Blog ini ditujukan kepada seluruh ummat Islam yang cinta kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Para Sahabat RA, Auliya', Habaib, Ulama', dan sejarah kebudayaan Islam.

Selasa, 31 Januari 2012

Drs. KH. Muhammad Zubaidi Muslich

Drs. KH. Muhammad Zubaidi Muslich dilahirkan di desa Parijatah Kulon, Dusun Melik, Kecamatan Serono, Kabupaten Banyuwangi, pada tanggal 1 Juni 1942. Beliau dilahirkan dalam lingkungan keluarga yang taat beragama dan memiliki semangat juang yang tinggi untuk menegakkan kebenaran dan menyebarkan agama Allah SWT.

1. Asal-usul

a. Jalur keturunan dari ayah

Asal-usul Drs. KH. M. Zubaidi Muslich dari jalur keturunan ayah ini dapat diketahui sampai pada buyut beliau. Yang mana leluhur beliau adalah golongan orang-orang yang fanatik dalam masalah agama, baik di lingkungan keluarga sendiri maupun lingkungan sekitarnya. Keluarga besar ini hampir seluruhnya adalah pemuka-pemuka agama atau berprofesi sebagai guru agama. Seperti halnya ayah beliau yang dikenal sebagai pendiri Pondok Pesantren Hidayatul Muta’alimin (tahun 1935).

Secara kronologis jalur dari sang ayah ini diawali dari buyut beliau yang bernama KH. Muhammad, beliau dikenal sebagai pemuka agama sekaligus pengajar yang dihormati dan ditaati oleh masyarakat. KH. Muhammad mempunyai anak bernama KH. Hanafi. Pada perkembangan selanjutnya KH. Hanafi lah yang kemudian meneruskan estafet perjuangan ayahnya, yaitu dalam membimbing, membina dan mengarahkan masyarakat pada kehidupan yang agamis. Kemudian KH. Hanafi mempunyai keturunan bernama KH. Muslich, yaitu ayah dari Drs. KH. M. Zubaidi Muslich. Mengikuti jejak ayah dan kakeknya, KH. Muslich juga dikenal sebagai orang yang disegani masyarakat dan pendiri dari Pondok Pesantren Hidayatul Muta’alimin.

Pada awalnya Pondok Pesantren Hidayatul Muta’alimin hanya sebuah padepokan dan tempat ibadah yang digunakan oleh KH. Muslich sebagai tempat mengaji dan mengajar agama untuk masyarakat setempat. Karena hari demi hari, bulan bahkan tahun demi tahun santri yang mengaji semakin bertambah. KH. Muslich bertekad dan berusaha mendirikan Pondok Pesantren untuk menampung santri-santri yang rumahnya jauh

Sebagai tokoh masyarakat dan pengasuh Pondok Pesantren, beliau mempunyai cita-cita agar Pondok Pesantren yang didirikannya dapat berkembang dan diteruskan oleh putra putrinya. Maka beliau memondokkan putra-putrinya agar mereka dapat menjadi kader-kader penerus perjuangannya dalam menegakkan dan menyebarkan agama Islam di masyarakat.

b. Jalur keturunan dari ibu

Asal-usul Drs. KH. M. Zubaidi Muslich dari jalur ibu ini sampai pada Pangeran Diponegoro bahkan ada percampuran dengan orang bugis, hanya saja beliau mengetahuinya sampai buyut saja.

Drs. K.H. M. Zubaidi Muslich mempunyai buyut bernama Sudarso. Beliau adalah orang yang sangat disegani dan terpandang karena beliau adalah tokoh dan pengajar di kalangan masyarakat. Beliau mempunyai anak bernama H. Toyyib. Sebagai seorang anak dari tokoh agama, ia sangat diperhatikan sekali masalah pendidikan agamanya, sehingga kelak ia menjadi anak yang sholeh dan menjadi penerus perjuangan ayahnya. Dari pendidikan agama yang diperolehnya dari ayah dan guru-guru beliau di Pondok Pesantren beliau tampil sebagai guru agama dan tokoh masyarakat. Dan satu hal lagi yang ada pada diri beliau, yaitu beliau memiliki keahlian dibidang ilmu kanuragan hanya saja tidak banyak orang yang tahu. Dari perkawinannya baliau mempunyai seorang putri bernama Hj. Walijah, yaitu ibunda Drs. K.H Zubaidi dan saudara-saudara kandung yang berjumlah 7 orang. diantara urut-urutan putra-putri dari pari perkawinan K.H. Muslich dengan Hj. Siti Walijah ini, yaitu :

1. Na’imah.
2. KH. Nizar, beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Hidayatul Muta’alimin dan pensiunan kepala KUA Banyuwangi.
3. Zarkasyi (Alm), beliau adalah seorang guru agama.
4. Drs. KH. M. Zubaidi Muslich, beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Mamba’ul Hikam Jombang.
5. Drs. KH. Baidlowi Muslich, beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Huda Gading, Malang dan menjabat sebagai
Ketua Majelis Ulama Indonesia Kota Malang.
6. Hunainah.
7. Muhtarom.

Dilihat dari kedua jalur keturunan ini, KH. M. Zubaidi Muslich adalah sosok yang dibesarkan dari lingkungan keluarga yang berjiwa juang dalam hal menegakkan dan menyiarkan agama Islam, baik mereka yang berkiprah di dunia pendidikan, pesantren, masyarakat maupun di lembaga-lembaga pendidikan formal.

2. Latar belakang pendidikan

a. Pendidikan Formal

Diantara pendidikan formal yang pernah beliau tempuh, yaitu:

1. Sekolah Rakyat (SR), pada tahun 1952
2. Setelah lulus dari sekolah rakyat beliau melanjutkan ke Sekolah Keguruan atau Pendidikan Guru Agama, pada tahun 1957
3. Setelah lulus dari sekolah keguruan, beliau melanjutkan ke Madrasah Aliyah Tebuireng-Jombang, pada tahun 1962
4. Setelah lulus dari Madrasah Aliyah, beliau melanjutkan kuliah di UNHASY (Universitas Hasyim Asy’ari, sekarang IKAHA atau I
nstitut KeIslaman Hasyim Asy’ari), pada tahun 1966-1971 dengan menyandang gelar sarjana muda.
5. Beliau kemudian mengikuti program kuliah Doktoral sebagai kelanjutan untuk mencapai kesarjanaan lengkap, pada tahun1989
dan berhasil diselesaikan pada tahun 1993.

b. Pendidikan Non-Formal

Sebagaimana yang telah dikemukakan, bahwa lingkungan keluarga Drs. KH. M. Zubaidi Muslich adalah lingkungan keluarga yang kental dengan nilai-nilai Islam, maka tidak mengherankan jika pendidikan agama telah diperolehnya sejak kecil, yaitu di lingkungan keluarga ataupun lembaga-lembaga pengajian. Setelah beliau mencapai usia sekolah, beliau belajar di Sekolah Rakyat (SR) dan tamat, sang ayah kemudian mengirimnya kelembaga-lembaga pendidikan Islam terutama pondok pesantren. Di antara lembaga pendidikan Islam non-formal/pondok pesantren tersebut adalah :

1. Pondok Pesantren Pekauman (Banyuwangi Kota), dari tahun 1957-1960. Beberapa tahun beliau di pondok pesantren ini,
beliau merasa ilmu yang diperolehnya belum cukup kemudian beliau meneruskan ke pondok pesantren yang lain.
2. Pondok Pesantren Bustanul Ma’mur (Genteng Banyuwangi), pada tahun 1961.
3. Pondok Pesantren Tebuireng (Jombang) pada tahun 1962-1964.
4. Pondok Pesantren Lasem-Rembang (Kyai Ma’sum) pada tahun 1964.
5. Pondok Pesantren Tretek-Pare (Kediri), pada tahun 1965. Di Pesantren tersebut beliau khusus mengaji dan
mengkhatamkan Kitab Ihyaa Ulumuddin dan Shoheh Bukhori.
6. Pondok Pesantren Seblak Jombang, pada tahun 1966-1971.

c. Para Guru Drs. KH. M. Zubaidi Muslich

Guru-guru beliau di antaranya adalah:

1. KH. Masdullah, Kyai Harus, Kyai Suhini, Kyai Nawawi, Kyai Syarifuddin, Kyai Abdillah. Kesemuanya
adalah guru-guru yang mengajar selama beliau belajar di Pondok Pesantren Pekauman (Banyuwangi).

2. KH. Junaidi, beliau adalah guru Drs. KH. M. Zubaidi Muslich selama belajar di Pondok Pesantren Bustanul Ma’mur (Genteng Banyuwangi).

3. KH. Adlan Aly (alm), KH. Syamsuri, KH. Shobari, KH. Abdul Fatah, KH. Samsu, semua ini adalah guru-guru beliau semasa beliau di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.

4. KH. Mbah Ma’sum, beliau adalah guru Drs. KH. M. Zubaidi Muslich ketika di Pondok Pesantren Lasem Rembang.

Dan diantara guru-guru beliau yang lainnya adalah KH. Usman Mansur, KH. Mahfud Anwar, KH. Kholil dan Prof. Tengku Ismail Yaqul (alm), serta masih banyak lagi yang tidak dapat sebutkan keseluruhannya.

Setelah beliau menyelesaikan pendidikannya, baik pendidikan formal maupun pendidikan non-formal/pondok pesentren, beliau memutuskan untuk berumah tangga. Pada tahun 1972 beliau melepas masa lajangnya dan memperistri Ibu Nyai Hj. Asmah yang berasal dari Jakarta. Keluarga baru ini selanjutnya bertempat tinggal di desa Kwaron.

3. Pengalaman Perjuangan

a. Sebagai Guru Agama dan Dosen.

Drs. KH. M. Zubaidi Muslich memulai karirnya sebagai pengajar dan pendidik pada tahun 1966 di Madrasah Tsanawiyah Seblak dengan bidang studi literatur buku atau kitab kuning. Beliau diangkat dan percaya langsung oleh Ibu Nyai Hj. Khairiyah Hasyim (almarhumah). Pada tahun yang sama beliau masih menyelesaikan program sarjana muda di Universitas Hasyim Asy’ari –Tebuireng, Jombang .

Pada tahun 1968 beliau di angkat menjadi Kepala Sekolah di madrasah yang sama. Karena keberhasilan dan didekasi beliau yang tinggi dalam memimpin madrasah. Pada tahun 1970, beliau diberi kepercayaan dan diangkat menjadi Kepala Sekolah Madrasah Aliyah.

Selain mengajar dan menjadi Kepala Sekolah di Madrasah Aliyah Seblak, beliau juga menjadi tenaga pengajar di Madrasah Aliyah Tebuireng dan dosen tetap di Institut Keislaman Hasyim Asy’ari di Fakultas Tarbiyah. Pada dasarnya untuk menjadi tenaga pengajar bukanlah hal yang mudah karena seseorang harus mempunyai pengetahuan baik dalam bidang agama maupun dalam bidang pengetahuan umum yang benar-benar mumpuni atau luas wawasan. Jika seseorang ingin menjadi guru agama di madrasah dengan kurikulum mayoritas memakai kitab-kitab kuning, paling tidakseseorang harus menguasai atau paham akan kitab-kitab Islam klasik.

Kemampuan seperti ini telah dimiliki oleh Drs. KH. M. Zubaidi Muslich, karena sejak kecil beliau berada dalam lingkungan yang agamis yang penuh dengan gemblengan ajaran agama dan didukung pula dengan kehidupan pendidikan pondok pesantren. Maka tidak heran jika beliau cukup menguasai kitab-kitab Islam klasik dan dipercayai untuk mengajar di lembaga-lembaga pendidikan formal yang mayoritas kurikulumnya menggunakan kitab-kitab Islam klasik. Sampai sekarang beliau masih menjadi pengajar di beberapa lembaga pendidikan formal.

b. Sebagai Juru Dakwah

Aktifitas Drs. KH. M. Zubaidi Muslich selain dalam bidang pendidikan, beliau juga aktif dalam bidang dakwah Islamiyah. Kegiatan dakwah ini sudah dilakukannya sejak menetap di desa Kwaron Diwek Jombang, baik berupa ceramah maupun pengajian-pengajian rutin. Sampai saat ini beliau masih mengajar di desa tersebut dan tempat-tempat yang lain.

Di antara aktifitas dakwah beliau adalah :

1. Memberikan pengajian-pengajian rutin, yaitu pada setiap hari Kamis, pengajian ini khusus di masyarakat.
2. Memberikan ceramah-ceramah, baik pada hari-hari besar Islam yang di selenggarakan oleh masyarakat dan pondok pesantren
maupun ceramah atas untuk undangan dari orang lain.

Setelah sekian tahun beliau dan keluarga menetap di desa Kwaron, beliau hijrah ke desa Jatirejo yang kelak merupakan cikal-bakal berdirinya Pondok Pesantren Mamba'ul Hikam (MMH). Pada masa awal beliau tinggal di desa Jatirejo ini, kondisi kehidupan keagamaannya masih sangat kurang, sehingga beliau tergerak untuk melakukan dakwah dan pemantapan keagamaan masyarakat Jatirejo, yaitu dengan cara dakwah bil lisan, dakwah bil fi’li dan dakwah bil hal. Beliau mengadakan pengajian-pengajian dan ceramah-ceramah pada setiap kesempatan dan ketika ada acara-acara yang diselengarakan oleh masyarakat.

Hingga saat ini beliau masih konsisten melakukan dakwah Islam di masyarakat. Semua ini karena didasari oleh ruhul jihad yang tertanam dalam jiwa beliau sejak belia.

KH. M. Ma’shum bin Aly

Banyak orang yang tak mengenal ulama alim satu ini. Sikap sederhana yang dimilikinya, membuat banyak orang tidak mengenalnya. Namun jangan dikira beliau adalah pengarang kitab Al-Amtsilah At-Tashrifiyyah. Sebuah kitab sharaf yang amat masyhur di Nusantara bahkan negara luar sekali pun.

Nama lengkapnya, Muhammad Ma’shum bin Ali bin Abdul Muhyi Al-Maskumambani. Lahir di Maskumambang Gersik, tepatnya di sebuah pondok yang didirikan sang kakek.

Setelah belajar pada ayahnya, Ma’shum muda pergi menuntut ilmu di Pesantren Tebuireng Jombang. Ia termasuk salah satu santri Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari generasi awal. Dimana–saat itu–selain dituntut untuk belajar, para santri juga harus ikut berjuang melawan penjajah yang selalu mengganggu aktifitas mereka. Kedatangannya ke Tebuireng disusul oleh adik kandungnya, Adlan Ali–kelak atas inisiatif Hadratus Syekh, Kiai Adlan mendirikan pondok putri Wali Songo di pusat desa Cukir.

Bertahun-tahun lamanya beliau khidmah/mengabdi di Tebuireng. Kepintarannya dalam segala ilmu, terutama bidang extag/hisab, falak, sharaf dan gramatika arab, membuat Hadratus Syekh kagum. Sehingga Kiai Ma’shum dinikahkah oleh Nyai. Khairiyah yang tak lain adalah putri Hadratu Syekh sendiri.

1. Mendirikan Pondok di Seblak

Seblak adalah sebuah nama dusun di Desa Kwaron –sekitar 300 m sebelah barat Tebuireng. Penduduk Seblak kala itu masih banyak yang melakukan kemungkaran. Seperti halnya warga Tebuireng sebelum kedatangan Hadratus Syekh. Melihat kondisi demikian, Kiai Ma’shum terasa terpanggil. Hatinya terketuk untuk menyadarkan masyarakat setempat dan mengenalkan Islam secara perlahan.

Jerih payahnya diridhai Allah SWT. Pada tahun 1913, ketika usianya baru 26 tahun, beliau mendirikan pondok dan masjid di desa Seblak. Awalnya hanya sebuah rumah sederhana yang terbuat dari bambu. Seiring berjalannya waktu, pondok tersebut telah berkembang pesat.

Meski sudah berhasil mendirikan pondok, beliau tetap istiqamah mengajar di madrasah Salafiyah Syafiiyah Tebuireng membantu Hadratus Syekh mendidik santri. Pada tahun selanjutnya beliau diangkat menjadi Mufattis (Guru Pengawas) di Madrasah tersebut.

2. Karya Pena Kiai Ma’shum

Jumlah karyanya tak sebanyak Hadratus Syekh yang mencapai belasan kitab. Tetapi hamper seluruh kitab Kiai Ma’shum terbilang sangat monumental. Bahkan, banyak orang yang lebih mengenal karangannya dibanding si pengarangnya itu sendiri. Terhitung ada empat kitab karya beliau;

Al-Amtsilah At-Tashrifiyyah. Kitab ini menerangkan ilmu sharaf. Susunannya sistematis, sehingga mudah difaham dan dihafal bagi para pelajar. Hampir di seluruh lembaga pendidikan Islam baik di Indonesia atau negara luar, kitab ini menjadi salah satu bidang study yang tetap eksis dikaji. Karena saking masyhurnya, kitab ini mempunyai julukan “Tasrifan Jombang”. Keagungan kitab ini tak hanya terletak pada ilmu sharaf. Bila diteliti ternyata memuat makna filosofi tinggi. Pada contoh fi’il tsulasi mujarrad misalnya, keenam kalimat tersebut memiliki filososfi bahwa “pada awalnya sang santri ditolong oleh orang tuanya (nashara), sesampainya di pesantren ia dipukul/dididik (dlaraba). Kemudian setelah tersakiti, hatinya akan terbuka (fataha). Barulah ia akan pintar (‘alima) dan menuntutnya agar berbuat baik (hasuna). Ia berharap masuk surga di sisi Allah (hasiba). Kitab yang terdiri dari 60 halaman ini, telah diterbitkan oleh banyak penerbit. Jadi kita tidak akan kesulitan mendapatkannya. Pada halaman pertama tertera sambutan berbahasa arab dari mentri Agama RI, KH. Saifuddin Zuhri.
Fath Al-Qadir. Konon, kitab ini adalah kitab pertama di Nusantara yang menerangkan ukuran Arab dalam bahasa Indonesia. Diterbitkan pada tahun 1920-an, ketika beliau masih hidup, oleh penerbit Salaim Nabhan Surabaya. Halamannya tipis tapi lengkap. Kini kitab tersebut banyak dijumpai di pasaran.
Ad-Durus Al-Falakiyah. Meskipun banyak orang yang beranggapan bahwa ilmu falak itu rumit, tetapi bagi orang yang mempelajari kitab ini akan berkesan “mudah”. Hal ini tak lain karena kehebatan Kiai Ma’shum dalam menyusun dan menguraikan bab dengan gamblang. Di dalamnya termuat ilmu hitung, logaritma, almanak masehi dan hijriyah, keberadaan matahari dll. Kitab yang diterbitkan oleh Salim Nabhan Surabaya pada tahun 1375 H ini, terdiri dari tiga juz dalam satu jilidan dengan jumlah 109 halaman.
Badi’ah Al-Mitsal. Kitab ini juga menerangkan ilmu falak. Kali ini beliau menerangkan bahwa yang menjadi pusat peredaran alam semesta bukanlah matahari, sebagaimana teori Barat, kabut pilin, pijar. Menurut beliau, yang menjadi pusat peredaran alam semesta ialah bumi. Sedangkan matahari, planet dan bintang yang jumlahnya sekian banyaknya, berjalan mengelilingi bumi.


3. Kepribadian yang Sederhana

Sebagai Kiai yang berilmu tinggi, Kiai Ma’shum bukan berarti harus meninggalkan pergaulnya bersama masyarakat awam. Beliau dikenal sebagi Kiai yang akrab dengan kalangan bawah. Bahkan saking akrabnya, banyak diantara mereka yang tak mengetahui kalau sebetulnya beliau adalah ulama besar.

Menurut pandangan beliau, semua orang lebih pintar darinya. Buktinya, beliau pernah berguru kepada nelayan. Kejadian ini terjadi taatkala beliau pergi haji. Selama perjalanan, Kiai Ma’shum menggunakan waktu yang cukup lama itu dengan berguru kepada nelayan di perahu. Beliau tidak merasa malu, meski orang lain menilainya aneh. Tak disangka, dari hasil pengamatan beliau itulah, lalu lahir kitab berjudul Badi’ah Al-Mitsal.

Beliau juga dikenal sufi. Untuk menghindari sombong dihadapan manusia, menjelang wafat, beliau membakar fotonya. Padahal itu adalah satu-satunya foto yang beliau miliki. Hal ini tak lain karena beliau takut kalau dirinya diketahui oleh banyak orang, yang nantinya akan menimbulkan penyakit hati.

Kesederhanaannya tidak hanya terlihat ketika beliau masih hidup. Setelah wafat pun, kesederhanaannya dapat kita lihat. Makam beliau tampak biasa-biasa saja (baca: sangat sederhana). Jangankan untuk hiasan yang menandakan sebagai makamnya seorang Kiai, batu nisannya saja hanya tersisa satu. Sampai banyak orang yang tidak tahu kalau sebenarnya itu adalah makam Kiai Ma’shum. Justru dari kesederhanan itulah, nama beliau dikenang dunia sebagi ulama alim dengan karyanya yang paling monumental dan fenomenal sepanjang zaman.
4. Hubungan yang Harmonis

Kehidupan sehari-hari beliau mencerminkan orang yang harmonis, baik bersama masyarakat, keluarga, atau santri. Khusus kepada Hadratus Syekh, Kiai Ma’shum sering menghadiahkan kitab kepada sang mertua yang juga gurunya itu. Ketika sepulangnya dari Mekkah pada tahun 1332 H, beliau tak lupa membawakan kitab Al-Jawahir Al-Lawami’ sebagi hadiah untuk beliau. Bahkan kitab As-Syifa yang pernah diberikannya, menjadi kitab referensi utama Hadratus Syekh ketika mengarang kitab.

Almh. Ny. Khoiriyah Hasyim, menceritakan; suatu ketika Kiai Ma’sum pernah berdebat dengan Hadratus Syekh tentang dua persoalan, foto dan penentuan awal ramadhan (lihat; Heru Sukardi: 1979). Menurut Kiai Ma’sum, foto tidak haram. Sedangkan Hadratus Syekh menyatakan haram.

Begitu pula mengenai permulaan bulan puasa, Kiai Maksum telah menentukannya dengan hisab. Sedangkan Hadratus Syekh memilih dengan teori ru’yat. Akibat perselisihan ini, keluarga Kiai Maksum di Seblak lebih dahulu berpuasa dari pada keluarga Kiai Hasyim dan para santri di Tebuireng.

Walaupun kedua ulama’ terkemuka ini sering berbeda pendapat, namun hubungan keduanya tetap terjalin akrab, layak tak ada konflik yang mengingat. Ada seorang santri yang mengatakan kalau Kiai Ma’sum tidak punya adab, ia berani berbeda pandang dengan guru yang sekaligus mertuanya sendiri. Mengetahui hal itu Hadratus Syekh menegurnya “Setiap orang memiliki pendirian sendiri-sendiri, harap dalam hal yang seperti ini saudara jangan ikut campur tangan.”


Pulang Keharibaan Ilahi Rabbi

Pada tangal 24 Ramadhan 1351 atau 8 Januari 1933, Kiai Ma’sum wafat sebab penyakit paru-paru yang dideritanya. Usianya + 46 tahu. Kewafatan beliau membawa musibah besar, terutama bagi santri Tebuireng. Karena beliaulah satu-satunya Kiai yang menjadi rujukan utama dalam segala bidang keilmuan setelah Hadratus Syekh .

Sungguh besar jasa beliau dalam bidang keilmuan. Kita dapat merasakannya dari peninggalan karya beliau yang hingga kini belum ada seorang ulama pun yang mampu menyainginya.

Semoga segala perjuangan beliau diterima oleh Allah SWT dan apa yang beliau tinggalkan semoga bermanfaat tiada henti, hingga menjadikannya amal jariyah nan abadi. Allahummagfir lah wa nafa’ana bih wa biulumih Amin.


Sumber : http://uwhmaksum.blogspot.com/2009/12/profil-kh-m-mashum-bin-aly.html

KH. Marzuqi Romli

Giriloyo adalah sebuah dusun di bawah kaki perbukitan Imogiri. Masyarakat sekitar mengenal dengan nama Pajimatan, suatu bukit yang terkenal di daerah kawasan selatan Yogyakarta karena disanalah raja-raja Kerajaan Mataram Islam dimakamkan.

Daerah Giriloyo ini sebenarnya tidak terlalu jauh dari pusat pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta (jaraknya hanya sekitar 15 km). Namun karena daerah ini terpencil dan berada di kaki bukit. Sasana khas pedesaan yang sepi dan sunyi namun penuh dengan kebersamaan dan kedamaian sangat mewarnai daerah tersebut.

Suasana sepi yang mewarnai Giriloyo itu pada pertengahan abad ke-18 M sedikit demi sedikit berubah dengan munculnya kelompok pengajian yang diasuh oleh KH. Romli, seorang ulama yang menjadi Mursyid Tarekat Syathariyah. Seluruh murid-muridnya diberi ijazah tarekat tersebut dengan maksud agar mereka memiliki amalan-amalan harian yang pada akhirnya bisa lebih mendekatkan diri pada Allah SWT.

Keseriusan dan ketekunan dalam pengelolaan pengajian, membuat KH. Romli seakan melupakan sunnah rasul yang lain, yaitu melangsungkan pernikahan. Maka ketika dirasa jama'ah pengajian yang dibinanya itu semakin lama semakin menunjukkan peningkatan, beliau segera melaksanakan pernikahan dengan putri dari Kiai Ali. Dari pernikahan dengan putri Kiai Ali ini lahir 5 orang putra yang salah satunya adalah bernama Ahmad Marzuqi.

KH. Ahmad Marzuqi lahir pada tahun 1901 M di desa tempat ayahnya tinggal yaitu di Giriloyo Wukirsari Imogiri Bantul sebagai putra bungsu. Kiai Romli sangat berkeinginan kelak si bungsu apabila sudah besar dapat menggantikan perjuangan yang telah dirintisnya, mendidik orang-orang untuk lebih dekat pada Allah. Untuk mewujudkan cita-citanya tersebut, sangat wajar apabila KH Marzuqi ketika baru berumur 4 tahun sudah dididik dengan konsentrasi penuh.

Pada tahun 1905 oleh Kiai Romli, Ahmad Marzuqi di-pondok-kan di Pondok Pesantren Kanggotan Pleret Bantul di bawah bimbingan KH. Zaini. Karena masih kecil, maka pada waktu itu beliau hanya diajari kitab-kitab ubudiyah seperti Safinatun Najah, Fathul Qorib dan lain-lain. Di pondok Kanggotan ini beliau belajar sampai tahun 1910 M.

Setelah lima tahun belajar di Kanggotan, Ahmad Marzuqi kemudian pindah pondok. Pondok yang dituju kali ini adalah Pondok Pesantren Termas yang berada di Pacitan Jawa Timur. pada saat itu pondok Termas berada di bawah bimbingan KH. Hafidz Dimyati, beliau belajar berbagai ilmu agama, seperti syara’, tasawuf, dan lain-lain. Di pondok ini beliau belajar selama 4 tahun, dari tahun 1910 sampai tahun 1914 M.

Ahmad Marzuki melanjutkan ngangsu kaweruh di ponok pesantren Watucongol Muntilan Magelang, tahun 1915 sampai tahun 1918. Kehausan Ahmad Marzuki dengan ilmu-ilmu keislmaan terobati di bawah bimbingan KH. Dimyati.

Sepulang dari Watucongol, Ahmad Marzuqi kemudian meneruskan di Pondok Pesantren Somolangu Kebumen Jawa Tengah. Dibawah bimbingan KH. Abdurrauf, beliau mendapat kepercayaan untuk mengajar santri (badal: sebagai pengganti kyai) apabila kiai sedang berhalangan atau sakit. Kepercayaan itu diemban dengan tekun dan ikhlas sehingga tidak heran jika beliau semakin lama semakin menguasai ilmu-ilmu yang sudah dipelajari di pondok-pondok yang terdahulu. Di Somolangu ini berlangsung antara tahun 1919 sampai tahun 1922.

Tahun 1922 sepulang dari Pondok Somolangu sampai tahun 1925, beliau melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Lirap Kebumen Jawa Tengah. Walaupun sudah mahir membaca kitab, namun beliau tidak jemu untuk lebih mendalami kitab-kitab yang telah dikajinya terdahulu.

Hanya dua tahun lebih sedikit Ahmad Marzuqi menempat di Lirap Kebumen, pada tahun 1926 sampai tahun 1927 beliau pindah ke Pondok Pesantren Jamsaren yang ada di Solo Jawa Tengah. Pondok Jamsaren pada saat itu berada di bawah bimbingan KH. Idris. Sepulang dari Pondok Jamsaren ini beliau menunaikan ibadah haji untuk yang pertama kali dalam hidupnya.

Pada tahun 1927 (selepas menunaikan ibadah haji) sampai tahun 1931 beliau melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Dibawah bimbingan KH. Munawwir ini beliau mewujudkan cita-citanya yang sudah lama terpendam ketika masih mengaji di Watucongol dahulu, yaitu keinginannya untuk menghafal Al-Qur’an 30 juz.

Keinginan itu menjadi kenyataan bahkan untuk melanggengkannya beliau baca ayat-ayat suci itu sampai khatam yaitu pada bulan Ramadlan saat sholat tarwih. Diceritakan, bahwa selama bulan ramadlan apabila badannya sehat, beliau khatamkan dalam satu bulan itu tiga kali khataman. Sepuluh hari pertama khatam untuk yang pertama, sepuluh hari kedua digunakan untuk mengkhatamkan bacaannya yang kedua dan sepuluh hari ketiga untuk yang ketiga kalinya.


KH. Ahmad Marzuqi Mulai Berda’wah

Sepulang dari ngangsu kaweruh di berbagai pondok pesantren, sekitar tahun 1931, KH. Ahmad Marzuqi mulai melakukan pengajian-pengajian di berbagai tempat terutama di desa-desa di Gunungkidul. Perjalanan untuk mencapai daerah-daerah di Gunungkidul yang melewati hutan belantara memakan waktu berhari-hari itu beliau lakukan dengan berjalan kaki.

Dalam melakukan Dakwah di Gunungkidul, KH. Ahmad Marzuqi atau Mbah Marzuqi bisa disebut sebagai pembuka jalan bagi keberadaan Islam di daerah tersebut. Ketika beliau membuka jamaah pengajian yang baru di desa-desa, beliau islamkan terlebih dahulu orang-orang yang akan ikut dalam pengajian tersebut. Sehingga ketika semakin hari semakin bertambah jumlah jamaahnya berarti semakin banyak pula orang Islam yang ada di desa itu.

Perjalanan dalam berdakwah itu bukan berarti tanpa mendapatkan rintangan. Rintangan itu datang dalam perjalanan maupun oleh orang yang tidak suka dengan dakwah yang beliau lakukan. Diceritakan, ketika dalam suatu perjalanan menuju salah satu desa di daerah Gunungkidul harus melewati sebuah sungai yang lebar dan dalam. Seseorang harus berenang untuk sampai di seberang karena tidak ada getek (perahu dari bambu). KH. Habib yang pada waktu itu diajak untuk menemani, tidak berani turun ke sungai karena melihat ada seekor ular besar sedang menunggu. Melihat ular di sungai yang siap untuk menyerangnya KH. Habib berteriak “Pak, ada ular !” Teriakannya tidak dijawab oleh Mbah Marzuqi. Beliau hanya menusukkan jari manisnya di pinggang KH. Habib. Seketika itu juga KH. Habib sudah berada di seberang sungai.

Untuk mempersatukan jama’ah pengajian, Mbah Marzuqi mendirikan masjid atau musholla di desa-desa. Hal ini dimaksudkan agar para jamaah bisa berkumpul dalam satu tempat dalam melaksanakan kegiatan. Pendirian masjid dan musholla ini juga dimaksudkan agar masyarakat di desa itu apabila sholat tidak dilakukan sendiri-sendiri di rumah, tetapi dilakukan di masjid atau musholla dengan berjama'ah.

Untuk melengkapi pembangunan masjid, beliau mendirikan sekolah-sekolah formal yang tentunya hal ini bertujuan agar generasi mudanya bisa mendapatkan pendidikan formal. Tercatat ada 130 buah untuk tingkat taman kanak-kanak, 53 buah untuk tingkat Madrasah Ibtidaiyah, 12 sekolah untuk tingkat MTs dan SMP, 8 sekolah untuk tingkat MA dan SMU.

Aktivitas dakwah ini masih terus berlangsung ketika beliau dipercaya memimpin pesantren yang didirikan oleh sang ayah, KH. Romli, pada tahun 1935. Pondok itu dipimpin oleh beliau berlangsung sampai dengan tahun 1955. Bahkan selama memimpin pondok pesantren tersebut, beliau mendapatkan sambutan yang semakin hangat dari masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari terus berkembangnya pondok tersebut yang semakin hari semakin banyak orang yang ikut mengaji.

Selepas Kemerdekaan RI 1945, bumi nusantara ternyata masih disenangi oleh Belanda sehingga wajar apabila pada bulan-bulan setelah Agustus itu Belanda masih banyak yang berseliweran di Indonesia. Orang-orang pribumi yang melihat tingkah Belanda itu merasa tidak senang sehingga di banyak tempat dikumpulkan para pemuda untuk digembleng menjadi prajurit yang tangguh. Mereka diberi ijazah dan amalan serta olah-kanuragan. Salah satu tempat yang digunakan sebagai markas itu adalah pesantren yang dipimpin oleh KH. Ahmad Marzuqi.

Mbah Marzuqi yang semenjak kecil suka dengan kehidupan sederhana, suka menolong orang lain dan tidak suka hidup mewah, mempunyai pandangan hidup bahwa seluruh jiwa dan raganya semata-mata dicurahkan untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Prinsip hidup ini beliau wujudkan dengan melakukan dakwah dari satu desa ke desa yang lainnya tanpa pernah mengharapkan imbalan. Dakwah ini beliau lakukan dengan ikhlas dan semata-mata hanya untuk mengharapkan ridla dari Allah.

Kiai memang dalam berdakwah tidak pernah mengharapkan imbalan bahkan beliau serahkan seluruh harta bendanya pada mereka yang membutuhkan. Diceritakan, bahwa beliau mempunyai sawah yang luasnya mencapai 7 hektar dan sapi yang jumlahnya mencapai sekitar 150 ekor. Harta miliknya itu seluruhnya beliau serahkan pada masyarakat yang kurang mampu dengan sistem bagi hasil (tidak ada informasi yang menceritakan berapa bagian untuk beliau dan orang yang diserahi). Pemberian dengan sistem tersebut semata-mata hanya untuk meringankan beban yang ada pada masyarakat.

Pertolongan yang beliau berikan disamping secara materi juga dengan memberikan pengobatan kepada siapa saja yang memerlukannya. Bahkan dengan memberikan pengobatan ini, aktivitas dan pengikut dalam jama'ahnya semakin besar sehingga sangat memudahkan beliau apabila berkeinginan membuka daerah binaan yang baru.

Ilmu ketabiban ini beliau dapatkan disamping dari ayahnya, KH. Romli juga beliau dapatkan dari semenjak beliau mondok di pesantren-pesantren. Menurut KH. Habib Marzuqi, salah seorang putranya bahwa ilmu ketabiban itu beliau peroleh dari KH. Dalhar Watucongol, KH. Ma’ruf, KH. Kholil Bangkalan, KH. Dimyati Termas, KH. Dimyati Kebumen dan KH. Abdurrahman. Pemberian pertolongan ini juga beliau imaksudkan sebagai sarana berda’wah.

Membina Rumah Tangga

Sebagai putra bungsu dari lima bersaudara, KH. Ahmad Marzuqi mendapatkan tongkat estafet dari KH. Romli untuk meneruskan perjuangannya. Untuk membantu perjuangannya KH. Ahmad Marzuqi melangsungkan pernikahan dengan putri dari KH. Arifin yaitu Ny. Dasinah. Dari pernikahan ini menurunkan dua orang putra yaitu KH. Asyhari Marzuqi (Kotagede) dan KH. Habib Marzuqi (Wates Kulonprogo).

Setelah berpisah dengan Ny. Dasinah, pada tahun 1949 KH. Ahmad Marzuqi melangsungkan pernikahan untuk yang kedua kalinya yaitu dengan putri KH. Abdullah, Ny. Zuhroh. Dari pernikahan ini menurunkan dua putra yaitu KH. Masyhudi dan KH. Ahmad Zabidi dan seorang putri yaitu Hj. Siti Hannah.

Akhir Hayatnya

KH. Ahmad Marzuqi sewaktu hidupnya pernah melarang tentang 3 (tiga) hal. Tiga hal itu adalah pertama, beliau melarang dan mengharamkan adanya kebijakan pemerintah mengenai diberlakukannya Keluarga Berencana (KB) bagi masyarakat Indonesia. Kedua, beliau melarang dan mengharamkan adanya praktek dunia perbankan. Ketiga, beliau melarang keras adanya anggapan bahwa semua agama di Indonesia adalah baik dan benar.

Larangan ini sekitar awal tahun 80-an beliau tanamkan kembali pada setiap tamu yang berkunjung ke rumahnya di Giriloyo. Tidak peduli apakah tamu itu laki-laki atau perempuan, kecil atau besar, pegawai biasa maupun pejabat. Semua dilarang untuk melaksanakan tiga hal tersebut diatas. Begitulah semua itu berlangsung sampai pada tahun 1991 disaat beliau akan menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Innalillahi wainna ilaihi rajiuun. Tanggal 9 Jumadil Akhir 1411 H atau tanggal 14 Desember 1991 M pada hari Sabtu malam Ahad adalah hari beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir. Seluruh putranya dan masyarakat sekitar sudah berkumpul. Disaat itulah beliau berwasiat kepada putra-putra dan seluruh kaum muslimin untuk membaca do’a Nekto Dinulu. Do’a itu bacaannya adalah sebagai berikut:

Allahumma Nekto Dinulu ahub-ahub ing Allah
Laa ilaaha illa Allah Muhammad rasulullah shalla Allah alaihi wasallam
Allahumma Roh amadep ing Nurullah
Somad-somad kelawan roh idlofi
Jisim rupaku amadep ing cahaya
Ning roh angadep uripku ing cahyane Allah
Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim Ya Ghaffar Ya Aziz
Ya Quddus Ya ‘Alim Ya Karim Ya Arhamarrahimin.



Pagi harinya, ribuan orang datang dari berbagai daerah untuk memberikan penghormatan yang terakhir (melayat). Tidak sedikit dari para pelayat itu mengetahui meninggalnya KH. Ahmad Marzuqi lewat mimpi.



Diceritakan, pada malam hari (malam Ahad) seorang haji di daerah Prembun Kebumen bermimpi kedatangan Mbah Marzuqi. Dalam mimpi itu Mbah Marzuqi menyuruhnya untuk pergi ke Giriloyo dan jangan lupa membawa bakmi. Hari Ahad pagi, sambil membawakan bakmi pesanan Mbah Marzuqi pak haji dari kebumen itu meluncur menuju Giriloyo. Sebelum memasuki Giriloyo, haji itu singgah terlebih dahulu di masjid Pondok Ar-Ramli Wukirsari karena dilihatnya ada ribuan orang berkumpul. Kemudian pak haji dari kebumen itu bertanya “Ada apa kok suasananya ramai sekali?” Orang yang ditanya oleh pak haji itu menjawab bahwa Mbah Marzuqi meninggal. Pak haji tidak percaya karena tadi malam beliau bermimpi bertemu Mbah Marzuqi dan disuruh ke Giriloyo. Namun setelah mengetahui peristiwa yang sebenarnya terjadi, pak haji dari Kebumen itupun lemas.



Begitulah banyak dari para hadirin yang datang karena mendapatkan mimpi “disuruh ke Giriloyo oleh Mbah Marzuqi”. Semua masyarakat yang ditinggalkan merasa kehilangan dengan kepergiannya. Namun apa mau dikata, kita tidak bisa melawan takdir yang telah ditetapkan oleh Allah. Begitulah KH. Ahmad Marzuqi telah mendahului kita dengan menanamkan pijakan yang mantap dan kokoh pada masyarakat yang ditinggalkan. Semoga amal baik beliau diterima disisi-Nya dan kita yang ditinggalkan bisa meneruskan apa yang menjadi cita-citanya. Amin.

(sumber  :http://www.nurulummah.com/statis-13-kh-marzuki-romli.html)

Senin, 30 Januari 2012

KH Masyhudi Hasan Ilmuwan Idealis Itu Adalah Kaca Benggala

Oleh : Ahmad Sunjani Zaid *)

Para santri, alumni, nahdliyin dan ummat Islam, setidaknya di Kabupaten Bojonegoro berduka. Salah satu kyai sepuh, baik secara keilmuan dan ketokohan, telah kembali menghadap Sang Kholiq. Ya, KH Masyhudi Hasan, pendiri dan pengasuh Ponpes Al Falah, sebuah Pesantren yang berada di Jl Serma Abdullah 130 Desa Pacul Kecamatan Bojonegoro itu kini telah tiada. Ia dipanggil untuk kembali menghadap-Nya pada Rabu (30/6/2010) pukul 13.15 WIB lalu. Data yang diperoleh penulis, almarhum mangkat karena penyakit sesak yang beberapa tahun terakhir ini menderanya.

Sebagai orang yang hampir 8 tahun ngadam alias nyantri dan mengabdi di pesantrennya, tentu sedikit banyak penulis tahu tentang sosok ini. KH Masyhudi Hasan, adalah sosok tegas dan disiplin, beberapa pihak yang tak banyak mengenalnya, mungkin menyebutnya keras. Begitulah, apalagi jika ditilik dari penampilan fisik, kyai satu ini memang trengginas, bicaranya ceplas ceplos, tatapan kedua matanya juga sangat tajam.

Lalu apa yang perlu dikenang dan diteladani dari sosok yang pernah ikut ambil bagian dalam proses babat alas berdirinya NU di Bojonegoro dan beberapa periode menjadi pengurus MUI ini ?. Idealisme keilmuan, barang kali itulah kalimat sederhana yang bisa penulis gambarkan untuk segudang kenangan dan teladan dari almarhum. Seperti dipahami, al ‘ulamau warotsatul anbiya, ulama adalah pewaris para nabi. Untuk melanjutkan perjuangan tercapainya ajaran Islam yang sempurna, rohmatan lil ‘alamin. KH Masyhudi Hasan, dalam kaca mata penulis, memenuhi syarat untuk disebut warotsatul anbiya, dan ketika seorang ulama meninggal, bukankah itu berarti satu ilmu Allah telah diangkat kembali ke sisi-Nya, bumi telah kehilangan satu ilmunya.

Idealisme Keilmuan

Dalam khazanah keilmuan Islam dikenal istilah sanad muttasil (urutan yang tersambung), ini terutama harus berlaku untuk jenis keilmuan (yang mendalam dan tuntas) misalnya; untuk ilmu nahwu, shorof, hadits, tafsir, tajwid, mantiq, ma’ani, balaghoh, tasawuf, falaq, dan lain-lain tentunya, masih sangat banyak fan ilmu yang memang tak sembarangan orang bisa mendapat, pinjam istilah KH Masyhudi Hasan, rebues alias ijazah untuk mengamalkannya, mengajarkannya kepada orang lain, dalam konteks keilmuan Islam, sekali lagi dalam konteks keilmuan Islam, secara sah. Seseorang harus punya rebues alias ijazah dari guru tempat dia belajar dan itu tersambung secara terus menerus sampai ke pengarang kitab, atau rowi (periwayat) pertama kalau itu ilmu hadits, tak boleh putus satupun. Hal ini tentu sangat berbeda dengan khazanah ilmu kanuragan, yang tak harus sanad muttasil, seseorang bisa memperoleh secara sempurna apa yang diinginkan dengan cukup berguru kepada seorang guru yang menguasai ilmu tertentu.

KH Masyhudi Hasan (ternyata), adalah salah satu kyai yang memiliki sanad muttasil dalam setiap fan ilmu yang dikuasainya. Jujur saja, penulis tahu fakta ini juga karena tindakan nekat yang penulis lakukan demi menuntaskan rasa penasaran yang terpendam bertahun-tahun. Selama 7 tahun meguru di Al Falah, saya benar-benar tidak berani, meski sekedar ngrasani. Ceritanya begini, dalam setiap mbalah kitab, KH Masyhudi seperti selalu punya kunci untuk mengungkap setiap harokat, huruf, kalimat, dan kedudukan kalimat, yang musykil (sulit diartikan, baik secara harfiyah maupun maknawiyah), termasuk ketika dalam sebuah kitab terjadi salah cetak dalam susunan kalimatnya. Pertanyaan dalam hati saya ketika itu, kenapa bisa tahu ?.

Untuk tafsir Al Qur’an, Kyai Masyhudi istiqomah mengajarkan Tafsir Jalalain, sebuah kitab tafsir hasil karya Jalal bersaudara itu. Yang masih selalu saya ingat, ketika tafsir Al Qur’an yang diajarkan, kyai selalu bilang Qoolallahu ta’ala, wallahu asdaqul qooilin. Ada apa dengan kalimat itu, ketika ada yang musykil, kalimat itu dibaca berulang-berulang, dan tak lama kemudian, kemusykilan itu ditemukan. Sementara, untuk kitab lainnya, karangan ulama salaf, kata kunci yang diucapkan adalah Qoolal mushonnifu rohimahullahu ta’ala, nafa’ana bihi, wabi’ulumihi, wa amaddana bi asrorihi wa a’aada ‘alaina bibarokatihi fiddaroini. Amin. Ada apa pula dengan kalimat ini ?. Dalam sedikit kesempatan, kyai kadang lantas mengirimi fatihah mushonnif (pengarang kitab), setelah itu terdengar suara brak brak brak, 3 kali, telapak tangan kyai memukul dampar (meja), dan kalimat musykilpun terjawab. Mungkin ini tak banyak mendapat perhatian dari santrinya, tapi ini yang benar-benar membuat saya memendam pertanyaan dalam dari tahun 1992 sampai dengan 1999, tahun dimana saya bermuqim di pondok itu.

Baru pada tahun 2005, saya benar-benar nekat. Saya menghadapnya secara sendiri, seperti biasa, kami lantas berbincang tentang banyak hal. Saat itu saya masih menjadi wartawan salah satu Koran harian terbitan Surabaya, disitu naluri kewartawanan saya muncul, lagi pula, kalau misalnya pertanyaan saya membuat kyai tidak berkenan dan marah, ya, saya anggap wajar. Prinsip saya ketika itu, santri dimarahi kyai itu ‘kan biasa. Bertanyalah saya tentang perihal yang saya ceritakan di atas. “Bagaimana bisa begitu kyai ?,” kataku. Lama saya tidak mendapat jawaban, kecuali hanya tersenyum. Setelah itu, berceritalah kyai Masyhudi perihal sanad muttasil itu.

Diceritakannya, untuk ilmu nahwu dan shorof misalnya, kyai Masyhudi menuntaskan ilmu ini kepada Kyai Abu Dzarrin (pendiri Ponpes Abu Dzarrin, Kendal Dander), selain beberapa kitab lain, saya lupa, dia menyebutkannya satu persatu. “Ilmu nahwu dan shorof adalah pokok dari seluruh ilmu, shorof itu ibu, nahwu itu bapaknya ilmu,” katanya kala itu sembari menyitir sebuah maqolah. Setelah itu kyai Masyhudi mondok di Lasem, Rembang, kepada Kyai Masduqi. Cukup lama Kyai Masyhudi mondok di tempat ini, tak hanya kitab-kitab kecil, Kyai Masyhudi hingga menuntaskan kitab-kitab besar seperti syarkhul hikam, ihya ulumuddin, uqudul juman, juga jam’ul jawami’. Selanjutnya, untuk mendapat ijazah dari setiap kitab, kata Kyai Masyhudi, ia diperkenankan Kyainya (Kyai Masduqi) untuk berkeliling ke pesantren-pesantren yang ada di tanah Jawa. “Karena dawuh Kyai Masduqi itu, saya akhirnya keliling dari pondok ke pondok untuk mendapat ijazah dari Kyai yang ditunjuk oleh Kyai Masduqi,” ujarnya dalam bahasa jawa sembari menyebut satu persatu pesantren yang pernah disinggahinya. “Saya kemana-mana biasanya naik kereta api, saya pakai koper ini, ini koper kenangan,” lanjutnya setelah sesaat masuk rumah dan mengambil sebuah koper yang terbuat dari bahan semacam seng bercampur kulit dan ditunjukkan kepada penulis, memegangi koper butut itu, mata Kyai Masyhudi sempat berkaca-kaca.

Dari sini, kemudian saya bisa menyimpulkan kenapa dalam konteks keilmuan, Kyai Masyhudi begitu idealis. Tak jarang, pada kitab tertentu, Kyai ini berani mengkritik moshonnifnya, menjelaskan kekurangan sekaligus kelebihan isi kitab tertentu dan membandingkan kitab dengan pembahasan yang sama yang dikarang oleh mushonnif lain. Kyai Masyhudi juga banyak hafal riwayat dan biografi para pengarang kitab, kitab apa saja yang dikarang dan bahkan kader dan murid-muridnya. Tak hanya itu, ada beberapa kitab tertentu Kyai Masyhudi tak mau mengajarkannya kepada santri Al Falah, karena tidak cocok dengan prinsipnya, heran saya, hal itu didasari dalil yang masuk akal, bahkan ilmiyah secara keilmuan.

Kyai Masyhudi dalam kesempatan tersebut juga mengaku belum menurunkan ilmunya, dalam konteks ijazah dan sanad muttasil, kepada seluruh santri Al Falah. Pengajaran yang dilakukan, hingga pada tahun tersebut, baru pengajaran biasa dan pada umumnya seorang guru mengajar muridnya, atau seorang kyai mengajar santrinya. “Yo mungkin durung kang, engko nek wes ono santri seng iso memenuhi persyaratane,” kata Kyai Masyhudi sembari menyebutkan sederet persyaratan keilmuan yang harus dipenuhi bagi seseorang yang bisa mendapatkan ijazah sanad muttasil.

Dari sini, saya bisa banyak belajar mengapa Kyai Masyhudi senantiasa tegas dalam banyak masalah social dan keagamaan. Jangan heran jika seseorang salah menempatkan kalimat saja, Kyai Masyhudi langsung angkat bicara, mengkritik. Ketika santrinya sedang sambutan atau pidato, dan menyitir sebuah hadits, menyebut rowahu saja, benar-benar dilarang. “Kathik mbok ke’i rowahu Bukhori Wamuslim, awakmu kapan ketemu Bukhori karo Muslim. Al hadits au kamaa qoola, ngono lakyo wes cukup,” sarannya. Maksud kyai, siapapun diminta hati-hati, menghargai ilmu, jika tidak memilik sanad muttasil, janganlah mencatut nama perowi seenaknya.

Masih banyak contoh lain yang dikritisi, misalnya soal mau’idhoh hasanah, kyai jarang mau menggunakan kalimat ini, sebab kalimat ini berlaku ketentuan dan syarat. Assalam qoblal kalam, juga menjadi prinsip. Kemudian mengucapkan kalimat ‘Menurut pendapat saya’ itu menurut kyai juga harus dihindari dalam hal keilmuan. “Wong kepet kok melok-melok nduwe pendapat,” bentaknya kepada seorang santri. Maksud kyai, yang boleh memiliki pendapat dalam konteks pengambilan hukum, hanyalah mujtahid mutlaq, yaitu imam 4, Syafi’i, Hanafi, Hambali, dan Maliki, atau yang terkenal dengan istilah mahadzibul arba’ah. Jika ingin mengemukakan pendapat, cukuplah mengatakan ma’khodz (literatur)-nya.

Tak hanya itu, kepada para santrinya, Kyai Masyhudi juga menekankan metode rasionalitas dalam menuntut ilmu. Ada sedikit cerita saat penulis bermaksud minta doa restu saat hendak menjalani tes di kampus. Saya bilang, “Kyai, mohon doa restunya, saya besuk ujian Kyai !,” kata saya ketika itu dalam bahasa jawa halus. Apa jawab Kyai Masyhudi, alih-alih dapat restu, saya malah dibentak. “Sejak kapan kamu menganggap saya dukun, apa kamu belum memahami ta’lim (kitab ta’limul muta’alim) yang saya ajarkan setiap hari itu,” sahutnya dengan nada tinggi. “Barangsiapa ingin kenyang tanpa makan, ingin kaya tanpa bekerja, dan ingin pandai tanpa belajar, waljununu fununu (orang stress memang macam-macam bentuknya). Ingat syairnya nggak kamu !?,” tukasnya bertanya.

Dalam kesempatan tersebut, kepada saya, Kyai Masyhudi juga mengatakan, seorang santri, jika sudah keluar dari Pondok, setidaknya harus menempel dalam dirinya 1 dari 3 perkara. Pertama alim (pandai); kedua kaya; dan ketiga jaduk (sakti). “Nek wes oleh siji, insyaAllah liyane katut, sebab Gusti Allah nyediakno karomah. Nek ora telu-telune, berarti kowe wala syaia (bukan apa-apa),” tuturnya. Kyai Masyhudi kemudian juga menerangkan tentang 3 perkara itu, cara memperolehnya, dan implementasinya. Setelah selesai, saya pamit sambil menekuk muka, menahan malu.

Bisa jadi, masih banyak kyai yang memiliki sanad muttasil seperti Kyai Masyhudi, karena itu, para santri, yang mengetahui hal ini, haruslah benar-benar serius, agar Anda menjadi salah satu dari penerus keilmuan Islam yang mendapat julukan dan tempat luar biasa. Anda belajar untuk dipersiapkan menjadi agamawan, bukan hanya agamis, apalagi hanya sok agamis.

Kini, Kyai Masyhudi telah tiada, ia benar-benar menjadi contoh, menjadi kaca benggala, terutama buat santri di pondok-pondok pesantren, dan murid-murid di lembaga pendidikan. Kyai Masyhudi, telah memilih jalan hidupnya, menafkahkan jiwa dan raganya, untuk ilmu. Keilmuan yang sempurna !. Selamat jalan kyai, kau pasti punya kader dan penerus untuk melanjutkan perjuanganmu !.

*)

- Alumni Ponpes Al Falah

- Tulisan ini, telah dimuat di Koran Radar Bojonegoro edisi Ahad (4/7) di kolom opini halaman 30.

Didedikasikan untuk seluruh keluarga besar Al Falah, santri, alumni dan kita semua.

Sumber : http://4lfalah.wordpress.com/2010/07/06/in-memorian-kh-masyhudi-hasan/

Minggu, 29 Januari 2012

BIOGRAFI KH.IMAM FAQIH ASY'ARI DAN SEJARAH BERDIRINYA PP. DARUSSALAM SUMBERSARI

KH.IMAM FAQIH ASY'ARI

Pada zaman dahulu sekitar pada awal abad ke - 19 tepatnya di desa Bagelan kab. Purworejo Jawa Tengah, lahirlah seorang jabang bayi yang bernama Nur Aliman yang kelak sebagai perintis singgasana Sumbersari dan beliau dibesarkan dalam keluarga yang sederhana namun sejahtera. Berkat ketelatenan orangtua beliau yang selalu menanamkan sifat zuhud, sabar, dan ulet akhirnya menjadikan beliau seorang anak yang tegar dan tabah menghadapi cobaan apapun. itu semua terbukti dengan keikutsertaan beliau dalam memperjuangkan kemerdekaan R.I. yaitu dengan bergabung berrsama pasukan pangeran Diponegoro.
Namun realita berkata lain, dalam liku-liku perjuang kemerdekaan untuk melawan kedzoliman penjajah, maka pada tahun 1830 M. dalam sebuah perundingan yang dilakukan di Magelang Jawa Tengah dengan tipu muslihat para penjajah, pangeran Diponegoro tertangkap dan diasingkan ke Makasar (Ujung Pandang), hingga akhirnya wafat disana. Sedangkan laskar pangeran Diponegorobercerai berai karna wafatnya beliau dan tersebar ke seluruh nusantara. Diantara prajuritnya adalah kyaiNawawi .dan setelah menempuh perjalanan jauh sampailah beliau di desa Ringinagung kabupatenkediri. Di desa itulah beliau mulai merintis sebuah pesantren Salafi yang tetap Eksis hingga sekarang yang kita kenal dengan "Mahir Arriyadl".yamg berada kira-kira 2 km kearah timur dari Sumbersari. Selang tidak beberapa lama datanglah seorang pemuda pada kyai Nawawi, dialah Nur Aliman yang dulu pernah menjadi muridnya. kedatangan Nur Aliman ini berniat meneruskan pangabdian sekaligus untuk memperdalam ilmu agama.
A.
BABAD SUMBERSARI.
Seiring dengan berputarnya roda kehidupan dan setelah melalui proses perjuangan yang sangat melelahkan dan penderitaan yang panjang, hingga tak terasa tampillah sang Nur Aliman sebagaipemuda yang dewasa dan tibalah saat baginya untuk mengembangkaan sayapnya ''li'laikalimatillah''.
Alkisah saat beliau refresing dan bermaksud untuk melihat suasana sekaligus mencari yang setrategis untuk berjuang hingga beliau sampai di desa Senowo yang mana sebelahnya terdapat sebuah hutan yang terkenal Sangat rawan dan angker. Terbesit dalam kalbu beliau untuk merombak hutan belantara sebagai lokasi untuk berjuang. Setelah merasa yakin dan mantap akan hal itu, maka niat beliau disampaikan pada gurunya ( kyai Imam Nawawi ) , Alhamdulillahsang guru meridoi dan merestuinya.
Kemudian mulailah Kyai Nur Aliman membuka hutan tersebut, dengan bermodal Bismillah dan Restu dari Sang Guru, serta tekadnya yang bulat yang di dasari rasa ikhlas dan penuh kesabaran akhirnya beliau berhasil merombak hutan yang terkenal keganasan dan keangkeranya. Dan karena Rohmat dan keridloan beserta 'Inayahnya Allah sehingga beliau merombak hutan tersebut menjadi sebuah dukuh yang indah laksana taman yang bertabur bunga Nirwana yang tumbuh berseri-seri.
Konon katanya di dukuh tersebut terdapat sebuah sumber mata air yang besar yang menopang kehidupan penduduk di sekitar situ, Dengan rasa syukur dan berbangga hati penduduk sekitar sepakat untuk menjadikan daerah sekitar sumber dijadikan sebuah dukuh.yang kemudian bernama Sumbersari. Namun sumber itu telah hilang laksana mata yang tak mampu mengalirkan air mata lagi. Dan sekarang sebagai monumenya didiami oleh Istiqomah ( cucu kyai Nur Aliman).
B. TAZAWWUJ.
Sumbersari telah menampakkan sinarnya ,bersama dengan bergulirnya masa serta bergeraknya waktu, Mbah Nur Aliman berkehendak menjalankan sunah rosul sebagai insan adami yakni "TAZAWWUJ", dalam rangka lii'lai Kalimatillah . kemudian atas izin Allah beliau menjumpai seorang pasangan hidup dengan seorang janda beranak satu yang pernah nyantri pada mbah juraimi ( senowo kurang lebih satu km arah barat Sumbersari). Yang konon masyhur dengan kyai jaduk /ampuh. Perempuan itu bernama Rusminah cucu dari bapak Hasan mursyid dari Blitar. kemudian istri dan anaknya diboyong ke Sumbersari, dan disanalah beliau membina dan membangun rumah tangga yangmawaddah warrahmah. Dengan limpahan kasih sayang walaupun dalam sebuah gubuk yang sederhana beratap ilalang. Dari pernikahan beliau dikaruniai tiga orang keturunan yaitu: 1. Murtiatun. 2. Musriatun. 3. Abdurrahman.
Putra- putri beliau kyai Nur Aliman semuanya tinggal di Sumbersari kecuali Nyai Musriatun. Putri kedua beliau dipersunting seorang pemuda dari Jombangan yang bernama Abu Umar sekaligus diboyong ke Jombangan, dan beliau mendirikan sebuah Ma'had yang bernama ''Miftahul Ulum''.
Walau beliau bertempat tinggal di daerah yang terpencil dan jauh dari kedamaian namun ada sebuah pepatah mengatakan ''Ada gula ada semut'' maka tak ayal lagi jika beliau kedatangan santri dari desa sekitar untuk menimba ilm kepada beliau. Dan itu semua berlangsung sampai saat ini, terbukti masih banyaknya santri yang nduduk ( tidak mukim di pondok).
Dalam usaha beliau Nasyrul Ilmi Waddin kyai Nur Aliman tidak terlepas dari cobaan dan rintangan yang silih berganti. Namun hal itu tidak membuat beliau putus asa justru hal tersebut mendorong untuk terus berjuang.
Menurut suatu hikayah mbah kyai Nur Alimanmempunyai tetangga dukuh yang terkenal bengis ,brutal,serta jahat, oleh karna itu tak jarang beliau mendapat perlakuan yang kurang ramah, baik berupa ucapan maupun perbuatan, hingga suatu hari pernah beliau kehilangan sebuah selimut putra kesayanganya, usut punya usut ternyata selimut itu dicuri oleh tetangganya. Tidak hanya sampai disitu saja, kuda satu-satunya milik putra kesayangan beliau juga raip entah kemana, bahkan paling parah lagi yaitu ketika angkring beserta kitab-kitab milik santri ludes dilalap si jago merah. yang ternyata hal tersebut akibat ulah sekelompok orang-orang biadab yang tak menginginkan kehadiran beliau di tempat itu.
c. MENGHADAP KEHADIRAT ALLAH SWT.
Sebuah kenyataan yang tak bisa di pungkiri bahwa semua insan yang hidup di dunia ini pasti akan pergi memenuhi panggilan ilahi siapapun dia apapun jabatanya seluas apapun kekuasaanya mereka tidak akan pernah lepas dari yang namanya maut. Begitu juga beliau mbah kyai Nur Aliman usianya yang lanjut membawa kesehatan beliau semakin hari berangsur-angsur menurun,hingga pada suatu hari tepatnya 7 Syawal, beliau menghadap keharibaan ilahi dengan tenang di kediamanya, pada waktu itu keluarga beliau dirundung duka nestapa yang sangat dalam. Wa qiila; saat itu keluarga almarhum tidak mau makan sehingga ketupat yang telah dibuatnya sampai menjadi busuk.
Dengan pulangnya beliau kehadirat Allah SWT. tentunya kita semua merasa kehilangan, karena mengingat jasa-jasa beliau yang begitu besar dan tak mungkin untuk dilupakan. Oleh karenanya kita sebagai generasi penerus merasa terpanggil unuk menggantikan perjuangan demi tegaknya agama Allah dimuka bumi . marilah kita bersama mendo'akan beliau dengan bacaan Ummul Qur'an semoga beliau selalu diberikan Rahmat dan Ampunan oleh Allah SWT amin amin amin ya Rabbal alamin al fatihah.
2.KYAI ISKANDAR DAN KYAI ABDURRAHMAN.
Pondok pesantren merupakan sumber lembaga pendidikan tentunya harus mempunyai tokoh /figur sebagai pemimpin. Begitu juga Sumbersari yang telah merintis religius guna menanamkan nilai-nilai Islami dalam pribadi santri.
Sepeninggalan beliau Mbah kyai Nur Aliman perjuangan beliau diteruskan oleh menantunya yang pertama yaitu Mbah kyai Iskandar dan dibantu oleh Mbah kyai haji Abdurahman ( putra bungsu Mbah kyai Nur Aliman). Sedangkan metode pendidikan yang telah diterapkan oleh beliau masih menggunakan nduduk (datang sore pulang pagi) guna meneruskan perjuangan beliau maka beliau mendirikan sebuah masjid yang pada akhirnya diberi nama "BAITURRAHMAN" dengan masjid inilah sarana pengajian yang diberikan pada santri hanya sebatas pada pengajian AL-Qur'an dengan metode sorogan ( santri menghadap guru satu persatu).
Seiring dengan bergilirnya waktu, jumlah santri pun semakin banyak sehingga fasilitas yang adapun kurang memadai, sehingga serambi KH.Abdurrahman juga digunakan sebagai fasilitas pendidikan. Bertambahnya jumlah santri, membuat pemandangan yang ada di sekitar masjid menjadi indah dengan berdirinya bilik-bilik kecil ( kamar ) yang digunakan tempat istirahat para santri. Dengan adanya situasi dengan kondisi semakin mapan, maka disamping beliau mengajarkan AL-Qur'an, beliau juga membekali santri dengan ilmu agama yang lain meliputi : Nahwu /Shorof ( Gramatika Arab ), Ilmu Kalam ( Ilmu Tauhid/Teologi) dan Ilmu Tasawwuf ( Mistik). dll.
Selama beliau menjadi psngasuh Ma'had Darussalam, perkembangan pendidikan beliau begitu pesat walaupun banyak terjadi perkembangan yang positif, dan didukung setelah kedatangan beliau KH.Imam Faqih Asy'ari beserta isterinya ( Nyai Hj. Munifah cucu dari K. Nur Aliman ), Maka kualitas pendidikan yang berlangsung selama ini mengalami kamajuan yang Spektakuler ( secara besar-besaran).
Setelah beberapa tahun beliau KH. Abdurahman NASYRUL ILMI WADDIN, semakin hari usia beliau semakin tambah, dan tepat pada tanggal : 27 dzulhijjah 1410 H/10 januari 1990 M. beliau pulang ke Rahmatullah. Semoga kejayaan tetap bagi Sumbersari beserta alumninya khususnya dan umat Islam umumnya sampai di akhir masa. Amin ya Rabbal alamin………!!!!!!!
3.KH.IMAM FAQIH ASY'ARI.
Mu'assis Ma'had Darussalam Sumbersari KencongKepung Kediri.
Segala piji bagi Allah seru sekalian alam, Maha Besar Engkau ya Allah dengan segala Firma-NYA. Hormat Ta'dzim sepanjang masa semoga tersanjung dan tercurahkan keharibaan paduka yang mulia Rasulullah SAW. Nabi Akhiruzaman, sanak keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang dekat di hati beliau. Amin Allahumma amin!!!!!!!!.
Sekitar awal abad xx kuncuplah setangkai bunga yang kelak akan mengharumi taman kehidupan yang diridloi Allah SWT, dialah yang akan menyandang gelar ''Alim Al 'Alamah'' penyantun dan penuntun umat karna karismanya sebagsi figur ''Warosatul Anbiya'' di sebuah keluarga kecil bertuankan suami istri yang taat akan nilai-nilai agama yang luhur, lahirlah bayi mungil nan mempesona yang diberi nama Imam Faqih As'ari tepatnya di desa Tretek kawedanan Pare kabupaten Kediri.
Beliau lahir pada tahun 1917 M. dalam lingkungan keluarga yang penuh dengan kesederhanaan serta Islami, kesederhanaan itu bukanlah faktor ekonomi melainkan dalam rangka meridloi putra putri beliau. Buktinya, kedua orang tua beliau ( H. Asy'ary + Hj. Halimah ). Selalu berpuasa setiap hari, kecuali hari-hari yang diharamkan. Itu semua adalah suatu hal yang positif. Bahkan, perlu dicatat ! bahwa beliau H . Asy'ari sangat mencintai ulama'. Itu terlihat meskipun sudah mempunyai dua putera, beliau berdua setiap hari kamis atau sabtu selalu berusaha mengaji ke Jampes yang kala itu diasuh oleh Kyai Dahlan. Melihat keadaan tersebut lama kelamaan Kiai Dahlan merasa iba dan menyuruh beliau pindah ngaji ke Bendo yang diasuh oleh Kyai Khozin. Oleh karena itu beliau bisa hadir bila pondok Jampes dan Bendo mengadakan khotaman dengan naik andong beserta membawa oleh-oleh.
Dalam mengarungi bahtera kehidupan bapak H.Asy'ari dan Hj. Halimah dikaruniai Allah swt 6 putera, yakni :
1. Bu Nyai Hj. Umi Kultsum( Klaten Wates ).
2. Bp.Syahid ( Genuk watu Sekoto Pare Kediri )
3. Ibu Nyai Hj. Fatimah (Tretek Pare Kediri )
4. KH. Imam Faqih Asy'ari (Sumber Sari)]
5. KH. Masyhadi (Junggo Ngoro Jombang )
6. Neng Ruqoyyah, beliau ini merupakan adik bungsu beliau KH.Imam Faqih Asy'ari, pada waktu pulang dari pondok Tegal sari + 24 hari beliau kembali ke Rahmatullah.
Semenjak kecil beliau KH.Imam Faqih Asy'ari sudah dididik oleh orang tuanya dengan disiplin agama, terutama tentang membaca Al-qur'an dan Al Barzanji. Disamping itu beliau rajin mengaji kepada K. Danuri ( Semanding Pare).
A. MONDOK DI TEBU IRENG
Sekitar tahun 1925 M, tepatnya beliau masih berumur 8 tahun, dan dalam keadaan belum dikhitankan, beliau sudah mulai menyelami samudra keilmuan religi yang begitu luas lagi dalam. Dengan satu tekad yang tak tergoyahkan, beliau nyantri di PONPES Tebu Ireng Jombang yang saat itu masih diasuh oleh KH.Hasyim Asy'ari seorang 'Alim 'Allamah yang merupakan pendiri Jam'iyyah NU. Dengan padas kurun itu, pesantren Tebu Ireng merupakan suatu pesantren yang bisa dikata begitu maju. Ini terbukti dengan diterapkannya sistem pendidikan yang memadukan antara pendidikan modern yang berupa madrasah dan sistem klasik yang berupa sorogan, bandungan, halaqoh dan ngaji weton.
Kedatangan Kiai Imam faqih Asy'ari di Tebu Ireng ditemani oleh kakak kandungnya yaitu Nyai Hj. Fatimah. Ketika itu beliau masih berusia 10 tahun. Sampai di Tebu Ireng beliau bertempat di Ndalem K. Alwi ( adik kandung KH. Hasyim Asy'ari ). Dalam pergaulan pesantren beliau juga ditemani oleh rekan sedaerahnya yaitu Bp. Muhsin ( putra H. Anwar Tretek ). Sesaat setelah beliau berdiam di Ndalem K.Alwi, dengan penuh kesungguhan,beliau langsung masuk di Madrasah salafiyyah di Sifir awal dan tsani hingga kelas lima, adapun pelajarannya beliau ilmu Tajwid dan setingkatnya. Sebelum beliau menamatkan sekolah MI pada tahun 1930 M. dalam kesehariaannya beliau bergantung kepada kakaknya, karena beliau saat itu masih kanak-kanak. Namun hal itu tak terulang lagi setelah beliau tamat sekolah MI, bersama 17 temannya, antara lain :
1. Agus Fatah ( Tambak Beras Jombang ).
2. K. Jaelani (Kertosono Nganjuk ).
3. Anwari ( Jetis Kediri ).
4. H. Kholil ( Cirebon Jabar ).
5. Makhsum ( Pemalang Jateng ).
Setelah mereka menamatkan belajarnya di tingkat Ibtidaiyyah di Tebu Ireng,sebagian ada yang pindah ke Lembaga Pendidikan yang lain dan sebagian meneruskan belajarnya di Tebu Ireng. Beliau K.Imam Faqih Asy'ari hingga tahun 1933 M.
B. MONDOK DI LiRBOYO KEDIRI
Sesungguhnya pada tahun 1933 M, Beliau mulai nyantri di pondok Lirboyo.Pindahnya beliau dari Tebu ireng bukan karena menghindari tugas, ( sebab beliau mandengar dari temannya bahwa beliau akan diangkat jadi guru atau pembantu kiai ) atau beliau takut dita'zir atau diusir. tetapi semua itu semata-mata dilakukan beliau karena sifat tawadu'nya yang merasa belum mampu. Namun kenyataannya tak sesuai dengan harapan beliau karena baru tujuh bulan di Lirboyo beliau dipanggil oleh K.Jauhari (ayah Gus Ma'sum) untuk diberi amanat : Faqih…! Koe saiki kudu mu lang moco lan nulis marang bocah cilik-cilik iku ! ( Faqih kamu sekarang harus mengajar membaca dan menulis kepada anak-anak kecil ). Dengan sepontan dalam hati kecil beliau beliau berkata : aku ngalih soko Tebu ireng kerono kanggo nambah ilmu, e weruh-weruh pak kyai nindakake amanat marang aku. Ya…Allah mugi-mugi panjenengan tulung kulo lan jiwo kulo.
Timbullah kebingungan dalam hati beliau karena tujuan pindah ke Lirboyo untuk menambah ilmu, tapi malah mendapat amanat dari K.Jauhari. Setelah direnungkan secermatnya lantas beliau menyadari, Mungkin dengan jalan ngajar inilah ilmuku akan bertambah. Akhirnya beliau berkenan memenuhi amanat dari kiainya. Semua itu beliau lakukan dengan rasa tulus, ikhlas dan ridla Allah semata.
Terangkatnya beliau KH. Imam Faqih Asy'ary menjadi guru di Lirboyo adalah sebuah sosok seorang santri yang mempunyai jiwa besar dan hormat pada orang tuanya, ini terbukti begitu beliau terangkat menjadi guru, beliau terus pulang guna berpamitan dan sungkem kepada orang tuanya, kemudian berangkat lagi ke Lirboyo untuk memenuhi tanggung jawabnya.
Disamping diangkat menjadi guru beliau juga diberi tugas mendirikan suatu lembaga pendidikan berbentuk madrasah, hal ini bukan berarti beliau adalah pendiri pertama Madrasah Lirboyo, karena sebelumnya lembaga Madrasah di Lirboyo yangsudah pernah didirikan sebanyak tujuh kali. Namun begitu setelah didirikan lalu mati entah apa sebabnya. Jadi dalam hal ini beliau hanyalah sebagai orang yang pertama menstabilkan dan mengefektifkan lagi lembaga Madrasah di pondok Lirboyo, maka ustadz Imam Faqih kemudian hari ditunjuk oleh kiai sebagai Roisul Madrasah (Ke palamadrasah). Sedangkan sistim pendidikan di Madrasah Lirboyo disamakan dengan Madrasah salafiyah Syafi'iyah Tebu Ireng -Jombang .
Di Lirboyo Mbah Faqih terkenal sebagai seorang guru yang telaten. Waqila, belum pernah ditemukan seorang guru yang sangat telatensepertihalnya Mbah Faqih baik dalam mengajar 'amrithy, Alfiyah, ''J. Maknun serta.''Uqudul juman.Semuanya memakai sistim imla' setiap 9/10 bait ditulis terus diberi ma'na gandul kemudian pada keesokan harinya setiap murid harus berdiri disampingnya Mbah Faqih untuk hafalan. proses seperti ini selalu di lakukannya setiap hari. Bukti ketelatenan beliau yang lain misalnya dalam mengajar beliau sering memberi tafsiran yang dalam setiap seminggu sekali buku dari siswa-siswa di kumpulkan (waktu mengembalikan biasanya pada hari sabtu). Anehnya tidak satupun yang terlewatkan dalam pengoreksiannya.
Selain sifat telaten Mbah Faqih juga masih memiliki keistimewaan yang lain diantaranya :
· Beliau sangat tekun mengaji dan nderes sampai-sampai tak sempat untuk ngobrol (berbicara yang tiada gunanya) bahkan sering membaca kitab (mbalah) pada santri yang lain, meski begitu beliau juga selalu bisa mengikuti pengajian Mbah kiai Manaf, padahal kitab yang sering dibalah Mbah Kiai Manaf jarang yang besar. Mitsalnya : Fathul Qorib, Alfiyah dan Dalail.
· Beliau juga terkenal sebagai santri yang dermawan, itu terbukti ketika beliau mendapatkan kiriman dari rumah, beliau langsung memerintahkan pada santri yang lain untuk mengambil beberapa dandang yang besar-besar guna menanak nasi, setelah matang santri yang lain + sebanyak 21 diajak makan bersama.
· Beliau juga sangat memperhatikan murid-muridnya, sampai- sampai beliau hafal semua nama murid beserta orang tuanya bahkan alamatnya. Kesemuanya itu dibarengi sifat ramah tamah dan penuh keakraban beliau..
B. MENGAJAR UQUDUL JUMAN
Dikala Kiai Imam Faqih ikut menangani madrasah dipondok Lirboyo pelajaran tertinggi adalah Al- jauhar Al- maknun bertepatan pada waktu itu beliau mengajarkan Jauharil maknun, jumlah siswa pada saat itu yang dipegang kiai Imam Faqih ini + 25 siswa. Setelah tamat, 25 siswa itu memohon kepada beliau untuk melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi, yakni pelajaran Uqudul Juman. Dan Untuk melengkapi sarana serta prasarana balajar -mengajar , setiap murid mengumpulkan uang sebesar 50 sen ( tempo dulu) untuk membeli papan tulis, meja, kursi dan kitab Uqudul Juman yang diperuntukkan untuk mbah Imam Faqih. Jadi beliau mengajar Uqudul Juman waktu itu kitabnya masih baru, bahkan dalam satu cerita, beliau belum pernah mempelajari kitab Uqudul Juman karena pada saat belajar di Tebu Ireng beliau belum pernah belajar Uqudul Juman. dalam rangka mengatamkan kitab tersebut beliau hanya membutuhkan waktu 18 bulan, sekalipun cara pengajaran seperti pelajaran yang lain.
Di saat mengajar Uqudul juman murid-muridnya kebanyakan sudah menjadi guru, ada yang mengajar 'amrithiy, ada pula yang mengajarAl- fiyah, dan ada yang mengajar Jauharul Maknun. Walaupun begitu sistim yang beliau pakai tetap menggunakan sistim hafalan dan setiap bulannya diadakan setoran. Program ini beliau lakukan sampai khatam. Pada akhirnya tinggal 11 santri yang mampu mengkhatamkan Uqudul juman. Antara lain :
· Mbah Sholeh ( Blitar )
· Mbah Mat ( Slumbung)
· Bpk.Ashfiyah ( Kendal semarang )
· Bpk.Jupri ( Trengalek ) beliau adalah yang momong KH. Ali Shodiq pada waktu mondok di Lirboyo.
· Dan lain sebagainya.
Sebagai akhir kegiatan beliau di Lirboyo adalah membacakan kitab Shohih Bukhari.
D. MELAKSANAKAN SUNAH RASUL DAN BERJUANG DI JOMBANGAN
Ada pepatah mengatakan " Rasa senang kadang melalaikan segalanya ", begitu pula yang dialami Mbah Faqih. Tepatnya pada hari Kamis bulan J. Akhir tahun 1942 M. Mbah faqih pulang dari Lirboyo untuk membaktikan diri kekampung halamannya. Selang lima hari terhitung dari kepulangannya dari Pon.Pes Lirboyo beliau melaksanakan sunah Rasul atau Nikah dengan seorang Ning berasal dari Jombangan Pare ( Putri Kiai Abu Umar ) Pengasuh Pon.Pes Miftahul Ulum. Setelah menjadi menantu kiai Abu Umar beliau mendapat mandat penuh dari sang mertua untuk membantu proses belajar di Pondok Jombangan.
Setelah mendapat kepercayaan penuh beliau mbah Imam Faqih langsung mendirikan madrasah pada bulan Syawal. Walaupun sebelumnya sudah ada Madrasahnya, namun hanya untuk anak-anak kecil. Dengan kedatangan mbah Imam Faqih, Mardasah di Jombangan stabil, tertib dan lebih maju serta berkembang. Untuk menarik simpati, Madrasah dimasukkan sore, beliau bukan saja membantu di Madrasah namun juga membantu pelaksanaan pengajian kitab kuning hingga tampak lebih maju. meski demikian, beliau tetap rutin pada hari kamis datang ke pondok Lirboyo untuk sowan kepada kiainya.
D. PINDAHNYA KIAI IMAM FAQIH KESUMBERSARI
Empat setengah tahun kemudian,setelah perkembangan pondok Jombangan dirasa setabil maka, beliau bermaksud mengembangkan ilmunya lebih luas lagi dan sekaligus ingin merintis lembaga pendidikan (pondok pesantren) di suatu daerah yang rawan dan lengang. Maka bertepatan tanggal 13 maret 1948 M, beliau bersama sang istri, bersepakat untuk "Nasyrul 'ilmi waddin" di suatu dukuh yang mana Kyai Nur Alim, yaitu orang pertama yang mendiami dukuh tersebut, pernah merintis progam pengajian didukuh itu, tak lain dukuh tersebut adalah Sumbersari.
Dalam perjalanannya, beliau diikuti oleh 17 santri dari jombangan. menurut kisah lain beliau diikuti 12 santri.diantaranya:
1. Kyai Toha Romlan ( pengasuh pon pes Kebon Dalem Kandangan ).
2. Kyai Kamim ( Rewek sampang Madura ).
3. Bpk Dawani ( Jawa Tengah ).
4. Bpk. Abdul Karim ( Tretek Pare ).
5. Drs.Husni Waluyo ( Mantan Kandepag Kab.Mojokerto ).
6. Bpk.Muktar ( Pare ).
7. Bpk.Sirojuddin ( Sidomulyo Puncu Kediri ).
8. Bpk. Baedlowi ( Ngelamong Semanding ).
9. Bpk. Adro'I ( Lamong Pare ).
10. Bpk. Rofi'I ( Kamiri Kandangan ).
11. Bpk.Damamini ( kandangan ).
12. Bpk.Abdul Somad ( Pujon Malang ).
Menurut kisah, sewaktu datang di Sum- bersari, keadaan kampung tersebut masih sunyi karena baru didiami dua keluarga yaitu keluarga Kyai Nur Aliman, keluarga K. Iskandar ditambah beberapa bangunan rumah untuk para santri. Mes kipun demikian, pindahnya Kyai Imam Fakih sa- ngat beruntung, dimana saat itu ( perpindahan rumah ) dihadiri 'Ulama' besar yaitu Kyai Khozin dari Bendo pare ( Ayah Kyai Hayat ) yang ikut mendo'akan dan merestuinya. Sebuah rumah yang berada di tengah-tengah tegalan sebelah- nya masjid, itulah ndalem K. Imam Faqih pada mulanya.
F. AWAL MULA DIDIRIKAN MADRASAHDAARUSSALAM
Dengan berbekal sejumlah santri, pendidikan klasikal atau madrasah umum pada mulanya han- ya dibuka pada klas 1V Ibtidaaiyyah dan klas V ibtidaaiyyah. Dalam pelaksanaan pendidikan ini belum ada tempat kokoh. Waktu itu dikediaman beliau masih berupa rumah kecil yang berdinding bambu, dan sebelah baratnya ada bangunan tak berdinding. Tempat ini merupakan tempat pendi dikan setiap harinya sebagai ajang menuntut ilmu.
Mengingat sikon yang seperti ini, para santri tak tinggal diam, me- rekapun ha- rus berusa- ha memper baiki keada an untuk sarana pen- didikan. Se- arah de- ngan ber- jalanya waktu, sekitar kurang dari 5 bulan didiri- kan bangunan baru yang lebih baik. Setelah se- lang beberapa bulan pandidikan madrasah ber- jalan lancar, maka nama beliau mulai dikenal masyarakat sekitar. Dan akhirnya banyak santri datang dari luar daerah dengan tujuan menuntut ilmu. setelah melihat keadaan yang seperti itu, be liau mengambil kebijaksanaan untuk mengelola adanya pendidikan yang mengarah lebih maju. Maka diusahakan pengajar dari murid yang sudah mampu untuk membantu memberikan pendidikan dikelas bawahnya. Diantara tenaga pengajar tadi adalah:
1. Bpk. Sirojuddin.
2. Bpk. Khamim.
3. Bpk. Toha.
4. Bpk. Mukhtar.
5. Bpk. Abdul Karim.
Pada tahun 1949 M. Pendidikan rutin sempat terlambat dengan terjadinya Agresi. Setelah kea- daan dirasa cukup aman, pendidikanya segera di lanjutkan kembali dan didirikan pula sebuah mu- shola yang sederhana dan terbangun dari bambu. Kemudian pada tahun 1957 M. beliau mulai mem buat madrasah dan pondok yang berada disebe- lah utara mushola yang sampai sekarang masih berdiri kokoh ( kamar umum ).Setelah itu, beliau K. Imam Faqih Dan K. khamim berinisiatif untuk memberi nama madrasah tersebut . beliau berdua selalu bermusyawarah dengan melihat lingkungan sekitar yang banyak ditanami pohon salam, maka beliau berdua mendapatkan inspirasi bahwa madrasah terse but diberi nama '' MADRASAHISLAAMIYYAH DAARUSSALAMAH ''.
G. Tragedi diawal Daarussalam
Roda kehidupan setiap insan didu nia ini tidaklah abadi berjalan dengan lancar dan mulus, coba an dan rintangan pastilah dialami. Karena hidup tan pa rintangan ba- gaikan sayur tanpa garam yang tentunya hambar lah rasanya. Begitulah kehidupan didunia ini, ma- nusia tak mempunyai kekuasaan, hanya Allah SWT yang menentukan.
Diawal perjalananya terjadilah musibah be- rupa angin ribut yang mengakibatkan sebagian gu buk para santri ambruk. Tapi semua itu tak men- jadi hambatan bagi orang yang himmahnya tinggi. bahkan menjadi pendorong untuk semakin giat dan semangat untuk mencapai cita-citanya yang luhur. Akhirnya, berkat kesabaran dan kegigihan, terwujudlah bangunan lagi dan proses belajar me- ngajar dapat berjalan lancar lagi. namun dite- ngah- tengah keasyikan para santri menggali ki- tab kuning, terjadilah agresi belanda, dan Sumbersari pun tak luput dari serangan tersebut. Peris- tiwa itu terjadi sekitar tahun 1949 M. dan secara tidak langsung mengakibatkan kegiatan belajar mengajar dan mengajipun sedikit terganggu, bah- kan sempat berhenti. dikarenakan banyak santri yang pulang kekampung halamanya guna turut berpartisipasi memperjuangkan tanah kelahiran- nya.
H. SITUASI PULIH KEMBALI
Sekitar + bulan setelah agresi Belanda keadaanpun mulai pulih kembali seperti sedia kala. Maka pendidikan segera dimulai, dan didiri-kan pula musholla yang sederhana ( terbuat dari bambu ). Bersama dengan berputarnya waktu pa- ra santri terus bertambah dan mengakibatkan pon dokan dari bambu sudah tidak muat lagi untuk me nampung. Hal inilah yang mendorong hasrat beli- au untuk membangun pondokan yang permanen. Baru pada tahun 1957 M. beliau berhasi memba- ngun pondokan yang bahanya diambil dari bekas rumah beliau didesa Tretek Pare. Lokasi bangu- nan tersebut berada disebelah utara musholla, dan sampai sekarang masih berdiri kokoh ( kamar umum ).
I. MEMENUHI PANGGILAN ILLAHI KEBAITILLAH
Pada tahun 1960 M. Mbah Faqih berkeinginan menunaikan ibadah Haji. Dengan segala persia-panya beliau mendaftarkan diri secara resmi me- lalui undian, tapi ternyata undian beliau tidak ke- luar saat itu. Maka beliau mengoper alihkan de- ngan membuat balai rumah. setelah membangun nya selesai, beliau mengikuti undian Hajji lagi. Alhamdulillah, undian kali ini memberi kesempa- tan pada beliau untuk menunaikan jbadah Haji dengan menaiki kapal laut. Hal ini terjadi pada tahun 1961 M. sepulang dari tanah suci beliau me rehab dan memperluas musholla yang tadinya terbuat dari bambu diganti dengan tembok, terjadi pada tahun 1962 M.
J. PULANG KERAHMATULLAH
Setelah berhasil mengkoordinir pondok dan madrasah yang syarat dengan kemajuan dari ber bagai aspek dengan sistem pendidikan Islami Syalafi telah membawa kemenangan gemilang dalam mencetak generasi islam yang bermutu dan siap pakai. Dan menjadi sunnatulloh yang tak mungkin lagi kita ingkari bahwa alam telah beru- bah. setiap sesuatu yang berubah itu baru. maka sudah tak hayal lagi jika, semakin hari umur kita berkurang dan kondisi semakin melemah yang akhirnya semakin tak berdaya.
Begitu juga yang dialami mbah Faqih, dari hari kehari kondisi beliau semakin melemah dise- babkan kesehatan yang semakin berkurang se- hingga sudah tidak memungkinkan lagi melaku- kan aktifitas sebagaimana sebelumnya, dan beliau lebih banyak baristirahat selama + 4 bulan terakhir sebelum kewafatan beliau, ditengah-te ngah para santri sedang giat- giatnya belajar dan memusatkan fikiran demi keberhasilannya de- ngan suasana alam yang diselimuti kabut pagi dan dinginnya sisa angin malam, beliau telah kem bali kepangkuan Illahi Robbi dengan tenang. Te- patnya pada hari ahad tanggal 27 Dzul hijjah pu- kul 03.00 dini hari dalam usia 80 tahun.
Hal tersebut, merupakan salah satu moment yang sangat penting dan perlu untuk digaris ba- wahi, bahwa seorang AULIYA'ULLAH telah di-ambil kembali ke hadirat Robbil 'izzati. Angin me-nghembus lirih daun-daun berguguran menghiasi pucuk- pucuk pepohonan yang tertunduk berbaur rasa kidmad seakan turut serta berduka cita. Beliau dibawa menuju tempat peristirahatan tera-khir di dusun Sumber Sari sebelah barat masjid dengan diiringi suara- suara tahlil disepanjang perjalanannya.
Usai sudah tugas beliau dalam mengem- ban Amanat Allah dan melestarikan agama-NYA dengan mengubah kejahilan dengan kunci-kunci iman dan kehidupan islami.
Semoga dengan berhakhirnya sejarah pondok Sumber Sari di edisi kedua ini dapat menjadikan tambahan wawasan dan kesemangatan kita se- mua untuk mencari ilmu agama, dan semoga kita semua mendapatkan barokah ilmu beliau Amin Amin Amin.

Sabtu, 28 Januari 2012

SUHRAWARDI AL-MAQTUL: SANG GURU CAHAYA

Wali Allah yang sekaligus filsuf besar, dikenal dengan julukan Syaikh al-Isyraq atau “Guru Cahaya,” yang mengharmonisasikan spiritualitas dengan filsafat. Beliau menciptakan sintesis filosofis yang bersumber dari berbagai sumber, khususnya pemikiran Islam dan mistisisme Islam enam abad sebelum dirinya. Beliau sendiri memandang dirinya adalah penerus tradisi kuno Iran dan Mesir. Konon beliau mendapat pencerahan dan ilmu langsung dari Hermes atau Nabi Idris. Karya besarnya adalah Hikmah al-Isyraq (Filsafat Iluminasi), yang sangat mempengaruhi mistisisme , terutama di kawasan Persia (Iran). Beliau mendapat julukan al-maqtul (yang dibunuh) karena dihukum mati.

Syaikh al-Isyraq Syihab al-Din Yahya ibn Habasy ibn Amirak al-Suhrawardi lahir di kota kecil bernama Suhrawardi, Persia Barat sekitar tahun 1153 M (549 H). Sejak kecil beliau sudah tertarik dengan ilmu pengetahuan dan laku spiritual. Pada masa remaja beliau berkelana untuk mendalami ilmu pengetahuan dan hikmah ke Maraghah, berguru kepada Majd al-Din al-Jili, dan kemudian ke Isfahan. Beliau mendalami kitab Bashair al-Nashiriyyah, karya Ibn Sahlan as-Sawi, yang berisi pelajaran logika. Selain itu beliau menguasai pula ajaran fiqh mazhab Syafi’i. Pada periode yang hampir sama beliau juga mulai bergabung dengan kelompok sufi, berkelana dari satu tempat ke tempat lain, beruzlah dan melakukan riyadhah dam mujahadah spiritual yang keras, berpuasa sepanjang hari, serta banyak bertafakur dan merenungkan persoalan-persoalan filsafat. Beliau menyukai sama’ atau musik spiritual. Pada usia yang relatif muda beliau telah mencapai maqam spiritual yang tinggi, dan menunjukkan banyak karamah. Beliau juga melakukan perjalanan ke Anatolia dan kemudiantinggal di Aleppo.

Syekh Suhrawardi al-Maqtul selain dikenal cerdas dalam berdebat juga amat pemberani dan cenderung tak peduli pada dunia dan suka berterus-terang. Karena keberaniannya inilah beliau mendapat banyak masalah, terutama dari para ahli hukum (faqih) yang tidak suka kepadanya lantaran merasa tersaingi dan sering kalah dalam perdebatan melawannya. Keberaniannya inilah yang membuatnya dihukum mati. Kisah sebab-musabab kematiannya ada beberapa versi. Salah satunya yang terkenal adalah sebagai berikut. Saat di Aleppo Syekh Suhrawardi biasa berceramah di hadapan banyak ulama dan ahli fiqh. Dalam ceramah-ceramahnya beliau secara blak-blakan mengecam keyakinan beberapa filsuf dan ulama, dan menunjukkan kesalahan mereka. Bahkan beliau tak segan-segan beradu mulut dengan sengit dan menunjukkan kesalahan mereka di muka umum. Selain itu kadang-kadang Syekh Suhrawardi menunjukkan kekuatan spiritualnya kepada mereka. Karena tak mampu menandingi kecerdasan dan keluasan ilmunya, akhirnya para ulama bersatu untuk menyingkirkannya. Mereka menuduh beliau sebagai ahli sihir dan punya pandangan filsafat yang menyesatkan dan membahayakan umat Islam. Mereka bahkan menuduh Syekh Suhrawardi mengaku-aku sebagai nabi. Mereka kemudian mendesak sultan, yakni Malik al-Zhahir, putra Shalahuddin al-Ayyubi, untuk menghukum mati Syekh Suhrawardi. Sultan Malik al-Zhahir kemudian mengundang para ulama dan Syekh Suhrawardi untuk berdebat di istana. Tetapi dalam perdebatan ini Syekh Suhrawardi muncul sebagai pemenangnya, sehingga Sultan Malik menjadi sahabatnya.

Akhirnya para ulama dan fuqaha mengirim surat kepada Shalahuddin al-Ayyubi yang isinya memfitnah Syekh Suhrawardi. Dalam surat itu, secara garis besar, dikatakan bahwa Syekh Suhrawardi menipu Sultan Malik al-Zhahir, dan jika dibiarkan hidup akan merusak iman Sultan Malik, dan jika beliau diusir akan merusak setiap tempat yang didatanginya. Akhirnya Sultan Shalahuddin menyurati putranya (Sultan Malik) agar Syekh Suhrawardi dihukum mati dalam usia 38 tahun. Hukuman matinya dijatuhkan pada tahun 1191 atau 586 H. Versi kematiannya berbeda-beda; sebagian mengatakan beliau mogok makan di tahanan sampai meninggal; sebagian mengatakan beliau digantung; dan sebagian mengatakan beliau dipancung dengan pedang. Tubuhnya konon dibakar dan dijatuhkan dari atas benteng. Belakangan Sultan Malik al-Zhahir, yang sesungguhnya tidak ingin membunuh Syekh Suhrawardi, membalas dendam kepada para pemfitnah – mereka dimasukkan ke penjara dan semua hartanya disita.

Karya dan ajaran dan karamah

Syekh Suhrawardi al-Maqtul meyakini bahwa pengetahuan (filsafat) sejati, atau pengetahuan tertinggi, tidak bisa dicapai hanya dengan olah intelektual semata, tetapi juga harus diiringi dengan laku spiritual untuk mensucikan hati (Tasawuf). Hanya dengan cara itulah pengetahuan hakikat akan bisa diperoleh dengan lebih sempurna. Menurut beliau, di dalam diri manusia sesungguhnya telah tersimpan kebijaksanaan kekal, yang bersumber dari sesuatu yang tidak diciptakan dan tidak dapat diciptakan. Itu berarti bahwa seseorang mesti melangkah melampaui tataran empiris-intelektual rasional dan material menuju ke alam yang lebih tinggi dan sublim. Proses pelepasan dari sifat-sifat material ini adalah semacam ziarah, bukan ke dunia eksternal, bukan ke belantara akal dan perdebatan intelektual yang berdasarkan definisinya sendiri adalah terbatas, tetapi perjalanan menjelajahi dunia batin, ke dalam diri. Secara paradoks, perjalanan ke “dalam” diri ini pada akhirnya akan membawa seseorang “keluar” dari dirinya sendiri dan “ke luar” dari dunia material, masuk ke dunia spiritual dan pengetahuan abadi yang tak ada batasnya. Dalam perjalanan ke “dalam” diri ini seseorang mesti membersihkan daya-daya yang bersifat “gelap” atau mengaburkan visi yang sejati: sifat-sifat kebinatangan, nafsu dan syahwat, ego, bahkan imajinasi “keakuan” sebagai sesuatu yang eksis tersendiri, harus dienyahkan. Jika ini sudah tercapai, maka akan terbukalah daya-daya ruhaniah, yang bisa melihat, mendengar, merasakan, mencium segala sesuatu tanpa bantuan indera dan memahami segala sesuatu yang ada di luar dunia material dan indera. Ini adalah pengetahuan dari Cahaya tentang Cahaya, dan inilah hikmah al-siyraq, pengetahuan dan filsafat cahaya. Pada titik tertentu dalam perjuangan ruhani ini, seseorang akan dipenuhi dengan cahaya pengetahuan ilahiah ini hingga mencapai batas yang mampu ditanggungnya.

Pada tahap ini orang akan melihat dirinya sendiri (esensinya) dan ia akan senang karena menyaksikan cahaya yang memancar dari dirinya sendiri. Ia akan menyadari bahwa pada dasarnya seluruh semesta adalah cahaya yang bersumber dari satu Cahaya abadi. Dari sumber ini muncul hirarki cahaya vertikal yang memuat tingkatan-tingkatan eksistensi universal. Kata isyraqi itu sendiri juga berarti iluminasi, pancaran yang menerangi, seperti cahaya pertama di pagi hari yang memancar dari Timur (syarq). Dalam pengertian filosofis dalam ajaran Syekh Suhrawardi, ini bukanlah sekedar “Timur” geografis, tetapi “Timur” asal realitas (eksistensi).

Pada saat inilah cahaya itu seakan-akan tak mau pergi lagi, tetapi hendak menetap dalam dirinya, dan pada momen ini seseorang akan merasakan sakinah atau cahaya ketenangan: “Allah lalu menganugerahkan sakinah-Nya kepadanya” (Q. S. 9:40). Para pemilik sakinah adalah “orang-orang yang beriman (mukmin), yang hatinya menjadi tenteram dengan berzikir kepada Allah” (Q.S. 13: 28). Orang mukmin ini bukan mukmin nominal atau awam, namun mukmin yang sesungguhnya (Para Nabi/Rasul dan Wali Allah) yang memiliki ketajaman hati dan pikiran (firasat) dan kasyaf. Rasulullah bersabda “hati-hatilah terhadap firasat orang mukmin, sebab dia melihat dengan Cahaya Tuhannya.” Dengan kata lain, karena Cahaya pengetahuan Ilahiah sudah “menetap” di dalam dirinya, maka seseorang akan melihat segala sesuatu dengan cahaya-Nya, dan karena Allah adalah “Cahaya Langit dan Bumi” (Q. S. 24: 35) maka tak ada sesuatupun yang tersembunyi di bawah Cahaya-Nya – sebab kegelapan tabir telah enyah. Karenanya, menurut Syekh Suhrawardi, para pemilik sakinah, para Wali Allah, dapat membaca pikiran orang lain, mengetahui dan memahami hal-hal ghaib, dan kecerdasannya akan disempurnakan melalui karunia firasat dan kasyaf ini. Mereka bisa melihat dan mendengar langsung isyarat dan panggilan yang lembut dari Allah Yang Maha Suci. Tetapi ini belumlah sempurna.

Jika orang itu melangkah lebih jauh, dia akan sampai pada tahap di mana dia mengira bahwa esensi dan kesadaran dirinya akan terhapus. Ini dinamakan fana i-akbar (fana besar). Tetapi jika dia kemudian lupa pada kelupaaannya itu, maka ini dinamakan fana dalam fana. Ketika totalitas kesadarannya lenyap dalam obyek kesadaran barulah dia akan mencapai kesempurnaan; sebab, jika seseorang masih menyadari tindak kesadaran dan juga menyadari obyek kesadaran, ini berarti dia memiliki dua obyek. Karenanya untuk mencapai kesempurnaan seseorang mesti “meninggalkan dirinya” demi obyek kesadarannya, hingga yang tersisa hanyalah obyek kesadarannya. Ini adalah keadaan penghapusan sepenuhnya: “Segala yang ada di bumi ini akan lenyap musnah. Yang kekap hanyalah Wajah Tuhanmulah yang memiliki Keagungan dan Kemuliaan” (Q. S. 55: 26-27). Ini adalah persatuan, realisasi sejati dari doktrin Keesaan Allah, Tauhid.

Menurut Syekh Suhrawardi al-Maqtul, Tauhid itu sendiri terbagi menjadi lima tingkatan: (1) “La ilaha illa Allah,” tiada tuhan selain Allah, Tauhidnya orang awam; (2) “La ilaha illa hu,” Tauhidnya golongan yang terpilih di antara yang awam. Tingkatan ini lebih tinggi dibanding yang pertama, sebab yang pertama menyangkal tuhan selain Allah, sedangkan golongan kedua ini tidak hanya berhenti pada pengakuan bahwa selain Allah itu bukan tuhan, tetapi juga menyangkal semua identitas obyektif dalam kaitannya dengan identitas Tuhan; (3) “La ilaha illa anta,” tiada tuhan selain Engkau, Tauhidnya golongan ketiga, yang mengacu kepada kehadiran Tuhan (“engkau” adalah pihak kedua yang hadir); (4) “La ilaha illa ana,” tiada tuhan selain Aku, Tauhid orang-orang yang telah menghapus diri mereka sendiri; dan (5) yang tertinggi adalah Tauhid yang tak terungkapkan dalam kata-kata. “Ke-Engkau-an,” “Ke-Aku-an,” dan “Ke-Dia-an” semuanya adalah representasi istilah, yang dari sudut pandang Tuhan tetap tidak bisa mewakili Eksistensi-Nya. Golongan orang ini telah menenggelamkan ketiga cara pembicaraan itu dalam samudera penghapusan. Mereka menghancurkan ungkapan-ungkapan, meninggalkan semua acuan yang masih menunjukkan “arah” dan “representasi.” Karena semuanya sudah musnah, “Dan segala sesuatu akan musnah kecuali Dia” (Q. S. 28:88), maka tidak ada lagi yang tersisa untuk diucapkan, lantaran kata-kata tak lagi bermakna. Seperti dikatakan dalam salah satu keterangan tentang Tasawuf, “Tasawuf pada awalnya adalah Tuhan, dan pada akhirnya adalah tanpa batas, tanpa isyarat, tanpa arah, tanpa pembicaraan.”

Karamah Syekh Suhrawardi ada banyak, namun tidak banyak diungkapkan secara detail. Menurut salah seorang sahabatnya, Syekh Suhrawardi telah sampai pada maqam di mana beliau, selain punya firasat yang amat tajam, juga bisa mewujudkan setiap bentuk yang dikehendakinya, seperti mengubah batu menjadi emas.


Sumber : http://rumahcahaya.blogspot.com/search?updated-min=2011-01-01T00:00:00-08:00&updated-max=2012-01-01T00:00:00-08:00&max-results=50

AYN AL-QUDAT AL-HAMADZANI

Beliau adalah cendekiawan dan wali Allah yang syahid karena dihukum mati oleh Sultan Saljuk, Mahmud. Meski meninggal dalam usia yang muda (33 tahun) namun kemasyhurannya sebagai wali Allah menarik banyak pengikut dari banyak tempat. Beliau kadang menampakkan karamah-karamahnya, termasuk menghidupkan kembali orang mati. Syekh Ayn al-Qudat al-Hamadzani dihukum mati karena dituduh mengajarkan ajaran panteisme atau menyamakan Tuhan dengan makhluknya. Menurut seorang sarjana, Syekh Ayn al-Qudat tergolong dalam tradisi teo-erotisisme dalam tasawuf, yakni “mazhab” tasawuf yang menekankan pada cinta (mahabbah), rindu (syawq), cahaya (nur), api (nar), dan kesatuan (wahdah) – yang berpuncak pada “kesatuan” antara pecinta dan yang dicintai, antara Tuhan dan makhluknya. Sebagian besar ajaran Syekh Ayn al-Qudat didasarkan pada sistem penafsiran ganda, yakni “wilayah akal” (thawr al-aql) dan “di luar akal” (thawr wara’ al-aql).

Tiada wujud selain wujud al-Haqq [Allah]. Maka wujud segala yang ada bukan diluar wujud al-Haqq, tetapi ia [yakni wujud segala sesuai itu] adalah dia [yakni wujud al-Haqq] juga.
[Zubdat al-Haqaiq]

Nama lengkapnya adalah Syekh Abu al-Ma’ali Abdullah ibn Abi Bakr Muhammad ibn Ali ibn al-Hassan ibn Ali Al-Hamadzani, dilahirkan di Hamadzan pada 1098 (492 H) dari keluarga terpelajar. Kakeknya adalah qadhi Hamadzan yang mati syahid saat terjadi serangan tentara Saljuk. Ayah Ayn al-Qudat, seorang sufi, juga meninggal karena kekerasan. Tidak banyak yang diketahui tentang masa kecilnya, namun yang jelas Syekh ini dikaruniai kecerdasan luar biasa. Bahkan dalam usia 20 tahun beliau sudah menulis banyak kitab, sebagian diantaranya, menurut keterangannya sendiri, adalah “kitab yang bahkan sulit dipahami oleh orang seumur 50 atau 60 tahun, apalagi menyusunnya.” Syekh Ayn al-Qudat menguasai tata bahasa Arab, filologi, sastra Arab, tafsir al-Qur’an, hadits, teologi (kalam), fiqh mazhab Syafi’i (dan telah memenuhi syarat menjadi qadhi) – ringkasnya semua cabang ilmu pengetahuan telah dikuasainya dalam waktu yang relatif singkat, kurang dari 10 tahun saja. Bahkan risalah-risalah yang memicu kontroversi telah ditulisnya saat beliau berusia 14 tahun.

Syekh Ayn al-Qudat mengatakan bahwa beliau meninggalkan studi sekular pada usia akil baligh dan “dengan tekun menelaah ilmu keagamaan” serta menyibukkan diri di jalan sufi. Sejak usia 21 tahun, setelah menulis risalah tentang sifat kenabian, selama tiga tahun berikutnya beliau dikaruniai segala macam pengetahuan ruhaniah dan ilham-ilham yang tak mungkin terlukiskan. Beliau mengatakan bahwa dirinya “nyaris di pinggir neraka seandainya Allah tidak menolongku dengan rahmat dan kemurahan-Nya.” Telaahnya terhadap ilmu kalam justru menambah kekacauan dan kebingungan. Pertolongan Allah datang setelah beliau menelaah kitab karya Hujjatul Islam, Imam ABU HAMID AL-GHAZALI, terutama karya besarnya, Ihya Ulum al-Din. Sedemikian berpengaruhnya kitab ini hingga Syekh Ayn al-Qudat menulis, “mata batinku mulai terbuka (kasyaf).” Selama setahun beliau terus dikuasai olehh pengetahuan ruhaniah lantaran berkah mengaji kitab Ihya ini. Kemudian datanglah adik Imam al-Ghazali, yakni Syekh Abu al-Futuh AHMAD AL-GHAZALI, ke Hamadzan. Kehadirannya yang hanya kurang dari 20 hari telah menyempurnakan pengetahuan ruhaniah Syekh Ayn al-Qudat. Hingga Syekh Ahmad al-Ghazali meninggal, beliau terus berhubungan dengannya melalui surat-surat dan beberapa pertemuan. Melalui bimbingan Syekh Ahmad al-Ghazali Syekh Ayn al-Qudat mencapai kemajuan spiritual yang melampaui batas-batas penalaran rasional dan membawanya ke alam ilahiah. Guru lainnya yang mendidiknya adalah Syekh Abu Abdullah Muhammad ibn Hamawaih al-Juwaini (w. 1220), penulis kitab Salwat at-Thalibin. Menurut Syekh Ayn al-Qudat, kehadiran guru yang hidup, bukan hanya kitab-kitab sufi, adalah syarat utama bagi kehidupan di jalan Sufi.

Prestasi dan kecemerlangan intelektual, serta pandangan-pandangan sufinya yang kontroversial, menyebabkan banyak kalangan iri dan memusuhinya. Syekh Ayn al-Qudat secara resmi diadukan kepada menteri Saljuk dari Irak, Abu al-Qasim Qiwamuddin Nashir ibn Ali al-Daragazini yang terkenal zalim dan haus darah. Menteri inilah yang menjebloskan Syekh Ayn al-Qudat ke dalam penjara. Selama di penjara ini Syekh Ayn al-Qudat menulis kitab pembelaan atas pandangan-pandangannya. Setelah beberapa bulan ditahan, beliau dkirim kembali ke Hamadzan dan dihukum mati secara biadab pada 1131.

Syekh Ayn al-Qudhat menulis banyak risalah, dan sebagian besar telah hilang. Tetapi kitabnya yang amat terkenal adalah Tamhidat. Kitab ini, yang dipengaruhi oleh kitab Sawanih karya gurunya, Syekh Ahmad al-Ghazali, banyak dibaca di dunia Muslim. Tamhidat adalah kitab yang disukai para sufi Chistiyyah di Delhi pada akhir abad ketiga belas. Seorang wali Allah dari tarekat Chistiyyah, yakni Gisudaraz, menulis ulasan tentang buku ini, dan kemudian seorang wali Allah bernama Miran Husain Shah dari Bijapur menerjemahkannya ke bahasa Urdu. Syekh Jami’ mengatakan tentang Ayn al-Qudhat, “hanya sedikit orang yang dapat menyingkap hakikat kenyataan dan penjelasan tentang hal-hal yang pelik seperti Syekh Ayn al-Qudhat.” Kitab lainnya adalah Syakwa al-Gharib, pembelaan atas ajarannya yang ditulis saat di penjara, yang dipuji keindahan bahasanya, sehingga dikatakan secara metaforis, “jika kitab ini dibacakan kepada bebatuan, maka bebatuan itu akan bergetar [oleh keindahan ungkapannya],” dan kitab Nama-ha, yang berisi koleksi ratusan surat Syekh Ayn al-Qudhat kepada beberapa muridnya.

wa Allahu a'lam
Tri Wibowo BS / Mbah Kanyut al-Jawi
Ikhwan TQN Suryalaya
Arsip Manaqib Ringkas lainnya ::
http://www.facebook.com/note.php?note_id=126331078339
http://www.facebook.com/note.php?note_id=123371558339
http://www.facebook.com/note.php?note_id=123235338339
http://www.facebook.com/note.php?note_id=121816338339
http://www.facebook.com/note.php?note_id=121403668339
Sumber :  http://rumahcahaya.blogspot.com/search?updated-min=2009-01-01T00:00:00-08:00&updated-max=2010-01-01T00:00:00-08:00&max-results=22

SEJARAH SHALAWAT BADAR

Shalatullah salamullah ala toha rasulillah
Shalatullah salamullah ala yasin habibillah…
Hampir bisa dipastikan semua orang Nahdlatul Ulama kenal dengan shalawat ini – Shalawat Badar. Shalawat ini adalah shalawat yang banyak sekali faedahnya, menjadi sumber kekuatan dan pertolongan dan wasilah kepada Rasulullah SAW. Tetapi tak banyak yang tahu bahwa shalawat ini diilhamkan kepada seorang Kyai asli Indonesia dari NU, yakni Kyai Ali Mansur, yang semasa hidupnya menjabat sebagai pengurus NU Banyuwangi, Jatim.

Saat itu sekitar tahun 1960-an. Kyai Mansur gelisah karena memikirkan pergolakan politik yang makin kacau; orang-orang PKI makin kuat di daerah pedesaan, sedangkan warga NU terdesak. Pada suatu malam beliau bermimpi didatangi sekelompok Habaib berpakaian putih-hijau, dan pada saat yang sama istrinya bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Beliau menanyakan mimpi ini kepada seorang Habib ahli kasyaf, Habib Hadi al-Haddar Banyuwangi. Oleh Habib dijawab bahwa itu adalah para pahlawan perang Badar.

Dua mimpi istimewa suami-istri ini menjadikan dirinya memperoleh ilham untuk menulis syair dan shalawat. Yang lebih aneh, esok harinya tetangga berdatangan membawa banyak bahan makanan, seolah-olah akan ada acara besar. Para tetangga ini bercerita bahwa pagi-pagi buta rumah mereka diketuk oleh orang-orang berjubah putih yang memberi tahu bahwa Kyai Ali Mansur akan ada kegiatan besar. Kyai Ali Mansur bingung karena tak punya hajatan besar apapun; namun para tetangga bergotong royong memasak di dapur sampai malam, siap-siap menyambut kedatangan tamu esok pagi.

Pagi hari, Kyai Ali Mansur duduk di rumahnya sambil bertanya-tanya siapa tamunya.. Lalu menjelang matahari muncul datanglah serombongan habaib dipimpin oleh Habib Ali ibn Abdurrahman al-Habsyi dari Kwitang, Jakarta.

Setelah mereka berbincang, Habib Ali Kwitang bertanya kepada Kyai Mansur “mana syair yang ente buat kemarin? Mohon bacakan dan lagukan di depan kami semua.” Kyai Ali Mansur kaget karena Habib Ali tahu apa yang dikerjakannya kemarin malam, padahal beliau belum bercerita kepada siapapun dan lagipula baru kali ini Habib Ali Kwitang datang jauh-jauh dari Jakarta ke Banyuwangi.

Kyai Ali Mansur kemudian membacakan syair itu sambil dilagukan. Dan memang Kyai yang satu ini suaranya sangat bagus. Para habaib mendengarkan, dan tak lama kemudian mereka menangis. Selesai dibaca, Habib Ali Kwitang berdiri dan berkata, “Ya Akhi, mari kita lawan Genjer-genjer PKI dengan Shalawat Badar!” Kemudian Kyai Ali Mansur diundang ke Kwitang untuk mempopulerkan Shalawat Badar di sana.

Karena itulah bacaan Shalawat Badar ini sering dipakai dalam istigotsah dan sering diamalkan para santri yang sedang menghadapi berbagai kesulitan. Meski sebagian kalangan non-NU menganggap shalawat ini bid’ah, namun dalam kenyataannya, para Wali Allah tak menganggapnya bid’ah dan bahkan mengakui dan mengamalkannya, seperti dicontohkan oleh ulama besar Habib Ali Kwitang.

Mudah2an kita diberi kelapangan dan kemampuan oleh Allah untuk mengamalkannya, membebaskan segala duka cita kita lantaran berkah Rasul dan para pahlawan badar…

Ilahi sallimil ummah minal aafati wan niqmah
wa min hamin wamin ghummah, bi ahlil badri yaa Allah….

wa Allahu a’lam


Sumber: http://rumahcahaya.blogspot.com/2009/07/sejarah-shalawat-badar.html

ABAH KI QOMARUZZAMAN

Sempu, Klapa Endep, Serang, sekitar tahun 1920-an/1930-an, lahir bayi prematur putra pasangan Nyi Ratu Lam’ah dan Tubagus Muhammad As’ad. Kelahirannya diiringi oleh beberapa kyai sepuh yang sederhana, dipimpin oleh almarhum Kyai Tubagus Halimi, Pamindangan – Allahuyarham. Kepada beliaulah bayi itu dimintakan nama. Kyai Halimi menggendong sang bayi, namun entah mengapa beliau hanya diam saja. Beliau mengaku tak berani memberikan nama kepadanya – maka ditanyakanlah kepada para kyai yang lain. Tetapi jawaban mereka sama. Pada saat semua diam dan kebingungan, mendadak di antara hadirin, bernama Nyi Ratu Fatmah mendapat bisikan ruhani dari kakeknya, yang juga sekaligus kakek dari sang bayi, Kyai Asnawi Caringin, Banten. Pesannya jelas. Berilah nama bayi itu: ”Qamaruzzaman al-Husaini.” Berdasar silsilah keluarga, bayi ini adalah keturunan ke 26 dari Kanjeng Rasulullah.

Tak lama sesudah Kyai Qamaruzzaman lahir, kedua orang tuanya meninggal. Karena itu beliau diasuh oleh neneknya, Nyi Ratu Alfiyah, seorang wanita saleh, yang mendidiknya membaca al-Qur’an. Kyai Qamarruzzaman kecil tidak diperkenankan bermain seenaknya, tetapi ”dikurung” dalam kamar, hanya berteman al-Qur’an. Pada usia 13 tahun beliau telah hafal 30 juz al-Qur’an. Selanjutnya beliau belajarqira’at sab’ah kepada Kyai Tubagus Sayuti (murid dari Kyai Muhammad Sholeh Ma’mun, putra dari Kyai Haji Tubagus Ma’mun, seorang qira’at masyhur pada zamannya). Belakangan, pada masa remajanya beliau kerap diundang menjadi pembaca al-Qur’an bersama Kyai Tubagus Ma’mun Kasunyatan dan Tubagus Kuncung Banten (seorang sesepuh di Banten lama). Suara Kyai Qamaruzzaman yang indah menjadikannya terkenal - dan mereka bertiga berkeliling ke berbagai kota, dari Padang sampai Brebes.

Selain belajar mengaji sejak kecil, beliau juga belajar banyak ilmu agama kepada para kyai sepuh: Kyai Tohir di Pelamunan, Kyai Halimi Pamindangan, Kyai Mahfudz, Tipar, Sukabumi, Ajengan Kholil Ciapus, Bogor, Kyai Suja’i, Kyai Suhaimi Kampung Sawah, dan sebagainya. Kyai Tubagus Halimi secara khusus memperhatikan Qamaruzzaman muda, dan sering melarang santri-santri lainnya bertingkah sembarangan di hadapan Qamaruzzaman muda – dengan alasan yang sulit dikisahkan di sini. Yang jelas, Kyai Halimi sering mengeluarkan pernyataan ’khawariq” mengenai kyai Qamaruzzaman. Dalam mendalami qiroat dan tafsir pun kyai Qamaruzzaman sangat serius: Menurut keterangan, sebelum mendalami ilmu membaca dan tafsir Qur’an, Kyai Qamaruzzaman menyilet lidahnya untuk mengeluarkan darah kotor. Beliau juga mampu mengkhatamkan al-Qur’an dalam waktu semalam.

Salah satu keunikan lain dari cara belajar Kyai Qamaruzzaman tampak ketika beliau mengaji KitabFathul Mu’in kepada K.H. Suhaimi. Dengan telaten Abah Qamaruzzaman merekam semua pelajaran dalam kaset tape. Secara keseluruhan Abah Qamaruzzaman menghabiskan sekitar 600 buah kaset tape recorder. Selain itu, beliau juga merekam pelajaran Kitab al-Fiyah dari K.H. Sanja, dan menghabiskan sekitar 40 buah kaset (sebagian dari 640-an kaset itu sekarang masih tersimpan di almarinya). Proses perekaman berlangsung lebih dari satu tahun. Harga satu kaset pada saat itu sekitar Rp. 350,-. Santri yang ada di pesantren pada waktu itu berjumlah sekitar 370 orang. Salah satu pesan yang kelak sering disampaikan oleh Kyai Qamaruzzaman kepada santri dan tamu-tamunya adalah agar kita belajar dan berkhidmat kepada guru dengan totalitas yang paripurna. Terkadang beliau dawuh yang kira-kira artinya seperti ini: ”Seberapa besar perhatian dan kasih sayangmu pada guru, sebesar itu pula ilmu dan berkah yang kau dapatkan.” Jalan ruhani Kyai Qamaruzzaman adalah jalan khidmat dan cinta, yang dilandasi pengetahuan syariah. Seperti dikatakannya: ”Syariat dulu yang betul, nanti hakikat akan menyusul,” atau ”Cinta murid kepada guru mesti dibuktikan, sebagaimana cinta Wali Allah kepada Allah juga mesti dibuktikan”, yakni dengan kesabaran menanggung banyak ujian dan cobaan.

Ada kisah menarik tentang ajaran khidmat ini. Saat belajar kepada Ajengan Kholil Ciapus pada paruh pertama abad 20, suatu saat Ajengan berkenan berkunjung ke kediaman Kyai Qamaruzzaman di Serang. Saat hendak pulang, Kyai Qamaruzzaman ingin memberinya oleh-oleh, namun belum sempat menyiapkan. Maka ditawarkanlah semua ambal (karpet) yang ada di rumahnya kepada sang ajengan. Namun Ajengan Kholil menunjuk ke mobil milik Kyai Qamaruzzaman. Maka Abah Qamaruzzaman mempersilahkan Ajengan Kholil untuk memilih sendiri mobil mana yang hendak dibawa pulang. Saat mondok di tempat Ajengan, Kyai Qamaruzzaman setiap hari menyisihkan uang sakunya. Pada suatu saat Ajengan Kholil akan hajatan tetapi tak punya uang. Maka pada saat itulah Abah Qamaruzzaman menyerahkan semua simpanannya kepada sang guru. Karena khidmatnya ini, maka Ajengan Kholil (yang merupakan murid dari wali Allah masyhur Mama Bakri/ Ajengan Plered) mengijazahkan semua ilmunya kepada Kyai Qamaruzzaman.

Sebagaimana lazimnya kyai yang menekuni dunia tarekat dan tasawuf, Kyai Qamaruzzaman juga menjalankan khalwat, yakni di daerah Guha, sebuah kawasan hutan di kaki Gunung Karang, Banten, selama dua tahun. Ada masa-masa ketika beliau mengalami kesulitan secara sosial lantaran mengalami jadzab atau menampakkan khawariq al-adah. Tentu saja tak semua kisah karamah ini bisa dikabarkan, karenanya disini terpaksa kami sengaja membatasi diri untuk tidak banyak mengisahkan sejarah hidupnya yang berkaitan dengan kisah khawariq al-adah ini. Ada banyak cerita lisan dari saksi yang masih hidup, namun ada satu yang terkenal:

Kyai Qamaruzzaman terkenal karena saat membaca al-Qur’an, orang-orang yang mendengarnya sering ”terhipnotis” dan memasuki keadaan, yang dalam istilah psikologis disebut ”ekstase.” Pernah suatu ketika beliau membaca ayat-ayat al-Qur’an di masjid, dan akibatnya penduduk yang ada di sekitar masjid, dan semua orang yang mendengar bacaannya, semuanya keluar rumah dan duduk diam di pinggir jalan, seperti terbengong-bengong. Ketika menjadi imam shalat Jum’at di sebuah masjid di Bogor, shalat Jumatnya bubar, lantaran makmumnya seperti tersirap dan tak membaca al-Fatihah, bahkan sebagian besar menangis tersedu-sedu. Mungkin berikut ini kisah yang paling berkesan dan tak terlupakan bagi Abah Qamaruzzaman sendiri. Bertempat di desa Manggu Padarincang Serang. Abah Qamaruzzaman diundang oleh Kepala Desa Padarincang (Sawiri namanya, Alm.) untuk menghadiri acara resepsi pernikahan salah satu putri Lurah Sawiri. Dia meminta Abah Qamaruzzaman untuk menyumbangkan suaranya dan membacakan ayat suci al-Qur'an (surat ar-Rahman) sebagai tamu kehormatan. Pesta itu dihadiri banyak ulama, termasuk KH. Suhaimi Kampung Sawah Padarincang). Awalnya beliau enggan sebab takut terjadi sesuatu yang mengundang fitnah. Tetapi tuan rumah bersikeras. Dan setelah Abah Qamaruzzaman membaca, baru tiga ayat (yakni Surat ar-Rahman), terjadilah apa yang menjadi sebab kekhawatiran. Para pendengar sudah hiruk pikuk dengan suara tangisan. Lurah Sawiri sendiri saling berangkulan dengan istrinya, suasana tidak terkontrol. Orang-orang dari dalam rumah berhamburan keluar menangis bersama hadirin yang ada di luar. Dalam kegemparan ini terselip kejadian yang lucu – yakni Ibu Junah, seorang pimpinan juru masak, membawa pasukan dapurnya ikut berhamburan keluar, sementara di tangannya membawa kayu bakar yang sedang membara tanpa disadarinya. Akhirnya Ki Suhaimi sendirilah yang menghentikan lantunan suara Abah. Berawal dari peristiwa tersebut K.H.Suhaimi sebagai ulama ahli Fiqh mengeluaran fatwa unik khusus untuk Kyai Qamaruzzaman: Mengharamkan Abah untuk menjadi imam dan ma'mum dalam shalat berjamaah. Sebagai murid, beliau patuh, namun tentu saja masih ada orang yang nekat mengundang beliau menjadi imam atau membaca Qur’an di suatu acara. Agar punya alasan kuat untuk menolak mereka, maka Kyai Qamaruzzaman memutuskan untuk mencabut semua giginya yang masih utuh, sampai ompong, sehingga bacaannya tak fasih lagi. Selain itu, sebagian ulama ahl-kasyaf melarang Kyai Qamaruzzaman untuk meludah sembarangan. Pada masa dulu, adalah lazim seorang kyai memiliki “pangidon,” yakni tempat khusus untuk meludah. Namun Kyai Qamaruzzaman tak memilikinya, sebab sudah puluhan tahun beliau tidak pernah lagi meludah.

Sejak tahun paruh pertama 1960-an Kyai Qamaruzzaman mulai menampakkan hal-hal yang menyimpang dari hukum alam, dan karenanya sempat terkena fitnah, yang menyebabkan pihak pemerintah, dalam hal ini jajaran Muspika, turun tangan menyelesaikannya, karena kegemparannya sudah berpotensi menimbulkan kekisruhan.

Pada pertengahan 1970-an beliau mendirikan pesantren Bahrul Ulum di Padarincang. Pada masa-masa awal di pesantren ini Kyai Qamaruzzaman harus menghadapi banyak gangguan dari beberapa jawara yang tidak senang dengan kehadiran Kyai Qamaruzzaman. Setelah nama Kyai Qamaruzzaman makin terkenal, dan santrinya bertambah banyak, gangguan juga bertambah. Karena sering diganggu, akhirnya Kyai Qamaruzzaman mengundang tokoh jawara yang paling sakti dan disegani di seluruh Padarincang, dan berhasil menundukkannya. Sejak itu gangguan tak pernah lagi datang. Sejak 1972 dan seterusnya kehidupan Kyai Qamaruzzaman relatif tenang. Beliau selalu mengajarkan penekanan pada syariah, dan kesabaran, dalam perjalanan menuju Tuhan. Sering beliau mewanti-wanti agar orang tidak mengamalkan suatu wirid sembarangan, karena akibatnya bisa fatal. Beberapa santrinya pernah merasakan hal ini. Misalnya, santri bernama Ki Samhudi, pernah”heng” otaknya karena tak kuat lantaran terlalu banyak mewirid yang aneh-aneh. Tak jarang orang datang membawa suatu ijazah amalan/wirid dan diserahkan kepada Kyai Qamaruzzaman untuk diverifikasi. Tak jarang beliau melarang orang yang ingin mengamalkan sesuatu – bahkan pernah ada orang membawa catatan amalan untuk diverifikasi kepada beliau. Setelah membacanya, beliau langsung merobek-robek catatan itu karena menurut beliau sangat berbahaya bagi orang yang bersangkutan lantaran orang itu belum memiliki kesiapan mental, ruhani dan dasar syariatnya lemah. Beliau selalu menekankan kesabaran dalam perjalanan di jalan Tuhan. Tak boleh melompat-lompat atau terburu nafsu ingin cepat makrifat.

Pada 1982 santri-santrinya mulai berkurang. Namun pada periode ini beliau banyak menjalin persahabatan dengan beberapa kyai masyhur, termasuk kyai besar Abuya Dimyati Cidahu. Dua kyai ini bersahabat akrab dan biasa saling memuji – dalam beberapa kesempatan Kyai Qamaruzzaman menyebut Abuya Dimyati sebagai Qutb. Sebaliknya, almarhum Abuya Dimyati berpesan kepada santrinya bahwa ada ”mustika” yang terpendam di Padarincang. Sahabat lainnya adalah Habib Muhammad al-Atthas, yang memberi Kyai Qamaruzzaman julukan ”Syaikh as-Sayyid Qamarullah Badrulmukminin Musyawarat al-Hukuma.”

Pada tahun ini pula Kyai Qamaruzzaman mulai terkena sakit mag. Belakangan kegiatan Kyai Qamaruzzaman sehari-hari sudah banyak berkurang lantaran sudah sepuh dan kesehatan makin menurun. Selain menderita mag, beliau juga lemah paru-parunya, sehingga tidak bisa berjalan kaki jauh-jauh. Beliau hanya menerima tamu-tamu yang datang dengan berbagai keperluan, baik itu keperluan lahiriah maupun batiniah. Sejak awal tahun 2000 kondisi kesehatan Abah Qamaruzzaman semakin lemah, dan sehari-hari lebih banyak di kamar dan madrasah di sebelah kamarnya. Namun boleh dikatakan hampir lebih dari 10 tahun beliau sudah tak lagi pernah tidur sebagaimana orang tidur. Penampilannya kini sangat sederhana. Bajunya sederhana. Tangannya yang putih, kecil, begitu lembut, selembut kapas, seolah-olah tulangnya juga telah melunak. Lebih banyak dikamar atau duduk di tempat yang itu-itu saja selama lebih dari satu dasawarsa, meminum kopi, merokok, dan sesekali mengaji atau memberi pelajaran. Di tempat itu juga beliau menerima sedikit tamu dengan berbagai keperluan. Pengajaran santri-santrinya kini lebih banyak dilakukan oleh salah seorang putranya, Tubagus Habibillah.


Sumber : http://rumahcahaya.blogspot.com/2011/09/syaikhuna.html

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons