Blog ini ditujukan kepada seluruh ummat Islam yang cinta kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Para Sahabat RA, Auliya', Habaib, Ulama', dan sejarah kebudayaan Islam.
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 12 September 2012

Pangeran Diponegoro, Singa Jawa dari Keraton Yogjakarta

Ia seorang Mujahid keturunan Raja Yogjakarta. Seluruh nafas kehidupannya diabadikan untuk kemerdekaan Tanah Jawa, dengan bersendikan ajaran agama Islam.
pangeran-diponegoroTegalrejo 29 Juli 1825. di bawah pimpinan Chevallier pasukan gabungan Belanda dan orang-orang patih Darurejo IV menyerbu laskar-laskar Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo, sebuah desa kecil yang terletak di barat laut Keraton Yogjakarta. Dentuman meriam dan bunyi letupan senapan membahana di seluruh penjuru desa.
Menghadapi serangan itu, kedua Pangeran bersama laskarnya segera menyingkir ke tempat yang lebih aman. Mereka menyadari, perang di medan yang amat sempit tidak menguntungkannya. Pangeran Diponegoro akhirnya memilih tempat yang lebih strategis untuk basis peperangannya di bukit Selangor, sebuah tempat yang dikelilingi lembah , benteng-benteng alam dan Gua, yang biasa dipergunakan bertapa. Tempat itu terletak 10 Km di sebelah barat daya kota Yogjakarta. Sedangkan keluarganya diungsikan ke desa Dekso.
Di lain pihak, Chevallier terus melancarkan serangan dahsyat dengan mengerahkan seluruh pasukan dan persenjataan yang dimiliki. Alhasil, Chavalier dalam waktu singkat mampu menguasai Tegalrejo. Sayangnya, Tegalrejo telah kosong melompong. Bakar…. Bakar saja rumah Diponegoro sampai habis! Seru Chavalier di tengah kemarahan dan kedongkolan hatinya karena buruannya telah kabur.
Tanpa membuang waktu lagi, tentara gabungan itu membakar rumah Diponegoro dan puluhan rumah lain di sisi kanan kirinya. Dari kejauhan, di balik bukit terjal, di atas Kuda Getayu, Pangeran Diponegoro bersama Pangeran Mangkubumi beserta seluruh anggota laskarnya menyaksikan dengan sedih pembumihangusan puluhan rumah tersebut.
Sebaliknya berita penyerangan Belanda ke Tegalrejo cepat menjalar ke seluruh pelosok Yogjakarta dan Surakarta. Sebagian besar rakyat tanpa dikomando berduyun-duyun datang ke Selangor lengkap dengan persenjataannya. Dari Surakarta, datang ulama Bayat, dan laskar-laskar yang di komandoi oleh Kyai Mojo dan Tumenggung Prawirodigdoyo. Dari kesultanan Yogjakarta, tidak kurang 74 bangsawan akhirnya menggabungkan diri dengan pasukan Diponegoro di Selangor. Diantara kerumunan Bangsawan itu, terdapat Sentot Prawirodirjo, seorang Senopati muda yang belum berusia 18 tahun, putra Raden Ronggo Prawirodirjo III. Seperti halnya sang ayah, Sentot kemudian tampil sebagai pejuang besar yang sangat di takuti pihak Belanda.
Propaganda perang melawan bangsa kafir segara dilakukan di mana-mana, di Yogjakarta, Jayanegara segera membuat surat edaran untuk seluruh rakyat Mataram. Isinya mengajak berjuang bersama Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi mengusir kaum penjajah Kafir Belanda. Di wilayah luar Yogjakarta, seperti Kedu, Banyumas dan sekitarnya, ajakan jihad fi sabilillah di sampaikan oleh Kyai Kasan Besari yang disambut rakyat dengan gegap gempita.
Sesuai dengan saran Sinuhun Paku Buwono VI, laskar-laskar Diponegoro menggunakan taktik dan strategi perang “Dhedhemitan” alias “Gebag ancat nrabas geblas”. Menyerbu secara tiba-tiba dan kemudian dengan cepat menghilang dibalik hutan-hutan, Gua, Bukit, atau kegelapan malam.
Rupanya taktik dan perang anggota laskar Diponegoro sangat menakutkan pihak Belanda. Tidak mengherankan, bila pada tahun-tahun pertama pihak Belanda kewalahan dan banyak mengalami kekalahan.
Kemenangan pertama Pangeran Diponegoro dan laskarnya didapat di desa Pisangan, perbatasan Muntilan dan Yogjakarta. Laskar Diponegoro yang dipimpin oleh Mulyo Santiko dengan gagah berani mencegah iring-iringan pasukan Belanda yang berjumlah sekitar 120 orang yang berusaha masuk ke Yogjakarta. Mereka berhasil menghancurkan seluruh pasukan Belanda itu. Uang sebesar 50.000 gulden dapat dirampas berikut alat-alat perangnya. Kemenangan pertama ini segera di ikuti oleh kemenangan-kemenangan berikutnya. Pada 6 Agustus 1825, pasukan Diponegoro yang dipimpin para panglimanya yang gagah berani berhasil menghancurkan markas Belanda di Pacitan, menyusul kemudian Purwodadi.
Kemenangan demi kemenangan tentu saja dapat mengobarkan semangat rakyat untuk bersama-sama bangkit melawan Kafir Belanda. Perangpun makin meluas, dinatarnya sampai ke Banyumas, Pekalongan, Semarang, Rembang dan Madiun.
Kekalahan beruntun yang dialami Belanda, memaksa Gubernur Jenderal Hindia Belanda segera mengirim Letnan Jenderal Markus De Kock ke Jawa Tengah sebagai panglima angkatan perang Belanda. Jenderal De Kock mendapat kekuasaan untuk menjalankan segala tindakan dalam menangani peperangan.
Jenderal De Kock dengan licik segera menybarkan politik pecah belah, dan mengadu domba. Ia segera menemui dan memaksa Sunan Pukubuwono VI, dan Mangkunegoro II, dan Paku Alam I agar bersedia membantu Belanda. Ia juga mengerahkan bantuan pasukan pribumi itu untuk menggempur markas pasukan Diponegoro di Selarong. Namun, beruntung gerakan pasukan gabungan ini sudah dapat di ketahui oleh mata-mata Pangeran Diponegoro. Semua laskar dan pimpinnanya segera bersembunyi. Akibatnya, ketika pasukan Belanda menguasai Selarong pada malam hari, mereka hanya menemukan bukit dan Gua yang sudah kosong. Pasukan Belanda pun mundur dan kembali pulang dengan tangan hampa.
Tidak beberapa lama tentara Belanda pulang, malam itu juga Pangeran Diponegoro segera mengadakan pertemuan dengan para Senopatinya. Mereka membahas untuk segera memindahkan markasnya di Selarong. Semua sepakat. Desa Deksa yang jaraknya sekitar 23 Km dari Yogjakarta dijadikan markas baru.
Pertempuran kembali berkobar diseluruh Mataram. Hasilnya pada Januari 1826 Pangeran Diponegoro berhasil merebut dan menguasai daerah Imogiri dan Pleret, di susul daerah Lengkong, Kasuran dan Delangu.
Bagi pihak Belanda, kekalahan beruntun itu justru membuat Jenderal De Kock makin nekad. Ia mengajukan permohonan kepada pemerintah pusat Belanda untuk menambah anggaran perang. Anggaran itu rencananya untuk membuat benteng Stelsel. Tujuannya untuk mempersempit ruang gerak Pasukan Diponegoro di daearh-daerah yang di kuasai Belanda. Pelaksanaan benteng Stelsel juga dimaksudkan untuk mengadakan tekanan kepada Pangeran Diponegoro agar bersedia menghentikan peperangan.
Di wilayah Mataram kemudian muncul benteng-benteng Belanda yang kukuh, seperti di Bantul, Paluwatu, Pasargede, Jatinom, dan Delangu. Tidak kurang dari 165 buah benteng telah di dirikan Belanda untuk mempersempit ruang gerak pasukan Pangeran Diponegoro. Tekanan dari Belanda ini masih ditambah dengan adanya Bupati-bupati daerah yang memihak kepada Belanda, sehingga sangat menyulitkan komunikasi laskar Diponegoro antar daerah. Akibatnya, perlawanan itu menjadi mudah dipatahkan oleh pasukan Belanda. Pasukan Bulkiyo mulai menghadapi masa-masa sulit.
Di tengah kesulitan itu, Pangeran Diponegoro mengumpulkan para sesepuh dan Senopati membahas perkembangan dan situasi di medan perang. Pertemuan itu dilakukan di pesanggrahan Bagelan. Hasilnya mereka tetap melanjutkan perjuangan sampai kemerdekaan bumi tanah Jawa tercapai. Akibatnya, tidak sedikit laskar Pengeran Diponegoro yang gugur. Pangeran Kusumowijoyo yang mengobarkan pertempuran di Keraton Surakarta, akhirnya gugur di Lembah Kali Serang. Ia kemudian dikenal dengan nama Pangeran Serang, dan istrinya Raden Ajeng Kusriyah juga gugur di Dekso, Kulon Progo. Tidak berapa lama kemudian, gugur pula Tumenggung Prawirodigdoyo dari Gagatan. Ia gugur di medan tempur Klengkong saat memimpin 100 prajuritnya melawan tentara Belanda yang jumlahnya berlipat-lipat dengan dukungan meriam dan senjata laras panjang.
Belum lagi hilang rasa duka, kabar yang mengejutkan menyusul, Gusti Pangeran Notodiningrat bersama istri dan ibundanya dan tidak kurang dari 200 pengikutnya menyerah kepada Belanda di Yogjakarta. Dengan keberhasilan Belanda mempengaruhi Pangeran Notodiningrat Jenderal De Kock semakin gila mendekati pemimpin-pemimpin laskar Pangeran Diponegoro. Ia menjanjikan kedudukan dan hadiah-hadiah berlimpah bila mau menyerah dan mendukung Belanda. Satu bulan kemudian, Belanda kembali berhasil membujuk salah seorang panglima laskar Diponegoro, yaitu Pangeran Arya Papak dan Tumenggung Ario Sosrodilogo.
Kiai Mojo yang menjadi tulang punggung kekuatan pasukan perang Pangeran Diponegoro, akhirnya juga menyerah kepada pasukan Belanda. Menyerahnya Kiai Mojo merupakan pukulan berat bagi Pangeran Diponegoro dan laskar-laskarnya. Tetapi Pangeran Diponegoro bertekad untuk tidak menyerah dan tetap mengobarkan perlawanan.
Pada 20 Desember 1828, Laskar Pangeran Diponegoro segera melancarkan serangan dahsyat terhadap markas Belanda di Nanggulan. Dalam pertempuran itu Kapten Van Inge tewas, sedang dari pihak pasukan Diponegoro keilangan Senopatinya yang gagah berani, Pangeran Prangwedono.
Berita hancurnya benteng Nanggulan, membuat jenderal De Kock semakin ketakutan, sebab ia selalu melihat sosok Senopati Sentot sebagai momok yang sangat berbahaya. Karena jenderal De Kock terus berupaya membujuk Sentot dengan berbagai cara agar mau menyerah. Tapi, Senopati muda itu tetap menolaknya. Belum berhasil membujuk Sentot, ia berhasil memperalat dan menekan Pangeran Ario Prawirodiningrat, Bupati Madiun, untuk menyerah. Sebabnya, jika tidak mau menyerah taruhannya adalah nyawa sepupunya.
Setelah Pangeran Ario Prawirodiningrat menyerah, menyusul Sentot Prawirodirjo dan Pangeran Mangkubumi. Menyerahnya dua Pangeran yang gagah berani ini membuat Pangeran Diponegoro kembali terpukul telak dan membawa beban moral, tidak hanya dalam dirinya, tetapi juga kepada seluruh prajurit Bulkiyo. Belum lagi batin Pangeran Diponegoro sembuh di akhir tahun 1829, satu persatu Senopati daerah menyusul jejak Senopati Sentot dan Pangeran Mangkubumi, antara lain, Pangeran Ario Suriokusumo, Kerto Pengalasan, pahlawan medan tempur Pleret, dan Pangeran Joyosudirjo
Rupanyan Pangeran Diponegoro tak bergeming, meski hatinya tertekan, ia tetap melanjutkan perjuangannya dan tetap menaruh kepercayaan atas kesetiaan rakyat Bagelan, Banyumas, dan Kedu. Usaha Jenderal De Kock untuk mempercepat peperangan rupanya tidak berhasil. Meski jauh sebelumnya Jenderal ini sudah menjanjikan 20.000 ringgit kepada siapa saja yang sanggup menagkap hidup atau mati Pangeran Diponegoro. Segenap rakyat dan laskar-laskar Pangeran Diponegoro tidak mau mengkhianati pemimpin yang agung ini.
Tapi, Jenderal De Kock tidak putus asa, melalui Kolonel Cleerrens, akhirnya bisa membujuk putra Pangeran Diponegoro, yaitu Pangeran Dipokusumu, untuk menyerah. Penyerahan putra kesayangannya itu benar-benar membuat Pangeran Diponegoro terluka. Maka pada bulan Februari 1830, ketika Kolonel Cleerens menawarkan jalan perundingan, terpaksa Pangeran Diponegoro menerimanya dengan berat hati. Dua musuh bebuyutan inipun bertemu di Remo Kamal, Bagelan, Purworejo, pada tanggal 16 Februari 1830. Cleerens kemudian mengusulkan agar kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di kaki bukit Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal markus De Kock dari Batavia.
Dengan janji tidak dikhianati, Pangeran Diponegoro bersedia mengadakan perundingan. Pada bulan Maret 1830, ia dengan pasukannya tiba di tempat perundingan, dirumah Residen Magelang. Bersama Kolonel Cleerens, Pangeran Diponegoro menuju ruang kerja Jenderal De Kock. Beberapa putra Diponegoro dan perwira Belanda ikut menyaksikan jalannya perundingan tingkat tinggi tersebut.
Sekitar dua jam sudah perundingan berlangsung, tapi belum membuahkan hasil. Berkali-kali Jenderal De Kock mencoba membujuk agara Pangeran Diponegoro mengurangi tuntutannya. Tapi Pangeran Diponegoro tetap teguh pada pendiriannya. Mendirikan sebuah Negara merdeka yang bersendikan agama Islam. Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, apabila perundingan menemui jalan buntu, Pangeran Diponegoro boleh meninggalkan ruangan itu dengan bebas. Tapi kenyataannya, Jenderal De Kock curang, “Tangkap tangkap Diponegoro dan semua pengikutnya”, teriak De Kock kepada pasukannya sambil menodongkan pistol kearah Pangeran Diponegoro. Sejurus kemudian, Pangeran Diponegoro beserta para pengikutnya ditangkap dan dijebloskan dalam sebuah penjara yang amat pengap.

Iskandar Zulkarnain, Sang Penakluk Yang Saleh

Sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepadanya di muka bumi, dan kami telah memberikannya jalan untuk mencapai sesuatu.

Dialah Raja Muslim yang sangat berkuasa namun saleh. Daerah taklukannya membentang dari bumi bagian barat sampai timur. Ia mendapat julukan Iskandar “Zulkarnain”. “Zul”, artinya “memiliki”, Qarnain, artinya “Dua Tanduk”. Maksudnya, Iskandar yang memiliki kekuasaan antara timur dan barat.
Dia juga telah membangun dinding besar berteknologi tinggi untuk ukuran saat itu, diantara dua Gunung. Para ahli sejarah meyakini, dinding tersebut terbuat dari besi yang dicampur dengan tembaga itu terletak tepat di pengunungan Kaukasus. Daerah itu kini disebut  Georgia, negara pecahan Uni Soviet.
Secara topografis, deretan pegunungan Kaukasus itu memang terlihat memanjang dari laut Hitam sampai ke laut Kaspia sepanjang 1.200 kilometer tanpa celah. Kecuali pada bagian kecil sempit yang disebut celah Darial sepanjang 100 Meter kurang lebih. Pada bagian celah itulah Zulkarnain membangun tembok penghalang dari Ya’juj dan Ma’juj.
Kisah ketokohan Iskandar Zulkarnain ini juga tertulis dalam catatan sejarah orang-orang barat. Dalam catatan tersebut diceritakan bagaimana ia berjaya meluaskan daerah taklukannya dalam masa yang sangat singkat. Oleh karena kejayaannya ini, ia diberi gelar “Alexander The Great”, Alexander Yang Agung”. Belakangan cerita ini diadaptasi ke film layar lebar oleh Sutradara Amerika Serikat, Oliver Stone, dengan judul Alexander The Great.
Namun cerita dari orang-orang barat tersebut sangat bertentangan dengan yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Para Mufasir menyatakan, “Alexander The Great” adalah orang yang berbeda dengan tokoh yang di tulis dalam Al-Qur’an, Yakni, Iskandar Zulkarnain. Alexander Thr Great itu dalam sejarahnya tidak diberitakan pernah membangun sebuah dinding besar berteknologi tinggi untuk ukuran saat itu, yang terbuat dari besi dicampur tembaga. Bahkan, ia adalah seorang musyrik. Sejarah tidak mencatatnya sebagai seorang Raja Muslim yang taat kepada agama Tauhid.
Sejarawan Muslim yang juga ahli tafsir, Ibnu Katsir, dalam kitabnya Al-Bidayah Wan Nihayah menjelaskan, meski punya nama yang sama dan plot cerita yang sama, yaitu kekuasaannya membentang dari Barat sampai ke Timur, keduanya adalah sosok yang berbeda. Antara mereka terbentang jarak dan waktu sampai 2000 tahun. “Hanya mereka yang tidak mengerti sejarah yang bisa terkecoh oleh identitas kedua orang itu,” katanya.
Ibnu Katsir lebih jauh menjelaskan, Zulkarnain adalah nama gelar atau julukan seorang penglima penakluk sekaligus Raja saleh. Karena kesalehannya ia selalu mengajak manusia untuk menyembah Allah. Namun mereka ingkar, malah memukul tanduknya – Qarnun, yaitu rambut kepala yang di ikat – sebelah kanan, hingga ia mati. Lalu Allah menghidupkannya kembali, dan ia pun kembali berdakwah. Tetapi sekali lagi tanduknya yang kiri dipukul, sehingga ia mati lagi. Allah SWT menghidupkannya kembali dan menjulukinya Zulkarnain, pemilik duaTanduk, serta memberinya kekuasaan.
Cerita yang sama juga di jumpai dalam kitab Jami Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, karangan Syekh Al-Aiji Asy-Syafi’i. Dalam kitab tersebut disebutkan, Zulkarnain adalah seorang hamba yang taat kepada Allah dan mengajak kaumnya menyembah Allah. Lalu mereka memukul tanduknya yang kanan hingga mati. Kemudian Allah menghidupkannya lagi, dan dia kembali mengajak kaumnya mengesakan Allah. Tetapi mereka malah memukul tanduknya yang kiri hingga mati lagi. Lalu Allah menghidupkannya lagi dan menganugrahinya kekuasaan yang tak tertandingi. Oleh karena itu ia dijuluki Zulkarnain.
Di samping kedua kitab tersebut, Mufassir Muslim Ibnu Jarir Ath-Thabari juga mengisahkannya dalam kitab tafsir Ath-Thabari. Dikatakan, Iskandar Zulkarnain adalah seorang laki-laki yang berasal dari Romawi, ia anak tunggal seorang yang paling miskin diantara penduduk kota. Namun dalam pergaulan sehari-hari, ia hidup dalam lingkungan kerajaan, bergaul dengan para perwira dan berkawan dengan wanita-wanita yang baik dan berbudi serta berakhlak mulia.
Imam Al-Qurtubi dalam kitab tafsir Al-Qur’annya yang populer, Tafsir Al-Qurtubi, menceritakan, sejak masih kecil dan masa pertumbuhannya Iskandar berakhlak mulia. Melakukan hal-hal yang baik sehingga terangkat nama baiknya. Ia juga menjadi mulia di kalangan kaumnya, sehingga Allah berkenan memberinya kewibawaan.
Setelah mencapai usia akil balig, Iskandar menjadi seorang hamba yang saleh, sehingga Allah Berfirman, “Wahai Zulkarnain, Sesungguhnya aku mengutusmu kepada umat-umat di bumi. Mereka adalah umat yang berbeda-beda bahasanya dan mereka adalah umat yang berada disegala penjuru bumi. Mereka terbagi dalam beberapa golongan.”
Mendapat amanat tersebut, Zulkarnain lalu berkata, “Wahai Tuhanku, Engkau telah menugasiku melakukan seuatu hal yang aku tidak kuasa melakukannya kecuali engkau  sendiri, maka beritahukan kepadaku tentang umat-umat itu, dengan kekuatan apa aku bisa melawan mereka? Dengan kesabaran apa aku bisa menahan mereka? Dan dengan bahasa apa aku harus bicara dengan mereka? Bagaimana pula aku bisa memahami bahasa mereka sedangkan aku tidak mempunyai kemampuan.”
Kemudian Allah SWT berfirman”Aku membebanimu sesuatu yang kamu mampu melakukannya, aku akan melapangkan pendengaran dan dadamu hingga kamu bisa mendengar dan memperhatikan segala sesuatu. Memudahkan pemahamanmu sehingga kamu bisa memahami segala sesuatu, meudahkan lidahmu, hingga kamu bisa berbicara tentang sesuatu, membukakan penglihatanmu, sehingga kamu bisa melihat segala sesuatu, melipatgandakan kekuatanmu hingga tak terkalahkan oleh sesuatu apapun, menyingsingkan lenganmu, hingga tidak ada sesuatupun yang berani meyerangmu,  menguatkan hatimu, hingga kamu tidak takut pada apapun, menguatkan kedua tanganmu hingga kamu bisa menguasai segala sesuatu, menguatkan pijakanmu hingga kamu bisa mengatasi segala sesuatu, memberimu kemuliaan hingga tidak ada apapun yang menakutimu, menundukkan untukmu cahaya dan kegelapan dan menjadikan salah satu tentaramu. Cahaya itu akan menjadi petunjuk di depanmu, dan kegelapan itu akan berkeliling di belakangmu.

Alexander Yang Agung, Penyatuan Timur dan Barat

Sejak kecil, Iskandar sudah tidak senang melihat peperangan antara timur, yaitu kerajaan Persia, dan Barat, Kerajaan Romawi. Perang itu tak ada hentinya dari tahun ke tahun, malah dari abad ke abad. Ribuan manusia tewas, kerugian harta benda tak terhitung lagi jumlahnya, apalagi kerusakan lingkungan hidup, merugikan manusia itu sendiri.
Untuk menghentikan permusuhan antara timur dan barat, Iskandar bercita-cita mendirikan sebuah kerajaan yang dapat menyatukan wilayah timur dan barat.
Iskandar pun tumbuh menjadi manusia dewasa yang saleh, berakhlak dan berbudi tinggi. Atas segala kesalehannya itu, Allah mengaruniakan kepadanya segala kelebihan yang dimiliki oleh seorang pemimpin, lalu Allah memerintahkan untuk menyeru manusia kepada agama tauhid.
Mula-mula dengan tentaranya yang lengkap dan kuat, dia menuju ke barat wilaya Maroko, tempat terbenamnya matahari. Dilihatnya matahari itu terbenam di mata air yang berlumpur, lautan Atlantik sekarang ini.
Di situ ia bertemu dengan bangsa yang senantiasa berbuat kerusakan dan kejahatan. Bukan saja merusak permukaan bumi dan mengacaukannya, tetapi juga sudah menjadi tabiat mereka suka membunuh orang-orang yang tidak bersalah sekalipun. Bahkan mereka tidak beragama.
Sebelum melakukan tindakan, terlebih dahulu Iskandar menadahkan tangannya ke langit, memohon petunjuk kepada Allah, tindakan apa sebaiknya yang harus dilakukan terhadap bangsa yang begitu kejam, apakah bangsa itu akan digempurnya habis-habisan, atau akan dibiarkan begitu saja?
Allah lalu memberinya dua pilihan: digempur habis-habisan sebagai balasan atas kekejaman mereka, atau di ajar dan didik agar mereka kembali kepada kebenaran dan menyembah Allah serta meninggalkan segala kejahatan.
Iskandar Zulkarnain memutuskan menggempur mereka yang durhaka dan jahat, sedangkan orang yang baik akan dilindungi. Sebelumnya ia berkata kepada bangsa tersebut, “Siapa yang aniaya, akan kami siksa dan dikembalikan kepada Tuhan, agar Tuhan memberikan siksa yang lebih pedih lagi. Adapun orang-orang yang saleh dan baik, akan kami lindungi, dan kepadanya kami hanya akan memerintahkan kewajiban-kewajiban yang ringan.”
Kemudian tentaranya bergerak menewaskan setiap orang yang kejam, melindungi setiap orang yang baik. Akhirnya negeri itu dapat diamankan dan di tentramkan serta di atur sebaik-sebaiknya, penuh dengan kehidupan bahagia dan makmur,
Setelah selesai menunaikan kewajiban terhadap bangsa dan negeri itu, Iskandar dengan tentaranya menuju ke arah timur, India. Dilihatnya matahari di atas bangsa yang musyrik, yang menyembah banyak tuhan, yaitu bangsa Hindustan.
Bangsa dan negeri itu pun dapat ditaklukkan, diamankan dan ditentramkannya, serta diatur sebaik-baiknya sehingga setiap orang dapat merasakan hidup aman, tentram dan bahagia. Bangsa itu juga dapat dikeluarkan dari lembah kesesatan.
Selesailah sudah kewajibannya terhadap bangsa dan negeri itu. Ia lalu menuju ke utara, negeri Armenia, melalui Persia dan Azarbaijan. Kemenangan demi kemenangan dicapainya selama dalam perjalanan itu, akhirnya sampailah di suatu tempat, di sana ia bertemu dengan suatu bangsa yang selalu dalam ketakutan dan ke khawatiran, karena ternyata negeri itu berbatasan dengan bangsa Ya’juj dan Ma’juj yang terkenal kuat dan kejam. Bukan sekali dua kali saja, tetapi seringkali bangsa Ya’juj dan Ma;juj itu datang menyerang mereka, menghancurkan apa saja yang didapatinya dan membunuh siapa saja yang dijumpainya.
Kedatangan Iskandar ini, mereka sambut dengan segala kehormatan dan kegembiraan, karena mereka tahu dari kabar yang beredar bahwa Iskandar adalah Raja yang kuat dan paling adil di muka bumi ini.
Lalu mereka meminta bantuan kepada Iskandar, agar dilindungi dari serangan Ya’juj dan Ma’juj. Mereka memohon supaya antara negeri mereka dan negeri Ya’juj dan Ma’juj dibangun dinding raksasa yang tidak dapat ditembus. Sebagai imbalannya mereka sanggup membayar mahal Iskandar.
Mendengar permohonan itu, Iskandar Zulkarnain menjawab, “Saya tidak mengharapkan upah dari kalian, nikmat dan pemberian Tuhanku lebih berharga daripada upah itu. Hanya kepada kalian saya minta kaum pekerja dan alat-alatnya: besi, tembaga, arang batu dan kayu.”
Setelah semuanya terkumpul, ia mulai bekerja dengan bantuan para pekerja. Mula-mula menyalakan api dengan kayu dan arang batu, diambilnya besi, lalu dileburkannya dengan api, setelah besi itu mencair, dituangkannya tembaga, dan diaduk menjadi satu. Dengan bahan campuran inilah di dirikan dinding raksasa antara negeri itu dan negeri Ya’juj dan Ma’juj. Dinding besi raksasa itu tidak dapat di tembus dan di lubangi oleh siapapun dan oleh apapun.
“Dinding ini adalah rahmat dari Tuhan kepada kalian, hanya tuhanlah yang dapat menembus dinding ini, jika dikehendakinya,” kata Iskandar. Maka aman dan tentramlah negeri tersebut.
Iskandar Zulkarnain dapat menaklukkan negeri-negeri yang terbentang antara timur dan barat. Dengan demikian cita-citanya untuk mempersatukan kerajaan di timur dan barat tercapai. Negeri yang berada di bawah kekuasaannya, antara lain Maroko, Romawi, Yunani, Mesir, Persia dan India.
Berkat ilmu dan pengetahuannya yang luas, serta dasar ketuhanan yang selalu dipagang teguh dalam mendirikan kerajaan yang besar itu. Penduduknya hidup dengan aman, tentrem dan makmur. Kebesaran dan kejayaan itu tidak membuatnya buta dan lupa akan nikmat yang diberikan Allah SWT.

Ayat-ayat Al-Qur’an Tentang Zulkarnain (Bagian Ketiga)

Menurut Khair Ramdhan Yusuf, dalam bukunya Iskandar Zulkarnain, Panglima Perang, penakluk dan pemerintah yang saleh, kajian terperinci menurut Al-Qur’an, Sunah dan Sejarah, terbitan Malaysia, ada empat sosok yang berkaitan dengan nama Iskandar Zulkarnain. Yaitu, Iskandar Macedonia, Zulkarnain Al-Hamiri, Raja Himyar, seorang lelaki saleh pada zaman Nabi Ibrahim, dan Kursh Al-Akhmini Al-Farisi.
Kendati begitu kita dapat membaca dengan jelas kisah Iskandar Zulkarnain ini dalam Al-Qur’an Surah Al-Kahfi ayat 83 sampai 98, yang artinya, “Mereka akan bertanya kepadamu Muhammad, tentang Zulkarnain. Katakanlah, “Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya.”

“Sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepadanya di bumi, dan kami telah menberikan kepadanya jalan untuk mencapai segala sesuatu, maka ia pun menempuh jalan tersebut. Hingga apabila telah sampai ke tempat terbenamnya matahari, ia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan ia mendapatinya di situ segolongan umat”.

Kami berkata, “Hai Zulkarnain kamu boleh menyiksa atau berbuat kebaikan terhadap mereka.”
Berkata Zulkarnain, “Adapun orang yang aniaya, kami kelak akan mengazabnya, kemudian ia kembali kepada Tuhannya, lalu tuhan mengazabnya dengan azab yang tiada taranya. Adapun orang yang beriman dan beramal saleh, baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami titahkan kepadanya yang mudah dari perintah-perintah kami.”
Kemudian ia menempuh jalan lagi, hingga apabila telah sampai ke tempat terbitnya matahari ia mendapati matahari yang menyinari segolongan umat yang kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari matahari itu.”
Demikianlah, dan sesungguhnya ilmu kami meliputi segala apa yang ada padanya, Zulkarnain. Kemudian ia menempuh suatu jalan lagi, sehingga apabila telah sampai diantara dua buah gunung ia mendapati kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan.
Mereka berkata, “Hai, Zulkarnain sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?” Zulkarnain berkata, “apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi.”
Hingga ketika besi itu telah sama rata dengan kedua gunung itu, berkatalah Zulkarnain, “Tiuplah, dan katika besi itu sudah menjadi api, ia pun berkata, berilah aku tembaga untuk aku tuangkan ke atas besi panas itu.”
Maka mereka, Ya’juj dan Ma’juj tidak bisa mendakinya, dan mereka tidak bisa melubanginya.
Zulkarnain berkata, “Ini adalah rahmat dari Tuhanku. Maka apabila sudah datang janji tuhanku, dia akan menjadikannya hancur luluh, dan janji Tuhanku itu adalah benar.”

Zulkarnain, Nabi Ibrahim dan Nabi Khidir


Sungguhpun kekuasaan dan keperkasaannya tak tertandingi, akhlak dan hatinya selembut sutra, hingga karenanya ia mudah menyerap bukti kebenaran Ilahi. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, menceritakan, suatu ketika Iskandar Zulkarnain mendatangi suatu kaum yang tidak memiliki harta benda apapun yang bisa di nikmati. Lalu ia mengirim surat kepada Raja mereka dan berpesan agar Raja bersedia membalas suratnya.
Namun Raja itu menolak permintaan Zulkarnain, malah sebaliknya, ia berkata, jika Zulkarnain merasa ada kepentingan dengannya, sebaiknya dialah yang datang menemuinya.
Maka Zulkarnain pun pergi menemui Raja mareka, “Aku telah mengirimkan surat kepadamu dan memintamu datang kepadaku, tetapi kamu menolak, maka aku datang kepadamu,” kata Zulkarnain setelah sampai di istana Raja.
Sang Raja pun berkata, “Seandainya aku membutuhkanmu, aku pasti akan datang kepadamu.”
Sebagaimana jika aku melihatmu berada dalam suatu keadaan yang tak pernah dialami oleh siapapun?” tanya Zulkarnain.
“Apa itu?” sang Raja belik bertanya. “Kalian tidak memiliki harta dunia apapun. Kenapa kalian tidak memiliki emas dan perak hingga kalian bisa menikmatinya?” balas Zulkarnain.
“Tetapi kami membenci dua hal tersebut, karena seorang tidak mendapat apapun dari emas dan perak itu, kecuali hanya menginginkannya lebih dari itu,” jawab raja itu dengan tangkas.
Zulkarnain melanjutkan pertanyaannya, “Apa maksud kalian menggali kuburan lalu setelah itu kalian menjaganya, membersihkannya, dan sembahyang di sana?”
Raja itu kembali menjawab, “Kami ingin, jika kami memandang kuburan-kuburan itu dan mengharapkan dunia, kuburan-kuburan itu akan menghalangi kami dari harapan itu.”
Zulkarnain bertanya lagi, “Aku melihat kalian tidak memiliki makanan kecuali sayur sayuran, kenapa kalian tidak memiliki hewan ternak, hingga kalian dapat memerah susunya, menungganginya dan menikmatinya?”
Mereka menjawab, “Kami tidak suka menjadikan perut kami sebagai kuburan bagi binatang itu. Dan kami melihat di dalam tumbuh-tumbuhan itu faedah yang besar. Cukuplah anak adam memiliki kehidupan yang rendah karena makanan. Dan makanan apa saja yang melewati rahang bawah kami rasanya sama saja seperti makanan yang pernah kami makan sebelumnya.”
Setelah Zulkarnain meninggalkan raja itu dengan kagum dan menjadikan penjelasannya sebagai sebuah nasehat yang berharga.
Dalam setiap perjalananya, Zulkarnain selalu memperlakukan bangsa dan suku yang ditaklukkannya dengan amat baik dan santun. Tak mengherankan jika ia menuai kesuksesan dan selalu mendapatkan dukungan dari daerah yang telah di kuasainya.
Selain itu, Zulkarnain juga didampingi seorang penasihat kerajaan yang baik dan sangat luas pengetahuannya, yang tiada lain adalah Nabi Khidir AS.
Sebagian ulama menyebut, Allah SWT menurunkan wahyu kepada Nabi Khidir AS, lalu mengajarkan Wahyu tersebut kepada Zulkarnain.
Seorang mufassir lain, Al-Alusi, dalam kitab tafsirnya Ruhul Ma’ani, berkata, “Mungkin Khidir adalah salah satu pembesar kerajaan, seperti perdana mentrinya,  karena tidak tertutup kemungkinan bahwa Zulkarnain bermusyawarah dengan orang lain saat menghadapi suatu masalah. Sebab pada saat itu, istilah yang dikenal untuk menyebut orang pandai, termasuk Nabi, adalah “Ahli Hikmah”. selain itu, pada masa-masa dahulu, para Nabi juga sering disebut dengan istilah “Orang bijak,” atau “Hakim”.
Wahab bin Munabbah dalam kitabnya At-Tijan mengisahkan, pada suatu ketika Nabi Khidir AS berkata kepada Zulkarnain, Wahai Tuanku, tuan membawa suatu amanat yang seandainya diberikan kepada langit, langit itu akan runtuh, jika diberikan kepada Gunung, maka Gunung itu akan roboh, dan jika diberikan kepada Bumi, maka bumi itu akan terbelah. Tuanku telah diberi kesabaran dan kemenangan. Tuanku akan melihat suatu kaum yang menyembah sesama manusia dan mereka adalah musuh-musuh Allah, yaitu Ya’juj dan Ma’juj. Allah adalah penuntut tidak akan terkelabui oleh orang-orang yang melarikan diri, dan tidak akan dikalahkan oleh orang yang “Menang”.
Kata Nabi Khidir lagi, “Wahai tuanku, ambillah apa yang telah diberikan Allah SWT kepada tuan dengan keteguhan hati dan sungguh-sungguh. Jadikanlah kesabaran sebagai pakaian, kebenaran sebagai pegangan hidup, dan takut kepada Allah sebagai perlindungan yang menumbuhkan amal pada tuan, dan tuan akan tenang dari ketakutan akan datangnya ajal. Ambillah pedang Allah dengan tangan tuan, karena tidak ada orang yang dapat menolong dan tidak ada orang yang dapat mencegah kemenangan. Cukuplah bagi tuan, Allah sebagai penolong tuan.”
Dalam Almuhadlarah al-Awali, kitab yang dikutip Ibnu Katsir, disebutkan, suatu ketika Nabi Ibrahim AS bertemu dengan Zulkarnain di Mekah. Nabi Ibrahim Memeluk dan menjabat tangan Zulkarnain  serta memberinya bendera. Lalu ia mengikuti syariat yang dibawa oleh Nabi itu dan menyeru kepada manusia agar berpegang teguh pada syariat tersebut.
Hal ini dikuatkan kembali oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh salah seorang sahabat Nabi SAW, Ubaid bin Umair dan anaknya, Abdullah, yang menyatakan, selama masa jayanya, Iskandar Zulkarnain pernah melaksanakan haji dengan berjalan kaki. ketika Nabi Ibrahim mendengar berita tersebut, beliau menemuinya seraya menyeru kepada agama Tauhid dan memberikan beberapa nasehat. Nabi Ibrahim juga membawakan Zulkarnain seekor kuda agar dinaikinya. Akan tetapi Zulkarnain menolak, seraya berkata, “Saya tidak akan menaiki suatu kendaraan di suatu tempat yang di dalamnya ada Ibrahim Al-Khalil, yang dikasihi Allah.”

 

Senin, 10 September 2012

KH.Busyro Syuhada dan Panglima Besar Jenderal Sudirman

Panglima Besar Jenderal Sudirman merupakan salah satu tokoh penting yang pernah dimiliki negeri ini. Dia pejuang dan pemimpin teladan bangsa. Pribadinya teguh pada prinsip, keyakinan dan selalu mengedepankan kepentingan rakyat dan bangsa di atas kepentingan pribadinya.

Sudirman lahir pada 1916 di desa Bodas, Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah. Sebelum memasuki dunia kemiliteran, Sudirman berlatar belakang guru HIS Muhammadiyah di Cilacap dan aktif kepanduan Hizbul Wathan. Sejarah mencatat, ketika berusia 31 tahun dia sudah menyandang pangkat jenderal. Meski saat itu menderita sakit paru-paru, tetapi dia terus bergerilya melawan penjajah.

Apa sesungguhnya yang membuat Sudirman memiliki keteguhan dan prinsip kuat dalam hidupnya sehingga dia memiliki nama harum di negeri ini?

“Sudirman mendapat didikan seorang ulama pada masanya. Inilah yang membuatnya memiliki keteguhan dalam berjuang. Meskipun dia menderita sakit paru-paru dan harus ditandu, tetapi semangat juangnya tinggi,”ujar H. Abdul Malik kepada saya di kediamannya di Palimanan, Cirebon.

KH.Busyro Syuhada

Dikisahkan, sekitar 50 km dari Kota Purbalingga, ada seorang ulama bernama Kyai Haji Busyro Syuhada. Sang ulama memiliki sebuah pesantren di desa Binorong, Banjarnegara. Selain dikenal sebagai ulama, Kyai Busyro juga seorang pendekar pencak silat (ketika itu istilahnya pencak ragawi dan batin).

Sebagaimana umumnya pesantren, para santri diajarkan ilmu agama dan beladiri pencak. Pencak silatnya dikenal dengan nama Aliran Banjaran yang intinya memadukan ilmu batin dan ilmu dhohir. Dikemudian hari pencak silat yang dirintis Kyai Busyro Syuhada menjadi cikal bakal perguruan silat Tapak Suci Putera Muhammadiyah.

Suatu hari, Sudirman berkunjung ke pesantren Kyai Busyro di Banjarnegara. Dia bermaksud silaturrahmi. Saat itu Sudirman masih menjalankan pekerjaan sebagai guru di Cilacap. Pada pertemuan itu, tiba-tiba saja Kyai Busyro menangkap suatu firasat saat berhadapan dengan Sudirman.

“Kyai Busyro menyarankan agar Sudirman tinggal sementara waktu di pesantren. Dia ingin agar Sudirman mau menjadi muridnya. Kyai Busyro tidak menjelaskan alasan sesungguhnya,” ujar H. Abdul Malik.

Tentu saja Sudirman terkejut mendengar saran Kyai Busyro Syuhada. Tetapi dia menyambut dengan antusias. Bagaimanapun juga, saran dan nasehat seorang ulama tentu baik dan pasti ada alasan-alasan khusus yang tidak dapat diungkapkan.

Selanjutnya Sudirman nyantri di pesantren asuhan Kyai Busyro Syuhada. Saat itu usia Sudirman sekitar 25 tahun. Selama menjadi santri, Sudirman diperlakukan khusus oleh Kyai Busyro. Bahkan terkesan diistimewakan. Semua keperluan Sudirman menyangkut urusan apa saja, termasuk urusan makan dan minum selalu disiapkan.

Kyai Busyro sengaja menyediakan seorang pelayan khusus untuk murid spesialnya itu. Pelayan itu masih keponakan Kyai Busyro sendiri yang bernama Amrullah. Saat itu usia Amrullah lebih muda 5 tahun dibandingkan Sudirman. Amrullah adalah ayah kandung Abdul Malik.

“Ayah saya menceritakan seputar bagaimana Kyai Busyro menggembleng Sudirman. Di lingkungan keluarga besar kami, kisah ini sebenarnya sudah umum diketahui,”kata Abdul Malik.

Menurutnya, gemblengan terhadap Sudirman sepintas memiliki kemiripan pola didikan silat dalam film Mandarin, seperti: Shaolin Temple. Murid dilatih ilmu silat dan juga disuruh melakukan olahraga yang menguras fisik.

Namun demikian, Sudirman diharuskan berpuasa dan saat tengah malam melakukan shalat sunnah secara rutin.

“Bagaimana sebenarnya bentuk didikan secara fisik?” Tanya saya.

“Salah satu cerita yang pernah saya dengar, meskipun dalam keadaan berpuasa, Sudirman diperintahkan melakukan pekerjaan keras memotong beberapa pohon yang ada di dekat pesantren. Batang-batang pohon itu kemudian diseretnya. Lalu dimasukkan ke dalam kolam atau empang. Pekerjaan itu dilakukan sendirian tanpa dibantu siapapun. Setelah matahari terbenam, batang pohon itu harus dikeluarkan lagi dari kolam,” Jawab Abdul Malik.

Abdul Malik menambahkan, saat Sudirman berbuka puasa dan sahur, Amrullah bertugas menyediakan makanan dan minuman.

Di samping itu, Kyai Busyro juga memberi amalan zikir atau hizib khusus kepada Sudirman untuk dibaca setiap harinya. Secara hampir bersamaan, hizib ini juga diamalkan Amrullah (kelak Amrullah menjadi ulama di Wonosobo, Jawa Tengah).

Pada tahun 1942, Kyai Busyro meninggal dunia. Melihat kenyataan itu, Sudirman memutuskan kembali ke kampung halamannya di Purbalingga. Namun tidak berapa lama kemudian balatentara Jepang mulai menjajah Indonesia.

Seolah sudah menjadi takdirnya, Sudirman segera mengikuti pendidikan militer di Bogor bergabung dengan tentara PETA (Pembela Tanah Air).

Begitu tamat pendidikan, Sudirman menjadi Komandan Batalyon di Kroya, Jawa Tengah. Sesudah TKR (Tentara Keamanan Rakyat) terbentuk, Sudirman diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas.

Pada puncaknya, Sudirman menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TNI pertama dan termuda) hingga beliau wafat pada 29 Januari 1950.

“Apa yang saya katakan tadi hanya sepenggal cerita saja. Sebenarnya kisah gemblengan Kyai Busyro kepada Sudirman cukup banyak. Tetapi intinya, Sudirman mendapat bimbingan khusus dari seorang ulama pada masanya. Inilah yang membuatnya berhasil menjadi pemimpin,” ujar Abdul Malik.

Kisah Gaib

Pada saat Sudirman bergerilya, banyak kisah-kisah mistis seputar perjuangannya. Dikisahkan, musuh selalu gagal memburunya. Bahkan Sudirman pernah luput dari tangan musuh yang hanya berjarak sekitar 10-20 meter. Andaikata saat itu penyakitnya kambuh dan membuatnya batuk-batuk, pastilah musuh akan mendengar dan menangkapnya.

Tetapi atas Kebesaran Tuhan, pada detik yang genting itu penyakitnya tidak kambuh. Sungguh aneh tidak ada satupun musuh yang melihat Sudirman bersembunyi diantara rumput alang-alang yang pendek.

Di sisi lain, wibawa dan kharisma Sudirman terpancar kuat dari ekspresi wajah dan tubuhnya. Meskipun saat itu tubuhnya kurus, lemah dan harus ditandu, tetapi seluruh jajaran angkatan perang patuh di bawah komandonya. Semua ini merupakan hasil disiplin yang diperoleh dari gurunya.

Sejarah juga mencatat, saat ibukota Republik yang berada di Yogyakarta direbut Belanda, Presiden dan Wakil Presiden ditawan. Dikisahkan, ketika itu Sukarno sempat menyuruh Sudirman meletakkan senjata, tetapi Sudirman menolak dan memutuskan bergerilya.

Sungguh suatu sikap berani yang ditunjukkan Sudirman. Dia melawan atasan untuk tujuan yang jauh lebih mulia.

Demikian sekelumit kisah perjuangan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Kita patut menghormati dan meneladaninya.

sumber : BaNi MusTajaB
http://www.facebook.com/

SYAFAAH.dan.BAROKAH

Prabu Kiansantang atau Syeh Sunan Rohmat Suci

GODOG adalah sebuah daerah pedesaan yang indah dan nyaman, berjarak 10 km kearah timur dari puseur dayeuh Garut. Tepatnya di Desa Lebakagung, Kecamatan Karangpawitan, Kabupaten Garut. Disana terdapat makam Prabu Kiansantang atau yang dikenal dengan sebutan Makam Godog Syeh Sunan Rohmat Suci. Hampir setiap saat banyak masyarakat yang ziarah, terlebih di bulan-bulan maulud

Prabu Kiansantang atau Syeh Sunan Rohmat Suci adalah salah seorang putra keturunan raja Pajajaran, Prabu Siliwangi, dari prameswarinya yang bernama Dewi Kumala Wangi. Kian Santang lahir tahun 1315 Masehi di Pajajaran, mempunyai dua saudara, bernama Dewi Rara Santang dan Walang Sungsang.

Pada usia 22 tahun, tepatnya tahun 1337 Masehi, Kiansantang diangkat menjadi dalem Bogor kedua yang saat itu bertepatan dengan upacara penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Prabu Munding Kawati, putra Sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Guna mengenang peristiwa sakral penobatan dan penyerahan tongkat pusaka Pajajaran tersebut, maka ditulislah oleh Prabu Susuk Tunggal pada sebuah batu, yang dikenal sampai sekarang dengan nama Batu Tulis Bogor. Peristiwa itu merupakan kejadian paling istimewa di lingkungan Keraton Pajajaran dan dapat diketahui oleh kita semua sebagai pewaris sejarah bangsa, khususnya Jawa Barat.

Kiansantang merupakan sinatria yang gagah perkasa. Konon tak ada yang bisa mengalahkannya. Sejak kecil sampai dewasa, yaitu berusia 33 tahun, tepatnya tahun 1348 Masehi, Kiansantang belum pernah tahu seperti apa darahnya. Dalam arti, belum ada yang menandingi kegagahannya dan kesaktiannya. Sering kali dia merenung seorang diri, memikirkan dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi kesaktian dirinya. Akhirnya Prabu Kiansantang memohon kepada ayahnya supaya mencarikan seorang lawan yang dapat menandinginya.

Sang ayah memanggil para ahli nujum untuk menunjukkan siapa dan dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi Kiansantang. Namun tak seorangpun yang mampu menunjukkannya. Tiba-tiba datang seorang kakek yang memberitahu bahwa orang yang dapat menandingi kegagahan Prabu Kiansantang adalah Sayyidina Ali, yang tinggal jauh di Tanah Mekah. Sebetulnya pada waktu itu Sayyidina Ali telah wafat, namun kejadian ini dipertemukan secara gaib dengan kekuasaan Alloh Yang Maha Kuasa. Lalu , orang tua itu berkata kepada Prabu Kiansantang: “Kalau memang kau mau bertemu dengan Sayyidina Ali, kau harus melaksanakan dua syarat: Pertama,harus mujasmedidulu di ujung kulon. Kedua, namamu harus diganti menjadi Galantrang Setra (Galantrang - Berani, Setra - Bersih/ Suci).

setelah Prabu Kiansantang melaksanakan dua syarat tersebut, maka berangkatlah dia ke tanah Suci Mekah pada tahun 1348 Masehi. Setiba di tanah Mekah, ia bertemu dengan seorang lelaki yang disebut Sayyidina Ali, tetapi Kiansantang tidak mengetahui bahwa laki-laki itu bernama Sayyidina Ali. Prabu Kiansantang yang namanya sudah berganti menjadi Galantrang Setra menanyakan kepada laki-laki itu.

“Kenalkah dengan orang yang namanya Sayyidina Ali?” tentu laki- laki itu menjawab dengan jujur, mengiyakannya, bahkan ia bersedia mengantar Kian Santang. Sebelum berangkat, laki-laki itu menancapkan dulu tongkatnya ke tanah. Setelah berjalan beberapa puluh meter, Sayyidina Ali berkata, “Wahai Galantrang Setra, tongkatku ketinggalan di tempat tadi, tolong ambilkan dulu!”

Semula Galantrang Setra tidak mau. Namun Sayyidina Ali mengatakan jika tidak mau, tentu tidak akan bertemu dengan Sayyidina Ali. Terpaksalah Galantrang Setra kembali ketempat bertemu, untuk mengambilkan tongkat. Setibanya di tempat tongkat tertancap, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sebelah tangan. Ternyata tongkat tidak bisa dicabut, bahkan tidak sedikitpun berubah. Sekali lagi, Kian santang berusaha mencabutnya, tetapi tongkat itu tetap tidak berubah. Ketiga kalinya, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sekuat tenaga dengan disertai tenaga bathin. Tetapi tongkat tetap tertancap di tanah dengan kokoh, sebaliknya kedua kaki Galantrang Setra amblas masuk ke dalam tanah, dan keluarlah darah dari tubuh Galantrang Setra.

Sayyidina Ali mengetahui kejadian itu, maka beliaupun datang. Setelah Sayyidina Ali tiba, tongkat itu langsung dicabut sambil mengucapkan Bismillah dan dua kalimat syahadat.Tongkatpun terangkat dan bersamaan dengan itu hilang pulalah darah dari tubuh Galantrang Setra. Galantrang Setra merasa heran, kenapa darah yang keluar dari tubuh itu tiba-tiba menghilang dan kembali tubuhnya sehat. Dalam hatinya ia bertanya. “Apakah kejadian itu karena kalimah yang diucapkan oleh orang tua itu tadi?”. Kalaulah benar, kebetulan, akan kuminta ilmu kalimah itu. Tetapi laki-laki itu tidak menjawab. Alasannya, karena Galantrang Setra belum masuk Islam.

Kemudian mereka berdua berangkat menuju Mekah. Setelah tiba di Mekah, di tengah perjalanan ada yang bertanya kepada laki-laki itu dengan sebutan Sayyidina Ali. Galantrang Setra kaget mendengar panggilan ”Ali” tersebut. Ternyata laki-laki yang baru dikenalnya tadi tiada lain adalah Sayyidina Ali.

Setelah Kiansantang meninggalkan Mekah untuk pulang ke Tanah Jawa (Pajajaran), ia terlunta-lunta tidak tahu arah tujuan. Maka ia berpikir untuk kembali ke Mekah lagi dengan niat bulat akan menemui Sayyidina Ali, sekaligus bermaksud memeluk agama Islam. Pada tahun 1348 Masehi, Kiansantang masuk Islam. Ia bermukim selama dua puluh hari sambil mempelajari ajaran agama Islam. Kemudian dia pulang ke tanah Jawa (Pajajaran) untuk menengok ayahnya Prabu Siliwangi dan saudara-saudaranya.

Setibanya di Pajajaran, ia bertemu dengan ayahnya. Kian Santang menceritakan pengalamannya selama bermukim di tanah Mekah serta pertemuannya dengan Sayyidina Ali. Pada akhir ceritanya, ia memberitahukan bahwa dirinya telah masuk Islam dan berniat mengajak ayahnya untuk memeluk agama Islam. Prabu Siliwangi kaget sewaktu mendengar cerita anaknya, terlebih ketika anaknya mengajak masuk agama Islam. Sang ayah tidak percaya, dan ajakannya ditolak.

Tahun 1355 Masehi, Kiansantang berangkat kembali ke tanah Mekah. Jabatan kedaleman, untuk sementara diserahkan ke Galuh Pakuan yang pada waktu itu dalemnya dipegang oleh Prabu Anggalang. Prabu Kiansantang bermukim di tanah Mekah selama tujuh tahun dan mempelajari ajaran agama Islam secara khusu. Merasa sudah cukup menekuni ajaran agama Islam, kemudian ia kembali ke Pajajaran tahun 1362 M. Ia berniat menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa. Kembali ke Pajajaran pun disertai saudagar Arab yang punya niat berniaga di Pajajaran sambil membantu Kiansantang mensyi’arkan agama Islam.

Setiba di Pajajaran, Kiansantang langsung menyebarkan agama Islam di kalangan masyarakat, karena ajaran Islam dalam fitrohnya membawa keselamatan dunia dan akhirat. Masyarakat menerimanya dengan tangan terbuka. Kemudian Prabu Kiansantang bermaksud menyebarkan ajaran agama Islam di lingkungan Keraton Pajajaran.



Setelah Prabu Siliwangi mendapat berita bahwa anaknya sudah kembali ke Pajajaran dan akan menghadap kepadanya. Prabu Siliwangi yang mempunyai martabat raja mempunyai pikiran. “Dari pada masuk agama Islam lebih baik aku muninggalkan keraton Pajajaran”. Sebelum berangkat meninggalkan keraton, Prabu Siliwangi merubah Keraton Pajajaran yang indah menjadi hutan belantara.



Melihat gelagat demikian, Kiansantang mengejar ayahnya. Beberapa kali Prabu Siliwangi terkejar dan berhadapan dengan Kiansantang yang langsung mendesak agar sang ayah dan para pengikutnya masuk Islam. Namun Prabu Siliwangi tetap menolak, malah beliau lari ke daerah Garut Selatan. Kiansantang menghadangnya di laut Kidul Garut, tetapi Prabu Siliwangi tetap tidak mau masuk agama Islam. Dengan rasa menyesal, Kiansantang terpaksa membendung jalan larinya sang ayah. Prabu Siliwangi masuk ke dalam gua yang sekarang disebut gua sancang Pameungpeuk.

Prabu Kiansantang sudah berusaha mengislamkan ayahnya, tetapi Alloh tidak memberi hidayah kepada Prabu Siliwangi. Kiansantang kembali ke Pajajaran, kemudian membangun kembali kerajaan sambil menyebarkan agama Islam ke pelosok-pelosok, dibantu oleh saudagar Arab sambil berdagang. Namun istana kerajaan yang diciptakan oleh Prabu Siliwangi tidak dirubah, dengan maksud pada akhir nanti anak cucu atau generasi muda akan tahu bahwa itu adalah peninggalan sejarah nenek moyangnya. Sekarang lokasi istana itu disebut Kebun Raya Bogor.

Pada tahun 1372 Masehi, Kiansantang menyebarkan agama Islam di Galuh Pakuan dan dia sendiri yang mengkhitan laki-laki yang masuk agama Islam. Tahun 1400 Masehi, Kiansantang diangkat menjadi Raja Pajajaran, menggantikan Prabu Munding Kawati atau Prabu Anapakem I. Namun Kiansantang tidak lama menjadi raja, karena mendapat ilham harus uzlah, pindah dari tempat yang ramai ketempat yang sepi. Dalam uzlah itu, ia diminta agar bertafakur untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, dalam rangka mencapai kema’ripatan. Kepada beliau dimintakan untuk memilih tempat tafakur dari ke 3 tempat, yaitu Gunung Ceremai, Gunung Tasikmalaya, atau Gunung Suci Garut.

Waktu uzlah harus dibawa peti yang berisikan tanah pusaka. Peti itu untuk dijadikan tanda atau petunjuk tempat bertafakur nanti, apabila tiba disatu tempat peti itu godeg/ berubah, maka disanalah tempat dia tafakur, dan kemudian nama Kiansantang harus diganti dengan Sunan Rohmat. Sebelum uzlah, Kiansantang menyerahkan tahta kerajaan kepada Prabu Panatayuda, putra tunggal Prabu Munding Kawati.

Setelah selesai serah-terima tahta kerajaan dengan Prabu Panatayuda, maka berangkatlah Prabu Kiansantang meninggalkan Pajajaran. Tempat yang dituju pertama kali adalah Gunung Ceremai. Setibanya disana, peti diletakan di atas tanah, tetapi peti itu tidak godeg alias berubah. Kiansantang kemudian berangkat lagi ke gunung Tasikmalaya, disana juga peti tidak berubah. Akhirnya Kiansantang memutuskan untuk berangkat ke gunung Suci Garut. Setibanya di gunung Suci Garut, peti itu disimpan diatas tanah, secara tiba-tiba berubahlah peti itu. Dengan godegnya peti tersebut, berarti petunjuk kepada Kiansantang bahwa ditempat itulah beliau harus tafakur untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tempat itu kini diberi nama Makam Godog.



Prabu Kiansantang bertafakur selama 19 tahun. Sempat mendirikan Mesjid yang disebut Masjid Pusaka Karamat Godog yang berjarak dari makam godog sekitar kurang lebih 1 Km. Prabu Kiansantang namanya diganti menjadi Syeh Sunan Rohmat Suci dan tempatnya menjadi Godog Karamat. Beliau wafat pada tahun 1419 M atau tahun 849 Hijriah. Syeh Sunan Rohmat Suci wafat di tempat itu yang sampai sekarang dinamakan Makam Sunan Rohmat Suci atau Makam Karamat Godog.***

Sumber :
Gentra Pusaka Wangi

~1593~

Minggu, 18 Desember 2011

Sultan Hamid II & Garuda Pancasila

Pencipta lambang negara Republik Indonesia Burung Garuda adalah Sultan Hamid II (Sultan Syarif Abdul Hamid Alkadrie). Namun, nama bekas Menteri Negara RIS ini ditenggelamkan pemerintah Sukarno karena dikaitkan dengan pemberontakan Westerling yang sampai dengan sekarang tidak pernah terbukti secara yuridis. Di hari peringatan ke-60 Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 2005 yang lalu pihak keluarga Sultan Hamid II sempat meminta pemerintah tidak melupakan jasa tokoh dari Kalimantan Barat tersebut, akan tetapi sampai sekarang sejarah itu tetap disembunyikan pemerintah saat ini.



Turiman Fachturahman Nur membuktikan kebenaran ini dalam tesisnya di Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 11 Agustus 1999 dengan judul “Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia (Suatu Analisis Yuridis tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Perundang-undangan)”, Turiman mempertahankan secara yuridis dengan data-data yang akurat mengenai siapa sebenarnya pencipta lambang negara Burung Garuda.



Sultan Hamid II adalah Sultan ke-VIII dari Kesultanan Kadriah Pontianak yang memiliki nama lengkap Sultan Abdul Hamid Alkadrie. Putra Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, Sultan VII Kesultanan Pontianak. Sultan Hamid II lahir di Pontianak pada 12 Juli 1913. Sultan Hamid Alkadrie II melewati masa kecilnya di Istana Kadriah Kesultanan Pontianak yang dibangun pada 1771 Masehi. Sultan Hamid II pernah menjadi Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) pada tahun 1948.

Sultan Hamid II dikenal cerdas, ia juga menjadi Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda (Ratu Juliana) dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran yaitu dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Sultan Hamid menempuh pendidikan "ELS" di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. "HBS" di Bandung satu tahun, "THS" Bandung tidak tamat, kemudian "KMA" di Breda, Belanda hingga tamat dan berpangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda. Sultan Hamid II adalah orang Indonesia pertama yang menempuh pendidikan di Akademi Militer Belanda (KMA) di Breda, Belanda, seperti AKABRI dengan pangkat letnan dua infanteri pada tahun 1936.



Sultan Hamid adalah salah satu tokoh penting nasional dalam mendirikan Republik Indonesia bersama rekan sejawatnya, Sukarno, Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, Mr. Muhammad Roem, Mohammad Natsir, dan Muhammad Yamin. Dalam sejarah pendirian RI, Sultan Hamid pernah menjadi Ketua Delegasi BFO (Bijeenkomst Federaale Overleg/Musyawarah Istimewa Kaum Federal dan Strategi Konseptor Negara Federal) dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, 23 Agustus 1949. Sultan Hamid juga menjadi saksi pelantikan Sukarno sebagai Presiden RI di Keraton Yogyakarta pada 17 Desember 1949.



Sepak terjangnya di dunia politik menjadi salah satu alasan bagi Presiden Sukarno untuk mengangkat Sultan Hamid sebagai Menteri Negara Zonder Porto Folio di Kabinet Republik Indonesia Serikat pada 1949-1950. Pada 13 Juli 1945 dalam Rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, salah satu anggota Panitia, mengusulkan tentang lambang negara. Pada 20 Desember 1949, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat Nomor 2 Tahun 1949, Sultan Hamid II diangkat sebagai Menteri Negara RIS. Dalam kedudukannya ini, Sultan Hamid II ditugaskan oleh Presiden Sukarno untuk mengkoordinasi kegiatan perancangan lambang negara.



Dalam buku Bung Hatta Menjawab–Hatta saat itu menjadi Perdana Menteri RIS–tertulis Menteri Priyono yang ditugaskan oleh Sukarno melaksanakan sayembara lambang negara menerima hasil dua buah gambar rancangan lambang negara yang terbaik. Yaitu Burung Garuda karya Sultan Hamid II dan Banteng Matahari karya Muhammad Yamin. Namun, yang diterima oleh Presiden Sukarno adalah karya Sultan Hamid II dan karya Muhammad Yamin ditolak. Melalui proses rancangan yang cukup panjang, akhirnya pada 10 Februari 1950, Menteri Negara RIS Sultan Hamid II mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang. Hasil akhirnya adalah lambang negara Garuda Pancasila yang dipakai hingga saat ini.



Rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II diresmikan pemakaiannya dalam sidang kabinet RIS yang dipimpin Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat (PM RIS) Mohammad Hatta pada 11 Februari 1950. Empat hari berselang, tepatnya 15 Februari, Presiden Sukarno memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara karya Sultan Hamid II kepada khalayak umum di Hotel Des Indes (sekarang Duta Merlin) Jakarta. Pada 20 Maret 1950, bentuk final lambang negara rancangan Menteri Negara RIS Zonder Forto Polio, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Sukarno dan mendapat disposisi persetujuan presiden. Selanjutnya Presiden Sukarno memerintahkan pelukis Istana bernama Dullah untuk melukis kembali gambar itu sesuai bentuk final dan aslinya.



Lambang negara ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 yang diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 111 dan penjelasannya dalam tambahan Lembaran Negara Nomor 176 Tahun 1951 pada 28 November 1951. Sejak saat itu, secara yuridis gambar lambang negara rancangan Sultan Hamid II secara resmi menjadi Lambang Negara Kesatuan RI. Sebelum meninggal dunia, Sultan Hamid II yang didampingi sekretaris pribadinya, Max Yusuf Alkadrie menyerahkan gambar rancangan asli lambang negara yang sudah disetujui Presiden Sukarno kepada Haji Mas Agung–Ketua Yayasan Idayu, pada 18 Juli 1974. Gambar rancangan asli itu sekaligus diserahkan kepada Haji Mas Agung di Jalan Kwitang Nomor 24 Jakarta Pusat.



Pada 5 April 1950, Sultan Hamid II dikait-kaitkan dengan peristiwa Westerling (yang tidak pernah terbukti secara yuridis/hukum) sehingga harus menjalani proses hukum (tanpa hukum/politisasi) dan dipenjara selama 10 tahun oleh pemerintah Sukarno (dikarenakan pergolakan poltik pada saat itu) . Sejak itulah, nama Sultan Hamid II seperti dicoret dari catatan sejarah. Jarang sekali buku sejarah Indonesia yang terang-terangan menyebutkan Sultan Hamid sebagai pencipta gambar Burung Garuda. Sejarawan Indonesia lebih sering menyebut nama Muhammad Yamin sebagai pencipta lambang negara. Gelar kepahlawanan yang seharusnya disandang Sultan Hamid II yang sangat berjasa sebagai perancang lambang negara tersebut sengaja dihilangkan oleh pemerintahan Sukarno, Suharto hingga saat ini. Kesalahan sejarah itu berlangsung bertahun-tahun hingga pemerintahan Orde Baru dan sampai dengan sekarang belum sepenuhnya terungkap.



Dalam tesisnya, Turiman menyimpulkan, sesuai Pasal 3 Ayat 3 (tiga) UUD Sementara 1950 menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara. Berdasarkan Pasal 23, 3, jo PP Nomor 60/1951 itu ditentukan bahwa bentuk dan warna serta skala ukuran lambang negara RI adalah sebagaimana yang terlampir secara resmi dalam PP 66/51, Lembaran Negara Nomor 111 serta bentuk lambang negara yang dimaksud adalah lambang negara yang dirancang oleh Sultan Hamid Alkadrie II yaitu Burung Garuda. Bukan lambang negara yang dibuat oleh Muhammad Yamin yang berbentuk banteng dan matahari.



Sultan Hamid II meninggal dunia pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang. Sudah sepatutnya negara mengembalikan nama baik Sultan Hamid II sebagai pahlawan bangsa serta pencipta lambang negara yang terlepas dari masalah politik lain yang ditimpakan kepadanya. Pemutarbalikan fakta sejarah yang terjadi saat ini sangat merugikan generasi mendatang. Sejarah harus diletakkan pada porsinya semula dan sejarah harus diluruskan agar generasi mendatang tau tentang pencipta lambang negaranya Burung Garuda, serta generasi bangsa ini tidak salah dalam melihat sejarah, begitupula termasuk memberikan penghormatan kepada Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional seperti halnya W.R. Supratman, pencipta lagu Indonesia Raya, Fatmawati, pembuat Bendera pusaka Indonesia, dan lainnya.



Katakanlah yang benar itu benar, dan yang salah itu salah.

Sejarah sepatutnya diluruskan.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang tak pernah "lupa" dengan sejarahnya.


Sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=192177504157546

Sabtu, 17 Desember 2011

Benarkah Borobudur Peninggalan Nabi Sulaiman???

Ditulis dan Diposkan oleh :BLACK LIONESS on 10:12 AM, 21-Sep-11


 Membaca judul diatas, tentu banyak orang yang akan mengernyitkan dahi, sebagai tanda ketidakpercayaannya. Bahkan, mungkin demikian pula dengan Anda. Sebab, Nabi Sulaiman AS adalah seorang utusan Allah yang diberikan keistimewaan dengan kemampuannya menaklukkan seluruh makhluk ciptaan Allah, termasuk angin yang tunduk di bawah kekuasaannya atas izin Allah. Bahkan, burung dan jin selalu mematuhi perintah Sulaiman.

Menurut Sami bin Abdullah al-Maghluts, dalam bukunya Atlas Sejarah Nabi dan Rasul, Nabi Sulaiman diperkirakan hidup pada abad ke-9 Sebelum Masehi (989-931 SM), atau sekitar 3.000 tahun yang lalu. Sementara itu, Candi Borobudur sebagaimana tertulis dalam berbagai buku sejarah nasional, didirikan oleh Dinasti Syailendra pada akhir abad ke-8 Masehi atau sekitar 1.200 tahun yang lalu. Karena itu, wajarlah bila banyak orang yang mungkin tertawa kecut, geli, dan geleng-geleng kepala bila disebutkan bahwa Candi Borobudur didirikan oleh Nabi Sulaiman AS.

Candi Borobudur merupakan candi Budha. Berdekatan dengan Candi Borobudur adalah Candi Pawon dan Candi Mendut. Beberapa kilometer dari Candi Borobudur, terdapat Candi Prambanan, Candi Kalasan, Candi Sari, Candi Plaosan, dan lainnya. Candi-candi di dekat Prambanan ini merupakan candi Buddha yang didirikan sekitar tahun 772 dan 778 Masehi.

Lalu, apa hubungannya dengan Sulaiman? Benarkah Candi Borobudur merupakan peninggalan Nabi Sulaiman yang hebat dan agung itu? Apa bukti-buktinya? Benarkah ada jejak-jejak Islam di candi Buddha terbesar itu? Tentu perlu penelitian yang komprehensif dan melibatkan berbagai pihak untuk membuktikan validitas dan kebenarannya.

Namun, bila pertanyaan di atas diajukan kepada KH Fahmi Basya, ahli matematika Islam itu akan menjawabnya; benar. Borobudur merupakan peninggalan Nabi Sulaiman yang ada di tanah Jawa.

Dalam bukunya, Matematika Islam 3 (Republika, 2009), KH Fahmi Basya menyebutkan beberapa ciri-ciri Candi Borobudur yang menjadi bukti sebagai peninggalan putra Nabi Daud tersebut. Di antaranya, hutan atau negeri Saba, makna Saba, nama Sulaiman, buah maja yang pahit, dipindahkannya istana Ratu Saba ke wilayah kekuasaan Nabi Sulaiman, bangunan yang tidak terselesaikan oleh para jin, tempat berkumpulnya Ratu Saba, dan lainnya.

Dalam Alquran, kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Saba disebutkan dalam surah An-Naml [27]: 15-44, Saba [34]: 12-16, al-Anbiya [21]: 78-81, dan lainnya. Tentu saja, banyak yang tidak percaya bila Borobudur merupakan peninggalan Sulaiman.

Di antara alasannya, karena Sulaiman hidup pada abad ke-10 SM, sedangkan Borobudur dibangun pada abad ke-8 Masehi. Kemudian, menurut banyak pihak, peristiwa dan kisah Sulaiman itu terjadi di wilayah Palestina, dan Saba di Yaman Selatan, sedangkan Borobudur di Indonesia.

Tentu saja hal ini menimbulkan penasaran. Apalagi, KH Fahmi Basya menunjukkan bukti-buktinya berdasarkan keterangan Alquran. Lalu, apa bukti sahih andai Borobudur merupakan peninggalan Sulaiman atau bangunan yang pembuatannya merupakan perintah Sulaiman?

Menurut Fahmi Basya, dan seperti yang penulis lihat melalui relief-relief yang ada, memang terdapat beberapa simbol, yang mengesankan dan identik dengan kisah Sulaiman dan Ratu Saba, sebagaimana keterangan Alquran. Pertama adalah tentang tabut, yaitu sebuah kotak atau peti yang berisi warisan Nabi Daud AS kepada Sulaiman. Konon, di dalamnya terdapat kitab Zabur, Taurat, dan Tingkat Musa, serta memberikan ketenangan. Pada relief yang terdapat di Borobudur, tampak peti atau tabut itu dijaga oleh seseorang.

"Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: 'Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman'." (QS Al-Baqarah [2]: 24.

Kedua, pekerjaan jin yang tidak selesai ketika mengetahui Sulaiman telah wafat. (QS Saba [34]: 14). Saat mengetahui Sulaiman wafat, para jin pun menghentikan pekerjaannya. Di Borobudur, terdapat patung yang belum tuntas diselesaikan. Patung itu disebut dengan Unfinished Solomon.

Ketiga, para jin diperintahkan membangun gedung yang tinggi dan membuat patung-patung. (QS Saba [34]: 13). Seperti diketahui, banyak patung Buddha yang ada di Borobudur. Sedangkan gedung atau bangunan yang tinggi itu adalah Candi Prambanan.

Keempat, Sulaiman berbicara dengan burung-burung dan hewan-hewan. (QS An-Naml [27]: 20-22). Reliefnya juga ada. Bahkan, sejumlah frame relief Borobudur bermotifkan bunga dan burung. Terdapat pula sejumlah relief hewan lain, seperti gajah, kuda, babi, anjing, monyet, dan lainnya.

Kelima, kisah Ratu Saba dan rakyatnya yang menyembah matahari dan bersujud kepada sesama manusia. (QS An-Naml [27]: 22). Menurut Fahmi Basya, Saba artinya berkumpul atau tempat berkumpul. Ungkapan burung Hud-hud tentang Saba, karena burung tidak mengetahui nama daerah itu. "Jangankan burung, manusia saja ketika berada di atas pesawat, tidak akan tahu nama sebuah kota atau negeri," katanya menjelaskan. Ditambahkan Fahmi Basya, tempat berkumpulnya manusia itu adalah di Candi Ratu Boko yang terletak sekitar 36 kilometer dari Borobudur. Jarak ini juga memungkinkan burung menempuh perjalanan dalam sekali terbang.

Keenam, Saba ada di Indonesia, yakni Wonosobo. Dalam Alquran, wilayah Saba ditumbuhi pohon yang sangat banyak. (QS Saba [34]: 15). Dalam kamus bahasa Jawi Kuno, yang disusun oleh Dr Maharsi, kata 'Wana' bermakna hutan. Jadi, menurut Fahmi, wana saba atau Wonosobo adalah hutan Saba.

Ketujuh, buah 'maja' yang pahit. Ketika banjir besar (Sail al-Arim) menimpa wilayah Saba, pepohonan yang ada di sekitarnya menjadi pahit sebagai azab Allah kepada orang-orang yang mendustakan ayat-ayat-Nya. "Tetapi, mereka berpaling maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar[1236] dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr." (QS Saba [34]: 16).

Kedelapan, nama Sulaiman menunjukkan sebagai nama orang Jawa. Awalan kata 'su'merupakan nama-nama Jawa. Dan, Sulaiman adalah satu-satunya nabi dan rasul yang 25 orang, yang namanya berawalan 'Su'. Kesembilan, Sulaiman berkirim surat kepada Ratu Saba melalui burung Hud-hud. "Pergilah kamu dengan membawa suratku ini." (QS An-Naml [27]: 2. Menurut Fahmi, surat itu ditulis di atas pelat emas sebagai bentuk kekayaan Nabi Sulaiman. Ditambahkannya, surat itu ditemukan di sebuah kolam di Candi Ratu Boko.

Kesepuluh, bangunan yang tinggal sedikit (Sidrin qalil). Lihat surah Saba [34] 16). Bangunan yang tinggal sedikit itu adalah wilayah Candi Ratu Boko. Dan di sana terdapat sejumlah stupa yang tinggal sedikit. "Ini membuktikan bahwa Istana Ratu Boko adalah istana Ratu Saba yang dipindahkan atas perintah Sulaiman," kata Fahmi menegaskan.

Selain bukti-bukti di atas, kata Fahmi, masih banyak lagi bukti lainnya yang menunjukkan bahwa kisah Ratu Saba dan Sulaiman terjadi di Indonesia. Seperti terjadinya angin Muson yang bertiup dari Asia dan Australia (QS Saba [34]: 12), kisah istana yang hilang atau dipindahkan, dialog Ratu Bilqis dengan para pembesarnya ketika menerima surat Sulaiman (QS An-Naml [27]: 32), nama Kabupaten Sleman, Kecamatan Salaman, Desa Salam, dan lainnya. Dengan bukti-bukti di atas, Fahmi Basya meyakini bahwa Borobudur merupakan peninggalan Sulaiman. Bagaimana dengan kalian? Hanya Allah yang mengetahuinya. Wallahu A'lam.

Sumber: http://blackfiles.mywapblog.com/borobudur-peninggalan-nabi-sulaiman.xhtml

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons