Blog ini ditujukan kepada seluruh ummat Islam yang cinta kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Para Sahabat RA, Auliya', Habaib, Ulama', dan sejarah kebudayaan Islam.

Sabtu, 29 September 2012

AL HABIB ZEIN BIN ‘ALI BIN AHMAD BIN ‘UMAR AL JUFRI (Semarang)


Habib Zein Al Jufri dikenal sebagai orang yang tidak banyak bicara, suka beramal shalih, dan akhlaqnya sangat tinggi, la menghormati para ulama, menyayangi para pemuda, dan lembut kepada anak-anak.

Diantara ciri khas akhlak beliau yang terlihat ialah “Kalau datang di suatu majelis, beliau duduk di belakang, dan tidak ingin merepotkan orang lain dengan melangkahi tempat duduk orang lain,” ujar Habib Ahmad Al-Jufri.

Banyak orang merasa ditolongnya. Seperti ketika terjadi banjir di Semarang, ada seseorang yang kebanjiran mendapatkan bantuan beras dan pakaian dari Habib Zen. Di lain waktu orang itu datang ke Habib Zen dan berterima kasih karena sudah dibantu ketika banjir. la mengatakan, ia bertemu Habib Zen pada waktu banjir itu. Saat itu Habib Zen mengenakan sarung, baju, dan peel putih, persis seperti yang dimiliki Habib Zen. “Padahal pada saat itu, saya tahu, Abah ada di dalam kamar rumah karena sakit,” kata Habib Ahmad.

Habib Zen Al-Jufri lahir di Kawasan Petek, Semarang Utara, pada 1911, la adalah salah satu dari empat anak Habib Ali bin Ahmad bin Umar Al-Jufri, Leluhurnya, Habib Umar Al-Jufri, berasal dari Taris, kota kecil antara Seiwun dan Syibam, datang ke Semarang bersama anaknya yang masih kecil, Ahmad. Habib Umar lalu berdagang dan berdakwah di Semarang. Kemudian ia mengawinkan anaknya, Ahmad, dengan putri patih Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Kakeknya inilah yang kemudian membangun rumah gedung di Jalan Petek, yang pada waktu itu merupakan rumah yang tergolong mewah dan besar. Ahmad adalah seorang pedagang yang berhasil, sehingga banyak meninggalkan harta benda.

Zen Al-Jufri kecil bersekolah di madrasah di Semarang, kemudian melanjutkan ke Madrasah Syama’il Al-Huda di Pekalongan dan di Surabaya.

Pada umur belasan tahun, ia pernah belajar ke Hadhramaut, tepatnya di kota Taris, dan salah satu gurunya adalah Habib Idrus Al-Jufri, Palu, pendiri Perguruan Al-Khairat. Di Hadhramaut, ia hanya belajar selama tiga bulan. Kemudi¬an ia diajak pulang ke Indonesia oleh Habib Idrus Al-Jufri.

Di tanah air, Habib Zen masih melanjutkan belajarnya kepada banyak guru, khususnya di Jakarta. Di antaranya, Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi, Kwitang, tetapi yang cukup teratur ia mengaji kepada Habib Abdur¬rahman Assegaf. Sedang di Pekalong¬an, ia belajar kepada Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alatas. Setelah itu ia kembali ke Semarang.

Rumahnya di Jalan Petek di Se¬marang merupakan persinggahan para habib bila lewat ke ibu kota Jawa Tengah itu. Hampir setiap Sya’ban, Habib Abubakar Assegaf, Gresik, Habib Salim Bin Jindan, Jakarta, Habib Ali bin Husein Alatas, Bungur, Habib Soleh Tanggul, dan yang lainnya, menginap di rumah¬nya. “Kalau para pembesar dari kalangan habaib datang ke rumah Abah, pasti kami adakan pembacaan Maulid dan rauhah,” tutur Habib Ahmad.

Kepada para tokoh habaib itu, Habib Zen selalu berujar, “Masukkan nama ana di hati antum, supaya antum cintai.”
Habib Abubakar Assegaf Gresik menjawab, “Melihat langsung wajah antum, nama antum tersimpan dalam hati ana.” Waliyullah dari Gresik itu menambahkan, “Akhlaqmu, Zen, sebagaimana namamu.” (Zen dalam bahasa Arab berarti “perhiasan” atau “bagus”).

Pada tahun 1950-an, Habib Zen membaca kitab Ihya’ Ulumiddin untuk beberapa pendengar, dan menjelaskan dalam bahasa Arab. Namun karena jama’ah semakin bertambah, pengajian diganti de¬ngan membaca kitab-kitab Habib Abdullah Al-Haddad, seperti An-Nashaih Ad- Diniyyah, dan ditambah Tanbihul Ghafilin.
Pengajian itu berjalan hingga Habib Zen meninggal pada Desember 1992, dimakamkan di Pemakaman Bergota, Semarang.
Seorang janda di Gresik sehari sebelum Habib Zen meninggal berujar, “Orang yang menjatah saya sekarang sudah tidak ke sini lagi.”

Habib Zen memang tidak pemah meninggalkan Haul Habib Abubakar Assegaf Gresik. Di tempat itu, ia suka memberikan jatah uang kepada orang miskin.

Kini banyak generasi muda yang hanya mengenal namanya tetapi belum tahu manaqibnya. Menurut Habib Hasan Al-Jufri dan dua rekannya, Habib Abddurahman Bin Smith, M.A., dan Habib Ghazi Shahab, Habib Zen Al-Jufri adalah ulama besar yang dikenang umatnya bukan karena semata-mata ilmunya, melainkan lebih karena akhlaqnya yang luhur.

Narasumber : “Habib Ahmad bin Zein Al Jufri” (Anak Habib Zein Al Jufri)

HABIB ALWI BIN SALIM ALAYDRUS


Lahir Di Malang  pada Tahun 1341 H/1923 M. Wafat 22 Rabiul Tsani 1416 H (19 September 1995). Dimakamkan di pemakaman umum Kasin, Malang. Pendidikan Madrasah Attaraqqie Malang. Putra/Putri 4 Orang.
Perjuangan/Pengabdian :
Kepala Madrasah Attaraqqie Malang, Ketua Majelis Tahkim Masjid Agung Jami' Malang, Rois Syuriyah NU Cabang Kota Malang, Perintis Majelis Taklim Al Islami Kota dan Kabupaten Malang, dan mengajar di beberapa masjid, termasuk di Masjid Agung Jami' Malang.
Ulama Kharismatik, yang Gigih Berdakwah
Nama Al Ustadz Al Habib Alwi bin Salim bin Ahmad Alaydrus di kalangan masyarakat Kota dan Kabupaten Malang sangat berpengaruh. Bahkan, karena kealiman ilmunya, tokoh ulama kharismatik, yang akrab dipanggil Ustadz Alwi ini sangat disegani. Tidak hanya para habaib, kiai, ustadz, dan tokoh masyarakat, tapi para pejabat. Karenanya, beliau dijadikan panutan dalam menentukan suatu hukum Islam yang berkembang saat itu.   
Ustadz Alwi dilahirkan di Malang pada tahun 1341 Hijriyah, bertepatan pada tahun 1923 M. Ketika usia 4 tahun, beliau telah ditinggal wafat ayahnya, Al Habib Salim bin Ahmad Alaydrus. Beliau merupakan putra kedua, dari tiga bersaudara, masing-masing Habib Ahmad bin Salim Alaydrus, dan Habib Hasan bin Salim Alaydrus, semuanya telah dipanggil Allah SWT.
Menurut Habib Sholeh bin Ahmad Alaydrus, keponakan Ustadz Alwi, sewaktu kecil, Ustadz Alwi belajar Al Qur'an dari Syekh Ahmad Kodah, dan menuntut ilmu di Madrasah Attaraqqie di Embong Arab, yang kini menjadi Jl Syarif Al Qodri. Diantara guru-guru beliau, Habib Hasyim, Habib Muhammad, Habib Aqil bin Ali bin Yahya (mereka bertiga itu bersaudara).
Sekitar akhir tahun 1944 M, Ustadz Alwi belajar kepada Al Ustadz Imam Al Habr Al Quthub Al Habib Abdul Qodir bin Ahmad Bilfaqih ra, Pendiri dan Pengasuh Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah Malang. Pada waktu itu, Habib Abdul Qodir Bilfaqih baru pindah dari Mojokerto ke Malang, dan kemudian oleh Habib Sholeh bin Muhammad Mauladdawilah (ayahanda Habib Baqir bin Sholeh Mauladdawilah) diangkat menjadi Kepala Madrasah Attaraqqie.
Sejak itu, Ustadz Alwi mendapat perhatian khusus dari Habib Abdul Qodir Bilfaqih. Sebab Habib Abdul Qodir mengetahui, jika Ustadz Alwi bakal mewarisi ilmu kakeknya, yakni Al Imam Al Kutub Al Habib Abdullah bin Abi Bakar Alaydrus Al Akbar, seorang ulama besar yang meninggal di Kota Tarim, Hadramaut, Yaman Selatan.
"Karenanya, kemanapun Habib Abdul Qodir Bilfaqih berdakwah dan mengajar, ustadz Alwi selalu bersamanya. Hal tersebut berjalan sekitar 18 tahun. Selama itu, beliau menggali berbagai macam ilmu agama, baik yang tersurat maupun yang tersirat dari Habib Abdul Qodir. Kemudian, Ustadz Alwi diminta menggantikan posisi Habib Abdul Qodir sebagai Kepala Madrasah Attaraqqie,'' kata Habib Sholeh bin Ahmad Alaydrus, yang juga cucu menantu Habib Abdul Qodir Bilfaqih.

Namun, dalam perjalanannya, karena selain mengajar di Attaraqqie beliau juga mengajar ngaji di masjid-masjid dan berbagai daerah di Kota dan Kabupaten Malang, jabatan Kepala Madrasah Attaraqqie digantikan kakaknya, yakni Habib Ahmad bin Salim Alaydrus (ayahanda Habib Sholeh bin Ahmad Alaydrus) pada 1968. Itupun karena permintaan umat Islam di Malang yang haus akan ilmu-ilmu dan hikmah yang disampaikan Ustadz Alwi.
Setelah itu, beliau mencurahkan waktu dan harta bendanya untuk kepentingan dakwah dan kajian-kajian ilmu, terutama akhlak dan fiqih. Banyak para kiai sepuh, dan kiai muda, termasuk juga para ustadz dan masyarakat yang mengkaji ilmu di kediaman rumah beliau di Tanjung No 7, yang sekarang menjadi Jl. IR Rais Malang.
Beliau juga mengajar di Masjid Agung Jami' Malang mulai sekitar tahun 1969-an, dengan rujukan kitab Riyadhus Sholihin. Di sela-sela kesibukan berdakwah, beliau juga menjadi Ketua Majlis Tahkim Masjid Agung Jami' Malang pada 1986-1995, dan menjadi Rois Syuriyah NU Cabang Kota Malang mulai tahun 1971 sampai 1977.
Pada 1 Oktober 1981, Ustadz Alwi bersama H. Samsul Arif  Zaki dan 11 orang lainnya, yang waktu itu masih aktif di Pengurus NU, GP Ansor Cabang Kota Malang mendirikan Majlis Taklim Al Islami, yang kemudian kelompok pengajian itu menyebar ke berbagai daerah.
Upaya menegakkan ajaran Islam ala Ahlussunnah wal Jama'ah, yang bernafas Islamiyah, Sunni, dan Syafi'iyah, pada tahun 1989 ustadz Alwi mendirikan Pesantren Darut Taklim wad Dakwah di Bumiayu, Kedungkandang, yang tanahnya dibeli sendiri, dan kini diteruskan keluarganya, terutama untuk pengajian ibu-ibu muslimat, yang diasuh oleh ustadah (istri Ustadz Alwi).
Tokoh ulama, yang hidup sederhana dan ahli fiqih ini, menurut Habib Sholeh, sangat berhati-hati dalam menerapkan hukum Islam. ''Beliau tidak pernah m
Bahkan, saking hati-hatinya ulama yang mempunyai referensi ribuan kitab ini, dalam menerapkan syariat Islam, sewaktu gigi depannya tanggal (patah). Beliau tidak mau mengimami shalat berjamaah, karena dikhawatirkan ketika melafalkan ayat-ayat Al Qur'an itu tidak fasih.
Kegigihan beliau dalam berdakwah untuk menyebarkan ajaran Rasulullah SAW memang sangat tinggi. Meski dalam keadaan kurang sehat, ataupun keadaan hujan, perjalanan ke daerah-daerah pelosok desa, jika sudah waktunya,  maka dalam keadaan apapun akan berangkat. Tak peduli harus berjalan kaki, hingga naik kuda ke daerah Baran, Tajinan, Buring dan beberapa daerah pegunungan di kawasan Buring.
Pernah suatu ketika, setelah ngaji di Ponpes Darus Sa'adah, Gubugklakah, Poncokusumo, Ustadz Alwi malam itu memaksa harus pulang. Padahal waktu itu sudah pukul 20.30 WIB, dengan alasan karena bakda Shubuh harus mengajar ngaji di rumahnya. ''Akhirnya beliau diantar mobil. Namun, sekitar 15 menit kemudian sopir sudah datang. Sewaktu melihat jam, ternyata masih pukul 20.45 WIB, dengan terheran-heran sopir itu mengatakan, jika ia telah mengantarkan bukan orang sembarangan. Mengingat perjalanan Poncokusumo-Malang yang biasanya ditempuh sekitar 2 jam PP itu hanya ditempuh sekitar 15 menit,'' kata Ustadz H Nur Hasanuddin, santri Ustadz Alwi, yang juga Pengasuh Ponpes Darus Sa'adah, seraya menambahkan jika sejak saat itu, sopir yang 'nakal' tersebut langsung tobat dan taat beribadah.
Ustadz Alwi dipanggil Allah SWT pada Selasa 22 Rabiul Tsani 1416 H, bertepatan pada 19 September 1995 sekitar pukul 04.30 WIB, setelah adzan Shubuh di kediamannya dalam usia 72 tahun, dan dimakamkan di Pemakaman Umum Kasin. Beliau wafat karena sakit gagal ginjal, sempat dirawat di rumah sakit RST Soepraoen, Sukun Malang. Beliau meninggalkan seorang istri dan empat anak, diantaranya dua putra, yakni Habib Abdullah bin Alwi Alaydrus, dan Asadullah bin Alwi Alaydrus, yang belajar di Hadramaut, Yaman, serta dua orang putri. (*)

KH. Abdul Mukti bin Harun

Lahir di Pandaan, Pasuruan, pada Tahun 1896. Wafat 9 April 1963, Dimakamkan di Pemakaman Umum Kasin, Malang. Pendidikan Ponpes di Kauman yang diasuh KH. Yasin Bangkalan. Putra/Putri 17 Orang
Perjuangan/Pengabdian :
Mudarris Masjid Agung Jami' Malang, Salah satu Perintis Masjid Al Mukarromah, Kasin, Syuriyah NU Cabang Malang.
Penggembleng Pejuang Kemerdekaan, yang Ahli Hizib
Bagi warga Kota Malang, khususnya warga Kasin nama KH. Abdul Mukti sudah tidak asing lagi. Sosok kiai asal Pandaan yang dilahirkan pada tahun 1896 ini, dikenal sebagai kiai yang waro’ dan mukhlis, serta ahli tasawuf. Sejak muda, putra pertama KH Harun dari enam bersaudara ini sudah giat berdakwah, dan mengabdi di Ponpes Kauman (belakang masjid Agung Jami’ Malang), yang dirintis KH. Yasin asal Kuanyar Bangkalan. Selain itu, juga ikut berkiprah di Masjid Agung Jami’ Malang, bahkan keberadaan Kiai Mukti cukup disegani pada waktu itu oleh tentara Belanda dan Jepang.
Setelah menikah dengan Ibu Nyai Zahroh, putri ketiga KH. Yasin, Kiai Mukti diminta warga Kasin untuk menetap dan membina masyarakat Kasin, pasca wafatnya Mbah Muhammad. Karena figur ulama dan ketokohan Kiai Mukti sangat dibutuhkan. Bahkan, KH. Abdul Karim sekeluarga rela memberikan tanahnya untuk dibangun rumah dan pondok pesantren, serta Langgar Al Mukarromah (kini menjadi Masjid Al Mukarromah, dan menjadi monumen tentara Hizbullah), yang dirintis dan dikelola Kiai Mukti.
Di Ponpes Kasin itulah, Kiai Mukti yang ahli hizib itu membangun umat dan memberi semangat kepada tentara Hizbullah untuk mengusir penjajah Belanda dan Jepang. Para santri yang berdatangan ke ponpes, tidak hanya dari Kota dan Kabupaten Malang, seperti Gondanglegi dan Kepanjen. Tapi juga dari Pandaan, Bangil, Pasuruan, Jember, Lumajang, dan beberapa kota lainnya.
Para santri selain diajar ilmu tasawuf, juga diajarkan ilmu fiqih, dengan rujukan kitab-kitab klasik (kitab kuning, yang hingga sekarang masih tersimpan ahli warisnya). Menariknya, selain ada yang nyantri untuk belajar ilmu agama, ada juga yang datang ke ponpes Kiai Mukti hanya ingin digembleng dan minta wirid atau hizib sebelum mereka ikut berjuang mengusir Belanda. ‘’Sebagian besar tentara Indonesia, yang tergabung dalam barisan Hizbullah selalu minta doa restu, dan penggemblengan agar mereka mempunyai keberanian dan selamat dalam pertempuran,’’ kata H. Umar Maksum, santri Kiai Mukti, yang masih hidup, dan kini berusia 92 tahun.
Bahkan, menurut Umar Maksum, mantan Komandan Pertempuran Hizbullah Jatim pada 1946 ini, Bung Tomo, penggerak pertempuran 10 Nopember di Surabaya sempat sowan dan minta digembleng Kiai Mukti. ‘’Waktu itu, oleh Kiai Mukti, Bung Tomo diberi wirid, dan air minum, serta dibekali dengan bambu runcing,’’  kenang Umar Maksum, yang pernah menerima Tanda Kehormatan Bintang Gerilya dari Presiden Suharto pada 15 Desember 1971.
Perjuangan Kiai Mukti pada masa penjajahan Belanda diakui, cukup besar, terutama dalam pembinaan mental dan rohani para santrinya yang ikut berjuang. ‘’Pernah suatu ketika, sewaktu Kiai Mukti sedang menggembleng sekitar satu kompi atau sekitar 100 tentara di pondoknya. Tiba-tiba tentara Belanda datang untuk menangkap mereka. Mengetahui hal tersebut, Kiai Mukti kemudian mengumpulkan para tentara di belakang langgar Al Mukarromah. Anehnya, sewaktu tentara Belanda mencari mereka di pondok, di rumah Kiai Mukti dan di langgar  Al Mukarromah tidak ditemukan seorang pun tentara,’’  ungkap Umar Maksum, yang meski diusia senja masih tampak sehat dan bugar.
Dimata anak cucunya, Kiai Mukti yang mempunyai 17 putra-putri ini dikenal sangat penyabar, disiplin, bahkan tidak banyak bicara. ‘’Demikian juga dalam menerapkan pendidikan, Kiai Mukti memberikan kebebasan kepada anak cucunya. Asalkan tidak sampai meninggalkan syariat Islam,’’ kata Umi Rosidah, satu-satunya cucu putri, yang menjadi kesayangan Kiai Mukti.
Demikian juga dalam hal bershodaqoh dan mencari nafkah, Kiai Mukti yang juga pernah menjadi Syuriyah NU Cabang Malang selalu menekankan agar melakukan ihtiar dan mencari barokah. Tidak ngoyo dalam mencari harta, dan tidak pelit dalam mengeluarkan shodaqoh. Karena prinsipnya, sepanjang manusia itu masih bernafas, berarti masih ada rizkinya. ‘’Mungkin karena ihlasnya. Dulu, di pondok Kiai Mukti itu selalu datang kiriman dari masyarakat. Baik berupa beras, ketela pohon, dan beberapa bahan makanan pokok, yang ditempatkan di beberapa gudang. Namun, bahan makanan itu kembalinya juga kepada santri, tentara yang datang ke pondok, dan masyarakat sekitar Kasin,’’  tambah Umi Rosidah, putri Ibu Makiyah, putri pertama Kiai Mukti.
Kiai Mukti dipanggil menghadap Allah SWT pada 9 April 1963 sekitar pukul 11.00 WIB di kediamannya di Kasin, yang sekarang menjadi Jalan Arief Margono karena sakit panas, dan dimakamkan di pemakaman umum Kasin.

Sumber : http://www.masjidjami.com/profile-kyai/kh-abdul-mukti-bin-harun-.html

KH. Badrus Salam

Lahir di Desa Tempursari, Kecamatan Klaten, Solo Jateng, pada Tahun 1906. Wafat Sabtu, 9 Muharram 1394 H (2 Februari 1974). Dimakamkan di Pemakaman Umum Kasin, Malang. Pendidikan Ponpes Jamsaren, Solo. Putra/Putri 7 Orang



Perjuangan/Pengabdian :
Guru Madrasah Muallimin, Jagalan, Mengajar di beberapa masjid, termasuk di Masjid Agung Jami' Malang, menjadi Imam Rowatib, dan Pengurus Takmir Masjid Agung Jami' Malang, menjadi Syuriyah NU Cabang Malang.
Kiai yang Menjadi Khodimul Ummah
"Dan tidaklah Aku jadikan jin dan manusia, melainkan hanya untuk mengabdikan diri kepada-Ku." Salah satu ayat dalam Al Qur'an surat Addariyat ayat 56 itulah yang menjadi pedoman dasar KH. Badrus Salam. Karenanya, tidaklah heran jika kemudian segala aktivitas hidup beliau lebih banyak dicurahkan untuk mengabdi kepada Allah SWT, dan menjadi khodimul ummah (melayani kepentingan umat).
Prinsipnya, segala aktivitas hidup itu harus diniati untuk beribadah, tanpa pamrih atau mengharapkan sesuatu dari manusia. "Orang hidup itu untuk beribadah,'' kata KH Badrus Salam, kala itu.
Kiai low profile, yang berpenampilan kalem ini dilahirkan pada tahun 1906 di Desa Tempursari, Kecamatan Klaten, Solo Jateng. Beliau putra sulung dari tiga bersaudara. Pendidikan Kiai Badrus Salam sejak kecil lebih banyak diasuh oleh H Muhsin, ayahnya, dan kemudian nyantri di Ponpes Jamsaren, Solo.
Keluarga Kiai Badrus, termasuk orang yang mentaati hasil keputusan pertemuan Kiai se Jawa, yang waktu itu melawan politik penjajahan Belanda, hingga terjadinya perang Diponegoro sekitar tahun 1918-1925. ''Pada pertemuan itu, para Kiai se Jawa memberi fatwa agar umat Islam harus membentengi diri dari pengaruh politik Belanda, hingga umat Islam harus mengisolir diri ke desa-desa. Bahkan, para kiai mengharamkan segala sesuatu yang berbau Belanda. Seperti memakai celana, sepatu, berdasi, makan menggunakan sendok dan garpu, termasuk sekolah umum,'' kata KH Abdullah Iskandar, santri Kiai Badrus Salam di Madrasah Muallimin, Jagalan yang mendampingi sejak tahun 1941 hingga menjelang beliau wafat.
Dengan mematuhi fatwa para kiai itulah, Kiai Badrus akhirnya lebih menekuni belajar ilmu agama di Ponpes Jamsaren, Solo. Sayangnya, kapan beliau masuk Kota Malang tidak diketahui secara pasti. Hanya saja, Kiai Badrus ke Malang bersama beberapa kiai lainnya, seperti KH. Syukri Ghozali dan KH. Damanhuri itu atas ajakan KH. Nahrowi Thohir untuk ikut mengajar di Madrasah Muallimin, Jagalan (kini menjadi Madrasah KH Badrus Salam), yang dirintis KH Nahrowi pada tahun 1924.
Selain mengajar di madrasah, Kiai Badrus juga mengajar ngaji di beberapa masjid, termasuk di Masjid Agung Jami' Malang, dengan mengajarkan Al Qur'an dan tafsir, serta menjadi imam rowatib. Pada tahun 1961, beliau menjadi Pengurus Takmir Masjid Agung Jami' Malang urusan Hukum dan Ibadah bersama KH Abdullah Sattar. Selain itu, juga menjadi Syuriyah NU Cabang Malang.
Kiai yang alim dibidang fiqih dan tasawuf ini, lebih konsen terhadap dunia pendidikan Islam. Bahkan, beliau tidak terlalu memikirkan masalah dunia. Hingga masalah rumah pun ikut dengan mertuanya. Beliau memiliki rumah sendiri, sekitar tiga tahun menjelang wafat. Itupun karena pemberian orang.
"Beliau itu pernah diminta menjadi Ketua Pengadilan Agama (PA) Malang sekitar tahun 1970, namun tidak mau. Kiai Badrus lebih memilih mengajar di madrasah dan berdakwah. Karenanya, beliau itu orang yang qona'ah dan ikhlas, tidak pernah pilih-pilih, siapa yang membutuhkannya atau mengundang akan sangat diperhatikan,'' tutur KH Abdullah Iskandar, yang juga Pengasuh Pengajian Aswaja ini.
Berkat ketulusan dan kerendahan hati beliau, banyak santri-santrinya di Muallimin yang menjadi tokoh masyarakat, seperti Brigjen (Pur) H Sulam Samsun, mantan Pengurus PBNU, Hj Siamah, Hj Muthomimah, Hj Chusnul Chotimah (mereka bertiga menjabat Pengurus Cabang Muslimat NU Kota Malang), Hj Habibah, dan H Thoha Mashudi (mantan anggota DPRD Kota Malang), serta beberapa tokoh di Malang lainnya.
Menurut Drs. HM. Kamilun Muhtadin, Ketua I Takmir Masjid Agung Jami' Malang, Kiai Badrus Salam termasuk kiai sufi yang penuh ketulusan dan kehalusan budi. Bahkan, hampir tidak pernah absen menjadi imam rowatib di Masjid Agung Jami'. "Bila ada khotib atau pengasuh pengajian yang berhalang hadir, tanpa keberatan beliau langsung menggantikannya. Sejak pukul 10.30 pagi, beliau sudah ada di masjid untuk mengajar tadarrus Al Qur'an. Bahkan waktu itu, kami mengikuti sambil memijati kaki dan punggung beliau,'' ujar Kamilun Muhtadin, yang juga menjabat Kepala Kantor Pendidikan Nasional Kabupaten Malang.
Demikian juga setiap 10 hari terakhir malam Ramadhan, sebelum melakukan shalat malam, Kiai Badrus memberikan mauidhoh hasanah sekitar 10 menit, kemudian listrik dipadamkan untuk melaksanakan shalat malam.
Kiai Badrus menikah dengan Hj Tursina, adik kandung H. Dardiri (ayahanda H. Hudan Dardiri, mantan Bupati Jombang, dan H. Gatot Muhdil Islam Dardiri, Bendahara Masjid Agung Jami' Malang). Dari pernikahan itu, beliau mempunyai tujuh putra, diantaranya, Muhyil Islam, Muawinah Syariah, Muflihul Anam, Mujahiratul Aliyah, Mubasyiratul Sholihah, Suciati Nadifatul Qolbi, dan Mudakkir Ummah.
''Dalam mendidik putra-putrinya, Kiai Badrus itu sangat demokratis. Hanya saja, kami selalu ditekankan untuk mendalami ilmu agama sebelum mempelajari ilmu umum,'' kata Suciati, putri Kiai Badrus yang kini meneruskan cita-cita ayahnya mengajar di Muallimin.
Kiai Badrus dipanggil Allah SWT pada hari Sabtu Pahing 2 Februari 1974, bertepatan pada 9 Muharram 1394 H pukul 04.40 WIB di RSU Saiful Anwar Malang, karena sakit tekanan darah tinggi, dan dimakamkan di pemakaman umum Kasin.

Sumber : http://www.masjidjami.com/profile-kyai/kh-badrus-salam.html

KH. Anwar Nur, Pengasuh Ponpes An-Nur Bululawang

Lahir di Probolinggo (tidak diketahui tanggal dan tahun kelahirannya). Wafat Tahun 1992, Dimakamkan di Komplek Pesantren Annur Bululawang. Pendidikan Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo dan Pesantren Sidogiri Pasuruan, dll. Putra/Putri 7 Orang
Perjuangan/Pengabdian :
Pendiri Ponpes Annur Bululawang, Mustasyar NU Kabupaten Malang.
Kiai Ahli Mujahadah, Pemerhati Ilmu
Suatu ketika KH. Drs. Ahmad Hasyim Muzadi pernah mengatakan dalam salah satu ceramahnya, ada dua orang yang sangat berpengaruh bagi dirinya. Pertama KH. Abdullah Faqih, Pengasuh Ponpes Langitan Tuban. Kedua KH. Anwar Nur, Pengasuh Ponpes An-Nur Bululawang.
Kiai  Hasyim mengatakan, ketika beliau diajak bepergian oleh Kiai Anwar sampailah di sebuah daerah persawahan di Blimbing (sekarang Jalan Cengger Ayam). Kiai Anwar berkata kepada Hasyim. “Di sini nanti tempat kamu mendirikan pesantren.”
Kiai Hasyim bertanya-tanya, bukankah ini tanah orang? Tapi, beberapa tahun kemudian, ternyata perkataan Kiai Anwar itu terbukti. Atas Takdir dan Karunia Allah, di tanah tersebut berdiri Pondok Mahasiswa Al Hikam, diasuh Kiai Hasyim Muzadi, yang kini menjadi Ketua Umum PBNU.
Menurut beberapa sumber, asal-usul keluarga KH. Anwar Nur berasal dari Madura, tepatnya di Toket, Pamekasan. Penduduk daerah tersebut termasuk golongan para kiai yang mengasuh pondok pesantren. Tapi, beliau sendiri  dilahirkan di Probolinggo, tidak diketahui secara pasti tanggal dan tahun kelahirannya. Ayah KH. Anwar bernama Nur, dan nama ibu beliau tidak sempat diketahui oleh cucu-cucu beliau. Dari pernikahan itu, dikaruniai sepuluh orang putra. Hingga sekarang saudara sekandung KH. Anwar yang masih hidup tinggal seorang bernama Haji Thoyib pengasuh salah satu Ponpes di Probolinggo.
Kiai Anwar termasuk sosok yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Seluruh waktu beliau digunakan untuk memperdalam ilmu agama Islam.  Beliau tidak hanya berguru kepada seorang kiai dan satu pesantren saja. Tetapi berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lain. Seperti di Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo dan Pesantren Sidogiri Pasuruan, dan beberapa pesantren lain.
KH. Anwar mendirikan pesantren di Bululawang berkat petunjuk dari guru beliau ketika masih belajar di salah satu Pesantren. Berdasarkan petunjuk tersebut, kemudian beliau berjalan ke arah selatan, dan sampailah di Bululawang. Satu hal yang selalu beliau pegang dari petunjuk guru beliau adalah mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat dalam keadaan apa pun. Karena itu seluruh waktu beliau digunakan untuk mengajarkan ilmu agama. Di sela-sela mengajar, beliau meracik dan menjual jamu tradisional ke desa-desa sekitar. Selain untuk memenuhi kebutuhan hidup beliau,  juga untuk bisa berhubungan dengan masyarakat.
Di desa itu, beliau diambil menantu oleh keluarga kaya. Setelah mempersunting gadis Bululawang yang bernama Marwiyah, dengan bantuan orangtua dan masyarakat di sekitarnya yang dengan rela mewaqafkan tanahnya untuk kepentingan Islam, maka dibangunlah sebuah mushola di belakang rumah beliau, dan beberapa kamar untuk tempat tinggal  beberapa santri nantinya. Untuk kebutuhan harian disediakan lahan pertanian seluas 2 hektar.
Secara resmi Pesantren itu didirikan pada tahun 1942, dan diberi nama An Nur, yang merupakan kepanjangan dari Anwar Nur, sesuai nama pendirinya. Dari pernikahan beliau, dikaruniai empat orang putra dan tiga orang putri. Dari ketujuh putra itu, semuanya mendirikan Pondok Pesantren yang tersebar di Malang, Pasuruan dan Lumajang.
Pada mulanya pesantren ini hanya mendidik santri putra yang dipimpin langsung Kiai Anwar. Baru pada 1960 mendidik santri putri, setelah putri beliau kembali dari belajarnya di salah satu pesantren di Jombang.
Dalam usaha mengembangkan lembaga pendidikan Islam ini dibentuklah Yayasan Pendidikan An-Nur. Selain sistem pendidikan pesantren terus dikembangkan, Yayasan An-Nur juga mendirikan sistem pendidikan formal mulai Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, SMP, SMU An Nur. Karenanya pada 1973, An Nur ditetapkan Pemda Kabupaten Malang sebagai pesantren percontohan ‘Pilot Proyek Pondok Pesantren’.
Semasa hidupnya perhatian beliau lebih banyak dicurahkan kepada  pesantrennya. Namun demikian beliau tidak melepaskan diri dari tanggung jawabnya sebagai pemimpin masyarakat. Beliau pernah menjabat sebagai mustasyar Nahdlatul Ulama (NU) Kabupaten Malang.
Keberadaan orang yang memiliki kharisma tinggi di kalangan masyarakat tidak dapat dipisahkan dengan tingkat pengetahuan yang dimilikinya. Wibawa Kiai dimata santri dan masyarakat sering dikaitkan dengan tingkat kealimannya. Demikian pula dengan Kiai Anwar.
Di akhir hayat beliau tidak ada waktu untuk tidak digunakan untuk dzikir dan membaca Al Qur’an. Lisan beliau tidak bernah berhenti untuk dua hal tersebut. Kiai Badruddin, salah seorang putra Kiai Anwar menceritakan, beliau kadang tidak tahu kapan waktu tidur Kiai Anwar. Ibu  Marwiyah mengatakan kepadanya, “Lihatlah abahmu, dalam keadaan tidur beliau masih berguman membaca surah Yasin.”
Selain bidang pendidikan, Kiai Anwar adalah Kiai yang ahli mujahadah. Di masa pemberontakan PKI tahun 1965, beliau menjadi tempat orang mencari ilmu kanuragan. Namun, pendidikan lah yang beliau lebih perhatikan. Begitu besarnya perhatian beliau pada pendidikan, sampai kebiasaan beliau mengajar santri barbeda dengan yang lain. Umumnya mengaji adalah guru membacakan kitab, sedangkan santri-santri mendengar dan ngesahi kitabnya. Namun kiai Anwar berbeda. Satu orang santri ngesahi kitab, sedangkan Kiai Anwar di hadapan satu orang santri  membaca kitab yang ada di tangan santri itu. Kiai Anwar membaca kitab milik santri dalam keadaan terbalik.

Kiai yang low profile ini wafat pada tahun 1992, dan dimakamkan di Komplek Pesantren Annur Bululawang. Selama hayatnya, telah banyak memberikan manfaat bagi masyarakat dengan peninggalannya berupa pesantren dan lembaga pendidikan formal.

Habib Sholeh bin Muhammad Mauladdawilah



Lahir di Singosari Malang pada 1295 H / 1807 M. Wafat Jum’at, 28 Ramadhan 1370 H / 1950 M. Di Makamkan di Pemakaman Umum Kasin, Malang. Pendidikan Nyantri kepada Al Habib Muhammad bin Hadi Assegaf, di Kota Siwon, Hadramaut, Yaman, berguru pada Al Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi (Shohibul Maulid), dan kepada Al Habib Ahmad bin Hasan Al Attas. Putra/Putri 13 Orang.
Perjuangan/Pengabdian : Perintis berdirinya Madrasah Attaraqqie, Mengajar di beberapa masjid, dan majelis taklim.
Ulama Waro’ yang Sederhana
Habib Sholeh bin Muhammad bin Ali Mauladdawilah dilahirkan di Singosari Malang pada tahun 1295 H atau bertepatan dengan tahun 1807 M. Beliau diasuh oleh kedua orang tuanya sampai menginjak usia remaja. Kemudian dibawa ayahnya ke Negeri Hadramaut, dan menetap di Kota Siwon untuk menuntut ilmu, supaya menjadi orang alim dalam bidang hukum Islam.
Di Hadramaut, beliau belajar kepada Al Habib Al Alim Al Alamah Muhammad bin Hadi Assegaf, yang terkenal sebagai mahaguru di Kota Siwon. Selain itu, juga berguru pada Al Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi (Shohibul Maulid) dan kepada Al Habib Ahmad bin Hasan Al Attas (Shohibul Khuroidho).
Berkat kecerdasan dan inayah dari Allah SWT, maka beliau berhasil dalam menuntut ilmu, seperti apa yang dicita-citakan ayahnya. Diantara teman-teman beliau yang seangkatan dalam menuntut ilmu itu adalah Asysyaich Abdurrahman bin Muhammad Baraja yang menjabat sebagai Qodhi di Kota Siwon.
Salah satu bukti yang menunjukkan kepadatan ilmunya, pada waktu di majelis ilmu Al Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf Gresik, ada seorang peserta majelis dari Malang menanyakan suatu masalah kepada Al Habib Abubakar. Setelah dijawab masalah tersebut, lalu Al Habib Abubakar berkata, bila ada masalah lagi, tidak perlu datang ke Gresik, cukup ditanyakan kepada seorang alim di Malang, yaitu Al Habib Sholeh bin Muhammad bin Ali Mauladdawilah.
Selama tinggal di Siwon, beliau menikah dengan cucu Al Habib Sholeh bin Hasan Al Bahar di Sabah. Sekembalinya ke Malang, beliau giat mengadakan pengajian-pengajian, termasuk di Kidul Pasar. Diantara santri beliau yang terkenal, Al Habib Ahmad bin Hadi Al Hamid, Pasuruan, KH Abdullah bin Yasin, Pasuruan, KH. Muhsin Blitar, Al Habib Ali bin Abdullah Mauladdawilah Talun Lor, H. Dahlan, Wetan Pasar, dan KH Ahmad Damanhuri Malang.
Habib Sholeh bin Muhammad bin Ali Mauladdawilah sangat memperhatikan bidang pendidikan, terutama pendidikan putra-putrinya. Bahkan sampai mendatangkan guru Asysyaich Ali Arrohbini untuk mengajar Qiro’atul Qur’an di rumahnya di Bareng Raya, serta mengirim beberapa putranya ke Hadramaut untuk menuntut ilmu di Siwon pada mantan gurunya, yakni Al Habib Al Alim Al Alamah Muhammad bin Hadi Assegaf.
Diantara 13 putra-putrinya yang sekarang masih ada, yakni Habib Alwi bin Sholeh bin Muhammad bin Ali Mauladdawilah, yang kini berada di Jeddah, Habib M Bakir bin Sholeh bin Muhammad bin Ali Mauladdawilah di Malang, dan Ali bin Sholeh bin Muhammad bin Ali Mauladdawilah yang berada di Solo.
"Beliau merupakan salah satu perintis Madrasah Attaraqqie, dan sempat juga mendatangkan Al Ustadz Abdul Kadir bin Ahmad Bilfaqih dari Surabaya sekitar tahun 1940-an untuk mengajar, dan menjadi Kepala Madrasah Attaraqqie," kata Ustadz Ahmad bin Salim Alaydrus, menantu Habib Sholeh bin Muhammad bin Ali Mauladdawilah, kala itu.
Amalan beliau sehari-hari yang menonjol adalah dzikrulloh. Diwaktu apapun saja, beliau selalu berdzikir kepada Allah SWT. "Hendaknya lisanmu itu selalu basah karena gerak dengan berdzikir kepada Allah."
Selain itu, dalam hidupnya suka beramal, terutama pada fakir miskin, anak yatim, dan famili-familinya. "Dalam hidupnya, beliau juga sangat sederhana dan berlaku waro’, dengan meninggalkan semua perkara yang syubhat (meragukan, red.), yang tidak jelas halalnya. Perbuatannya selalu dijaga benar-benar dan disesuaikan dengan hukum syariat Islam," tutur Ustadz Ahmad, yang juga kakak kandung Ustadz Alwy bin Salim Alaydrus.
Ada beberapa kekeramatan Habib Sholeh bin Muhammad bin Ali Mauladdawilah, diantaranya sewaktu Gunung Kelud di Blitar meletus dan terjadi lahar. Waktu itu beliau sedang mengajar di sebuah masjid. Atas Rahmat dan takdir Allah SWT masjid tersebut tidak roboh dan tidak tersentuh aliran lahar dari Gunung Kelud. Demikian juga dengan jamaah pengajian yang berada  di dalam masjid selamat. Padahal rumah-rumah di sekitar masjid roboh dan hanyut terkena aliran lahar. Bahkan sandal Habib Sholeh bin Muhammad bin Ali Mauladdawilah, yang semula hanyut terbawa lahar, setelah banjir lahar redah sandal tersebut kembali lagi ke depan pintu masjid.
Beliau wafat pada hari Jum’at, 28 Ramadhan 1370 H, bertepatan dengan tahun 1950 M dalam usia 75 tahun, dan dimakamkan di pemakaman umum Kasin, Malang. Setelah beberapa hari beliau dimakamkan, beberapa pemilik rumah yang ada di sekitar  pemakaman Kasin sering melihat ada cahaya yang keluar dari salah satu makam di pemakaman tersebut. Setelah diselidiki, ternyata cahaya tersebut berasal dari makam Al Habib Sholeh bin Muhammad bin Ali Mauladdawilah.

Sumber : http://www.masjidjami.com/profile-kyai/habib-sholeh-bin-muhammad-mauladawilah.html

KH. MOHAMMAD SAID



Lahir di Tongan, Malang pada tahun 1901, Wafat Pada 1964 Dimakamkan dilingkungan Pesantren PPAI Kepanjen.Pendidikan NIS, ELS, nyantri di Kiai Mukti, Kasin,  Ponpes Canga'an Bangil, Ponpes Salafiyah Siwalan Panji, Sidoarjo.
Perjuangan/Pengabdian : Pendiri Ponpes Sono Tengah, Pakisaji, Pendiri Pesantren Karangsari Bantur, Pendiri Ponpes PPAI Ketapang, Kepanjen, Penggerak tentara Hisbullah, Rois Syuriah NU Cabang Malang, menjadi Ketua Misi Ulama se Jatim ke Moskow, Rusia, dan Karachi mewakili Partai NU wilayah Jawa Timur.  
Kiai Low Profile, yang Jadi Delegasi Ulama ke Rusia
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (QS. Al-Jaatsiyah:18)
Ayat ke-18 dalam Al Qur'an surat Al-Jaatsiyah itulah, yang selalu ditanamkan KH Moh. Said kepada santrinya. Harapannya, agar santri yang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Agama Islam (PPAI) Ketapang, Kepanjen, yang diasuhnya tidak model-model. "Kalau memang hanya bisa membaca Al Fatihah, ya ajarkan Al Fatihah itu," ujarnya kala itu.
Prinsip kiai kelahiran Tongan, Kota Malang pada tahun 1901 ini, sebagai seorang pemimpin harus bisa mencetak atau mengkader santrinya menjadi pemimpin. Karenanya, tak heran jika kemudian Kiai Said, putra dari H Moh. Anwar dan Ny Lis ini berhasil mengkader santrinya menjadi kiai, ustadz, dan tokoh masyarakat. Seperti KH Abdul Hanan, KH Alwi Murtadho, Pengasuh PPAI Al Ihsan, Blambangan, Bululawang, KH Abdul Basyir, KH. Drs Mahmud Zubaidi, Ketua MUI Kabupaten Malang, yang juga Pengurus NU Cabang Kabupaten Malang, Ustadz H Ismail Qodly, guru agama di SLTP Shalahuddin, Gus Mad Suyuti Dahlan, Pengasuh Ponpes Nurul Ulum, Kacuk, Sukun, KH Ahmad Su'aidi, yang kini menjadi Pengasuh PPAI Ketapang, menggantikan beliau, dan puluhan kiai lainnya, yang tersebar di Malang dan sekitarnya.
Pada masa penjajahan Belanda, Kiai Said termasuk beruntung. Karena pada usia 10 tahun, beliau dapat mengenyam pendidikan dan berhasil menamatkan pendidikan NIS tahun 1911, dan 5 tahun kemudian menamatkan ELS tahun 1916. Setamat dari ELS beliau bekerja menjadi Komis Pos di Jember  selama 9 tahun, mulai tahun 1916 sampai 1925.
Sejak masa muda, beliau memang dikenal sebagai orang yang suka bekerja keras, dan tekun belajar. Selain membantu orang tuanya, juga berdagang, serta terkadang bertani.
Beliau menikah pada tahun 1925, dengan Siti Fatimah, seorang wanita dari Kidul Pasar Malang. Waktu itu, beliau masih berstatus sebagai pegawai di Kantor Gubernur di Surabaya tahun 1925 – 1927. Dalam pernikahan tersebut, Kiai Said tidak sampai dikarunia putra.
Secara khusus, awalnya Kiai Said hanya nyantri di beberapa kiai di Malang, seperti ngaji pada Kiai Mukti, Kasin, dan beberapa kiai lainnya. Selain itu,  juga pernah nyantri ke Canga'an Bangil. Kemudian nyantri ke Pondok Pesantren Salafiyah Siwalan Panji Sidoarjo pada tahun 1926 – 1931.
Bekerja menjadi pegawai pemerintah Belanda, ternyata tidak memuaskan hati beliau, hingga dia mengundurkan diri. Karenanya, setelah menyelesaikan pendidikan di pesantren beliau mendirikan dan mengasuh Ponpes Sono Tengah Pakisaji Malang pada tahun 1931 sampai 1947. Pada tahun 1948, beliau mendirikan Pesantren Karangsari di Bantur. Setelah itu, sekitar tahun 1949 mendirikan Ponpes PPAI Ketapang, Kepanjen.
Di masa pendudukan penjajah Belanda, Kiai Said, turut berjuang bersama masyarakat untuk mengusir penjajah. Bahkan beliau termasuk tokoh yang menggerakkan tentara Hisbullah pada tahun 1945 –1948.
Dikalangan santri, dan masyarakat, beliau dikenal sebagai ulama yang bijaksana, serta dekat umaro' dan organisasi yang allamah waro’ dan sufi. Selain itu, juga aktif di organisasi NU, dan sempat menjadi Rois Syuriah NU Cabang Malang pada tahun 1950 –1965. Bahkan, pernah ditunjuk menjadi Ketua Misi Ulama se Jatim ke Moskow, Rusia, dan Karachi mewakili Partai NU wilayah Jawa Timur.
Menurut Gus Mad Suyuti Dahlan, Kiai Said itu sosok sufi yang berpendirian teguh, suka menyendiri, dan menjauhi keramaian. Meski beliau lebih menekankan pada syariat (fiqih), tapi juga mengamalkan Thoriqoh Kholwatiyah dengan kitab susunannya Khulasoh Dzikril Ammah wah Khossoh, yang didirikan Syeh Kholwati. "Beliau itu hampir 27 tahun tidak pernah telat melaksanakan shalat berjama'ah. Dan pelajaran itu, selalu ditekankan pada santri-santrinya," ujar Gus Mad Suyuti Dahlan.
Demikian juga dalam bidang pendidikan, beliau sangat memperhatikan para generasi muda. Para santrinya diarahkan untuk menjadi penganjur agama Islam atau da’i, serta menjadi kader-kader dakwah yang memperjuangkan agama Islam ala ahlussunnah wal jama’ah, serta menyebarluaskan ajaran ponpes yang sehaluan dengan PPAI Ketapang.  
Kiai Said dipanggil Allah SWT pada tahun 1964 dalam usia 63 tahun, dan dimakamkan di sekitar pesantrennya. Pernah beliau sewaktu sakit dikunjungi Habib Abdul Qodir Bil Faqih, Pengasuh Pesantren Darul Hadits Al Faqihiyah yang kebetulan diantarkan Gus Suyuti Dahlan. Dalam pertemuan itu, Habib Abdul Qodir sempat menawarkan obat dari Jerman, yang sangat istimewa dan mujarab kepada Kiai Said. Namun, dengan segala kerendahan hati tawaran tersebut tidak diterima.
Lantas Kiai Said menceritakan, jika dirinya pernah bermimpi hatinya itu pecah jadi dua. Pecahan itu kemudian menjadi tulisan dalam bahasa Arab, yang artinya, "Tidak ada obat untuk penyakit ini, kecuali dengan dzikrullah."
"Kalau begitu, tidak usah saya beri obat Pak Kiai. Dzikir itu saja diteruskan," tutur Gus Mad Suyuti menirukan perkataan Habib Abdul Qodir Bil Faqih kepada Kiai Said waktu itu.

Kamis, 13 September 2012

Al Marhum Al Maghfurlah Muhammad Yunus (Mu’allim Yunus)

Mu’allimin Yunus adalah ulama nomor satu di tanah Betawi Kawasan Bukit Duri setelah beliau barulah yang lainnya. Ia lahir di Jakarta pada 31 November 1914 dengan nama Muhammad Yunus, anak pasangan Muhammad Sholeh dan Napsiah. Ibunya adalah seorang guru agama bagi hampir seluruh warga betawi di bukit duri dan sekitarnya pada saat itu, dengan sapaan akrab guru Nap. Sang ibu adalah tokoh masyarakat yang sangat disegani. Dari wanita inilah kemudian lahir banyak Ulama dan Habaib berdarah betawi di Bukit Duri Jakarta.
Mu’allim Yunus, demikianlah nama seorang tokoh yang pernah sangat akrab di dengar bagi masyarakat di kawasan Bukit Duri di masa lalu. Secara historis, peranan Mu’allim Yunus sangatlah sentral dalam membentuk masyarakat Bukit Duri sebagai salah satu wilayah dari sedikit wilayah di Jakarta ini yang memiliki asatidz dan keterkaitan keluarga dengan Guru Nap.
Salah satunya adalah keluarga Habib Abdurahman Bin Ahmad bin Abdul qodir Assegaf, termasuk di dalamnya. Karena Habib Abdurahman menikah dengan H.Barkah, yang tak lain adalah cucu dari Guru Nap. Sehingga seluruh putra Habib Abdurahman, yang saat ini juga menjadi ulama, pun tak lain keluarga besar Guru nap, ibunda dari Mu’allimin Yunus.
Setelah dididik dalam lingkungan keluarga yang penuh nuansa keilmuan, terutama dari tangan dingin sang ibu, ia melanjutkan pelajarannya kepada guru Marzuki inilah dirinya semakin terbentuk sehingga menjadi ulama besar pada beberapa dekade silam.
Teladan Kesabaran
Hampir semua masalahnya yang ada dihadapinya dengan penuh kesabaran ,kesabarannya tidak mengenal waktu dan tempat. Kepada murid-muridnya ,maupun di tengah keluarganya . Walhasil ,dalam kondisi apapun ia dapat tetap tampil sebagai seorang yang disegani ,karena kesabarannya yang luar biasa tinggi.
Suatu ketika sepeda yang iya gunakan di pengadilan agama hilang di curi orang. Sedikitpun tak keluar dari lisannya kata-kata keluhan apalagi celaan untuk orang yang mengambil sepedanya.di tengah perjalanan pulang seseorang yang sering melihat ia menaiki sepeda bertanya. Dengan ringan dia menjawab” Ada yang pinjam”
Pada saat yang lain sudah dua bulan beras jatah bulanan dari kantornya tidak ia ambi. Setelah lewat dua bulan , salah seorang karyawan lainya mengatakan,”Mu’allim berasnya kok gak diambil-ambil,saya bawa kerumah,ya.?
Mu’allim menerima jasa baik yang ditawarkan. Rupanya,entah salah paham atau memang maksudnya tidak baik,beras tersebut ternyata di bawa kerumahnya si karyawan itu.
Setelah beberapa hari istri Mu’allim mulai gusar dan emosinya meninggi,bahkan sampai marah-marah.”belajar bisa marah ma orang,jatah beras dua bulan di ambil diem aje!!!” Mu’allim tetap tenang dan tidak melayani kemarahan sang istri,bahkan ia menjawan”berarti itu bukan rizki kita,insya allah nanti ada gantinya.”
Tak berapa lama murid terdekatnya datang.H.Yunus mendengar ada sedikit kegaduhan di rumah itu, si murid memberaikan diri untuk bertanyagerangan apa yang terjadi. Istri Mu’allim menjawab”Ni…guru lu,beras jatah dua bulan di ambil,didiemin aje.”
Spontan sang murid berinisiatif menjawab,”O..beras yang itu ada di rumah saya .nanti saya ambilin” Bergegas H.Yunus berangkat ke pasar dan membeli dua karung beras,dan langsung diantarnya ke rumah Mu’allim.
Di keluarganya, Mu’allim juga mendidik anak-anaknya dengan penuh kesabaran.salah seorang putranya ,Ustadz Muhammad yang saat ini meneruskan jejak dakwahnya mengatakan,”orang tua saya tidak pernah ada marahnya sama sekali kepada anak-anaknya,bertolak belakang dengan ibu yang amat tegas.Ujar anaknya.
Di samping sabar, ia juga sosok orang tua yang sangat perhatian dengan keluarga besarnya. Sering kali ia membeli makan dalam jumlah yang agak banyak untuk kemudian di bagikan kepada kerabatnya yang tinggal di Bukit Duri.meski sudah menjadi sosok yang sangat dihormati ketika itu, namun ia tidak segan-segan untuk menghampiri rumah kerabatnya satu persatu.begitu pula bila menjelang lebaran,hampir semua kerabatnya mendapat hadiah darinya berupa sarung,baju atau bingkisan lainya. Padahal ia sendiri bukan orang yang berlebih,melainkan orang yang hidup dengan penuh kesederhanaan.
Saat tekanan penjajah Belanda sedang keras-kerasnya di wilayah Bukit Duri dan sekitarnya,seluruh ulama yang berdiam di sana sempat angkat kaki dari wilayah itu, dan pindah ke kampung lain. Tapi tak demikian halnya dengan Mu’allim Yunus ia tetap bersabar menetap dirumahnya,meskipun sempat ada suara-suara miring tentang dirinya karena pilihannya yang tetap untuk tidak pindah. Rupanya hal itu dikarenakan perhatiannya yang sangat mendalam terhadap masyarakatnya yang masih tetap tinggal di sana. Katanya pada waktu itu,” kalau saya ikut pindah juga, lalu kalau di sini ada yang berzina karena tidak ada yang menikahkan atau tidak ada yang mengajarkan akhlaq kepada mereka, bagaimana?
Isyarat menjelang wafat
Sebagai seorang ulama, Mu’allim Yunus sangat dikenal kealimannya. Lantaran keahliannya, tidaklah aneh bila pada waktu itu hampir seluruh acara keagamaan dan kemasyarakatan di wilayah Bukit Duri diselesaikan lewat keputusannya. Karena kealimannya itulah ia dipercaya untuk memangku jabata ketua pengadilan agama Jakarta selatan,bahkan kemudian untuk lingkup Jakarta. Pada masa itu, posisi strategis ketua pengadilan agama tidak diduduki oleh pejabat karier seperti saat ini, tapi dipercaya kepada seorang ulama yang memang diakui kedalaman ilmunya. Sebelum Mu’allim Yunus yang menjabat posisi itu adalah K.H Abdul Hamid. Saat ia bertemu Mu’allim Yunus yang kemudian ia dengar akan masuk dijajaran pengurus pengadilan agama pada waktu itu,spontan ia mengatakan mulai minggu besok Mu’allim Yunus yang akan memimpin pengadilan agama ini.
Di mata para ulama di masanya, ia juga memiliki kedudukan yang istimewa. Guru Mansur Jembatan Lima, seorang ulama besar tempo dulu di Jakarta misalnya, pernah mewasiatkan, bia ia telah wafat, hendaknya orang-orang yang biasa mengaji padanya melanjutkan pelajaran kepada Mu’allim Yunus.
Murid-muridnya tersebar di banyak tempat. Di Bukit Duri sendiri ia sempat mendirikan kumpulan dengan nama Jam’iyyah Syubbanul Muslimin. Ia juga sempat menulis beberapa kitab diantaranya
Yang masih tersimpan hingga kini adalah sebuah kitabnya dalam bahasa arab pada masalah ilmu arudh ( bagian dari ilmu syair ). Al-awzan Al-Asjadiyah.
Di antara muridnya yang menjadi ulama besar adalah Mu’allim Yunus dan K.H Abdullah Syafi’i . Bahkan K.H Abdullah Syafi’i pernah mengatakan bahwa gurunya Mu’allim Yunus adalah gurunya yang pertama kali, yang telah banyak membentuk dirinya, sebelum ia mengenal dan berguru kepada guru lainnya.
Selain alim, sebagimana para ulama jaman dahulu , ia juga memiliki ke istimewaan dalam hal spiritual . H yunus murid terdekatnya pernah bertanya kepadanya bagaimana gambaran tentang Lailatul Qodar. Saat ditanya hal itu Mu’allim Yunus sempat seperti tak dapat berkata, lantaran sulit menggambarkan keagungan malam itu. Selang beberapa saat ia menjawab dan bercerita,pada suatu malam di bulan ramadhan, sepulangnya ia dari masjid di tengah malam , sesampainya ia di rumah ia kaget menyaksikan ke agungan malam itu, ternyata rumahnya menjadi terang benderang. Dan ia segera mengambil air wudhu menuju sumur dekat rumahnya, kemudian ia kembali dikagetkan karena sumur yang biasanya di timba untuk mengambil airnya, di malam itu menjadi luber dan melimpah ruah. Hingga untuk mengambilnya ia cukup mencidukan gayung dengan tangannya. Rupanya malam itu ia memperoleh anugerah Lailatul Qodar.
Senin sore dibulan Dzulqad’dah 1415 H/Mei 1995, menjelang wafatnya Mu’allim Yunus yang sedang sakit keras, mengatakan kepada keluarganya bahwa ia ingin bertemu dengan Habib abdurahman Assegaf, atau yang biasa disapa Al-walid… sebelum keluarganya menyampaikan pesan itu, rupanya hubungan bathin di antara keduanya telah membawa langkah kaki Al-walid untuk segera menemuinya, seakan Al-Walid telah mendengar pesan Mu’allim Yunus.
Sesampainya di kamar Mu’allim Yunus, keduanya berbicang-bincang empat mata. Kemudian tak lama Al- Walid keluar dari kamar dan mengatakan kepada keluarganya agar segera mempersiapkan segala sesuatunya, karena waktunya sudah tidak lama lagi.
Jum’at dini harinya, sekitar pukul tiga malam. Ia mengatakan kepada H. Yunus agar menyampaikan pesan kepada muridnya K.H Abdullah Syafi’i, supaya bersedia menjadi imam dala sholad jenazah bagi dirinya. Untuk menyampaikan amanah itu,H.Yunus agak ragu, karena sudah ramai berita yang mengatakan K.H Abdullah Syafi’i akan segera pergi menunaikan ibadah haji. Maka tanpa menunda-nunda H.Yunus segera mendatangi rumah K.H Abdullah Syafi’i dan menyampaikan pesan Mu’allim Yunus.
K.H Adbullah Syafi’i menerima pesan itu sebagai isyarat bahwa wafatnya Mu’allim Yunus memang sudah dekat sangat dekat, oleh karenanya iapun tak ragu menunda keberangkatannya. Dengan tegas K.H Abdullah Syafi’i menjawab “ ya, insya allah bisa”
Kabar tentang akan wafatnya Mu’allim Yunus sudah menyebar kemana-mana sehingga jum’at pagi itu rumahnya dipenuhi orang banyak. Hampir semua Ulama besar di Jakarta berkumpul di rumah Mu’allim Yunus, mendampinginya dengan mengaji dan membacakan surah yasin dan yang lainnya saat itu, Al-Walid tidak tampak di tengah-tengah mereka dan Mu’allim Yunus pun sudah tidak dapat berkata apa-apa.
Ketika waktunya hampir dekat Al-walid tiba-tiba datang dan memberikan aba-aba untuk seluruh yang hadir agar bersama-sama membacakan tahlil dengan dipimpin oleh Al-walid sendiri. Anehnya Mu’allim Yunus, yang sedari tadi tidak dapat berkata apa-apa , seketika ikut bertahlil bersama dengan suara yang cukup jelas terdengar. Tidak lama, setelah kalimat tahlil di baca berulang-ulang secara bersama-sama sekitar lima menit, Mu’allim Yunus pun menghembuskan nafasnya yang terakhir
Selasa sore 30 Dzulqad’dah 1415 H / 30 Mei 1995, pukul 16.00 WIB, Mu’allim penyejuk hati umat ini kembali keharibaan Ilahi. Jenazahnya dimakamkan disamping mihrab Mesjid Al-Makmur Jalan K.H. Abdullah Syafi’I, Tebet, Jakarta Selatan.

SIAPA BILANG alm. ABAH GURU SEKUMPUL BUKAN HABIB....?


Guru Sekumpul adalah sebutan akrab buat Al-Allamah Kh. Zaini Ghani, yaitu seorang ulama kharismatik Kalimantan Selatan, dilahirkan pada 25 Muharram 1361 H (11 Februari 1942 M) dan wafat 5 Rajab 1426 H (10 Agustus 2005). Beilau sering disebut-sebut sebagai Habib keturunan Rasulullah, padahal beliau sendiri tidak pernah menambahkan dibelakang
nama beliau dengan fam tertentu. Lalu darimana isyu tersebut?, mari kita telusuri nasab beliau.

K H. Muhammad Zaini
Abdul Ghani
H Abdul Manaf
Muhammad Seman
H M. Sa’ad
H. Abdullah
Mufti H. M. Khalid
Khalifah H. Hasanuddin
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari

Sampai disini, tidak ada perbedaan karena memang diingat, dicatat, dan dijaga dengan baik oleh Guru Sekumpul serta keluarga beliau. Perbedaan terjadi ketika kita meneliti nasab dari Sekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang merupakan tokoh Islam terbesar di bumi Banjar.
Ada beberapa versi catatan nasab Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, ada yang mengatakan lima versi, namun yang saya temukan hanya dua dan itupun masih dalam versi yang sama karena yang kedua tidak jauh beda dengan yang pertama, hanya ketinggalan 2 orang, mungkin kesalahan penyalinan saja.
Pertama, catatan dari 3 kitab, yaitu: Syajaratul Arsyadiyah, Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari Pengarang Sabilal Muhtadin, dan Maulana Syeik Muhammad Arsyad Al Banjari. Yaitu sebagai beikut:

Muhammad Arsyad Al Banjari
Abdullah
Abu Bakar
Sultan Abdurrasyid Mindanao
Abdullah
Abu Bakar Al Hindi
Ahmad Ash Shalaibiyyah
Husein
Abdullah
Syaikh
Abdullah Al Idrus Al Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidrus)
Abu Bakar As Sakran
Abdurrahman As Saqaf
Muhammad Maula Dawilah
Ali Maula Ad Dark
Alwi Al Ghoyyur
Muhammad Al Faqih Muqaddam
Ali Faqih Nuruddin
Muhammad Shahib Mirbath
Ali Khaliqul Qassam
Alwi
Muhammad Maula Shama’ah
Alawi Abi Sadah
Ubaidillah
Imam Ahmad Al Muhajir
Imam Isa Ar Rumi
Al Imam Muhammad An Naqib
Al Imam Ali Uraidhy
Al Imam Ja’far As Shadiq
Al Imam Muhammad Al Baqir
Al Imam Ali Zainal Abidin
Al Imam Sayyidina Husein
Al Imam Amirul Mu’minin Ali Karamallah wajhah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra
Rasulullah SAW[1]

Kedua, terdapat pada kitab yang dikarang oleh seseorang tanpa nama dengan judul Silsilah Siti Fatimah, sebagai berikut:

Muhammad Arsyad Al Banjari
Abdullah
Abu Bakar
Abdurrasyid
Abdullah al-Idrus al-Magribi
Abu Bakar al-Hindi
Ahmad
Husin
Abdullah
Syaikh
Abdullah Al-Idrus
Abu Bakar as-Sakrani
Abdurrahman as-Saqafi
Maulana Ad-Duwailah
Ali
Alwi
al-Faqih al-Muqaddam Muhammad
Ali Khala Qasim
Alwi
Muhammad
Alwi
Abdullah
Ahmad al-Muhajir lillah
Isa an-Naqib
Muhammad an-Naqib
Ali al-Arid
Ja’far as-Sadiq
Muhammad al-Baqir
Ali Zainal Abidin
Sayyidina Husin
Sayyidina Ali dan Sayyidina Fatimah az-Zahra
Sayyidina Muhammad SAW.[2]

Kedua versi silsilah/nasab diatas sama saja, hanya saja pada silsilah kedua ada yang terlewatkan dan saya tidak tahu apakah itu kesalahan M. Rusydi yang menyalin atau memang dari kitab Silsilah Siti Fatimah-nya. Pada catatan nasab yang kedua tidak ada Ali Faqih Nuruddin dan Muhammad Shahib Mirbath yang pada nasab pertama berada di nomor 18 dan 19.
Perbedaan lainnya terdapat pada penulisan nama. Ada dua nama yang berbeda namun orang tua (bin)nya sama, yaitu Ubaidillah Bin Ahmad Al Muhajir dan Isa Arrumi Bin Muhammad Annaqib

Pada catatan nasab pertama tertulis Ubaidillah (nomor 24) sementara pada catatan nasab yang kedua tertulis Abdullah (nomor 22)
Pada catatan nasab pertama tertulis Isa Arrumi (nomor 26) sementara pada catatan nasab yang kedua tertulis Isa an-Naqib (nomor 24)

Saya tidak bisa mengetahui secara pasti apakah kedua nama itu orang yang sama, hanya kekeliruan penulisan saja atau memang orang yang berbeda.
Perbedaan-perbedaan pada catatan nasab tersebut mungkin hanya kesalahan penyalinan saja, yang jelas kedua nasab tersebut membenarkan bahwa Muhammad Arsyad Al Banjari adalah seorang keturunan Rasulullah, yang secara otomatis menyatakan bahwa yang mulia Guru Sekumpul juga seorang habib ber fam Al-Idrus (Al-Aydrus).

Lalu mengapa Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari tidak menyertakan fam Al-Idrus (Al-Aydrus) dibelakang nama beliau?. Keterangan yang saya dengar langsung dari Guru Sekumpul dalam pengajian beliau, bahwa penyembunyian Nasab itu bertujuan untuk menghindari penjajah Belanda yang katanya pada waktu itu mengincar setiap orang yang didirinya mengalir darah Rasulullah.

sumber dukumen bacaan
[1] (1). Syajaratul Arsyadiyah, Mathba’ah Ahmadiyah Singapura,
oleh Abd Rahman Shiddiq (Tuan Guru Sapat, Mufti Kesultanan Indragiri) Cetakan I. Tahun 1356 H. (2). Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari Pengarang Sabilal Muhtadin, oleh Abdullah Hj W. Moh. Shagir, Khazanah Fathaniyah, Kuala Lumpur, Tahun 1990. (3). Maulana Syeik Muhammad Arsyad Al Banjari, oleh Abu Daudi, Dalam Pagar, Martapura. Cetakan Tahun 1980, 1996, dan 2003. — Saya tidak membaca langsung dari ketiga kitab tersebut, hanya menyalin dari Wikipedia —
[2] Tanpa Nama, Silsilah Siti Fatimah (Salatiga: tanpa penerbit, 1992) 1. Dalam “THE INFLUENCE OF MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI ON THE RELIGIOSITY OF BANJARESE SOCIETY” oleh M. Rusydi (Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

sumber :putra blog martapura

Rabu, 12 September 2012

Habib Hamid Naufal bin Alwy Al-Kaf: Menggemakan Maulid di Masjid Raya Bandung


www.majalah-alkisah.com”Lazimkanlah olehmu Kitabullah, sunnah Nabimu, serta berjalanlah engkau di jalan para pendahulumu, niscaya engkau akan beroleh hidayah dari Allah SWT.”


Putra pasangan Habib Alwi bin Ahmad Al-Kaf dan Syarifah Atikah binti Hamid bin Ahmad Al-Kaf ini punya gebrakan dakwah yang patut mendapat apresiasi: menggelar majelis Maulid Nabi SAW di Masjid Raya Bandung. Betapa tidak, langkahnya ini mungkin terasa berat, mengingat komunitas masyarakat di kota itu yang tidak seberapa familiar dengan amaliah semacam mengadakan Maulid, membaca ratib, dan semacamnya.

Tahun ini, sudah yang keempat kalinya ia berhasil menggemakan Simthud Durar di masjid kebanggaan masyarakat kota Bandung itu. Alhamdulillah, gebrakannya itu lambat laun mendapat sambutan dari berbagai pihak. Tidak hanya warga, bahkan juga sampai pihak pemerintahan kota. Aparat kepolisian setiap tahunnya juga berperan aktif dengan turut mengisi dan memeriahkan acara yang digelarnya.

Habib Naufal lahir di kota Palembang, 21 Januari 1979. Pendidikan awalnya diterimanya dari dalam keluarganya sendiri. Ayahnya mendidiknya dengan didikan dasar-dasar agama yang menjadi bekal baginya untuk melanjutkan pendidikan selanjutnya.

Memasuki usia sekolah ia masuk Madrasah Al-Haramain, yang kala itu diasuh Habib Novel bin Hamid Al-Kaf, yang masih terhitung pamannya sendiri, sepulangnya dari menuntut ilmu kepada Abuya Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki di kota Makkah. Sekarang, Habib Novel sendiri telah berdomisili di Sukabumi, menjadi pengasuh pesantren yang didirikannya, Darul Habib, di Parung Kuda, Sukabumi.

Usai menuntaskan pendidikannya di Madrasah Diniyah Al-Haramain, Palembang, sambil ikut bantu-bantu mengajar di sana, Habib Naufal menimba ilmu kepada Habib Muhammad bin Ahmad Al-Habsyi, yang kini menjadi pengasuh lembaga dakwah Al-Mawarid. Ia juga mengaji kepada kakak Habib Muhammad, yaitu Habib Ali bin Ahmad, yang di kemudian hari menjadi mertuanya.

Tahun 1997 ia memutuskan untuk hijrah ke Pulau Jawa. Awalnya, ia tinggal di kota Tangerang, tempat ayahnya. Di sana ia mulai merintis dakwahnya dan di sana pula majelisnya pertama kali berdiri. Sekitar enam tahun kemudian ia memutuskan untuk pindah ke Cikupa, Bandung. Di sinilah awal mula langkah dakwahnya hingga saat ini.

Terbitnya Cahaya Keluhuran
Majelis yang diasuh Habib Naufal, yaitu Majelis Ilmu dan Dzikir Nur ‘Alawi, berdiri sejak tahun 1998 di Tangerang, Banten.

”Majelis ini didirikan oleh ayahanda Sayyidil Walid Alhabib Alwi bin Ahmad Alkaff,” tutur Habib Hamid.

Bersama sang ayah, lewat Nur ’Alawi, ia pun membaktikan dirinya dalam medan dakwah.

Didirikannya Nur ‘Alawi tak lepas dari pandangan sang ayah, dirinya, serta sejumlah muhibbin yang dekat dengan dirinya saat melihat kerusakan moral dan akhlaq para pemuda di tempat hijrahnya itu. ”Mereka condong kepada hal-hal yang diharamkan agama, seperti minum minuman keras, berjudi…,” ujar Habib Naufal.

Melihat pemandangan yang sedemikian itu, ayah Habib Naufal berinisiatif mendirikan majelis ilmu. Dan setelah mendapat isyarah dari beberapa sesepuh dari kalangan habaib, didirikanlah Majelis Ta’lim Nur ‘Alawi, yang tepatnya berdomisili di wilayah Teluknaga, Tangerang.

Saat ditanya mengapa majelisnya ini dinamakan Nur ‘Alawy, Habib Naufal menjawab, “Nur dalam bahasa Arab bermakna ‘cahaya’, sementara ‘Alawiy dari kata ‘ulu, yaitu tinggi atau luhur. ‘Alawy juga bisa diartikan orang yang bernisbat kepada Ali. ’Alawy pun berarti anak-cucu ’Alwiy bin ’Ubaydillah, leluhur kaum Alawiyyin, yang dimakamkan di kota Hadhramaut, yang menjadi kakek moyang habaib. Kepada Alwi bin Ubaidillah inilah dinisbahkan keluarga Ba'alwiy atau Bani ’Alawy, anak keturunan Sayyidina Husain bin Ali yang masuk ke Hadhramaut.”-

Cabang di Beberapa Kota
Awalnya, majelis hanya dihadiri sekitar empat atauwww.majalah-alkisah.com lima orang. Lambat laun, karena dakwah yang mengedepankan perilaku yang baik dan akhlaq mulia, simpati masyarakat pun mulai berdatangan.

Saat pertama kali berdiri, majelis hanya membuka kegiatan ta’lim sekali dalam sepekan. Isinya pun hanya pembacaan ratib, Maulid, dan penyampaian taushiyah. Namun, melihat antusiasme masyarakat yang semakin kuat, Majelis Ta’lim Nur Alawiy kemudian secara bertahap mengadakan majelis harian, mingguan, dan bulanan. MT Nur ’Alawy juga mengadakan peringatan-peringatan hari-hari besar Islam.

Majelis rutin harian yang diadakan Nur ’Alawy adalah, setelah shalat Maghrib berjama’ah pembacaan Ratib Al-Aththas, kemudian Ratib Al-Haddad setelah shalat Isya, lalu taushiyah. Demikian pula majelis mingguannya, yang diadakan setiap malam Jum’at, juga dibacakan ratib, Maulid Nabi, dan penyampaian taushiyah.

Sementara pada majelis bulanan, yang diadakan setiap tanggal 10, dibacakan Maulid dan pengajian kitab kuning, yang biasanya dihadiri habaib dan ulama dari dalam atau luar Tangerang.
Seiring berjalannya waktu, alhamdulillah, bahkan tidak sedikit nonmuslim yang kemudian masuk Islam dan nyantri di Majelis Ta’lim Nur 'Alawiy.

Para santri Nur ‘Alawy, selain belajar dan menghafal kitab seperti Safinatunnajah dan belajar bahasa Arab,juga dididik dengan akhlaqul karimah. Diharapkan, kelak mereka tidak keluar dari majelis itu kecuali dengan iringan ilmu dan amal.

Kemudian, Nur 'Alawiy pun mulai membuka majelis bagi pemudi dan ibu-ibu, yang diberi nama “Al-Mar’atussolihah”, yang dipimpin oleh Ummi Syarifah, ibunda Habib Naufal.

Selain itu, di bawah asuhan Habib Naufal, Majelis Ta’lim Nur ‘Alawiy juga terus membuka cabang di berbagai daerah, seperti di Cikupa, Karawaci, Kampung Besar, Tangerang, sampai akhirnya pada tahun 2004 putra tertua Habib Alwiy ini menetap di daerah Bandung sekaligus menjadikan kota Bandung sebagai pusat Majelis Ta’lim Nur 'Alawiy,

Kini, untuk wilayah Tangerang, Bandung, dan sekitarnya, nama Majelis Ta’lim Nur ‘Alawiy semakin dikenal luas. Puluhan masjid di kota Bandung menjadi ramai dengan aktivitas majelis ini, khususnya Masjid Raya Bandung. Aktivitas majelis ini bahkan telah sampai ke daerah Garut, Tasikmalaya, dan sekitarnya.

Memungkasi penuturannya kepada alKisah, ayah Athiyaul Haniyyah dan Maryam Zainab Labibah, hasil pernikahannya dengan Syarifah Lulu binti Ali Al-Habsyi, ini mengutip perkataan Al-Imam Al-Haddad, “Lazimkanlah olehmu Kitabullah, sunnah Nabimu, serta berjalanlah engkau di jalan para pendahulumu, niscaya engkau akan beroleh hidayah dari Allah SWT.”

Ketiga hal yang disebutkannya itu memang harus ada dalam diri setiap muslim. Dan ketiga hal itu pula yang menjadi landasan bagi Majelis Ta’lim Nur ’Alawy dalam sepak terjang dakwahnya selama ini.

Pangeran Diponegoro, Singa Jawa dari Keraton Yogjakarta

Ia seorang Mujahid keturunan Raja Yogjakarta. Seluruh nafas kehidupannya diabadikan untuk kemerdekaan Tanah Jawa, dengan bersendikan ajaran agama Islam.
pangeran-diponegoroTegalrejo 29 Juli 1825. di bawah pimpinan Chevallier pasukan gabungan Belanda dan orang-orang patih Darurejo IV menyerbu laskar-laskar Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo, sebuah desa kecil yang terletak di barat laut Keraton Yogjakarta. Dentuman meriam dan bunyi letupan senapan membahana di seluruh penjuru desa.
Menghadapi serangan itu, kedua Pangeran bersama laskarnya segera menyingkir ke tempat yang lebih aman. Mereka menyadari, perang di medan yang amat sempit tidak menguntungkannya. Pangeran Diponegoro akhirnya memilih tempat yang lebih strategis untuk basis peperangannya di bukit Selangor, sebuah tempat yang dikelilingi lembah , benteng-benteng alam dan Gua, yang biasa dipergunakan bertapa. Tempat itu terletak 10 Km di sebelah barat daya kota Yogjakarta. Sedangkan keluarganya diungsikan ke desa Dekso.
Di lain pihak, Chevallier terus melancarkan serangan dahsyat dengan mengerahkan seluruh pasukan dan persenjataan yang dimiliki. Alhasil, Chavalier dalam waktu singkat mampu menguasai Tegalrejo. Sayangnya, Tegalrejo telah kosong melompong. Bakar…. Bakar saja rumah Diponegoro sampai habis! Seru Chavalier di tengah kemarahan dan kedongkolan hatinya karena buruannya telah kabur.
Tanpa membuang waktu lagi, tentara gabungan itu membakar rumah Diponegoro dan puluhan rumah lain di sisi kanan kirinya. Dari kejauhan, di balik bukit terjal, di atas Kuda Getayu, Pangeran Diponegoro bersama Pangeran Mangkubumi beserta seluruh anggota laskarnya menyaksikan dengan sedih pembumihangusan puluhan rumah tersebut.
Sebaliknya berita penyerangan Belanda ke Tegalrejo cepat menjalar ke seluruh pelosok Yogjakarta dan Surakarta. Sebagian besar rakyat tanpa dikomando berduyun-duyun datang ke Selangor lengkap dengan persenjataannya. Dari Surakarta, datang ulama Bayat, dan laskar-laskar yang di komandoi oleh Kyai Mojo dan Tumenggung Prawirodigdoyo. Dari kesultanan Yogjakarta, tidak kurang 74 bangsawan akhirnya menggabungkan diri dengan pasukan Diponegoro di Selangor. Diantara kerumunan Bangsawan itu, terdapat Sentot Prawirodirjo, seorang Senopati muda yang belum berusia 18 tahun, putra Raden Ronggo Prawirodirjo III. Seperti halnya sang ayah, Sentot kemudian tampil sebagai pejuang besar yang sangat di takuti pihak Belanda.
Propaganda perang melawan bangsa kafir segara dilakukan di mana-mana, di Yogjakarta, Jayanegara segera membuat surat edaran untuk seluruh rakyat Mataram. Isinya mengajak berjuang bersama Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi mengusir kaum penjajah Kafir Belanda. Di wilayah luar Yogjakarta, seperti Kedu, Banyumas dan sekitarnya, ajakan jihad fi sabilillah di sampaikan oleh Kyai Kasan Besari yang disambut rakyat dengan gegap gempita.
Sesuai dengan saran Sinuhun Paku Buwono VI, laskar-laskar Diponegoro menggunakan taktik dan strategi perang “Dhedhemitan” alias “Gebag ancat nrabas geblas”. Menyerbu secara tiba-tiba dan kemudian dengan cepat menghilang dibalik hutan-hutan, Gua, Bukit, atau kegelapan malam.
Rupanya taktik dan perang anggota laskar Diponegoro sangat menakutkan pihak Belanda. Tidak mengherankan, bila pada tahun-tahun pertama pihak Belanda kewalahan dan banyak mengalami kekalahan.
Kemenangan pertama Pangeran Diponegoro dan laskarnya didapat di desa Pisangan, perbatasan Muntilan dan Yogjakarta. Laskar Diponegoro yang dipimpin oleh Mulyo Santiko dengan gagah berani mencegah iring-iringan pasukan Belanda yang berjumlah sekitar 120 orang yang berusaha masuk ke Yogjakarta. Mereka berhasil menghancurkan seluruh pasukan Belanda itu. Uang sebesar 50.000 gulden dapat dirampas berikut alat-alat perangnya. Kemenangan pertama ini segera di ikuti oleh kemenangan-kemenangan berikutnya. Pada 6 Agustus 1825, pasukan Diponegoro yang dipimpin para panglimanya yang gagah berani berhasil menghancurkan markas Belanda di Pacitan, menyusul kemudian Purwodadi.
Kemenangan demi kemenangan tentu saja dapat mengobarkan semangat rakyat untuk bersama-sama bangkit melawan Kafir Belanda. Perangpun makin meluas, dinatarnya sampai ke Banyumas, Pekalongan, Semarang, Rembang dan Madiun.
Kekalahan beruntun yang dialami Belanda, memaksa Gubernur Jenderal Hindia Belanda segera mengirim Letnan Jenderal Markus De Kock ke Jawa Tengah sebagai panglima angkatan perang Belanda. Jenderal De Kock mendapat kekuasaan untuk menjalankan segala tindakan dalam menangani peperangan.
Jenderal De Kock dengan licik segera menybarkan politik pecah belah, dan mengadu domba. Ia segera menemui dan memaksa Sunan Pukubuwono VI, dan Mangkunegoro II, dan Paku Alam I agar bersedia membantu Belanda. Ia juga mengerahkan bantuan pasukan pribumi itu untuk menggempur markas pasukan Diponegoro di Selarong. Namun, beruntung gerakan pasukan gabungan ini sudah dapat di ketahui oleh mata-mata Pangeran Diponegoro. Semua laskar dan pimpinnanya segera bersembunyi. Akibatnya, ketika pasukan Belanda menguasai Selarong pada malam hari, mereka hanya menemukan bukit dan Gua yang sudah kosong. Pasukan Belanda pun mundur dan kembali pulang dengan tangan hampa.
Tidak beberapa lama tentara Belanda pulang, malam itu juga Pangeran Diponegoro segera mengadakan pertemuan dengan para Senopatinya. Mereka membahas untuk segera memindahkan markasnya di Selarong. Semua sepakat. Desa Deksa yang jaraknya sekitar 23 Km dari Yogjakarta dijadikan markas baru.
Pertempuran kembali berkobar diseluruh Mataram. Hasilnya pada Januari 1826 Pangeran Diponegoro berhasil merebut dan menguasai daerah Imogiri dan Pleret, di susul daerah Lengkong, Kasuran dan Delangu.
Bagi pihak Belanda, kekalahan beruntun itu justru membuat Jenderal De Kock makin nekad. Ia mengajukan permohonan kepada pemerintah pusat Belanda untuk menambah anggaran perang. Anggaran itu rencananya untuk membuat benteng Stelsel. Tujuannya untuk mempersempit ruang gerak Pasukan Diponegoro di daearh-daerah yang di kuasai Belanda. Pelaksanaan benteng Stelsel juga dimaksudkan untuk mengadakan tekanan kepada Pangeran Diponegoro agar bersedia menghentikan peperangan.
Di wilayah Mataram kemudian muncul benteng-benteng Belanda yang kukuh, seperti di Bantul, Paluwatu, Pasargede, Jatinom, dan Delangu. Tidak kurang dari 165 buah benteng telah di dirikan Belanda untuk mempersempit ruang gerak pasukan Pangeran Diponegoro. Tekanan dari Belanda ini masih ditambah dengan adanya Bupati-bupati daerah yang memihak kepada Belanda, sehingga sangat menyulitkan komunikasi laskar Diponegoro antar daerah. Akibatnya, perlawanan itu menjadi mudah dipatahkan oleh pasukan Belanda. Pasukan Bulkiyo mulai menghadapi masa-masa sulit.
Di tengah kesulitan itu, Pangeran Diponegoro mengumpulkan para sesepuh dan Senopati membahas perkembangan dan situasi di medan perang. Pertemuan itu dilakukan di pesanggrahan Bagelan. Hasilnya mereka tetap melanjutkan perjuangan sampai kemerdekaan bumi tanah Jawa tercapai. Akibatnya, tidak sedikit laskar Pengeran Diponegoro yang gugur. Pangeran Kusumowijoyo yang mengobarkan pertempuran di Keraton Surakarta, akhirnya gugur di Lembah Kali Serang. Ia kemudian dikenal dengan nama Pangeran Serang, dan istrinya Raden Ajeng Kusriyah juga gugur di Dekso, Kulon Progo. Tidak berapa lama kemudian, gugur pula Tumenggung Prawirodigdoyo dari Gagatan. Ia gugur di medan tempur Klengkong saat memimpin 100 prajuritnya melawan tentara Belanda yang jumlahnya berlipat-lipat dengan dukungan meriam dan senjata laras panjang.
Belum lagi hilang rasa duka, kabar yang mengejutkan menyusul, Gusti Pangeran Notodiningrat bersama istri dan ibundanya dan tidak kurang dari 200 pengikutnya menyerah kepada Belanda di Yogjakarta. Dengan keberhasilan Belanda mempengaruhi Pangeran Notodiningrat Jenderal De Kock semakin gila mendekati pemimpin-pemimpin laskar Pangeran Diponegoro. Ia menjanjikan kedudukan dan hadiah-hadiah berlimpah bila mau menyerah dan mendukung Belanda. Satu bulan kemudian, Belanda kembali berhasil membujuk salah seorang panglima laskar Diponegoro, yaitu Pangeran Arya Papak dan Tumenggung Ario Sosrodilogo.
Kiai Mojo yang menjadi tulang punggung kekuatan pasukan perang Pangeran Diponegoro, akhirnya juga menyerah kepada pasukan Belanda. Menyerahnya Kiai Mojo merupakan pukulan berat bagi Pangeran Diponegoro dan laskar-laskarnya. Tetapi Pangeran Diponegoro bertekad untuk tidak menyerah dan tetap mengobarkan perlawanan.
Pada 20 Desember 1828, Laskar Pangeran Diponegoro segera melancarkan serangan dahsyat terhadap markas Belanda di Nanggulan. Dalam pertempuran itu Kapten Van Inge tewas, sedang dari pihak pasukan Diponegoro keilangan Senopatinya yang gagah berani, Pangeran Prangwedono.
Berita hancurnya benteng Nanggulan, membuat jenderal De Kock semakin ketakutan, sebab ia selalu melihat sosok Senopati Sentot sebagai momok yang sangat berbahaya. Karena jenderal De Kock terus berupaya membujuk Sentot dengan berbagai cara agar mau menyerah. Tapi, Senopati muda itu tetap menolaknya. Belum berhasil membujuk Sentot, ia berhasil memperalat dan menekan Pangeran Ario Prawirodiningrat, Bupati Madiun, untuk menyerah. Sebabnya, jika tidak mau menyerah taruhannya adalah nyawa sepupunya.
Setelah Pangeran Ario Prawirodiningrat menyerah, menyusul Sentot Prawirodirjo dan Pangeran Mangkubumi. Menyerahnya dua Pangeran yang gagah berani ini membuat Pangeran Diponegoro kembali terpukul telak dan membawa beban moral, tidak hanya dalam dirinya, tetapi juga kepada seluruh prajurit Bulkiyo. Belum lagi batin Pangeran Diponegoro sembuh di akhir tahun 1829, satu persatu Senopati daerah menyusul jejak Senopati Sentot dan Pangeran Mangkubumi, antara lain, Pangeran Ario Suriokusumo, Kerto Pengalasan, pahlawan medan tempur Pleret, dan Pangeran Joyosudirjo
Rupanyan Pangeran Diponegoro tak bergeming, meski hatinya tertekan, ia tetap melanjutkan perjuangannya dan tetap menaruh kepercayaan atas kesetiaan rakyat Bagelan, Banyumas, dan Kedu. Usaha Jenderal De Kock untuk mempercepat peperangan rupanya tidak berhasil. Meski jauh sebelumnya Jenderal ini sudah menjanjikan 20.000 ringgit kepada siapa saja yang sanggup menagkap hidup atau mati Pangeran Diponegoro. Segenap rakyat dan laskar-laskar Pangeran Diponegoro tidak mau mengkhianati pemimpin yang agung ini.
Tapi, Jenderal De Kock tidak putus asa, melalui Kolonel Cleerrens, akhirnya bisa membujuk putra Pangeran Diponegoro, yaitu Pangeran Dipokusumu, untuk menyerah. Penyerahan putra kesayangannya itu benar-benar membuat Pangeran Diponegoro terluka. Maka pada bulan Februari 1830, ketika Kolonel Cleerens menawarkan jalan perundingan, terpaksa Pangeran Diponegoro menerimanya dengan berat hati. Dua musuh bebuyutan inipun bertemu di Remo Kamal, Bagelan, Purworejo, pada tanggal 16 Februari 1830. Cleerens kemudian mengusulkan agar kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di kaki bukit Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal markus De Kock dari Batavia.
Dengan janji tidak dikhianati, Pangeran Diponegoro bersedia mengadakan perundingan. Pada bulan Maret 1830, ia dengan pasukannya tiba di tempat perundingan, dirumah Residen Magelang. Bersama Kolonel Cleerens, Pangeran Diponegoro menuju ruang kerja Jenderal De Kock. Beberapa putra Diponegoro dan perwira Belanda ikut menyaksikan jalannya perundingan tingkat tinggi tersebut.
Sekitar dua jam sudah perundingan berlangsung, tapi belum membuahkan hasil. Berkali-kali Jenderal De Kock mencoba membujuk agara Pangeran Diponegoro mengurangi tuntutannya. Tapi Pangeran Diponegoro tetap teguh pada pendiriannya. Mendirikan sebuah Negara merdeka yang bersendikan agama Islam. Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, apabila perundingan menemui jalan buntu, Pangeran Diponegoro boleh meninggalkan ruangan itu dengan bebas. Tapi kenyataannya, Jenderal De Kock curang, “Tangkap tangkap Diponegoro dan semua pengikutnya”, teriak De Kock kepada pasukannya sambil menodongkan pistol kearah Pangeran Diponegoro. Sejurus kemudian, Pangeran Diponegoro beserta para pengikutnya ditangkap dan dijebloskan dalam sebuah penjara yang amat pengap.

Iskandar Zulkarnain, Sang Penakluk Yang Saleh

Sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepadanya di muka bumi, dan kami telah memberikannya jalan untuk mencapai sesuatu.

Dialah Raja Muslim yang sangat berkuasa namun saleh. Daerah taklukannya membentang dari bumi bagian barat sampai timur. Ia mendapat julukan Iskandar “Zulkarnain”. “Zul”, artinya “memiliki”, Qarnain, artinya “Dua Tanduk”. Maksudnya, Iskandar yang memiliki kekuasaan antara timur dan barat.
Dia juga telah membangun dinding besar berteknologi tinggi untuk ukuran saat itu, diantara dua Gunung. Para ahli sejarah meyakini, dinding tersebut terbuat dari besi yang dicampur dengan tembaga itu terletak tepat di pengunungan Kaukasus. Daerah itu kini disebut  Georgia, negara pecahan Uni Soviet.
Secara topografis, deretan pegunungan Kaukasus itu memang terlihat memanjang dari laut Hitam sampai ke laut Kaspia sepanjang 1.200 kilometer tanpa celah. Kecuali pada bagian kecil sempit yang disebut celah Darial sepanjang 100 Meter kurang lebih. Pada bagian celah itulah Zulkarnain membangun tembok penghalang dari Ya’juj dan Ma’juj.
Kisah ketokohan Iskandar Zulkarnain ini juga tertulis dalam catatan sejarah orang-orang barat. Dalam catatan tersebut diceritakan bagaimana ia berjaya meluaskan daerah taklukannya dalam masa yang sangat singkat. Oleh karena kejayaannya ini, ia diberi gelar “Alexander The Great”, Alexander Yang Agung”. Belakangan cerita ini diadaptasi ke film layar lebar oleh Sutradara Amerika Serikat, Oliver Stone, dengan judul Alexander The Great.
Namun cerita dari orang-orang barat tersebut sangat bertentangan dengan yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Para Mufasir menyatakan, “Alexander The Great” adalah orang yang berbeda dengan tokoh yang di tulis dalam Al-Qur’an, Yakni, Iskandar Zulkarnain. Alexander Thr Great itu dalam sejarahnya tidak diberitakan pernah membangun sebuah dinding besar berteknologi tinggi untuk ukuran saat itu, yang terbuat dari besi dicampur tembaga. Bahkan, ia adalah seorang musyrik. Sejarah tidak mencatatnya sebagai seorang Raja Muslim yang taat kepada agama Tauhid.
Sejarawan Muslim yang juga ahli tafsir, Ibnu Katsir, dalam kitabnya Al-Bidayah Wan Nihayah menjelaskan, meski punya nama yang sama dan plot cerita yang sama, yaitu kekuasaannya membentang dari Barat sampai ke Timur, keduanya adalah sosok yang berbeda. Antara mereka terbentang jarak dan waktu sampai 2000 tahun. “Hanya mereka yang tidak mengerti sejarah yang bisa terkecoh oleh identitas kedua orang itu,” katanya.
Ibnu Katsir lebih jauh menjelaskan, Zulkarnain adalah nama gelar atau julukan seorang penglima penakluk sekaligus Raja saleh. Karena kesalehannya ia selalu mengajak manusia untuk menyembah Allah. Namun mereka ingkar, malah memukul tanduknya – Qarnun, yaitu rambut kepala yang di ikat – sebelah kanan, hingga ia mati. Lalu Allah menghidupkannya kembali, dan ia pun kembali berdakwah. Tetapi sekali lagi tanduknya yang kiri dipukul, sehingga ia mati lagi. Allah SWT menghidupkannya kembali dan menjulukinya Zulkarnain, pemilik duaTanduk, serta memberinya kekuasaan.
Cerita yang sama juga di jumpai dalam kitab Jami Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, karangan Syekh Al-Aiji Asy-Syafi’i. Dalam kitab tersebut disebutkan, Zulkarnain adalah seorang hamba yang taat kepada Allah dan mengajak kaumnya menyembah Allah. Lalu mereka memukul tanduknya yang kanan hingga mati. Kemudian Allah menghidupkannya lagi, dan dia kembali mengajak kaumnya mengesakan Allah. Tetapi mereka malah memukul tanduknya yang kiri hingga mati lagi. Lalu Allah menghidupkannya lagi dan menganugrahinya kekuasaan yang tak tertandingi. Oleh karena itu ia dijuluki Zulkarnain.
Di samping kedua kitab tersebut, Mufassir Muslim Ibnu Jarir Ath-Thabari juga mengisahkannya dalam kitab tafsir Ath-Thabari. Dikatakan, Iskandar Zulkarnain adalah seorang laki-laki yang berasal dari Romawi, ia anak tunggal seorang yang paling miskin diantara penduduk kota. Namun dalam pergaulan sehari-hari, ia hidup dalam lingkungan kerajaan, bergaul dengan para perwira dan berkawan dengan wanita-wanita yang baik dan berbudi serta berakhlak mulia.
Imam Al-Qurtubi dalam kitab tafsir Al-Qur’annya yang populer, Tafsir Al-Qurtubi, menceritakan, sejak masih kecil dan masa pertumbuhannya Iskandar berakhlak mulia. Melakukan hal-hal yang baik sehingga terangkat nama baiknya. Ia juga menjadi mulia di kalangan kaumnya, sehingga Allah berkenan memberinya kewibawaan.
Setelah mencapai usia akil balig, Iskandar menjadi seorang hamba yang saleh, sehingga Allah Berfirman, “Wahai Zulkarnain, Sesungguhnya aku mengutusmu kepada umat-umat di bumi. Mereka adalah umat yang berbeda-beda bahasanya dan mereka adalah umat yang berada disegala penjuru bumi. Mereka terbagi dalam beberapa golongan.”
Mendapat amanat tersebut, Zulkarnain lalu berkata, “Wahai Tuhanku, Engkau telah menugasiku melakukan seuatu hal yang aku tidak kuasa melakukannya kecuali engkau  sendiri, maka beritahukan kepadaku tentang umat-umat itu, dengan kekuatan apa aku bisa melawan mereka? Dengan kesabaran apa aku bisa menahan mereka? Dan dengan bahasa apa aku harus bicara dengan mereka? Bagaimana pula aku bisa memahami bahasa mereka sedangkan aku tidak mempunyai kemampuan.”
Kemudian Allah SWT berfirman”Aku membebanimu sesuatu yang kamu mampu melakukannya, aku akan melapangkan pendengaran dan dadamu hingga kamu bisa mendengar dan memperhatikan segala sesuatu. Memudahkan pemahamanmu sehingga kamu bisa memahami segala sesuatu, meudahkan lidahmu, hingga kamu bisa berbicara tentang sesuatu, membukakan penglihatanmu, sehingga kamu bisa melihat segala sesuatu, melipatgandakan kekuatanmu hingga tak terkalahkan oleh sesuatu apapun, menyingsingkan lenganmu, hingga tidak ada sesuatupun yang berani meyerangmu,  menguatkan hatimu, hingga kamu tidak takut pada apapun, menguatkan kedua tanganmu hingga kamu bisa menguasai segala sesuatu, menguatkan pijakanmu hingga kamu bisa mengatasi segala sesuatu, memberimu kemuliaan hingga tidak ada apapun yang menakutimu, menundukkan untukmu cahaya dan kegelapan dan menjadikan salah satu tentaramu. Cahaya itu akan menjadi petunjuk di depanmu, dan kegelapan itu akan berkeliling di belakangmu.

Alexander Yang Agung, Penyatuan Timur dan Barat

Sejak kecil, Iskandar sudah tidak senang melihat peperangan antara timur, yaitu kerajaan Persia, dan Barat, Kerajaan Romawi. Perang itu tak ada hentinya dari tahun ke tahun, malah dari abad ke abad. Ribuan manusia tewas, kerugian harta benda tak terhitung lagi jumlahnya, apalagi kerusakan lingkungan hidup, merugikan manusia itu sendiri.
Untuk menghentikan permusuhan antara timur dan barat, Iskandar bercita-cita mendirikan sebuah kerajaan yang dapat menyatukan wilayah timur dan barat.
Iskandar pun tumbuh menjadi manusia dewasa yang saleh, berakhlak dan berbudi tinggi. Atas segala kesalehannya itu, Allah mengaruniakan kepadanya segala kelebihan yang dimiliki oleh seorang pemimpin, lalu Allah memerintahkan untuk menyeru manusia kepada agama tauhid.
Mula-mula dengan tentaranya yang lengkap dan kuat, dia menuju ke barat wilaya Maroko, tempat terbenamnya matahari. Dilihatnya matahari itu terbenam di mata air yang berlumpur, lautan Atlantik sekarang ini.
Di situ ia bertemu dengan bangsa yang senantiasa berbuat kerusakan dan kejahatan. Bukan saja merusak permukaan bumi dan mengacaukannya, tetapi juga sudah menjadi tabiat mereka suka membunuh orang-orang yang tidak bersalah sekalipun. Bahkan mereka tidak beragama.
Sebelum melakukan tindakan, terlebih dahulu Iskandar menadahkan tangannya ke langit, memohon petunjuk kepada Allah, tindakan apa sebaiknya yang harus dilakukan terhadap bangsa yang begitu kejam, apakah bangsa itu akan digempurnya habis-habisan, atau akan dibiarkan begitu saja?
Allah lalu memberinya dua pilihan: digempur habis-habisan sebagai balasan atas kekejaman mereka, atau di ajar dan didik agar mereka kembali kepada kebenaran dan menyembah Allah serta meninggalkan segala kejahatan.
Iskandar Zulkarnain memutuskan menggempur mereka yang durhaka dan jahat, sedangkan orang yang baik akan dilindungi. Sebelumnya ia berkata kepada bangsa tersebut, “Siapa yang aniaya, akan kami siksa dan dikembalikan kepada Tuhan, agar Tuhan memberikan siksa yang lebih pedih lagi. Adapun orang-orang yang saleh dan baik, akan kami lindungi, dan kepadanya kami hanya akan memerintahkan kewajiban-kewajiban yang ringan.”
Kemudian tentaranya bergerak menewaskan setiap orang yang kejam, melindungi setiap orang yang baik. Akhirnya negeri itu dapat diamankan dan di tentramkan serta di atur sebaik-sebaiknya, penuh dengan kehidupan bahagia dan makmur,
Setelah selesai menunaikan kewajiban terhadap bangsa dan negeri itu, Iskandar dengan tentaranya menuju ke arah timur, India. Dilihatnya matahari di atas bangsa yang musyrik, yang menyembah banyak tuhan, yaitu bangsa Hindustan.
Bangsa dan negeri itu pun dapat ditaklukkan, diamankan dan ditentramkannya, serta diatur sebaik-baiknya sehingga setiap orang dapat merasakan hidup aman, tentram dan bahagia. Bangsa itu juga dapat dikeluarkan dari lembah kesesatan.
Selesailah sudah kewajibannya terhadap bangsa dan negeri itu. Ia lalu menuju ke utara, negeri Armenia, melalui Persia dan Azarbaijan. Kemenangan demi kemenangan dicapainya selama dalam perjalanan itu, akhirnya sampailah di suatu tempat, di sana ia bertemu dengan suatu bangsa yang selalu dalam ketakutan dan ke khawatiran, karena ternyata negeri itu berbatasan dengan bangsa Ya’juj dan Ma’juj yang terkenal kuat dan kejam. Bukan sekali dua kali saja, tetapi seringkali bangsa Ya’juj dan Ma;juj itu datang menyerang mereka, menghancurkan apa saja yang didapatinya dan membunuh siapa saja yang dijumpainya.
Kedatangan Iskandar ini, mereka sambut dengan segala kehormatan dan kegembiraan, karena mereka tahu dari kabar yang beredar bahwa Iskandar adalah Raja yang kuat dan paling adil di muka bumi ini.
Lalu mereka meminta bantuan kepada Iskandar, agar dilindungi dari serangan Ya’juj dan Ma’juj. Mereka memohon supaya antara negeri mereka dan negeri Ya’juj dan Ma’juj dibangun dinding raksasa yang tidak dapat ditembus. Sebagai imbalannya mereka sanggup membayar mahal Iskandar.
Mendengar permohonan itu, Iskandar Zulkarnain menjawab, “Saya tidak mengharapkan upah dari kalian, nikmat dan pemberian Tuhanku lebih berharga daripada upah itu. Hanya kepada kalian saya minta kaum pekerja dan alat-alatnya: besi, tembaga, arang batu dan kayu.”
Setelah semuanya terkumpul, ia mulai bekerja dengan bantuan para pekerja. Mula-mula menyalakan api dengan kayu dan arang batu, diambilnya besi, lalu dileburkannya dengan api, setelah besi itu mencair, dituangkannya tembaga, dan diaduk menjadi satu. Dengan bahan campuran inilah di dirikan dinding raksasa antara negeri itu dan negeri Ya’juj dan Ma’juj. Dinding besi raksasa itu tidak dapat di tembus dan di lubangi oleh siapapun dan oleh apapun.
“Dinding ini adalah rahmat dari Tuhan kepada kalian, hanya tuhanlah yang dapat menembus dinding ini, jika dikehendakinya,” kata Iskandar. Maka aman dan tentramlah negeri tersebut.
Iskandar Zulkarnain dapat menaklukkan negeri-negeri yang terbentang antara timur dan barat. Dengan demikian cita-citanya untuk mempersatukan kerajaan di timur dan barat tercapai. Negeri yang berada di bawah kekuasaannya, antara lain Maroko, Romawi, Yunani, Mesir, Persia dan India.
Berkat ilmu dan pengetahuannya yang luas, serta dasar ketuhanan yang selalu dipagang teguh dalam mendirikan kerajaan yang besar itu. Penduduknya hidup dengan aman, tentrem dan makmur. Kebesaran dan kejayaan itu tidak membuatnya buta dan lupa akan nikmat yang diberikan Allah SWT.

Ayat-ayat Al-Qur’an Tentang Zulkarnain (Bagian Ketiga)

Menurut Khair Ramdhan Yusuf, dalam bukunya Iskandar Zulkarnain, Panglima Perang, penakluk dan pemerintah yang saleh, kajian terperinci menurut Al-Qur’an, Sunah dan Sejarah, terbitan Malaysia, ada empat sosok yang berkaitan dengan nama Iskandar Zulkarnain. Yaitu, Iskandar Macedonia, Zulkarnain Al-Hamiri, Raja Himyar, seorang lelaki saleh pada zaman Nabi Ibrahim, dan Kursh Al-Akhmini Al-Farisi.
Kendati begitu kita dapat membaca dengan jelas kisah Iskandar Zulkarnain ini dalam Al-Qur’an Surah Al-Kahfi ayat 83 sampai 98, yang artinya, “Mereka akan bertanya kepadamu Muhammad, tentang Zulkarnain. Katakanlah, “Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya.”

“Sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepadanya di bumi, dan kami telah menberikan kepadanya jalan untuk mencapai segala sesuatu, maka ia pun menempuh jalan tersebut. Hingga apabila telah sampai ke tempat terbenamnya matahari, ia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan ia mendapatinya di situ segolongan umat”.

Kami berkata, “Hai Zulkarnain kamu boleh menyiksa atau berbuat kebaikan terhadap mereka.”
Berkata Zulkarnain, “Adapun orang yang aniaya, kami kelak akan mengazabnya, kemudian ia kembali kepada Tuhannya, lalu tuhan mengazabnya dengan azab yang tiada taranya. Adapun orang yang beriman dan beramal saleh, baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami titahkan kepadanya yang mudah dari perintah-perintah kami.”
Kemudian ia menempuh jalan lagi, hingga apabila telah sampai ke tempat terbitnya matahari ia mendapati matahari yang menyinari segolongan umat yang kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari matahari itu.”
Demikianlah, dan sesungguhnya ilmu kami meliputi segala apa yang ada padanya, Zulkarnain. Kemudian ia menempuh suatu jalan lagi, sehingga apabila telah sampai diantara dua buah gunung ia mendapati kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan.
Mereka berkata, “Hai, Zulkarnain sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?” Zulkarnain berkata, “apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi.”
Hingga ketika besi itu telah sama rata dengan kedua gunung itu, berkatalah Zulkarnain, “Tiuplah, dan katika besi itu sudah menjadi api, ia pun berkata, berilah aku tembaga untuk aku tuangkan ke atas besi panas itu.”
Maka mereka, Ya’juj dan Ma’juj tidak bisa mendakinya, dan mereka tidak bisa melubanginya.
Zulkarnain berkata, “Ini adalah rahmat dari Tuhanku. Maka apabila sudah datang janji tuhanku, dia akan menjadikannya hancur luluh, dan janji Tuhanku itu adalah benar.”

Zulkarnain, Nabi Ibrahim dan Nabi Khidir


Sungguhpun kekuasaan dan keperkasaannya tak tertandingi, akhlak dan hatinya selembut sutra, hingga karenanya ia mudah menyerap bukti kebenaran Ilahi. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, menceritakan, suatu ketika Iskandar Zulkarnain mendatangi suatu kaum yang tidak memiliki harta benda apapun yang bisa di nikmati. Lalu ia mengirim surat kepada Raja mereka dan berpesan agar Raja bersedia membalas suratnya.
Namun Raja itu menolak permintaan Zulkarnain, malah sebaliknya, ia berkata, jika Zulkarnain merasa ada kepentingan dengannya, sebaiknya dialah yang datang menemuinya.
Maka Zulkarnain pun pergi menemui Raja mareka, “Aku telah mengirimkan surat kepadamu dan memintamu datang kepadaku, tetapi kamu menolak, maka aku datang kepadamu,” kata Zulkarnain setelah sampai di istana Raja.
Sang Raja pun berkata, “Seandainya aku membutuhkanmu, aku pasti akan datang kepadamu.”
Sebagaimana jika aku melihatmu berada dalam suatu keadaan yang tak pernah dialami oleh siapapun?” tanya Zulkarnain.
“Apa itu?” sang Raja belik bertanya. “Kalian tidak memiliki harta dunia apapun. Kenapa kalian tidak memiliki emas dan perak hingga kalian bisa menikmatinya?” balas Zulkarnain.
“Tetapi kami membenci dua hal tersebut, karena seorang tidak mendapat apapun dari emas dan perak itu, kecuali hanya menginginkannya lebih dari itu,” jawab raja itu dengan tangkas.
Zulkarnain melanjutkan pertanyaannya, “Apa maksud kalian menggali kuburan lalu setelah itu kalian menjaganya, membersihkannya, dan sembahyang di sana?”
Raja itu kembali menjawab, “Kami ingin, jika kami memandang kuburan-kuburan itu dan mengharapkan dunia, kuburan-kuburan itu akan menghalangi kami dari harapan itu.”
Zulkarnain bertanya lagi, “Aku melihat kalian tidak memiliki makanan kecuali sayur sayuran, kenapa kalian tidak memiliki hewan ternak, hingga kalian dapat memerah susunya, menungganginya dan menikmatinya?”
Mereka menjawab, “Kami tidak suka menjadikan perut kami sebagai kuburan bagi binatang itu. Dan kami melihat di dalam tumbuh-tumbuhan itu faedah yang besar. Cukuplah anak adam memiliki kehidupan yang rendah karena makanan. Dan makanan apa saja yang melewati rahang bawah kami rasanya sama saja seperti makanan yang pernah kami makan sebelumnya.”
Setelah Zulkarnain meninggalkan raja itu dengan kagum dan menjadikan penjelasannya sebagai sebuah nasehat yang berharga.
Dalam setiap perjalananya, Zulkarnain selalu memperlakukan bangsa dan suku yang ditaklukkannya dengan amat baik dan santun. Tak mengherankan jika ia menuai kesuksesan dan selalu mendapatkan dukungan dari daerah yang telah di kuasainya.
Selain itu, Zulkarnain juga didampingi seorang penasihat kerajaan yang baik dan sangat luas pengetahuannya, yang tiada lain adalah Nabi Khidir AS.
Sebagian ulama menyebut, Allah SWT menurunkan wahyu kepada Nabi Khidir AS, lalu mengajarkan Wahyu tersebut kepada Zulkarnain.
Seorang mufassir lain, Al-Alusi, dalam kitab tafsirnya Ruhul Ma’ani, berkata, “Mungkin Khidir adalah salah satu pembesar kerajaan, seperti perdana mentrinya,  karena tidak tertutup kemungkinan bahwa Zulkarnain bermusyawarah dengan orang lain saat menghadapi suatu masalah. Sebab pada saat itu, istilah yang dikenal untuk menyebut orang pandai, termasuk Nabi, adalah “Ahli Hikmah”. selain itu, pada masa-masa dahulu, para Nabi juga sering disebut dengan istilah “Orang bijak,” atau “Hakim”.
Wahab bin Munabbah dalam kitabnya At-Tijan mengisahkan, pada suatu ketika Nabi Khidir AS berkata kepada Zulkarnain, Wahai Tuanku, tuan membawa suatu amanat yang seandainya diberikan kepada langit, langit itu akan runtuh, jika diberikan kepada Gunung, maka Gunung itu akan roboh, dan jika diberikan kepada Bumi, maka bumi itu akan terbelah. Tuanku telah diberi kesabaran dan kemenangan. Tuanku akan melihat suatu kaum yang menyembah sesama manusia dan mereka adalah musuh-musuh Allah, yaitu Ya’juj dan Ma’juj. Allah adalah penuntut tidak akan terkelabui oleh orang-orang yang melarikan diri, dan tidak akan dikalahkan oleh orang yang “Menang”.
Kata Nabi Khidir lagi, “Wahai tuanku, ambillah apa yang telah diberikan Allah SWT kepada tuan dengan keteguhan hati dan sungguh-sungguh. Jadikanlah kesabaran sebagai pakaian, kebenaran sebagai pegangan hidup, dan takut kepada Allah sebagai perlindungan yang menumbuhkan amal pada tuan, dan tuan akan tenang dari ketakutan akan datangnya ajal. Ambillah pedang Allah dengan tangan tuan, karena tidak ada orang yang dapat menolong dan tidak ada orang yang dapat mencegah kemenangan. Cukuplah bagi tuan, Allah sebagai penolong tuan.”
Dalam Almuhadlarah al-Awali, kitab yang dikutip Ibnu Katsir, disebutkan, suatu ketika Nabi Ibrahim AS bertemu dengan Zulkarnain di Mekah. Nabi Ibrahim Memeluk dan menjabat tangan Zulkarnain  serta memberinya bendera. Lalu ia mengikuti syariat yang dibawa oleh Nabi itu dan menyeru kepada manusia agar berpegang teguh pada syariat tersebut.
Hal ini dikuatkan kembali oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh salah seorang sahabat Nabi SAW, Ubaid bin Umair dan anaknya, Abdullah, yang menyatakan, selama masa jayanya, Iskandar Zulkarnain pernah melaksanakan haji dengan berjalan kaki. ketika Nabi Ibrahim mendengar berita tersebut, beliau menemuinya seraya menyeru kepada agama Tauhid dan memberikan beberapa nasehat. Nabi Ibrahim juga membawakan Zulkarnain seekor kuda agar dinaikinya. Akan tetapi Zulkarnain menolak, seraya berkata, “Saya tidak akan menaiki suatu kendaraan di suatu tempat yang di dalamnya ada Ibrahim Al-Khalil, yang dikasihi Allah.”

 

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons