Blog ini ditujukan kepada seluruh ummat Islam yang cinta kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Para Sahabat RA, Auliya', Habaib, Ulama', dan sejarah kebudayaan Islam.

Selasa, 27 Desember 2011

BETAPA KUASANYA ALLAH SWT (kisah nyata) Satu gereja masuk agama Islam

Seorang Pemuda Arab Yang Menimba Ilmu Di Amerika Rabu, 22 Februari 2006 silam. Ada seorang pemuda arab yang baru saja menyelesaikan bangku kuliahnya di Amerika.Pemuda ini adalah salah seorang yang diberi nikmat oleh Allah berupa pendidikan agama Islam bahkan ia mampu mendalaminya.Selain belajar, ia juga seorang juru dakwah Islam. Ketika berada di Amerika , ia berkenalan dengan salah seorang Nasrani.Hubungan mereka semakin akrab, dengan harapan semoga Allah SWT memberinya hidayah masuk Islam. Pada suatu hari mereka berdua berjalan-jalan di sebuah perkampungan di Amerika dan melintas di dekat sebuah gerejayang terdapat di kampung tersebut.Temannya itu meminta agar ia turut masuk ke dalam gereja. Semula ia berkeberatan,namun karena ia terus mendesak akhirnya pemuda itupun memenuhi permintaannya lalu ikut masuk ke dalam gereja dan duduk di salah satu bangku dengan hening, sebagaimana kebiasaan mereka.

Ketika pendeta masuk, mereka serentak berdiri untuk memberikan penghor-matan lantas kembali duduk. Di saat itu si pendeta agak terbelalak ketika melihat kepada para hadirin dan berkata, "Di tengah kita ada seorang muslim. Aku harap ia keluar dari sini." Pemuda arab itu tidak bergeming dari tempatnya. Pendeta tersebut mengucapkan perkataan itu berkali-kali, namun ia tetap tidak bergeming dari tempatnya. Hingga akhirnya pendeta itu berkata, "Aku minta ia keluar dari sini dan aku menjamin keselamatannya. "Barulah pemuda ini beranjak keluar. Di ambang pintu ia bertanya kepada sang pendeta,

Bagaimana anda tahu bahwa saya seorang muslim." Pendeta itu menjawab, "Dari tanda yang terdapat di wajahmu."Kemudian ia beranjak hendak keluar,namun sang pendeta ingin memanfaatkan keberadaan pemuda ini, yaitu dengan mengajukan beberapa pertanyaan, tujuannya untuk memojokkan pemuda tersebut dan sekaligus mengokohkan markasnya. Pemuda muslim itupun menerima tantangan debat tersebut. Sang pendeta berkata, "Aku akan mengajukan kepada anda 22 pertanyaan dan anda harus menjawabnya dengan tepat.

" Si pemuda tersenyum dan berkata, "Silahkan! Sang pendeta pun mulai bertanya,
1.. Sebutkan satu yang tiada duanya,
2.. dua yang tiada tiganya,
3.. tiga yang tiada empatnya,
4.. empat yang tiada limanya,
5.. lima yang tiada enamnya,
6.. enam yang tiada tujuhnya,
7.. tujuh yang tiada delapannya,
8.. delapan yang tiada sembilannya,
9.. sembilan yang tiada sepuluhnya,
10.. sesuatu yang tidak lebih dari sepuluh,
11.. sebelas yang tiada dua belasnya,
12.. dua belas yang tiada tiga belasnya,
13.. tiga belas yang tiada empat belasnya.
14.. Sebutkan sesuatu yang dapat bernafas namun tidak mempunyai ruh!
15.. Apa yang dimaksud dengan kuburan berjalan membawa isinya?
16.. Siapakah yang berdusta namun masuk ke dalam surga?
17.. Sebutkan sesuatu yang diciptakan Allah namun Dia tidak menyu- kainya?
18.. Sebutkan sesuatu yang diciptakan Allah dengan tanpa ayah dan ibu!
19.. Siapakah yang tercipta dari api, siapakah yang diadzab dengan apidan siapakah yang terpelihara dari api?
20.. Siapakah yang tercipta dari batu, siapakah yg diadzab dengan batu dan siapakah yang terpelihara daribatu?
21.. Sebutkan sesuatu yang diciptakan Allah dan dianggap besar!
22.. Pohon apakah yang mempu-nyai 12 ranting, setiap ranting mempunyai 30 daun, setiap daun mempunyai 5 buah, 3 di bawah naungan dan dua di bawah sinaran matahari?"

Mendengar pertanyaan tersebut pemuda itu ter-senyum dengan senyuman mengandung keyakinan kepada Allah. Setelah membaca basmalah ia berkata,
1.. Satu yang tiada duanya ialah Allah SWT.
2.. Dua yang tiada tiganya ialah malam dan siang. Allah SWT berfirman, "Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda (kebesaran kami)." (Al-Isra':12).
3.. Tiga yang tiada empatnya adalah kekhilafan yang dilakukan Nabi Musa ketika Khidir menenggelamkan sampan, membunuh seorang anak kecil dan ketika me-negakkan kembali dinding yang hampir roboh.
4.. Empat yang tiada limanya adalah Taurat, Injil, Zabur dan al- Qur'an.
5.. Lima yang tiada enamnya ialah shalat lima waktu.
6.. Enam yang tiada tujuhnya ialah jumlah hari ke-tika Allah SWT menciptakan makhluk.
7..Tujuh yang tiada delapannya ialah langit yang tujuh lapis. Allah SWT berfirman, "Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Rabb Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang." (Al-Mulk:3).
8.. Delapan yang tiada sembilannya ialah malaikat pemikul Arsy ar- Rahman. Allah SWT berfirman,"Dan malaikat-malaikat berada dipenjuru- penjuru langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung 'Arsy Rabbmu di atas(kepala) mereka." (Al-Haqah: 17).
9.. Sembilan yang tiada sepuluhnya adalah mu'jizat yang diberikan kepada Nabi Musa : tongkat, tangan yang bercahaya, angin topan, musim paceklik, katak, darah, kutu dan belalang
10.. Sesuatu yang tidak lebih dari sepuluh ialah ke-baikan. Allah SW berfirman, "Barangsiapa yang berbuat kebaikan maka untuknya sepuluh kali lipat." (Al-An'am: 160).
11.. Sebelas yang tiada dua belasnya ialah jumlah saudara-saudara Yusuf.
12.. Dua belas yang tiada tiga belasnya ialah mu'jizat Nabi Musa yang terdapat dalam firman Allah, "Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman, 'Pukullah batu itu dengan tongkatmu.' Lalu memancarlah dari padanya dua belas mata air." (Al- Baqarah: 60).
13.. Tiga belas yang tiada empat belasnya ialah jumlah saudara Yusuf ditambah dengan ayah dan ibunya.
14.. Adapun sesuatu yang bernafas namun tidak mempunyai ruh adalah waktu Shubuh. Allah SWT ber-firman, "Dan waktu subuh apabila fajarnya mulai menying-sing. " (At-Takwir)
15.. Kuburan yang membawa isinya adalah ikan yang menelan Nabi Yunus AS.
16.. Mereka yang berdusta namun masuk ke dalam surga adalah saudara- saudara Yusuf,yakni ketika mereka berkata kepada ayahnya,"Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami,lalu dia dimakan serigala." Setelah kedustaan terungkap, Yusuf berkata kepadamereka," tak ada cercaaan ter-hadap kalian." Dan ayah mereka Ya'qub berkata, "Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Rabbku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
17.. Sesuatu yang diciptakan Allah namun tidak Dia sukai adalah suara keledai. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya sejelek-jelek suara adalah suara keledai." (Luqman: 19).
18.. Makhluk yang diciptakan Allah tanpa bapak dan ibu adalah Nabi Adam, malaikat, unta Nabi Shalih dan kambing Nabi Ibrahim.
19.. Makhluk yang diciptakan dari api adalah Iblis, yang diadzab dengan api ialah Abu Jahal dan yang terpelihara dari api adalah Nabi Ibrahim. Allah SWT berfirman, "Wahai api dinginlah dan selamatkan Ibrahim." (Al-Anbiya': 69)
20. Makhluk yang terbuat dari batu adalah unta Nabi Shalih, yang diadzab dengan batu adalah tentara bergajah dan yang terpelihara dari batu adalah Ash-habul Kahfi (penghuni gua).
21.. Sesuatu yang diciptakan Allah dan dianggap perkara besar adalah tipu daya wanita, sebagaimana firman Allah SWT, "Sesungguhnya tipu daya kaum wanita itu sangatlah besar." (Yusuf)
22.. Adapun pohon yang memiliki 12 ranting setiap ranting mempunyai 30 daun, setiap daun mempunyai 5 buah, 3 di bawah teduhan dan dua di bawah sinaran matahari maknanya: Pohon adalah tahun, ranting adalah bulan, daun adalah hari dan buahnya adalah shalat yang lima waktu, tiga dikerjakan di malam hari dan dua di siang hari.

Pendeta dan para hadirin merasa takjub mende-ngar jawaban pemuda muslim tersebut.Kemudian ia pamit dan beranjak hendak pergi. Namun ia mengurungkan niatnya dan meminta kepada pendeta agar menjawab satu pertanyaan saja. Permintaan ini disetujui oleh sang pendeta. Pemuda ini berkata, "Apakah kunci surga itu?" mendengar pertanyaan itu lidah sang pendeta menjadi kelu, hatinya diselimuti keraguan dan rona wajahnya pun berubah. Ia berusaha menyembunyikan kekhawatirannya, namun hasilnya nihil. Orang-orang yang hadir di gereja itu terus mendesaknya agar menjawab pertanyaan tersebut, namun ia berusaha mengelak.

Mereka berkata, "Anda telah melontarkan 22 pertanyaan kepadanya dan semuanya ia jawab sementara ia hanya memberimu satu pertanyaan namun anda tidak mampu menjawabnya! " Pendeta tersebut berkata, "Sungguh aku mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut, namun aku takut kalian marah. " Mereka menjawab, "Kami akan jamin keselamatan anda." Sang pendeta pun berkata, " Jawabannya ialah: Asyhadu an La Ilaha Illallah wa'asyhaduanna Muhammadar Rasulullah."

Lantas sang pendeta dan orang-orang yang hadir di gereja itu memelukagama Islam. ALLAHU AKBAR! Sungguh Allah telah menganugrahkan kebaikan dan menjaga mereka dengan Islam melalui tangan seorang pemuda muslim yang bertakwa. Semoga Kisah ini dapat menambah kuat Iman kita sebagai seorang Muslim, dan jika Kisha ini di baca oleh orang non muslim, semoga dia sadar dan memeluk Agama yang paling Benar, Agama ALLAH SWT.


Sumber: http://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=335360849809904&id=100000079754185

Senin, 26 Desember 2011

KISAH AL-HABIB AHMAD AL-MUHDHAR (QUWEREH, YAMAN)

Gurauannya Disukai Nabi SAW

Terik matahari memanggang kota Mekah. Masjidil Haram tengah disesaki jemaah haji. Hari itu Jumat. Seorang khatib berdiri di atas mimbar Ia membacakan sebuah khutbah yang teramat panjang. Lama sekali sang khatib berkhutbah. Jamaah tersiksa oleh sengatan siang. Maklum, saat itu bertepatan musim panas. Keringat becucuran deras. Usai khutbah, sang khatib mengimami salat. Anehnya, salat ini dilakukan dengan sangat cepat. Surat yang ia pakai pun yang pendek-pendek. Setelah salam, seorang jamaah menghampiri khatib. Namanya Habib Ahmad bin Muhammad al-Muhdor. Tangannya menggenggam sebatang tongkat. Lalu tanpa diduga, sang habib menggebuk khatib denga tongkat sembari berkata-kata lantang, "Kamu telah membolak-balik sunnah Rasulullah SAW. Mestinya kamu meringkas khotbah dan sedikit memanjangkan salat." Khatib itu berteriak kesakitan. "Hai orang-orang, aku dipukuli seorang Hadrami...! Habib Ahmad menimpali, "Aku bukan Hadrami,” ia lalu bersenandung, Kami mengenal Batha'(sebuah daerah di Mekah) dan ia mengenal kami Bukit Shafa dan Baitullah (Ka’bah) mencintai kami Kota Mekah geger. Sang Amir, Muhammad bin Awan geram. Diperintahkannya polisi untuk menangkap Habib Ahmad dan menghukumnya di depan khalayak. Keresahan melanda warga Hadrami. Mereka mengkhawatirkan nasib habib tercinta itu. "Tak usah khawatir! Ibundaku, Khadijah binti Khuwailid, selalu bersamaku," ujar Habib Ahmad menenangkan. "Aku akan berlindung di tempatnya." lanjutnya. Saat itu juga ia bergegas ke kubah Sayidah Khadijah ra, istri mulia Baginda Nabi SAW. Sepasukan polisi mengejar di belakangnya. Sesampai di depan kubah, peristiwa ajaib terjadi, pintu kubah... terbuka dengan sendirinya. Habib Ahmad masuk, dan pintu itu tertutup kembali. Para polisi berusaha membuka, namun tak kuasa. Mereka menemui juru kunci kubah dan meminta kunci. Namun ia enggan menyerahkan. "Takkan kuberikan kunci ini kepada siapa pun." Akhirnya dengan luapan amarah, mereka mengambil secara paksa. Berbekal kunci itu, mereka berhasil membuka pintu kubah. Tapi ajaib, Habib Ahmad tak kelihatan batang hidungnya. Mereka mencari-cari, namun hasilnya nihil, ia seperti raib di perut bumi. Para abdi praja itu akhirnya menyerah. Mereka melapor pada Muh. B. Awan perihal kejadian luar biasa itu. Ia merasa takjub. la kemudian menanyai warga Hadrami mengenai siapa sebenarnya Habib Ahmad. Ketakjubannya kian membumbung kala mengetahui kesejatian sosok habib yang alim itu. Penguasa Mekah itu kemudian mengadakan jamuan istimewa untuk Habib Ahmad sebagai tanda maaf. Sang Habib menyambut hangat. Di tengah jamuan itu, Muh. B. Awan membujuk Habib Ahmad agar bersedia menetap di Mekah. Habib Ahmad tidak langsung menjawab ya ataupun tidak. "Aku tanyakan dulu kepada ibundaku, Khadijah AI-Kubra." katanya. Beberapa hari kemudian, ia mendatangi Syarif dan memberi kabar, "Maaf Amir, Ibunda Khadijah menghendaki aku untuk kembali ke Quwereh." Peristiwa itu terjadi pada musim haji tahun 1250 Hijriyah.

HAFAL QUR’AN Habib Ahmad bin Muhammad bin Alwi al-Muhdor lahir di kota Rasyid, lembah Dau'an,Hadramaut(Yaman)tah​un 1217 Hijriyah. Saat masih kanak-kanak, ia diboyong ayahnya ke Haramain. Di sana ia berhasil menghafal Alquranul Karim dalam usia tujuh tahun dengan bacaan yang bagus. Ia kemudian menekuni berbagai bidang pengetahuan. Diantara guru-gurunya di Mekah adalah: Syekh Umar bin Abdurrasul al-Attar, Syekh Muhammad Sholeh ar-Rais, Syekh Ahmad as-Showi al-Mishri dan Syekh AbdurRahman al-Kazbaniy. Setelah bekal ilmunya lumayan mumpuni, ia mulai sering diajak mondar-mandir antara Mekah dan Hadramaut oleh ayahnya. Ketika singgah di Hadramaut, ia menyempatkan diri menimba ilmu kepi ulama-ulama besar di sana, seperti Habib Hasan bin Sholeh al-Bahr, Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Attas, Habib Abmad bin Umar bin Sumaith, Habib Abdullah bin Idrus al-Barr dan Syekh Abdullah bin Ahmad Basaudan. Menginjak usia dewasa, ia memutuskan kembali ke kota Rasyid. Ia menempati rumah salah satu pam dari pihak ibunya yang merupakan keluarga besar marga Bazar'ah. la kemudian menikah dengan seorang wanita salehah dari keluarga al-Habsyi. Dari pernikahan ini ia dikaruniai putra dan putri bernama Umar, Hamid, Hadun, Khadijah, dan lainnya. Selanjutnya, setelah memiliki uang cukup, ia membeli sebuah rumah daerah Quwereh. Di kota itu ia menikah lagi dengan wanita dari keluarga Syekh Abu Bakar bin Salim setelah istri pertamanya meninggal dunia. Pernikahan kedua ini membuahkan beberapa putra dan putri diantaranya: Muhammad, Musthafa dan Sholeh. Dari kota inilah, nama Habib Ahmad bin Muhammad al-Muhdor terus menjulang. Cahaya ilmu dan akhlaknya menerangi negeri Hadramaut, bahkan seluruh persada bumi. la dicintai kaum muslimin. Kalam-kalamnya mudah diterima lubuk hati. Dan tersingkaplah nubuat yang pernah ditorehkan Syekh Umar Bamakhramah. Ya, beratus tahun sebelumnya, Syekh Umar menulis untaian syair yang mengilustrasikan sosok Habib Ahmad alMuhdor. Dilukiskannya perangai Habib Ahmad beserta tempat-tempat yang pernah ia singgahi. Habib Hasan bin Sholeh al-Bahr, salah satu guru Habib Ahmad, ketika membaca syair itu, ia berseru kepada orang-orang sekitarnya, "Katakan kepada Ahmad al-Muhdor bahwa Syekh Bamakhramah mengajaknya bicara." Selain berilmu tinggi, Habib Ahmad dikenal keras dalam mujahadah. Jauh hari ia telah menyiapkan liang kuburnya sendiri yang ditempatkan di sebelah masjidnya. la meluangkan waktu berbaring di liang itu setiap hari sembari membaca Alquran. Tercatat tujuh ribu kali khataman ia selesaikan di dalam kubur itu sebelum akhirnya meninggal dunia. Namun ia juga pribadi yang unik. Di balik kekhusyuannya itu ia selalu menampakkan diri sebagai sosok yang jenaka. la suka bergurau. Gurauannya bahkan kadang keterlaluan. Pernah ia menyesal dan berniat takkan bergurau lagi. Akan tetapi ia langsung ditegur Rasulullah SAW dalam mimpi agar meneruskan kebiasaannya bergurau. Hati Habib Ahmad memiliki pertautan yang erat dengan Ummul Mukminin, Khadijah al-Kubra. la menulis kumpulan syair yang memuji ibunda Az-Zahra itu. Hikayat di atas adalah salah satu bukti. Dan akhirnya ia menyusul ibundanya itu pada tahun 1304 H, dalam usia 87 tahun. la meninggalkan beberapa putra yang shaleh. Salah satunya adalah Habib Muhammad al-Muhdor, Bondowoso, seorang ulama yang pernah meramaikan belantika dakwah di Nusantara ini. la juga meninggalkan beberapa murid yang hebat. Diantaranya: Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, Habib Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur dan Habib Idrus bin Umar al-Habsyi.

Sumber: http://www.facebook.com/photo.php?fbid=3769744041227&set=a.3082920831076.8089848.1205491310&type=1

Sabtu, 24 Desember 2011

Sufis Gila (Muhammad Hasan ‘Abata)

Muhammad Hasan ‘Abata
Ia adalah seorang sufi yang jadzab. Muhammad Hasan ‘Abata adalah seorang mursyid tarekat Rifaiyyah di Mesir. Riwayat menyebutkan beliau termasuk sayyid. Kelak, putranya, Syekh Hasyim, memisahkan diri dari tarekat ayahnya, dan mendirikan tarekat sufi sendiri yang disebut tarekat Qushayriyya Hashimiyyah, pada 1940-an. Namun pada 1950-an tarekat ini dilebur kembali ke dalam tarekat Rifaiyyah sebagai cabang semi-otonom, yang disebut Bayt ‘Abata.
Gelar ‘Abata, yang berarti “ketololan” adalah julukan yang dinisbahkan kepada Syekh Muhammad Hassan karena kelakuannya yang terkesan tolol saat mengalami jazb. Selama periode jazab-nya, Syekh Muhammad Hasan berambut gondrong, kadang digelung, dan terkadang bahkan mengenakan baju perempuan. Syekh Muhammad Hasan meninggal pada tahun 1941 dan dimakamkan di pemakaman sederhana di dekat masjid Sayyidah Aisyah di kawasan Kairo, Mesir. Beliau dimakamkan bersama istrinya, Zaynab, dan gurunya, Syekh Rihani.
semasa hidupnya, Syekh Hasan sering mengadakan pertemuan zikir. Setelah ia meninggal, pengikutnya mengadakan pertemuan zikir dan shalawatan di makamnya setiap hari Rabu. Pada 1970-an jamaah yang menghadiri pertemuan itu makin banyak. Sebagian dari mereka membentuk kelompok tersendiri yang dikenal sebagai kelompok “dabbus.” Mereka menggunakan alat yang disebut “dabbus” yakni rantai bola besi kecil yang ada pisau-pisaunya di ujung rantai, yang diayun-ayunkan ke tubuh selama melakukan zikir. Ritual ini dimaksudkan untuk menunjukkan keberkahan dari Syekh Hasan, sebab mereka yang disabet dengan rantai besi ini tidak mengalami luka. Namun, karena dikhawatirkan terjadi penyimpangan ke arah klenik, maka praktik kemudian di dilarang oleh otoritas tarekat Rifaiyyah.
Setelah putra Syekh Hasan, yakni Syekh Hasyim ibn Muhammad Hassan meninggal pada 1985, jamaah yang melakukan ritual setiap rabu semakin berkurang. Putra dari Syekh Hasyim tak mau diangkat menjadi mursyid pengganti. Akibatnya, pengikut dari Syekh Hasan menjadi tersebar dan terpecah. Sebagian pengikut yang masih setia menghadiri zikir rabu adalah dari golongan miskin. Meski demikian, haul Syekh Hasan ‘Abata masih digelar setiap tahun dan dihadiri banyak orang.

Al-Syaikh Yusuf An Nabhani R.A

Yusuf lahir pada 1265 H (1849 M). Nama lengkapnya adalah Nasiruddin Yusuf bin Ismail An Nabhani, keturunan Bani Nabhan, salah satu suku Arab Badui yang tinggal di Desa Ijzim, sebuah desa di bagian utara Palestina, daerah hukum kota Haifa yang termasuk wilayah Akka, Beirut.

Ia menghafal Alquran dengan berguru kepada ayahnya sendiri, Ismail bin Yusuf, seorang syaikh berusia 80 tahun yang hafidz serta selalu mengkhatamkan Alquran setiap tiga hari sekali.

Selesai mengkhatamkan hafalan Alquran, Yusuf disekolahkan orang tuanya ke Al Azhar, dan mulai bergabung pada Sabtu awal Muharram 1283 H (1866 M). Ia tekun belajar dan menggali ilmu dengan baik dari imam-imam besar dan ulama-ulama umat yang kritis dan ahli ilmu syariah dan bahasa Arab dari empat imam madzhab.Wirid beliau adalah membaca Al Qur-an setiap tiga hari sekali beliau khatam ,malah kemudian seminggu bisa khatam tiga kali. Disamping itu juga beliau berdzikir, mengajar ilmu, mengarang kitab-kitab yang banyak dan 'ibadah-'ibadah lain. Beliau ahli membaca solawat dan mahabbah Rasulullah Saw. Ini terbukti dengan kitab-kitab karangannya yang banyak mengenai membaca solawat dan qosidah-qosidah yang ampuh berisi pujian beliau kepada Nabi sampai beliau mendapat gelar Muhibbun Nabiy /Al Mutafdnift hubbin Nabiy Saw. (sirna /tenggelam dalam cinta Nabi Saw.).

Yusuf al-Nabhani mempunyai guru-guru dan imam-imam ternama di Al-Azhar. Di antaranya adalah:

1.Syaikh Yusuf al-Barqawi al-Hanbali, syaikh pilihan dari mazhab Hanbali
2. Syaikh Abdul Qadir al-Rafi'i al-Hanafi al Tharabulusi, syaikh pilihan dari masyarakat Syawam
3. Syaikh Abdurrahman al-Syarbini al-Syafi`i
4. Syaikh Syamsuddin al-Ambabi al-Syafi'i, satu-satunya syaikh pada masanya yang mendapat julukan Hujjatul Ilmi dan guru besar Universitas Al-Azhar pada masa itu. Dan gurunya ini, Yusuf al-Nabhani belajar Syarah Kitab al-Ghayah wa al-Tagrib fi Fighi al-Syafi`iyyah karya Ibnu Qasim dan Al-Khathib al-Syarbini, dan kitab-kitab lainnya dalam waktu 2 tahun.
5. Syaikh Abdul Hadi Naja al-Ibyari (wafat tahun 1305 H.)
6. Syaikh Hasan al-'Adwi al-Maliki (wafat tahun 1298 H.)
7. Syaikh Ahmad al-Ajhuri al-Dharir al-Syafi`i (wafat tahun 1293 H.)
8. Syaikh Ibrahim al-Zuru al-Khalili al-Syafi'i (wafat tahun 1287 H.)
9. Syaikh al-Mu'ammar Sayyid Muhammad Damanhuri al-Syafi`i (wafat tahun 1286 H.)
10. Syaikh Ibrahim al-Saga al-Syafi'i (wafat tahun 1298 H) Darinya, Yusuf al-Nabhani mempelajari kitab Syarah al-Tahrir dan Manhaj karya Syaikh Zakaria al-Anshari al-Syafi`i, berikut catatan pinggir kedua kitab tersebut, selama tiga tahun, hingga Al-Nabhani dianugerahi ijazah sebagai pertanda atas kapasitas dan posisi keilmuannya.

Karya-karya Yusuf al-Nabhani ada sekitar 75 kitab, antara lain :
1) Al Anwar al Muhammadiah Mukhtasar al Mawahib al Ladunniah.
2) Al Syarf al Muabbad li Ali Muhammad.
3) Wasail Wusul ila Syamail al Rasul.
4) Al Ahadith al Arbain fi Fadhail Sayyid al Mursalin.
5) Al Ahadith al Arbain min Amthal Afsoh al Alamin.
6) Afdhal al Salawat ala Sayyid al Sadaat.
7) Saadah al Darain fi al Solat ala Sayyid al Kaunain.
8) Salawat al Thana’ ala Sayyid al Anbiya’.
9) Hujjatullah ala al A’lamin fi Mu’jizah Sayyid al Mursalin .
10) Al Hamziah al Alfiyah yang dinamakan Taybah al Gharra’ fi Madhi Sayyid al Anbiya’.
11) Saadah al Maad fi Muwazanah Banat Sua’d.
12) Al Nazam al Badi’ fi Maulid al Syafi’
13) Al Qaul al Haq fi Madhi Sayyid al Khalq
14) Khulasaah al Kalam fi Tarjih Din al Islam.
15) Risalah fi Mithal al Na’li al Syarif

• Kitabnya solawat seperti kitab Sa'adatud Daroin, Afdholus Solawat, Jami'us Solawat dan lainnya. Kitab-kitab ini semua adalah berisi kumpulan solawat-solawat yang ampuh dari ciptaan para Wali agung yang belum pernah dikumpulkan dalam kitab semacam ini. Membaca solawat adalah merupakan wasilah yang terdekat untuk menuju kepada Alloh Swt.
• Kitab Jami'u karomatil Auliya' terdiri dari dua jilid yang tebal. Dalam kitab ini beliau menuturkan nama-nama para Auliya' beserta keramat-keramatnya yang jumlahnya lebih dari sepuluh ribu keramat yang dimiliki oleh kurang lebih seribu empat ratus Wali mulai dari para Sahabat, para Tabi'in dan seterusnya ke bawah. Sebelum kitab ini belum ada kitab yang bisa mengumpulkan yang sampai sekian banyaknya para Auliya' dan keramatnya.

Ada seorang yang soleh ahli 'ibadah dan wara bertempat di Madinah, berkata : aku punya keanehan : aku telah terbiasa dan sering sekali bermimpi ketemu Rasulullah Saw. Kemudian pernah terputus sementara waktu tidak bertemu Rasulullah lalu aku menjadi sangat susah. Akhirnya aku bisa berimpi ketemu dengan Rasulullah lagi dan aku bertanya : apakah yang menghalang-halangi antara aku dan engkau ya Rosulalah? Kemudian Rasulullah menjawab: bagaimana kamu akan bisa melihat aku sedangkan di rumahmu ada sebuah kitab yang pengarangnya mencela dan mencaci maki tkepada kekasihku Yusuf an Nabhaniy. Setelah pagi maka kitab aku bakar, kemudian setelah itu aku kembali seperti biasanya bermimpi Rasulullah . Kitab tadi namanya Nailul amaniy fir roddi 'alan Nabhany isinya adalah menentang karena kecenderung fanatik golongan salah penafsiran.

Kemudian kitab Syawahidul Haq. Di dalam kitab ini beliau panjang lebar membicarakan tentang istighotsah, tawassul dan ziarah ke makam Nabi, makam para Auliya' dan Sholihin dan menolak perbuatan bid'ah dan orang-orang yang ingkar dan melarang bertawassul dan ziarah kubur terutama kefahaman-kefahaman menurut Ibnu Taimiyyah dan para penerus pengikutnya.
Sangat jelas sekali diuraikan beserta dalil-dalil dan segala uraian dan cerita sejarahnya mereka. Kitab ini sangat penting sebagai benteng dan pedoman kefahaman kita pada umumnya kaum ahlus sunnah wal jama'ah agar kita tidak mudah terpengaruh dan ikut-ikutan dengan mereka orang-orang yang anti bermadzhab, anti bertawassul, anti ziarah kubur dan lam-lain dari pada kebid'ahan-kebid'ahan mereka.

Kemudian kitab Irsyadul Hayaro.. Di dalam kitab ini beliau menerangkan dengan jelas tentang ketidak baikan dan bahayanya anak-anak orang Islam memasuki sekolah-sekolahan orang Nasrani.
Dan kitab-kitab susunan beliau lainnya semua tercatat ada 46 kitab dan kebanyakan tebal-tebal, bahkan ada yang mengatakan semua meocapai 100 kitab yang penting isinya. Sungguh tidak bisa dibayangkan karomah beliau yang luar biasa dalam mengarang kitab-kitab tersebut.
Beliau memperbanyak iqomah di Madinah al Munawwaroh. Nur 'ibadah-nya dan mengagungkannya sunnatur Rosul terlihat terang pada wajah beliau.
Beliau wafat di kota Baerut pada usia 85 tahun dalam keadaan sehat dan kondisi yang giat dan gigih dalam beramal, beribadah dengan semua amalan dzikirnya.

Sumber: http://wwwahamid.blogspot.com/2011_09_01_archive.html

Minggu, 18 Desember 2011

Sultan Hamid II & Garuda Pancasila

Pencipta lambang negara Republik Indonesia Burung Garuda adalah Sultan Hamid II (Sultan Syarif Abdul Hamid Alkadrie). Namun, nama bekas Menteri Negara RIS ini ditenggelamkan pemerintah Sukarno karena dikaitkan dengan pemberontakan Westerling yang sampai dengan sekarang tidak pernah terbukti secara yuridis. Di hari peringatan ke-60 Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 2005 yang lalu pihak keluarga Sultan Hamid II sempat meminta pemerintah tidak melupakan jasa tokoh dari Kalimantan Barat tersebut, akan tetapi sampai sekarang sejarah itu tetap disembunyikan pemerintah saat ini.



Turiman Fachturahman Nur membuktikan kebenaran ini dalam tesisnya di Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 11 Agustus 1999 dengan judul “Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia (Suatu Analisis Yuridis tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Perundang-undangan)”, Turiman mempertahankan secara yuridis dengan data-data yang akurat mengenai siapa sebenarnya pencipta lambang negara Burung Garuda.



Sultan Hamid II adalah Sultan ke-VIII dari Kesultanan Kadriah Pontianak yang memiliki nama lengkap Sultan Abdul Hamid Alkadrie. Putra Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, Sultan VII Kesultanan Pontianak. Sultan Hamid II lahir di Pontianak pada 12 Juli 1913. Sultan Hamid Alkadrie II melewati masa kecilnya di Istana Kadriah Kesultanan Pontianak yang dibangun pada 1771 Masehi. Sultan Hamid II pernah menjadi Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) pada tahun 1948.

Sultan Hamid II dikenal cerdas, ia juga menjadi Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda (Ratu Juliana) dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran yaitu dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Sultan Hamid menempuh pendidikan "ELS" di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. "HBS" di Bandung satu tahun, "THS" Bandung tidak tamat, kemudian "KMA" di Breda, Belanda hingga tamat dan berpangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda. Sultan Hamid II adalah orang Indonesia pertama yang menempuh pendidikan di Akademi Militer Belanda (KMA) di Breda, Belanda, seperti AKABRI dengan pangkat letnan dua infanteri pada tahun 1936.



Sultan Hamid adalah salah satu tokoh penting nasional dalam mendirikan Republik Indonesia bersama rekan sejawatnya, Sukarno, Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, Mr. Muhammad Roem, Mohammad Natsir, dan Muhammad Yamin. Dalam sejarah pendirian RI, Sultan Hamid pernah menjadi Ketua Delegasi BFO (Bijeenkomst Federaale Overleg/Musyawarah Istimewa Kaum Federal dan Strategi Konseptor Negara Federal) dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, 23 Agustus 1949. Sultan Hamid juga menjadi saksi pelantikan Sukarno sebagai Presiden RI di Keraton Yogyakarta pada 17 Desember 1949.



Sepak terjangnya di dunia politik menjadi salah satu alasan bagi Presiden Sukarno untuk mengangkat Sultan Hamid sebagai Menteri Negara Zonder Porto Folio di Kabinet Republik Indonesia Serikat pada 1949-1950. Pada 13 Juli 1945 dalam Rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, salah satu anggota Panitia, mengusulkan tentang lambang negara. Pada 20 Desember 1949, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat Nomor 2 Tahun 1949, Sultan Hamid II diangkat sebagai Menteri Negara RIS. Dalam kedudukannya ini, Sultan Hamid II ditugaskan oleh Presiden Sukarno untuk mengkoordinasi kegiatan perancangan lambang negara.



Dalam buku Bung Hatta Menjawab–Hatta saat itu menjadi Perdana Menteri RIS–tertulis Menteri Priyono yang ditugaskan oleh Sukarno melaksanakan sayembara lambang negara menerima hasil dua buah gambar rancangan lambang negara yang terbaik. Yaitu Burung Garuda karya Sultan Hamid II dan Banteng Matahari karya Muhammad Yamin. Namun, yang diterima oleh Presiden Sukarno adalah karya Sultan Hamid II dan karya Muhammad Yamin ditolak. Melalui proses rancangan yang cukup panjang, akhirnya pada 10 Februari 1950, Menteri Negara RIS Sultan Hamid II mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang. Hasil akhirnya adalah lambang negara Garuda Pancasila yang dipakai hingga saat ini.



Rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II diresmikan pemakaiannya dalam sidang kabinet RIS yang dipimpin Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat (PM RIS) Mohammad Hatta pada 11 Februari 1950. Empat hari berselang, tepatnya 15 Februari, Presiden Sukarno memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara karya Sultan Hamid II kepada khalayak umum di Hotel Des Indes (sekarang Duta Merlin) Jakarta. Pada 20 Maret 1950, bentuk final lambang negara rancangan Menteri Negara RIS Zonder Forto Polio, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Sukarno dan mendapat disposisi persetujuan presiden. Selanjutnya Presiden Sukarno memerintahkan pelukis Istana bernama Dullah untuk melukis kembali gambar itu sesuai bentuk final dan aslinya.



Lambang negara ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 yang diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 111 dan penjelasannya dalam tambahan Lembaran Negara Nomor 176 Tahun 1951 pada 28 November 1951. Sejak saat itu, secara yuridis gambar lambang negara rancangan Sultan Hamid II secara resmi menjadi Lambang Negara Kesatuan RI. Sebelum meninggal dunia, Sultan Hamid II yang didampingi sekretaris pribadinya, Max Yusuf Alkadrie menyerahkan gambar rancangan asli lambang negara yang sudah disetujui Presiden Sukarno kepada Haji Mas Agung–Ketua Yayasan Idayu, pada 18 Juli 1974. Gambar rancangan asli itu sekaligus diserahkan kepada Haji Mas Agung di Jalan Kwitang Nomor 24 Jakarta Pusat.



Pada 5 April 1950, Sultan Hamid II dikait-kaitkan dengan peristiwa Westerling (yang tidak pernah terbukti secara yuridis/hukum) sehingga harus menjalani proses hukum (tanpa hukum/politisasi) dan dipenjara selama 10 tahun oleh pemerintah Sukarno (dikarenakan pergolakan poltik pada saat itu) . Sejak itulah, nama Sultan Hamid II seperti dicoret dari catatan sejarah. Jarang sekali buku sejarah Indonesia yang terang-terangan menyebutkan Sultan Hamid sebagai pencipta gambar Burung Garuda. Sejarawan Indonesia lebih sering menyebut nama Muhammad Yamin sebagai pencipta lambang negara. Gelar kepahlawanan yang seharusnya disandang Sultan Hamid II yang sangat berjasa sebagai perancang lambang negara tersebut sengaja dihilangkan oleh pemerintahan Sukarno, Suharto hingga saat ini. Kesalahan sejarah itu berlangsung bertahun-tahun hingga pemerintahan Orde Baru dan sampai dengan sekarang belum sepenuhnya terungkap.



Dalam tesisnya, Turiman menyimpulkan, sesuai Pasal 3 Ayat 3 (tiga) UUD Sementara 1950 menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara. Berdasarkan Pasal 23, 3, jo PP Nomor 60/1951 itu ditentukan bahwa bentuk dan warna serta skala ukuran lambang negara RI adalah sebagaimana yang terlampir secara resmi dalam PP 66/51, Lembaran Negara Nomor 111 serta bentuk lambang negara yang dimaksud adalah lambang negara yang dirancang oleh Sultan Hamid Alkadrie II yaitu Burung Garuda. Bukan lambang negara yang dibuat oleh Muhammad Yamin yang berbentuk banteng dan matahari.



Sultan Hamid II meninggal dunia pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang. Sudah sepatutnya negara mengembalikan nama baik Sultan Hamid II sebagai pahlawan bangsa serta pencipta lambang negara yang terlepas dari masalah politik lain yang ditimpakan kepadanya. Pemutarbalikan fakta sejarah yang terjadi saat ini sangat merugikan generasi mendatang. Sejarah harus diletakkan pada porsinya semula dan sejarah harus diluruskan agar generasi mendatang tau tentang pencipta lambang negaranya Burung Garuda, serta generasi bangsa ini tidak salah dalam melihat sejarah, begitupula termasuk memberikan penghormatan kepada Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional seperti halnya W.R. Supratman, pencipta lagu Indonesia Raya, Fatmawati, pembuat Bendera pusaka Indonesia, dan lainnya.



Katakanlah yang benar itu benar, dan yang salah itu salah.

Sejarah sepatutnya diluruskan.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang tak pernah "lupa" dengan sejarahnya.


Sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=192177504157546

Sabtu, 17 Desember 2011

Gelar Imam, Syeikh, Habib dan Sayyid

Menurut Sayyid Muhammad Ahmad al-Syatri dalam bukunya Sirah al-Salaf Min Bani Alawi al-Husainiyyin, para salaf kaum ‘Alawi di Hadramaut dibagi menjadi empat tahap yang masing-masing tahap mempunyai gelar tersendiri. Gelar yang diberikan oleh masyarakat Hadramaut kepada tokoh-tokoh besar Alawiyin ialah :

IMAM (dari abad III H sampai abad VII H). Tahap ini ditandai perjuangan keras Ahmad al-Muhajir dan keluarganya untuk menghadapi kaum khariji. Menjelang akhir abad 12 keturunan Ahmad al-Muhajir tinggal beberapa orang saja. Pada tahap ini tokoh-tokohnya adalah Imam Ahmad al-Muhajir, Imam Ubaidillah, Imam Alwi bin Ubaidillah, Bashri, Jadid, Imam Salim bin Bashri.

SYAIKH (dari abad VII H sampai abad XI H). Tahapan ini dimulai dengan munculnya Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang ditandai dengan berkembangnya tasawuf, bidang perekonomian dan mulai berkembangnya jumlah keturunan al-Muhajir. Pada masa ini terdapat beberapa tokoh besar seperti Muhammad al-Faqih al-Muqaddam sendiri. Ia lahir, dibesarkan dan wafat di Tarim. Di kota Tarim, ia belajar bahasa Arab, teologi dan fikih sampai meraih kemampuan sebagai ulama besar ahli fiqih. Ia juga secara resmi masuk ke dunia tasawuf dan mencetuskan tarekat ‘Alawi. Sejak kecil ia menuntut ilmu dari berbagai guru, menghafal alquran dan banyak hadits serta mendalami ilmu fiqih. Ketika ia masih menuntut ilmu, Syekh Abu Madyan seorang tokoh sufi dari Maghrib mengutus Syekh Abdurahman al-Muq’ad untuk menemuinya. Utusan ini meninggal di Makkah sebelum sampai di Tarim, tetapi sempat menyampaikan pesan gurunya agar Syekh Abdullah al-Saleh melaksanakan tugas itu. Atas nama Syekh Abu Madyan, Abdullah membaiat dan mengenakan khiqah berupa sepotong baju sufi kepada al-Faqih al-Muqaddam. Walaupun menjadi orang sufi, ia terus menekuni ilmu fiqih. Ia berhasil memadukan ilmu fiqih dan tasawuf serta ilmu-ilmu lain yang dikajinya. Sejak itu, tasawuf dan kehidupan sufi banyak dianut dan disenangi di Hadramaut, terutama di kalangan ‘Alawi.

Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Ia memulai pendidikannya pada ayah dan kakeknya lalu meneruskan pendidikannya di Yaman dan Hijaz dan belajar pada ulama-ulama besar. Ia kemudian bermukim dan mengajar di Mekkah dan Madinah hingga digelari Imam al-Haramain dan Mujaddid abad ke 8 Hijriyah. Ketika Saudaranya Imam Ali bin Alwi meninggal dunia, tokoh-tokoh Hadramaut menyatakan bela sungkawa kepadanya sambil memintanya ke Hadramaut untuk menjadi da’i dan guru mereka. Ia memenuhi permintaan tersebut dan berhasil mencetak puluhan ulama besar.

Abdurahman al-Saqqaf bin Muhammad Maula al-Dawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Ia digelari al-Saqqaf karena kedudukannya sebagai pengayom dan Ilmu serta tasawufnya yang tinggi. Pemula famili al-Saqqaf ini adalah ulama besar yang mencetak berpuluh ulama termasuk putranya sendiri Umar Muhdhar. Ia juga sangat terkenal karena kedermawanannya. Ia mendirikan sepuluh masjid serta memberikan harta wakaf untuk pembiayaannya. Ia memiliki banyak kebun kurma.

Umar Muhdhar bin Abdurahman al-Saqqaf adalah imam dalam ilmu dan tokoh dalam tasawuf. Ia terkenal karena kedermawanannya. Ia menjamin nafkah beberapa keluarga. Rumahnya tidak pernah sepi dari tamu. Ia mendirikan tiga buah masjid. Menurut Muhammad bin Abu Bakar al-Syilli, ia telah mencapai tingkat mujtahid mutlaq dalam ilmu syariat. Ia meninggal ketika sujud dalam shalat Dzuhur.

Abdullah al-Aidrus bin Abu Bakar al-Sakran bin Abdurahman al-Saqqaf. Hingga usia 10 tahun, ia dididik ayahnya dan setelah ayahnya wafat ia dididik pamannya Umar Muhdhar hingga usia 25 tahun. Ia ulama besar dalam syariat, tasawuf dan bahasa. Ia giat dalam menyebarkan ilmu dan dakwah serta amat tekun beribadah.

Ali bin Abu Bakar al-Sakran bin Abdurahman al-Saqqaf. Ia menulis sebuah wirid yang banyak dibaca orang hingga abad ke 21 ini. Ia terkenal dalam berbagai ilmu, khususnya tasawuf. Menurut Habib Abdullah al-Haddad, ia merupakan salaf ba’alawi terakhir yang harus ditaati dan diteladani.

HABIB (dari pertengahan abad XI sampai abad XIV). Tahap ini ditandai dengan mulai membanjirnya hijrah kaum ‘Alawi keluar Hadramaut. Dan di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini, di antaranya kerajaan Alaydrus di Surrat (India), kesultanan al-Qadri di kepulauan Komoro dan Pontianak, al-Syahab di Siak dan Bafaqih di Filipina.

Tokoh utama ‘Alawi masa ini adalah Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad yang mempunyai daya pikir, daya ingat dan kemampuan menghafalnya yang luar biasa. Sejak kecil ia telah menghafal alquran. Ia berilmu tinggi dalam syariat, tasawuf dan bahasa arab. Banyak orang datang belajar kepadanya. Ia juga menulis beberapa buku.

Pada tahap ini juga terdapat Habib Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih, Habib Muhsin bin Alwi al-Saqqaf, Habib Husain bin syaikh Abu Bakar bin Salim, Habib Hasan bin Soleh al-Bahar, Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi.

SAYYID (mulai dari awal abad XIV ). Tahap ini ditandai kemunduran kecermelangan kaum ‘Alawi. Di antara para tokoh tahap ini ialah Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi, Imam Ahmad bin Hasan al-Attas, Allamah Abu Bakar bin Abdurahman Syahab, Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad, Habib Husain bin Hamid al-Muhdhar.

Sejarawan Hadramaut Muhammad Bamuthrif mengatakan bahwa Alawiyin atau qabilah Ba’alawi dianggap qabilah yang terbesar jumlahnya di Hadramaut dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan Afrika. Qabilah Alawiyin di Hadramaut dianggap orang Yaman karena mereka tidak berkumpul kecuali di Yaman dan sebelumnya tidak terkenal di luar Yaman.

Jauh sebelum itu, yaitu pada abad-abad pertama hijriah julukan Alawi digunakan oleh setiap orang yang bernasab kepada Imam Ali bin Abi Thalib, baik nasab atau keturunan dalam arti yang sesungguhnya maupun dalam arti persahabatan akrab. Kemudian sebutan itu (Alawi) hanya khusus berlaku bagi anak cucu keturunan Imam al-Hasan dan Imam al-Husein. Dalam perjalanan waktu berabad-abad akhirnya sebutan Alawi hanya berlaku bagi anak cucu keturunan Imam Alwi bin Ubaidillah. Alwi adalah anak pertama dari cucu-cucu Imam Ahmad bin Isa yang lahir di Hadramaut. Keturunan Ahmad bin Isa yang menetap di Hadramaut ini dinamakan Alawiyin diambil dari nama cucu beliau Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa yang dimakamkan di kota Sumul.

Benarkah Borobudur Peninggalan Nabi Sulaiman???

Ditulis dan Diposkan oleh :BLACK LIONESS on 10:12 AM, 21-Sep-11


 Membaca judul diatas, tentu banyak orang yang akan mengernyitkan dahi, sebagai tanda ketidakpercayaannya. Bahkan, mungkin demikian pula dengan Anda. Sebab, Nabi Sulaiman AS adalah seorang utusan Allah yang diberikan keistimewaan dengan kemampuannya menaklukkan seluruh makhluk ciptaan Allah, termasuk angin yang tunduk di bawah kekuasaannya atas izin Allah. Bahkan, burung dan jin selalu mematuhi perintah Sulaiman.

Menurut Sami bin Abdullah al-Maghluts, dalam bukunya Atlas Sejarah Nabi dan Rasul, Nabi Sulaiman diperkirakan hidup pada abad ke-9 Sebelum Masehi (989-931 SM), atau sekitar 3.000 tahun yang lalu. Sementara itu, Candi Borobudur sebagaimana tertulis dalam berbagai buku sejarah nasional, didirikan oleh Dinasti Syailendra pada akhir abad ke-8 Masehi atau sekitar 1.200 tahun yang lalu. Karena itu, wajarlah bila banyak orang yang mungkin tertawa kecut, geli, dan geleng-geleng kepala bila disebutkan bahwa Candi Borobudur didirikan oleh Nabi Sulaiman AS.

Candi Borobudur merupakan candi Budha. Berdekatan dengan Candi Borobudur adalah Candi Pawon dan Candi Mendut. Beberapa kilometer dari Candi Borobudur, terdapat Candi Prambanan, Candi Kalasan, Candi Sari, Candi Plaosan, dan lainnya. Candi-candi di dekat Prambanan ini merupakan candi Buddha yang didirikan sekitar tahun 772 dan 778 Masehi.

Lalu, apa hubungannya dengan Sulaiman? Benarkah Candi Borobudur merupakan peninggalan Nabi Sulaiman yang hebat dan agung itu? Apa bukti-buktinya? Benarkah ada jejak-jejak Islam di candi Buddha terbesar itu? Tentu perlu penelitian yang komprehensif dan melibatkan berbagai pihak untuk membuktikan validitas dan kebenarannya.

Namun, bila pertanyaan di atas diajukan kepada KH Fahmi Basya, ahli matematika Islam itu akan menjawabnya; benar. Borobudur merupakan peninggalan Nabi Sulaiman yang ada di tanah Jawa.

Dalam bukunya, Matematika Islam 3 (Republika, 2009), KH Fahmi Basya menyebutkan beberapa ciri-ciri Candi Borobudur yang menjadi bukti sebagai peninggalan putra Nabi Daud tersebut. Di antaranya, hutan atau negeri Saba, makna Saba, nama Sulaiman, buah maja yang pahit, dipindahkannya istana Ratu Saba ke wilayah kekuasaan Nabi Sulaiman, bangunan yang tidak terselesaikan oleh para jin, tempat berkumpulnya Ratu Saba, dan lainnya.

Dalam Alquran, kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Saba disebutkan dalam surah An-Naml [27]: 15-44, Saba [34]: 12-16, al-Anbiya [21]: 78-81, dan lainnya. Tentu saja, banyak yang tidak percaya bila Borobudur merupakan peninggalan Sulaiman.

Di antara alasannya, karena Sulaiman hidup pada abad ke-10 SM, sedangkan Borobudur dibangun pada abad ke-8 Masehi. Kemudian, menurut banyak pihak, peristiwa dan kisah Sulaiman itu terjadi di wilayah Palestina, dan Saba di Yaman Selatan, sedangkan Borobudur di Indonesia.

Tentu saja hal ini menimbulkan penasaran. Apalagi, KH Fahmi Basya menunjukkan bukti-buktinya berdasarkan keterangan Alquran. Lalu, apa bukti sahih andai Borobudur merupakan peninggalan Sulaiman atau bangunan yang pembuatannya merupakan perintah Sulaiman?

Menurut Fahmi Basya, dan seperti yang penulis lihat melalui relief-relief yang ada, memang terdapat beberapa simbol, yang mengesankan dan identik dengan kisah Sulaiman dan Ratu Saba, sebagaimana keterangan Alquran. Pertama adalah tentang tabut, yaitu sebuah kotak atau peti yang berisi warisan Nabi Daud AS kepada Sulaiman. Konon, di dalamnya terdapat kitab Zabur, Taurat, dan Tingkat Musa, serta memberikan ketenangan. Pada relief yang terdapat di Borobudur, tampak peti atau tabut itu dijaga oleh seseorang.

"Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: 'Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman'." (QS Al-Baqarah [2]: 24.

Kedua, pekerjaan jin yang tidak selesai ketika mengetahui Sulaiman telah wafat. (QS Saba [34]: 14). Saat mengetahui Sulaiman wafat, para jin pun menghentikan pekerjaannya. Di Borobudur, terdapat patung yang belum tuntas diselesaikan. Patung itu disebut dengan Unfinished Solomon.

Ketiga, para jin diperintahkan membangun gedung yang tinggi dan membuat patung-patung. (QS Saba [34]: 13). Seperti diketahui, banyak patung Buddha yang ada di Borobudur. Sedangkan gedung atau bangunan yang tinggi itu adalah Candi Prambanan.

Keempat, Sulaiman berbicara dengan burung-burung dan hewan-hewan. (QS An-Naml [27]: 20-22). Reliefnya juga ada. Bahkan, sejumlah frame relief Borobudur bermotifkan bunga dan burung. Terdapat pula sejumlah relief hewan lain, seperti gajah, kuda, babi, anjing, monyet, dan lainnya.

Kelima, kisah Ratu Saba dan rakyatnya yang menyembah matahari dan bersujud kepada sesama manusia. (QS An-Naml [27]: 22). Menurut Fahmi Basya, Saba artinya berkumpul atau tempat berkumpul. Ungkapan burung Hud-hud tentang Saba, karena burung tidak mengetahui nama daerah itu. "Jangankan burung, manusia saja ketika berada di atas pesawat, tidak akan tahu nama sebuah kota atau negeri," katanya menjelaskan. Ditambahkan Fahmi Basya, tempat berkumpulnya manusia itu adalah di Candi Ratu Boko yang terletak sekitar 36 kilometer dari Borobudur. Jarak ini juga memungkinkan burung menempuh perjalanan dalam sekali terbang.

Keenam, Saba ada di Indonesia, yakni Wonosobo. Dalam Alquran, wilayah Saba ditumbuhi pohon yang sangat banyak. (QS Saba [34]: 15). Dalam kamus bahasa Jawi Kuno, yang disusun oleh Dr Maharsi, kata 'Wana' bermakna hutan. Jadi, menurut Fahmi, wana saba atau Wonosobo adalah hutan Saba.

Ketujuh, buah 'maja' yang pahit. Ketika banjir besar (Sail al-Arim) menimpa wilayah Saba, pepohonan yang ada di sekitarnya menjadi pahit sebagai azab Allah kepada orang-orang yang mendustakan ayat-ayat-Nya. "Tetapi, mereka berpaling maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar[1236] dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr." (QS Saba [34]: 16).

Kedelapan, nama Sulaiman menunjukkan sebagai nama orang Jawa. Awalan kata 'su'merupakan nama-nama Jawa. Dan, Sulaiman adalah satu-satunya nabi dan rasul yang 25 orang, yang namanya berawalan 'Su'. Kesembilan, Sulaiman berkirim surat kepada Ratu Saba melalui burung Hud-hud. "Pergilah kamu dengan membawa suratku ini." (QS An-Naml [27]: 2. Menurut Fahmi, surat itu ditulis di atas pelat emas sebagai bentuk kekayaan Nabi Sulaiman. Ditambahkannya, surat itu ditemukan di sebuah kolam di Candi Ratu Boko.

Kesepuluh, bangunan yang tinggal sedikit (Sidrin qalil). Lihat surah Saba [34] 16). Bangunan yang tinggal sedikit itu adalah wilayah Candi Ratu Boko. Dan di sana terdapat sejumlah stupa yang tinggal sedikit. "Ini membuktikan bahwa Istana Ratu Boko adalah istana Ratu Saba yang dipindahkan atas perintah Sulaiman," kata Fahmi menegaskan.

Selain bukti-bukti di atas, kata Fahmi, masih banyak lagi bukti lainnya yang menunjukkan bahwa kisah Ratu Saba dan Sulaiman terjadi di Indonesia. Seperti terjadinya angin Muson yang bertiup dari Asia dan Australia (QS Saba [34]: 12), kisah istana yang hilang atau dipindahkan, dialog Ratu Bilqis dengan para pembesarnya ketika menerima surat Sulaiman (QS An-Naml [27]: 32), nama Kabupaten Sleman, Kecamatan Salaman, Desa Salam, dan lainnya. Dengan bukti-bukti di atas, Fahmi Basya meyakini bahwa Borobudur merupakan peninggalan Sulaiman. Bagaimana dengan kalian? Hanya Allah yang mengetahuinya. Wallahu A'lam.

Sumber: http://blackfiles.mywapblog.com/borobudur-peninggalan-nabi-sulaiman.xhtml

Selasa, 13 Desember 2011

Mbah Wahab Menanti Ajal

Menjelang Muktamar NU ke-25, 1971, kiyai Wahab Hasbullah mengalami naza' setelah sakit keras beberapa lama. Beliau menyuruh Kiyai Sholeh Abdul Hamid, keponakan beliau, untuk mengumpulkan santri dan membacakan Yasin.

"Jangan berhenti baca Yasin sampai aku mengucapkan Syahadat", pesan Mbah Wahab. Semua yang hadir tak kuasa menahan air mata.

Bacaan Yasin laksana dengung kumpulan lebah segera memenuhi ruangan, sampai akhirnya Mbah Wahab memberi tanda. Bacaan terhenti. Ruangan senyap seketika.

"Asyhadu allaa ilaaha illallaah... wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullaah..."

Lalu senyap lagi. Tak ada suara. Ketegangan mencekam.

Tiba-tiba Mbah Wahab tersenyum sumringah,

"Nggak jadi!" kata beliau, "aku sudah ngomong-ngomong sama Malaikat Izro'il, nanti saja setelah Muktamar! Kalian semua bubar!"

Beberapa hari setelah Muktamar, Mbah Wahab Hasbullah wafat.

Lahul Faatihah.

Sabtu, 10 Desember 2011

Imam As Syairoziy dan Karyanya Kitab Muhadzab

Nama
 Abu Ishaq Ibrohim bin Ali bin Yusuf Al Fairuzzabadi Asy-Syairozi
 Nama Laqob
 Jamaluddin dan Asy-Syeikh


 Kelahiran

 Imam As Syairoziy lahir pada tahun 393 H/ 1003 M di sebuah desa kecil di Iran, tepatnya di Fairuzzabad Kota Jur sekitar 115 Km kearah selatan Syiroz, dari nama kota inilah nisbat As Syairoziy berasal. Sejak kecil beliau telah bergelut dengan dunia keilmuan, Guru pertamanya adalah Syeikh Abu Abdillah bin Umar As Syairozi sebagaimana yang telah disebutkan beliau dalam kitab Thobaqohnya.


 Rihlah Ilmiah

 Pada usia 17 tahun (470 H) beliau memulai rihlah ilmiahnya, di awali dengan rihlah ke Syiroz untuk memperdalam ilmu fiqih kemudian berlanjut ke Bashrah. Dari Bashrah melanjutkan rihlah ke Baghdad (415 H) untuk belajar ilmu Ushul Fiqh dan Hadits, di kota Bagdad ini pula beliau lama bermukim sehingga sempat mengajar di sebuah masjid dan di bangunkan sebuah Universitas “Nidzomiyyah” dengan beliau sebagai Rektornya oleh seorang menteri Dinasti Abbasiyah di kota Bagdad. Universitas ini selesai di bangun pada tahun 459 H.

 Atas permintaan Amirul Mukminin Al Muqtadee Bi Amrillah beliau lalu pergi ke Naisabur untuk menemui seorang pejabat. Ceritanya, Abu Al Fatah bin Abi Laits, pejabat yang dimaksud telah menciptakan situasi yang tidak komdusif, lantas Amirul Mukminin memanggil As Syairozi untuk diajak mendiskusikan masalah tersebut, akhirnya beliau menemui Abu Al Fatah bin Abi Laits menyelesaikan masalah itu. Dan beliau juga mengembangkan misi lain, yaitu merayu Sultan Maliksyah agar bersedia menikahkan putrinya dengan Amirul Mukminin.

 Di kota Naisabur ini beliau disambut oleh seluruh penduduk, laki-laki, perempuan, tua, muda, semua ingin ber-tabaruk kepada beliau, sampai-sampai bekas pijakan beliau ditanah, diambil oleh orang-orang untuk dijadikan obat. Yang lebih menajubkan, penyambutan ini dipimpin langsung oleh Imam Haramain yang notabennya adalah guru besar Universitas Nidzomiyah cabang Naisabur, perlu diingat Imam Haromain adalah guru Hujatul Islam Al Ghozali. Pada pertemuan ini kedua maestro sempat berdebat tentang masalah khilafiyah, perdebatan ini dimenangkan oleh As Syirozi karena didukung oleh argument yang kuat dan bahwa As Syairozi telah hafal benar masalah-masalah khilafiyah seperti halnya kita hafal Al Fatihah. Di akhir perdebatan, Imam Haromain mengadakan jumpa pers dan mengatakan “ Engkau- wahai Imam As Syirozi- tidak mengalahkanku kecuali sebab kesalehanmu” mendengar komentar itu Imam As Syairozi menimpali “ aku telah pergi ke Khurasan, dan setiap daerah yang kulalui, para Mufti, Qodli dan Khotibnya semuanya adalah muridku”.

 Setelah segala urusan selesai, beliau kembali ke Baghdad mengajar di Universitas Nidzomiyah sampai beliau wafat pada hari Ahad, tanggal 21 Jumadal Akhir 476 H. Beliau disholati di gerbang Firdaus Istana Kholifah langsung oleh Amirul Mukminin Al Muqtadee Bi Amrillah. Sepeniggalan beliau Universitas Nidzomiyah dipegang oleh Ibnu Shobaqh setelah dipimpin As Syairozi selama 17 tahun.

 Ulama-ulama mutaakhir sependapat, bahwa Imam As Syairozi adalah seorang zahid, menjauhi dunia menuju akhirat, beliau hanya memakai imamah kecil, baju dari kain katun yang kasar, bahkan kefakiran beliau sampai pada batas dimana beliau kesulitan mendapatkan makanan dan minuman. Sebab ini pula beliau tidak pernah menunaikan ibadah haji.

 Guru-guru
 Abu ‘Abdillah bin Umar As Syairozi dari Syiroz (bidang fiqih)
 Ali Abi Abdillah Al Baidlowi wafat 424 H (bidang fiqih)
 Abi Ahmad Abdul Wahab bin Muhammad bin Roomin Al Baghdadi wafat 430 H
 Al Qhodli Abil Faraj Al Faamy As Syairozi (Imam Madzhab Dawud Adz Dzohiri)
 Ali Khotibussyiroz
 Al Qhodli Abi Abdillah Al Jalabi (Fiqih, Munadhoroh Jadal, Lughot)
 Al Faqih Al Khursiy wafat 415 H (Fiqih)
 Syaikh Abi Hatim Mahmud bin Al Hasan At Thobari “Al Kuzwaini” wafat 440 H (Ushul)
 Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Gholib Al Khawarizmi “ Al Barqoni” wafat 425 H (Hadits)
 Abi Ali bin Syadzan
 Abul faraj al khorjusiy
 Al Qodli Al Imam Abu Thoyib Thohir bin Abdillah bin Thohir At Thobari wafat 450 H.

 Murid-murid
 Fakhrul Islam Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Husain bin Umar Asy Syasyi wafat 507 H
 Abu ‘Ali Al-Hasan bin Ibrohim bin Aly bin Barhun Al-Faroqi wafat 528 H
 Abu Hasan Muhammad bin Hasan bin Aly bin Umar Al-Wasithy wafat 498 H
 Abu Sa’d Isma’il bin Ahmad bin Abu Abdul An Naisabury wafat 532 H
 Abu Fadlol Muhammad bin Qinan bin Hamid Al-Ambary wafat 503 H
 Dan masih banyak lagi yang lainnya. Semuanya menjadi pembesar dalam keilmuan.

 Mu’allafat
 Al-Muhazzab – Menjelaskan madzhab Imam Safi’i
 Kitab At-Tanbih – mejelaskan tentang Fiqih
 Kitab An-Nukat – menjelaskan tentang perbedaan pendapat As-Syafi’I dan Abu Hanifah
 Al-Luma’ – menjelaskan tentang Usul Fiqih
 At-Tabshiroh – menjelaskan tentang Usul Fiqih
 Kitab Thobaqotul Fuqoha’ – menjelaskan tentang biografi ulama’
 Kitab Syarh Lumma’ – penjelasan kitab Al-Luma’
 Kitab At-Talkhis – tentang Usul Fiqih
 Kitab Ma’munah Fi Al-Jadal
 Kitab Nushi Ahli Ilmi
 Kitab ‘Aqidatussalaf
 Kitab Mukhlis – menjelaskan tentang Hadist
 Kitab Talkhish ‘Illalil Fiqih
 Kitab Al-Isyaroh Ila Madzhabi Ahlil Haq
 Kitabul Qiyas
 Tentang Kitab Al-Muhadzzab

 Gambaran Umum

 Dalam khazanah fiqih Syafi’I kitab Al-Muhadzzab merupakan salah satu diantara sekian banyak kitab-kitab Safi’iyyah yang menjadi induk setelah kitab yang ditulis oleh para perawi Imam Syafi’i ( Imam Rabi’, Imam Muzzani, Imam Buwaithi dan Imam Harmalah).

 Kitab ini menyampaikan qaul-qaul imam Syafi’i yang diriwayatkan keempat imam murid beliau, sehingga dapat dijumpai beberapa versi qaul Syafi’i yang berbeda sesuai dengan riwayat yang disampaikan oleh keempat imam, misalnya dalam Bab Thoharoh tentang barang suci yang bisa merusak kemutlakan air dan yang tidak, Imam Buwaithi mengatakan bahwa air tersebut tidak dapat digunakan untuk berwudlu, seperti air yang tercampur minyak za’faron, sementara Imam Muzani memperbolehkan wudlu dengan air itu, karena perubahan air itu sebab berdampingan saja (tidak bercampur) beliau meng-ilhaq-kannya dengan air yang berubah sebab berdekatan dengan bangkai.

 Dalam bagian lain, juga akan dijumpai periwayatan yang bertentangan dengan kaidah-kaidah madzhab dan ushul, dalam kasus ini biasanya oleh mushonnif dijelaskan bahwa qoul ini adalah khotho’, gholath, naql sayyi’. Laisa bi syai’, atau syadz wa dloif. Perbedaan-perbadaan semacam ini bukanlah hal yang mengherankan, sebagaimana para shahabat berbeda pula dalam menyampaikan dari Rosulullah SAW.

 Sistematika Pembahasan

 Sistematika pembahasan kitab ini seperti kitab – kitab fiqh pada umumnya, ringkasnya sebagai berikut:
 Ubudiyah : Thoharaoh, Sholat, Jenazah, Zakat, Puasa, I’tikaf, Haji.
 Muamalat : Buyu’, Gadai, Shuluh, Hiwalah, Dolman, Syirkah, Wakalah, Wadli’ah, ‘Ariyah, Ghoshob, Syuf’ah, Qirodl, Musaqoh, Ijaroh, Perlombaan, Ihyaul Mawat, Luqhathah, Laqith, Wakaf, Hibah, Wasiat, Perbudakan, Mukatab, Ummul Walad, Faroidl, Nikah, Mahar, Khulu’, Tholaq, Ila’, Dzihar, Li’an, Sumpah, Iddah, Penyusuan, Nafkah.
 Jinayat : Diyat, Pemberontak, Peperangan, Hudud, Qodlo’, Persaksian, Iqrar.

 Ciri Khos
 Beberapa karakteristik kitab ini antara lain:
 Perkataan mushonnif (قال في الحرملة / قال في البويطي) maksudnya Imam Buwaithi meriwayatkan qoulnya Imam Syafii dalam Kitab Buwaithi.
 Assyairozi selalu menggabungkan dalil naqli bersama dalil aqli, gaya ini sebagai ciri khas madzhab Syafii yang terkenal dengan Madzhab yang menggabungkan metode ahlurro’yi dan ahlul hadits.

 Kelebihan
 Menyebutkan dalil naqli dan aqli sekaligus.
 Setiap selesai menulis satu fasal As Syairozi selalu menunaikan sholat sunnah mutlaq
 Setiap permasalahan yang perlu ilhaq dalam kitab ini, oleh As Syairozi di ilhaq-kan sampai seribu kali untuk mendapatkan hasil yang benar-benar benar.




Sifat Ihsan Mbah Zainal Abidin Munawwir

Menurut Kiyai Muhammad Kholil Bisri --Allah yarham, "ihsan" itu artinya "melakukan lebih dari yang diminta".

Ingin naik haji, Mbah Zainal Abidin Munawwir menabung segobang demi segobang. Berapa pun yang terkumpul setiap tahun, beliau menzakatinya, walapun belum mencapai nishob. Mbah Ali Ma'shum rahimahullah, kakak ipar dan gurunya, terkekeh-kekeh mendengar laku yang demikian itu.



"Itu feqih model apa?" beliau meledek.

Dengan mesem yang khas --saya mengenal Mbah Zainal sejak kanak-kanak, 32 tahun yang lalu, dan hingga kini belum pernah melihat beliau tertawa hingga kelihatan giginya-- yang diledek hanya bergumam,

"Yah... siapa tahu yang begini ini lebih disukai Pengeran..."

Mbah Ali Ma'shum jelas hapal tingkah adik ipar sekaligus anak muridnya itu.

"Zainal itu adikku yang paling antik!" kata Mbah Ali, setengah bergurau, "Dia itu cagaknya langit. Selama dia masih ada, nggak bakalan kiamat!"

Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa memanjangkan usia Mbah Zainal Abidin dalam kesentosaan dan kasih-sayangNya dan melanggengkan aliran barokah ilmu dan karomahnya untuk kita semua, bijaahi Sayyidinaa wa Maulaanaa Muhammad Shallallaahu 'Alaihi Wasallam wa bisirri asrooril Faatihah...

Sumber : http://www.facebook.com/TerongGosong?ref=ts

Kamis, 08 Desember 2011

Kisah Mbah Zainal dan Tukang Becak

"Ke Nggading berapa, Kang?" Mbah Zainal Abidin Munawwir, Krapyak, menawar becak.

"Monggo mawon. Terserah panjenengan, Mbah", tukang becak pasrah karena sudah kenal.

"Nggak bisa! Sampeyan harus kasih harga!"

"Yah... seribu, Mbah". Itu harga yang cukup lazim waktu itu, walaupun sedikit agak mahal.

"Lima ratus ya!"

Tukang becak nyengir,

"Masih kurang, Mbah..."

"Enam ratus!"

Tukang becak masih nyengir.

"Ya sudah... tujuh ratus!"

Tukang becak sungkan membantah lagi dan mempersilahkan Mbah Zainal naik.

Sampai tempat tujuan, Mbah Zainal mengulurkan selembar uang ribuan tapi menolak kembaliannya. Tukang becak bengong.

"Kalau tadi kita sepakat seribu, aku cuma dapat pahala wajib", kata Mbah Zainal, "kalau begini ini 'kan yang tiga ratus jadi shodaqohku".

Sumber:http://www.facebook.com/TerongGosong?ref=ts

NABI KHIDIR DAN NABI ILYAS HIDUP SAMPAI HARI KIAMAT

Di dalam kitab “Al-Asror Rabbaniyyah wal Fuyudhatur Rahmaniyyah” karya Syeikh Ahmad Shawi Al-Maliki halaman 5 diterangkan yang artinya sebagai berikut: Telah berkata guru dari guru-guru kami,
Sayyid Mushtofa Al-Bakri: Telah berkata Al-’Ala’i di dalam kitab tafsirnya bahwa sesungguhnya Nabi Khidir dan Nabi Ilyas as hidup kekal sampai hari kiamat.


Nabi Khidir as berkeliling di sekitar lautan sambil memberi petunjuk kepada orang-orang yang tersesat di lautan. Sedangkan, Nabi Ilyas berkeliling di sekitar gunung-gunung sambil memberi petunjuk kepada orang-orang yang tersesat di gunung-gunung. Inilah kebiasaan mereka di waktu siang hari.

Sedangkan di waktu malam hari mereka berkumpul di bukit Ya’juj wa Ma’luj (يأجوج و مأجوج) sambil mereka menjaganya. Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi Khidir dan Nabi Ilyas berjumpa pada tiap-tiap tahun di Mina (Saudi Arabia). Mereka saling mencukur rambutnya secara bergantian. Kemudian mereka berpisah dengan mengucapkan kalimat:
بسم الله ما شاء الله لا يسوق الخير الا الله بسم الله ما شاء الله لا يصرف السو ء الا الله بسم الله ما شاء الله ما كان من نعمة فمن الله بسم الله ما شاء الله لا حول و لا قوة الا بالله

Maka barangsiapa mengucapkan kalimat-kalimat ini pada waktu pagi dan sore hari, maka ia akan aman dari tenggelam, kebakaran, pencurian, syaitan, sultan, ular, dan kalajengking.


Dan telah dikeluarkan oleh Ibnu ‘Asakir bahwa sesungguhnya Nabi Khidir dan Nabi Ilyas itu berpuasa Ramadhan di Baitul Maqdis (Palestina) dan mereka melakukan ibadah haji pada tiap-tiap tahun. Mereka minum air zamzam dengan sekali tegukan, yang mencukupkan mereka seperti minuman dari Kabil.

Sebagian ulama menceritakan bahwa sesungguhnya Nabi Khidir itu putera Nabi Adam as yang diciptakan dari tulang iganya. Menurut segelintir kecil ulama lagi beliau putera Halqiya. Ada yang mengatakan putera Kabil bin Adam. Adapula yang mengatakan beliau itu cucunya Nabi Harun as, yaitu putera bibinya Iskandar Dzul Qarnain. Dan Perdana Menterinya benar-benar aneh mengatakan bahwa Nabi Khidir itu dari golongan malaikat. Sedangkan, menurut pendapat ulama yang paling shohih adalah bahwa Khidir itu adalah seorang Nabi. Menurut ulama jumhur beliau itu masih hidup dan beliau tidak akan pernah meninggal terkecuali pada hari kiamat apabila Al-Qur’an telah diangkat dan Dajjal telah membunuhnya. Kemudian, Allah menghidupkannya kembali. Sesungguhnya, beliau itu masa hidupnya panjang sekali. Karena, beliau meminum air kehidupan.

SYEKH MUHASIBI: BAPAK PSIKOLOGI & ETIKA SUFI

Beliau adalah Syekh Sufi dari Baghdad yang terkenal pada zamannya, yang diakui sebagai “Bapak Psikologi dan Etika Sufi” yang menyatukan ilmu syari’at dan hakikat.
 Beliau tersohor berkat teorinya tentang hakikat jiwa manusia. Julukannya, “Al-Muhasibi” mengacu pada amalan muhasaba yang dilakoninya, yakni melakukan perhitungan dan pemeriksaan atas segala tindakan, motif dan keadaan spiritual dirinya sendiri. Beliau adalah salah satu perumus teori etika Sufistik yang amat teliti. Teori jiwanya ditulis dalam kitabnya yang terkenal, Al-Riaya li-Huquq Allah wa al-Qiyam Biha.
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah al-Harits ibn Asad al-Bashri al-Muhasibi. Beliau lahir di Bashrah pada 165 H atau 781 M. Sewaktu kecil beliau pindah ke Baghdad. Beliau mendalami ilmu hadits, ilmu kalam, tafsir dan bergaul dengan ulama-ulama besar pada zaman itu. Sebagai ahli hadits beliau menyusun kitab hadits, namun tulisan beliau di bidang ini dikritik keras oleh Imam Ahmad ibn Hanbal, pendiri mazhab Hanbali. Imam Hanbal mengkritiknya karena Syekh Al-Muhasibi banyak menggunakan hadits dengan perawi yang lemah, dan karena Syekh Al-Muhasibi juga mendukung penggunaan penalaran dialektis. Parapengikut Imam Hanbal melakukan intimidasi terhadap Syekh Al-Muhasibi dan menghalangi orang menghadiri pengajiannya. Karenanya Syekh Al-Muhasibi terpaksa menyingkir sementara ke Bashrah. Belakangan salah seorang muridnya, JUNAYD AL-BAGHDADI, menulis kitab yang membela gurunya. Syekh Al-Muhasibi hidup dalam kemiskinan dan wafat di Baghdad pada tahun 243 H atau 857 M. Kitab Ri’aya li Huquq Allah sangat berpengaruh terhadap para Sufi selanjutnya. Imam ABU HAMID AL-GHAZALI bahkan secara khusus dipengaruhi oleh kitab ini sebelum memutuskan menulis kitabnya yang terkenal, Ihya Ulumuddin.
Ajaran dan Karamah
Syekh Al-Muhasibi menyebut ajarannya sebagai “ilmu tentang hati (qalb).” Syekh Al-Muhasibi mengajarkan perjuangan tak kenal lelah melawan hawa nafsu. Beliau juga menekankan pentingnya ridha. Namun beliau meletakkan ridha sebagai bagian dari ahwal (keadaan ruhani), bukan sebagai bagian dari maqam spiritual. Beliau juga banyak membicarakan soal riya’ dan bahaya-bahayanya. Saslah satu nasihat terkenal beliau adalah “Barang siapa menasihati batinnya dengan muraqabah (merasa selalu diawasi Allah) dengan ikhlas, maka Allah akan menghiasi sisi lahiriahnya dengan mujahadah (kesungguhan berjuang di jalan Allah) dan mengikuti sunnah Rasulullah SAW.”
Syekh Muhasibi menjelaskan bahwa pusat ruhani jiwa manusia adalah sirr (kesadaran terdalam), yang berbeda dengan nafs (jiwa-ego, nafsu). Menurut beliau, meski nafsu adalah bagian penting dari manusia, namun menuruti hawa nafsu akan melemahkan daya keruhanian manusia. Dengan menggunakan istilah Al-Qur’an, Syekh Muhasibi menyebut nafsu rendah ini sebagai nafs al-ammara (nafsu amarah, angkara-murka, yang menyeru pada tindakan jahat). Cara utama untuk menjinakkan nafsu ini, menurut Syekh Al-Muhasibi, adalah dengan muhasaba (menelaah keadaan jiwa secara kritis). Melalui muhasabah, nafsu jahat ini akan berubah menjadi nafs lawwamah (nafsu yang mencela-diri). Pada tahap ini seseorang menyadari bahaya dari hawa nafsunya. Tetapi nafsu jenis ini masih belum mantap dan kadang ego jahat muncul berkuasa. Pencelaan pada diri terkadang menimbulkan sikap “benci-diri” dan bahkan keinginan untuk bunuh diri. Karenanya dibutuhkan satu tahap lagi, yakni upaya melampaui ego dan hawa nafsu, agar tercapai tahap nafs al-muthmaina (jiwa yang tenang). Dalam tahap terakhir ini, jiwa akan damai sebab ia telah mengatasi ego manusia dan dikuasai sepenuhnya oleh Allah.
Sebagai Sufi dan Wali Allah, Syekh Al-Muhasibi terkenal hidup wara’. Bahkan sampai beliau wafat, beliau tak mengambil sesenpun warisan dari ayahnya. Beliau selalu mendapat perlindungan dari Allah sehingga bisa terhindar dari makanan yang haram atau subhat. Salah satu karamahnya yang paling terkenal adalah apabila beliau hendak mengambil makanan yang tidak jelas halal-haramnya, seketika itu pula jari-jemarinya mengejang dan tidak bisa digerakkan sama sekali. Jika hal ini terjadi, beliau tahu bahwa makanan itu adalah haram. Bahkan meski kemudian beliau bisa mengambil sesuap makanan itu, namun beliau tidak bisa menelannya.

NANA ASMA’U FODIYO: Sufi Wanita

Beliau adalah Sufi wanita, anggota Tarekat Qadiriyyah, yang juga terkenal sebagai penyair, ulama, guru dan aktivis perempuan.
Beliau menjadi legenda di kalangan wanita Muslim di Afrika Barat karena perjuangannya dalam memajukan pendidikan wanita, karena kegiatannya dalam persoalan-persoalan sosial dan juga kecerdasan dan kesalehannya.

Asma’u binti Utsman Dan Fodiyo lahir pada 1793, putri dari Shehu Utsman Dan Fodiyo, pemimpin gerakan Sokoto Jihad di Afrika Barat. Sebagai anggota dari klan Fulani Fodiyo, Asma’u menganut Islam Sunni dan menjadi anggota Tarekat Qadiriyyah. Ajaran tarekat inilah yang menjadi pedoman hidupnya di sepanjang hayatnya. Saat masih anak-anak, beliau tinggal bersama dua istri lain ayahnya, Aisha dan Hauwa. Mereka mengajarinya praktik suluk tarekat dan zuhud. Sejak kecil beliau telah menyadari bahwa tugas mengurusi rumah adalah bagian dari pelatihan spiritualnya. Selain mempelajari berbagai macam ilmu agama dan umum, beliau juga belajar menghafal al-Qur’an hingga menjadi hafizah. Beliau mempelajari empat bahasa (Arab, Fulfude, Hausa dan Tamchek). Belakangan beliau menjadi penyair dan cendekiawan yang terkenal hingga ke luar wilayah maghribi.

Asma’u berperan penting dalam proses transformasi tatanan sosial Hausa-Fulani setelah terjadi pergolakan yang disebabkan oleh jihad yang dilancarkan oleh ayahnya. Beliau mengorganisir guru perempuan yang dikenal sebagai jajis untuk mengajar wanita pedesaan. Sajak-sajaknya dipakai sebagai alat untuk mengajarkan prinsip Islam kepada para pengungsi dan wanita pedesaan. Salah satu puisi panjangnya memuat beragam tema seperti pentingnya al-Qur’an, Tauhid, Wali Allah wanita, tanda-tanda kiamat, jihad, cinta kepada Rasulullah SAW, dan puji-pujian kepada para Awliya. Sebagai penganut Tarekat Qadiriyyah beliau menganjurkan kepada umat agar mencari kebenaran tertinggi (hakikat), mementingkan kehidupan akhirat dan bersikap zuhud terhadap dunia. Beliau meninggal pada 1864, dan makamnya yang berada Sokoto, Nigeria, masih menjadi tempat ziarah banyak umat Muslim.

Abu Abdullah Muhammad bin ’Ali bin al-Husain al-Hakim at-Tirmidzi ra.

Abu Abdullah Muhammad bin ’Ali bin al-Husain al-Hakim at-Tirmidzi, adalah salah seorang pemikir tashawuf Islam yang kreatif dan terkemuka, diusir dari kota kelahirannya, Tirmidzi. Mengungsi ke Nishapur di mana beliau memberikan ceramah-ceramah pada tahun 285 H/898 M.
Karya-karya beliau yang bersifat psikologis sangat mempengaruhi al-Ghazali, sedang teorinya yang menghebohkan mengenai Manusia Suci diambil dan dikembangkan oleh Ibnu Arabi. Sebagai seorang penulis yang kreatif banyak di antara karya-karya beliau, termasuk sebuah sketsa. otobiografi masih dapat ditemukan dan beberapa di antaranya telah diterbitkan.
PENDIDIKAN DARI HAKIM AT-TIRMIDZI
Muhammad bin Ali at-Tirmidzi bersama dua orang pelajar lainnya bertekad akan melakukan pengembaraan untuk menuntut ilmu. Ketika mereka hendak berangkat, ibunya sangat sedih.
“Wahai buah hati ibu”, sang ibu berkata. “Aku seorang perempuan yang sudah tua dan lemah, bila ananda pergi tak ada lagi seorang pun yang ibunda punyai di atas dunia ini. Selama ini anandalah tempat ibunda bersandar. Kepada siapakah ananda menitipkan ibunda yang sebatang kara dan lemah ini?”
Kata-kata ini menggoyahkan semangat Tirmidzi, ia membatalkan niatnya, sementara kedua sahabatnya tetap berangkat mengembara mencari ilmu itu. Suatu hari Tirmidzi duduk di sebuah pemakaman meratapi nasibnya:
“Di sinilah aku! Tiada seorang pun yang perduli kepadaku yang bodoh ini! Sedang kedua sahabatku itu nanti akan kembali sebagai orang-orang terpelajar yang berpendidikan sempurna”.
Tiba-tiba muncul seorang tua dengan wajah yang berseri-seri. Ia menegur Tirmidzi :
“Nak, mengapakah engkau menangis?”
Tirmidzi menceriterakan segala keluh kesahnya itu.
“Maukah engkau menerima pelajaran dari saya setiap hari sehingga engkau dapat melampaui kedua sahabatmu itu dalam waktu yang singkat?”, orang tua itu bertanya kepada Tirmidzi.
“Aku bersedia”, jawab Tirmidzi.
“Maka”, Tirmidzi mengisahkan “setiap hari ia memberikan pelajaran kepadaku.
Setelah tiga tahun berlalu barulah aku menyadari bahwa sesungguhnya orang tua itu adalah Khidir as. dan aku memperoleh keberuntungan yang seperti itu karena telah berbakti kepada ibuku”.
ooo
Setiap hari Minggu (Abu Bakr al-Warraq mengisahkan) Khidir as. mengunjungi Tirmidzi dan kemudian mereka memperbincangkan berbagai persoalan. Pada suatu hari Tirmidzi berkata kepadaku:
“Hari ini engkau hendak kuajak pergi ke suatu tempat”.
”Terserah kepada guru”, jawabku.
Kami pun berangkat. Tatkala kami sampai di sebuah padang pasir itu aku melihat sebuah singgasana kencana di bawah naungan sebatang pohon yang rindang di pinggir sebuah telaga. Pada singgasana itu duduk seorang berpakaian indah.Syeikh menghampirinya, orang itu berdiri dan mempersilahkan syeikh duduk di atas singgasana itu. Kemudian orang-orang berdatangan dari segala penjuru dan berkumpul di tempat itu. Semuanya berjumlah empat puluh orang. Kemudian mereka memberi isyarat ke atas. Seketika itu juga tersajilah berbagai hidangan dan mereka pun makan. Syeikh mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan orang itu memberi jawaban. Tetapi bahasa yang mereka pergunakan sama sekali tidak dapat kupahami. Beberapa lama kemudian Tirmidzi memohon diri dan meninggalkan tempat itu.
“Mari kita pergi”; ajak Hakim Tirmidzi kepadaku. “Engkau telah diberkahi”.
Sebentar saja kami telah berada kembali di Tirmidzi. Aku Bertanya kepada Syeikh Tirmidzi:
“Apakah artinya semua kejadian tadi? tempat apakah itu dan siapakah orang itu?”
itulah lembah pemukiman Bani IsraiI”, jawab Tirmidzi. Dan orang tadi adalah PauI”.
”Bagaimana kita dapat pulang pergi dalam waktu sesingkat itu?”, tanyaku.
“Abu Bakr”, jawab Tirmidzi. “Jika Dia mengantarkan maka sampailah kita. Apakah gunanya kita bertanya mengapa dan bagaimana, yang perlu engkau sampai ke tujuan bukan untuk bertanya-tanya.”
Kemudian Tirmidzi bertutur: Betapa pun besar perjuanganku untuk menundukkan hawa nafsu namun aku tidak berhasil Di dalam keputusasaan aku berkata: “Mungkin Allah telah menciptakan diriku ini untuk disiksa di dalam neraka. Mengapakah diri yang terkutuk ini harus kupelihara lagi?”, Maka aku pergi ke pinggir Sungai Oxus. Kepada seseorang yang berada di situ aku minta tolong untuk mengikat kaki dan tanganku, dan setelah itu iapun pergi meninggalkanku seorang diri. Aku berguling-guling dan jatuh ke dalam air. Aku ingin mati terbenam! Tetapi ketika terbentur permukaan air, ikatan di tanganku terlepas dan sebuah gulungan ombak menghempaskan tubuhku ke pinggir. Dengan putus asa aku berseru:
“Ya Allah, Maha Besar Engkau yang menciptakan seseorang yang tak pantas diterima baik di surga maupun di neraka!” Berkat seruanku di dalam keputusasaan itu terbukalah mata hatiku dan terlihatlah olehku segala sesuatu yang harus kulakukan. Pada saat itu juga terbebaslah aku dari hawa nafsuku. Selama hayatku, aku bersyukur terhadap saat saat kebebasan itu.
Abu Bakar al-Warraq juga mengisahkan sebagai berikut ini. Pada suatu hari Tirmidzi menyerahkan buku-bukunya kepadaku untuk dibuang ke sungai Oxus. Ketika kuperiksa ternyata buku-buku itu penuh dengan seluk-beluk dan kebenaran-kebenaran mistik. Aku tak tega melaksanakan perintah Tirmidzi itu dan buku-buku tersebut kusimpan di dalam kamarku. Kemudian aku katakan kepadanya bahwa buku-buku itu telah kulemparkan ke dalam sungai. Tetapi Tirmidzi bertanya kepadaku: “Apakah yang engkau saksikan setelah itu?”
“Tidak sesuatu pun”, jawabku.
“Kalau begitu, engkau belum membuang buku-buku itu ke dalam sungai. Pergilah dan buanglah buku-buku itu”, perintah ‘Tirmidzi.
“Ada dua persoalan”, aku berkata di dalam hati. “Yang pertama, mengapa la ingin membuang buku-buku ini ke dalam sungai? Yang kedua, apakah yang akan kuselesaikan nanti setelah mencampakkan buku-buku ini ke dalam air?”
Aku terus berjalan menuju sungai Oxus dan melemparkan buku-buku itu. Tetapi seketika itu juga air sungai terbelah dan terlihatlah olehku sebuah peti yang terbuka tutupnya. buku-buku itu jatuh ke dalam peti itu, kemudian tutup peti tersebut mengatup dan air sungai bersatu kembali. Aku terheran-heran menyaksikan kejadian ini.
Ketika aku kembali, Tirmidzi bertanya; “Sudahkah engkau lemparkan buku itu?”.Aku menyahut: “Guru, demi keagungan Allah, katakanlah kepadaku apakah rahasia di balik semua ini?”
Tirmidzi menjelaskan: “Aku telah menulis buku-buku mengenai ilmu sufi dengan keterangan-keterangan yang sulit untuk dipahami oleh manusia-manusia biasa.
Saudaraku Khidir as. meminta buku-buku itu. Peti yang engkau lihat tadi telah dibawakan oleh seekor ikan atas permintaan Khidir, sedang Allah Yang Maha Besar memerintahkan kepada air untuk mengantarkan peti itu kepadanya”.
ANEKDOT—ANEKDOT MENGENAI TIRMIDZI
Pada waktu itu ada seorang pertapa besar yang selalu mengecam Tirmidzi. Padahal di atas dunia ini, kecuali sebuah pondok, tidak sesuatu pun yang dimiliki Tirmidzi. Ketika Tirmidzi pulang dari Hijaz, ternyata seekor induk anjing telah masuk ke dalam pondoknya yang tak berdaun pintu itu dan melahirkan anaknya di situ. Tirmidzi tidak mau mengusir anjing itu. Delapan puluh kali ia pulang pergi ke pondoknya, dan berharap agar si anjing telah pergi meninggalkan pondok itu membawa anak-anaknya.
Pada malam harinya si pertapa bermimpi bertemu dengan Nabi. Di dalam mimpi itu Nabi berkata kepadanya:
“Engkau menentang seorang manusia yang telah delapan puluh kali memberikan pertolongan kepada seekor anjing. jika engkau menginginkan kebahagiaan yang abadi, kencangkanlah ikat pinggangmu dan berbaktilah kepadanya”.Si pertapa, yang sebelumnya enggan membalas salam Tirmidzi sejak saat itu hingga matinya mengabdi kepadanya.
ooo
“Apabila guru marah kepada kalian, apakah kalian tahu?”, seseorang bertanya kepada keluarga Tirmidzi.“Ya, kami tahu”, mereka menjawab, “Setiap kali ia marah kepada kami maka ia bersikap lebih ramah daripada biasanya.
Kemudian ia tidak mau makan dan minum. Ia menangis dan bermohon kepada Allah: “Ya Allah, apakah perbuatanku yang menimbulkan murka-Mu sehingga engkau membuat keluargaku sendiri menentangku? Ya Allah, aku mohon ampun-Mu! Tunjukkanlah mereka jalan yang benar!’ Apabila ia bersifat seperti demikian, tahulah kami bahwa ia sedang marah. Dan segeralah kami bertaubat agar ia terlepas dari dukacitanya itu”.
ooo
Telah berapa lama Tirmidzi tidak pernah bertemu dengan Khidir. Pada suatu hari seorang pembantu yang masih gadis mencuci pakaian bayi dan kotoran-kotoran bayi itu dimasukkannya ke dalam sebuah baskom. Sementara itu Syeikh Tirmidzi dengan mengenakan jubah dan sorban yang bersih berjalan ke masjid. Karena suatu hal yang sepele, tiba-tiba si gadis mengamuk dan isi baskom itu tertumpah ke atas kepala Tirmidzi. Tirmidzi tak berkata apa-apa dan menelan amarahnya. Tidak berapa lama kemudian bertemulah ia dengan Khidir.
ooo
Ketika Tirmidzi masih remaja, ada seorang wanita jelita minta dilamar olehnya, tetapi Tirmidzi menolaknya. Pada suatu hari, setelah mengetahui bahwa Tirmidzi sedang berada di dalam taman, si wanita segera berdandan dan pergi pula ke sana. Tetapi begitu melihat kedatangannya, Syeikh Tirmidzi segera mengambil langkah seribu. Si wanita mengejar dan berteriak-teriak bahwa Tirmidzi telah mencoba hendak membunuhnya. Tirmidzi tidak perduli, di panjatnya sebuah pagar yang tinggi dan melompat ke seberang.
Pada suatu hari di masa tuanya, ketika sedang mengkaji perbuatan-perbuatan yang telah dilakukannya dan apa-apa yang telah diucapkannya, teringatlah ia kepada kejadian itu. Terpikirlah oleh Tirmidzi: “Apakah salahnya jika dahulu aku penuhi kebutuhan wanita itu? Bukankah pada waktu itu aku masih remaja dan oleh karena itu masih sempat bertaubat?”. Ketika menyadari pikiran yang seperti ini Tirmidzi sangat menyesal.
“Wahai diriku yang keji dan pelawan!”, ia berkata, “Empat puluh tahun yang lalu ketika engkau masih remaja dengan semangat yang bergejolak, engkau tidak pernah berpikir seperti ini. Tetapi di masa tuamu ini, setelah sedemikian banyak perjuangan yang engkau menangkan, mengapakah engkau menyesal karena tidak jadi melakukan sebuah dosa?”
Tirmidzi sangat sedih. Tiga hari lamanya ia menyesali pikiran itu. Setelah itu di dalam mimpi ia bertemu dengan Nabi yang berkata kepadanya:
“Muhammad, janganlah engkau bersedih hati. Yang telah terjadi itu bukanlah karena kesalahanmu. Hal itu karena engkau pikirkan empat puluh tahun berlalu sejak kematianku. Waktuku untuk meninggalkan dunia ini telah tertunda sedemikian lamanya, dan aku semakin jauh. Hal itu terjadi bukanlah karena dosamu, dan bukan karena engkau kurang memperoleh kemajuan spiritual. Yang engkau alami itu adalah karena waktuku untuk meninggalkan dunia ini tertunda, bukan karena keaiban di dalam dirimu.
ooo
Kisah berikut ini diduga berasal dari Tirmidzi.
Setelah Adam dan Hawa berkumpul kembali dan taubat mereka diterima Allah, pada suatu hari Adam meninggalkan Hawa seorang diri karena sesuatu keperluan. Maka datanglah Iblis beserta anaknya yang bernama Khannas kepada Hawa.
“Aku harus pergi untuk melakukan sesuatu hal yang penting”, si Iblis berkata kepada Hawa. “Tolonglah jaga anakku hingga aku kembali nanti”.
Hawa menerima anak itu dan si Iblis pun pergi.
“Dia adalah anak Iblis yang dititipkannya kepadaku”, jawab Hawa.
“Mengapa engkau sudi menolongnya?}”, Adam mencela Hawa.
Dengan sangat marah anak Iblis itu dibunuhnya, dicincangnya, dan setiap cincangan itu digantungkannya pada dahan. Setelah itu pergilah Adam. Tidak lama kemudian Iblis datang.
“Di manakah anakku?”, ia bertanya kepada Hawa.
Hawa menerangkan segala sesuatu yang telah terjadi:
“Adam mencincang-cincang tubuh anakmu dan setiap potongan tubuh anakmu itu digantungkannya pada dahan pohon”.
Si Iblis menyerukan nama anaknya. Potongan-potcongan tubuh anaknya berkumpul dan iapun hidup kembali, kemudian berlari menyambut ayahnya.
“Jagalah dia”, si Iblis bermohon kepada Hawa, “karena ada urusan lain yang harus kulakukan”.
Mula-mula Hawa menolak tetapi si lblis bermohon sedemikian gigihnya sehingga akhimya ia pun menyerah. Setelah itu pergilah si Iblis meninggalkan tempat itu. Ketika Adam pulang terlihatlah olehnya anak Iblis itu.
”Apakah artinya semua ini?”, tanya Adam.
Hawa mengisahkan yang telah terjadi. Adam memukuli Hawa habis-habisan.
“Aku tak tahu apakah rahasia di balik semua ini”, Adam menghardik, “sehingga engkau tidak mematuhi aku tetapi mematuhi seteru Allah dan terperdaya oleh bujukannya”.
Anak itu dibunuhnya dan mayatnya dibakarnya, kemudian sebagian abunya dibuangnya ke dalam air, sedang sebagiannya lagi dibuangnya ke udara dan diterbangkan angin. Setelah itu Adam pergi. Si Iblis datang pula menanyakan anaknya. Hawa menceritakan apa yang telah dilakukan Adam terhadap anaknya. Si Iblis berteriak memanggil anaknya, abu-abu mayat anaknya yang dibakar tadi berkumpul, kemudian si anak hidup kembali dan bersimpuh di depan ayahnya.
Sekali Iagi Iblis memohon pertolongan tetapi ditolak oleh Hawa.
”Pastilah aku dibunuh Adam nanti”, jawabnya.
Iblis membujuk dengan berbagai sumpah sehingga akhirnya Hawa sekali lagi menyerah. Si Iblis pun pergi. Adam kembali dan didapatinya Hawa bersama anak itu Iagi.
“Allah-lah yang mengetahui apa yang bakal ‘terjadi sekarang ini”; Adam menghardik penuh amarah. “Engkau menuruti kata-katanya dan tak memperdulikan kata-kataku”.
Khannas disembelihnya dan dimasaknya. Separuh dari tubuh Khannas dimakannya sendiri dan separuhnya lagi diberikannya kepada Hawa. (Orang-orang mengatakan sesudah tindakan Adam yang terakhir ini Iblis masih dapat menghidupkan dan membawa Khannas dalam rupa seekor domba). Kemudian si IbIis datang pula menanyakan ‘anaknya dan Hawa menceritakan apa yang telah terjadi:
“Anakmu dimasak Adam. Separuh tubuhnya aku makan dan separuhnya iagi dimakan oleh Adam”.
“IniIah yang selama ini kuinginkan”, si Iblis berseru girang.
“Aku ingin menyusup ke dalam tubuh Adam. Kini, setelah dadanya menjadi tempat kediamanku, tercapailah sudah keinginanku itu”.[]
BIBLIOGRAFI
L. Massignon, Essai, haIaman 256-264.
G. Brockelmann, op.cit., Suppl I, halaman 325-327.
As-Sulami, op.cit., halaman 217-220.
Abu Nu’ai.m, op.cit., X, 233 -235.
Al-Qushairi, op.cit., halaman 26.
Hujwiri, op.cit., halaman 141-142,.210-241.
Adz-Dzahabi, 0p.cit., II, 20.
As-Subki, op.cit., II, 20.
Jami, op.cit., halaman 118-119.
CATATAN MENGENAI ANEKDOT-ANEKDOT
“Pendidikan Hakim at-Tirmidzi”: T.A., II, 91-93. Mengenai kunjungan-kunjungan Khidir setiap Minggu lihat karya Hujwiri, halaman 141. Tentang at-Tirmidzi yang membuang buku-bukunya ke sungai Oxus dikisahkan di dalam karya Hujwiri di atas, halaman 142. Mengenai Abu Bakr al-Warraq Iihat karya Hujwiri, halaman 142-143; dan karya as-Sulami, halaman 221 beserta bibliografinya.
”Anekdot-anekdot Mengenai Diri Tirmidzi”: T.A., II, 93-96. Legenda Adam dan Hawa dikisahkan pula di daIam Ilahi-nama, haIaman 102-104 (didalam karya terjemahannya, halaman 172-175).
Sumber Tulisan:
Diketik Ulang dari buku “Warisan Para Aulia” karya Fariduddin Al-Attar,Penerbit Pustaka, Bandung, 2000.

Pendiri Tarekat Burhaniyyah/Dasukiyyah

Wali Allah yang masyhur pada zamannya, tokoh tarekat yang berpengaruh besar sampai sekarang
— beliau adalah pendiri Tarekat Dasukiyyah atau Burhaniyyah, dengan ciri pengikutnya biasa memakai surban berwarna hijau.
Syekh Ibrahim Dasuki lahir di Mesir sekitar tahun 623 H di desa Dasuk, sebuah wilayah yang cukup ramai. Ibunda dari Syekh Ibrahim Dasuki adalah Fathiman binti Abdullah ibn Abd al-Jabar, yang merupakan saudara kandu ng Wali Allah terkenal, Sulthan al-Awliya Syekh Abu Hasan as-Syadzili. Selain itu Syekh Ibrahim Dasuki juga memiliki silsilah satu nasab dengan Wali Qutub Syekh Ahmad Badawi dari Tanta.
Syekh Ibrahim Dasuki pertama mempelajari bahasa Arab dan agama sejak kecil. Sejak usia muda beliau sudah hafal al-Qur’an, menguasai tafsir Qur’an dan hadits serta fiqh mazhab Syafi’i. Menurut satu riwayat beliau bahkan sudah mulai berkhalwat sejak usia sekitar 5 tahun. Beliau sejak muda sudah menjadi pengikut Tarekat Syadziliyyah. Sejak usia lima tahun itulah beliau hampir tiada lelah melakukan khalwat. Bahkan pada usia remaja beliau sudah dikunjungi oleh banyak orang dan sebagian besar dari mereka menjadi muridnya. Beliau baru muncul secara penuh di depan publik setelah ayahnya meninggal. Saat itu usia Syekh Dasuki baru 23 tahun. Beliau keluar dari khalwatnya atas desakan murid-muridnya, agar beliau berkonsentrasi mengajar mereka. Karena itu di dekat tempat khalwatnya didirikan zawiyah (pesantren tarekat), di mana dia mengajarkan tarekat yang kelak dikenal sebagai Tarekat Dasukiyyah atau Burhaniyyah.
Setelah Sultan Dzahir mendengar kapasitas keilmuan Syekh Ibrahim Dasuki serta mengetahui murid-muridnya sangat banyak, maka beliau diundang oleh sultan untuk menjadi Syekh Islam di negeri itu. Beliau menerima kedudukan ini, namun gajinya dibagi-bagikan kepada para fakir miskin. Hingga akhir hayatnya, Syekh Dasuki mencurahkan semua waktunya untuk tasawuf, ibadah dan meditasi zikir.
Karya-karyanya
Syekh Dasuki di samping menguasai bahasa arab juga menguasai bahasa asing lain seperti bahasa Suryaniyah dan Ibriyah. Karenanya beliau menulis sejumlah buku dan risalah dalam bahasa Suryaniyah. Syekh Dasuki meninggalkan banyak kitab dalam bidang fiqih, tauhid, dan tafsir, dan bebrapa qasidah. Karyanya yang paling terkenal adalah Kitab Al-Jawahir atau Al-Haqaiq. Beliau wafat kurang lebih tahun 676 H dalam umur 43 di kota Dasuk, dan dimakamkan di zawiyahnya, persisnya di kamar tempat beliau selalu beribadah di dalamnya. Beliau dikenal sebagai Wali yang memiliki karamah besar. Salah satu karamahnya yang terkenal adalah ketika beliau meramalkan kemenangan Sultan Asyraf Khalin ibn Qalawun dalam peperangan melawan tentara salib – dan ramalan itu terbukti tepat.

Syekh Sa’di Asy-Syirazi

Barangsiapa mengikuti jalan itu (pencarian kebenaran), ia akan kehilangan topi (kebanggaan) dan kepalanya (rasionalitas). (Nizhami, Treasury of Mysteries)

Gulistan (Kebun Mawar) dan Bustan (Kebun Buah) karya Sa’di asy-Syirazi merupakan dua karya klasik Sufisme yang mengandung ajaran moral dan etika serta banyak dibaca orang di India, Persia, Pakistan, Afghanistan dan Asia Tengah. Pada masa hidupnya, Sa’di adalah seorang Darwis yang senantiasa berkelana. Ia pernah ditangkap bala tentara Perang Salib dan disuruh menggali parit sedemikian dalam. Ia juga mengunjungi pusat-pusat pengajaran di Timur dan menulis puisi serta prosa yang bernilai sangat tinggi. Ia pernah belajar di perguruan tinggi Baghdad yang didirikan Nizham, Menteri Pengadilan Syah, sahabat Omar Khayyam. Ia mempunyai ikatan dengan para Sufi dari Tarekat Naqsyabandiyah, mempunyai hubungan dekat dengan Syekh Syahabuddin Suhrawardi, pendiri Tarekat Suhrawardiyah serta Najmuddin Kubra, Sang “Pilar Masa”, salah seorang Sufi terbesar sepanjang masa.
Pengaruh Sa’di terhadap kesusastraan Eropa diakui sangat besar. Tulisan-tulisannya merupakan salah satu acuan dasar bagi Gesta Romanorum, buku induk berbagai legenda dan alegori di Barat. Para sarjana (Barat) telah mencatat pengaruh-pengaruh Sa’di dalam kesusastraan, seperti dalam sastra jerman. Penterjemahan karya-karyanya pertama kali ditemukan di Barat pada abad ketujuh belas. Akan tetapi, seperti kebanyakan karya Sufi lainnya, maksud yang terkandung dalam karya Sa’di hampir tidak dipahami sama sekali oleh para pengkaji sastra. Ini terbukti dalam sebuah ulasan tipikal dari seorang komentator masa kini. Ulasannya memang bukan pendapatnya tentang Sa’di, namun merupakan indikasi pikiran di penanya: “Sangat diragukan apakah Sa’di benar-benar seorang Sufi. Sebab menurutnya pendidikan mengucilkan mistik.”
Sebenarnya, dongeng-dongeng berisi nasehat, syair, analogi penuh makna yang ditulis Sa’di mempunyai multifungsi. Pada tatanan masyarakat, semua tulisan Sa’di merupakan suatu kontribusi yang besar terhadap pemantapan etika. Namun di antara para pengulas sastra Barat, hanya Profesor Codrington yang memahaminya lebih dalam:
“Alegori dalam Gulistan memang khusus (digunakan) para Sufi. Mereka tidak mungkin menyampaikan ajaran rahasia kepada orang-orang yang tidak terbiasa menerima atau menafsirkannya secara tepat, sehingga mereka mengembangkan suatu terminologi khusus untuk menguraikan rahasia-rahasia tersebut bagi para calon murid. Bilamana tiada kata-kata yang tepat untuk menyampaikan gagasan-gagasan tersebut, maka ungkapan-ungkapan khusus atau alegori digunakan.”
Bukan hanya orang-orang Barat yang menganggap bahwa pengetahuan batiniah (esoteris) dapat dipahami seperti menyantap hidangan di atas piring. Sa’di sendiri telah menjelaskan hal ini dalam salah satu ceritanya.
Ketika ia mengadakan perjalanan dengan beberapa temannya yang saleh ke Hijaz Arabia, seorang anak laki-laki dekat Oasis Bani Hilal mulai menyanyi dengan cara khusus sehingga unta milik seorang pencibir mistisisme menari, kemudian melarikan diri ke padang pasir. “Aku berujar,” kata Syekh Sa’di, “baiklah Tuan, Anda tetap saja diam, padahal lagu itu telah mempengaruhi seekor binatang sekalipun.”[1]
Ajaran Sa’di tentang pelatihan diri tidak hanya mengacu pada kepatuhan biasa untuk menjalankan apa yang diajarkan guru. Dalam ajaran Sufi tentu ada suatu bentuk pelatihan din. Bentuk pelatihan ini sebenarnya merupakan tahap lebih awal daripada kemampuan untuk memahami nasehat-nasehat seorang guru. “Bila engkau tidak mau memarahi dirimu sendiri,” kata Sa’di, “maka engkau tidak akan mau menerima nasehat dari orang lain.”
Demikian pula tentang ketekunan dalam menjalankan hidup bertapa secara berlebih-lebihan. Pertama kali seorang calon murid harus dijelaskan tentang fungsi kehidupan mengasingkan diri yang sebenarnya. “Lebih baik tinggal bersama teman-teman daripada hidup di sebuah kebun dengan orang-orang asing,” tandas Sa’di. Kebutuhan mengasingkan diri dari dunia hanya berlaku dalam keadaan-keadaan tertentu. Para pertapa, yang tidak lebih dari para penggantang asap (orang-orang terobsesi), memberikan kesan bahwa padang pasir atau gunung-gunung adalah tempat-tempat yang harus digunakan para Sufi dalam menghabiskan seluruh hidupnya. Mereka sebenarnya tidak bisa melihat seutas benang dalam hamparan karpet.
Arti penting dan tempat dalam latihan-latihan Sufi juga merupakan masalah yang disorot Sa’di. Para intelektual biasa tidak mungkin akan percaya bahwa kualitas dan keberdayagunaan pemikiran beragam sesuai dengan tuntutan keadaan. Mereka merencanakan suatu pertemuan pada waktu dan tempat tertentu, memulai suatu perbincangan akademis dan selalu melakukan ini dalam keadaan apa pun. Mereka tidak dapat memahami pengertian Sufi bahwa hanya dalam “kesempatan” tertentu pikiran manusia dapat membebaskan diri dari mesin yang mengikatnya.
Prinsip ini, yang dikenal dalam hikmah kehidupan sehari-hari bahwa “segala sesuatu mempunyai waktu dan tempatnya sendiri”, ditekankan dalam Gulistan dengan suatu cara yang tipikal. Hikayat ketiga puluh enam yang mengungkapkan perilaku-perilaku para darwis kelihatannya hanya merupakan pelaksanaan aturan moral dan tata krama (etika). Namun bila diuraikan dalam atmosfir Sufi, maka hal itu menunjukkan dimensi-dimensi yang baru.
Seorang darwis memasuki rumah seorang dermawan dan melihat orang-orang terpelajar hadir di sana. Mereka saling bersenda-gurau di tengah suasana yang membicarakan hasil kerja intelektual mereka itu. Seseorang meminta darwis itu untuk ikut serta dalam perbincangan. “Hanya satu bait dari seseorang yang kurang intelek ini, bagi Anda,” kata si darwis. Mereka memintanya dengan hormat untuk diungkapkan.
Seperti seorang bujang di depan pintu kamar mandi perempuan, “Aku menghadap meja (makan), karena sudah begitu lapar.”
Bait ini tidak hanya mempunyai maksud bahwa sudah saatnya untuk makan, bukan berbicara; bait ini juga mengandung maksud bahwa perbincangan intelektual hanya sebagai latar untuk menuju pemahaman yang sebenarnya.
Kemudian, kisah berlanjut, si tuan pada saat itu segera memerintahkan (pelayannya) untuk menghidangkan semacam bakso. “Bagi orangyang lapar,” kata si darwis, “roti saja sudah cukup.”
Gulistan kerapkali menyinggung dalam bentuk puisi dan kisah, orang-orang yang tidak sabar mempelajari Sufisme tanpa menyadari bahwa mereka tidak dapat mempelajarinya dengan jiwa yang kosong. Dalam sebuah ungkapan Sufi yang terkenal, Sa’di bertanya, “Mungkinkah orang tidur membangunkan orang yang tidur?” Bilamana mungkin benar bahwa tindakan manusia seharusnya sesuai dengan kata-katanya, maka tentu saja benar bahwa pengamat sendiri pasti dapat menilai tindakan-tindakan tersebut. Namun kebanyakan orang tidak demikian. “Sebuah konferensi orang bijak adalah seperti bazar (pasar murah) para penjual pakaian. Engkau tidak bisa mengambil barang jualan apa pun di tempat itu, kecuali kalau engkau membayar uang. Tentu saja, engkau hanya bisa membawa barang jualan jika mempunyai kemampuan membeli.”2
Pokok bahasan lain yang ditekankan para Sufi adalah kemandirian calon murid dalam upaya mengembangkan diri dan minatnya. Suatu keseimbangan harus dicapai antara kepentingan diri dan masyarakat. Hubungan antara para Sufi dan Persaudaraan Suci (Ikhwanush-Shafa) yang hampir tidak diperhatikan para pengamat, dibahas dalam beberapa bagian tulisan Sa’di. Persaudaraan Suci adalah sekelompok cendekiawan yang mempersiapkan resensi-resensi ilmu pengetahuan yang telah dicapai dan mempublikasikannya secara anonim untuk kepentingan pendidikan serta tak seorang pun yang berkeinginan untuk meningkatkan reputasi dirinya. Lantaran mereka adalah kelompok rahasia, maka mereka kurang dikenal, karena “ketulusan” itu berhubungan dengan Sufi; maka orang banyak bertanya kepada para guru Sufi tentang mereka. Sa’di memberikan penjelasan tentang persaudaraan rahasia ini dalam kisah keempat puluh tiga:
Seorang bijak ditanya tentang Persaudaraan Suci. Ia menjawab, “Bahkan sangat sedikit di antara mereka yang menghormati kehendak-kehendak para sahabatnya di atas kepentingan dirinya sandiri.” Ia menyatakan, “Seorang yang asyik dengan dirinya sendiri bukanlah saudara ataupun sanak keluarganya.”
Kedudukan Gulistan yang menawan sebagai sebuah kitab tentang peningkatan moral yang sepenuhnya ditujukan kepada kalangan muda terpelajar telah mempunyai pengaruh dalam membangun suatu dasar ajaran Sufi yang potensial dalam pikiran para pembacanya. Karya Sa’di dibaca dan digemari, karena berisi pemikiran dan puisi-puisi yang bersifat menghibur. Beberapa tahun kemudian, ketika ia mulai bergabung dengan salah satu madzhab Sufi, dimensi batiniah dari hikayat-hikayatnya dapat diajarkan kepada para murid. Ia telah mempunyai jasa dalam membangun dasar (pengajaran). Bahan (pelajaran) persiapan ini hampir tidak dikenal dalam kebudayaan lain.
Rahasia-rahasia yang disampaikan sebelum waktunya pun ada beberapa ajaran Sufi yang sebenarnya dapat disampaikan tanpa mengetahui dulu semua ajarannya — akan lebih banyak menimbulkan kesalahpahaman. Hanya saja bila murid telah mempunyai dasar, maka ia bisa menyalahgunakan kemampuan (kekuasaan) menuntun dari para Sufi. Sa’di menjelaskan hal ini dalam sebuah kisah yang sebenarnya merupakan penjelasan sedikit lebih panjang daripada peribahasa larva:
Seseorang mempunyai anak perempuan yang jelek. Ia telah menikahkannya dengan seorang laki-laki buta karena tidak ada orang lagi yang menyukainya. Seorang tabib menawarkan diri untuk mengobati mata orang buta tersebut. Namun si bapak tidak mengijinkannya, karena khawatir ia akan menceraikan anak perempuannya. Sa’di menyimpulkan, “Suami dari seorang perempuan yang jelek adalah orang buta terbaik.”
Kemurahan hati dan kebebasan adalah dua faktor penting yang, bila diterapkan dengan penuh semangat dan benar, dapat mempersiapkan calon murid untuk memasuki dunia Sufi. Bila ada yang menyatakan, “Engkau sama sekali tidak bisa memperoleh kebebasan,” maka sebenarnya ada lebih banyak peluang untuk memperoleh kebebasan itu. Cara memberi (menyampaikan), sesuatu yang diberikan (disampaikan), pengaruh pemberian (penyampaian) terhadap individu, kesemuanya adalah faktor-faktor yang menentukan kemajuan Sufi. Ada suatu kaitan erat antara konsep ketekunan dan keberanian dengan konsep kebebasan. Dalam sistem pendidikan biasa, dimana pemahaman mendalam tentang mekanisme kemajuan tidak utuh, para murid akan mengarah pada persaingan. Murid biasa berpikir bahwa ia tidak dapat memperoleh sesuatu tanpa perjuangan dan ia didorong untuk selalu berpikir begitu.
Sa’di juga menjelaskan masalah ini dalam salah satu aforismenya yang lebih sederhana. Ia menyatakan, “Seorang bijak ditanya, manakah yang lebih baik, berani atau bebas. Ia menjawab, ‘Orang yang bebas belum tentu berani’.” Sikap ini merupakan aspek terpenting dalam latihan Sufi. Perlu juga dicatat bahwa bentuk pengajaran tertulis membuka kemungkinan yang lebih luas bagi Sa’di untuk menjelaskan (melalui lisan orang bijak itu) bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dengan cara tertentu — juga/atau — tidak harus dijawab menurut pola pertanyaannya.
Dalam bab tentang keuntungan sikap qana’ah (mencukupkan diri), Sa’di mengisyaratkan ajaran-ajaran Sufi dalam beberapa kisah yang tampaknya ditujukan kepada para darwis yang tidak melakukan tindakan tepat. Sekelompok darwis yang sangat kelaparan, ingin memperoleh makanan dari seorang penjahat yang terkenal keserakahannya. Sa’di sendiri menasehati mereka dalam sebuah puisi terkenal:
Sang singa tidak akan memakan sisa-sisa anjing
Sekalipun ia harus mati kelaparan di sarangnya.
Biarlah tubuhmu menderita kelaparan
Janganlah merendah karena mengharap bantuan.
Cara dan fungsi kisah ini menunjukkan kepada Sufi bahwa Sa’di sedang memberi peringatan kepada darwis yang mengikuti keyakinan (paham) apa pun yang mengikat di luar dirinya sendiri, sementara ia berada dalam tahap latihan pengabdian Sufistik berikutnya.
Sufi sejati mempunyai kemandirian yang nilainya tidak dapat disamakan sedikit pun dengan orang-orang yang kurang beruntung.
Sa’di menulis tema yang sangat menarik ini dalam salah satu hikayat moralnya yang menawan, dan menunjukkan letak martabat yang sejati:
Seorang raja sedang berburu bersama beberapa pembesar istana di hutan belantara. Ketika cuaca begitu dingin, ia memerintahkan para pembesar istana agar menginap di sebuah gubuk petani. Mereka menandaskan bahwa martabat raja akan turun jika memasuki tempat semacam itu. Kemudian si petani mengatakan, “Baginda raja kalian tidak akan kehilangan martabat, namun akulah yang memperoleh kehormatan karena didatangi orang yang sangat terhormat.” Petani tersebut kemudian menerima sebuah jubah kehormatan dari raja.
Catatan kaki:
1 Kutipan ini dan lainnya adalah terjemahan Aga Omar Ali Shah (MS).
2 “Banyak orang terpelajar dirusak ketidaktahuan dan mempelajari apa yang tidak bermanfaat baginya.” (Hadhrat Ahmed ibnu Mahsud, seorang Sufi).

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons