Blog ini ditujukan kepada seluruh ummat Islam yang cinta kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Para Sahabat RA, Auliya', Habaib, Ulama', dan sejarah kebudayaan Islam.

Senin, 09 April 2012

Biografi Jalaludin Rumi

Mawlana Jalaludin Rumi
Oleh Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani
( Grandson of Mawlana Rumi )
“Dia adalah, orang yang tidak mempunyai ketiadaan,Saya mencintainya dan Saya mengaguminya, Saya memilih jalannya dan Saya memalingkan muka ke jalannya. Setiap orang mempunyai kekasih, dialah kekasih saya, kekasih yang abadi. Dia adalah orang yang Saya cintai, dia begitu indah, oh dia adalah yang paling sempurna. Orang-orang yang mencintainya adalah para pecinta yang tidak pernah sekarat. Dia adalah dia dan dia dan mereka adalah dia. Ini adalah sebuah rahasia, jika kalian mempunyai cinta, kalian akan memahaminya.
( Sulthanul Awliya Mawlana Syaikh Nazhim Adil al-Haqqani – Cucu dari Mawlana Rumi, Lefke, Cyprus
Turki, September 1998)
————————————–
Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi juga seorang tokoh sufi yang berpengaruh di zamannya. Rumi adalah guru nomor satu Thariqat Maulawiah, sebuah thariqat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Thariqat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan
kalangan seniman sekitar tahun l648.
Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewaan akal dan indera dalam menentukan kebenaran. Di
zamannya, ummat Islam memang sedang dilanda penyakit itu. Bagi mereka kebenaran baru dianggap benar bila mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal, dengan
cepat mereka ingkari dan tidak diakui.
Padahal menurut Rumi, justru pemikiran semacam itulah yang dapat melemahkan Iman kepada sesuatu yang ghaib. Dan karena pengaruh pemikiran seperti itu pula, kepercayaan kepada segala hakekat yang tidak kasat
mata, yang diajarkan berbagai syariat dan beragam agama samawi, bisa menjadi goyah. Rumi mengatakan, “Orientasi kepada indera dalam menetapkan segala hakekat keagamaan adalah gagasan yang dipelopori kelompok Mu’tazilah. Mereka merupakan para budak yang tunduk patuh kepada panca indera. Mereka menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah. Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali tidak terikat kepada indera-indera, dan tidak mau pula memanjakannya.”
Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya karena tidak pernah melihatnya dengan mata kepala atau belum pernah meraba dengan indera. Sesungguhnya, batin akan selalu tersembunyi di balik yang lahir, seperti faedah penyembuhan yang terkandung dalam obat. “Padahal, yang lahir itu senantiasa menunjukkan adanya sesuatu yang tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya. Bukankah Anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah kegunaannya tersembunyi di dalamnya?” tegas Rumi.
PENGARUH TABRIZ
Fariduddin Attar, salah seorang ulama dan tokoh sufi, ketika berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5 tahun pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak akan menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian
mencatat, ramalan Fariduddin Attar itu tidak meleset. Rumi, Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30
September 1207. Mawlana Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma).
Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama. Namun rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan mereka pun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Rumi baru berusia lima tahun. Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah- pindah dari suatu negara ke negara lain. Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut).
Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap
di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga
mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula
ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.
Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan
pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu.
Beliau baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut mengajar di perguruan tersebut. Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping sebagai guru, beliau juga menjadi da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu banyak tokoh ulama yang berkumpul di Konya. Tak heran jika Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia. Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika beliau sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana seorang ulama, beliau juga memberi fatwa dan tumpuan ummatnya untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika beliau berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin alias Syamsi dari kota Tabriz.
Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba-tiba seorang lelaki asing–yakni Syamsi Tabriz–ikut bertanya, “Apa yang dimaksud dengan
riyadhah dan ilmu?” Mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat
pada sasarannya. Beliau tidak mampu menjawab. Akhirnya Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah
bergaul beberapa saat, beliau mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi. Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu, “Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya.”
Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk
berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan emosinya, sehingga beliau menjadi
penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, beliau tulis syair-syair, yang
himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan Syams Tabriz. Beliau bukukan pula wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat Syams Tabriz. Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syaikh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu, selama 15 tahun terakhir masa hidupnya beliau berhasil menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi. Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain. Bahkan Masnavi sering disebut Qur’an Persia. Karyatulisnya yang lain adalah Ruba’iyyat (sajak empat baris dengan jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang metafisika), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya). Bersama Syaikh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan Thariqat Maulawiyah atau Jalaliyah. Thariqat ini di
Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (para Darwisy yang berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut thariqat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.
WAFATNYA MAWLANA RUMI
Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya
tiba-tiba dilanda kecemasan, karena mendengar kabar bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, tengah menderita
sakit keras. Meskipun demikian, pikiran Rumi masih menampakkan kejernihannya. Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo’akan, “Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan.” Rumi sempat menyahut, “Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian ada juga yang kafir dan
pahit.”
Pada tanggal 5 Jumadil Akhir 672 H atau 17 Desember 1273 dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke Rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desakan ingin mengantarkan kepulangannya. Malam wafatnya beliau dikenal sebagai Sebul Arus (Malam Penyatuan). Sampai sekarang para pengikut Thariqat Maulawiyah masih memperingati tanggal itu sebagai hari wafatnya beliau. “SAMA”, Tarian Darwis yang Berputar Suatu saat Rumi tengah tenggelam dalam kemabukannya
dalam tarian “Sama” ketika itu seorang sahabatnya memainkan biola dan ney (seruling), beliau mengatakan,
“Seperti juga ketika salat kita berbicara dengan Tuhan, maka dalam keadaan extase para darwis juga
berdialog dengan Tuhannya melalui cinta. Musik Sama yang merupakan bagian salawat atas baginda Nabi
Sallallahu alaihi wasalam adalah merupakan wujud musik cinta demi cinta Nabi saw dan pengetahuanNya.
Rumi mengatakan bahwa ada sebuah rahasia tersembunyi dalam Musik dan Sama, dimana musik merupakan gerbang menuju keabadian dan Sama adalah seperti electron yang mengelilingi intinya bertawaf menuju sang Maha Pencipta. Semasa Rumi hidup tarian “Sama” sering dilakukan secara spontan disertai jamuan makanan dan minuman. Rumi bersama teman darwisnya selepas sholat Isa sering melakukan tarian sama dijalan-jalan kota Konya.
Terdapat beberapa puisi dalam Matsnawi yang memuji Sama dan perasaan harmonis alami yang muncul dari
tarian suci ini. Dalam bab ketiga Matsnawi, Rumi menuliskan puisi tentang kefanaan dalam Sama, “ketika
gendang ditabuh seketika itu perasaan extase merasuk bagai buih-buih yang meleleh dari debur ombak laut”.
Tarian Sakral Sama dari tariqah Mevlevi Haqqani atau Tariqah Mawlawiyah ini masih dilakukan saat ini di
Lefke, Cyprus Turki dibawah bimbingan Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani. Ajaran Sufi Mawlana Syaikh Nazim dan mawlana Syaikh Hisyam juga merambah keberbagai kota di Amerika maupun Eropa, sehingga tarian Whirling Dervishes ini juga dilakukan di banyak kota-kota di Amerika, Eropa dan Asia di bawah bimbingan Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani ar-Rabbani.
Tarian Sama ini sebagai tiruan dari keteraturan alam raya yang diungkap melalui perputaran planet-planet.
Perayaan Sama dari tariqah Mevlevi dilakukan dalam situasi yang sangat sakral dan ditata dalam penataan
khusus pada abad ke tujuh belas. Perayaan ini untuk menghormati wafatnya Rumi, suatu peristiwa yang Rumi
dambakan dan ia lukisakna dalam istilah-istilah yang menyenangkan. Para Anggota Tariqah Mevlevi sekarang belajar menarikan tarian ini dengan bimbingan Mursyidnya. Tarian ini dalam bentuknya sekarang dimulai dengan seorang peniup suling yang memainkan Ney, seruling kayu. Para penari masuk mengenakan pakaian putih yang sebagai simbol kain kafan, dan jubah hitam besar sebagai symbol alam kubur dan topi panjang merah atauabu-abu yang menandakan batu nisan. seorang Syaikh masuk paling akhir dan menghormat para Darwish lainnya. Mereka kemudian balas menghormati. Ketika Syaikh duduk dialas karpet merah
menyala yang menyimbolkan matahari senja merah tua yang mengacu pada keindahan langit senja sewaktu Rumi wafat. Syaikh mulai bersalawat untuk Rasulullah saw yang ditulis oleh Rumi disertai iringan musik,
gendang, marawis dan seruling ney. Peniup seruling dan penabuh gendang memulai musiknya maka para darwis memulai dengan tiga putaran secara perlahan yang merupakaan simbolisasi bagi tiga tahapan yang membawa manusia menemui Tuhannya. Pada puatran ketiga Syaikh kembali duduk dan para penari melepas
jubah hitamnya dengan gerakan yang menyimbulkankuburan untuk mengalami ‘ mati sebelum mati”, kelahiran kedua.Ketika Syaikh mengijinkan para penari menari, mereka mulai dengan gerakan perlahan memutar seperti putaran tawaf dan putaran planet-planet mengelilingi matahari. Ketika tarian hamper usai maka syaikh berdiri dan alunan musik dipercepat. Proses ini diakhiri dengan musik penutup danpembacaan ayat suci Al-Quran. Rombongan Penari Darwis, secara teratur menampilkan Sama di auditorium umum di Eropa dan  Amerika Serikat. Sekalipun beberapa gerakan tarian ini pelan dan terasa lambat tetapi para pemirsa mengatakan penampilan ini sangat magis dan menawan. Kedalaman konsentrasi, atau perasaan dzawq dan ketulusan para darwis menjadikan gerakan mereka begitu menghipnotis. Pada akhir penampilan para hadirin diminta untuk tidak bertepuk tangan karena “Sama” adalah sebuah ritual spiritual bukan sebuah pertunjukan seni.
Pada abad ke 17, Tariqah Mevlevi atau Mawlawiyah dikendalikan oleh kerajaan Utsmaniyah. Meskipun
Tariqah Mawlawiyah kehilangan sebagian besar kebebasannya ketika berada dibawah dominasi Ustmaniyah, tetapi perlindungan Sang Raja menungkinkan Tariqah Mawlawi menyebar luas keberbagai daerah dan memperkenalkan kepada banyak orang tentang tatanan musik dan tradisi puisi yang unik dan indah. Pada Abad ke 18, Salim III seorang Sultan Utsmaniyah menjadi anggota Tariqah Mawlawiyah dan kemudian dia
menciptakan musik untuk upacara-upacara Mawlawi.
Selama abad ke 19 , Mawlawiyah merupakan salah satu dari sekitar Sembilan belas aliran sufi di Turtki dan
sekitar tigapuluh lima kelompok semacam itu dikerajaan Utsmaniyah. Karena perlindungan dari raja mereka,
Mawlawi menjadi kelompok yang paling berpengaruh diseluruh kerajaan dan prestasi cultural mereka dianggap sangat murni. Kelompok itu menjadi terkenal di barat., Di Eropa dan Amerika pertunjukkan keliling
mereka menyita perhatian public. Selama abad 19, sebuah panggung pertunjukkan yang didirikan di Turki
menarik perhatian banyak kelompok wisatawan Eropa yang dating ke Turki.
Pada tahun 1925, Tariqah Mawlawi dipaksa membubarkan diri ditanah kelahiran mereka Turki, setelah Kemal Ataturk pendiri modernisasi Turki melarang semua kelompok darwis lengkap dengan upacara serta
pertunjukkan mereka. Pada saat itu makam Rumi di Konya diambil alih pemerintah dan diubah menjadi museum Negara.
Motivasi utama Atatutrk adalah memutuskan hubungan Turki dengan masa pertengahan guna mengintegrasikan Turki dengan dunia modern seperti demokrasi ala barat. Bagi Ataturk tariqah sufi menjadi ancaman bagi modernisasi Turki. Pada saat itulah Syaikh Nazim mulai menyebarkan bimbingan spiritual dan mengajar agama Islam di Siprus, Turki.
————————————-
Maulana Jalaluddin Rumi, Menari di Depan Tuhan “AKAN tiba saatnya, ketika Konya menjadi semarak, dan
makam kita tegak di jantung kota. Gelombang demi gelombang khalayak menjenguk mousoleum kita,
menggemakan ucapan-ucapan kita.” Itulah ucapan Jalaluddin Rumi pada putranya, Sultan Walad, di suatu pagi. Dan waktu kemudian berlayar, melintasi tahun dan abad. Konya seakan terlelap dalam debu sejarah. “Tetapi, kota Anatolia Tengah ini tetap berdiri sebagai saksi kebenaran ucapan Rumi,” tulis Talat Said Halman, peneliti karya-karya mistik Rumi. Kenyataannya memang demikian. Lebih dari 7 abad, Rumi
bak bayangan yang abadi mengawal Konya, terutama untuk pada pengikutnya, the whirling dervishes, para darwis yang menari. Setiap tahun, dari tanggal 2-17 Desember, jutaan peziarah menyemut menuju Konya. Dari delapan penjuru angin mereka berarak untuk memperingati kematian Rumi, 727 tahun silam. Siapakah sesungguhnya makhluk ini, yang telah menegakkan sebuah pilar di tengah khazanah keagamaan Islam dan silang sengketa paham? “Dialah penyair mistik terbesar sepanjang zaman,” kata orientalis Inggris Reynold A Nicholson. “Ia bukan nabi, tetapi ia mampu menulis kitab suci,” seru Jami, penyair Persia Klasik, tentang karya Rumi,Matsnawi.
Gandhi pernah mengutip kata-katanya. Rembrandt mengabadikannya dikanvas, Muhammad Iqbal, filsuf dan
penyair Pakistan, sekali waktu pernah berdendang, “Maulana mengubah tanah menjadi madu…. Aku mabuk
oleh anggurnya; aku hidup dari napasnya.” Bahkan, Paus Yohanes XXIII, pada 1958 menuliskan pesan khusus:
“Atas nama dunia Katolik, saya menundukkan kepala penuh hormat mengenang Rumi.” Besar dalam kembara Jalaluddin dilahirkan 30 September 1207 di Balkh, kini wilayah Afganistan. Ia Putra Bahauddin Walad, ulama dan mistikus termasyhur, yang diusir dari kota Balkh tatkala ia berumur 12 tahun. Pengusiran itu buntut perbedaan pendapat antara Sultan dan Walad. Keluarga ini kemudian tinggal di Aleppo (Damaskus), dan di situ kebeliaan Jalaluddin diisi oleh guru-guru bahasa Arab yang tersohor. Tak lama di Damakus,
keluarga ini pindah ke Laranda, kota di Anatolia Tengah, atas permintaan Sultan Seljuk Alauddin Kaykobad.
Konon, Kaykobad membujuk dalam sebuah surat kepada Walad, “Kendati saya tak pernah menundukkan kepala kepada seorang pun, saya siap menjadi pelayan dan pengikut setia Anda.” Di kota ini ibu Jalaluddin,
Mu’min Khatum, meninggal dunia. Tak lama kemudian, dalam usia 18 tahun, Jalaluddin menikah. 1226, putra
pertama Jalaluddin, Sultan Walad, lahir. Setahun kemudian, keluarga ini pindah ke Konya, 100 Km dari
Laranda. Di sini, Bahauddin Walad mengajar di madrasah. 1229, anak kedua Jalaluddin, Alauddin,
lahir. Dua tahun kemudian, dalam usia 82 tahun, Bahaudin Walad meninggal dunia. Era baru pun dialami Jalaluddin. Dia menggantikan Walad, dan mengajarkan ilmu-ilmu ketuhanan tradisional, tanpa menyentuh mistik. Setahun setelah kematian ayahnya, suatu pagi, madrasahnya kedatangan tamu, Burhannuddin Muhaqiq, yang ternyata murid terkasih Walad. Dan ketika menyadari sang guru telah tiada, Muhaqiq mewariskan ilmunya pada Jalaluddin. Burhanuddin pun menggembleng muridnya dengan latihan tasawuf yang telah dimatangkan selama 4 abad terakhir oleh para sufi, dan beberapa kali meminta dia ke Damakus untuk menambah lmu. 8 tahun menggembleng, tahun 1240, Burhanuddin kembali ke Kayseri. Jalaluddin Rumi
pun menggembleng diri sendiri. Cinta adalah menari Tahun 1244, saat berusia 37 tahun, Jalaluddin sudah
berada di atas semua ulama di Konya. Ilmu yang dia timba dari kitab-kitab Persia, Arab, Turki, Yunani dan
Ibrani, membuat dia nyaris ensiklopedis. Gelar Maulana Rumi (Guru bangsa Rum) pun dia raih. Tapi, di sebuahsenja Oktober, sehabis pulang dari madrasah, seseorang yang tak dia kenal, menjegat langkahnya, dan
menanyakan satu hal. Mendengar pertanyaan itu, Rumi langsung pingsan!
Sebuah riwayat mengatakan, orang tak dikenal itu bertanya, “Siapa yang lebih agung, Muhammad Rasulullah
yang berdoa, ‘Kami tak mengenal-Mu seperti seharusnya’ atau seorang sufi Persia, Bayazid Bisthami yang
berkata, ‘Subhani, mahasuci diriku, betapa agungnya kekuasaanku’. Pertanyaan mistikus Syamsuddin Tabriz
itu mengubah hidup Rumi. Dia kemudian tak lagi terpisahkan dari Syams. Dan di bawah pengaruh Syams,
menghabiskan hari bersama-sama, dan menurut riwayat, ia menjalani periode mistik yang nyala, penuh gairah,tanpa batas, dan kini, mulai menyukai musik. Mereka selama berbulan-bulan mereka dapat bertahan hidup tanpa kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, khusuk menuju Cinta Ilahiah. Tapi hal ini tak lama. Kecemburuan warga Konya, membuat Syams pergi. Dan saat Syams kembali, warga membunuhnya. Rumi kehilangan, kehilangan terbesar yang dia gambarkan seperti kehidupan kehilangan mentari.
Tapi, suatu pagi, seorang pandai besi membuat Jalaluddin menari. Pukulan penempa besi itu,
Shalahuddin, membuat dia ekstase, dan tanpa sadar mengucapkan puisi-puisi mistis, yang berisi ketakjuban pada pengalaman syatahat. Rumi pun kemudian bersabahat dengan Shalahuddin, yang kemudian menggantikan posisi Syams. Dan era menari pun dimulai Rumi, menari sambilmemadahkan syair-syair cinta Ilahi. “Tarian para darwis itulah yang kemudian menjadi semacam bentuk
ratapan Rumi atas kehilangan Syams,” jelas Talat. Sampai meninggalnya, 17 Desember 1273, Rumi tak pernah berhenti menari, kerana dia tak pernah berhenti mencintai Allah. Tarian itu juga yang membuat
peringkatnya dalam inisiasi sufi berubah dari yang mencintai jadi yang dicintai. (Aulia A Muhammad)
~  SUARA MERDEKA
Dipetik dari http://groups.yahoo.com/group/gedongpuisi
Untuk biografi yang lebih lanjut, sila klik http://ms.wikipedia.org/wiki/Jalal_al-Din_Muhammad_Rumi





Senin, 02 April 2012

Nasehat Abu Nawas untuk Sang Sultan

Ketika Sultan Harun Ar-Rasyid menunaikan ibadah haji. Pada Saat tiba di kota Kuffah, tiba-tiba terlihat oleh Sultan, Abu Nawas yang menaiki batang kayu, berlari-larian ke sana kemari dan diikuti anak-anak dengan riang. Wajah sang Sultan mendadak menjadi ceria dibuatnya. Pandangan Mata Sang Sultan berbinar-binar karena sangat merindukan sosok Abu Nawas. Memang Abu Nawas dalam beberapa bulan terakhir meninggalkan kerajaan Baghdad sebagai bentuk protes atas ketidak-adilan dan kesombongan Sultan. Sejak kepergian Abu Nawas itulah Sultan mengalami kesepian. Tidak ada lagi orang yang diajaknya berdiskusi maupun bercanda. Karena itu Sultan sangat gembira begitu melihat sosok Abu Nawas.
Sultan Harun Ar-Rasyid kemudian bertanya kepada para pengawalnya.
“Siapa dia?” tanya Sultan.
“Dia si Abu Nawas yang gila itu,” jawab salah seorang pengawalnya.
“Coba panggil dia kemari, tanpa ada yang tahu, dan sekali lagi aku peringatkan kamu jangan berkata yang buruk lagi tentang dia, perintah Sultan Harun.
“Baiklah wahai Sultanku,” jawab pengawal.
Tidak berapa lama kemudian para pengawal berhasil membawa Abu Nawas ke hadapan Sultan. Abu Nawas diperkenankan duduk di hadapan Sultan.
“Salam bagimu wahai Abu Nawas,” sapa Sultan Harun Ar-Rasyid.
“Salam kembali wahai Amirul Mukminin,” jawab Abu Nawas.
“Kami merindukanmu wahai Abu Nawas,” kata Sultan Harun Ar Rasyid.
“Ya, tetapi aku tidak merindukan Anda semuanya,” jawab Abu Nawas dengan ketus.
Beberapa pengawal kerajaan spontan saja akan mencabut pedang dari sarungnya untuk memberikan pelajaran kepada Abu Nawas yang tak mampu menjaga perkataannya di hadapan Sultan, sang pemimpin. Akan tetapi niat tersebut dicegah sendiri oleh Sultan Harun Ar-Rasyid.
    Abu Nawas
Abu Nawas

“Wahai Abu Nawas, aku merindukan kecerdasanmu, maka berilah aku nasihat,” pinta Sultan.
“Dengan apa aku menasehatimu, inilah istana dan kuburan mereka,” kata Abu Nawas.
“Tambahkan lagi, engkau telah memberikan nasihat yang bagus,” ujar Sultan mulai bersemangat.
“Wahai Amirul Mukminin, barang siapa yang dikarunia Allah SWT dengan harta dan ketampanan, lalu ia dapat menjaga kehormatannya dan ketampanannya, serta memberikan bantuan dengan hartanya, maka ia akan ditulis dalam daftar orang-orang yang shaleh,” kata Abu Nawas.
Sultan Harun Ar-Rasyid begitu senang mendapatkan nasihat itu. Ia kemudian mengira Abu Nawas menginginkan sesuatu darinya.
“Aku telah menyuruh para pengawalku untuk membayar hutangmu,” kata Raja.
“Tidak Amirul Mukminin, kembalikan harta itu kepada yang berhak menerimanya. Bayarlah hutang diri Anda sendiri,” kata Abu Nawas.
Namun Sultan Harun tak menyerah begitu saja. Ia kemudian mempersiapkan hadiah khusus pada Abu Nawas.
“Aku telah mempersiapkan sebuah hadiah untukmu,”katanya.
“Wahai Amirul Mukminin, apakah Paduka berfikir bahwa Allah hanya memberikan karunia kepada Anda dan melupakanku,” jawab Abu Nawas yang segera pergi dari hadapan raja.
Perlakuan itu membuat sang Raja merenung sambil mengevaluasi dirinya sendiri.
Sultan Harun sadar kalau selama ini dirinya kurang adil dan berlaku sombong dengan jabatannya sehingga mudah meremehkan orang lain. Usai mendapat nasihat dari Abu Nawas, Sultan Harun berubah menjadi Sultan yang adil dan bijaksana kepada rakyatnya.
Abu Nawas memberikan nasihat berupa sindiran, namun sang Sultan tidak tersinggug, atau marah atau bahkan memenjarakan Abu Nawas. Sultan malah merenung dan terus merenungi apa gerangan kesalahan yang telah dia buat selama memimpin kerajaan. Sultan Harun ar-Rashid dan Abu Nawas.

Sumber : http://walijo.com/nasehat-abu-nawas-untuk-sang-sultan/#more-4902

Nabi Khidir Ajari Ilmu Abul Qosim al-Qusyairi

Tatkala Abul Qosim al-Qusyairi, baru meninggalkan kampung halamannya untuk menuntut ilmu ke Bukhara. sejenak ia teringat betapa pakaian yang dikenakannya terkena percikan najis saat ia bekerja membantu ibunya di rumah, ia berhenti dan berkata kepada teman seperjalanannya, “Sahabatku,sebentar aku hendak pulang ke rumah dan akan segera kembali kemari tapi engkau boleh pergi terlebih dahulu. Karena aku teringat bajuku yang najis ini, bila aku tidak menggantinya, aku takut najis ini akan mengotoriku sampai di negeri Bukhara. Kalau masih begitu keadaanku, aku khawatir ilmu-ilmu yang kupelajari dari guru kita di sana akan menjadi penutup jalan menuju hidayah Allah, sehingga aku tersesat karenanya, semoga aku dihindarkan dari hal yang sedemikian.”
Maka pulanglah Abul Qasim al-Qusyairi ke rumahnya dan mendapati ibunya berdiri di depan pintu menyambut kedatangannya dan memeluknya seraya berkata, “Alhamdulillah” karena ibunya menunggu kepulangan anak satu-satunya yang ia sayangi.
Dikisahkan, kemudian Nabi Khidir as diperintahkan Allah untuk menemui Abul Qosim al-Qusyairi, “Temuilah Abu Qosim al-Qusyairi, putera ibu yang Shalihah itu, dan ajarkanlah ilmu-ilmu yang telah kau pelajari dari Abu Hanifah kepadanya, karena dia pergi merantau di atas jalan yang direstui ibunya!”
Selanjutnya Nabi Khidir as menemui Abul Qosim al Qusyairi guna menurunkan ilmu-ilmu Fiqih. Dia berkata, ” Engkau berniat melakukan safar (sebutan dalam dunia Tasawuf bagi orang yang meninggalkan tempat kelahiran ke negeri yang jauh dengan niat menuntut ilmu) bersama temanmu untuk mencari ilmu dengan membiarkan ibumu sendirian di kampung ini. Maka biarkanlah aku akan mendatangimu setiap hari dan kau akan belajar bersamaku.”
Sejak pertemuan pertama kali antara Nabi Khidir as dengan Abul qosim itu, Khidir as datang kembali pada keesokan harinya dan hari-hari berikutnya. Demikian berlangsung selama 3 tahun.
Sesudah menyerap ilmu-ilmu dari Nabi Khidir as selama 3 tahun, selanjutnya di sepanjang hidupnya ia mampu menulis seribu Kitab yang berisikan bermacam-macam jenis ilmu..
Nabi Khidir as belajar ilmu-ilmu fiqih kepada Abu Hanifah selama 30 tahun, sedangkan Abul Qosim al-Qusyairi menyerap ilmu-ilmu tersebut hanya dalam tempo 3 tahun. Apakah karena nabi Khidir as mempunyai metode pengajaran yang efektif dengan segala kelebihan yang diberikan Allah swt atau Abul Qosim al-Qusyairi yang memang benar-benar jenius?

Sumber : http://walijo.com/nabi-khidir-dan-abul-qosim-al-qusyairi/

Mbuletisme nJombangistik

By Yahya C. Staquf at 21 April 2011 in Article


Kiyai Mustofa Bisri dan Nyai Siti Fatmah Mustofa

Telah dikisahkan tentang fenomena mbulet di Rembang yang sungguh absolut. Selain mbulet jenis itu, ada juga mbulet relatif. Yaitu, mbulet dalam hubungan sanak-keluarga atau famili (bahasa Inggris: relatives).

Kiyai Basyuni (mertua Gus Mus, paman saya) berhubungan famili dengan saya (istilah Jawa: kepernah) sebagai kakek buyut dari jalur nenek saya. Beliau menikah dengan Nyai Madliyah, sepupu (misan) ayah saya (dan Gus Mus juga) dari jalur kakek saya (Nyai Mardliyah adalah puteri Kiyai Zuhdi, kakak seayah dari kakek saya). Jadi, Nyai Siti Fatmah yang dinikahi oleh Gus Mus itu kepernah keponakan beliau sendiri (dari jalur Nyai Mardliyah) atau kepernah bibi (dari jalur Kiyai Basyuni). Mengingat prinsip persanakan Jawa bahwa perkawinan itu mengikutsertakan hubungan kepernah, maka Nyai Siti Fatmah yang dari jalur ibunya bisa saya panggil “Mbak” kemudian saya panggil “Bulik” karena menikah dengan paklik saya.

Sementara itu, dalam prinsip persanakan Jawa ini tidak ada aturan jelas, apakah status (kepernah) isteri mengikuti suami atau sebaliknya. Jadi, bisa saja saya memilih memanggil Gus Mus dengan “Mas” walaupun beliau paklik saya (karena mengikutkan statusnya kepada status isterinya). Itu juga kalau saya memandang Nyai Siti Fatmah dari jalur ibunya. Kalau dari jalur ayahnya, berarti saya panggil “Mbah”. Panggilan mana yang lebih afdlol?

Diatas segalanya, mbuletisme ternyata bukan khas Rembang, tapi boleh jadi universal. Penelitian Mahrus Husain, S.Ag. (Serondok Akehgendhenge) menemukan adanya fenomena mbulet di Jombang yang –karena sulit dicarikan terma yang pas maka– disebut saja: “mbuletisme nJombangistik”.

Kiyai Chasbullah (ayahanda Kiyai Abdul Wahab Chasbullah) mempunyai menantu bernama Bisri Syansuri. Kiyai Bisri Syansuri mempunyai menantu bernama Chasbullah. Salah seorang putra kiyai Bisri bernama Aziz. Kiyai Aziz (bin Bisri Syansuri) ini ndilalah punya menantu bernama Aziz juga (bin Masyhuri).

Pada waktu pengantin baru, dua orang Aziz (mertua dan menantu) naik becak bersama. Melihat pemandangan itu, Mbah Aman (Kiyai Amanullah Abdurrochim) langsung mbengok:

“Iku tukang becake jenenge yo Aziz pisan!” (Itu tukang becaknya bernama Aziz juga!)

Sumber :http://teronggosong.com/article/mbultisme-njombangistik

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons