Blog ini ditujukan kepada seluruh ummat Islam yang cinta kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Para Sahabat RA, Auliya', Habaib, Ulama', dan sejarah kebudayaan Islam.
Tampilkan postingan dengan label Tiga Ulama' Pendiri NU. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tiga Ulama' Pendiri NU. Tampilkan semua postingan

Senin, 04 Oktober 2010

KH. Bisri Syansuri

Faqih yang Tegas nan Santun

Pertengahan Juni ini, Ponpes Mambaul Maarif Denanyar, Jombang memiliki hajat besar. Ribuan orang diperkirakan memadati lokasi pesatren untuk menghadiri agenda acara tahunan Haul ke-31 wafatnya KH Bisri Syansuri dan bersama-sama meneladani keteguhan prinsip dan kecintaannya kepada ilmu fiqih, Islam dan bangsa.

Pembicarakan kisah hidup Kiai Bisri berarti membicarakan kecintaan seorang ulama terhadap ilmu fiqih. Karena saking cintanya, Kiai Bisri dikenal sebagai ulama yang tegas memegang prinsip. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang juga cucunya sendiri, menyebut Kiai Bisri sebagai “Pecinta Fiqih Sepanjang Hayat” yang ter-muat sebagai judul buku yang ia tulis.

Ada kisah menarik yang termuat dalam buku Gus Dur. KH Abdul Wahab Chasbullah sering sekali berbeda pendapat dengan Kiai Bisri. Kiai Wahab, menurut Gus Dur, lahir sebagai anak kaya di Bibis, Kota Surabaya. Ibunya memiliki ratusan rumah di daerah tersebut yang disewa oleh orang-orang Arab pada paruh kedua abad ke-19 Masehi.
Sebaliknya, Kiai Bisri lahir beberapa tahun kemudian, di tengah-tengah keluarga miskin di kawasan Tayu Wetan, Pati, Jawa Tengah. Dia belajar di pesantren lokal dan kemudian di pesantren KH Cholil Demangan, Bangkalan. Di sanalah dia bertemu dengan Kiai Wahab.

Kiai Bisri muda dapat terus menjadi santri karena ia mencuci pakaian dan menanak nasi untuk kawan barunya itu, Kiai Wahab muda. Segera Kiai Bisri muda menjadi orang kepercayaan Wahab muda karena jujur dan rajin. Jadi, urusannya sudah bukan lagi menyangkut pakaian dan makanan, tetapi sudah berkaitan dengan watak dan tempramen. Walaupun begitu, keahlian ilmu agama Islam kedua orang itu juga saling berbeda.
Perbedaannya terletak pada bidang ilmu agama yang mereka senangi. Kiai Wahab senang pada ilmu ushul fiqh, sedangkan Kiai Bisri menyukai tafsir dan hadits Nabi Muhammad SAW. Bidang itu juga dinamai kajian naqly, bertumpu kepada ayat-ayat Alquran dan hadits Nabi Muhammad SAW.

Karena itu, Kiai Bisri tidak banyak berkutat dengan penggunaan akal (rasio) sebagaimana Kiai Wahab. Pernah Kiai Wahab bertanya kepada Gus Dur; “Saya dengar kakekmu itu tidak pernah makan di warung?” Gus Dur menjawab, “Memang benar demikian.”

Kiai Wahab kembali bertanya, “Mengapa?” Gus Dur menjawab, “Kiai Bisri tidak menemukan hadits yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah makan di warung.” Kiai Abdul Wahab menga-takan; “Ya, tentu saja karena waktu itu belum ada warung.”
Tetapi pergaulan mereka, tokoh tekstual di satu sisi dan tokoh satunya yang senang menggunakan rasio, ternyata sangat erat. Hal ini tampak ketika ada bahtsul masail. Gus Dur pernah menyaksikan sekitar 40-an orang kiai berkumpul dari pagi hingga sore hari di ruang tamu Kiai Bisri.Ternyata, keduanya berdebat seru, yang satu membolehkan dan yang satu lagi melarang sebuah perbuatan.

Demikian seru mereka berbeda, hingga akhirnya semua kiai yang lain menutup buku/kitab mereka dan mengikuti saja kedua orang itu berdebat. Sampai-sampai, baik Kiai Abdul Wahab maupun Kiai Bisri berdiri dari tempat duduk mereka sambil memukul-mukul meja marmer yang mereka gunakan berdiskusi. Muka keduanya me-merah karena bertahan pada pen-dirian masing-masing.

Akhirnya kemudian Kiai Abdul Wahab menyerang, “Kitab yang Sampeyan gunakan adalah cetakan Kudus, sedangkan kitab saya adalah cetakan Kairo.” Ini adalah tanda Kiai Abdul Wahab kalah argumentasi dan akan menerima pandangan Kiai Bisri. Walau pada forum bahtsul masail itu mereka berbicara sampai memukul-mukul meja dengan wajah memerah, namun ketika tiba-tiba beduk ber-bunyi, Kiai Bisri segera berlari ke sumur di dekat ruang pertemuan tersebut. Di sana, dia naik ke pinggiran sumur dan menimbakan air wudhu bagi iparnya itu. Beda pendapat boleh tapi harus tetap rukun. Demikian kira-kira pegangan mereka.

Kisah menarik lainnya terdapat di buku “Menapak Jejak Mengenal Watak, Sekilas Biografi 26 Tokoh NU”. Dalam resepsi penutupan Kongres Gerakan Pemuda Ansor di Surabaya, April 1980, Pengasuh Pesantren Tebuireng KH Yusuf Hasyim (Pak Ud) membisiki seseorang, “Sakitnya KH Bisri Syansuri semakin parah. Beliau dalam keadaan tidak sadar siang tadi ketika saya tinggalkan berangkat kemari,” ujarnya. Orang yang diberitahu tersentak mendengar bisikan itu. Sebab tiga hari sebelumnya, dia ikut hadir di ruang tamu rumahnya, sewaktu pendiri dan pemimpin Ponpes Mambaul Maarif itu menerima Probosutedjo, pengusaha kenamaan dan adik Presiden Soeharto.
Probosutedjo diundang untuk memberikan ceramah tentang kewiraswastaan dalam Kongres Ansor di Surabaya. Kehadirannya memenuhi undangan tersebut di-manfaatkan sekaligus untuk me-ngunjungi Kiai Bisri yang sedang dalam keadaan sakit. Ketika itu Kiai Bisri menjemput sendiri tamunya di teras tempat kediamannya. Bersa-rung putih dengan garis kotak-kotak kebiruan, mengenakan baju putih dan berkopiah haji. Kiai Bisri mem-persilakan tamu dari Jakarta itu me-masuki ruang depan rumahnya yang tua dan berperabotan sederhana.

Wajahnya, seperti biasa, tampak jernih. Dengan sabar penuh perhatian ia mendengarkan setiap kata yang diucapkan oleh tamunya. Dan dengan suara lembut ia menjawab setiap pertanyaan, menjawab salam dari Presiden Soeharto yang disampaikan oleh Probosutedjo dan dengan halus menolak tawaran berobat ke luar negeri.
Terdapat pula kisah Kiai Bisri dalam buku “Antologi NU; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah” jilid I. Saat berlangsung Sidang Umum MPR tahun 1978 ada peristiwa luar biasa. Fraksi PPP tidak sepakat dengan keputusan fraksi lain. Setelah berkali-kali adu argumentasi mengenai rancangan ketetapan MPR tentang P4 namun tetap tidak membuahkan hasil. Sementara partai sudah meng-gariskan untuk memegang teguh ama-nat itu, mereka pun keluar sidang.

Seluruh anggota Fraksi PPP segera berdiri. Dipimpin langsung oleh KH Bisri Syansuri, mereka beriringan walk out sebagai tanda tidak setuju terhadap hasil keputusan. Meski sudah berusia 92 tahun, kiai yang menciptakan lambang ka’bah bagi PPP itu malah berjalan paling depan.

Ketegasan lain nampak tatkala DPR membahas RUU tentang perkawinan. Secara kesluruhan RUU itu dinilai banyak bertentangan dengan ketentuan hukum agama Islam. Maka, di mata Kiai Bisri, menghadapi kasus itu, tidak ada alternatif lain kecuali menolaknya.

Langkah pertama yang Kiai Bisri lakukan adalah dengan mengumpulkan sejumlah ulama di daerah Jombang untuk membuat RUU tandingan yang akan diajukan ke DPR-RI. Setelah RUU tandingan itu selesai dibahas, lalu disampaikan ke PBNU, yang diterima secara aklamasi.

Setelah itu amandemen RUU itu diajukan ke Majelis Syuro PPP dan diterima. DPP PPP memerintahkan Fraksi PPP DPR-RI agar menjadikan RUU tandingan itu sebagai rancangan yang diterima dan harus diperjuangkan. Setelah melalui proses yang panjang dan melelahkan, serta lebih banyak dilakukan di luar gedung DPR-RI, akhirnya RUU itu disahkan setelah ada revisi dan tidak lagi bertentangan dengan hukum Islam.

Pecinta Ilmu Sejati
Kiai Bisri dilahirkan di Desa Tayu, Pati, Jawa Tengah, tanggal 18 September 1886. Ayahnya bernama Syansuri dan ibunya bernama Mariah. Kiai Bisri adalah anak ketiga dari lima bersaudara yang memperoleh pendidikan awal di beberapa pesantren lokal, antara lain pada KH Abdul Salam di Kajen.

Kiai Bisri kemudian berguru kepada KH Kholil di Bangkalan dan KH Hasyim Asy’ari di Tebuireng, Jombang.

Kiai Bisri kemudian mendalami pendidikannya di Mekkah dan belajar ke pada sejumlah ulama terkemuka antara lain Syekh Muhammad Baqir, Syekh Muhammad Sa’id Yamani, Syekh Ibrahim Madani, Syekh Jamal Maliki, Syekh Ahmad Khatib Padang, Syekh Syu’aib Daghistani, dan Kiai Mahfuz Termas. Ketika berada di Mekkah, Kiai Bisri menikahi adik perempuan Kiai Wahab. Di kemudian hari, anak perempuan Kiai Bisri menikah dengan putra KH Hasyim As’ari, KH Wahid Hasyim dan memiliki putra Gus Dur dan KH Solahuddin Wahid (Gus Sholah).

Sepulangnya dari Mekkah, Kiai Bisri menetap di pesantren mertuanya di Tambak Beras, Jombang, selama dua tahun. Kiai Bisri ke-mudian mendirikan Ponpes Mam-baul Maarif di Denanyar, Jombang pada 1917. Saat itu, Kiai Bisri adalah kiai pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya.
Di sisi pergerakan, Kiai Bisri bersama-sama para kiai muda saat itu antara lain Kiai Wahab, KH Mas Mansyur, KH Dahlan Kebondalem dan KH Ridwan, membentuk klub kajian yang diberi nama Taswirul Afkar (konseptualisasi pemikiran) dan sekolah agama dengan nama yang sama, yaitu Madrasah Taswirul Afkar. Sedangkan keterlibatannya dalam upaya pengembangan organisasi NU antara lain berupa pendirian rumah-rumah yatim piatu dan pelayanan kesehatan yang dirintis-nya di berbagai tempat.

Di masa penjajahan Jepang, Kiai Bisri terlibat dalam pertahanan negara, yakni menjadi Kepala Staf Markas Oelama Djawa Timur (MODT), yang berkedudukan di Waru, dekat Surabaya.

Pada masa kemerdekaan Kiai Bisri pun terlibat dalam lembaga peme-rintahan, antara lain dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), me-wakili unsur Masyumi. Kiai Bisri juga menjadi anggota Dewan Konstitu-ante tahun 1956 hingga ke masa pemilihan umum tahun 1971. Ketika NU bergabung ke PPP, Kiai Bisri pernah menjadi ketua Majelis Syuro-nya. Kiai Bisri terpilih menjadi ang-gota DPR sampai tahun 1980. Kiai Bisri kemudian wafat dalam usia 94 tahun pada 25 April 1980 atau berte-patan dengan bulan Rajab di Denanyar.

Mundur dari Jabatan Rais Am
Jasa Kiai Bisri dalam membesarkan NU juga tak patut dilupakan. Kiai Bisri turut terlibat terlibat dalam pertemuan pada 31 Januari 1926 di Surabaya saat para ulama menye-pakati berdirinya NU. Pada periode pertama, Kiai Bisri menjadi A’wan Syuriah PBNU dan kemudian pada periode-periode berikutnya Kiai Bisri pernah menjadi Rais Syuriah, Wakil Rais Am dan menjadi Rais Am hingga akhir hayatnya.

Meski dikenal tegas dalam mem-pertahankan prinsip, kesantunan Kiai Bisri juga tak perlu diragukan. Saat berlangsungnya Muktamar NU ke-24 pada tahun 1967 di Bandung, Kiai Bisri menunjukkan sikap tawadlu’ yang perlu kita teladani.

Ketika itu sedang terjadi pemili-han Rais Am yang melibatkan “rivalitas” antara dua kiai sepuh yang sama-sama berwibawa, yaitu Kiai Wahab yang saat itu menjabat Rais Am (incumbent) dengan Kiai Bisri yang menjadi salah satu Rais Syuriah PBNU. Hasil pemilihan ternyata di luar dugaan. Walaupun lebih muda, tiba-tiba Kiai Bisri bisa meraih suara terbanyak. Kiai Wahab pun menerima kekalahan dengan berbesar hati, apalagi yang menga-lahkan sahabat dekatnya sekaligus adik iparnya sendiri.
Demikian halnya Kiai Bisri yang memperoleh kemenangan juga sangat rendah hati. Walaupun telah dipilih oleh muktamirin, tetapi kemudian Kiai Bisri segera memberikan sambutan, selama masih ada Kiai Wahab yang lebih senior dan lebih alim Kiai Bisri tidak bersedKiai Bisri menduduki jabatan itu. “Karena itu saya menyatakan untuk mengundurkan diri dan kembali menyerah-kan jabatan itu kepada Kiai Wahab Chasbullah.”

Menanggapi sikap Kiai Bisri, Kiai Wahab menerima amanah itu. Tidak perlu merasa tersinggung, karena walaupun sudah uzur tetapi merasa masih dibutuhkan untuk memimpin NU dalam menghadapi situasi sulit masa orde baru. Sementara Kiai Bisri dipercaya sebagai Wakil Rais Am. Kemudian ketika Kiai Wahab wafat pada tahun 1971, baru Kiai Bisri menduduki posisi sebagai Rais Am hingga wafat pada tahun 1980. (AULA Juni 2010)

K.H. Wahab Chasbullah

Ia lahir pada bulan Maret 1888 di Tambakberas, Jombang. Nasabnya tidak jauh dari Hasyim Asy`ari. Nasab keduanya bertemu dalam satu keturunan dari Kiai Abdus Salam (Siapa dia?).

Ayahnya, Chasbullah, adalah pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas. Ibunya, Nyai Lathifah, juga putri kiai kondang (Siapa?).

Pendidikannya dihabiskan di pesantren, mulai dari Pesantren Langitan (Tuban), Mojosari, Nganjuk, di bawah bimbingan Kiai Sholeh, Pesantren Cepoko, Tawangsari (Surabaya), hingga Pesantren Kademangan, Bangkalan (Madura), langsung berguru kepada Mbah Cholil. Kiai Cholil kemudian menganjurkannya belajar ke Pesantren Tebuireng (Jombang).

Pada umur 27, ia pergi ke Makkah dan berguru kepada ulama-ulama besar Indonesia yang bermukim di sana, seperti Kiai Mahfudz Termas, Kiai Muhtarom Banyumas, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabaw, Kiai Bakir Yogya, Kiai Asy`ari Bawean. Ia juga belajar kepada tokoh-tokoh besar lain di sana yang bukan orang Indonesia, seperti Syaikh Sa`id Al-Yamani dan Syaikh Umar Bajened.

Tahun 1921, sewaktu menunaikan ibadah haji bersama istri, sang istri meninggal di Makkah. Kemudian ia menikah dengan Alawiyah binti Alwi. Setelah melahirkan seorang anak, istri kedua ini juga meninggal. Setelah itu ia menikah berturut-turut dengan tiga wanita yang semuanya tidak memberikan keturunan. Empat anak diperolehnya dari istri berikutnya, Asnah binti Kiai Said.

Setelah Asnah meninggal, ia menikah lagi dengan Fatimah binti H. Burhan, seorang janda yang punya anak bernama Syaichu, yang kelak menjadi ketua DPR pada masa Orde Baru. Sesudah itu ia menikah lagi dengan Masnah, dikaruniai seorang anak, lalu dengan Ashikhah binti Kiai Abdul Majid (Bangil), meninggal di Makkah setelah memberinya empat anak, dan yang terakhir dengan Sa`diyah, kakak sang istri, yang mendampinginya sampai akhir hayatnya dan memberinya keturunan lima anak.

Sedikit mundur ke belakang, tahun 1914, ketika berumur 26 tahun, ia mendirikan kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) bersama K.H. Mas Mansur.

Pada tahun 1916, ia mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Negeri) di Surabaya. Pengajarnya terdiri dari banyak ulama tradisional muda, seperti K.H. Bisri Syansuri (1886-1980) dan K.H. Abdullah Ubaid (1899-1938), yang di kemudian hari memainkan peranan penting di NU.

Masih pada tahun yang sama, bersama Kiai Hasyim Asy’ari (1871-1947), ia mendirikan koperasi dagang Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Pedagang) untuk kalangan tradisionalis di kisaran Surabaya-Jombang.
Pada tahun 1920, ia juga aktif dalam Islam Studie Club, jembatan untuk menghubungkan dirinya dengan tokoh-tokoh nasionalis modernis, seperti dr. Soetomo.

Sejak 1924, Wahab Chasbullah telah mengusulkan agar dibentuk perhimpunan ulama untuk melindungi kepentingan kaum tradisionalis.

Pada 31 Januari 1926, atas persetujuan Hasyim Asy`ari, ia mengundang para ulama terkemuka dari kalangan tradisionalis ke Surabaya untuk mengesahkan terbentuknya Komite Hijaz, yang akan mengirim delegasi ke kongres di Makkah untuk mempertahankan praktek-praktek keagamaan yang dianut kaum tradisionalis. Pertemuan 15 kiai terkemuka dari Jawa dan Madura itu dilakukan di rumah Wahab Chasbullah di Kertopaten, Surabaya.

Pertemuan tersebut akhirnya juga menghasilkan kesepakatan mendirikan NU, sebagai representasi Islam tradisional, untuk mewakili dan memperkukuh Islam tradisional di Hindia Belanda.

Kemudian, MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia, Dewan Tertinggi Islam di Indonesia), yang terbentuk pada September 1937, juga merupakan gagasan Wahab Chasbullah dan Ahmad Dahlan Kebondalem (NU), Mas Mansur (Muhammadiyah), dan Wondoamiseno (SI). Federasi organisasi Islam ini bertujuan meningkatkan komunikasi dan kerja sama di antara umat Islam.

Namun kemudian MIAI dibubarkan oleh Jepang dan dibentuklah Masyumi pada November 1943. Hasyim Asy`ari ditunjuk sebagai ketua umum dan Whab Chasbullah sebagai penasihat dewan pelaksananya.

Meski Masyumi adalah organisasi non-politik, pada kenyataannya fungsinya setengah politis, dimaksudkan untuk memperkuat dukungan umat Islam terhadap pemerintahan Jepang.

November 1945, Masyumi berubah menjadi parpol. Masyumi menjadi satu-satunya kendaraan politik umat Islam. Hasyim Asy`ari menjadi ketua umum Majelis Syuro (Dewan Penasihat Keagamaan), Wahid Hasyim, putra Hasyim Asy`ari, menjadi wakilnya, dan Wahab Chasbullah menjadi anggota dewan.

Selanjutnya, setelah NU menyetujui peran politik bagi Masyumi lewat muktamar di Purwokerto (1946), orang-orang NU tampil di pemerintahan, yakni Wahid Hasyim, Kiai Masykur, dan K.H. Fathurahman Kafrawi. Sedang Wahab Chasbullah menjadi anggota DPA.

Tahun 1947, Wahab Chasbullah menjabat rais am NU.

Benih-benih krisis NU-Masyumi mulai tumbuh pada 1952. Saat itu Wahab Chasbullah menjadi ketua Dewan Syuro. Maka ia sangat gencar mengkampanyekan penarikan diri NU dari Masyumi. Dan secara resmi NU menarik diri dari Masyumi pada 31 Juli 1952. Pada sidang parlemen 17 September 1952, tujuh anggota parlemen dari NU menarik diri dari Masyumi. Di antaranya Wahab Chasbullah, Idham Chalid, Zainul Arifin.

Mereka kemudian membentuk partai sendiri, NU. Akibatnya, Masyumi bukan lagi partai terbesar. “Gelar” itu jatuh ke tangan PNI.

Pada Pemilu 1955, di luar dugaan, NU meraih tempat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Sejak itu kesibukan Wahab Chasbullah lebih banyak pada bidang politik praktis di Jakarta, terutama sebagai anggota parlemen dan rais am NU.

K.H. Wahab Chasbullah wafat tanggal 29 Desember 1971, pada usia 83 tahun, di rumahnya di Kompleks Pesantren Tambakberas, Jombang.

Selasa, 21 September 2010

KH. Hasyim Asy'ari

A. Riwayat Hidup K.H. Hasyim Asya’ari
K.H. Hasyim Asy’ari lahr di Gedang, Jombang, Jawa Timur, hari selasa 24 Dzuhijjah 1287 H atau bertepatan dengan 14 Februari 1871 M. Ayahnya bernama Kyai Asy’ari, ulama asli Demak, sedang ibunya bernama Halimah, putrid Kyai Usman pengasuh pesantren Gedang, tempat ia dilahirkan .
Masa kecil Asy’ari dijalani di pesantren kakeknya di Gedang, sampai usia 6 tahun. Tahun 1976, ia di ajak pindah ayahnya ke pesantren keras, pesantren yang dibangun ayahnya sendiri. Di pesantren ini, Hasyim kecil menerima pelajaran dasar-dasar keagamaan yang diberikan ayahnya sendiri.
Usia 15 tahun (1886 M), Hasyim berkelana dari pesantren, yaitu pesantren Wonokoyo, Probolinggo, Pelangitan, Tuban, Trenggilin, Madura, Pesantren Demangan dan terakhir dipesantren Siwalan, Surabaya. Di sawalan Hasyim menetap selama 2 tahun dan karena kecerdasannya, oleh Kyai Ya’kub, pengasuh pesantren tersebut, Hasyim dinikahkan dengan putrinya yaitu Khadijah.
Setelah menikah, Hasyim dikirim ke makkah oleh mertuanya untuk menuntut ilmu disana. Hasyim bermukim di makkah selama 7 tahun 1892-1899 M.
Selama itu beliau tidak pernah pulang, kecuali pada tahun pertama saat putranya yang baru lahir meninggal, yang kemudian disusul istrinya.
Selama di makkah. Hasyim belajar di bawah bimbingan ulama terkenal, seperti syekh Ahmad Amin Al-Athor, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad Zawawi, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Sa’id Yamani, Syekh Soleh Bafadhol, Syekh Sultan Hasyim Daghastani, dan lain sebagainya.
Selain belajar kepada ulama Hijaz, di tanah suci, Hasyim juga berguru kepada ulama Indonesia sendiri yang mengajar disana, antara lain Syekh Ahmad Minangkabau dan Syekh Mahfuz Al-Termasi asal Jawa Timur. Setelah 7 tahun di makkah. Hasyim kembali ke tanah air dengan membawa bekal pengetahuan dan jiwa yang matang untuk berjuang menegakkan agama dan mengangkat derajat masyarakat dari kebodohan dan keterbelakangan.
Mula-mula hasyim mengajar di pesantren kakeknya, tapi kemudian mendirikan pesantren sendiri di daerah Tebu Ireng, Jombang, dengan santri mula-mula 28 orang. Desa Tebu Ireng adalah daerah rawan karena Masyarakatnya yang belum beragama. Mereka mempunyai mempunyai kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama. Dengan kondisi social yang demikian, pesantren yang didirikan K.H. Hasyim Asy’ari banyak menghadapi tantangan dan gangguan. Akhirnya, bersamaan dengan perjalanan waktu, Tebu Ireng yang demikian kotor berubah menjadi daerah agamis.
K.H. Hasyim Asy’ari tidak hanya berjuang dalam bidang pendidikan. Tapi juga aktif dalam organisasi kemasyarakatan. Beliau pernah menduduki jabatan rais akbar pertama NU, tahun 1926-1946 M. K.H. Hasyim Asy’ari juga pernah menduduki jabatan ketua Dewan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), kemudian sebagai pimpinan tertinggi Majelis Syura Muslim Indonesia (MASYUMI)
K.H. Hasyim Asy’ari meninggal pada tanggal 7 Ramadhan 1366 H / 25 Juli 1947, saat menerima utusan jenderal Sudirman dan Bung Tomo yang menggambarkan situasi di medan pertempuran di Surabaya dan Singosari, Malang. Menurut Kyai Ghufran, saat mendengar di Singosari, belanda banyak membantai rakyat tidak berdosa, K.H. Hasyim Asy’ari pingsan dan menjelang subuh hari ke 7 Ramadhan, K.H. Hasyim Asy’ari berpulang ke Rahmatullah, menurut dokter K.H. Hasyim Asy’ari terkena serangan hersembloending (pendarahan otak secara tiba-tiba). Guna mengenang jasa-jasa Almarhum, pemerintah Indonesia menganugerahkan penghargaan sebagai pahlawan kemerdekaan, berdasarkan keputusan presiden No 294 / 1964.

B. Pemikiran K.H. Hasyim asy’ari
1. Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari di bidang pendidikan
“suatu bangsa tidak akan maju jika warganya bodoh. Hanya dengan pengetahuan, suatu bangsa akan menjadi baik” . Ini pernyataa K.H. Hasyim Asy’ari ketika menyikapi kondisi pendidikan kita yang tebelakang, dan beliau membuktikannya dengan membuat pengajian-pengajian dan membangun pesantren. Diawali dengan 28 santri pada tahun 1899 M, dan telah mempunyai 2000 santri pada tahun 1909.
Dalm pendidikan pesantren K.H. Hasyim Asy’ari membawa perubahan baru sepulangnya dari makkah, antara lain beliau mengenalkan system madrasah, pada tahun 1916 M yang sebelumnya Tebu Ireng menggunakan system Sorogan dan Bandungan dan pada tahun 1919 M, mulai dimasukkan mata pelajaran umum.
Kurikulum madrasah sendiri, sejak tahun 1916 hanya terdiri atas pengetahuan keagamaan saja, tapi sejak tahun 1919 M, mulai ditambah dengan pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Bumi. Disamping itu K.H. Hasyim Asy’ari juga memperkenalkan system musyawarah dan diskusi kelas. System ini ternyata efektif untuk menumbuhkan kreatifitas santri. Hal ini setidaknya bisa dilihat dari kenyataan bahwa para santri senior yang telah menyelesaikan kelas musyawarah, dikemudian hari ternyata banyak yang menjadi Kyai ternama dan ulama seperti K.H. Abbas Buntet dan dari kelas santri terdapat nama-nama seperti K.H. Masykur, K.H. Syuki Ghazali dan K.H. Asim.
2. Tanggapan terhadap ide reformasi Muhammad Abduh
Saat Hasyim belajar di Makkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran islam. Inti gagasan reformasi Muhammad Abduh adalah :
1) Mengajak umat islam untuk memurnikan kembali islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari islam.
2) Reformasi pendidikan islam di tingkat universitas.
3) Mengkaji dan merumuskan kembali doktrin islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern.
4) Mempertahankan islam.
Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern dimaksudkan agar supaya islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan social, politik, dan pendidikan. Dengan alas an ini, Abduh melancarkan ide agar ummat islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para madzhab dan agar ummat islam meninggalkan segala praktek tarekat .
KH. Hasyim Asy’ari setuju dengan gagasan Muhammad Abduh tersebut guna membangkitkan semangat islam, tetapi beliau tidak setuju dengan “pelepasan diri dari madzhab”. Beliau berkeyakinan bahwa kita tidak mungkin memahami maksud sebenarnya dari Al-Qur’an dan Hadits tanpa mempelajari dan meneliti pemikiran para ulama madzhab hanya akan menghasilkan pemutar balikan ajaran islam yang sebenarnya .
Mengenai tarekat, KH. Hasyim Asy’ari tidak menganggap bahwa semua tarekat salah dan bertentangan dengan ajaran islam. Ada tarekat yang benar dan sesuai dengan ajaran islam, dan ini dijelaskan dalam buku beliau yang berjudul “Al durar Al muntasyirah fi Masail Al-Tis’a’asyarah”.
3. Pemikiran tentang perjuangan melawan kolonialisme
Perjuangan melawan kolonialisme telah dilakukan bangsa Indonesia sejak datangnya penjajah, demi kebebasan agama dan bangsanya.
Sebagai seorang ulama yang anti penjajah, Hasyim Asy’ari senantiasa menanamkan rasa nasionalisme dan semangat perjuangan melawan penjajah. Hal ini dibuktikan dengan seringnya beliau mengeluarkan fatwa-fatwa yang non kooperatif terhadap colonial, seperti pengharaman transfuse dari darah dari ummat islam terhadap Belanda yang berperang melawan Jepang.
Juga tatkala masa revolusi Belanda memberikan ongkos murah bagi ummat islam untuk melakukan ibadah haji, KH. Hasyim Asy’ari justru mengeluarkan fatwa tentang keharaman pergi haji dengan kapal Belanda.
KH. Hasyim Asy’ari juga mengeluarkan fatwa yang sangat penting yang dikenal dengan “fatwa resolusi jihad” yang juga mendorong lahirnya sikap NU terhadap situasi bangsa saat itu. Isi dari fatwa tersebut adalah :
1. Bagi umat islam yang telah dewasa berjuang melawan Belanda adalah fardhu ‘ain
2. Mati di medan perang dalam rangka memerangi musuh islam adalah syahid dan masuk surga.
4. Karya-karya K.H. Hasyim Asy’ari
Beberapa karya buku yang ditulis K.H. Hasyim Asy’ari :
1) Adab Al ‘Alim Wa Al Muta’alim
Berisi uraian tentang tata cara murid dalam belajar dan kewajiban guru sebagai pendidik.
2) Ziyadah Al-Ta’liqat
Berisi jawaban terhadap syair syekh Abdullah ibn Yasin yang menghina NU
3) Al-Tanbihat Al Wajibah Liman Yasna’ Al Mulid bi Al Munkarat
4) Risalah Al Jama’ah
Berisi uraian tentang keadaan orang mati, tanda-tanda kiamat dan sunnah bid’ah
5) An Nur Al Mubin fi Mahabbah Sayid Al-Mursalin
Berisi tentang arti cinta rasul dan cara mengikuti rosul
6) Hasyiyah ‘ala fathi Syekh Zakaria Al Anshori Al Rahman bi Syarkh Risalah Al Wali
7) Al Durar Al Munqatirah fi Masa’il Tisa’ ‘asyara
Berisi tentang tariqat dan hal-hal yang berhubungan dengan tariqat
8) Al Tibyan fi Al Nahyi ‘an Muqatiati Al Arkam wa Al ‘Aqarib wa Al Ikhwan
Berisi penjelasan tentang pentingnya menyambung persaudaraan
9) Al Risalah Al Taihidiyah
Berisi tentang aqidah ahli sunnah wa al jama’ah
10) Al Qalaid fi Bayani ma Yajibu Min ‘alaqaid
Berisi tentang kewajiban-kewajiban dalam beraqidah

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons