Blog ini ditujukan kepada seluruh ummat Islam yang cinta kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Para Sahabat RA, Auliya', Habaib, Ulama', dan sejarah kebudayaan Islam.

Jumat, 29 Juni 2012

Habib Ahmad Jamal bin Toha Ba'aqil

Salah satu guru dari Ust. Sis Maula Al Bilky adalah al Habib Ahmad Jamal bin Toha Ba'aqil, pengasuh pondok pesantren Anwarut Taufiq Batu Malang. Menurut Pengakuan Ust. Sis, dari Habib Jamal inilah dia banyak mengambil teladan dari cara hidup gurunya. Walaupun tidak keseluruhan, kepribadian Ust. Sis terbentuk dari cara hidup gurunya yang masih muda itu.
Habib Jamal yang kelahiran asli AREMA ini termasuk Habib muda tetapi sangat berpengaruh besar khususya di Malang raya. Walaupun kegiatan da'wahnya lintas negara, seperti di Malaysia, Timur Tegah, juga negara-negara lain, namun kegiatan mengajar di Pesantrennya ANWARUT TAUFIQ Malang tetap berjalan seperti biasa.
Beliau murid dari Habib UMAR bin HAFIDZ Tarim Yaman, karena Habib Jamal pernah belajar di Rubat Darul Musthofa.
Habib Jamal lahir di Malang, 14 Pebruari 1977. sungguh prestasi membanggakan bagi seorang habib muda tetapi sangat berpengaruh besar di mayarakat.Ia putra pasangan Habib Toha Ba'aqil dan Syarifah Suud binti Abdullah Ba'aqil yang sejak kecil kental pendidikan agama
Setelah menempuh pendidikan dasar dan emnengah, Ia masuk pesantren Darut Tauhid, asuhan Syaikh Abdullah Abdun. Pada 1987, Ia berangkat ke Tarim Yama untuk belajar di Rubat Darul Musthofa, asuhan Habib Umar bin Hafidz. Setelah 6 tahun disana, pada 2002 pulang lagi Indonesia untuk menyebarkan ilmu agama.
Sebelum pulang ke Malang, Ia singgah terlebih dahulu di Surabaya, baru kemudian ke Malang tepatnya di Kota Batu, dan mendirikan Pesantren Anwarut Taufiq yang berpola mengadopsi Darul Mustofa Tarim Yaman.
Ust. Sis Maula Al Bilky, termasuk salah satu dari santri-santri yang berhidmah kepada Habib Jamal. Semoga ilmu yang diperoleh dari guru mudanya dapat bermanfaat. Allah Ya'lam....
http://elnova.blogspot.com/2011/04/habib-ahmad-jamal-bin-toha-baaqil.html

Keajaiban-Keajaiban Nabi Muhammad SAW Semasa Kecil

Keajaiban-Keajaiban Nabi Muhammad SAW Semasa Kecil

Sebuah tangis bayi yang baru lahir terdengar dari sebuah rumah di kampung Bani Hasyim di Makkah pada 12 Rabi’ul Awwal 571 M. Bayi itu lahir dari rahim Aminah dan langsung dibopong seorang “bidan” yang bernama Syifa’, ibunda sahabat Abdurrahman bin Auf.


“Bayimu laki-laki!”

Aminah tersenyum lega. Tetapi seketika ia teringat kepada mendiang suaminya, Abdullah bin Abdul Muthalib, yang telah meninggal enam bulan sebelumnya. Ya, bayi yang kemudian oleh kakeknya diberi nama Muhammad (Yang Terpuji) itu lahir dalam keadaan yatim. Ayahnya meninggal di Yatsrib ketika beliau berusia tiga bulan dalam kandungan ibundanya.

Kelahiran yang yatim ini dituturkan dalam Al-Quran, “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?” — QS Adh-Dhuha (93): 6.

Aminah, janda beranak satu itu, hidup miskin. Suaminya hanya meninggalkan sebuah rumah dan seorang budak, Barakah Al-Habsyiyah (Ummu Aiman). Sementara sudah menjadi kebiasaan bangsawan Arab waktu itu, bayi yang dilahirkan disusukan kepada wanita lain. Khususnya kepada wanita dusun, supaya hidup di alam yang segar dan mempelajari bahasa Arab yang baku.

Ada hadits yang mengatakan, kebakuan bahasa warga Arab yang dusun lebih terjaga. Menunggu jasa wanita yang menyusui, Aminah menyusui sendiri Muhammad kecil selama tiga hari. Lalu dilanjutkan oleh Tsuwaibah, budak Abu Lahab, paman Nabi Muhammad, yang langsung dimerdekakan karena menyampaikan kabar gembira atas kelahiran Nabi, sebagai ungkapan rasa senang Abu Lahab.

Air Susu yang Melimpah

Beberapa hari kemudian, datanglah kafilah dari dusun Bani Sa’ad, dusun yang jauh dari kota Makkah. Mereka menaiki unta dan keledai. Di antara mereka ada sepasang suami-istri, Harits bin Abdul Uzza dan Halimah As-Sa’diyah. Harits menaiki unta betina tua renta dan Halimah menaiki keledai yang kurus kering. Keduanya sudah memacu kendaraannya melaju, tetapi tetap saja tertinggal dari teman-temannya.

Halimah dan wanita lainnya yang datang ke Makkah sedang mencari kerja memberi jasa menyusui bayi bangsawan Arab yang kaya. Sebagaimana dalam kehidupan modern, baby sitter akan mendapatkan bayaran yang tinggi bila dapat mengasuh bayi dari keluarga kaya.

Sampai di kota Makkah, Halimah menjadi cemas, sebab beberapa wanita Bani Sa’ad yang tiba lebih dulu sedang ancang-ancang mudik karena sudah berhasil membawa bayi asuh mereka.

Setelah ia ke sana-kemari, akhirnya ada juga seorang ibu, yaitu Aminah, yang menawarkan bayinya untuk disusui. Namun ketika mengetahui keadaan ibu muda yang miskin itu, Halimah langsung menampik.

Dia dan suaminya berkeliling kota Makkah, tetapi tidak ada satu pun ibu yang menyerahkan bayinya kepadanya untuk disusui. Ya, bagaimana mereka percaya, seorang ibu kurus yang naik keledai kurus pula akan mengasuh dengan baik bayi mereka?

Hampir saja Halimah putus asa, ditambah lagi suaminya sudah mengajaknya pulang meski tidak membawa bayi asuh. Namun, ia berkata kepada suaminya, “Aku tidak ingin pulang dengan tangan kosong. Alangkah baiknya kalau kita mau mengambil anak yatim itu sambil berniat menolong.”

“Baiklah, kita bawa saja anak yatim itu, semoga Allah memberkahi kehidupan kita,” ujar suaminya. Setelah ada kesepakatan tentang harga upah menyusui, Muhammad kecil diberikan kepada Halimah. Wanita kurus kering itu pun mencoba memberikan puting susunya kepada bayi mungil tersebut.

Subhanallah! Kantung susunya membesar, dan kemudian air susu mengalir deras, sehingga sang bayi mengisapnya hingga kenyang. Dia heran, selama ini susunya sendiri sering kurang untuk diberikan kepada bayi kandungnya sendiri, tetapi sekarang kok justru berlimpah, sehingga cukup untuk diberikan kepada bayi kandung dan bayi asuhnya?

Berbarengan dengan keanehan yang dialami Halimah, suaminya juga dibuat heran, tak habis pikir, mengapa unta betina tua renta itu pun tiba-tiba kantung susunya membesar, penuh air susu.

Halimah turun dari. keledainya, dan terus memerah susu itu. Dia dan suaminya sudah dalam keadaan lapar dan dahaga. Mereka meminumnya sehingga kenyang dan puas. Semua keajaiban itu membuat mereka yakin, “Anak yatim ini benar-benar membawa berkah yang tak terduga.”

Halimah menaiki dan memacu keledainya. Ajaib! Keledai itu berhasil menyalip kendaraan temannya yang mudik lebih dulu.

“Halimah! Halimah! Alangkah gesit keledaimu. Bagaimana ia mampu melewati gurun pasir dengan cepat sekali, sedangkan waktu berangkat ke Makkah ia amat lamban,” temannya berseru. Halimah sendiri bingung, dan tidak bisa memberikan jawaban kepada teman-temannya.

Sampai di rumah pun, anak-anaknya senang, sebab orangtua mereka pulang lebih awal dari orang sekampungnya. Apalagi kemudian ayah mereka membawa air susu cukup banyak, yang tiada lain air susu unta tua renta yang kurus kering itu.

Dalam sekejap, kehidupan rumah tangga Halimah berubah total. Dan itu menjadi buah bibir di kampungnya. Mereka melihat, keluarga yang tadinya miskin tersebut hidup penuh kedamaian, kegembiraan, dan serba kecukupan.

Domba-domba yang mereka pelihara menjadi gemuk dan semakin banyak air susunya, walaupun rumput di daerah mereka tetap gersang. Keajaiban lagi!

Peternakan domba milik Halimah berkembang pesat, sementara domba-domba milik tetangga mereka tetap saja kurus kering. Padahal rumput yang dimakan sama. Karena itulah, mereka menyuruh anak-anak menggembalakan domba-domba mereka di dekat domba-domba milik Halimah. Namun hasilnya tetap saja sama, domba para tetangga

itu tetap kurus kering.

Pembelahan Dada

Muhammad kecil disusui Halimah sekitar dua tahun. Oleh Halimah, bayi itu dikembalikan kepada ibunya, Aminah. Namun ibunya mengharapkan agar Muhammad tetap ikut dirinya, sebab ia khawatir bayi yang sehat dan montok tersebut menjadi terganggu kesehatannya jika hidup di Makkah, yang kering dan kotor.

Maka Muhammad kecil pun dibawa kembali oleh Halimah ke dusun Bani Sa’ad. Bayi itu menjadi balita, dan telah mampu mengikuti saudara-saudaranya menggembala domba. Ingat, hampir semua nabi pernah menjadi penggembala. Muhammad saat itu sudah berusia empat tahun dan dapat berlari-lari lepas di padang rumput gurun pasir. la, bersama Abdullah, anak kandung Halimah, menggembala domba-domba mereka agak jauh dari rumah.

Di siang hari yang terik itu, tiba-tiba datanglah dua orang lelaki berpakaian putih. Mereka membawa Muhammad, yang sedang sendirian, ke tempat yang agak jauh dari tempat penggembalaan. Abdullah pada waktu itu sedang pulang, mengambil bekal untuk dimakan bersama-sama dengan Muhammad, di tempat menggembala, karena mereka lupa membawa bekal.

Ketika Abdullah kembali, Muhammad sudah tidak ada. Seketika itu juga ia menangis dan berteriak-teriak minta tolong sambil berlari pulang ke rumahnya. Halimah dan suaminya pun segera keluar dari rumahnya. Dengan tergopoh-gopoh mereka mencari Muhammad kesana-kemari. Beberapa saat kemudian, mereka mendapatinya sedang duduk termenung seorang diri di pinggir dusun tersebut.

Halimah langsung bertanya kepada Muhammad, “Mengapa engkau sampai berada di sini seorang diri?” Muhammad pun bercerita. “Mula-mula ada dua orang lelaki berpakaian serba putih datang mendekatiku. Salah seorang berkata kepada kawannya, ‘Inilah anaknya.’

Kawannya menyahut, `Ya, inilah dia!’ Sesudah itu, mereka membawaku ke sini. Di sini aku dibaringkan, dan salah seorang di antara mereka memegang tubuhku dengan kuatnya. Dadaku dibedahnya dengan pisau. Setelah itu, mereka mengambil suatu benda hitam dari dalam dadaku dan benda itu lalu dibuang. Aku tidak tahu apakah benda itu dan ke mana mereka membuangnya.

Setelah selesai, mereka pergi dengan segera. Aku pun tidak mengetahui ke mana mereka pergi, dan aku ditinggalkan di sini seorang diri.” Setelah kejadian itu, timbul kecemasan pada diri Halimah dan suaminya, kalau-kalau terjadi sesuatu terhadap si kecil Muhammad. Karena itulah, keduanya menyerahkan dia kembali kepada Ibunda Amina. [infokito]


Wallahu a’lam
Wajah Rasulullah

Perlu kita fahami bahwa wajah Sang Idola saw adalah wajah yang dipenuhi cahaya kelembutan dan kasih sayang, karena beliau adalah pembawa Rahmat bagi sekalian alam, maka wajah beliau penuh kasih sayang, demikian pula ucapan beliau saw, perangai, tingkah laku, dan bahkan bimbingan beliau saw pun penuh dengan kasih sayang Allah swt.

Seorang lelaki bertanya kepada Albarra? bin Azib ra : “Apakah wajah Rasul saw seperti pedang ?” (bukankah beliau banyak berperang, apakah wajahnya bengis bak penguasa kejam?), maka menjawablah Albarra? bin Azib ra : “Tidak.. tapi bahkan wajah beliau bagai Bulan Purnama..”, (kiasan tentang betapa lembutnya wajah beliau yang dipenuhi kasih sayang) (Shahih Bukhari hadits no.3359, hadits serupa Shahih Ibn Hibban hadits no.6287).

Diriwayatkan oleh Jabir bin samurah ra :“wajah beliau saw bagaikan Matahari dan Bulan” (Shahih Muslim hadits no.2344, hadits serupa pada Shahih Ibn Hibban hadits no.6297), demikian pula riwayat Sayyidina Ali.kw, yang mengatakan : “seakan akan Matahari dan Bulan beredar di wajah beliau saw”. (Syamail Imam Tirmidzi), demikian pula diriwayatkan oleh Umar bin khattab ra bahwa “Rasul saw adalah manusia yang bibirnya paling indah”.

Al Imam Alhafidh Syeikh Abdurrahman Addeba?I mengumpulkan ciri ciri sang Nabi saw :“Beliau saw itu selalu dipayungi oleh awan dan diikuti oleh kabut tipis, hidung beliau saw lurus dan indah, Bibirnya bagaikan huruf Miim (kiasan bahwa bibir beliau tak terlalu lebar tak pula sempit dan sangat indah), Kedua alisnya bagaikan huruf Nuun, (kiasan bahwa alis beliau itu tebal dan sangat hitam dan bersambung antara kiri dan kanannya)”.

Dari Abi Jahiifah ra : “Para sahabat berebutan mengambil telapak tangan beliau dan mengusapkannya di wajah mereka, ketika kutaruh telapak tangan beliau saw diwajahku ternyata telapak tangan beliau saw lebih sejuk dari es dan lebih wangi dari misik” (Shahih Bukhari hadits no.3360).

Berkata Anas ra : “Tak kutemukan sutra atau kain apapun yang lebih lembut dari telapak tangan Rasulullah saw, dan tak kutemukan wewangian yang lebih wangi dari keringat dan tubuh Rasul saw” (Shahih Bukhari hadits no.3368). “Kami tak melihat suatu pemandangan yg lebih menakjubkan bagi kami selain Wajah Nabi saw”. (Shahih Bukhari hadits no.649 dan Muslim hadits no.419)“Ketika perang Uhud wajah Rasul saw terluka dan mengalirkan darah segar, maka putrinya yaitu Sayyidah Fathimah ra mengusap darah tersebut dan Sayyidina Ali kw memegangi beliau saw, namun ketika terlihat darah itu terus mengalir, maka diambillah tikar dan dibakar, maka debunya ditaburkan diluka itu, maka darahpun terhenti”. (Shahih Bukhari hadits no.2753).

Dari anas bin malik ra : “Dan saat itu dirumah hanya aku, ibuku dan bibiku, lalu selepas shalat beliau berdoa untuk kami dengan kebaikan Dunia dan Akhirat, lalu Ibuku berkata : “doakan pelayanmu ini wahai Rasulullah..” (maksudnya Anas ra), maka Rasul saw mendoakanku dan akhir doanya adalah : “Wahai Allah Perbanyak Hartanya dan keturunannya dan berkahilah” (Shahih Muslim hadits no.660).

“Dan beliau saw itu adalah manusia yg terindah wajahnya, dan terindah akhlaknya” (Shahih Bukhari hadits no.3356) . “Dan beliau saw itu adalah manusia yg termulia dan manusia yg paling dermawan, dan manusia yang paling berani saw” (Shahih Bukhari hadits no.5686).

Dari Abu Hurairah ra : “Wahai Rasulullah.., bila kami memandang wajahmu maka terangkatlah hati kami dalam puncak kekhusyu’an, bila kami berpisah maka kami teringat keduniawan, dan mencium istri kami dan bercanda dengan anak anak kami” (Musnad Ahmad Juz 2 hal.304, hadits no.8030 dan Tafsir Ibn katsir Juz 1 hal.407 dan Juz 4 hal.50).

Sumber: www.majelisrasulullah.org

Alim al-Allamah al-Faqih Syeikh Ismail al Yamani

Nama lengkap kelahirannya

Nama lengkap beliau adalah Alim al-Allamah al-Faqih Syeikh Ismail bin Ismail bin Usman bin Ali bin Salimbin Abdurrahman bin Abi Ghaits bin Ibrahim bin Ismail bin Muhammad az-Zain.

Beliau di lahirkan pada bulan Rabi`ul Awal tahun 1352 hijriyyah di kota Dhahi, kota ini terletak di wilayah Wadi Sardud, kota yang banyak mengeluarkan ulama dan orang yang shaleh-shaleh.

Sifat, tabi`at, dan bentuk tubuhnya

Syeikh Ismail memiliki tubuh yang sedang-sedang saja, tidak kurus dan juga tidak gemuk, pembawaannya selalu santai dan tenang, tidak berbicara kecuali sekedar keperluan, beliau sangat di cintai oleh penduduk kampungnya, bersifat zuhud, wara`, tawadhuk, tidak suka membuangkan masa kepada perkara-perkara yang tidak perlu, menghornati ulama dan orang tua, rajin bekerja dan taat beribadah.


Belajar Ilmu agama

Dari kecilnya telah belajar ilmu agama atas didikkan ayahandanya, banyak sekali kitab-kitab yang telah beliau habiskan, diantara kitab-kitab yang beliau baca dan pelajari adalah ; Safinatu an-Naja, al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah, Matan al-Ajurumiyyah, dan beliau banyak menghapal matan-matan kitab.

Selain belajar ilmu agama dari ayahnya, beliau juga telah belajar dari banyak ulama-ulama yang berada di kotanya, kerajinan dan kegigihan beliau terhadap illu agama sangat tinggi sekali, setiap disiflin ilmu agama beliau pelajari dengan sungguh-sungguh, dari mulai Fiqih, Tafsir, Hadis, Nahu, Taswuf, Fara`idh, Sorof, TauhidUsul Fiqih, Mantiq, Balaghah `Arudh dan lain-lainnya.

Pada tahun 1375 hijriyah beliau mulai mengajar di kotanya dan di kota az-Zaidiyyah, para guru-gurunya sangat senang sekali, sebab mereka melihat beliau memiliki pemahaman yang lurus, kecerdasan yang tinggi, banyak diantara teman-temannya juga ikut mendengarkan pengajian beliau, para pelajar memadati halaqah pengajiannya.

Berhijrah ke Makkah Mukarramah

Pada tahun 1380 hijriyah beliau berhijrah ke Makkah al-Mukarramah dan berniat untuk menetap di Makkah, dari tahun inilah beliau sibuk untuk mengajar, mengarang kitab, mentela`ah kitab, mulailah ulama-ulama Makkah mengenali keilmuan beliau, disamping itu beliau juga belajar dengan ulama besar yang masih hidup di kota suci tersebut, dari pengajianSyeikh Hasan Masyath, Syeikh Muhammad al-Arabi at-Tabbani, Syeikh Muhammad Yahya Aman, Syeikh Hasan Sa`id Yamani, Syeikh Alawi al-Maliki dan lain-lainnya.

Pada tahun 1382 hijriyyah beliau mulai mengajar di Madrasah as-Solatiyyah al-Hindiyyah yang terkerkenal dengan keberkataannya, beliau diangakat menjadi guru tingkat Tsanawiyah dan Aliyyah dalam jangka 23 tahun.

Disamping beliau mengajar di Madrasah Solatiyyah,beliau juga mengajar di Masjid al-Haram dan di rumah pribadinya, para penuntut ilmu banyak mendatangi pengajian beliau, terlebih-lebih pelajar dari Indonesia, Malaysia dan Fathoni (Thailand ), nama beliau menjadi masyhur di kalangan ulama terlebih-lebih di kalangan ulama Syafi`iyyah di Makkah dan sekitaranya, sehingga beliau menjadi sumber fatwa permasalahan-permasalahan yang baru, waktu beliau di habiskan untuk mengajar dan memberikan fatwa, terkadang-kadang datang dari negara Indonesia permohonan fatwa dari permasahan yang baru.

Para guru-guru beliau :

Diantara guru-guru beliau adalah :

1 - Ayahandanya Ismail bin Usman Zain al-Yamani.
2 - Sayyid Umar `Awadh al-Ahdal.
3 - Sayyid Abdul Qadir Qadiri al-Hasani.
4 - Sayyid Husein bin Muhammad az-Zawak.
5 - Sayyid Muhammad bin Muhammad ibni Abdurrahman al-Qadimi.
6 - Sayyid Muhammad bin Yahya Dum al-Ahdal.
7 - Syeikh Islam Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al-Ahdal.
8 - Sayyid Muhammad bin Hasan bin Abdul Bar al-Ahdal.
9 - Syeikh Alawi bin Abbas al-Maliki al-Makki.
10 - Syeikh Muhammad al-Arabi at-Tabbani.
11 - Syeikh Hasan Masyath.
12 - Syeikh Muhamad Yahya Aman.
13 - Syeikh Hasan Sa`id Yamani.
14 - Sayyid Muhammad Amin Kutubi.
15 - Syeikh Muhammad Yasin al-Fadani.
16 - Syeikh Amin at-Torablusi.
17 - Syeikh Hasanain Makhluf.
18 - SYeikh Ahmad Hamadah.
19 - Syeikh Ibrahim Abu an-Nur Syafi`i.
20 - Syeikh Muhammad Ilyas.
21 - SYeikh Muhammad Zakaria al-Kandahlawi.
22 - Syeikh Muhammad Yusuf Banuri.
23 - Syeikh Abdullah Sirajuddin.
24 - Syeikh Bakri Rajab.
25 - Syekh Abdullah Shiddiq al-Ghumari.
26 - Syeikh Abdul Aziz Shiddiq al-Ghumari.
27 - Syeikh Abdul Wasi` al-Wasi`i.
28 - Syeikh Muhammad Makki bin Muhammad bin Ja`fari al-Kattani.
29 - Syeikh Muhammad bin Salim bin Hafizh al-Yamani.
30 - Syeikh Abdullah bin Abdul Karim al-Jarafi
Dan lain-lain.

Diantara Murid-murid beliau adalah :

1 - Syeikh Muhammad bin Ismail al-Yamani al-Makki.( * )
2 - Syeikh Ahmad Jamhuri al-Banjari.( * )
3 - Syeikh Zainal Abidin Jefri al-Banjari.( * )
4 - Syeikh Mahmud Said Mamduh al-Qahiri.( * )
5 - Syeikh Ibrahim Zannun al-Mandili.( * )
6 - Syeikh Abdul Malik Raihan bin Abdul Qadir al-Mandili.( * )
7 - Syeikh Muhammad Husni Tamrin Jefri al-Banjari.( * )
9 - Syeikh Ali Jum`ah ( Mufti Mesir ).( * )
10 - Syeikh Husein Siraj al-Fathani. ( * )
11 - Syeikh Khalid bin Abdul karim Turkistani.( * )
12 - Syeikh Asyrof Ismail at-Tijani.( * )
13 - Syeikh Muhammad Nuruddin al-Banjari.( * )
14 - Syeikh Ibrahim bin Abdullah al-Ahsa`i.( * )
15 - Syeikh Hamid bin Akram al-Bukhari. ( * )
16 - Syeikh Abdullah bin Naji al-Makhlafi.
17 - Syrikh Ahmad bin `Asyur al-Makki.( * )
18 - Syeikh Yusuf bin Abdurrahman al-Mar`asyli. ( * ).
19 - Syeikh Soleh Ahmad bin Muhammad Idris al-Arkani.
20 - Syeikh Abdul Fatah Husein Rowah ( Rawa-red ).
Diantara hasil karangan beliau adalah :

1 - Arba`una Hadisan Fi al-Mawa`izh Wa al-Ahkam.
2 - Irasyadu al-Mu`min Fi Fadha`ili Zikri Rabbi al-`Alamin.
3 - Is`afu at-Thullab Bi Syarhi Nizomi Qawa`idi al-I`rab.
4 - al-Jawabul al-Wadhih as-Syahir Fi al-Ghazawat.
5 - Daiwan al-Khithabi al-Minbariyyah.
6 - Risalah Ziyarah Fi Jabal Uhud.
7 - Risalah Fi Maudhu`i al-Halq Wa at-Taqshir Fi an-Nusuk.
8 - Risalah Haula Istikhdami Mukabbirati as-Shaoti Fi al-Masajid.
9 - Risalah Tata`allaqu Bi as-Shalati Fi at-Tha`irah.
10 - Dhu`u as-Syam`ah Fi Khususiyati al-Jum`ah.
11 - Shilatu al-Khalaf Bi Asanid as-Salaf.
Dan lain-lain.

Setelah menghabiskan masa dan umurnya untuk menebarkan ilmu tanpa jemu dan lelah akhirnya beliau meninggal dunia pada hari rabu 21 Zul Hijjah 1414 hijriyyah, di sembahyangkan setelah shalat subuh di Masjid Haram pada hari kamis kemudian di kuburkan di perkuburan Ma`la berhampiran dengan kuburan Sayyidah Asma` binti Abu Bakkar r.a.

Rujukkan :

1 - Kasyfu al-Ghain An Nabadzati Hayati Ismail az-Zain : halaman :17 ,Syeikh Ismail Zain, Dar al-Qudus.

2 - Mu`jam al-Ma`ajim Wa al-Masya`ikh Wa al-Faharis Wa al-Baramij Wa al-Atsbat : 85 / 3, karangan Doktor Yusuf al-Mar`asyli, Maktabah ar-Rusyd.

3 - `Aqdu al-Jauhar Fi Ulama ae-Rub`i al-Awwal Min al-Qarni al-Khamis `Asyar,:1754 / 2 , Doltor Yusuf al-Mar`asyli , Dar Makrifah, Libanon.

Tanda ( * ) adalah sebagai guru saya dan saya meriwayatkan dari mereka (fy)
http://nurmunawwir.blogspot.com/
http://aladamyarrantawie.blogspot.com/

Syeikh Abdul Fatah Husein Rawa

Nama lengkap beliau adalah al-Musnid al-Faqih al-Mu`ammar Syeikh Abdul Fatah bin Husein bin Ismail bin Ali Toyyib Rawah al-Jawi al-Makki as-Syafi`i.


Banyak orang yang salah dalam menyebut asal usul keluarga beliau, ada yang mengatakan bahwa beliau dari Yaman, yang sebenarnya adalah bahwa Syeikh Abdul Fatah memiliki asal usul dari Rawa Sumatra Indonesia yang mana nenek moyangnya dahulu berasal dari Yaman, sebab itulah para ulama ahli sejarah menisbahkan beliau dengan al-Jawi ( al-Jawi nisbah kepada orang-orang yang berasal dari Indonesia, Malaysia, Fathoni, Singapura dan Brunai - red).


Beliau di lahirkan di Makkah al-Mukarromah pada tahun 1334 hijriyah, di besarkan oleh orang tuanya, dan menadapat didikkan dasar, membaca dan menulis di sebagahagian maktab yang berada di Makkah, kehidupan Syeikh Abdul Fatah tidak jauh beda dengan anak-anak sebayanya, pada masa itu anak-anak sibuk belajar menimba ilmu agama.


Pendidikan dan pengajian beliau


Setelah belajar membaca dan menulis dari maktab beliau melanjutkan pelajarannya di madrasah " al-Mas`a " yang lebih terkenal ketika itu dengan sekolah "al-Khayyayh", kemudian beliau melanjutkan lagi pengajiannya di Madrasah al-Falaah dan Madrasah as-Solatiyyah.


Di samping itu Syeikh Abdul Fattah juga sibuk mengikuti pengajian-pengajian tambahan di Masjidil Haram Makki, beliau belajar membaca al-Qur`an al-Karim kepada Syeikh Abdul Hamid al-Malibari, mempelajari ilmu sorof dari Syeikh Muhammad al-Arabi at-Tibbani, dan Syeikh Abu Bakar bin Ahmad al-Habsyi, mempelajari Hadis, fiqih Syafi`i dari Syeikh Sayyid Bakar bin Sayyid Salim al-Baar, belajar ilmu usul fiqih dan ilmu fara`idh dari Syeikh Ahmad Mansur al-Faqih, mempelajari fiqih Syafi`iyyah juga dari Syeikh Hasan Sa`id al-Yamani, membaca kitab Kifayatul Akhyar kepada Syeikh Sa`id al-Khalidi, membaca kitab Syarah Ibnu `Aqil, Syarah al-Maridini `Ala ar-Rahbiyyah ( ilmu Fara`idh-red ), kitab-kitab Sunan ( Sunan Abu Daud, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasa`i, Sunan Ibnu Majah - red ) dan kitab Labbu al-Usul Fi Ilmi al-Usul, membaca kitab al-Asybahu Wa an-Nazho`ir ( Qawa`id Fiqih karangan al-Hafiz as-Suyuti-red) kepada Syeikh Muhammad Ali bin Husein al-Maliki al-Makki.


Pekerjaan dan kegiantan beliau :


Pada tahun 1357 hijriyah beliau di benarkan untuk mengajar di Masjid al-Haram Makki, kemudian pada tahun 1359 beliau di tetapkan menjadi tenaga pengajar di Madrasah al-Aytam, setelah itu beliau di pindahkan ke Mudiriyah al-Ma`aeif pada penghujung tahun 1359 hijriyahm kemudian di tetapkan sebagai mudir yang pertama sekali di Madrasah Khamis Masyith, dari sekolah ini banyak murid-muridnya yang telah keluar menjadi orang-orang besar menjabat kedudukkan tinggi di kerajaan Saudi Arabiyah, kemudian beliau telah di tetapkan sebagai guru dengan derajat pertama di al-Madrasah as-Saudiyyah di Jeddah, kemudian beliau di pindahkan ke Makkah pada tahun 1365 hijriyah dan di tetapkan sebagai guru di Madrasah al-Faisoliyyah, di antara tahun 1373 sampai dengan tahun1379 beliau diangkat menjadi pembantu Mudir MAdrasah ar-Rahmaniyyah, kemudian setelah itu beliau diangkat menjadi guru Tsanawiyyahdi Madrasah al-Aziziyyah at-Tsanawiyyah sampai pada akhirnya beliau pensiun pada tahun 1394 hijriyah, pada tahun 1395 hijriyah beliau telah diangkat pula menjadi seorang tenaga pengajar di Ma`had al-Masjid al-Haram.


Guru-guru beliau dan yang memberi ijazah umum :


1 - Syeikh Ibrahim bin Musa al-Khuzami as-Sudani.


2 - Syeikh Ahmad Nadhirin al-Makki as-Syafi`i.


3 - Syeikh Ahmad MAnsur al-Faqih al-Makki.


4 - Syeikh Ishaq al-Azuz al-Makki.


5 - Syeikh As`ad al-Hadidi al-Makki.


6 - Syeikh Ismail Usman Zain al-Yamani.


7 - Syeikh An`am al-Yamani.


8 - Syekh Abu Bakar bin Salim al-Baar as-Syafi`i.


9 - Syeikh Hamid Ka`ki al-Makki.


10 - Syekh HAsan bin Sa`id al-Yamani.


11 - Syeikh Hasan as-Sanari al-Makki.


12 - Syeikh Hasan bin Muhammad Masyath al-Maliki al-Makki.


13 - Syeikh Hamdi al-Makki.


14 - Syeikh Zubair bin Ahmad bin Ismail al-FulFilani.


15 - Syeikh Zakaria bin Abdullah Bila al-Makki.


16 - Syeikh Zaini Abdul Hadi Kutubi.


17 - Syeikh Sa`id bin Muhammad al-Khalidi al-Yamani.


18 - Syeikh Sulaiman bin Farj al-Ghazawi al-Makki.


19 - Syeikh Tohir bin Muhammad bin Husrin al-Habsyi.


20 - Syeikh Abdullah Khujah al-Makki.


21 - Syeikh Abdullah bin Sa`id al-Lahji.al-Yamani.


22 - Syeikh Abdullah bin Ali bin Muhammad al-Qashimi an-Najdi.


23 - Syeikh Abdullah bin Muhammad Shiddiq al-Ghumari.


24 - Syeikh Abdullah bin Muhammad Niyazi al-Bukhari.


25 - Syeikh Abdul Hamid al-Mibari.


26 - Syeikh Abdus Salam bin Umar Daghistani.


27 - Syeikh Abdul Fatah bin Muhammad Abu Ghuddah al-Halabi.


28 - Syeikh Abdul Wahab al-Asyi as-Syafi`i al-Makki.


29 - Syeikh Alawi bin Abbas al-Maliki.


30 - Syeikh Umar Hamdan al-Mahrisi.


31 - Syeikh Aidarus bin Salim al-Baar al-Yamani.


32 - Syeikh Isa bin Muhammad bin Hamid Rawas al-Makki.


33 - Syeikh Muhammad Amin bin Muhammad al-Kutubi.


34 - Syeikh Muhammad bin Sulaiman an-Nuri al-Makki.


35 - Syeikh Muhammad at-Toyyib bin Muhammad bin Ali al-Maraksyi al-Makki.


36 - Syeikh Muhammad al-Arabi bin at-Tubbani al-Jaza`iri al-Makki.


37 - Syeikh Muhammad Ali bin Husein al-Maliki al-Makki.


38 - Syeikh Muhammad Nur Saif bin Hilal al-Maliki al-Makki.


39 - Syeikh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa al-Fadani.


40 - Syeikh Muhammad Yahya bin Muhammad Amaan as-Sindi al-Makki.


41 - Syeikh Abu Bakar bin Ahmad bin Husein al-Habsyi al-Makki.


Murid-Murid dan orang yang meriwayatkan dari beliau :


1 - Syeikhuna Muhammad bin Abdullah Rasyid.


2 - Mujizuna Syeikh Yusuf bin Abdurrahman al-Mar`asyli al-Lubnani.


3 - Syeikhuna Mahmud Siraj al-Jawi al-Makki.


4 - Syeikhuna Ahmad `Asyur as-Syafi`i.


5 - Syeikhuna Ahmad Mukhtar Ramzi al-Masri.


6 - Syeikh Hamid bin Ahmad bin Akran al-Bukhari al-Madani.


7 - Syeikhuna Usamah Said al-Azhari al-Masri.


8 - Syeikhuna Khalid Abdul Karim at-Tukistani al-Makki.


Buah karya dan hasil karangannya:


1 - Ithafu as-Shiddiq Bi Manaqibi as-Shiddiq Abi Bakar r.a.


2 - al-Itzan Fi Manaqib Utsman r.a.


3 - al-Ifshoh `An Masa`ili al-Idhah `Ala Mazhabi al-Arba`ah al-A`lam Wa Ghairihim.


4 - Tarikh Umara` al-Bilad al-Haram `Abira `Ushuri al-Islam.


5 - at-Ta`liqu al-Asna SYarah Manzhumati Asma`i Allahi al-Husna.


6 - ad-Durar al-Lu`lu`ah `Ala an-Nafhati al-Hsniyyah Syarah at-Tuhfatu as-Sanniyyah.


7 - ad-Du`a al-Maqbul al-Warid `An ar-Rasul s.a.w.


8 - Ziyadatu Ta`liq Ala Riyadhi as-Solihin.


9 - Su`al Wa Jawab Fi Ahwali al-Arba`iniyyah.


10 - Sayyid Waladi Adam.


11 - as-Sayyidah al-Kubra Khadijah Binti Khuwailid r.a.


12 - al-Kawakibu al-Aghar `Ala Qutufi ats-Tsamar Fi Muwafiqati Umar r.a Li al-Qur`an Wa at-Taurati Wa al-Atsar.


13 - al-MAjmu`atu ar-Rawiyah Syarah al-Manzhumati ar-Rahbiyyah.


14 - Mukhtasor Ithaf Ahli Islam Bi Khususiyati as-Shiyam.


15 - Mursyidul al-Hajj Wa al-Mu`tamir as-Sa`iri Ila A`mali al-Hajji Wa Umrati Wa az-Ziyarah.


16 - al-Masho`idu ar-Rawiyyah Ila ak-Asanidi Wa al-Kutubi Wa al- Mutuni al-Mardhiyah.


17 - Multaqa al-Ashfiya` Fi Manaqibi al-Imam Ali Wa as-Sibthaini Wa az-Zahra` r.a.


Beliau meninggal dunia pada tahun 1424 hijriyah, dan kemudian di kuburkan di perkuburan al-Ma`la Makkah al-Mukarromah.


Rujukkan :


1 - `Aqdu al-Jauhar Fi Ulama`i ar-Rubu` al-Awwal Min al-Qarni al-Khamis `Asyar : 2 / 1943.


2 - al-Masho`idu ar-Rawiyyah Ila ak-Asanidi Wa al-Kutubi Wa al- Mutuni al-Mardhiyah.


3 - Mu`jam Syuyukh Syeikh Usamah Said al-Azhari.

http://jalantrabas.blogspot.com/2007_11_01_archive.htm
http://www.facebook.com/SYAFAAH.dan.BAROKAH

SHEIKH MOHAMMAD KHALIL AL-KHATIB

Nama, keturunan & gelaran.

Beliau ialah al 'Allamah al Muhaddith al Muhaqqiq al Faqih al Imam al Lughawi Sayyid Muhammad bin Khalil bin Muhammad bin Sayyid bin Ismail bin Ahmad al Khatib bin al Tunajji bi...n Salim bin Salam bin Salam bin Sa’adullah bin Afandi Muhammad bin ‘Aliyu bin al Bakri bin Ismail bin Muhammad bin Ismail bin al Qasim al Rassi bin Ibrahim Tobatoba bin Ismail bin Ibrahim al Fakhr bin al Hasan al Muthanna bin Imam Hasan al Sibt bin Amirul Mukminin Imam Ali dan Sayyidah Fatimah al Zahra’ binti Sayyiduna Muhammad Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam. Terkenal dengan gelaran 'Penyair Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam' di mana gelaran ini diberi oleh Syeikh Abdul Halim Mahmud yang merupakan Syeikhul Azhar pada waktu itu.

Kelahiran.

Dilahirkan di desa Naidah, markaz Akhmim, muhafazah Suhaj, Republik Arab Mesir pada hari Selasa, 9 Mac 1909 (16 Safar 1327). Beliau merupakan anak tunggal kepada pasangan Sayyid Khalil dan Sayyidah Na'isah.

Pendidikan.

Beliau mula menghafal al Quran semenjak kecil lagi dan berjaya menyelesaikan hafalannya ketika berusia 10 tahun. Setelah itu beliau mula menghafal sebahagian besar matan-matan ilmu sebelum melanjutkan pelajaran di Maahad Suhaj al Dini. Beliau berjaya menamatkan pengajiannya di Maahad tersebut dengan memperoleh Syahadah Ibtidaiyyah pada tahun 1924 (1342) ketika berusia 15 tahun. Seterusnya beliau melanjutkan pelajaran ke peringkat menengah sehingga memperoleh Syahadah Thanawiyyah Azhariyyah pada tahun 1928 (1346) ketika berusia 19 tahun. Beliau kemudiannya meneruskan pengajian di Universiti al Azhar al Syarif, Kaherah sehingga berjaya memperoleh ijazah Syahadah 'Alamiyyah pada tahun 1933 (1357) ketika berusia 24 tahun. Kemuncaknya, beliau berjaya memperoleh Syahadah Takhassus (Ph.D) dalam bidang Bahasa Arab pada tahun 1936 (1354) ketika berusia 27 tahun.


Kerjaya.

Selesai menamatkan pengajian di al Azhar al Syarif, beliau telah dilantik menjadi tenaga pengajar di Maahad Ahmadi, Tanta selama 30 tahun sebelum menjawat jawatan sebagai pensyarah Fakulti Usuluddin, Jabatan Dakwah di Universiti al Azhar al Syarif. Selain itu, beliau turut mengadakan majlis pengajian bertempat di Masjid al Muhafazah, Tanta.


Perkahwinan.


Beliau berkahwin dengan Sayyidah Aminah binti Abdul Rahman al Khatib ketika berusia 27 tahun dan dikurniakan Allah dengan lima orang cahaya mata iaitu 4 putera dan seorang puteri. Mereka ialah Muhammad, Mustafa, Mahmud, Ahmad dan Iman.


Mazhab & Masyrab.


Sayyid Muhammad Khalil al Khatib merupakan seorang faqih bermazhab Hanafi. Namun begitu, beliau juga seorang alim lagi faqih dalam mazhab yang empat. Sering kali dalam majlis pengajiannya, beliau akan menjawab persoalan mengenai fiqh dengan mengemukakan pandangan daripada setiap mazhab. Beliau melalui masyrab sufi iaitu Khalwatiyyah dan Syazuliyyah di bawah bimbingan lima orang guru mursyid. Mereka ialah :


1) Sayyid Abdul Jawwad al Dumi, syeikh Tariqat Khalwatiyyah.

2) Sayyid Ali Daud, syeikh Tariqat Syazuliyyah.

3) Sayyid Mahmud Husain Syalabi.

4) Sayyid Abdullah Saad.

5) Sayyid Muhammad al 'Aqqad, syeikh Tariqat Syazuliyyah Fasiyyah Wafaiyyah.


Perkara ini beliau sebutkan dengan jelas di dalam kitabnya yang bertajuk Ithaful Akhyar bi Asohhil 'Aqoidi wal Azkar pada bab Sanad al Khatib. Beliau diizinkan untuk memimpin Madrasah Syazuliyyah Khalwatiyyah pada bulan Mac 1938 bersamaan bulan Muharam 1357 ketika berusia 30 tahun. Oleh yang demikian, beliau merupakan pengasas Tariqat Khatibiyyah Syazuliyyah Khalwatiyyah.


Karya-karya.


Beliau mula aktif dalam bidang penulisan ketika masih menuntut di peringkat menengah lagi. Sepanjang usianya, beliau telah menghasilkan sebanyak 77 buah karya yang merangkumi bidang Tafsir, Hadith, Nahwu, Sorof, Balaghah, Sirah, Fiqh, Syair-syair Arab dan artikel-artikel semasa. Kitab yang telah mengharumkan nama beliau di kalangan para ulama' bertajuk Ithaful Anam bi Khutob Rasulil Islam yang menghimpunkan sejumlah 574 khutbah-khutbah Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam dalam pelbagai perkara. Beliau menghabiskan masa selama 15 tahun untuk menyiapkan kitab tersebut. Ini menggambarkan kepada kita tentang kesabaran dan ketelitian beliau bagi menghasilkan sesuatu yang berkualiti. Beliau merupakan contoh terbaik sebagai penulis yang sabar, sasterawan yang kreatif serta pengkaji yang teliti.


Kewafatan.


Beliau menghembuskan nafas terakhir pada hari Jumaat, 21 Februari 1986 (12 Jamadil Akhir 1406) dalam usia 77 tahun. Jenazah beliau disemadikan di Masjid al Muhafazah, Tanta. Semoga Allah meredhai beliau serta membalas jasa-jasa beliau dengan sebaik-baik pembalasan. Amin.

* Blogger ini pernah mengikuti pengajian dan tabaruk dengan pewarisnya iaitu Syeikh Mahmud al-Khatib

Bibliografi:


- Nafhatul Qabul fi Sirah Syair ar Rasul, Syeikhuna Sayyid Mahmud Bin Muhammad al Khatib al Hasani, terbitan tahun 1987.

- Ithaful Akhyar bi Asohhil 'Aqoidi wal Azkar, Imam Muhammad Khalil al Khatib al Hasani, halaman 11-13, terbitan tahun 2002.

- Al Qasasul Haq li Sayyidil Khalq, Imam Muhammad Khalil al Khatib, pada muqaddimah, terbitan tahun 2000.

- Gema Negeri Edisi Perdana, ruangan tokoh, Danial Farhan bin Dolmat, terbitan Badan Kebajikan Anak-anak Negeri Sembilan Mesir (BAKANS).

http://hanputra.blogspot.com/2009_01_01_archive.html

MENGENANG SALAH SATU SOSOK ULAMA KHARISMATIK KOTA KALIWUNGU KABUPATEN KENDAL TEMPO DULU

Tidak lengkap rasanya mengulas tentang kota santri di Kaliwungu tanpa membicarakan para Ulama dan para Kyai-nya.


KH.Mahfudz sarbini yang biasa dipanggil dengan Mbah kaji merupakan salah satu sosok Ulama kaliwungu yang memiliki karismatik, beliau lahir sekitar tahun 1920 anak pasangan dari H.sarbini dan Hj.Romlah.beliau dijuluki oleh para ulama disekitar kaliwungu sebagai bapaknya alqur’an,karna sejak sebelum nikah sudah menjadi imam tarawih dimasjid al mutaqqin Kaliwungu kendal bersama KH.Asror ridwan,KH Mahfudz madian, Kyai Nasikhin, dan KH.Toha(es). Sejak kecil Beliau sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya, pada umur 12 th beliau sudah rampung disimak 30jus bil ghoib secara langsung oleh gurunya yang bernama KH .A.Badawi Abdurrosyid yang merupakan guru besar tahafudzul qur’an sekota kaliwungu.


Mbah kaji sosok ulama yang cukup sempurna dalam menjalankan perintah agama, beliau bukan saja mengajarkan alqur’an, namun juga dalam menjalankan kehidupanya,alqur’an seakan-akan sudah menjadi bagian dari dirinya. Maka wajar jika dalam perilaku sehari-hari beliau penuh tawadhu’,istiqomah ,zuhud dan ikhlas. Banyak dari beberapa pihak maupun para santri beliau yang coba untuk mempublikasikan kegiatannya selalu di tolak dengan halus oleh Mbah Kaji.


Banyak yang pernah menjadi murid beliau yang sekarang menjadi ulama-ulama ternama dikota kaliwungu seperti KH.Aqib umar,KH.Nujumudin badawi, KH. Munawirudin badawi, KH. Baduhun badawi,dan masih banyak lagi murid beliau yang menjadi ulama-ulama besar disekitar kota kaliwungu bahkan sampai ada diluar jawa.


Masa kecil Mbah Kaji dihabiskan di kampung kelahirannya; Krajan kulon Kaliwungu. Awal menuntut ilmu, beliau menghafalkan alqur’an,yang langsung didik oleh KH.A.Badawi.pernah mengaji tafsir dengan kyai Ibrahim,ilmu falaknya dengan Kyai Ahmad Hamim dan dengan ulama-ulama lainya disekitar kaliwungu, Lalu sempat melanjutkan berkelana menuntut ilmu agama didaerah solo,namun karna pada waktu itu sedang terjadi kekisruhan didaerah tempatnya mondok beliaupun akhirnya pulang kedaerah asalnya

Kata nara sumber, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna.


Pernah ada suatu kisah yang amat mencengangkan dari beliau sewaktu pertama kali mondok dipesantren daerah solo, ketika beliau disuruh untuk diantarkan santri kekamarnya, ternyata malah santri tersebut mengantarknya ke tempat pembuangan air besar atau wc, beliaupun didalam dikunci selama 2 hari, tidak makan ataupun minum, bahkan santri tersebut malah tambah ingin mengerjainya, tapi ketika santri tersebut datang ke wc, malah seakan-akan yang diliatnya mbah kaji sedang makan- minum ditemani oleh kyainya bahkan disitu kyainya sedang belajar alqur’an dengan beliau, santri inipun kaget dan langsung pingsan ditempat, ketika sadar santri tersebut sudah berada dikamarnya dan dikerubuti oleh para santri yang lain.

Setelah itu sisantri tersebut mencritkan kepada kyainya, namun kyainya langsung kaget dan berlari menuju ke wc tersebut, dan dibukalah pintu ternyata mbah kaji sedang tidur dengan keadan lisan bersuarak ayat-ayat suci alqur’an,subhanallah..

Tak lama kemudian mbah kajipun dibangunkan oleh kyainya seraya dipeluk dan diajak ke kamar kyainya,,,kemudian iapun ditanya dan menjawab bahwa ketika beliau dikunci dikamar mandi beliau langsung tak sadarkan dri karna terlalu kecapekan karna perjalan jauh.akhirnya mulai itula beliau dikenal dan disegani dikalangan pondok pesantren tersebut.


Wallahu a’lam. Ada banyak cerita tak masuk akal yang menyangkut dirinya, namun kadar ”gula-gula” tidaklah terasa sebab penitikberatan segala kisah perjuangan mbah kaji lebih diambil dari orang-orang yang menjadi saksi hidupnya (kebanyakan dari mereka masih hidup) dan dituturkan apa adanya. Almrhum mbah kaji memang sudah masyhur wira’inya. Di waktu ia kecil,ia sudah terbiasa tirakat, tidak pernah terlihat tidur dan istimewanya adalah menu makanya yang hanya sekedar. Beliau selalu menghabiskan waktu untuk menimba ilmu, baik dengan mengaji, mengajar atau mutola’ah. Sampai sudah tuapun, mbah kaji masih menjalankan keistiqamahannya itu dan tidak dikurangi bahkan ditambah.

.

Tanggal 27 rajab tahun 1993 tepatnya pada hari ahad sore hari KH.Mahfudz dipanggil oleh Alloh SWt keharibaannya.di RS.Soewondo Kendal.narasumber mengatakan sewaktu beliau sakit dan hampir menjelang ajal beliau sering merintih, namun anehnya rintihan itu tak slayaknya seperti rintihan orang keskitan karna ternyata suara yang dianggapan rintihan tersebut ternyata adalah suara ayat-ayat suci alqur’an. fakbut rabaka hatta yaktiyakal yaqin merupan pesan terakhir yang terdengar dari mulutnya seblum meninggal dunia, Kaliwungu telah kehilangan sosok ulama yang karismatik dan tawadhu’yang menjadi tumpuan berbagai kalangan masyarakat untuk dimintai nasihatnya bukan hanya dari masyarakat kaliwungu saja saja tapi juga umat islam pada umumnya.Beliau di maqomkan tak jauh dari rumahnya tepatnya daerah kampung tridasari. .


Atas meninggalnya ulama krismatik di Desa Krajan Kulon,Kaliwungu Kendal KH .Mahfudz Sarbini, hari ahad sedikit banyak umat Islam sangat kehilangan. Ulama besar yang jadi tumpuan berbagai kalangan masyarakat untuk dimintai nasihatnya bukan saja masyarakat kaliwungu yang kehilangan, namun umat Islam disekitarnya pada umumnya.

sumber :majalah alkisah
http://www.facebook.com/SYAFAAH.dan.BAROKAH

Ustadz Taha Suhaimi, Cucu Syeikh Muhammad as-Suhaimi

Ustadz Taha as-Suhaimi ialah keturunan langsung Nabi s.a.w. yang dicintai melalui keluarga basyaiban satu gelaran yang terkemuka Bani 'Alawi dari Hadramaut. Beliau dilahirkan pada Khamis, pada 27 Julai 1916 M / 26 Ramadhan 1334 H.

Beliau menerima pendidikan awal di Lembaga Raffles di Singapura dan kemudian di Kuliyah al-'Attas di Johor, Malaysia, yang ayahnya, Syeikh Muhammad Fadhlullah yang alim dan arif dalam syariat, yang mendirikan dan bertindak seperti Dekan.

Setelah lulus dari kolej, beliau melanjutkan pelajaran di Universiti Al-Azhar, Mesir untuk belajar lebih lanjut. Ketika di Mesir, beliau mengunjungi makam Syeikh Ahmad Badawi di Tanta. Di sana, beliau menerima instruksi yang jelas untuk mencari ilmu. Kerana pengalaman itu, beliau belajar di Mesir untuk jangka waktu sekitar 8 tahun sebelum pulang kembali ke Singapura, diisi dengan berbagai pengetahuan tentang ilmu agama yang difahami orang banyak dan tanpa sertifikasi apapun.

Ustadz Taha as-Suhaimi segera menemukan bahawa datuknya, Syeikh Muhammad Ibnu 'Abdullah as-Suhaimi, wali Allah yang besar, mendirikan sebuah tariqat dengan bacaan al-Aurad al-Muhammadiyah adalah amalan utama. Beliau kemudian dilanjutkan belajar di Klang, Malaysia, di mana pamannya, Syeikh Muhammad Khairullah, juga pernah membimbing para murid di tariqat ini.

Beliau menerima pelatihan rohani dari pamannya di Klang di mana dia memasuki uzlah untuk jangka waktu sekitar 6 bulan. Setelah mencapai ijazah di mana beliau diberikan izin untuk membimbing orang-orang dan terhadap tariqat ini, dia kembali ke Singapura dan diangkat sebagai dosen di Ngee Ann College dan presiden pertama dari Shari'ah Court.

Beliau telah memainkan peranan dalam mempertahankan Madrasah Al-Ma'arif Al-Islamiah, melalui perusahaan perjalanannya. Beberapa keuntungan dari perusahaan tersebut telah disalurkan kepada Madrasah dari dana. Beliau juga yang menyumbangkan keuntungan dari buku ke Madrasah. Selain itu kegiatan di Madrasah itu, beliau juga aktif di Masjid Ma'rof. Beliau juga disiapkan untuk skrip program agama di Radio Singapura, dan mengajar mata pelajaran agama di rumahnya. Beliau dikenal sebagai Syeikh tariqat dan seni beladiri eksponen. Di antara buku-bukunya ialah:

1) Hakikat Syirik
2) Haji dan Umrah
3) Tauhid
4) Qadha 'dan Qadar
5) Kitab »Iman
6) Kitab Puasa
7) Bukti-bukti Kebenaran Al-Quran
8) Apakah Alkitab telah diubah
9) Muhammad Foretold Sebelumnya dalam Kitab Suci.

Selama tahun 1960, beliau dikenal masyarakat Muslim di Singapura bahawa Tariqat Al-Muhammadiyah memiliki bentuk yang dikenal sebagai seni beladiri pencak silat Sunda yang berafiliasi dengannya. Selama huru-hara di Singapura, Ustaz Taha dihadapi mendadak peningkatan jumlah murid yang mencari perlindungan dari kekerasan yang sampai detik hitam dalam sejarah Singapura. Perlindungan yang diberikan oleh Allah melalui cara ini adalah seni beladiri yang efektif sehingga jumlah murid mencapai puluhan ribu.

Kini, Pemerintah Singapura yang dibutuhkan pendaftaran lisensi untuk setiap persatuan yang mencakup seni beladiri sebagai latihan. Kerana ini, Ustaz Taha mendirikan Persatuan Singapura Islam dan Pencak Silat yang dikenal sebagai PERIPENSIS, yang lokasinya dekat dengan Madrasah Al-Ma'arif di Ipoh Lane.

Di Singapura, Ustadz Taha yang terkenal untuk sangat aktif menjadi pendebat ketika membahaskan tasauf dan agama Kristian. Beliau bahkan menulis beberapa buku dalam bahasa Inggeris yang berkaitan dengan agama Kristian, yang mana usahanya itu sama dengan usaha dan jasa Ahmad Deedat. Kerana itu keluasan pemahaman beliau tentang berbagai ilmu agama, keberanian, kearifan dan menguasai bahasa Inggeris dan Bahasa Arab, beliau selalu mudah menyelesaikan masalah seperti Tawassul dan Tabarruk. Para sufi lainnya di Singapura bahkan mendekati beliau untuk mempertahankan kepercayaan mereka ketika mereka menghadapi tuduhan bidaah dari antara ulama tertentu dari masyarakat Muslim Singapura.

Ustadz Taha akan selalu diingat sebagai mualim utama dari Tariqat Al-Muhammadiyah. Beliau akan selalu diingat sebagai insan yang sangat percaya bahawa adalah mustahil bagi umat Islam untuk berbohong. Diamati dengan teliti semua pidatonya dan aktivitinya itu dalam harmoni dengan sunnah kita tercinta Nabi Muhammad s.a.w.. Beliau tinggal dalam satu kehidupan sederhana dan walaupun ia benar-benar kaya. Kekayaan beliau itu disedekahkan ke Madrasah Al-Ma'arif, PERIPENSIS dan orang-orang yang dianggap miskin. Beliau makan sehari-hari sangat sedikit dan pakaiannya hanya terdiri dari dua helai. Ada masanya beliau sendirian di malam hari. Selama pelajaran, beliau akan, hampir selalu, menjelaskan konsep-konsep agama tertentu dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan dan sebaliknya. Beliau akan menerangkan kepada siswa yang kadang-kadang sulit untuk memahami beberapa konsep dan praktik agama.

Tidak ada keraguan bahwa ayahnya dan dirinya bermain peranan yang sangat penting dalam membangun dan memperkuat dari Komuniti Muslim di Singapura.

Beliau meninggal pada Selasa, 8 Jun 1999 / 23 Safar 1420, pada usia 83 tahun. Semoga Allah memberkati beliau dan memberi jiwa kita manfaat dari ilmu pengetahuan, cahaya dan rahsia beliau. Amin.

Diterjemahkan dari:
http://heliconia.wordpress.com/2007/01/28/ustaz-sayid-taha-suh

Syaikh `Abdullah al-Lahji

Syaikh al-Faqih al-Muarrikh al-Muhaddits al-Lughawi al-Adib `Abdullah bin Sa`id bin Muhammad bin `Ubaadi al-Lahji al-Hadhrami adalah seorang ulama besar, Mufti asy-Syafi`iyyah Kota Makkah al-Mahmiyyah. Beliau dilahirkan di Kota Lahj, Yaman pada tahun 1343H. Dilahirkan dalam keluarga ulama yang kuat beragama. Sejak kecil beliau telah menghafal al-Quran dan berbagai matan di bawah asuhan ayahandanya sendiri. Kemudian, beliau dihantar oleh ayahanda beliau ke Kota Hauthah untuk menimba ilmu di bawah Syaikh Hasan `Abdullah Ibrahim sehinggalah ayahandanya meninggal dunia pada tahun 1354H, di mana beliau telah dilantik untuk menggantikan tugas ayahandanya menjadi muadzin, khatib dan imam. Semua tugas tersebut dipikul beliau dengan penuh ikhlas dan amanah, selain tugas menjadi imam, di mana beliau kerap menolak untuk menjadi imam kerana sikap tawadhu'nya.


Pada tahun 1358, beliau meneruskan pengajiannya dengan para ulama di Kota Marawa`ah. Beliau menetap di kota tersebut sehinggalah tahun 1361 di mana pada tahun tersebut beliau berpindah ke Kota Zabid untuk menimba ilmu dengan para ulamanya. Beliau menetap di Kota Zabid sehinggalah gurunya wafat pada tahun 1372H.


Pada tahun 1374, Syaikh `Abdullah berangkat ke Hejaz untuk menunaikan fardhu haji dan beliau tinggal di Kota Makkah selama setahun sebelum pulang ke Yaman. Dalam tahun 1377, beliau memutuskan untuk berhijrah ke Kota Makkah dan tetaplah beliau tinggal di sana sehingga kewafatannya pada tahun 1410H.


Di antara guru-guru beliau, selain ayahandanya sendiri, adalah Syaikh Hasan `Abdullah Ibrahim, Sayyid `Abdur Rahman bin Muhammad al-Ahdal, `Allaamah `Abdullah bin `Ali al-Amudi, Sayyid `Abdullah bin Ahmad al-Haddar, Sayyid `Alawi al-Maliki, Syaikh Hasan al-Masyat, Syaikh Muhammad al-`Arabi al-Tubbani, Syaikh Muhammad Yasin al-Fadani, Sayyid Muhammad Amin Kutbi, Syaikh Hasan bin Sa`id al-Yamani, dan ramai lagi, rahimahumullah. Murid-murid beliau juga ramai, antara mereka ialah Prof. Dr. Sayyid Muhammad bin `Alwi al-Maliki, Dr. Sayyid Ahmad `Abdul `Aziz al-Haddad, Sayyid Muhammad Husain al-Qadimi dan Sayyid Qasim al-Ahdal.


Syaikh `Abdullah juga mengarang berbagai jenis karya, antaranya:-


1- إيضاح القواعد الفقهية لطلاب المدرسة الصولتية

2- إعانة ربِّ البرية على جمع تراجم رجال الحديث المسلسل بالأولية

3- المرقاة إلى الرواية والرواة

4- رسالة جمع فيها أربعين حديثاً

5- منتهى السول على وسائل الوصول إلى شمائل الرسول

6- إسعاف أهل الخبرة بحكم استعمال الصائم للإبرة

7- حديقة الأبرار شرح بهجة الأنوار
8- نظم في الغزوات

9- فتح المنان في شمائل شيخنا عبد الرحمن

10- نظم في القيلات المعتمدة في المنهاج للنووي

11- الأجوبة المكية عن الأسئلة الجاوية

12- حسنات الزمن في تراجم علماء اليمن

Syaikh `Abdullah al-Lahji meninggalkan dunia yang fana ini di Makkah pada 26 Jamadil Awwal 1410H dalam usia 67 tahun. Mudah-mudahan hujan rahmat Tuhan yang Maha Rahim sentiasa tercurah ke atas beliau dan keberkatannya mengalir kepada sekalian umat....al-Fatihah.

http://alhabaib.blogspot.com/search/label/Syeikh

Kyai Soeratmo (Mbah Idris)

Kyai Soeratmo atau yang lebih dikenal dengan Mbah Idris, dilahirkan pada tanggal 1 april 1913 M, putra KH. Amir Hasan Yogyakarta dan Ny. Aisyah binti KH. Idris Boyolali. Beliau wafat pada hari rabu pon tanggal 26 Jumadil Akhir 1423 H/4 September 2002 M. II. Pendidikan dan Pergaulan Semenjak kecil beliau sudah tekun dalam menuntut ilmu. Beliau belajar di Manbaul Ulum Slompretan sampai tamat kelas XI dengan nilai yang sangat memuaskan. Selain itu beliau juga pernah belajar dibeberapa Pondok Pesantren, antara lain : 1. Pondok Pesantren Jamsarem, Solo dibawah asuhan KH. Idris. 2. Pondok Pesantren Tremas Pacitan 1941 -1944 M. 3. Pondok Pesantren Bangkalan Madura. 4. Pondok Pesantren Kaliwungu Kendal. 5. Mengikuti Majlis Ta’lim dibawah asuhan Habib Muhsin Bin Abdullah, Solo untuk mempelajari Hadits Bukhori Muslim. Selain itu beliau juga telah terbiasa dengan riyadloh seperti Puasa sunah, Sholat lail dan tahan tidak tidur dimalam hari. Beliau juga menekuni olah raga seni Pencak Silat dan bergabung dalam Pendekar solo. Tidak ketinggalan beliau juga mendalami ilmu tasawuf. Maka dengan tempa’an-tempa’an tersebut terbentuklah sosok pribadi Kyai Soeratmo/ KH. M. Idris menjadi ulama’ khas yang berwawasan luas dan menghabiskan hidupnya untuk mencari ridlo Allah Swt. Sejak muda beliau sangat senang bergaul dengan siapapun tanpa mengenal status sosial maupun agama dan golongan. Cara berbusana selalu menampilkan kerapian sesuai dengan situasi dan kondisi pergaulannya. Beliau sangat ta’dhim kepada sesepuh, Alim Ulama’ dan Habaib. Beliau sangat peduli terhadap fakir miskin, dan sayang kepada anak kecil. Beliau mendalami dan Bai’at Thoriqoh Szadziliyyah sejak muda kepada beberapa mursyid/Guru Thoriqoh, antara lain : 1. KH. Abdul Mu’id Tempur Sari – Klaten. 2. KH. Ahmad Siroj Keprabon – Solo. 3. KH. Abdul Rozaq Termas Pacitan. 4. KH. Ahmad Ngadirejo. 5. KH. M. Idris Jamasaren – Solo. 6. Bertemu langsung dengan Syeikh Mufthi Kamal di Makkatul Mukaromah dan syeikh Muhtarom Makkah. Semenjak beliau menjadi Mursyid, telah puluhan ribu jumlah anggota yang diasuh, terdiri dari berbagai macam lapisan masyarakat. Bahkan beberapa bulan sebelum beliau wafat, beliau masih sempat memba’aiat sekitar 200 orang sambil tiduran karena sudah udzur atau sakit, dan dilakukan bersama atau dijama’. III. Kebiasaan Beliau Beliau sangat rajin mempelajari kitab-kitab, kemudian merangkum dan menuliskannya kembali dalam bentuk kitab/buku dengan ditulis tangan sendiri secara rajin, dengan sistematis dan penafsiran / terjemahan yang mudah dipahami oleh siapapun yang membaca. Kebiasaan ini telah dilakukan semenjak beliau belajar di Pondok Pesantren tremas Pacitan, sampai menjelang wafatnya. Adapun kitab-kitab yang beliau himpun antara lain : 1. Kitab Nikah. 2. Kitab Asyhuril Hurum. 3. Do’a-do’a di dalam sholat dan diluar sholat. 4. Kitab Tanbihul Awwam Jilid I dan II. 5. Kitab tentang tata krama masuk Thoriqoh Syadziliyyah. 6. Kitab Manaqib Syeikh Ali Abil Hasan Assyadzili Ra. Dll. IV. Perjuangan dan Dakwah Beliau. 1. Beliau termasuk pejuang 45, pada saat pertempuran menghadapi pasukan penjajah Belanda di Mranggen, beliau bergabung dalam barisan Hizbullah. 2. Dalam berdakwah beliau lakukan dengan bahasa yang lugas dan mudah dipahami. Contoh-contoh pengalaman syariat agama dilaksanakan secara sederhana, tidak selalu harus memaparkan dalil-dalil, namun mengutamakan tata krama dan akhlakul karomah. 3. Beliau sangat peduli terhadap pelestarian budaya Jawa yang relevan dengan ajaran Islam, misalnya, wayang kulit, tata busana jawa dll. Beliau sangat fasih apabila menuturkan Babat tanah Jawa yang penuh dengan nilai filsafahnya. 4. Beliau termasuk ulama Ahli falak. Namun hal ini sanagat disimpan rapi, alasannya sangat sederhana “jangan sampai diartikan atau dianggap sebagai ahli nujum. V.Karomah-karomahnya Karena sifat kehati-hatian beliau, maka beliau sangat rapat dalam menyimpan rahasia kekhususan yang dimiliki. Adapun kejadian-kejadian yang merupakan karomah yang diungkap disini adalah sebagian kecil yang sempat direkam semasa beliau masih hidup. 1. Beliau sangat menghormati tamu, pernah suatu ketika beliau kedatangan tiga orang tamu dari jauh. Pada saat itu ibu nyai dan pembantu tidak ada dirumah. Tiga tamu tadi dihidangkan minuman yang diambil dalam teko persediaan beliau sendiri. Anehnya dalam satu teko yang biasanya berisi teh, ketika dituangkan digelas para tamu tersebut isinya berbeda-beda sesuai dengan kesukaan tamu tersebut. Satu gelas pada saat dituangkan berisi kopi, satu berisi teh dan satunya lagi berisi susu. Hal ini membuat ketiga tamu tadi tertegun sambil berbisik :”Mengapa Kyai sudah tahu minuman kesukaan kami padahal kami belum pernah silaturahmi dan ketemu kyai, dan kami saat ini memang betul-betul haus”. 2. Beliau melaksanakan ibadah haji baru tiga kali. Namun kenyataan tiap tahun banyak saudara yang pergi haji berjumpa beliau baik di Makkah dan Madinah.



Hal ini pernah dialami oleh KH. Ahmad Zakasy, KH. Abu Shihab, KH. Taubatan Nasuha. Ketika mereka bertiga yang tergolong sudah sepuh melaksanakan ibadah haji, ketiganya disana di pandu oleh KH. Soeratmo/Mbah Idris. Maka setelah ketiganya pulang tersebarlah berita tersebut. Dan mereka menuturkan Kyai Soeratmo atau mbah Idris setiap paginya sudah di Makkah, tetapi setiap sore slalu pamit untuk pulang. Dengan berita tersebut, para jama’ah majlis ta’lim asuhan beliau merasa heran dan dalam hati membantah berita tersebut, karena selama musim haji beliau setiap malamnya selalu aktif memberikan ceramah tafsir al Qur’an di Gedung Batik PBB Kacangan. Akhirnya kami percaya setelah KH. Ahmad Zarkasy sambil berliangan air mata membenarkan berita tersebut. Peristiwa seperti itu ternyata banyak dikisahkan oleh beberapa orang yang pergi haji, meskipun Mbah Idris sudah wafat. 3. Pada saat pertama kali Mbah Idris mengadakan haul Imam Agung Syekh Syadzili Ra/sewelasan pada tahun 1971 di Masjid Muqorrobbin yang baru saja didirikan. Pada saat itu musim paceklik, masyarakat banyak mengalami kesusahan sulit mencari makan, tanaman pangan dihabiskan oleh tikus. Panitia sangat cemas, karena sampai menjelang maghrib makanan yang tersedia sangat sedikit. Kemudian Mbah Idris memberi nasehat, “Jangan cemas, Apabila kita Mahabbah dengan kekasih Allah, Insya Allah diberkahi. Maka mohonlah keberkahan. Kenyataannya memang benar, setelah acara dzikir selesai dibaca kami mulai menghidangkan makanan yang ada sampai merata, padahal yang hadir ribuan. Setelah pengajian selesai panitia sangat heran karena makanan yang tersedia sejak sore masih utuh. Alhamdulilah akhirnya dapat diberikan kepada pekerja yang ada.

sumber: www.almihrab.com

Sabtu, 23 Juni 2012

Habib Agil bin Abubakar Al-Qadri, Balikpapan: Harta bukan Tujuan

Namun semua usaha itu kurang memuaskan bathinnya. Maka akhirnya ia tinggal di Palu, membuka majelis pengajian bersama keluarganya.



Mencari harta benda dalam kehidupan di dunia memang penting, tetapi lebih penting mencari bekal untuk di akhirat. Itulah yang diyakini Habib Agil bin Abu Bakar Al-Qadri dari Balikpapan. Kehidupan sehari-harinya kini lebih banyak untuk berdakwah.

Habib Agil lahir di Palu Utara, Sulawesi Tengah, pada tanggal 6 Maret 1970. Ia dididik agama Islam sejak kecil oleh kedua orangtuanya. Untuk SD dan SMP, ia belajar di sekolah umum di Palu Baru. Kemudian pada tahun 1981 ia berangkat ke Arab Saudi, ikut abahnya, Habib Abu Bakar Al-Qadri, konsulat Indonesia di Arab Saudi yang mengurusi bagian haji. Ia belajar di sekolah internasional di Jeddah yang berada di kedutaan. Di sekolah ini pengantarnya adalah bahasa Arab dan bahasa Inggris.

Kemudian Habib Agil melanjutkan pendidikiannya ke Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, pada 1984, mengambil jurusan Ushuluddin. Di samping itu ia juga
belajar di Sekolah Bahasa Asing di kota yang sama. Habib Agil mempelajari bahasa Inggris dan bahasa Arab. Alasannyaa, karena kajian Islam di Indonesia banyak mengambil sumbernya dari literatur berbahasa Arab, Belanda, dan Inggris.

Tidak puas belajar di Al-Azhar, kemudian Habib Agil melanjutkan belajar ke Belanda. Dengan kemampuan bahasa Belanda yang dipelajarinya di Sekolah Bahasa Asing di Kairo, mudah baginya untuk mengikuti kelas kajian Islam dengan bahasa Belanda.

Ia tinggal di Rotterdam, kota pelabuhan terbesar di Belanda. Kemudian pindah ke Den Haag, baru kemudian ke Amsterdam, ibu kota Belanda.

Karena jiwa petualangannya, pada tahun 1986 ia berangkat ke Italia. Di Negeri Pizza ini, Habib Agil, selain mempelajari bahasa Italia, juga mempelajari ilmu sosial, yang sangat berkembang di negeri itu.

Tak terasa empat tahun ia belajar di Italia, dan benar-benar menguasai bahasa itu dengan baik.

Bukan Aliran Wahabi-nya
Kepada alKisah, Habib Agil dengan bercanda menjawab pertanyaan dengan bahasa Italia, yang tentu saja tidak dimengerti. Kadang, sekadar untuk intermezo, dalam sebuah majelis ta’lim ia pun menggunakan bahasa Italia atau bahasa Belanda.

Di balik canda dan intermezo itu, sesungguhnya ada ibrah yang bisa kita ambil. Yakni, dalam rangka berdakwah, apalagi dalam era globalisasi, pengusaan bahasa asing sangat penting. 

Bahkan, dalam pengakuannya, Habib Agil tidak hanya menguasai bahasa-bahasa asing di atas dan bahasa daerah Kaili, Palu Utara, tempat kelahirannya, melainkan juga bahasa Melayu, bahasa Madura, dan bahasa Jawa. Dan karena lama tinggal di Eropa, ia pun lancar berbahasa Prancis.

Pada tahun 1991 ia kembali ke Arab Saudi dan bekerja di Saudi Airport. Di sini, ia mengurusi jama’ah haji yang datang dari luar Arab. Termasuk jama’ah Indonesia. Kemudian ia berpindah ke perusahaan asing, yaitu World Wide, yang menyuplai alat-alat rumah sakit ke Arab Saudi.

Di perusahaan ini, ia tidak lama, karena kemudian ia membuka toko sendiri yang menjual berbagai keperluan rumah tangga di kota Jeddah. Di samping itu, ia juga masih sempat bekerja sebagai agen Arab Saudi yang mengurusi para TKW yang datang ke Arab dan masalah perburuhan. “Saya sering membantu TKW yang tidak punya paspor atau karena suatu hal paspornya hilang,” katanya.

Salah satu prestasinya yang sangat membanggakan adalah andilnya dalam ikut membebaskan TKW Nasiroh dari hukuman mati pada tahun 1994.
TKW yang berasal dari Jawa Barat itu sudah diancam hukuman pancung. Tapi berkat bantuannya bersama tim dari Indonesia, yang tergabung dalam tim pengacara Indonesia di Mahkamah Kubra (Tinggi), alhamdulillah Nasiroh dapat pengampunan Raja, sehingga ia bisa pulang ke Indonesia dengan selamat.

Habib Agil juga ikut dalam suatu maktab haji yang mendapat izin penuh dari Pangeran Muhammad bin Jahawi Al-Saud untuk mengurus para haji Asia Tenggara. Ia tergabung dalam perusahaan Armin Group yang bekerja sama dengan kedutaan Indonesia.

Meski sibuk bekerja di Arab Saudi, Habib Agil masih menyempatkan diri belajar agama. Pertama ia belajar kepada Syaikh Yasin Bugis-Mandar, seorang ulama asal Sulawesi yang tinggal di Makkah dan banyak mengajar murid-murid yang berasal dari Sulawesi. Kemudian kepada Habib Abdul Qadir Assegaf,
khususnya malam Kamis dan malan Jum’at. Pengajian habib kharismatis itu diikutinya dari Makkah, kemudian pindah ke Jeddah.

Di Arab Saudi sendiri ada organisai dakwah yang dinamai “Mabahists Amar Ma’ruf Nahi Munkar”, yang kebanyakan memang dipimpin para ulama Saudi yang beraliran Wahabi. “Namun saya hanya mengambil ilmu pokoknya, seperti tafsir, hadits, dan lainnya. Bukan aliran Wahabi-nya,” tuturnya.

Nurul Khairaat lil Muhibbin
Pada tahun 1996, Habib Agil pindah ke Indonesia, karena di Timur Tengah terjadi Perang Teluk. Irak menginvasi Kuwait, dan sudah mengancam akan
menyerang Arab Saudi. Karena itulah, warga asing yang berada di Saudi cepat-cepat menyelematkan diri untuk keluar dari negeri itu. “Semua harta benda ditinggal, saya punya 14 mobil dan toko, tapi semua barangnya kini saya tidak tahu ada di mana,” kisahnya.

Habib Agil beradaptasi lagi dengan iklim di Indonesia. Ia harus mencari kawan lagi untuk berdagang dan membuka usaha baru. Dan karena yang dikuasainya adalah pengadaan barang ke Arab Saudi, ia pun berusaha menjual berbagai barang yang diperlukan di Saudi, khususnya untuk jama’ah haji dan umrah, seperti pakaian haji atau umrah, mukena, payung, sandal, busana muslim, pakaian ihram, danlain-lain.

Namun semua usaha itu kurang memuaskan bathinnya. Maka akhirnya ia tinggal di Palu, membuka majelis pengajian bersama keluarganya. Majelis itu dinamai “Nurul Khairaat lil Muhibbin”.

Kegiatan majelis itu kemudian meluas ke Kabupaten Donggala sekitar tahun 2000.

Pada tahun 2001, Habib Agil menikah dengan Fitriyah Al-Jawwas. Dari pernikahan itu mereka dikaruniai dua anak: Muhammad Sulthan Wildan Al-Qadri dan Farid bin Agil Al-Qadri.

Sehari-hari kini mereka tinggal di Balikpapan, tepatnya di Jalan Agus Salim atau Jalan Melati No. 26 RT 35 Kelurahan Klandasan Ulu, Balikpapan, Kalimantan Timur.

Mengapa ia akhirnya memutuskan tinggal di Balikpapan? Semata-mata karena menggantikan peran adiknya, Habib Farid bin Abu Bakar Al-Qadri, yang meninggal pada tahun 2006. Habib Farid-lah yang merintis pendirian Majelis Ta’lim Nurul Khairaat lil Muhibbin di Kalimantan dan kemudian berkembang pusat. Sekarang majelis ta’lim ini sudah memiliki 42 cabang di seluruh Kalimantan.

Selain aktif dalam bidang dakwah, seperti majelis ta’lim dan pesantren, Habib Agil juga membuka biro pemberangkatan haji dan umrah.

Ia juga ikut dalam organisasi Bela Negara dari Kementerian Pertahanan RI. “Saya aktif dalam berbagai kegiatan, khususnya dalam amar ma’ruf nahi munkar,” katanya.

Habib Agil pun menerima konsultasi berbagai masalah keluarga maupun pribadi. Banyak yang minta air yang telah ia doai untuk berbagai hajat.

Sumber : http://majalah-alkisah.com/index.php/figur/26-profile-tokoh/1093-habib-agil-bin-abubakar-al-qadri-balikpapan-harta-bukan-tujuan

Habib Alwi bin Anis Al Habsyi Solo: “Saya hanya Meneruskan Tradisi Abah”

Selain itu, Habib Alwi juga meneruskan tradisi Habib Anis mengikuti rangkaian acara Maulid di Jakarta dan haul di Martapura, Banjarmasin, memenuhi undangan-undangan yang ditujukan kepada Masjid Riyadh, di Indonesia maupun luar negeri, seperti Hadhramaut, Malaysia, dan lainnya.

Zawiyah, Masjid Riyadh, Kamis 9 Maret 2012. Penampilan pengganti Habib Anis bin Alwi Al-Habsyi itu terlihat mantap. Begitu pula, ketika memimpin pembacaan Simthud Durar setiap malam Jum’at, Habib Alwi sudah menuju track tradisi di Masjid Riyadh selama ini.

Hadirin yang datang pun semakin banyak. Tidak saja dari Solo atau daerah-daerah lain di Jawa Tengah, tetapi juga dari Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, bahkan ada juga yang datang dari Malaysia, Singapura, dan Timur Tengah. Khususnya pada acara besar, seperti Legian (Maulid yang jatuh Jum’at Legi), Haul Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (shahib Simthud Durar), khatam Bukhari, khataman Al-Qur’an, dan ‘uwad (halal bihalal).

Amanah sebagai shahibul maqam di Masjid Riyadh memang begitu mendadak diterimanya. Namun setelah berjalannya waktu, tampaknya ia bisa melaksanakannya dengan baik. Sebab semua acara yang ada di Masjid Riyadh dan lingkungannya adalah tradisi yang sudah dikenal dan dijalankan sejak ia masih kecil, jadi tidak ada yang asing baginya.

“Yang penting menyiapkan mental untuk menerima tugas ini. Amanah ini harus diamalkan dengan landasan keikhlasan. Tanpa itu, kita akan merasa berat,” ujarnya.

Dalam pengakuannya, Habib Alwi mengatakan bahwa sejak muda tidak ada keinginan secuil pun untuk menjadi pengganti abahnya, Habib Anis. Sebab kala masih muda, masih ada kakak-kakaknya, yaitu almarhum Habib Ali, Habib Husin, dan Habib Ahmad. Namun entah kenapa saudara-saudaranya memilih dirinya menjadi pengganti abahnya. Bahkan sang pamam, Al-Maghfurlah Habib Ahmad bin Alwi Al-Habsyi, yang dimintai pendapat, pun punya pendapat yang sama.

Namun, secara tidak langsung, alamat atau pertanda itu sudah ada jauh hari sebelumnya. Dari enam anak Habib Anis, hanya dirilah yang meneruskan usaha batik Habib Anis yang memiliki label dagang “Anis” (Apik dan Manis). Jadi setelah Habib Anis mengundurkan diri dari dunia perdagangan, dirinyalah yang meneruskan usaha batik itu di rumah keluarga, terletak di sebelah barat Masjid Riyadh.

“Dulunya batik tulis, kemudian mencoba batik printing. Tapi karena perdagangan batik mulai menurun, saya hentikan pada tahun 2005,” katanya. Ditambahkan, “Namun saya masih punya keinginan untuk melanjutkan lagi, sebab saya asyik kerja di batik, dan sekarang katanya perdagangan batik sedang ramai lagi.”

Meski keinginan untuk bekerja tetap bersemangat, akhirnya keinginannya itu direm sendiri. Sebab ketika harus memimpin keluarga Al-Habsyi dalam keluarganya dan menjadi imam Masjid Riyadh, waktu untuk bekerja yang lain sudah habis.

“Saya sekarang masih memegang usaha sapi perah di Telukan Sukoharjo, juga membuka toko roti ‘Hani’, dan istri saya membuka warung makan di depan ruko Riyadh,” katanya.

Penamaan toko roti “Hani” juga tetap mengacu kepada kesinambungan hubungan dengan abahnya. Nama “Hani” memiliki kepanjangan “Habib Anis”. Inilah naluri seorang anak yang ingin tetap mengharumkan nama abahnya dalam kehidupannya.

Mengapa ia tetap bekerja, meski harus memimpin berbagai acara yang diselenggarakan di Masjid Riyadh, juga kadang panggilan dari para jama’ah di tempat masing-masing untuk memimpin pembacaan Simthud Durar? Habib Alwi Al-Habsyi mengatakan, sikap ini diambil karena meneladani abahnya.
“Abah mendidik kami supaya tidak menjadi orang yang malas. Meski mendapat tugas sebagai juru dakwah, bekerja juga harus dijalankan. Bukankah Nabi Muhammad juga bekerja?” ujarnya.

Belajar dari Sang Ayah
Habib Alwi adalah anak keempat pasangan Habib Anis dan Syarifah Syifa binti Toha Assegaf. Keenam anak Habib Anis adalah Habib Ali (almarhum, mertua Habib Novel Alaydrus), Habib Husin, Habib Ahmad, Habib Alwi, Habib Hasan, dan Habib Abdillah.

Habib Anis-lah yang dianggap Habib Alwi sebagai guru utamanya. “Saya belajar agama dari beliau, dari membaca Al-Qur’an hingga ilmu tasawuf dan ilmu kehidupan lainnya,” tuturnya.

Habib Alwi ingat, ia belajar membaca Al-Qur’an dimulai dengan mengeja huruf Hijaiyah ba’da maghrib di Masjid Riyadh. Tradisi membaca Al-Qur’an bersama setiap ba’da maghrib sampai sekarang masih dilestarikannya.

Kemudian, ia belajar di Madrasah Arrabitah Al-Alawiyah, yang berada di  samping rumahnya. Lalu ia meneruskan di SMP Islam Diponegoro dan SMA Negeri 3, semuanya di Solo.

Tahun 1977, ia mencari kerja di Saudi. Dua tahun di Jeddah sebagai pegawai apotek, dan di kota Damman sebagai pegawai tokoh parfum.

Di Saudi, ia memperlancar bahasa  Arab, sambil tabarukan kepada beberapa habib, seperti Habib Ahmad bin Abdul Qadir Assegaf di Jeddah dan Habib Abu Bakar Aththas Al-Habsyi di Makkah.

Beberapa waktu kemudian Habib Alwi pulang ke kampung halaman dan kemudian menikah dengan Syarifah Zahra binti Isa Mulachela, orang Solo juga. Pasangan ini sekarang dikarunia empat anak: Khadijah (menikah dengan Sayyid Sholeh Muza bin Musthafa Mulachela, dan tinggal di Australia), Fathimah, Muhammad (almarhum), dan Hanna.

Pasangan Alwi-Zahra memang dikenal sebagai pekerja keras. Selain meneruskan pengelolaan batik “Anis”, Habib Alwi juga membuka usaha lainnya. Semula sapi potong, kemudian beralih sapi perah. Di rumah ia juga membuka toko roti “Hani” pada tahun 2008. Sedang istrinya membuka usaha warung makan, dan sekaligus catering, untuk menjamu tamu-tamu yang datang ke Masjid Riyadh.

Ia kemudian mengisahkan kenangan bersama sang abah. Dalam kesibukannya bekerja, Habib Anis tetap mengajar anak-anaknya dalam berbagai hal ilmu agama. Kadang-kadang Habib Anis membaca kalam-kalam Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, kemudian kitab-kitab yang ditulis Habib Abdullah Al-Haddad, dan yang paling sering adalah kajian kitab Ihya Ulumuddin.

“Bagi Habib Anis, yang paling penting dalam mempelajari ilmu agama adalah supaya memiliki akhlaq yang mulia. Meski berilmu tingga kalau tidak memiliki akhlaq, ilmunya tidak ada artinya apa-apa. Jadi kami dididik terutama dalam bidang akhlaq,” tuturnya.

Pelajaran-pelajaran itulah yang kemudian dijadikan modal untuk mengemban amanah sebagai imam dan shahibul maqam di Masjid Riyadh hingga sekarang. Pelajaran-pelajaran Habib Anis yang disampaikan di zawiyah, di ruang tamu, dan dalam pertemuan keluarga, menjadi bekal berharga dalam melanjutkan tradisi yang sudah berjalan di Masjid Riyadh.

Selama setahun, Masjid Riyadh memiliki beberapa event yang harus diselenggarakan. Terutama adalah haul Habib Ali di bulan Rabi’ul Akhir, kemudian khatam Bukhari pada bulan Rajab, dan Tarawih serta khataman Al-Qur’an pada bulan Ramadhan, ‘uwad pada hari kedua ‘Idul Fithri, tahlil haul Habib Anis pada bulan Syawwal, penyembelihan qurban pada bulan Dzulhijjah, serta tahlil Habib Alwi di bulan Rabi’ul Awwal.

Sementara acara mingguan adalah membaca Simthud Durar setiap malam Jum’at. Khusus pada malam Jum’at Legi diadakan acara Legian,  diiringi qashidah, hadhrah, dan mau’izhah. Sedang untuk malam Jum’at biasa acara garingan (tidak diberi makan, hanya roti Hani dan kopi susu).

Selain itu, Habib Alwi juga meneruskan tradisi Habib Anis mengikuti rangkaian acara Maulid di Jakarta dan haul di Martapura, Banjarmasin, memenuhi undangan-undangan yang ditujukan kepada Masjid Riyadh, di Indonesia maupun luar negeri, seperti Hadhramaut, Malaysia, dan lainnya.

“Saya sekadar meneruskan tradisi Abah,” katanya.

Sumber : http://majalah-alkisah.com/index.php/figur/26-profile-tokoh/1020-saya-hanya-meneruskan-tradisi-abah

Habib Ahmad bin Alwi Al-Habsyi: “Kita ini Belum Seberapa”

Niatkan di dalam hati bahwa semua ini dilakukan demi dakwah mengajak umat manusia pada kebenaran, demi syiar Islam di atas muka bumi, menjaga langkah kaki untuk selalu berjalan di atas jalan salaf, dan senantiasa berbaur dengan insan-insan dakwah dari mana pun mereka berasal.


Kampung Keramat Panjang. Nama sebuah daerah di wilayah Tangerang itu cukup familiar bagi sementara orang, tapi mungkin tidak bagi yang lainnya.

Nama kampung itu disebut demikian karena keberadaan makam keramat di sana yang bangunan makamnya cukup panjang, sampai beberapa meter, jauh lebih panjang dari makam-makam lain pada umumnya, yang hanya berkisar dua meter. Namun karena letaknya yang cukup jauh dari pusat kota, banyak orang yang belum berkesempatan menginjak daerah itu. Maklum saja, perkampungan tersebut terletak di pinggir laut sisi utara kota Jakarta. Dan di wilayah itulah dai muda figur kita kali ini dilahirkan.

Habib Ahmad bin Alwi bin Ali bin Hud bin Abdullah Al-Habsyi adalah putra kedelapan dari sebelas bersaudara. Ia besar dalam didikan orangtua yang tegas dalam mendidik anaknya.

“Gaya mendidiknya itu gaya wulaiti,” kata Habib Ahmad mengenang masa-masa indahnya saat sang ayah masih ada di tengah-tengah keluarga. Wulaiti adalah sebutan bagi seseorang yang lahir di tanah Arab. Memang, biasanya orang-orang sana itu sangat tegas dalam mendidik keluarganya.

“Ayah saya tergolong galak. Tegas sekali kalau mendidik anak-anaknya. Di rumah, setiap paginya kami harus bangun pagi-pagi sekali. Jam empat subuh harus sudah bangun. Kalau jam empat subuh tidak bangun, siap-siap saja kena siram air,” cerita Habib Ahmad. Meski ceritanya itu terkesan “seram”, Habib Ahmad menceritakannya dengan wajah sumringah. Rupanya ia merasakan bahwa hasil didikan ayahnya yang seperti itulah yang membentuk dirinya hingga bisa menjadi seperti sekarang.

“Walidi (ayah saya) galak. Ana nggak boleh banyak keluar. Ada layar tancap, ada ini, ada itu, tetap nggak boleh keluar. Tapi ana nggak pernah ngambek kalau dimarahin. Kalau walidi habis makan, bekasnya ana habisin. Kalau lagi duduk-duduk santai, ana deketin, terus ana pijit-pijit kakinya. Alhamdulillah, berkahnya sekarang ini amat terasa,” tuturnya.

Tekad Besar
Selain menempuh pendidikan di sekolah formal, Habib Ahmad juga dimasukkan oleh orangtuanya di sebuah madrasah yang jaraknya tak seberapa jauh dari rumahnya. “Orang menyebutnya ‘sekolah Arab’. Di sana saya diajari dasar-dasar pelajaran agama oleh Habib Yahya bin Salim Al-Kaf, di samping kalau di rumah didikan ayah saya terus saya dapatkan.”

Selepas SLTA, ia masuk sebuah pesantren, masih di wilayah Tangerang, yang diasuh oleh Habib Muhammad bin Abdurrahman Alatas. Dari pesantren itu, ia melanjutkan pendidikannya ke pesantren yang diasas Habib Ahmad bin Hasan Vad’aq, Bekasi, yaitu Pesantren Al-Khairat. Di pesantren yang diasuh Habib Hamid An-Nagib B.S.A. itu ia menimba ilmu dari beberapa ustadz. Selain kepada pembina dan pengasuhnya sendiri tentunya, ia juga banyak belajar kepada Habib Noval Al-Kaf (yang kini telah mendirikan pesantren sendiri di Sukabumi, Pesantren Darul Habib), Ustadz Muhammad Vad’aq (putra Habib Ahmad Vad’aq, pengasas Al-Khairat), Ustadz Zaki Mulachela, dan asatidz lainnya.

Di pesantren ini ia benar-benar menyiapkan dirinya dengan berbagai bekal untuk mencapai cita-citanya: belajar di Hadhramaut. Namun ia sendiri tidak tahu, mungkinkah ia dapat pergi ke Negeri Sejuta Wali itu.

“Uang nggak punya, persiapan nggak ada, ilmu masih ala kadarnya. Ya sudah, saat itu pokoknya saya berusaha menjadi seseorang yang seakan-akan sudah punya program jadi berangkat ke Hadhramaut. Saya hafalin dua juz Al-Qur’an, saya hafalin beberapa kitab yang menjadi syarat bagi pelajar yang mau berangkat ke sana. Bahkan saya sampai bikin paspor. Walidi masih belum tahu semua persiapan yang saya lakukan itu. Dan saya juga nggak tahu bisa berangkat apa nggak nantinya,” kisah Habib Ahmad.

Sampai akhirnya, suatu ketika, Allah pun memberi keluasan rizqi kepada orangtuanya. Hingga, dengan persediaan dana yang ada, Habib Ahmad pun merasa sudah siap seratus persen untuk berangkat ke Hadhramaut, melanjutkan pelajarannya di negeri leluhurnya itu. Sebab semua persiapan lainnya telah jauh-jauh hari ia persiapkan.

Harapan besarnya akhirnya kesampaian. Ia berangkat ke Hadhramaut. Sejak kecil, cita-citanya memang jadi orang yang berilmu agama. Ia ingat, sewaktu sekitar kelas 1 SD, kalau ada yang tanya nanti kalau sudah besar mau jadi apa, dengan tangkas Ahmad Al-Habsyi kecil menjawab, “Mau jadi kiai.”

Merasakan Kenikmatan
“Selama di Hadhramaut, saya paling senang kalau sudah masuk bulan Ramadhan. Di malam-malam Ramadhan, suasana masjid-masjid di sana luar biasa. Saat itu, kita merasakan nikmat yang luar biasa, tenggelam dalam ibadah terus-menerus,” kisah Habib Ahmad seputar masa-masa belajarnya di Hadhramaut.

Selain kenikmatan beribadah yang kondusif di negeri itu, Habib Ahmad juga merasakan nikmat dalam belajar. Di samping belajar, ia juga dididik untuk mengajar. Bahkan di samping tugas mengajar, ia juga mengajar secara privat kepada sejumlah santri.

Setelah dianggap cukup bisa terjun ke medan dakwah, setiap Kamis pagi ia dan kawan-kawan di Darul Musthafa keluar sampai malam Jum’at untuk berdakwah ke daerah-daerah Badwi, perkampungan pelosok di Hadhramaut.

“Kami disuruh membawa bekal sendiri, membawa roti. Kami dikirim ke daerah-daerah Badwi. Nggak boleh mengharap apa pun saat berdakwah di sana. Karenanya, kami pun membawa perbekalan sendiri,” kenangnya.

Saat masuk ke suatu daerah, “Kalau ada orangtua yang alim, kami datangin. Ada makam shalihin, kami ziarahin. Ada yang sakit, kami tengokin. Wallah, indah sekali,” kata Habib Ahmad. Bahkan ia sempat tugas khuruj dakwah sampai 40 hari.

Selama di Hadhramaut, ia tidak hanya belajar di lingkungan Darul Musthafa. Tapi, sebagaimana para santri lainnya yang memanfaatkan waktu mereka selama berada di Hadhramaut, ia juga mendatangi tokoh-tokoh ulama di sana, seperti Habib Hasan Asy-Syathiri, Habib Salim Asy-Syathiri, Habib Abdullah bin Muhammad Syihab, Habib Abubakar ‘Adni Al-Masyhur, Habib Muhammad bin Alwi Alaydrus (atau yang dikenal dengan sebutan “Habib Sa’ad”), dan para tuan guru Hadhramaut lainnya.

Di antara kenangan manis lain yang ia rasakan dalam masa-masa belajarnya adalah keinginannya sejak dulu untuk bertemu Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf Jeddah. Sekali waktu, ia berkesempatan menziarahi kota Makkah dan Madinah. Kesempatan itu pun sekaligus ia gunakan untuk datang ke kota Jeddah demi menjumpai tokoh besar yang selama itu hanya dilihat dari foto-foto yang beredar.

Saat ia mendatangi rumah Habib Abdul Qadir, alhamdulillah, pagar pintu sedang terbuka. Ia pun masuk ke halaman, alhamdulillah, pintu rumah pun terbuka. Ia terus masuk ke ruangan dalam, alhamdulillah, pintu ruangan dalam pun terbuka. Lalu ia menyusuri anak tangga menuju lantas atas untuk dapat menuju kamar Habib Abdul Qadir. Lagi-lagi, alhamdulillah, pintu kamar pun sedang terbuka.

Itu menjadi kenangan yang tak terlupakan baginya. Meski Habib Abdul Qadir kala itu sudah udzur dan hanya berada di atas tempat tidurnya, bagi Habib Ahmad, berkesempatan secara langsung untuk memandangi wajah sorang besar yang termasyhur akan keilmuan dan keshalihannya itu tentu merupakan karunia yang amat besar baginya.

Sewaktu kurikulum pelajaran di Darul Musthafa selesai, bersama empat kawan lainnya ia mendalami program kurikulum takhasus (pendalaman).

Singkat cerita, setelah selama beberapa tahun ia menimba ilmu di Hadhramaut, tahun 2004 Habib Ahmad pun pulang ke kampung halaman.

Sebelum kepulangannya, Habib Umar mengilbas dirinya, yaitu memakaikan imamah di kepalanya, seraya menyuruhnya agar meniatkan di dalam hati bahwa semua ini dilakukan demi dakwah mengajak umat manusia pada kebenaran, demi syiar Islam di atas muka bumi, menjaga langkah kaki untuk selalu berjalan di atas jalan salaf, dan senantiasa berbaur dengan insan-insan dakwah dari mana pun mereka berasal.

Tak Merasa Berat
Setelah pulang, pertama kali ia mengajar di mushalla tempat ayahnya mengajar sebelumnya. Jadi, apa yang dilakukannya itu tak lain untuk meneruskan dakwah orangtua.

Waktu demi waktu ia pun terus menjalani khuruj dakwah, sebagaimana yang dipesankan gurunya. Di antaranya ke Pulau Seribu, yang telah menjadi rutinitas baginya, bahkan terkadang sampai ke negeri jiran, seperti Malaysia dan Singapura, di samping undangan-undangan dakwah yang dilayangkan kepadanya.

Saat ini ia membina majelis secara berkala. Ada yang harian, seperti yang masih terus berjalan sejak awal kepulangannya dari Hadhramaut, yaitu di mushalla dekat rumahnya. Ada yang mingguan, seperti malam Jum’at, yang digunakannya selain untuk mengaji kitab sekaligus juga untuk mengajak jama’ahnya membaca kitab Maulid bersama-sama, serta pengajian umum Ahad pagi, bagi mereka yang tidak bisa hadir di malam hari. Ada juga yang bersifat bulanan.

Habib Ahmad juga aktif mengajar di beberapa masjid, majelis ta’lim, kantor, perusahaan. Kini dakwahnya melebar lintas kalangan, mulai dari kalangan awam, santri, pelajar, mahasiswa, pengusaha, hingga sampai politisi. Baginya, mereka semua adalah lahan amal baginya untuk berdakwah.

Ar-Rausyan adalah nama yang dipilihnya untuk majelis yang ia asuh. Ar-Rausyan adalah nama salah satu cabang keluarga pada qabilah Al-Habsyi, sebagai nisbah daerah asal mereka di Hadhramaut. “Supaya orang mudah mengingatnya. Itu saja.”

Mengenai terjalnya medan dakwah yang harus ia jalani, kepada alKisah ia mengatakan, “Alhamdulillah, dakwah generasi kita sekarang ini lebih enak dari generasi salaf kita. Generasi salaf itu dakwahnya berat. Sangat jauh dengan kondisi sekarang. Jadi kalau kita bilang kita saat ini dalam berdakwah itu pahit atau berat, kita malu sama salaf kita.

Kita kini, kalau masuk sebuah daerah, kita disambut. Kalau salaf kita, tak sedikit yang disambit sampai harus mempertaruhkan nyawanya. Memang di suatu daerah ada yang senang dan ada yang nggak senang sama dakwah kita, tapi tetap saja tak sebanding dengan jalan dakwah yang telah dirintis oleh para salaf. Jujur saja, kita ini belum seberapa.

Para salaf itulah yang telah membuka lahan. Sementara kita yang sekarang tinggal enak melenggang di atas lahan yang telah dibuka oleh mereka. Kalau masalah pahit, misalnya karena kita ada jalan kakinya, ada naik geteknya, itu kan hanya sesekali. Tetap saja kita lebih sering enaknya, naik mobil-lah, naik pesawat-lah.

Karenanya, sewaktu sudah enak, ketika kita masuk ke suatu daerah, kita jangan lupa untuk tetap menjaga adab. Misalnya, kalau masuk suatu daerah, kita harus sowan kepada orang-orang tua di sana. Kalau ada makam shalihin, kita ziarahi. Ada yang sakit, kita tengokin. Ada sekumpulan keluarga Alawiyyin, kita ikut kumpuli, kemudian kita saling bersilaturahim bersama mereka. Mereka akan senang luar biasa. Ini bagian dari akhlaq seorang dai yang semoga tak terlewat oleh rekan-rekan dai lainnya.”

Bagi Habib Ahmad, semua kegiatan dakwah yang dilakukannya semata-mata karena ia ingin membahagiakan hati Baginda Rasulullah SAW.

Saat ditanya apa harapan ke depannya, ia menjawab sederhana, “Ingin menjadi orang yang paling bermanfaat untuk orang lain.”

Benar yang dikatakannya, sebab Rasulullah SAW bersabda, “Yang terbaik di antara umat manusia adalah yang paling bermanfaat bagi umat manusia.”

Sumber : http://majalah-alkisah.com/index.php/figur/26-profile-tokoh/1044-habib-ahmad-bin-alwi-al-habsyi-kita-ini-belum-seberapa

Kamis, 14 Juni 2012

KH. Masbuhin Faqih (Pengasuh Pond. Pes. Mamba'us Sholihin-Gresik)

KH. Masbuhin Faqih di lahirkan di desa Suci kec. Manyar Kab. Gresik pada tanggal 31 Desember 1947 Masehi atau 18 Shafar 1367 Hijriyah. Beliau lahir dari pasangan kekasih Al-Maghfurlah KH. Abdullah Faqih dan HJ. Tswaibah. Dari pasangan kekasih tersebut lahir 5 orang anak, 3 orang putra dan 2 orang putri, KH. Masbuhin Faqih merupakan anak pertama (yang paling tua). Beliau memiliki silsilah yang mulya dan agung, yakni sampai ke Sunan Giri. Kalau diruntut, maka beliau adalah keturunan ke-12 dari kanjeng Sunan Giri Syeih Maulana Ishaq. Dengan runtutan seagai berikut:
1. Syeih Ainul Yaqin (Sunan Giri) 10. KH. Muhammad Thoyyib
2. Sunan Dalem 11. KH. Abdullah Faqih
3. Sunan Prapen 12. KH. Masbuhin Faqih
4. Kawis Goa
5. Pangeran Giri
6. Gusti Mukmin
7. Amirus Sholih
8. Abdul Hamid
9. Embah Taqrib

Dengan silsilah yang begitu agung tersbut, tak bisa dipungkiri di dalam diri beliau terdapat ruh dan jiwa seorang ulama yang tangguh dan berjuang tanpa batas waktu seperti embah buyutnya dahulu. Hal ini sesuai dengan Qiyasan santri: “Bapaknya Singa maka ank-anaknya pun singa”.
Pendidikan beliau sejak kecil di lingkungan yang islami. Mulai dari tingkat MI samapi Mts. Setelah Tsanawiyah beliau melanjutkan studinya ke Gontor, Pondok pesantren Darussalam Ponorogo, Jawa Timur, disanalah beliau memperdalam ilmu bahasa Arab dan Inggris. Setelah lulus dari Gontor beliau ingin memperdalam ilmu lagi, selanjutnya beliau nyantri di PP. Langitan Widang Tuban, yang pada saat itu diasuh oleh KH. Abdul Hadi dan KH. Abdullah Faqih. Di sana beliau memperdalam ilmu kitab kuning, mulai dari Fiqh, Nahwu, Shorof, tauhid, sampai tasawwuf. Proses penggembalaan ilmu di PP. Langitan cukup lama, sekitar 17 tahun belaiu nyantri di sana. Diceritakan bahwasannya sosok KH. Masbuhin Faqih muda adalah pemuda yang giat dan tekun belajar, suka bekerja keras, dan optimis dalam suatu keadaan apapun. Waktu di PP. Langitan beliau banyak melakukan tirakat, seperti memasak sendiri, melakukan ibadah puasa sunnah dan lain-lain. Di sana belaiu juga sempat menjadi khadam (pembantu dalem) kyai. Hal ini sampai menjadi jargon beliau dalam menasehati santri MBS (Mamba’us Sholihin), yakni “nek mondok ojo belajar tok, tapi nyambio ngabdi nang pondok iku”. Dengan penuh keihlasan dan kesabaran, beliau jalani semua kehidupan diatas demi mendapatkan ilmu yang manfaat dan barakah.

Ditengah-tengah menimba ilmu di Langitan, teatnya pada tahun 1976 M atau pada saat beliau berumur 29 th, KH. Abdullah Faqih langitan menyuruh kyai MAsbuhin untuk berjuang di tengah masayrakat Suci bersama-sama dengan abahnya. KH. Faqih langitan sudah yakin bahwasannya santrinya ini sudah cukup ilmuya untuk berda’wah dan mengajar di masyarakat. Wak demi waktu berlalu, proses berda’wah terus berjalan dan berkembang pesat. Dengan perkembangan itu KH. Abdullah Faqih disuruh untuk membuat pesantren oleh beberapa guru beliau agar proses berda’wah tersebut lancar. Bersama-sama dengan Anak-anaknya mereka mendirikan suatu pondok yang diberi nama PP. At-Thohiriyyah, yang mana dengan filosofi berada di desa Suci.

KH. Masbuhin pada waktu itu masih pulang pergi dari langitan ke -Suci. Beliau masih beranggapan bahwa menimba ilmu di langitan belum sempurna kalau tidak dengan wakt yang lama. Inilah salah satu kelebihan beliau, yakni haus akan ilmu pengetahuan agama Islam. Tepat pada tahun 1980 M, beliau sudah mendapat restu untuk meninggalkan pondok pesantren Langi. Dengan itulah beliau sekarang harus berkonsentrasi dalam msngurus PP. At-Thohiriyyah bersama dengan abahnya. Tepat pada tahun ini juga PP. At-Thohiriyyah dirubah menjadi PP. Mamba’us Sholihin, keadaan ini sesuai dengan usulan KH. Usman Al-Ishaqi. Karena nama suatu pondok dirasa mempunyai arti dan harapan yang penting.

Perjungan KH. Masbuhin dalam memajukan pondoknya tidak kenal lelah. Setahap demi setahap pembangunan pondok dilakukan, mulai dari komplek sampai sekolahannya. Dengan relkasi yang cukup banyak, beliau mampu membuat MBS (singkatan dari Mamba’us Sholihin) lebih maju baik itu gedungnya maupun kualitas sumber daya manusia di dalamnya.

Tepat pada tahun 1997 M, suasana duka menyelimuti pondokj pesantren dan masayrakat desa Suci. Abah beliau meninggal dunia pada umur 77 tahun. sosok suri tauladan dan landasan perjuanagn beliau sudah tidak ada. Dengan keadaan itulah beliau harus membawa MBS menggantikan abahnya.

Dengan kegigihan dan perjuangan keras dalam berda’wah menyebarkan agama ISlam, KH. Masbuhin menjadi ulama’ yang terkenal, tidak di Indonesia saja tapi samapi ke luar negeri khususnya di negeri Hadaramaut Yaman. Beliau sangat mencintai dan mengagungkan para dzuriyyah rasulullah SAW. HAl inilah yang menjadikan beliau terkenal di negara tersebut. Dengan sifat tersebut pula, apabila ada habaib dari yaman yang datang ke Indonesia maka beliau meminta agar bisa menyempatkan mampir ke pondok MAmba’us Sholihin walaupun sebentar.

Selain berda’wah menegakkan agama ISlam beliau juga berkecimpung dalam dunia politik. Tepat sebelum pemilu raya 2009, para ulama’ Indonesia bersatu untuk membuat partai, hal ini dilakukan demi pertsatuan dan perkembangan bangsa Indonesia yang agamis dan syar’i, maka lahirlah PKNU (PArtai Kebangkitan NAsional ULama’).

Dalam partai inilah beliau ikut andil dalam percaturan politik. Hal ini tidak lain karena peran ulama’ begitu besar di mata masyarakat. Dalam mengikuti arus politik beliau sering jadi panutan dan sumber nasehat oleh para pejabat baik itu tingkat daerah maupun nasional.

Dalam mengarungi bahtera kehidupan, beliau didampingi seorang isteri yang ta’at dan setia sehidup semati, nama beliau Nyai Hj. Mas’aini. Kehidupan syaih dan isterinya mempnyai sejarah yang luar biasa, dua pasangan kekasih ini walaupun sudah menikah dan mempunyai anak mereka tetap saja nyantri di pondok Langitan. Dari pernikahan ini beliau dikaruniai oleh Allah SWT 12 anak, 9 putra dan 3 putri.

Semoga Allah memberikan rahmat dan keselamatan terhadap mereka semua dalam kehidupan dunia dan akhirat. Amin….


Profil Pondok Pesantren Mamba'us Sholihin

I. Letak Geografis PPMS
Mambaus Sholihin adalah sebuah institusi yang terletak di kawasan pegunungan Suci, bersuhu udara cukup hangat, ± 25 °C. Kawasan ini berada kurang lebih 3 Km dari terminal Bunder (jalur utama Surabaya-Jakarta). Dan 2 Km dari Pertigaan Desa Tenger Sukomulyo yang terletak di jalur pantura ini termasuk kawasan yang cukup makmur ekonominya. Dengan sumber daya alamnya serta pasokan air yang melimpah ruah, (konon merupakan sumber mata air yang muncul pada saat Kanjeng Sunan Giri hendak berwudhu), merupakan aset yang sangat berharga bagi masyarakat sekitar dan juga bagi Pesantren.

Mambaus Sholihin berdiri di areal perkebunan cukup luas, yang dipisahkan oleh ruas jalan utama Bunder-Tenger menjadi dua bagian, untuk kompleks Putra di sebelah barat jalan, dan untuk kompleks Putri di sebelah timur jalan, pemisahan ini menjadikan situsasi yang kondusif dan memudahkan pengaturan antara santri Putra dan Putri.

Mengingat letaknya yang strategis (tepat disebelah jalan utama) dan mudah dijangkau dari berbagai penjuru, menjadikan Mamba'us Sholihin adalah sebuah institusi yang tergolong cepat perkembangannya .

II. Sejarah Pendirian PPMS
Pondok Pesantren Mamba'us Sholihin dirintis oleh ayahanda KH. Masbuhin Faqih, yaitu Al Maghfurlah Al Mukarrom KH. Abdullah Faqih Suci sekitar tahun 1969 yang pada mulanya berupa surau kecil untuk mengaji AI-Qur’an dan Kitab Kuning di lingkungan desa Suci dan sekitarnya.

Pada tahun 1976 Al Mukarram KH. Masbuhin Faqih (putra pertama KH. Abdullah Faqih Suci) yang baru mendapatkan restu dari Al Mukkarrom KH. Abdullah Faqih Langitan untuk berjuang di tengah masyarakat, namun beliau masih mempertimbangkan kembali untuk mendirikan sebuah Pesantren, meskipun pada saat itu semangat beliau untuk mendirikan Pesantren sangat besar. Hal ini didasari oleh perasaan khawatir beliau akan timbulnya nafsu حب التلاميذ, karena mendirikan pondok harus benar-benar didasari oleh ketulusan hati untuk Nasrul Ilmi (untuk menegakkan Agama Allah), bukan atas dorongan nafsu, apalagi punya keinginan mendapatkan santri yang banyak.

Berkat dorongan dari guru-guru beliau yaitu KH. Abdul Hadi Zahid, KH. Abdullah Faqih Langitan, KH. Abdul Hamid Pasuruan, KH. Usman Al-Ishaqi, serta keinginan luhur beliau untuk Nasrul Ilmi, maka didirikanlah sebuah pesantren yang kelak bernama Mamba'us Sholihin. Adapun dana pertama kali yang digunakan untuk membangun pondok adalah pemberian guru beliau, KH. Abdullah Faqih Langitan. Pada saat pendirian Pesantren, KH. Masbuhin Faqih masih menimba serta mendalami ilmu di Pondok Pesantren Langitan.

Sebelum Pesantren Mamba'us Sholihin didirikan, Al Mukarrom KH. Abdullah Faqih Langitan sempat mengunjungi lokasi yang akan digunakan untuk membangun Pesantren. Setelah beliau mengelilingi tanah tersebut, beliau berkata kepada KH. Masbuhin Faqih, “Yo wis tanah iki pancen cocok kanggo pondok, mulo ndang cepet bangunen”.("Ya sudah, tanah ini memang cocok untuk dibangun pondok pesantren, maka dari itu cepat bangunlah"). Tidak lama kemudian beberapa Masyayikh dan Habaib juga berkunjung ke lokasi tersebut,. Diantara Habaib dan Masyayikh yang hadir yaitu KH. Abdul Hamid (Pasuruan), KH. Usman Al-Ishaqi (Surabaya), KH. Dimyati Rois (Kaliwungu), Habib Al Idrus dan Habib Macan dari Pasuruan.

Pada tahun 1402 H atau tepatnya pada tahun 1983 M, barulah dilakukan pembangunan Musholla Pondok Pesantren Mambaus Sholihin (sekarang merupakan Pondok Barat). Saat itu KH. Masbuhin Faqih sedang menunaikan lbadah haji yang pertama. Adapun yang menjadi modal awal pembangunan ini berasal dari materi yang dititipkan kepada adik kandung beliau (KH. Asfihani Faqih) yang nyantri di Pondok Pesantren Romo KH. Abdul Hamid Pasuruan.

Pada saat itu KH. Asfihani Faqih turun dari tangga sehabis mengajar, tiba tiba ada seseorang yang tidak dikenal memberikan sekantong uang, kemudian beliau pergi dan menghilang. Pada pagi harinya KH. Asfihani di panggil oleh KH. Abdul Hamid Pasuruan, beliau berkata “Asfihani saya ini pernah berjanji untuk rnenyumbang pembangunan rumah santri (jama’ah) tapi hari ini saya tidak punya uang, Yai silihono dhuwit opo'o nak !”. kemudian KH. Asfihani menjawab "saya tadi malam habis mengajar di beri orang sekantong uang, dan saya tidak kenal orang tersebut”. KH. Abdul Hamid berkata “ Endi saiki dhuwite ndang ayo di itung”. Lalu KH. Asfihani mengambil uang tersebut dan dihitung sebanyak Rp. 750.000,-. Yang pada akhirnya KH. Abdul Hamid Pasuruan memberi isyarat, bahwa yang memberikan uang tersebut adalah Nabiyullah Khaidir AS (Abul Abbas Balya bin Malkan), kemudian KH. Abdul Hamid Pasuruan berkata pada KH. Asfihani “Nak, saiki muliyo. Dhuwit iki ke’no abahmu kongkon bangun Musholla”.

Suatu kisah yang tak kalah menarik, adalah saat Pondok induk dalam taraf penyelesaian pembangunan, Hadrotus Syaikh KH Abdul Hamid Pasuruan datang dan memberi sebuah lampu Neon 40 Watt 220 Volt untuk penerangan Pondok Pesantren Mamba’us Sholihin. Padahal saat itu listrik belum masuk desa Suci. Mengingat yang memberi termasuk kekasih Allah, maka Pengasuh Pesantren yakin bahwasannya ini merupakan sebuah isyarat akan hadirnya sesuatu. Dan ternyata tidak berselang lama, tepatnya pada tahun 1976, masuklah aliran listrik ke desa Suci, dan rupanya Neon ini merupakan isyarah akan tujuan pondok pesantren Mambaus Sholihin.

Pada pembangunan Tahap selanjutnya, KH. Agus Ali Masyhuri (Tulangan Sidoarjo) membeli sepetak tanah yang baru diberinya dari salah seorang anggota Darul Hadits, yang kemudian tanah yang terletak disebelah Masjid Jami' Suci "Roudhotus Salam" itu menjadi bakal dari Pesantren Putra Mamba'us Sholihin.

III. Asal Mula Nama Pondok Pesantren Mamba'us Sholihin
Asal mula pondok ini diberi nama “At-Thohiriyah”. Mungkin oleh Pendiri dan Pengasuh di sesuaikan dengan nama desa tempat Pondok Pesantren ini didirikan, yaitu desa Suci. Sedang nama Madrasah saat itu adalah Roudhotut Tholibin. Ini disesuaikan dengan nama masjid Desa Suci "Roudhotus Salam”.

Karena nama mempunyai makna yang penting, maka untuk memberi nama perlu perhatian dan pemikiran yang khusus, serta pemikiran nurani yang jernih dan membutuhkan petuah dari sesepuh yang benar-benar makrifat pada Allah.

Suatu saat K.H Abdullah Faqih sowan pada guru Mursyid beliau untuk memohonkan nama yang cocok untuk Pesantren yang telah berdiri, oleh Al Alim Al Allaamah Al-‘Arif Billah Hadrotus Syaikh K.H Ustman Al-Ishaqi diberi nama “Mamba'us Sholihin“ (yang bermakna sumber orang-orang Sholeh)." Nama ini dimudlofkan pada isim fa’il, Insya Allah kelak santri yang mondok di Pesantren ini akan menjadi anak yang sholeh meski kurang pandai", begitulah fatwa beliau.(posted from www.mamba'ussholihin.com)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons