi bin Abbas al-Maliki (Mufti Al-Haramain Makkah)
- Habib Muhammad bin Hadi Assaqqaf dari Seiyun, Hadramaut.
Sebagai ulama tulen, beliau bertekad untuk berdakwah ke berbagai penjuru dunia. Pada tahun 1338 H/1920 M, ketika usianya 27 tahun, Habib Syekh bin Salim berkunjung ke Indonesia, langsung menuju Tegal, Jawa tengah.
Di sana beliau menjalin silaturrahmi dengan para ulama, sesepuh dan pembesar setempat. Ketika itu di Indonesia sudah banyak tokoh Alawiyyin yang sudah bermukim. Beberapa di antaranya, Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Aththas
(Pekalongan), Habib Abdullah bin Muhsin al-Aththas (Bogor), Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhar (Bondowoso), Habib Abu Bakar bin Muhammad Assaqqaf (Gresik), Habib Alwi bin muhammad bin Thahir al-Haddad (Bogor), Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (Kwitang, Jakarta) dan Habib Sholeh bin Muhsin al-Hamid (Tanggul, Jember).
Kedatangan Habib Syekh bin Salim al-Aththas menambah semarak perjuangan dan dakwah Islam di Indonesia. Beliau menjalin silaturrahmi dengan para ulama tanah air, seperti Prof. Dr. Buya Hamka (Jakarta), KH. Hasyim Asy'ari (Jombang), KH. Ahmad Sanusi (Sukabumi), KH. Bisri Syamsuri (Jombang), KH. Ahmad Dahlan (Jogja), Prof. Syafi'i Abdul Karim (Surabaya), Prof. Hasbie ash-Shiddiqy (Jogjakarta), Dr. Shaleh Su'aedi (Jakarta), Sayyid Abu Bakar bin Abdullah bin Muhsin al-Aththas (Jakarta), Sayyid Abdullah bin Salim al-Aththas (Jakarta), Sayyid Alwi bin Abu Bakar bin Yahya (Solo), Sayyid Idrus bin Umar al-Masyhur (Surabaya), Sayyid Umar Asseqqaf (Semarang) dan Sayyid Ahmad bin Ghalib Abu Bakar (Surabaya).
Mencermati perjuangan kaum muslimin Indonesia saat itu tak bisa lain bagi Habib Syekh bin Salim kecuali ikut berjuang melawan penjajah Belanda. Tak ayal, gerak-geriknya pun selalu diincar oleh kaum kafir kolonialis itu. Untuk menghindari intel Belanda, beliau menempuh taktik cukup jitu, yaitu berdakwah sambil berniaga.
Maka mulailah beliau berjalan kaki keluar masuk kampung menyelusuri Tegal dan sekitarnya. Di kota Bahari inilah beliau menikah dengan seorang putri dari keluarga bangsawan Tegal, Raden Ali. Dan sejak itu di Tegal beliau sangat disegani oleh berbagai lapisan masyarakat.
Dalam kapasitasnya sebagai ulama dan pemimpin masyarakat, Habib Syekh bin Salim berusaha mendorong dan menggalang kebersamaan dan kerukunan di antara kaum muslimin dalam bingkai roh kemanusiaan. Beliau juga mengajarkan kitab-kitab klasik yang memuat pokok-pokok dan cabang pengetahuan agama, baik ubudiyah (peribadatan) maupun muamalah (kemasyarakatan). Dalam waktu yang relatif singkat beliau mampu menjalin pergaulan dan persahabatan dengan para ulama dan sesepuh di pelbagai daerah.
Beliau bahkan sempat pula berpartisipasi dalam kancah politik meski dalam waktu yang singkat. Dalam setiap diskusi diskusi, beliau tidak pernah menangkis wacana kaum moderat yang mencuat di tengah masyarakat multi etnik dan kultur tanpa argumentasi kuat. Beliau senantiasa mencetuskan pemikiran-pemikiran konstruktif, mengonsolidasi segala aspirasi dan perbedaan antar golongan dengan konsep jalan tengah penuh hikmat demi kemaslahatan bersama.
Acapkali beliau menjawab berbagai persoalan dengan kalimat bijak dan sederhana, selaras dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, seperti, "Serulah mereka ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan anjuran baik." Juga pesan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam seperti, "Gembirakanlah dan janganlah buat mereka lari. Permudahlah urusan mereka dan janganlah dipersulit."
Habib Syekh bin Salim dikenal piawai terutama dalam bidang Fiqih, Sastra dan Tarikh. Kitab-kitab yang diajarkannya, antara lain :
- Al-Umm (Imam Syafi'i)
- Ar-Risalah (Imam Syafi'i)
- Al-Muhadzab (Syaikh Abu Ishaq asy-Syairazy)
- Tuhfatul Muhtaj dan Fathul Jawwad (Syaikh Ibnu Hajar al-Haitamy)
- Nihayatul Muhtaj (Imam Ramli)
- Fathul Wahhab (Syaikh Zakariya al-Anshary)
- Fathul Mu'in (Syaikh Zainudin al-Maibari)
- Tafsir Sirajul Munir (Imam Khatib asy-Syabainy)
- Tafsir Al-Jalalain (Imam Mahali dan
Imam Suyuthi)
- Shahih Bukhari dan Shahih Muslim
- Ihya Ulumuddin (Imam Ghazali)
- Al-Hikam (Syaikh Ibnu 'Atha'illah)
- Ar-Risalah (Syaikh al-Qusyairy)
- Al-Alfiyyah (Syaikh Ibnu Malik)
- Jauhar Maknun (Syaikh Abdurrahman al-Ahdhary)
- 'Uqudul Juman (Syaikh Jalaludin as-Suyuthy)
Gaya Habib Syekh bin Salim berdakwah cukup unik. Beliau selalu memberi hadiah para santri yang hadir pada hari Selasa hingga Sabtu berupa uang jalan. Mereka juga mendapat hadiah beberapa kitab. Belum lagi jamuan makan dan minum. Selesai shalat Ashar, terutama di bulan Ramadhan, beliau selalu menggelar majlis Rauhah dengan menelaah dan mengkaji ulang pelbagai kitab karangan Salafus shalih. Tak mengherankan jika para santrinya sangat banyak. Tidak sedikit anak didiknya yang dibelakang hari menjadi tokoh masyarakat atau mubaligh, terutama di Jawa Barat.
Ulama-ulama yang pernah menjadi santrinya, antara lain :
- KH. Abdullah bin Husein (Pabuaran, guru para Kiai di Sukabumi)
- KH. Ajengan Juragan Nuh (Ulama tertua di Cianjur)
- KH. Ajengan Abdullah bin Nuh, putra KH. Juragan Nuh (pendiri pondok pesantren Al-Ihya, Bogor)
- KH. Ajengan Muhammad Syuza'i (Ciharashas, Cianjur)
- KH. Ajengan Idris Zainudin (Cipetir, Sukabumi)
- KH. Ajengan Munawar (Cilaku, Sukabumi)
- KH. Ajengan Muhammad Masthuro (Tipar, Sukabumi) pendiri Pondok Pesantren Al-Masturiyah, yang dimakamkan di samping makam Habib Syekh bin Salim al-Aththas.
- KH. Ajengan Abdullah Sanusi (Sukamantri, Sukabumi)
- KH. Ajengan Abdullah Mahfudz (Babakan Tipar, Sukabumi)
- KH. Ajengan Shalahuddin (Pasir ayam, Cianjur)
- KH. Ajengan Ahmad Nadziri (Cijurai, Sukabumi)
- KH. Ajengan Zubaidi (Dangdeur, Cijurai)
- KH. Ajengan Ahmad Zarkasyi Sanusi (Gunung Puyuh, Sukabumi)
- KH. Ajengan Badri Sanusi (Gunung Puyuh, Sukabumi)
- KH. Ajengan Syafi'i (Nyalindung, Sukalarang, Sukabumi)
- KH. Ajengan Ilyas dan para putranya (Bogor)
- KH. Ustadz Sholeh (Ranca, Bali, Cianjur)
- KH. Ajengan Endang Muhyiddin (Jambu Dwipa, Cianjur)
- KH. Ajengan Muhammad Suja'i (Pakuan, Parung kuda, Sukabumi)
- KH. Ajengan Aang Syadzili
(Cibereum, Sukabumi).
Habib Syekh bin Salim al-Aththas memang sempat tinggal di Sukabumi. Beliau bahkan dikenal sebagai Mujahid (Pejuang) kemerdekaan Republik Indonesia. Sejak 1942, bersama KH. Ahmad Sanusi (Sukabumi) dan para tokoh pejuang lainnya, beliau berjuang melawan kolonialis Belanda.
Keberadaan beliau di Sukabumi sempat membuat tatanan masyarakat di kota itu jadi lain. Beliau menjadi sandaran bagi umat yang tengah menghadapi berbagai problem hidup. Beliau juga sempat duduk sebagai Rais Mustasyar (Ketua Dewan Pertimbangan), di samping membantu pembangunan dan kemajuan beberapa Pondok Pesantren di berbagai daerah Sukabumi.
Rebagai panutan masyarakat, Habib Syekh bin Salim memiliki akhlaq yang luhur dan dermawan, terutama terhadap masyarakat lemah dan miskin. Beliau juga sangat menghormati dan memuliakan ulama dan orang-orang shaleh, hingga rumah beliau menjadi ma'wa (tempat tujuan) dan persinggahan para tamu dari berbagai lapisan, dari dalam dan luar negeri, khususnya dari Timur tengah, lebih khusus lagi dari Yaman.
Habib Syekh bin Salim al-Aththas wafat pada hari Sabtu, 25 Rajab 1398 H/1 Juli 1978 M, dalam usia 86 tahun, dikebumikan di Masjid Jami' Tipar,
Sukabumi. Tokoh dan Ulama yang melakukan ta'ziah (melayat), antara lain : Habib Abdullah bin Husein asy-Syami al-Aththas dan Habib Hasan bin Abdullah asy-Syatiry yang bertindak sebagai Imam dalam shalat jenazah.
Wallahu a'lam bish-shawab.