Blog ini ditujukan kepada seluruh ummat Islam yang cinta kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Para Sahabat RA, Auliya', Habaib, Ulama', dan sejarah kebudayaan Islam.
Tampilkan postingan dengan label Islamisasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Islamisasi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 05 Juli 2012

Sluku-sluku Bathok



Oleh : KH. 

Islam bukan Arab, tapi tak bisa dipisahkan dari Arab. Sesulit apa pun, ketika berislam, orang terpaksa sedikit-banyak berarab juga, setidak-tidaknya dalam bahasa.
Pernahkah kau bayangkan, betapa asingnya agama ini ketika pertama kali datang di Jawa? Hanya separuh (15 dari 29) fonem Arab (dari huruf Hijaiyyah) punya padanan dalam fonem Jawa (dari Honocoroko). Sedangkan transliterasi pun tidak mungkin: bagaimana menulis “kho” atau “dzal”, misalnya, dengan aksara Jawa?
Karena itu, para pionir Islam di tanah Jawa mentolerir “transfoni”, alih bunyi: “dho” jadi “lo” (“dhuhur” jadi “luhur”), “‘ain” jadi “ngo” (“‘ashr” jadi “ngasar”) dan seterusnya. Bahkan, sangking repotnya memperkenalkan Islam kepada basis budaya yang begitu jauh jaraknya ini, dengan sengaja dijalankan strategi “alter-foni” (“plesetan” bunyi).
Tokoh-tokoh Semar, Gareng, Petruk dan Bagong tidak dikenal dalam babon pewayangan yang asli dari India. Itu adalah tokoh-tokoh kreasi Sunan Kalijogo. Sepintas, nama-namanya terdengar sebagai nama-nama Jawa. Tapi nama harus punya makna. Dan nama Jawa mestinya bisa dimaknai berdasarkan bahasa Jawa.
Joko Santoso, misalnya. “Joko” artinya perjaka. “Santoso”: sehat (tidak sakit dan tidak cacat, baik lahir maupun batin). Maka, kalau cari menantu, pilihlah joko santoso. Tapi kalau sesudah kawin dia tidak ganti nama, itu namanya kebohongan publik!
Susilo Bambang Yudhoyono. “Su” = baik, “silo” = lagak-lagu. “Bambang” = laki-laki tampan. “Yudho” = perang, “yono” = beruntung alias bejo sekaligus slamet.
Bagaimana dengan Semar, Gareng, Petruk, Bagong?
Saya punya Kamus Bahasa Jawa susunan Zoetmulder, tebalnya 10 sentimeter. Sudah berulang kali saya membelasah halaman-halaman kamus itu, tak saya temukan satu pun entri yang bisa menjelaskan makna dari nama-nama tersebut! Maklum, nama-nama itu sebenarnya merupakan alter-foni dari lafadh-lafadh Arab:

شمر خيرا فاترك بغـيا

Syammir (semar) khoiron (gareng) fatruk (petruk) baghyan (bagong)
Artinya: bersegeralah (kepada) kebaikan kemudian (segera) tinggalkanlah kebangsatan.
Diantara tembang mainan yang paling populer bagi masyarakat Jawa adalah “Sluku-sluku Bathok”:
Sluku-sluku bathok
bathoke ela-elo
si romo menyang solo
leh-olehe payung muntho
pak jenthit lolo lobah
wong mati ora obah
yen obah medeni bocah
yen urip goleko dhuwit
Tembang ini entah siapa yang menciptakan. Terkadang dinisbatkan kepada Sunan Kalijogo, terkadang Pangeran Sambernyowo (Mangkunegoro I), atau entah siapa lagi, tergantung penafsiran tentang kata “solo” –apakah itu nama daerah seperti yang kita kenal sekarang atau yang lain? Dibutuhkan penelitian lebih serius untuk memastikannya. Yang jelas, tidak mungkin memahami makna tembang itu berdasarkan khazanah bahasa Jawa, karena sebagian besar baik-baitnya merupakan alter-foni dari kalam-kalam Arab:

اسلك اسلك بطنك

usluk, usluk bathnak

بطنك لا اله الا الله

bathnuka laa ilaaha illallaah

سرما يصل

sirru maa yashilu

لااله الاالله فيموت

laa ilaaha illallaah fayamuutu

فجد د الليل لبه

fajaddid allaila lubbah
Artinya:
Jalankanlah, jalankanlah batinmu
Batinmu (melantunkan): laa ilaaha illallaah
Rahasia yang akan bertemu
(Mengucap) Laa ilaaha illallah kemudian (langsung) mati
Maka perbaruilah (imanmu dengan ucapan laa ilaaha illallaah) pada malam ini, yaitu pada tengah (malam)-nya.
Selebihnya (“wong mati ora obah / yen obah medeni bocah / yen urip goleko dhuwit”) memang sepenuhnya kalimat-kalimat Jawa (“orang mati tidak bergerak / kalau bergerak menakuti kanak-kanak / kalau hidup mencari duit”), merupakan penjelasan metaforis atas salah satu aforisma dalam kitab “Al Hikam” karya Asy Syaikh Muhammad ibn ‘Athoillah As Sakandari:

الاعمال صور قائمة وارواحها وجود سر الاخلاص فيها

(Amal itu [barulah] merupakan sosok yang siaga. Nyawanya adalah eksistensi rahasia ikhlas didalamnya)
Hingga sekarang, kecenderungan alter-foni itu masih kental pada orang Jawa. Salah seorang anggota jama’ah KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji) “Al Ibriz”, Rembang, bernama Mbah Juliyah, seorang perempuan tua yang sejak kecil tidak memperoleh pendidikan agama dan belum lama mulai menjalankan ibadah. Entah apakah “Juliyah” itu alter-foni dari “jaliyyah” (perempuan yang mengkilat) atau hanya karena ia lahir di bulan Juli.
Kepada semua anggota jama’ah, sejak penataran manasik telah diajarkan doa “sapu jagad”, yaitu “robbanaa aatinaa fid dun-yaa…” dan seterusnya hingga “…waqinaa ‘adzaaban naar”. Saat itu Mbah Juliyah pun kelihatan tekun mengikuti dan komat-kamit menirukan doa yang dituntunkan oleh pembimbing KBIH. Sepulang dari tanah suci, dirubung oleh sanak-keluarga, para tetangga dan handai-taulan, Mbah Juliyah memimpin doa,
“Robbanaa aatinaa fidun-yaa yang benar….”

Sumber : http://teronggosong.com/articles/staquf/sluku-sluku-bathok

Selasa, 03 Maret 2009

Walisongo

Islam ala Walisongo

(oleh : Achmad Fahrizal Zulfani*)


Kata – kata di atas mungkin sudah sering terdengar di telinga kita. Tapi sebenarnya kita tidak tau makna sesungguhnya dari kata-kata itu. Karena dalam kata-kata tersebut mengandung makna yang sangat dalam. “Mengapa demikian?” Pada dasarnya penyebaran Islam di nusantara ini tak lepas dari peranan Walisongo. Mereka datang ke Pulau Jawa atas perintah Sultan Muhammad I karena beliau mendapat kabar dari pedagang Gujarat (India) bahwa di pulau Jawa ada dua kerajaan Hindu yaitu, Padjajaran dan Mojopahit. Maka dari itu beliau mengutus dan mengumpulkan para Ulama’ Timur Tengah untuk pergi ke Jawa dengan tujuan mengislamkan Raja Majapahit dan Padjadjaran serta rakyatnya.walisongo mulai dakwahnya dengan cara mendirikan pesantren. Dan murid-muridnya berasal dari berbagai daerah di Nusantara, seperti : Jawa,Sumatera,Kalimantan, dan Sulawesi. Maka dari situlah Islam bisa tersebar luas di seluruh Nusantara. 
Menurut bahasa islam berasal dari kata Aslama-Yuslimu-Islaman yang artinya menyelamatkan. Tidak seperti pada umumnya kata islam berasal dari kata Salima-Yaslimu-Islaman. Kata – kata menyelamatkan itu saya pinjam dari kamus KH. Ali Maschan Moesa. karena menurut beliau agama Islam disyariatkan untuk menyelamatkan pemeluknya. 
Saya setuju dengan pendapat beliau karena memang walisongo datang ke Pulau Jawa dengan tujuan menyelamatkan akidah dan akhlak masyarakat jawa yang pada waktu itu masih menganut agama Hindu. Sama halnya seperti yang pernah dilakukan dan disabdakan Nabi Muhammad SAW bahwa Beliau diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak manusia.
Walisongo memulai dakwah dengan cara halus yaitu dengan ikut berdagang dan menikah dengan orang pribumi. Perlahan-lahan walisongo dapat mengubah tingkah laku masyarakat yang buruk. Dengan tutur kata mereka yang sopan dan rendah hati akhirnya masyarakat pribumi sedikit demi sedikit mau memeluk agama Islam tanpa adanya paksaan dari siapapun dan tidak menggunakan kekerasan. Hal ini memang sesuai firman Allah SWT. “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)” (QS. Al Baqoroh : 256).
Konsep Islam ala Walisongo ini sebenarnya mengacu pada konsep Islam rahmatan lil alamin yakni Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Maksudnya adalah Islam agama yang diridlai Allah yang membawa kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh makhluk yang ada di alam ini. Sehingga mereka yang memeluknya merasa nyaman dan penuh kasih sayang.
Diantara contoh ajaran Islam yang diajarkan Walisongo dan bisa diterima oleh masyarakat Jawa yaitu seperti: para wali mengganti nama sholat menjadi sembahyang yang sudah melekat dalam hati masyarakat Jawa untuk menyembah kepada Sang Hyang Widi Wase (Tuhan orang Hindu),tapi pada intinya tujuan para wali mengganti nama sholat tersebut tak lain adalah untuk menyembah Allah SWT. Dengan mengubah paradigma masyarakat tentang ibadah kepada Sang Pencipta tanpa menghilangkan kebiasaan yang dilakukan masyarakat Jawa, ajaran sunan drajat tentang shodaqoh untuk membantu sesama masyarakat yang membutuhkan sehingga tumbuh sifat derma dalam hati mereka , ajaran sunan bonang tentang rukun iman dengan cara mengganti nama-nama dewa orang hindu dengan nama-nama rasul,malaikat,dan kitab Allah, ajaran sunan kalijogo tentang kisah teladan yaitu dengan memakai media wayang kulit dengan cara mengganti cerita dan nama tokoh dalam agama hindu menjadi kisah-kisah teladan 25 Rasul. Tanpa menghapus adat istiadat masyarakat jawa. Sehingga mereka merasa tertarik untuk mempelajari agama Islam yang penuh keramahan dan tidak membeda-bedakan kasta, yang membedakan hanyalah iman dan takwa kita kepada Allah SWT. Wallahu A’lam bis Showab…
   
* Penulis adalah Mahasiswa Fak.Tarbiyah IAIN SUNAN AMPEL SURABAYA, aktif di IMAMA (Ikatan Mahasiswa Majapahit Mojokerto) dan Santri Pesantren Luhur Al Husna Surabaya.


 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons