Blog ini ditujukan kepada seluruh ummat Islam yang cinta kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Para Sahabat RA, Auliya', Habaib, Ulama', dan sejarah kebudayaan Islam.

Rabu, 24 November 2010

KH.M.Mubassyir Mundzir

Kediri, suatu kawasan di wilayah Propinsi Jawa Timur,telah lama dikenal sebagai salah
satu tempat penggemblengan dan penggodogan, kawah candradimuka, pencetak
kader-kader handal dalam bidang keilmuan agama Islam. Hal ini tidak terlepas dari
banyaknya Pesantren yang tersebar di daerah ini, baik di wilayah Kota maupun
Kabupaten, di kota, dan terlebih lagi di kawasan pedesaannya. Sebutlah di antaranya
Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pesantren
Lirboyo, Pesantren Al-Falah Ploso, Pesantren Al-Ihsan Jampes dan lain sebagainya.
Pesantren-Pesantren tersebut umumnya memiliki kekhususan (dalam hal pengajaran
dan pengamalan) dalam bidang-bidang tertentu, walaupun akhirnya sama-sama
bermuara pada pendalaman Ilmu-ilmu Agama Islam.
Sementara itu, di sebelah barat alun-alun kota Kediri, setelah menyeberangi Kali Brantas,
terdapat suatu kawasan yang kental dengan nuansa Islami.Kawasan itu dikenal dengan
nama Bandarkidul. Di wilayah Bandarkidul ini,terdapat sediitnya lima Pesanrtren yang
berafiliasi pada RMI (Rabithatul Ma’ahid Al-Islamiyyah), suatu organisasi/Asosiasi
Perhimpunan Pesantren di bawah naungan NU (Nahdlatul Ulama). Salah satu diantara
lima Pesantren itu adalah Pondok Pesantren Tahfidhul Qur-an Ma’unah Sari.
Sesuai dengan nama yang disandangnya,Pesantren ini adalah merupakan suatu
Lembaga Pendidikan yang menyediakan program menghafalkan al-Qur-an (bil-Ghaib),
disamping juga tersedia program pengajian Al-Qur-an Bin-Nadhar (tidak menghafal).
Pesantren ini diharapkan mampu menelorkan alumnus-alumnus yang merupakan
generasi-generasi penghafal Al-Qur-an,yang berjiwa dan berakhlaq Qur-any.
Atau dengan kata lain, insan hafidh al-Qur-an, lafdhan wa ma’nan wa ‘amalan.
Sanad / Silsilah Alqur-an-nyapun muttashil kepada Nabi Muhammad SAW.
Dari berbagai sumber informasi yang ada, Pesantren ini didirikan pada tahun 1967
oleh KH.M.Mubassyir Mundzir, seorang ulama kharismatik dan terkenal pada masa itu.
Pada awal berdirinya, Pesantren ini lebih mengkhususkan diri pada bidang Tashawwuf,
terutama peng-’Istiqomah’-an sholat berjamaah dan wirid/dzikir. Hal ini berjalan kurang lebih
selama lima tahun. Pesantren inipun pada saat itu hanya menerima santri Putera.
Barulah, pada tahun 1973, setelah beliau menikah, Pesantren ini menerima santri puteri.
Dan mulai pada tahun itu pula, Pesantren ini mulai membuka Program Pengajian Al-qur-an
Bil-Ghoib (hafalan). Hal ini adalah karena isteri beliau,ibu Nyai Hj.Zuhriyyah adalah merupakan
seorang Hafidhah(penghafal) Al-Qur-an.Lebih dari itu, beliau juga merupakan puteri dari
Ulama terkenal, KH.Munawwir Krapyak Jogjakarta,yang selain seorang Hafidh, juga termasyhur
sebagai Perintis Pesantren Tahfidh al-Qur-an di Indonesia, seorang kampiun dalam bidang
Ilmu-Ilmu Al-Qur-an dan seorang ahli Qira-ah Sab’ah.
Seiring dengan berjalannya sang waktu, Pesantren Ma’unah Sari pun terus berkembang,
baik dari segi jumlah santri, program pengajian, dan juga lingkungan pendidikan yang
semakin representatif.Namun begitu,khusus untuk Pengajian Al-Qur-an bil-Ghaib, masih terbatas
pada kalangan Santri Puteri, dibawah asuhan Ibu Nyai Hj. Zuhriyyah Mundzir.
Pada tahun 1989,muassis (pendiri) Pesantren, KH. M. Mubasyir Mundzir wafat.
Dengan iringan tangis pilu para santri dan khalayak masyarakat yang merasa sangat
kehilangan, beliau dimakamkan di belakang masjid Pesantren Ma’unah Sari.
Sebelum wafat, karena beliau tidak dikaruniai putera, beliau telah memberikan wasiat
yang berkaitan dengan regenerasi Pengasuh Pesantren. Dan sesuai dengan wasiat beliau,
yang disaksikan oleh Ulama-ulama sepuh, tongkat estafet Pengasuh diamanatkan kepada
K. R. Abdul Hamid Abdul Qadir yang saat itu dikenal dengan sebutan Gus Hamid. Beliau adalah
putera dari KHR.Abdul Qadir Munawwir, Krapyak, kakak dari Ibu Nyai Hj.Zuhriyyah.
Dengan kata lain, K. R.Abdul Hamid adalah keponakan Ibu Nyai Hj.Zuhriyyah Mundzir.
Dan dengan demikian,tercapailah cita-cita dari Pendiri,yang menginginkan Pesantren
yang didirikannya kelak tumbuh dan berkembang menjadi tempat bagi para santri yang
ingin menghafal Al-Qur-an. Hal ini adalah karena Kyai Abdul Hamid juga merupakan
seorang penghafal Al-Qur-an (Hafidh) dan menguasai pula Qira-ah Sab’ah.
Selanjutnya,dibawah asuhan dan bimbingan Kyai Abdul Hamid bersama Ibu Nyai Hj.Zuhriyyah,
Pondok Pesantren Tahfidhul Qur-an Ma’unah Sari-pun semakin tumbuh dan berkembang.
Latar belakang dan asal para santri juga terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, dan berasal
dari berbagai pelosok Nusantara, termasuk Papua (Irian Jaya), Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, Sumatera, dan lebih-lebih dari Pulau Jawa. Mulai saat itu pula, dibuka Program
Pengajian Al-Qur-an bil-Ghaib untuk santri Putera.
Diantara para santri ini,banyak pula diantara mereka yang merupakan alumnus Pesantren-Pesantren
kenamaan,seperti Pesantren Lirboyo dan Ploso, keduanya di Kediri , Pesantren Tegalrejo Magelang,
Pesantren Langitan Tuban, dan lain sebagainya. Dengan berkumpulnya para alumnus
Pesantren-pesantren tersebut,tidaklah mengherankan apabila selain mengikuti
kegiatan-kegiatan wajib, terutama menghafal al-Qur-an, kerapkali terjadi diskusi-diskusi
ala Bahtsul Masa-il, sebagai salah satru wujud pengembangan dari Ilmu-ilmu yang mereka
peroleh di Pesantren mereka sebelumnya. Namun begitu, bagi mereka yang kebetulan
belum pernah mengenyam pendidikan Pesantren sama sekali, tidak perlu berkecil hati,
karena dari para alumnus Pesantren tadi, mereka bisa memperoleh arahan dan bimbingan,
melalaui Madrasah Al-Mundziriyyah di Pesantren ini, yang mengajarkan pelajaran dasar
yang sangat penting, sebagai bekal kelak di kemudian hari. Kalaupun masih kurang puas,
mereka bisa mengaji di Pesantren-pesantren sekitar, termasuk di Pesantren Lirboyo.
Selain itu, diantara para santri juga tidak sedikit yang merupakan jebolan Perguruan Tinggi,
sehingga mereka bisa menularkan ilmu dan pengalaman positif kepada rekan-rekan mereka
sesama santri. Hal ini dirasa penting, terutama dalam kaitannya untuk menata dan mengatur
manajemen organisasi Pesantren, agar lebih solid dan efisien.
sumber:https://zidniagus.wordpress.com/

Senin, 22 November 2010

BIOGRAFI PENGASUH DAN SEJARAH BERDIRINYA PESANTREN "FATHUL 'ULUM"


 A. Riwayat hidup Pendiri (K.H. Abdul Hanan Ma'sum)
Beliau dilahirkan pada tahun 1953M di Boto Putih Kec. Canggu , sebuah desa Agraris yang berada di sebelah utara Pare dan termasuk wilayah Kediri. Ayahnya bernama Ma'sum seorang penjual kelapa dan ibunya bernama Siti Nu'mah seorang penjual kue Onde-onde. Beliau nomor 3 dari 6 bersaudara yaitu Khozin, binti, Abdul Hanan, istiqomah, Habib dan Romli Anwar. Sejak  kecil beliau sudah nampak rajin dan tekun serta ta'at kepada orang tuanya. karena di lahirkan dan hidup dalam lingkungan yang penuh dalan kesederhanaan, sejak kecil dituntut untuk membantu orang tua dengan mengembala kambing, merumput (Angon) serta memelihara hewan piaraan lainnya antara lain ayam, Itik dalan lain-lain.
 
B. PERJALANAN MENUNTUT ILMU
seperti kebanyakan anak-anak pada masa itu, beliau juga sekolah di sekolah rakyat (SR, sekarang SD) di desa Canggu, kemudian beliau meneruskan di Madrasah Wajib Belajar (MWB) sampai tingkat MTT kurang lebih selama 8 tahun dan tamat pada tahun 1965. dengan tekat yang kuat dan penuh semangat biarpun hanya gantung kepuh (pakean nempel di badan) setelah menamatkan di SR dan MWB dalam usia kurang lebih 12 tahun, beliau mulai melangkahkan kakinya ke Pondok Raudlotul Ulum Kencong yang di asuh oleh Romo K.H. Ahmadi dan Romo K.H. Zamrozi Syairozi. di Pesantren inilah beliau banyak menimba ilmu selama kurang lebih 15 tahun selain itu beliau juga pernah mengikuti pengajian kilatan di Pesantren-pesantren lain, diantaranya PP. Lirboyo, PP Sarang, PP Futuhiyah Mranggen, PP Batukan, PP Langitan dll.
 
C. KETEKUNAN DAN KEMANDIRIAN
Dalam pandangan sesama kawan santri, Abdul Hanan muda dikenal sebagai santri yang tekun dan sangat ta'zhim (hormat kepada guru). sebagai santri beliau mempunyai jiwa sosial dan loyalitas yang tinggi, baik kepada kawan sesama santri maupun kepada Pesantren yang telah membimbing dan mendidiknya. sikap loyalitas beliau antara lain sebagai tukang sampu, penimba kolah, Pengajian Al-Qur'an dan juga merangkap sebagai bendara. setelah didasari dengan ketekunan dan keseriusan beliau di tunjuk sebagai kepala madrasah dan dewan Hakim, di samping itu beliau juga mengurusi lampu-lampu  untuk penerangan Pondok Pesantren. untuk menopang kebutuhannya dalam menimba Ilmu, setelah Biaya dari rumah non aktif (Putus), beliau menjadi buruh juru tulis Al-Fiyah. keadaan ini berlangsung kurang lebih selama 9 tahun dan disamping itu beliau melakukan ritual Riadloh antara lain: Puasa ngrowot, Puasa Mutih dan Ziarah ke Makam-makam 'Ulama dan Auliya'. bahkan beliau pernah selama 3 tahun tidak pernah meninggalkan Shalat Fardlu secara berjama'ah, dilanjutkan dengan wiridan setiap pagi bersama Romo K.H. Ahmadi.
 
D. DARI PESANTREN KE PELAMINAN
Atas dorongan Guru beliau dan persetujuan Orang Tua serta Keluarga, dalam Usia kurang lebih 27 tahun pada bulan Maulud tahun 1980M terjadi peristiwa penting yakni pernikahan beliau dengan Siti Munawwarah, dara ayu putri dari Bapak Haji Anwar asal desa Kwagean untuk dijadikan pendamping hidup dalam berjual dan menyelami samudra kehidupan.
 
E. PENDIRI DAN PENGASUH PESANTREN
Setelah melaksanakan pernikahan, untuk sementara waktu beliau tinggal di rumah mertua kurang lebih selama 2 tahun. Dari Sinilah embrio Fathul Ulum tumbuh yang bermula dari ras simpati teman-teman untuk berguru atas dara kelebihan dan keistimewaan beliau. diceritakan salah seorang santri bernama Imam Mawardi dan Abdul Karim membuat prosur (surat edaran) tanpa sepengetahuan beliau. dan berkat brosul ini para santri berdatangan sedikit demi sedikit hingga mencapai 96 santri, diisi dengan kajian kitab kuning sebanyak 40 kitab. pengajian ini berjalan kurang lebih selama 11 bulan. dengan semakin bertambahnya satri dan kurangnya sarana dan prasarana yang memadai akhirnya beliau berinisiatif untuk pindah ke Kwagean bagian Utara.
Karena sudah pisah dengan dari orang tua dan mertua tanggung jawab beliau menjadi ganda, baik terhadap sandang papan dan pangan keluarga maupun terhadap rutinitas pengajian bagi para santri. untuk bisa menopang semua kebutuhannya dan keluarga disamping tetap menjalankan rutinitas pengajian, beliau berjualan singkong koreng sampai bisa membeli ayam kampung hingga berlanjut dapat membeli ayam horen yang jumlahnya + 400 ekor. dan dengan modal itulah beliu dapat membeli sepetak tanah yang akhirnya jadilah Pondok Pessantren tercinta ini.
 
F. ANGRENG MONUMENTAL
Meskipun sudah mempunyai santri, beliau belum mempunyai tempat tinggal yang permanen. untuk sementara waktu beliau membuat gubuk yang sangat sederhana yang atapnya terbuat dari teple (ayaman dari daun kelapa). Namun 15 hari kemuadian bilau membuat angreng (sekarang ada di depan Dlalem dengan permanen). Di angreng ini beliau menetap selama kurang  lebih 3 tahun. Sedangkan gubuknya diberikan kepada santri untuk dijadikan santri.
 
G. EVOLUSI FATHUL 'ULUM
Miftahul 'Ulum demikian awal mula nama Pondok Pesantren kita, Miftahul sebagai perlambang  Pondok yang pertama kali berdiri di Kwagean, dan 'Ulum diambil untuk Tabarrukan pada PP. Roudlotul Ulum Kencong. Dikarenakan ada kesamaan nama dengan Miftahul Ulum Jombangan, akhirnya namanya diganti menjadi Fathul 'Ulum. tidak jauh berbeda dengan nama pesantren yakni nama Madrasah Diniyah Futtuhiyah, sebuah lembaga Pendidikan yang masih dalam naungan Pondok Pesantren yang sama-sama dari Fi'il Madli FATAHA, disamping Tafa'ulan dengan PP Futtuhiyah Mranggen Jawa tengah yang diasuh oleh Romo K.H. Muslih bin Abdurrahman selaku guru beliau mengikuti pengajian Ramadhan, juga cocok dengan hasil Istiqoroh beliau.
 
REFERENSI
1. Bapak K.H. Romdli Anwar adik beliau
2. Mbah Nyai Siti Nu'mah Ibu beliau
3. Tim Memori sang Patih
4. Mutiara seribu Ba'it

Habib Muhammad bin Husein Ba' abud

Nasab beliau dari pihak ayah :
Muhammad bin Husein bin Ali bin Muhammad bin Abdurrahman bin Abdullah bin Zein bin Musyayakh bin Alwi bin Abdullah bin Al Mu’allim Muhammad Ba’abud bin Abdullah yang bergelar ‘Abud bin Muhammad Maghfun bin Abdurrahman Ba-buthoinah bin Ahmad bin Alwi bin Al Faqih Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi yang dikenal dengan ‘Ammul Faqih bin Syech Muhammad Shohib Mirbath bin Syech Ali Kholi’ Qosam bin Syech Alwi bin Syech Muhammad bin Alwi bin Syech Ubaidillah bin Al Muhajir Ilallah Ahmad bin Isa bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-‘Uroidhi bin Al Imam Ja’far As-Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Husein cucu Rasullullah dan buah hatinya bin Ali bin Abi Thalib wabnu Fatimah Az-Zahroh putri Rasulullah SAW.
Adapun nasab beliau dari pihak ibu adalah :
Muhammad bin Ni’mah binti Hasyim bin Abdullah bin Aqil bin Umar bin Aqil bin Syech bin Abdurrahman bin Aqil bin Ahmad bin Yahya bin Hasan bin Ali bin Alwi bin Muhammad Mauladdawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad Al Faqihil Muqoddam bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbath dan seterusnya sampai akhir nasab yang tersebut diatas.
Sekilas tentang ayah beliau :
Al Habib Husein dilahirkan di “Bour”, Hadramaut pada tahun 1288 Hijriyah dari ayahnya Al Habib Ali, seorang yang alim dan Waliyullah yang merupakan salah seorang murid dari Al Habib Abdullah bin Husein bin Thohir dan Al Habib Abdullah bin Husein bil Faqih. Sedangkan ibunya adalah As-Syarifah Muzenah binti Sayyid Muhammad bin Abdullah bin Ja’far Alaydrus yang berasal dari daerah Tarbeh, Hadramaut.
Ketika usia Al Habib Husein 3 tahun wafatlah ayah beliau yaitu pada tahun 1291 Hijriyah di ‘Ardh Kheleh, Bour, maka ibundanyalah yang memelihara beliau, adapun ibunda beliau wafat pada tahun 1322 Hijriyah di kota Sewun yaitu yang ketika itu Al Habib Husein telah berada di Jawa.
Al Habib Husein dibesarkan di Bour dan belajar ilmu pada guru-guru disana, terutama ialah Al Habib Zein bin Alwi Ba’abud. Pada usia 20 tahun Al Habib Husein menikah dengan As-Syarifah Syifa’ binti As-Sayyid Abdullah bin Zein Ba’abud, yang mana As-Syarifah Syifa’ tersebut wafat di masa hidup Al Habib Husein. Pada tahun 1318 Hijriyah, berlayarlah Al Habib Husein ke Jawa, Indonesia dan berdiam beberapa lama di rumah keponakan beliau Muhammad bin Ahmad bin Ali Ba’abud di Surabaya.
Dan setelah wafat keponakan beliau tersebut, Al Habib Hasyim bin Abdullah bin Yahya menulis surat kepada Al Habib Husein yang ketika itu tinggal di Batu Pahat, Malaysia dimana isi surat itu meminta kepada Al Habib Husein untuk kembali ke Indonesia dan menikah dengan anak beliau yaitu janda dari keponakan Al Habib Husein sendiri As-Syarifah Ni’mah, agar supaya Al Habib Husein memelihara anak – anaknya yaitu Sidah, Abdurrahman dan Ahmad, oleh karena Al Habib Hasyim telah mengetahui kebaikan budi pekerti Al Habib Husein dan memilihnya untuk menjadi suami putrinya.
Maka datanglah Al Habib Husein ke Surabaya dan menikahinya, dan Allah SWT mengaruniai mereka berdua satu putra dan tujuh putri yaitu Muzenah, Alwiyah, Ruqoyyah, Muhammad, Nur, Maryam, Aminah, dan Aisyah. Al Habib Husein adalah seorang pedagang, beliau mempunyai sebuah toko dan mengirim barang-barang ke Sulawesi dan Kalimantan pada langganan-langganan beliau.
Cara hidup Al Habib Husein sangat sederhana, bersih, mengatur waktu sebaik-baiknya, tidur agak sore dan bangun tengah malam untuk bertahajud, di waktu pagi hari pergi ke toko sampai siang hari, beliau lazim sholat berjamaah di Masjid Ampel dan setelah sholat Maghrib beliau lazim mebaca Al-Qur’an dan Rotibul Haddad bersama anak-anaknya.
Beliau sangat memuliakan tamu yang datang padanya dan disaat lain beliau gemar membaca kitab-kitab atau menghadiri majlis pengajian Sayyidina Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya di Surabaya, begitu pula beliau banyak mendapat faedah ilmu dari mertuanya Al Habib Hasyim bin Abdullah bin Yahya yang terkenal kealimannya, begitu juga daripada mufti Jakarta masa itu Al Habib Ustman bin Abdullah bin Yahya adik dari mertua beliau apabila datang dari Jakarta ke Surabaya tinggal di rumah beliau dan mengadakan majlis ta’lim dan pengajian selama ia tinggal di Surabaya, dan banyak lagi majlis pengajian atau rouhah para ulama yang beliau hadiri seperti majlis Al ‘Allamah As-Sayyid Yahya Al Mahdali Al Yamani, Majlis Al Habib Muhammad bin Idrus Al Habsyi, Al Habib Muhammad bin Ahmad Al Muhdor, Al Habib Ahmad bin Muhsin Al Haddar yang tinggal di kota Bangil, Majlis Al Habib Alwi bin Thohir Al Haddad mufti Johor, Al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf Gresik, dan Al Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi Kwitang Jakarta yang mana ia adalah juga sahabat beliau semasa menuntut ilmu di Hadramaut, rohimahumullahu ta’ala.
Ciri-ciri Al Habib Husein diantaranya ialah beliau berparas tampan dan berkulit putih, berhidung mancung dan berbadan tinggi, bersih pada badan dan pakaiannya. Akhlak beliau murah hati, jujur, kasih sayang terutama pada fakir miskin dan anak-anak kecil, beliau rajin di dalam berumah tangga serta menjunjung tinggi ahli ilmu, dan beliau sering kali berkata pada istrinya dan juga keluarga bahwa ia memohon kepada Allah dan mengharap supaya putra beliau yaitu Al Ustadz Muhammad menjadi seorang yang mengajarkan ilmu, yang mana ALLAH SWT telah mengabulkan do’a tersebut.
Al Habib Husein banyak berjasa diantaranya seringkali menjamin pendatang-pendatang baru dari Hadramaut, terkadang memberi uang tanggungan, beliau sering memberi hutang kepada orang yang membutuhkan lalu menghalalkannya, banyak bershodaqoh, menderma untuk masjid ampel, dab beliau adalah sebagai salah satu pengurus Madrasah Al Khoiriyyah Surabaya dan Robitothul Alawiyyah, yang mana beliau bekerja secara jujur dan ikhlas.
Pada malam Jum’at tanggal 3 Muharram 1376 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 9 Agustus 1956 pukul 10.20 Al Habib Husein pulang ke rahmatullah, banyak sekali para pengantar jenazah beliau dari dalam dan luar kota lalu disembahyangkan di Masjid Jami’ Lawang yang diimami oleh sahabat beliau Qodhi Arob di masa itu yaitu Al Habib Ahmad bin Gholib Al Hamid, dan dimakamkan di pemakaman Bambangan Lawang, rohimahullahu rohmatal abror.
Adapun ibunda Al Ustadz Muhammad yaitu As-Syarifah Ni’mah dilahirkan di Surabaya pada tahun 1288 Hijriyah dari seorang ayah yaitu Al Habib Hasyim bin Abdullah bin Aqil bin Yahya, dan dari seorang ibu As-Syarifah Maryam binti Al Habib Abdurrahim bin Abdullah Al Qodiri Al Djaelani keturunan daripada As-Syech Abdil Qodir Al Djaelani.
Beliau adalah putri bungsu Al Habib Hasyim, beliau tumbuh di sebuah rumah yang penuh ilmu dan ibadah, yang mana ibunda beliau As-Syarifah Maryam mendapatkan ilmu dan ketaqwaan berkat pendidikan ayahnya Al Habib Abdurrahim yang telah membawanya ke negeri Haromain dan tinggal beberapa lama di Madinatul Munawwaroh dan perjalanannya ke sebagian jazirah arab diantaranya Negeri Baghdad, maka tumbuhlah As-Syarifah Ni’mah ini atas ketaatan dan ketaqwaan dan cinta ilmu, lebih-lebih lagi paman beliau Al Habib Utsman bin Abdullah bin Yahya yang sering datang ke Surabaya dan tinggal di rumahnya menjadikan beliau bertambah ilmu dan cahaya.
Beliau sangatlah menjaga sholatnya dan bangun akhir malam, membaca Al-Qur’an dan dzikir-dzikir serta sholawat atas Nabi SAW, dan kebanyakan duduk-duduk beliau dengan para tamunya perempuan berisikan masalah-masalah agama, nasehat-nasehat atau membaca kitab-kitab, syair-syair dan hikayat-hikayat yang bermanfaat. Beliau sangatlah menjaga diri, bersih, murah hati dan membantu suaminya di dalam menerima tamu, bahkan setiap hari beliau membuat makanan-makanan untuk persiapan jika datang tamu, lalu jika tidak ada tamu yang datang beliau mengirimkan makanan tersebut ke Masjid yang dekat dengan rumahnya sebagai sedekah untuk anaknya yang telah meninggal dunia dan para kerabat beliau, khususnya kedua orang tua beliau.
As-Syarifah Ni’mah pulang ke rahmatullah pada pagi hari Jum’at pukul 06.40 pada tanggal 5 Jumadil Ula tahun 1358 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 23 Juni 1939 Masehi, dan dimakamkan di pemakaman Pegirian Surabaya di belakang makam ayahanda beliau Al Habib Hasyim bin Abdullah bin Yahya, rohimahumullahu jami’an amin.
Demikianlah sedikit tentang kedua orang tua Al Ustadz Muhammad bin Husein Ba’abud
Adapun beliau Al Ustadz Muhammad dilahirkan di Surabaya daerah Ampel Masjid di sebuah rumah keluarga yang dekat dengan Masjid Ampel sekitar 20 meter, pada malam Rabu tanggal 9 Dzulhijjah tahun 1327 Hijriyyah. Menurut cerita ayahanda beliau bahwa ibunda beliau saat melahirkan beliau mengalami kesukaran hingga pingsan, maka ayahanda beliau bergegas mendatangi rumah Al Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya yang memberikan air kepada ayahanda beliau untuk diminumkan pada ibunda beliau, maka setelah diminumkannya air tersebut, dengan kekuasaan Allah ibunda beliau melahirkan dengan selamat. Dan Al Habib Abu Bakar bin Yahya berpesan untuk dilaksanakan sunnah aqiqoh dengan dua ekor kambing tanpa mengundang seseorang pada waktu walimah kecuali sanak keluarga ibunda beliau saja, maka terlaksanalah walimah tersebut dengan dihadiri oleh Al Habib Abu Bakar bin Yahya, dan beliau pula lah yang memberi nama dengan nama “Muhammad” disertai dengan pembacaan do’a – do’a dan fatihaah dari beliau.
Al Ustadz Muhammad mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya dari masa kecilnya, lebih – lebih ayahanda beliau sedikit memanjakan beliau dikarenakan beliau adalah putra satu – satunya dan juga disebabkan firasat baik ibunda beliau terhadap beliau. Lalu pada saat umur beliau 7 tahun adalah masa beliau berkhitan, yang mana ayahanda beliau mengadakan walimah yang besar, dan setelah itu ayahanda beliau memasukkan beliau di madrasah Al Mu’allim Abdullah Al Maskati Al Qodir, hal ini sesuai isyaroh dari Al habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya, akan tetapi beliau tidak mendapat banyak dari Al Mu’allim Al Maskati tersebut dan tidaklah lama masa belajar beliau disitu, kemudian ayahanda beliau memasukkannya di madrasah Al Khoiriyyah. Dan dikarenakan pada masa itu susunan pelajaran di dalam madrasah tidaklah seperti yang diharapkan, disebabkan oleh tidak adanya kemampuan yang cukup bagi para pengajarnya, maka beliau merasa tidak mendapatkan pelajaran kecuali hanya sedikit, akan tetapi setelah beliau berada di kelas 4 terbukalah hati beliau untuk ilmu, terutama setelah datangnya para tenaga pengajar dari Tarim Hadramaut, seperti guru beliau Al Habib Abdul Qodir bin Ahmad bil Faqih dan Al Habib Hasan bin Abdullah Alkaf, ditambah dengan adanya guru-guru yang mempunyai kemampuan yang cukup seperti Al Habib Abdurrohman binahsan bin Syahab dan terutama oleh karena perhatian dari Al Arif billah Sayyidinal Habib Muhammad bin Ahmad Al Muhdor, yang mana Al Ustadz Muhammad merasakan berkat pandangan serta do’a-do’a beliau di dalam majlis-majlis rouhahnya, dimana Al Ustadz Muhammad sangatlah rajin menghadirinya, dan telah membaca beberapa kitab di hadapan beliau, juga bernasyid “Rosyafat” gubahan Al Habib Abdurrohman bin Abdullah bil Faqih dihadapan beliau bersama As Sayyid Ali bin Abu Bakar bin Umar bin Yahya. Al Habib Muhammad Al Muhdor sangat menyayangi beliau dan sering kali mendo’akan beliau, maka ketika itulah beliau merasa mendapatkan futuh dan manfaat juga barokah daripada belajar ilmu. Berlangsunglah masa belajar beliau di kelas 6 sampai hampir 6 tahun, dan di tengah-tengah masa belajar itu beliau sering menggantikan tempat para guru-guru di dalam mengajar bilamana mereka berudzur untuk datang mengajar.
Dan daripada nasib baik bagi beliau yaitu pada akhir tahun ajaran tepatnya pada bulan Sya’ban tahun 1343 Hijriyyah ketika para pelajar yang lulus menerima ijazah kelulusan yang dibagikan langsung oleh Al Habib Muhammad bin Ahmad Al Muhdor, beliau menerima ijazah dengan peringkat ke-satu dari seluruh pelajar yang lulus waktu itu, bersamaan dengan itu Al Habib Muhammad Al Muhdor menghadiahkan kepada beliau sebuah jam kantong yang bermerk “Sima”. Lalu Al Habib Muhammad Al Muhdor mengusap-usap kepala dan dada beliau sambil mendo’akan beliau ketika Al Habib Aqil bin Ahmad bin Aqil pengurus madrasah waktu itu memberitahukan bahwa Al Ustadz Muhammad tahun itu akan diangkat menjadi guru di Al Madrosatul Khoiriyyah. Setelah beliau menjadi guru di Madrosatul Khoiriyyah, disamping mencurahkan tenaga di dalam memberikan pelajaran pagi dan sore di madrasah beliau juga banyak sekali memberikan ceramah-ceramah di banyak tempat serta menterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia ceramah-ceramah para mubaligh Islam yang datang dari luar negeri seperti Ad Da’i As Syech Abdul Alim As Shiddiqi dari India dan yang selainnnya. Rohimahumullahu ta’ala.
Dan inilah diantara guru – guru beliau :
Di dalam tasawwuf dan tarikh ialah ayahanda beliau Al Habib Husein bin Ali Ba’abud, di dalam membaca dan menulis bahasa Arab As Syech Ali bin Ahmad Ba-bubay, di dalam Al Qur’anul karim As Syech Abdullah bin Muhammad Ba Mazru’, dalam bahasa Arab, Khot, Insya’, dan Hisab As Sayyid Abdurrohman binahsan bin Syahab, di dalam fiqih, tafsir, tasawwuf, nahwu, dan ilmu balaghoh Al Habib Abdul Qodir bin Ahmad bil Faqih, di dalam fiqih dan tajwid Al Habib Hasan bin Abdullah Alkaf, di dalam nahwu dan hisab As Sayyid Ja’far bin Zein Aidid.
Selain guru-guru ini masih banyak lagi dari golongan para wali dan alim ulama yang beliau sering membaca kitab-kitab di hadapan mereka, dan kebanyakannya adalah kitab-kitab hadits, tasawwuf, dan kitab-kitab karangan para salaf Alawiyyin. Diantara para ulama tersebut adalah :
Al Habib Muhammad bin Ahmad Al Muhdor dari Bondowoso, Al Habib Ali bin Abdurrohman Al Habsyi Kwitang Jakarta, Al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf Gresik, Al Habib Al Alamah Alwi bin Thohir Al Haddad Johor, Al Habib Thohir bin Ali Al Jufri, Al Habib Ahmad bin Tholibul Athos Pekalongan, Al Habib Abdurrohman bin Zein Ba’abud, dan Al Habib Zein bin Muhammad Ba’abud, rodhiallahuanhum.
Pada tahun 1348 Hijriyyah, tepatnya pada hari Kamis sore tanggal 22 bulan Robi’ust Tsani ayahanda beliau menikahkan beliau dengan As Syarifah Aisyah binti As Sayyid Husein bin Muhammad bil Faqih, walimatul aqad berlangsung di rumah ayahanda beliau, dan yang menjadi wali adalah saudara kandung As Syarifah Aisyah yaitu As Sayyid Syech bin Husein bil Faqih yang telah mewakilkan aqad kepada Qodhi Arob di Surabaya masa itu yaitu Al Habib Ahmad bin Hasan bin Smith. Sedangkan walimatul urs pada malam Jum’at 22 Robi’ust Tsani di rumah istri beliau di Nyamplungan gang 4 Surabaya. Allah SWT telah mengaruniai beliau pada pernikahan ini enam putra dan delapan putri, mereka adalah :
Syifa’, Muznah, Ali, Khodijah, Sidah, Hasyim, Fatimah, Abdullah, Abdurrohman, Alwi, Maryam, Alwiyyah, Nur, dan Ibrahim.
Pada bulan Jum’adil Akhir tahun 1359 Hijriyyah bertepatan pada bulan Juli 1940 masehi, dengan kehendak ALLAH SWT beliau sekeluarga pindah dari Surabaya ke kota Lawang, dan dikota inilah beliau mendirikan madrasah dan pondok pesantren “Darun Nasyiien”, yang pembukaan resminya jatuh pada awal bulan Rojab 1359 Hijriyyah, bertepatan dengan 5 Agustus 1940 Masehi. Yang mana pondok tersebut mendapat perhatian oleh banyak orang dari Jawa dan luar Jawa, serta memberi hasil dan barokah, alhamdullillah.
Mula-mula tempat untuk madrasah adalah di jalan Talun timur pasar Lawang, yang sekarang berubah namanya menjadi jalan Pandowo, dan setelah beberapa bulan berpindah pula ayahanda beliau dari Surabaya ke Lawang dan tinggal bersama-sama beliau, yang mana menambahkan barokah bagi rumah dan pondok beliau. Dan pada waktu penjajahan Jepang sampai awal masa kemerdekaan berpindah-pindahlah beliau dari satu tempat ke tempat yang lain di daerah sekitar kota Lawang, seperti Karangsono, Simping, dan Bambangan yang ketika itu terjadi serangan penjajah Belanda atas kota Malang. Walhamdulillah pada masa-masa berubah-ubah pemerintahan, pelajaran tidak terputus kecuali pada waktu penjajahan Jepang sekitar 17 hari karena penjajah Jepang pada waktu itu memerintahkan untuk menutup madrasah-madrasah ketika mereka menduduki suatu daerah, lalu ketika kembalinya penjajahan Belanda yang kedua terpaksa beliau menutup madrasah demi keamanan selama 3 bulan saja. Dan semenjak 1 April 1951 beliau sekeluarga pindah ke jalan Pandowo yang beliau diami sampai akhir hayat beliau, yang tepat dibelakangnya terdapat pondok pesantren dengan bangunan yang cukup baik untuk para pelajar yang tinggal, dengan kamar-kamar dan musholla bernama “Baitur Rohmah”, serta kelas-kelas, dan yang telah mengurusi pembangunan serta mengarsiktekturinya adalah putra beliau Al Ustadz Ali bin Muhammad Ba’abud.
Banyak sekali para pengunjung daripada ulama dan orang-orang sholeh ke rumah serta ke pondok beliau, diantara mereka adalah Al Habib Ali bin Abdurrohman Al Habsyi Jakarta, Al Habib Zein bin Abdullah bin Muhsin Al Athos Bogor dan saudaranya Al Habib Husein, Al Habib Sholeh bin Muhsin Al Hamid Tanggul, Al Habib Alwi bin Ali Al Habsyi Solo, Al Habib Alwi bin Abdullah Al Habsyi Barabai Kalimantan, Al Habib Husein bin Abdullah Al Hamid Tuban, Al Habib Abdul Qodir bin Ahmad bil Faqih Malang, Al Habib Abdullah Umar Alaydrus Surabaya, Al Habib Ali bin Husein Al Athos, Al Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, Al Habib Abdul Qodir bin Ahmad Assegaf Jeddah, Al Habib Salim bin Abdullah As Syathiri Tarim, As Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al Maliki Makkah, dan banyak lagi selain mereka yang hal itu semua adalah membuahkan keberkahan Insya ALLAH Ta’ala.
Dan setelah ayahanda beliau wafat, ALLAH SWT mengilhami beliau untuk mengadakan rouhah atau majlis ta’lim pada tiap hari Kamis sore yang ditutup dengan bacaan tahlil atas arwah ayah bunda beliau untuk memperingati mereka berdua serta dengan tujuan memberi manfaat kepada para santri beliau dan selain mereka daripada para pecinta ilmu dari dalam dan luar kota, maka ketika As Sayyid Al Arif billah Al Habib Muhammad bin Umar Alaydrus Surabaya mendengar tentang hal itu beliau sangat gembira seraya mendo’akan untuk Ustadz Muhammad dan majlisnya. Maka dengan rahmat Allah SWT rouhah tersebut telah berlangsung selama 36 tahun di masa hidup beliau dan telah memberi kesan yang sangat baik.
Pengajian rouhah tersebut adalah rouhah yang berbarokah dengan dalil sebagian mimpi-mimpi dari sebagian keluarga dan selain mereka, yaitu bahwa rouhah dan sebagian majlis-majlis yang lain dihadiri oleh An Nabi SAW dan arwah para salafus sholeh, dimana terdapat tanda-tanda yang menunjukkan tentang hal itu, walhamdulillah.
Pada hari Rabu pagi jam 10:20 tanggal 18 Dzulhijjah tahun 1413 Hijriyyah bertepatan dengan tanggal 9 Juni 1993 beliau pulang ke rahmatullah SWT, ayahanda dan guru kami tercinta Al Ustadz Muhammad bin Husein Ba’abud. Almarhum disembahyangkan di pondok pesantren beliau pada keesokan harinya yaitu hari Kamis dan diantar jenazahnya oleh banyak orang ke pemakaman Bambangan Lawang dan dimakamkan beliau disamping makam ayahanda beliau.

Inilah yang diwasiatkan oleh hamba yang faqir kepada rahmat ALLAH SWT Muhammad bin Husein Ba’abud sesuai dengan yang diwasiatkan oleh Al Habib Abdullah bin Husein bin Thohir kepada istri-istrinya dan dzuriyatnya laki-laki dan perempuan selama turun temurun, wasiat ini teruntuk mereka dan untuk siapa saja yang mendengarnya, yaitu :

1. Hendaknya mereka menjalankan sunnah-sunnah nya atau perilaku atau perjalan penghulu daripada utusan ALLAH SWT, yaitu Sayyiduna Muhammad SAW, dan juga supaya mengikuti sunnah dan perjalanan para kholifah yang mendapat petunjuk “khulafaur rosyidin”, kesemuanya ini sesuai dengan firman ALLAH SWT dan juga berdasar sabda Rasulullah saw.
Barangsiapa tidak mampu menjalankan semuanya itu maka setidak-tidaknya janganlah keluar atau menyimpang daripada jalan ataupun petunjuk para salafus sholeh yaitu para leluhur kita yang sholeh serta terbukti kewaliannya. Dan barangsiapa belum mendapat jua taufik hidayat untuk itu semua maka paling tidak hendaknya ia meneladani kepada saya, yaitu meneladani di dalam hal ibadahku juga kholwatku, dan di dalam menjauhkan diri dari kebanyakan orang bersamaan dengan perlakuanku yang baik terhadap anak kecil dan orang besar laki-laki dan perempuan jauh maupun dekat tanpa harus sering berkumpul atau banyak bergaul, dan tanpa harus saling tidak peduli ataupun saling benci-membenci.

2.
Hendaknya sangatlah berhati-hati di dalam bermusuhan dan berselisih ataupun berkelahi dengan siapa saja, di dalam apa saja dan bagaimanapun juga.
Bagi yang telah mengalami saya diantara kalian maka janganlah tidak meneladani kepada jalanku yaitu di dalam hal-hal yang sifatnya terpuji, janganlah lebih sedikit dari itu.
3. Dan aku wasiatkan kepada mereka semua untuk selalu memohonkan kasih sayang rahmat ALLAH atas diriku serta memohonkan ampun dengan membacakan istighfar untukku sesuai dengan kesanggupannya masing-masing pada setiap waktu dan lebih-lebih di dalam hari-hari As-Syuro dan hari-hari di bulan Rojab dan di bulan Romadhon serta bulan Haji dan pada bulan dimana pada bulan dimana ALLAH SWT mentakdirkan akan wafatku, dan barangsiapa diluaskan oleh ALLAH atasnya dan dimudahkan atasnya untuk bershodaqoh maka hendaknya bershodaqoh untukku dengan apa-apa yang ringan atasnya sedikit atau pun banyak khususnya di dalam waktu-waktu yang lima ini. Dan aku mengizinkan bagi siapa saja yang hendak berhaji atau umroh atas diriku, dikerjakan oleh dirinya sendiri ataupun mengupahkan kepada orang lain sesungguhnya perbuatan itu dilipat gandakan oleh ALLAH SWT 10 kali lipat, ALLAH jua lah yang dapat menolong seseorang untuk berbuat kebajikan, semoga ALLAH SWT memberikan pertolongannya bagi diri kita sekalian untuk berbuat baik.
4. Kemudian aku juga berpesan kepada kalian untuk mempererat tali silaturahmi yaitu ikatan kekeluargaan, karena sesungguhnya silaturahmi itu sangat memberi pengaruh terhadap keberkahan harta dan rezeki dan salah satu penyebab dipanjangkannya umur, silaturahmi itu menunjukkan keluhuran budi pekerti dan tanda-tanda seseorang mendapat kebaikan di hari kemudian. Maka hati-hatilah kalian daripada memutuskan tali persaudaraan, karena sesungguhnya perbuatan itu sangatlah keji juga siksanya sangatlah pedih, seseorang yang memutus silaturrahim itu terkutuk berdasarkan dalil Al Qur’an, orang yang memutus adalah pertanda orang yang lemah iman, orang yang memutus tidak akan mencium bau surga, orang yang memutus maka kesialannya menular kepada tetangga-tetangganya, maka sambunglah tali persaudaraan kalian wahai saudara-saudaraku karena sesungguhnya tali rahim itu bergantung pada salah satu tiangnya singgasana ALLAH yang Maha Pengasih.
5. Dan saya berpesan pula kepada diri saya dan kepada orang-orang yang tersebut tadi agar supaya banyak beristikhoroh dan musyawarah di dalam segala urusan dan hendaknya selalu mengambil jalan yang hati-hati, walaupun pada hakekatnya berhati-hati itu tidak dapat meloloskan seseorang daripada ketentuan ALLAH dan takdir-NYA, akan tetapi menjalankan sebab-sebab tidaklah boleh ditinggalkan, justru oleh sebab itulah wasiat atau pesan-pesan dan nasehat-nasehat itu diperlukan dan dianjurkan, oleh karena hal itu semua adalah salah satu segi dari sebab-sebab di dalam mengajak orang kepada ALLAH dan mengajak untuk menuju kebahagiaan serta keselamatan di dunia dan akhirat.
Semoga ALLAH SWT mencurahkan kasih sayangnya terhadap orang-orang yang suka bernasehat dan membalas mereka dengan kebaikan yang banyak, dan semoga ALLAH Ta’ala memberikan taufik kepada kita untuk mengamalkan segala apa yang mereka katakan.
Hubungan sanad beliau dengan para masyayech :
Sanad beliau bersambung dengan para masyayech melalui ayah beliau Al Habib Husein daripada ibunya As Syarifah Muznah Al Aydrus dan dari Al Habib Zein bin Alwi Ba’abud daripada kakek beliau Al Habib Ali bin Muhammad Ba’abud daripada ayah-ayahnya, dan dari Al Habib Abdullah bin Husein bin Thohir shohibul masileh daripada Al Habib Umar dan Al Habib Alwi, daripada ayah keduanya Al Habib Ahmad, daripada ayahnya Al Habib Hasan, daripada ayahnya Al Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad, daripada ayah-ayahnya, dan sanad para leluhur itu asal dimana para alawiyyin menerima, sebagaimana mereka juga menerima dari selain alawiyyin.
Sedangkan Al Habib Abdullah bin Husein bin Thohir daripada Al Habib Aqil bin Umar bin Yahya di Makkatal mukaromah ( kakek Al Ustadz Muhammad yang ketiga dari ibunda beliau ) , dan dari As Syech Al Imam Mansyur bin Yusuf Al Badiri di Madinatul munawaroh yang menerima dari Al Habib Al Imam Musyayach bin Alwi Ba’abud ( kakek Al Ustadz Muhammad yang keenam dari ayah beliau ).
Dan kakek beliau Al Habib Ali bin Muhammad Ba’abud menerima juga dari Al Habib Abdullah bin Husein bil Faqih, dan para masyayech ini juga masyayech dari Al Habib Abdullah bin Husein bin Thohir. Sedangkan melalui guru beliau Al Habib Abdul Qodir bin Ahmad bil Faqih sanad beliau juga bersambung dengan yang telah tersebut diatas, oleh karena guru beliau adalah Al Habib Abu Bakar bin Muhammad bil Faqih yang menerima dari Al Habib Abdullah bin Husein bin Thohir, dan oleh karena guru-guru beliau adalah :
Al Habib Abdullah bin Umar As Syatiri dan Al Habib Alwi bin Abdurrohman Al Masyhur dan Al Habib Seggaf bin Hasan Alaydrus, yang mana mereka telah menerima daripada Al Habib Idrus bin Umar Al Habsyi, dan beliau daripada Al Habib Abdullah bin Husein bin Thohir, sedangkan Al Habib Idrus bin Umar Al Habsyi di dalam kitabnya “’iqdul yawaqitil jauhariyah” telah menyebutkan guru-gurunya dan sanad mereka dan ijazah-ijazah mereka dengan terperinci, rodhiallahu anhum ajma’in.

Sabtu, 20 November 2010

Alhabib Ali bin Muchsin Albaar

Sayyid Ali bin Sayyid Muksin Albaar adalah putera pertama dari sepasang suami – isteri yang sederhana, menikah pada tanggal 5 Juli 1945 Miladiyah atau bertepatan dengan tanggal 27 Rajab 1365 Hijriyah. Ayah beliau bernama Sayyid Muksin bin Al- Habib Ahmad bin Muksin Albaar, dan Ibundanya benama Syarifah Zena binti Al- Habib Muhammad Bin Musthafa Bin Syech Abubakar.

Beliau lahir pada hari Selasa tanggal 22 Juli 1946 M, bertepatan dengan tanggal 23 Sya’ban 1366 H. di Sanana sebuah Kota Kecamatan (sekarang Kabupaten) Kep.Sula. Tepatnya di Kampung Fagudu. Kehidupan serba kekurangan pada saat itu melanda seluruh wilayah Republik Indonesia yang baru merdeka kurang dari setahun. Pada tahun 1953 Sayyid Muksin membawa seluruh keluarga pindah ke Ternate – ibu kota Kabupaten Maluku Utara ketika itu (sekarang Provinsi).

Kedua orang tua Alhabib Ali masing-masing diasuh dalam lingkungan keluarga Muslim yang ta’at menjalankan syariat Islam. Maka sejak dini Ayahanda telah diperkenalkan kepada dasar-dasar ajaran Islam oleh kedua ayah bundanya. Alhabib Ali lebih banyak diasuh oleh sang Ibu, karena ayah beliau adalah seorang pedagang keliling pulau-pulau di Maluku Utara yang kadang memakan waktu berbulan-bulan lamanya baru kembali ke rumah. Ibundanya Syarifah Zena dengan tekun membesarkan anaka-anaknya yang semuanya berjumalah lima orang, terdiri dari dua orang putera dan tiga orang puteri.

Pada tahun 1962, ketika prospek dagang di Ternate dan sekitarnya kurang membuahkan hasil yang memadai, maka kembali ayahanda beliau memboyong seluruh keluarga hijrah kembali ke kota Sanana. Kecuali Alhabib Ali, ditinggalkan di Ternate meneruskan pendidikan sekolah dasar (ketika itu bernama S.R – Sekolah Rakyat). Pada tahun 1963 Alhabib Ali menyusul kedua orang tua dan adik-adik di Sanana, dan menyelesaikan S.L.T.P. dan S.L.T.A. di Sanana kampung kelahirannya.

Setelah lulus dari S.M.A. Sanana pada tahun 1967, pada tahun itu juga beliau meneruskan pendidikannya ke Universitas Hasanuddin Makassar jurusan Ekonomi, tetapi hanya mencapai tingkat II ( semester III). Selanjutnya meneruskan pendidikan ke Sekolah Pelayaran Makassar, selagi masih duduk di tingkat Persiapan FEKON – UNHAS (kuliah rangkap) Tahun 1968. Setelah naik ke tingkat II, Ayahanda meninggalkan fakultas ekonomi. Berkonsentrasi penuh pada Sekolah Pelayaran, dan selesai (tamat) tahun 1969.

Dari Makassar kemudian beliau merantau ke Jakarta, dan mulai mukim di Jakarta sejak Januari 1970. Memulai karier sebagai pelaut sejak Maret tahun 1970 sampai dengan Oktober 1980. Selama lebih kurang sepuluh setengah tahun sebagai Perwira (Mualim) hingga Nakhoda Kapal. Sampai di tarik menjadi karyawan darat tetap pada tahun 1981. Pada sebuah Perusahaan Pelayaran swasta terkemuka di Indonesia, yakni PT.Pelayaran Samudera Indonesia. Karier di darat mulai dari Supervisor, Manager Operasi, Branch Manager sampai jabatan Direktur telah pernah dijani hingga pada saat ini. (pensiun dari PT.Samudera Indonesia tahun 1998)

Ayahanda, Alhabib Ali menikah dengan seorang puteri Kalimantan Selatan dari kalangan keluarga serumpun. Bernama Syarifah Seihah binti Sayyid Muhammad Al-Kaff pada Oktober 1974. Ayahanda di karuniai lima orang anak, masing-masing seorang putera dan empat orang puteri. Namun puteri bungsu yang di beri nama Syarifah Shally Rizqiyatuzzahra wafat pada hari kelahirannya pada tanggal 22 Juni 2002 M , bertepatan dengan 11 Rabi’ul akhir 1423 H.


KARIER DALAM BIDANG AGAMA ISLAM.

Dimulai pada sekitar tahun 1977, secara tiba-tiba datang sebuah keinginan merubah sebuah kebiasaan memborong majalah – majalah mingguan yang terbit pada saat kapal akan berangkat sebagai bacaan selama dalam pelayaran. Diganti dengan buku-buku Agama Islam. Sejak itu Ayahanda tekun membaca buku-buku Agama (terjemahan). Mempelajari Agama Islam secara otodidak. Namun karena terobsesi dengan salah sebuah Sabda Nabi SAW, bahwa orang yang belajar Agama Islam semata-mata dari buku- kitab Agama, maka gurunya adalah setan. (Al-Hadits).

Maka sekalipun masih bertugas sebagai Nakhoda Kapal, Beliau mulai berusaha belajar Agama Islam melalui guru-guru Agama, dan memperoleh Izajah (secara non formal). Diantara guru-guru Beliau adalah : Habib Hasyim bin Husain bin Thahir di Irian Jaya. Habib Abubakar bin Abdullah Alaydrus di Ambon (Almarhum). Al- Ustadz Nurdin bin Abdullah (guru mengaji Al-Qur’an) – Sanana. Habib Abdullah bin Alwi bin Abubakar Al-Jufri - Jakarta (Almarhum). K.H. Syafei Munandar - Jakarta. Habib Muhammad bin Salim Alhabsyi – Bogor (Almarhum). Habib Musthafa bin Abdulkadir Alaydrus - Jakarta. Habib Hasan Baharun Pimpinan Ponpes Darulluqah – Bangil (Almarhum). Habib Abubakar bin Hasan Al-Attas - Martapura. Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Kaff – Kuningan Jabar.


Gemar pula berdiskusi Agama Islam dengan para ‘ulama Habaib dan ‘alim‘ulama lain yang lurus perjalanannya serta luas ‘ilmunya.

Beliau mulai berani berda’wah sejak dipercaya masyarakat lingkungan dimana beliau bertempat tinggal di RW.02 Kelurahan Pondok Bambu Kecamatan Duren Sawit – Jakarta Timur menjadi Ketua Masjid Jami’ Nurul Iman sejak tahun 1983.

Sering pula menyampaikan Khotbah Jum’at, ‘Idil Fitri, ‘Idil Adha, Kotbah Nikah dan ceramah – ceramah Agama Islam di lingkungan Masjid dan Kantor Pemerintah dan Swasta di jakarta. Kalimantan Timur, Pulau Batam, Maluku Utara. Juga di kota-kota lain yang dikunjunginya apabila diminta atau diundang pada acara-acara pengajian. Semua ini berkat dorongan para guru-guru pembimbing beliau, untuk berani berda’wah demi syiar Al Islam.

Pada tahun 1991 beliau berkesempatan menunaikan ‘ibadah Haji ke Baitul Haram dan jiarah ke Maqam Rasulullah SAW di Madinatul Munawwarah bersama ayah bunda serta istri tercintanya. Pada perjalanan ‘ibadah ini pula, ayahanda tercinta beliau Sayyid Muksin Albaar menutup usia di Makkah Al Mukarramah tepat beberapa jam setelah menyelesaikan rukun Haji (Tawwaf ‘Ifadah) usai nafar awal. Tepatnya pada tanggal 26 Juni 1991 M / 13 Zulhijjah 1412 H, pada pukul 03:00 waktu setempat dan dimakamkan dengan tenang di komplek pemakaman di Ma’la Makkah, waktu dhuhah.

Sebuah filosofi hidup yang ditinggalkan kakek saya kepada ayahanda tercinta : “Milik orang lain bukan milikmu, milikmu bukan milik orang lain. Maka hindari milik orang lain, dan pertahankan hak milikmu sendiri sekalipun kepala harus bercerai dari badan”

Buku “PERJANJIAN MANUSIA DENGAN ALLAH” adalah buku yang pertama. Tulisan lain adalah “KESUCIAN SYARIFAH DALAM GUGATAN” – MENGUAK TABIR RAHASIA KEMULIAAN PUTERI-PUTERI AHLUL BAIT NABI MUHAMMAD S.A.W. sebagai Naskah sanggahan atas Buku dengan judull “DERITA PUTRI PUTRI NABI” oleh M.Hasyim Ass.
Sumber:http://fahmi-albar.blogspot.com/2008/11/biografi-singkat-ayahanda-tercinta.html

Selasa, 16 November 2010

KH Muhammad Shiddiq (Mbah Shiddiq Jember)

A.HIDUP YANG ISTIQOMAH
Kyai Shiddiq atau lebih dikenal dengan julukan Mbah Shiddiq. adalah seorang tokoh panutan. Mungkin, tidak banyak tokoh seperti beliau, dimana semua putranya yang masih mencapai usia muda/dewasa telah menjadi kyai dalam arti yang sebenarnya. Demikian pula para menantunya

Putera-putranya yang sejak usia muda telah menjadi Kyai. antara lain: KH. Mansur, KH. Achmad Qusyairi, KH Machmud, KH. Mahfudz Shiddiq, K.H. Abdul Halim Shiddiq, KH. Abdullah bin KH. Umar, KH. Muhammad bin KH. Hasyim dan KH. Dhofir Salam. Keberhasilan tersebut tentu dipengaruhi pula oleh pola kehidupan sehari-hari dimasa hayatnya. Mungkin kita bertanya, bagaimana pola kehidupan Kyai Shiddiq sehingga Allah memberinya taqdir dengan dikaruniainya keturunan yang selanjutnya menjadi ibarat mutiara-mutiara

Ternyata, Kyai Shiddiq adalah sosok yang sangat "istiqomah", yaitu: tekun, telaten, ajeg, terus-menerus dengan tidak bosan-bosan dan mengamalkan apa saja yang dapat diamalkan. Dalam Surat Fushilat disebutkan:

"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan "Tuhan kami Allah" " keniudian beristiqamah (meneguhkan pendirian-pendirian mereka tentang iman, melakukan kewajiban dan menjahui larangan-laranganNya), maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan) "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih, dan bergembiralah kamu dengan sorga yang telah dijanjikan A lloh kepadamu, (di dunia lewat rosul- rosul-Nya). Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia (dengan mengilhamkan kebenaran dan kebaikan kepadamu), dan akhirat (dengan pemberian syafa'at dan kemudahan). dimana kamu memperoleh yang kamu inginkan (dari segala kenikmatan) dan memperoleh pula yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan yang Maha Pengampun lagi Maha Penvayang ".

Hampir setiap hari Kyai Shiddiq selalu bangun pada jam 3 malam untuk sholat sunat tahajjud, riyadhah maupun sholat� sholat sunnah lainnya. Menjelang subuh, kyai keliling pondok membangunkan santri. Beliau keliling sambil membawa tongkat penjalin, damar ublik (obor) dan teko berisi air. Dengan tongkatnya beliau ketok pintu-pintu pondok para santri.Terkadang kyai membangunkan santri dengan cara menabuh blek gembreng, sehingga bersuara gaduh dan memekakkan telin�ga. Bahkan setiap santri yang terlelap tidurya, pasti akan menjadi sasaran guyuran air ceret yang selalu dibawanya.

Sesudah adzan (santri bernama Ryas yang ditugaskan sebagai Mu'adzin), kyai sendiri selalu memimpin pujian (dzikir) sebelum sholat subuh, setelah sebelumnya kyai melaksanakan sholat Qobliyah terlebih dahulu. Setelah berzikir/pujian kemudian melakukan sholat jamaah Subuh.

Untuk pedoman atau prinsip hi dup yang mudah diingat oleh anak cucu dan santrinya, Kyai Shiddiq memerintahkan Kyai Halim (putranya) menulis bebeapa dalil di tembok mussholla. tulisan yang ada ditembok sebelah atas pengimaman yaitu hadits sbb:

"Sebaik-baik perbuatan umatku adalah membaca .41 Quran dengan menyimak?melihat".

Imam Al Ghozali menjelaskan dalam Ihya' Uluumuddin: Bahwa keutamaan orang yang membaca Al Quran dengan melihat/menyimak�seraya merenungkan maknanya� adalah lebih baik dari pada dengan cara tidak melihat/menghafal. Membaca Al Quran dengan melihat tersebut memiliki 3 manfaat yaitu: Membaca, menyimak dan merenungkan artinya. Sedangkan dalam membaca Al Quran seraya menghafal hanyalah mendapat satu manfaat yakni membaca saja.
Disisi tembok sebelah kanan atas terdapat tulisan yang dikutip dari Idtab Jauharul Tauhid:

"Semua kebaikan itu terdapat pada pengikutan �kepada�orang-o terdahulu. Dan semua keburukan itu ada pada reka-reka orang kemudian�

Imam Al Ghozali memberikan argumentasi tentang diatas yakni karena orang salaf (terdahulu) telah memiliki kelebihan dari pada orang kemudian (Kholaf). Kelebihan ada pada 3 hal:
a. lebih faham (Mam)
b. lebih hati-hati (Wara')
c. lebih tajam pandangan hatinya (Abshar)

Disisi tembok sebelah kiri atas terdapat tulisan yang dikutip dari kitab kifayatul Atqiyak:

"Kamu sungguh jangan meninggalkan sholat berjamaah yang keutamaan pahalanya setinggi 27 derajat"

Banyak sekali manfaat Sholat jamaah. Dalam kitab Dzurotun Nasihin Rasulullah bersabda: "barang siapa melakukan sholat ( lima waktu berjamaah akan memperoleh lima hal yaitu kesatu ia tidak akan mengalami kemiskinan didunia, kedua dibebaskan oleh Allah dari azab kubur, ketiga: menerima kitab catatan amalannya dengan tangan kanan, keempat; akan melalui shirot secepat kilat dan kelima akan dimasukkan surga tanpa hisab dan azab". Dalil di atas mempertegas sabda Rasul sbb:

"Tiap tiga orang yang bertempat didesa dan pegunungan lalu mereka tidak melakukan sholat jama 'ah, maka mereka akan dipermaikan syetan".

B. AURAT AMALIYAHNYA
Pada umumnya, wiridan baru akan selesai sampai surya muncul agak tinggi, baru kemudian kyai masuk ke "kamar khusus" di sebelah utara tempat imam di musholla. Di "Kamar khusus" itulah tempat Kyai Shiddiq menyepi, beribadah sholat sunnat dan lain-lain. Santri tak seorangpun yang berani masuk kamar tersebut. Karena dalam "kamar khusus" itu Kyai Shiddiq melakukan sholat Dluha dan sholat-sholat sunnah lainnya. Selesai sholat Kyai biasanya melanjutkan dengan mengaji Al-Qur'an dan membaca dalailul khairot. Selain sebagai seorang hafids, Kyai Shiddiq sangat istiqamah menghatamkan Alqur'an setiap minggu.

Secara runtut, batas-batas bacaan Al-Qur'an dalam seminggu sebagai berikut:
1. Hari Jum'at membaca Al Fatihah s. d Al-Maa idah
2. Hari Sabtu membaca Al-An' am s.d At-Taubah
3. Hari Ahad membaca Yunus s. d Maryam
4. Hari Senin membaca Thaha s.d Al-Qashash
5. Hari Selasa membaca Al-Ankabut s.d Shaad
6. Hari Rabu membaca Az-Zumar s.d Ar-Rakhman
7. Hari Kamis membaca Waqi'ah s. d An-Naas


Sekitar pukul 08.00 sampai jam 09.00 pagi, Kyai mengajar Fasholatan dan Al-Qur'an. Kitab Fasholatan yang diajarkan adalah hasil karangan beliau senchn'. Biasanya ketika mengajar Fasholatan dan AI-Qur'an banyak menggunakan cara-cara sorogan. Usai sorogan Fasholatan dan Al-Qur'an, barulah Kyai masuk ke ndalem untuk sarapan pagi. Setelah itu, Kyai masih meneruskan kembali sholat-sholat sunnah, mengaji Al-Qur'an dan membaca Dalail.

Baru pads sekitar jam 10.00 sampai jam 12.00 siang Kyai Shiddiq mengajar ngaji kitab kuning. Banyak kitab yang beliau ajarkan, namun demikian Kyai membaginya menjadi:

1. Kitab-kitab yang tetap (permanen) diajarkan. Bila kitab ini sudah selesai lalu diulang kembali dari awal (dijadikan wiridan). Kitab-kitab yang tetap ini antara lain:
a. Fatchurrahman
Kitab Fatchurrahman ini berisi materi Tauhid yang pokok (semacam Aqidatul Awam) dan fiqih (semacam Safinatun Najah). Kitab ini ditulis oleh beliau sendiri dan diwajibkan bagi santri menghatamkannya sebelum ngaji kitab lainnya (kitab standard awal).

b. Kitab Fiqh antara lain
- Safinatun Najah
- Sullam Taufiq
- Taqrib

c. Kitab Tasawuf antara lain
- Bidayatul Hidayah
- lhya' Ulumuddin

d. Kitab Tafsir Jalalain

e. Kitab Shohih Bukhori


2. Kitab-kitab yang tidak tetap (temporer) antara lain
a. Kitab-kitab Alat antara lain
- Alfiyah
Kitab Alfiyah terjemahan berbahasa Madura ini ditulis ketika mondok di Bangkalan.
- Ajurumiah
- Imrity
b. Kitab Tasawuf antara lain
- Nashoihud Diniyah
- Adabul Mar'ah yang ditulis dalam bahasa Jawa.
c. Kitab Rojabiyah
d. Kitab Bifadlol dan lain-lain.

Dalam pengajian kitab kuning ini, Kyai Shiddiq banyak menggunakan cara weton/bandongan. Cara Weton adalah cara pengajian kitab yang berasal dari istilah jawa, karena pada umumnya waktu pengajian disesuaikan dengan waktu-waktu tertentu seperti usai waktu sholat, dan sebagainya. Secara teknis, dalam pengajian cara weton ini Kyai membaca dan menerangkan kitab yang diperuntukkan secara massal. Para santrinya memperhatikan kitabnya sendiri sambil membuat catatan-catatan (tentang arti maupun keterangan dari kyai).

Selesainya pengajian, Kyai Shiddiq makan siang bersama� sama keluarga dan khaddamnya. Kemudian mengerjakan sholat Dzuhur secara berjama'ah. Sebelum sholat dzuhur, bersama� sama melakukan dzikir/pujian dan sholat sunnah Qobliyah.

Selesai sholat, lalu wiridan dan yang bacaannya lebih pendek dari dzikir ba'da subuh. Disambung dengan sholat sunnah Ba'diyah dzuhur dan mengajar ngaji Al-Qur'an dan Fasholatan. Santri yang dibolehkan ngaji Al-qur'an adalah yang sudah lulus (fasih/tartil bacaan) Syahadati, Fatihati, Tahiyyati, Sholati, adzan dan lqamah. Bila bacaan masih belum tartil tetap masih harus mengaji Fasholatan saja. Selesai mengajar, barulah Kyai Shiddiq istirahat (tidur) sebentar. Begitu bangun, Kyai Shiddiq melakukan sholat sunnah berkali-kali, mengaji Al-Qur'an dan membaca dalail. Amalan sholat sunnah yang istiqamah dilakukannya 100 rakaat dalam sehari-semalam serta mengkhatam dalail (matane) sehari sekali.

Waktu ashar tiba, beliau sholat sunnah berkali-kali dan para santri membaca syi'ir "Aqidatul 'Awam". Lalu sholat jama'ah Ashar dan Dzikir. Dzikir ba' da sholat Ashar sama dengan dzikir ba'da sholat subuh.

Kemudiandilanjutkan dengan pengajian kitab Ihya 'Ulumudin dan Shohih Bukhori". Selesai mengajar, Kyai masuk ndalem melanjutkan mengaji Al-Qur'an dan dalail sampai masuk waktu Maghrib. Sebelum sholat jama'ah Maghrib, bersama-sama santri membaca pujian.

Dzikir ba'da sholat Maghrib sama dengan dzikir bada subuh. Selesai berdzikir dilanjutkan sholat sunnah Ba'diyah dan ngaji. pengajian ba'da sholat Maghrib adalah AI-Qur'an dan Fasholatan yang teknisnya diatur sebagai berikut:

1.Santri dewasa dan tartil bacaannya harus membaca Quran 1 juz, sehingga dalam sebulan sudah harus hatam. Tempat mereka di dalam musholla.
2.Santri bocah harus ngaji Al-Qur'an dan Fasholatan di luar langgar. Mereka diajar Badal Kyai yaitu Haji Baidlowi (lurah pondok asal Madura) dan Abdul Azis.

Selesai ngaji (tanpa turun dari langgar) lalu bersama-sama pujian qobliyah sholat Isya' dan sholat sunnah rawatib.Kemudian melaksanakan sholat Isya' berjama'ah dan dilanjutkan dengan wiridan dan sholat sunnat rowatib. Wiridannya sama dengan wirid ba'da sholat Ashar. Di ndalem Kyai Shiddiq melakukan sholat sunnat berkali-kali, ngaji Qur'an dan dalail sampai "sare" (tidur). Khusus pada malam Jum'at ba'da maghrib, kyai Shiddiq memimpin bacaan Barzanji. Dan pada malam Senin ba'da Maghrib, membaca Diba'. Semula pemba�caan Diba' dilakukan malam Jurn'at dan Barzanji pada malam Senin.

Suatu saat ketika sedang memimpin pembacaan (pada malam Senin) itu, tiba-tiba Kyai Shiddiq melihat kehadiran Rasulullah Saw hadir dan berdiri di pintu. Spontan, Kyai Shiddiq merobah bacaannya dengan Diba'. Maka sejak peristiwa inilah, pembacaan Diba' dilakukan setiap malam Senin dan malam Jum'at untuk Barzanji. Kemudian dilanjutkan dengan membaca Rotibul Haddad (Rotib Sayyid Abdullah Alawi Al-Haddad).

Aktivitas mengajar Kyai Shiddiq yang sangat padat itu dilakukan tatkala telah banyak santri yang ngaji pada beliau. Sebelumnya, Kyai Shiddiq membagi waktunya dengan berda�gang sebagai ma'isahnya (mata pencahariannya hidupnya). Kegiatan mengajar yang full tersebut membuat Kyai Shiddiq harus mengalihkan perhatian dan' aktivitas berdagang pada santrinya dan putra-putranya.

Suatu waktu, Mbah Shiddiq akan berdagang kain sarung, songkok, dan lain-lain ke Arjasa. Nampaknya Kyai terlambat di stasiun kereta api, sehingga kereta yang pagi sudah berangkat. Menurut keterangan kepala stasiun, kereta berikutnya baru akan berangkat jam 10 siang. Ketika ditunggu kereta berikutnya, Kyai Shiddiq bertemu seorang Penghulu yang rumahnya di depan stasiun. Penghulu tersebut menawarkan jasa, agar Kyai Shiddiq berkenan menunggu kereta di rumahnya saja.

Menjelang jam 10.00 Kyai Shiddiq minta idzin untuk pamit,dan tanpa diduga temyata Penghulu tersebut memberi salam �tempel satu rupiah (serupiah saat itu, kira-kira sama nilainya dengan Rp 100. 000,� sekarang/thn 2007). "Lho, kok sompean. shodagah satu rupiah pada saya. Maka saya nggak jadi ke Arjasa. Lha Wong niat saya ke Arjasa tersebut untuk mencari untung satu rupiah ini", kata Mbah Shiddiq pada Penghulu itu, kemudian beliau pulang. Namun demikian, sebelum pulang, uang itu dihabiskan untuk belanja urusan dapur, karena memang Kyai Shiddiq sendirilah yang selalu berbelanja urusan dapur ke pasar. bukan Nyai. Tiba di ndalem, beliau tertidur karena kepayahan Dalam tidumya,, beliau bermimpi bertamu ke rumah Penghulu tadi. Di sana beliau disuguhi hidangan babi. Ketika bangun. kagetlah Kyai Shiddiq dan cepat-cepat memerintahkan santri untuk membuang semua "hasil belanja dapur tersebut"

Nampaknya, Kyai Shiddiq terus dijaga oleh Allah SWT dari makanan basil perbuatan haram karena sifat wiro'i beliau. Wiro'i adalah sikap yang selalu menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela, seperti makruh dan subhat (tidak jelas, apakah dibolehkan oleh agama atau tidak), terlebih lagi haram yang jelas dilarang. Mbah Siddiq tidak berkenan mengajar kitab menggunakan papan tulis, sebab ayat-ayat Al-Quran yang ditulis papan yang kemudian dibapus.. berjatuhan. Ini kan sama dengan menelantarkan lembaran Mushaf yang robek

Kyai Shiddiq juga sangat perhatian terhadap penampilan or�ang. Pada suatu hari Kyai Yusuf dari Madura sowan kepada Kyai Shiddiq. Kyai Yusuf tetap membiarkan rambutnya agak panjang (gondrong) dan kumisnya lebat hingga melebihi bibir. Setelah bersalaman, langsung beliau berkata: "Poron panje�nengan eparingah ilmu/maukah kau kuberi ilmu? "Alhamdulillah ?" jawab, si tamu dengan suka citanya. Lalu Kyai Shiddiq berkata: "Tak sahe panjenengan Kyahe, ngobuh obuk/Tidak baik bagi kyai, memelihara rambut". Kemudian beliau berikan gunting dan Kyai Yusuf diminta menggunting rambutnya saat itu juga. Semua anak dan menantu serta santri� santrinya diwajibkan oleh Kyai Shiddiq "menggundul rambut" kepala. Yang diperkenankan/disunnahkan hanyalah memelihara janggut. Bahkan, Kyai Muhammad bin Hasyim (menantunya) dimarahi Kyai Shiddiq karena mernelihara rambut sedikit seperti tentara di kepalanya.

Demikian pula dengan merokok, Kyai Shiddiq kurang senang jika ada orang/tamu apalagi santri ataupun anaknya yang merokok di hadapan beliau. Kyai Mahfudz Shiddiq pernah merelakan sak celananya bolong terbakar, karena menyimpan rokok yang sedang menyala, tatkala Kyai Shiddiq menemuinya. Kyai Shiddiq memang kurang senang ada yang merokok, ketika masih ngaji pada Kyai Abdurrohim, Sepanjang Sidoarjo.

Sebagaimana keblasaannya di pondok, Kyai Shiddiq selalu mengisi jeding Kyai Rohim pada pagi buta. Suatu hari, selesai mengisi jeding, Kyai Shiddiq pergi ke sungai sambil merokok klobot. Sedang asyik merokok, menyebabkan ketinggalan Sholat berjama'ah Subuh. Kyai Shiddiq akhirnya bersembunyi takut kena marah Kyai Rohim karena tidak berjama'ah.

Sejak peristiwa itulah, Kyai Shiddiq berjanji menghindari merokok. "Tak ada barang yang melebihi kejelekan merokok. Demi Allah aku mengharamkan diriku merokok" katanya. Mbah Shiddiq memiliki sikap, kesenangan dan perilaku sebagai benikut:
I. Ahli silaturrohim, khususnya pada para Sayyid/Habib, `Aulia' dan Ulama. Diantara kesenangan bersilaturohmi ini antara lain '.
a. Selalu gembira dan bersyukur bila kedatangan tamu, bahkan selalu menghidangkan makan pada tamunya.
b. Senang mengawinkan jejaka-gadis.
c. Bila silaturrohmi pada orang miskin, hanya minta air putih saja.

2. Mengerjakan hal-hal yang sunnah antara lain :
a. Sholat-sholat sunnah, ngaji Alqur'an, Dalail dan selalu berdzikir
"Bagi orang-orang yang berakal (yaitu) orang-orang yang mengingat Alloh sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan telanjang ". (QS AIi Imron: 190-191)

b. Memotong rambut, kumis dan kuku pada hari. Kamis.
c. Membersihkan sisa-sisa nasi yang dimakan. Bahkan selalu menjilat tangan, bila selesai makan. Itu menunjukkan syukur terhadap nikmat/karunia Allah Swt.

�Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu". (QS Ibrohim: -7)
d. Saat makan, beliau selalu mencicipi garam sebelum dan sesudahnya. karena ini disunnahkan oleh agama. Pada suatu hari, Kyai Shiddiq, Kyai Yasin (Pasuruan) dan Kyai Nu'man (Lumajang) sedang makan jambu. Ada di antara 2 kyai itu yang, berkomentar "tidak manis-nya jambu tersebut. Spontan Kyai Shiddiq menegur: "Yang menentukan manis-tidaknya jambu ini adalah Allah. Jambu ini merupakan nikmat Allah pada kita. Jadi wajib bagi kita mensyukurinya.
d. Mematikan lampu pakai kipas (tidak dltiup).
3. Menjauhi hal-hal yang makruh, muru'ah dan Haram, misal
a. Merokok
b. Tidak suka melihat orang lain memiliki rambut, kumis dan kuku yang panjang.
c. Marah bila tahu ada orang, kentut sambil tertawa.
d. Marah, bila tahu laki-laki dan wanita yang bukan muhrimnya bertemu muka.
e. Dalam bepergian selalu menghindari lewat depan gereja.
f. Tidak membolehkan Kusir mencambuki kudanya.
g. Tidak senang musik/lagu-lagu, misal .- gambus.

4. Mendo'akan anaknya, cukup dengan memohon agar kelak menjadi orang yang bertaqwa.

5. Yang sangat diperhatikan pada anak dan santrinya adalah sholat. Bila putranya tak nampak dalam sholat berjama'ah, maka akan diusut sedetailnya tentang "kenapa tidak sholat jama'ah".

6. Dan lain-lain.


Menurut beberapa informasi, Kyai Shiddiq 4 kali bertemu dengan Rasulullah Saw dan berkali-kali bertemu Rasulullah dalam mimpi. Sulit sekali ditakdirkan bertemu Rosulullah SAW kecuali Waliyullah. Imam Ghozali berkata "bertemu Rasulullah secara Ya Qodlo maka ia memiliki kasyqf'. Sayyid Ahmad Al Badawi ra. berkata: -Syarat yang harus di perbuat oleh orang yang ingin menjadi Waliulloh adalah benar benar dalam syari'at. Ada dua belas tanda-tanda yaitu :

1. Benar-benar mengenal Allah Swt (yakni, benar benar mengerti tauhid dan mantab iman keyakinan kepadaAllah).
2. Benar-benar menjaga perintah Allah Swrt.
3. Berpegang teguh pada sunnah Rasulullah Saw.
4. Selalu berwudhu (jika berhadas segera memperbarui wudhu�)
5. Rela menerima hukum qadla' Allah SWT. dalam suka duka.
6. Yakin terhadap semua janji Allah Swt.
7. Putus harapan dari semua apa yang ada di tangan manusia
8. Tabah. sabar menanggung bebagai derita dan gangguan orang.
9. Rajin mentaati perintah Allah SWT
10. Kasih sayang terhadap semua makhluq Allah SWT
11. Tawadlu, merendah diri terhadap yang lebih tua atau lebih muda.
12. Selalu menyadari bahwa setan itu musuh utama, sedang sarang setan itu dalam hawa nafsu dan selalu berbisik mempengaruhi.

C. PEMAKAMAN TURBAN CONDRO
Kyai Shiddiq, akhirnya wafat pada hari Ahad Pahing jam 17 40 tanggal 2 Romadlon 1533H (9 Desember 1934 M) pada usia +80 tahun. Saat jenazah, disemayamkan di ndalem Talangsari, datanglah 11 orang yang menawarkan tanahnva sebagai makam beliau. Sebelas orang itu antara lain:
1 . H. Ilyas, Gebang
2. Sadinatun, Gebang
3. Sa'id, Gebang
4. Riynah, Gebang
5. Samiroh, asal Bulu Tuban
6. Amir, asal Bulu Tuban
7. Sakiman, asal Bulu Tuban
8. KH. Yusuf, asal Bulu Tuban (mertua Kyai Shiddiq)
9. H. Anwar, Jatian � Pakusari
10. H. Abdul Hamid, Rowo - Wirowongso.
11. H Samsul Arifin, Talangsari.

Namun agar adil maka akhirnva dilotre/diundi sebanyak 3 kali. Ternyata undian jatuh pada tanah H. Samsul Arifin di Turbah - Condro. Ribuan orang melayat Mbah Shiddiq menuju peristirahatannva di turbah Condro Jember. Hingga sekarang, banyak kaum muslimin ziarah di maqam Kyai Shiddiq. Para penziarah selalu membaca Al-qur'an. Tahlil dan bertawassul pada beliau. Kyai Shiddiq bagaikan "mutiara", yang menurunkan banyak mutiara, menyinari kegelapan kota Jember.

GARIS KETURUNAN MBAH SIDDIQ
1. KH. Muhammad Shiddiq
2. bin Raden Pangeran Mas Sayyid KH. Abdullah (Lasem)
3. bin Raden Pangeran Sayyid KH. Sholeh (Raden Tirto Widjoyo, Lasem)
4. bin Sayyid KH. Asy�ari (Raden Pangeran Asyri, Lasem)
5. bin Sayyid KH. Muhammad Adzro�i (Raden Pangeran Bardla�i, Lasem)
6. bin Sayyid KH. Yusuf (Raden Yusuf, Pulandak Lasem)
7. bin Sayyid Abdurrachman (Mbah Sambu)
8. bin Sayyid Muhammad Hasyim (sunan Ngalogo)
9. bin Sayyid Abdurrachman Basyaiban (Mangkunegoro III)
10. bin Sayyid Abdullah
11. bin Sayyid Umar
12. bin Sayyid Muhammad
13. bin Sayyid Achmad
14. bin Sayyid Abu Bakar Basyiban
15. bin Sayyid Muhammad Asy�adullah
16. bin Sayyid Hasan At - Taromi
17. bin Sayyid Ali
18. bin Sayyid Muhammad Al Faqih Muqoddam
19. bin Sayyid Ali
20. bin Sayyid Muhammad Shohibi Mirbat (Zafar, Hadramaut)
21. bin Sayyid Ali Khaliq Qosim (Tarim, Hadramaut)
22. bin Sayyid Alwi (Bait Zubair, Hadramaut)
23. bin Sayyid Muhammad (Bait Zubair, Hadramaut)
24. bin Sayyid Alwi (Samal, Hadramaut)
25. bin Sayyid Abdullah Ubaidillah (Al - Ardli Burt Hadramaut)
26. bin Sayyid Ahmad Al - Muhajir (Basra Tarim, Hadramaut)
27. bin Sayyid �Isa An Naqib (Basrah, Iraq)
28. bin Sayyid Muhammad An - Naqib (Basrah, Iraq)
29. bin Sayyid Ali Al �uraidi (Madinah)
30. bin Sayyid Ja�far Ash - Shodiq (Madinah)
31. bin Sayyid Muhammad Al - baqier (Madinah)
32. bin Sayyid Ali Zainal Abidin (Madinah)
33. bin Sayyidina Husein
34. binti Fatimah Az Zahroh (Isteri Sayyidina Ali Al - Murtadlo)
35. bin Rosulullah Muhammad SAW

(sumber :Buku Biografi Mbah Siddiq)

Senin, 15 November 2010

Riwayat Syeh Ahmad Jauhari Umar (Penyebar Kitab Manakib Jawahirul Ma’ani)

Kitab Manaqib JAWAHIRUL MA’ANI adalah manaqib (riwayat hidup yang menceritakan tentang Sulthonul Auliya’ Syech Abdul Qodir Al Jilani (ada yang menyebut Al Jaelani). Mulai dari Kelahirannya, perjalanan beliau menuntut ilmu, karomah-karomahnya sampai pada wafatnya.

Kitab Manaqib ini di susun oleh seorang ulama Almarhum Almagfurillah KH. Ahmad Jauhari Umar. Dulu beliau pemimpin Pondok Pesantren Darus Salam, Pasuruan Jawa Timur.
KH. Ahmad jauhari umar mengajarkan dan ‘mengijazahkan’ manaqib ini kepada para murid-murid beliau. Dari murid-murid beliau inilah manaqib ini akhirnya tersebar luas ke seluruh nusantara bahkan mungkin sampai ke negara tetangga juga.
Di dalam kitab manaqib (pada halaman belakang) tersebut juga di jelaskan manfaat dari manaqib tersebut dan cara pengamalannya. Misalnya : Supaya bisa mendapatkan ilmu Laduni , luas rezki maka setiap hari membaca wirid Ya Badii’ 946x di lanjutkan membaca manaqib Jawahirul Ma’ani tersebut.
Syaikh Ahmad Jauhari Umar dilahirkan pada hari Jum’at legi tanggal 17 Agustus 1945 jam 02.00 malam, yang keesokan harinya bertepatan dengan hari kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan oleh Presiden Soekarno dan Dr. Muhammad Hatta. Tempat kelahiran beliau adalah di Dukuh Nepen Desa Krecek kecamatan Pare Kediri Jawa Timur. Sebelum berangkat ibadah haji, nama beliau adalah Muhammad Bahri, putra bungsu dari bapak Muhammad Ishaq. Meskipun dilahirkan dalam keadaan miskin harta benda, namun mulia dalam hal keturunan. Dari sang ayah, beliau mengaku masih keturunan Sultan Hasanudin bin Sunan Gunung Jati, dan dari sang ibu beliau mengaku masih keturunan KH Hasan Besari Tegal Sari Ponorogo Jawa Timur yang juga masih keturunan Sunan Kalijogo.
Pada masa kecil Syaikh Ahmad Jauhari Umar dididik oleh ayahanda sendiri dengan disiplin pendidikan yang ketat dan sangat keras. Diantaranya adalah menghafal kitab taqrib dan maknanya dan mempelajari tafsir Al-Qur’an baik ma’na maupun nasakh mansukhnya.
Masih diantara kedisiplinan ayah beliau dalam mendidik adalah : Syaikh Ahmad Jauhari Umar tidak diperkenankan berteman dengan anak-anak tetangga dengan tujuan supaya Syaikh Ahmad Jauhari Umar tidak mengikuit kebiasaan yang tidak baik yang dilakukan oleh anak-anak tetangga. Syaikh Ahmad Jauhari Umar dilarang merokok dan menonton hiburan seperti orkes, Wayang, ludruk dll, dan tidak pula boleh meminum kopi dan makan diwarung. Pada usia 11 tahun Syaikh Ahmad Jauhari Umar sudah mengkhatamkan Al-Qur’an semua itu berkat kegigihan dan disiplin ayah beliau dalam mendidik dan membimbing.
Orang tua Syaikh Ahmad Jauhari Umar memang terkenal cinta kepada para alim ulama terutama mereka yang memiliki barakah dan karamah. Ayah beliau berpesan kepada Syaikh Ahmad Jauhari Umar agar selalu menghormati para ulama. Jika sowan (berkunjung) kepada para ulama supaya selalu memberi uang atau jajan (oleh-oleh). Pesan ayahanda tersebut dilaksanakan oleh beliau, dan semua ulama yang pernah diambil manfaat ilmunya mulai dari Kyai Syufa’at Blok Agung Banyuwangi hingga KH. Dimyathi Pandegelang Banten, semuanya pernah diberi uang atau jajan oleh Syaikh Ahmad Jauhari Umar.
Sebenarnya, Syaikh Ahmad Jauhari Umar pernah menganut faham wahabibahkan sampai menduduki posisi wakil ketua Majlis Tarjih Wahabi Kaliwungu. Adapun beberapa hal yang menyebabkan Syaikh Ahmad Jauhari Umar pindah dari faham wahabi dan menganut faham ahlussunahdiantaranya adalah sebagai berikut :
1. Beliau pernah bermimpi bertemu dengan kakek beliau yaitu KH. AbduLlah Sakin yang wafat pada tahun 1918 M, beliau berwasiyat kepada Syaikh Ahmad Jauhari Umar bahwa yang benar adalah faham ahlussunah.
2. Syaikh Ahmad Jauhari Umar pernah bertemu dengan KH Yasin bin ma’ruf kedunglo kediri, pertemuan itu terjadi di warung / rumah makan Pondol Pesantren Lirboyo Kediri yang berkata kepada Syaikh Ahmad Jauhari Umar bahwa Syaikh Ahmad Jauhari Umar kelak akan menjadi seorang ulama yang banyak tamunya. Dan ucapan KH Yasin tersebut terbukti, beliau setiap hari menerima banyak tamu.
3. Syaikh Ahmad Jauhari Umar pernah berjumpa dengan Sayyid Ma’sum badung Madura yang memberi wasiyat bahwa kelak Syaikh Ahmad Jauhari Umar banyak santrinya yang berasal dari jauh. Dan hal itu juga terbukti.
4. Syaikh Ahmad Jauhari Umar bertemu dengan KH Hamid AbdiLlah Pasuruan, beliau berkata bahwa kelak Syaikh Ahmad Jauhari Umar akan dapat melaksanakan ibadah haji dan menjadi ulama yang kaya. Dan terbukti beliau sampai ibadah haji sebanyak lima kali dan begitu juga para putera beliau.
Hal tersebutlah yang menyebabkan Syaikh Ahmad Jauhari Umar menganut faham ahlussunah karena beliau merasa heran dan ta’jub kepada para ulamaahlussunah seperti tersebut di atas yang dapat mengetahui hal-hal rahasiaghaib dan ulama yang demikian ini tidak dijumpainya pada ulama-ulama golongan wahabi.
Dalam menghadapi setiap cobaan yang menimpa, Syaikh Ahmad Jauhari Umar memilih satu jalan yaitu mendatangi ulama. Adapun beberapa ulama yang dimintai do’a dan barokah oleh beliau diantaranya adalah :
1. KH. Syufa’at Blok Agung Banyuwangi.
2. KH. Hayatul Maki Bendo Pare Kediri.
3. KH. Marzuki Lirboyo Kediri.
4. KH. Dalhar Watu Congol Magelang.
5. KH. Khudlori Tegal Rejo Magelang.
6. KH. Dimyathi Pandegrlang Banten.
7. KH. Ru’yat Kaliwungu.
8. KH. Ma’sum Lasem.
9. KH. Baidhawi Lasem.
10. KH. Masduqi Lasem.
11. KH. Imam Sarang.
12. KH. Kholil Sidogiri.
13. KH Abdul Hamid AbdiLlah Pasuruan.
Selesai beliau mendatangi para ulama, maka ilmu yang didapat dari mereka beliau kumpulkan dalam sebuah kitab “Jawahirul Hikmah”.
Kemudian beliau mengembara ke makam – makam para wali mulai dari Banyuwangi sampai Banten hingga Madura. Sewaktu beliau berziarah ke makam Syaikh Kholil Bangkalan Madura, Syaikh Ahmad Jauhari Umar bertemu dengan Sayyid Syarifuddin yang mengaku masih keturunan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani RA. Kemudian Sayyid Syarifuddin memberikan ijazah kepada Syaikh Ahmad Jauhari Umar berupa amalan ‘MANAKIB JAWAHIRUL MA’ANY’ dimana amalan manakib Jawahirul Ma’any tersebut saat ini tersebar luas di seluruh Indonesia karena banyak Fadhilahnya, bahkan sampai ke negara asing seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Pakistan, tanzania, Afrika, Nederland, dll.
Syaikh Ahmad Jauhari Umar pernah mengalami masa-masa yang sulit dalam segala hal. Bahkan ketika putera beliau masih berada di dalam kandungan, beliau diusir oleh keluarga isteri beliau sehingga harus pindah ke desa lain yang tidak jauh dari desa mertua beliau kira-kira satu kilometer. Ketika putera beliau berumur satu bulan, beliau kehabisan bekal untuk kebutuhan sehari-hari kemudian Syaikh Ahmad Jauhari Umar memerintahkan kepada isteri beliau untuk pulang meminta makanan kepada orang tuanya. Dan Syaikh Ahmad Jauhari Umar berkata, “Saya akan memohon kepada Allah SWT”. Akhirnta isteri beliau dan puteranya pulang ke rumah orang tuanya.
Kemudian Syaikh Ahmad Jauhari Umar mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat duha dan dilanjutkan membaca manakib Jawahirul Ma’any. Ketika tengah membaca Manakib, beliau mendengar ada orang di luar rumah memberikan ucapan salam kepada beliau, dan beliau jawab di dalam hati kemudian beliau tetap melanjutkan membaca Manakib Jawahirul Ma’any hingga khatam. Setelah selesai membaca Manakib, maka keluarlah beliau seraya membukakan pintu bagi tamu yang memberikan salam tadi.
Setelah pintu terbuka, tenyata ada enam orang yang bertamu ke rumah beliau. Dua orang tamu memberi beliau uang Rp 10.000, dan berpesan supaya selalu mengamalkan Manakib tersebut. Dan sekarang kitab manakib tersebut sudah beliau ijazahkan kepada kaum Muslimin dan Muslimat agar kita semua dapat memperoleh berkahnya. Kemudian dua tamu lagi memberi dua buah nangka kepada beliau, dan dua tamu lainnya memberi roti dan gula.
Kemudian Syaikh Ahmad Jauhari Umar selalu melaksanakan pesan tamu-tamu tersebut yang menjadi amalan beliau sehari-hari. Tidak lama setelah itu, setiap harinya Syaikh Ahmad Jauhari Umar diberi rizki oleh Allah senanyak Rp. 1.500 hingga beliau berangkat haji untuk pertamakali pada tahun 1982.
Kemudian pada tahun 1983 Syaikh Ahmad Jauhari Umar menikah dengan Sa’idah putri KH As’ad Pasuruan. Setelah pernikahan ini beliau setiap hari diberi rizki oleh Allah sebanyak Rp 3.000 mulai tahun 1983 hingga beliau menikah dengan puteri KH. Yasin Blitar.
Setelah pernikahan ini Syaikh Ahmad Jauhari Umar setiap hari diberi rizki oleh Allah SWT sebanyak Rp.11.000 sampai beliau dapat membanun masjid. Selesai membangun masjid, Syaikh Ahmad Jauhari Umar setiap hari diberi rizki oleh Allah sebanyak Rp. 25.000 hingga beliau membangun rumah dan Pondok Pesantren.
Setelah membangun rumah dan Pondok Pesantren, Syaikh Ahmad Jauhari Umar tiap hari diberi rizki oleh Allah SWT sebanyak Rp.35.000 hingga beliau ibadah haji yang kedua kalinya bersama putera beliau Abdul Halim dan isteri beliau Musalihatun pada tahun 1993.
Setelah beliau melaksanakan ibadah haji yang kedua kalinya pada tahun 1993, Syaikh Ahmad Jauhari Umar setiap hari diberi rizki oleh Allah sebanyak Rp 50.000 hingga tahun 1995 M. Setelah Syaikh Ahmad Jauhari Umar melaksanakan ibadah haji yang ketiga kalinya bersama putera beliau Abdul Hamid dan Ali Khazim, Syaikh Ahmad Jauhari Umar setiap hari diberi rizki oleh Allah sebanyak Rp. 75.000 hingga tahun 1997.
Setelah Syaikh Ahmad Jauhari Umar menunaikan ibadah haji yang keempat kalinya pada tahun 1997 bersama putera beliau HM Sholahuddin, Syaikh Ahmad Jauhari Umar diberi rizki oleh Allah setiap hari Rp. 200.000 hingga tahun 2002.
Kemudian Syaikh Ahmad Jauhari Umar berangkat haji yang ke limakalinya bersama dua isteri dan satu menantu beliau, Syaikh Ahmad Jauhari Umar setiap hari diberi rizki oleh Allah SWT sebanyak Rp. 300.000 sampai tahun 2003 M.
Di Pasuruan, Syaikh Ahmad Jauhari Umar mendirikan Pondok Pesantren tepatnya di Desa Tanggulangin Kec. Kejayan Kab. Pasuruan yang diberi nama Pondok Pesantren Darussalam Tegalrejo.
Di desa tersebut Syaikh Ahmad Jauhari Umar diberi tanah oleh H Muhammad seluas 2.400 m2 kemudian H Muhammad dan putera beliau diberi tanah oleh Syaikh Ahmad Jauhari Umar seluas 4000m2 sebagai ganti tanah yang diberikan dahulu.
Sejak saat itu Syaikh Ahmad Jauhari Umar mulai membangun masjid dan madrasah bersama masyarakat pada tahun 1998. namun sayangnya sampai empat tahun pembangunan masjid tidak juga selesai. Akhirnya Syaikh Ahmad Jauhari Umar memutuskan masjid yang dibangun bersama masyarakat harus dirobohkan, demikian ini atas saran dan fatwa dari KH. Hasan Asy’ari Mangli Magelang Jawa Tengah (Mbah Mangli – almarhum), dan akhirnya Syaikh Ahmad Jauhari Umar membangun masjid lagi bersama santri pondok. AlhamduliLlah dalam waktu 111 hari selesailah pembanginan masjid tingkat tanpa bantuan masyarakat. Kemudian madrasah-madrasah yang dibangun bersama masyarakat juga dirobohkan dan diganti dengan pembangunan pondok oleh santri-santri pondok
Maka mulailah Syaikh Ahmad Jauhari Umar mengajar mengaji dan mendidik anak-anak santri yang datang dari luar daerah pasuruhan, hingga lama kelamaan santri beliau menjadi banyak. Pernah suatu hari Syaikh Ahmad Jauhari Umar mengalami peristiwa yang ajaib yaitu didatangi oleh Syaikh Abi Suja’ pengarang kitab Taqrib yang mendatangi beliau dan memberikan kitabtaqrib dengan sampul berwarna kuning, dan kitab tersebut masih tersimpan hingga sekarang. Mulai saat itu banyak murid yang datang terlebih dari Jawa Tengah yang kemudian banyak menjadi kiyahi dan ulama.
Silsilah Syaikh Ahmad Jauhari Umar :
a. Dari ayah beliah adalah sbb :
1. Syaikh Ahmad Jauhari Umar bin
2. H. Thohir/Muhammad Ishaq bin
3. Umarudin bin
4. Tubagus Umar bin
5. AbduLlah Kyai Mojo bin
6. Abu Ma’ali Zakariya bin
7. Abu Mafakhir Ahmad Mahmud Abdul qadir bin
8. Maulana Muhammad Nasiruddin bin
9. Maulana Yufus bin
10. Hasanuddin Banten bin
11. HidayatuLlah Sunan Gunung Jati bin
12. AbduLlah Imamuddin bin
13. Ali Nurul ‘Alam bin
14. Jamaluddin Akbar bin
15. Jalaluddin Syad bin
16. AbduLlah Khon bin
17. Abdul Malik Al-Muhajir Al-Hindi bin
18. Ali Hadzramaut bin
19. Muhammad Shahib Al-Mirbath bin
20. Ali Khola’ Qasim bin
21. Alwi bin UbaidiLlah bin
22. Ahmad Al-Muhajir bin
23. Isa Syakir bin
24. Muhammad Naqib bin
25. Ali Uraidzi bin
26. Ja’far As-Shadiq bin
27. Muhammad Al-Baqir bin
28. Imam Ali Zainal Abidin bin
29. Imam Husain bin
30. Sayyidatina Fatimah Az-Zahra binti
31. Sayyidina Muhammad RasuluLlah SAW.
b. Silsilah Syaikh Ahmad Jauhari Umar dari Ibu :
1 Syaikh Ahmad Jauhari Umar bin
2 KH Thahir bin/Moh Ishaq bin
3 Umarudin bin
4 Tuba bin
5 H. Muhammad Nur Qesesi bin
6 Pangeran Bahurekso bin
7 Syeh Nurul Anam bin
8 Pangeran Cempluk bin
9 Pangeran Nawa bin
10 Pangeran Arya Mangir bin
11 Pangeran Pahisan bin
12 Syekh Muhyidin Pamijahan bin
13 Ratu Trowulan bin
14 Ratu Ta’najiyah bin
15 Pangeran Trowulan Wirocondro bin
16 Sulthan AbduRrahman Campa bin
17 Raden rahmat Sunan Ampel bin
18 Maulana Malik Ibrahim bin
19 Jalaluddin bin
20 Jamaludin Husen bin
21 AbduLlah Khon bin
22 Amir Abdul Malik bin
23 Ali Al-Anam bin
24 Alwi Al-Yamani bin
25 Muhammad Mu’ti Duwailah bin
26 Alwi bin
27 Ali Khola’ Qasim bin
28 Muhammad Shahib Al-Mirbath bin
29 Ali Ba’lawi bin
30 Muhammad Faqih Al-Muqaddam bin
31 AbduLlah AL-Yamani bin
32 Muhammad Muhajir bin
33 ‘Isa Naqib Al-basyri bin
34 Muhammad Naqib Ar-Ruumi bin
35 Ali Uraidzi bin
36 Ja’far Shadiq bin
37 Muhammad Al-baqir bin
38 Ali Zainal Abidin bin
39 Husein As-Sibthi bin
40 Sayyidatinaa Fatimah Az-Zahra bin
41 Sayyidina Muhammad RasuluLlah SAW.
Meskipun beliau telah berpulang ke RahmatuLlah semoga Beliau mendapat tempat yang mulia di sisi-Nya, dan berkah beliah selalu mengalir kepada kita semua….Amin

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons