Blog ini ditujukan kepada seluruh ummat Islam yang cinta kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Para Sahabat RA, Auliya', Habaib, Ulama', dan sejarah kebudayaan Islam.
Tampilkan postingan dengan label Tokoh Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tokoh Islam. Tampilkan semua postingan

Rabu, 04 Juli 2012

Jasa Bung Karno Dalam Menjaga Makam Imam Bukhori

soekarno

r. Soekarno meminta pemerintah Uni Soviet agar segera memperbaikinya. Ia bahkan sempat menawarkan agar makam dipindahkan ke Indonesia apabila Uni Soviet tidak mampu merawat dan menjaga makam tersebutEmas seberat makam Imam Bukhari akan diberikan sebagai gantinya…
SAAT itu. Jumat (25/11), tim ekspedisi tengah melintas Kota Samarkand, Uzbekistan, dalam perjalanan menuju Turkmenistan. Langit sudah gelap.
Kompleks makam Imam Bukhari yang megah terlihat laksana istana raja. Penerangan di sana seadanya karena sudah tidak ada lagi peziarah yang berkunjung.
Imam Bukhari ialah seorang pengumpul hadis sahih Nabi Muhammad SAW. Makamnya terletak di Samarkand, Uzbekistan. Tim Fas-tron Europe-Asia Metro TV Expedition 2011 mendapat kesempatan langka berziarah ke sana, bahkan langsung masuk ke ruang bawah tanah tempat jenazah Imam Bukhari bersemayam. Padahal biasanya para peziarah yang berasal dari berbagai suku bangsa hanya boleh masuk sampai ruang atas kompleks permakaman.
Kompleks serta-merta menjaditerang benderang kala perwakilan ekspedisi menemui pengelola makam dan mengungkapkan bahwa rombongan berasal dari Indonesia dan ingin berziarah.
Tak lama kemudian, Rahmatullo Sultonov, juru kunci makam yang berjilbab, hitam, keluar dari bangunan dan langsung mengarah ke ruang bawah tanah makam Imam Bukhari. Anggota ekspedisi diminta melepaskan sepatu sebelum masuk ruangan yang beralaskan karpet warna hijau tersebut.
Ruangan berdinding batu bata itu mampu menampung sekitar 10 orang, dilengkapi bangku untuk para peziarah. Makam ada di tengah ruang, berselimutkan kain hitam, bertulisan Arab warna kuning. Nuansa begitu khidmat saat berada di sana.
Setelah mengajak anggota tim ekspedisi untuk membaca beberapa surah pendek Alquran, Rahmatulloberkisah, kompleks permakaman Imam Bukhari tidak mungkin seindah dan semegah itu tanpa peran Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia.
Ketika Uzbekistan masih termasuk Uni Soviet, Soekarno-dalam sebuah kunjungan kenegaraan ke Uni Soviet pada 1959-pernah meminta petinggi Partai Komunis untuk mencarikan makam orang suci Islam yang sangat terkenal bernama Imam Bukhari.
Setelah tiga hari pencarian, makam Imam Bukhari ditemukan. Soekarno naik kereta dari Moskow ke Samarkand, tempat Bukhari meninggal dunia dan jenazahnya dimakamkan sekitar tahun 870.
“Beliau tiba pada malam hari dan langsung membaca Alquran sampai pagi hari, tidak tidur,” lanjut Rahmatullo seperti diterjemahkan Temur Mirzaev, rekanan Kedutaan Besar Republik Indonesia sekaligusdosen bahasa Indonesia di Institute of Oriental Studies, Tashkent.
Saat ditemukan, makam dalam kondisi tidak terurus. Soekarno meminta pemerintah Uni Soviet agar segera memperbaikinya. Ia bahkan sempat menawarkan agar makam dipindahkan ke Indonesia apabila Uni Soviet tidak mampu merawat dan menjaga makam tersebut. Emas seberat makam Imam Bukhari akan diberikan sebagai gantinya.
“Bangsa Indonesia sangat berjasa bagi keberlangsungan makam Imam Bukhari. Sebenarnya makam sudah tutup untuk pengunjung karena hari sudah malam. Tapi, karena orang Indonesia yang datang, makanya dibukakan,” tutur Temur.
Juru kunci menutup ziarah dengan doa dan suasana pun mendadak hening. Dalam doanya, ia berharap perjalanan tim ekspedisi sukses dan selamat sampai tujuan.  
Bung Karno Mencari Makam Imam Bukhori
DI Tashkent tidak ada jalan bernama Bung Karno. Tapi bukan berarti rakyat Uzbekistan ini tidak mengenal presiden pertama Republik Indonesia itu.
Tidak banyak yang tahu kalau Bung Karno adalah penemu makam Imam Al Bukhari, seorang perawi hadist Nabi Muhammad SAW. Begini ceritanya. Tahun 1961 pemimpin tertinggi Partai Komunis Uni Soviet sekaligus penguasa tertinggi Uni Soviet Nikita Sergeyevich Khrushchev mengundang Bung Karno ke Moskow. Kayaknya Khrushchev hendak menunjukkan pada Amerika bahwa Indonesia berdiri di belakang Uni Soviet.
Karena bukan orang lugu, Bung Karno tidak mau begitu saja datang ke Moskow. Bung Karno tahu, kalau Indonesia terjebak, yang paling rugi dan menderita adalah rakyat. Bung Karno tidak mau membawa Indonesia ke dalam situasi yang tidak menguntungkan. Bung Karno juga tidak mau Indonesia dipermainkan oleh negara mana pun.
Bung Karno mengajukan syarat. Kira-kira begini kata Bung Karno, “Saya mau datang ke Moskow dengan satu syarat mutlak yang harus dipenuhi. Tidak boleh tidak.”
Khrushchev balik bertanya, “Apa syarat yang Paduka Presiden ajukan?”
Bung Karno menjawab, “Temukan makam Imam Al Bukhari. Saya sangat ingin menziarahinya.”
Jelas saja Khrushchev terheran-heran. Siapa lagi ini Imam Al Bukhari. Dasar orang Indonesia, ada-ada saja. Mungkin begitu sungutnya dalam hati. Tidak mau membuang waktu, Khrushchev segera memerintahkan pasukan elitnya untuk menemukan makam dimaksud. Entah berapa lama waktu yang dihabiskan anak buah Khrushchev untuk menemukan makam itu, yang jelas hasilnya nihil.
Khrushchev kembali menghubungi Bung Karno. “Maaf Paduka Presiden, kami tidak berhasil menemukan makam orang yang Paduka cari. Apa Anda berkenan mengganti syarat Anda?”
Bung Karno tersenyum sinis. “Kalau tidak ditemukan, ya udah, saya lebih baik tidak usah datang ke negara Anda.”
Kalimat singkat Bung Karno ini membuat kuping Khrushchev panas memerah. Khrushchev balik kanan, memerintahkan orang-orang nomor satunya langsung menangani masalah ini. Nah, akhirnya setelah bolak balik sana sini, serta mengumpulkan informasi dari orang-orang tua Muslim di sekitar Samarkand, anak buah Khrushchev menemukan makam Imam kelahiran Bukhara tahun 810 Masehi itu. Makamnya dalam kondisi rusak tak terawat.
Imam Al Bukhari yang memiliki pengaruh besar bagi umat Islam di Indonesia itu dimakamkan di Samarkand tahun 870 M.
Khrushchev memerintahkan agar makam itu dibersihkan dan dipugar secantik mungkin.
Selesai renovasi, Khrushchev menghubungi Bung Karno kembali. Intinya, misi pencarian makam Imam Al Bukhari berhasil. Sambil tersenyum Bung Karno mengatakan, “Baik, saya datang ke negara Anda.” Setelah dari Moskow, tanggal 12 Juni 1961 Bung Karno tiba di Samarkand. Sehari sebelumnya puluhan ribu orang menyambut kehadiran Pemimpin Besar Revolusi Indonesia ini di Kota Tashkent.

Sabtu, 07 Januari 2012

Sekilas tentang Pemikiran Ibrahim Abu Rabi

Oleh Irwan Masduqi

M. Ibrahim Abu Rabi ' adalah pemikir Muslim kontemporer yang cukup terkemuka kelahiran Nazaret, Palestina. Ia meninggal di Amman pada tanggal 2 Juli 2011. Karir akademisnya adalah sebagai Profesor Studi Islam dan co-Direktur Pusat Studi Islam dan Hubungan Kristen-Islam di Hartford Theological Seminary, Canada. Nama Ibrahim Abu-Rabi mulai melambung pada pertengahan 1990-an sebagai spesialis dalam sejarah pemikiran Islam.

Jenjang s1-nya diperoleh dari Universitas Bir Zeit di Tepi Barat. Gelar MA-nya dari Universitas Cincinnati dan Temple University. Prof. Abu Rabi‘ memperoleh gelar Ph.D. dalam bidang Studi Islam, dengan konsentrasi tentang pemikiran Islam modern dan perbandingan budaya Islam, dari Temple University Department of Religion pada tahun 1987. Disertasinya berjudul “Islam and Search for Social Order in Modern Egypt: An Intellectual Biography of Shaykh al-Azhar ‘Abd al-Halim Mahmud”.

Ibrahim Abu Rabi merupakan pemikir yang cukup prolifik. Diantara karya-karyanya: 1) Contemporary Arab Thought: Studies in Post-1967 Arab Intellectual History; 2) Theodicy and Justice in Modern Islamic Thought: the Case of Said Nursi; 3) The Contemporary Arab Reader on Political Islam; 4) Islam at the Crossroads: On the Life and Thought of Bediuzzaman Said Nursi (Suny Series in Near Eastern Studies); 5) Intellectual Origins of Islamic Resurgence in the Modern Arab World (Suny Series in Near Eastern Studies); 6) Spiritual Dimensions of Bediuzzaman Said Nursi's: Risale-i-Nur; 7) co-author September 11: Religious Perspectives on the Causes and Consequences; 8) Contemporary Islamic Conversations: M. Fethullah Gulen on Turkey, Islam, and the West, dan lain-lain.

Catatan ini akan mengulas pemikiran Ibrahim Abu Rabi dalam II September: Religious Perspective on the Cause and Consequences yang merupakan respon terhadap wacana Islam pasca tragedi 11 September. Sejak terjadinya serangan teroris tersebut, muncul gejala Islamophobia dimana banyak kalangan Barat yang mengklaim Islam sebagai agama kekerasan. Kekerasan dianggap oleh sejumlah kalangan Barat sebagai fenomena yang inheren dengan ajaran Islam itu sendiri dan berakar dari teks-teks keagamaannya. Kalangan Barat pun bertanya-tanya tentang hubungan antara kekerasan dan sakralitas dalam Islam. Ibrahim tertantang untuk menguraikan masalah ini hingga ke akar teologis yang memicu kekerasan (theology of violence).

Baginya, masalah kekerasan dan agama merupakan fenomena yang sangat kompleks, sehingga menuntut pembacaan terhadap dinamika agama, politik, dan ekonomi di dunia Islam, dimana kompleksitas faktor kolonialisme, modernisme, dan nasionalisme ikut ambil peran dalam memicu terjadinya kekerasan atas nama agama. Mengkaji terorisme 11 September juga tidak bisa dilepaskan dari ekses modernisasi Barat terhadap dunia Muslim, dimana Amerikanisasi telah menjadi fenomena yang mungkin memicu respon-respon negatif dari kelompok Islam tertentu.

Untuk memberikan jawaban atas problematika tersebut, Ibrahim memfokuskan kajiannya pada masalah peran modernisasi, nasionalisme, revivalisme religius di dunia Muslim modern dan kontemporer. Ibrahim juga menaruh perhatian pada masalah dinamika pendidikan dan sosial di negara-negara Muslim, khususnya Arab Saudi yang merupakan kota suci Islam dan tempat kelahiran Osama bin Laden.

Perkembangan Sejarah Dunia Modern
Sejarah Barat sejak abad ke-14 tidak bisa dilepaskan dari dunia Muslim, sebab rekonstitusi di Eropa pada awal era modern merupakan perlawanan terhadap hegemoni internasional dunia Muslim di Afrika Utara, Timur Tengah, dan Eropa Selatan. Modernisasi Barat dipicu oleh faktor eksternal dan internal. Keberhasilan Dinasti Ottoman menaklukkan Constantinopel, pengusiran kaum Muslim dari Spanyol, dan penemuan dunia baru oleh Columbus merupakan faktor eksternal modernisasi Barat. Sementara faktor internal modernisasi Barat adalah dinamika reformasi Gereja, revolusi industri, pencerahan, kapitalisme ekonomi, even-even religius, dan perkembangan filsafat. Semua hal itu mendorong akselarasi modernisasi Barat hingga akhirnya mampu menguasai skala global ekonomi, aktivitas politik, dan militer.

Modernisasi dan kapitalisme yang menggeliat pada abad ke-17 dan 18 berpengaruh besar terhadap tatanan ekonomi dan politik di dunia. Kemajuan-kemajuan Barat kemudian mendorong mereka melakukan proyek kolonialisme dan imperialisme ke belahan negara-negara ketiga untuk mencari sumber-sumber kekayaan alam. Kemajuan Eropa ini juga merefleksikan kemunduran yang terjadi di dunia Muslim pada abad ke-19 dimana stagnansi pemikiran dan kemerosotan ekonomi tak terhindarkan lagi. Realitas sosial ini mengundang respon dari para intelektual Muslim yang terrefleksikan dalam karya-karya, pidato-pidato, dan perjuangan politik mereka. Respon dunia Muslim terhadap tantangan-tantangan kolonialisme mengambil bentuk yang beragam, namun semuanya bertujuan menghidupkan kembali dan merekonstruksi institusi agama, sosial, politik, dan ekonomi. Respon-respon tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga: modernisasi, nasionalisme, dan revivalisme Islam.

Tantangan-tantangan modernisasi Barat mendorong dinasti Ottaman untuk melakukan modernisasi pada awal abad ke-19 yang disebut dengan istilah tanzimat. Namun modernisasi ini tidak seutuhnya berhasil karena tidak dapat mencegah runtuhnya otoritas politik dinasti Ottoman. Sebelum situasinya semakin kacau maka para intelektual Turki mengadopsi Westernisasi dan sekularisasi sebagai solusi.

Ibrahim Abu Rabi menilai bahwa nasionalisme merupakan respon dunia Muslim terhadap tantangan-tantangan yang datang dari dunia Barat. Gerakan-gerakan nasionalis di dunia Muslim diprakarsai untuk melawan kolonialisme. Para pemimpin gerakan nasionalis di dunia Muslim biasanya tidak menggunakan slogan-slogan religius dalam pidato-pidato mereka. Tren ini diwakili oleh Soekarno di Indonesia, Kemal Ataturk di Turki, dan Muhammad Ali Jinnah di Pakistan.

Bentuk respon lain atas tantangan-tantangan kolonialisme adalah revivalisme Islam. Revivalisme di dunia Islam dapat dibagi menjadi empat periode: 1) pra-kolonial; 2) kolonial; 3) post-kolonial; 4) post-nation-state. Wahabiyah adalah representasi gerakan revivalisme pra-kolonial. Wahabiyah muncul dari sebuah reaksi terhadap dekandensi internal kaum muslim yang dinilai telah mengalami deviasi dari ajaran-ajaran otentik. Sedangkan Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama merupakan organisasi kebangkitan pada era kolonial. Revivalisme era kolonial juga dapat diwakili oleh Ikhwan al-Muslimun di Mesir dan Jamaah Islamiyah di India. Organisasi-organisasi revivalis era kolonial ini bergerak dalam kemajuan bidang pendidikan dan memiliki ambisi mengontrol kekuasaan untuk melawan penjajah. Revivalisme post-kolonial diwakili oleh munculnya gerakan jihad di Mesir pada tahun 1970-1980. Sedangkan revivalisme post-nation-state diwakili oleh gerakan Taliban dan Al-Qaeda.

Al-Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin Laden muncul sebagai reaksi atas konspirasi Arab Saudi dengan Amerika Serikat. Amerika sangat kencanduan minyak Saudi. Saudi pun kaya raya dan memiliki modal finansial yang kuat untuk melakukan pembangunan dan modernisasi. Namun modernisasi Saudi ini terlihat absurd karena tidak dibarengi dengan demokratisasi institusi. Dan naifnya para ulama Saudi tidak kritis menyikapi kebijakan penguasa yang pro-Barat karena mereka telah menikmati fasilitas yang diberikan oleh penguasa. Hal ini berbeda dengan ulama muda ortodoks yang menentang modernisasi dan konspirasi dengan Barat; mereka akhirnya memilih jalur teror.

Al-Qaeda dapat dipahami sebagai produk pertentangan antara modernisasi dengan nilai-nilai tradisi. Sebagai fenomena politik dan militer, gerakan ini merupakan gerakan yang memiliki background pendidikan tradisional. Kemunculan kelompok radikal ini juga disebabkan oleh lingkungan dan institusi yang tidak demokratis. Ibrahim menegaskan bahwa selama ketidakadilan dan kurangnya kebebasan demokratis terjadi di sebuah negara, maka interpretasi ekstrem atas Islam akan senantiasa muncul. Dari sini dapat diambil benang merah bahwa upaya mewujudkan keadilan dan demokratisasi merupakan solusi meminimalisir radikalisme religius.

Pendidikan di Dunia Muslim: Antara Modern dan Tradisional?
Ibrahim melihat bahwa telah banyak negara Muslim yang menerima modernisasi setelah era kemerdekaan. Indonesia, Pakistan, dan Mesir telah mendorong modernisasi di bidang pendidikan dan institusinya dengan menciptakan pendidikan terbuka bagi semua warganya. Namun di negara Muslim lainnya masih terdapat sejumlah kebijakan yang menolak modernisasi pendidikan dengan tujuan tersembunyi agar dapat terus mempertahankan status quo. Melihat realitas itu maka negara-negara Muslim membutuhkan lingkungan pendidikan yang pluralistik dan inklusif, dimana lembaga pendidikan menerima pembaharuan-pembaharuan kurikulum.

Lembaga pendidikan Islam sangat membutuhkan modernisasi. Ibrahim sepakat dengan Abd al-Majid al-Charfi, pemikir Tunisia, yang mengusulkan modernisasi Islam dengan menawarkan pemahaman yang membedakan antara “Islam” dan “Islamic thought” (al-fikr al-Islami). Islam merupakan agama yang sakral, sedangkan Islamic thought adalah pemikiran Islam yang tak sakral seperti tafsir, ilmu hadits, kalam, fiqh, tasawuf, dan lain-lain. Islam adalah produk Tuhan, sementara pemikiran Islam adalah produk manusia. Islam itu tunggal, tetapi pemikiran Islam pastilah beragam. Namun kaum Muslim tradisional sering mengatasnamakan pemahaman Islam mereka sebagai Islam itu sendiri, sehingga terjadilah pengkultusan terhadap pemahaman Islam. Pembedaan antara Islam dan pemikiran Islam ini penting dalam proses modernisasi di lembaga pendidikan Islam, sebab dengan pembedaan dua hal itu akan dimungkinkan munculnya inovasi dan pembaharuan yang dinamis. Penulis melihat bahwa pemikiran ini banyak disuarakan oleh para pemikir Arab modern dan kontemporer, namun hingga kini masih banyak kaum Muslim yang tak henti-hentinya mengkultuskan pemahaman Islam ulama klasik yang notabene merupakan produk manusia masa lalu.

Abd al-Majid al-Charfi juga menawarkan pemikiran yang senada dengan gagasan Nurcholis Madjid, yakni terkait pemaknaan Islam. Islam dapat didefinisikan secara simple sebagai penyerahan diri kepada Tuhan yang Esa, tetapi, pada waktu bersamaan, Islam dapat diartikan sebagai kepercayaan monoteis yang berhubungan dengan agama Islam, Yahudi, dan Kristen. Dengan demikian seseorang dapat melihat Islam secara inklusif dari perspektif Abrahamic religion.

Ibrahim Abu Rabi juga sepakat dengan Nashr Hamid Abu Zaid yang mengusulkan pentingnya modernisasi pemikiran melalui rekonseptualisasi tekstualitas al-Quran. Ibrahim dan Abu Zaid menilai bahwa peradaban Islam adalah peradaban teks. Teks (al-nash) menjadi sentral dalam kebudayaan Muslim. Teks-teks keagamaan tidak turun dalam ruang hampa, tetapi senantiasa turun berdialektika dengan realitas sejarah kebudayaan manusia. Dengan demikian harus dipahami hubungan dialektis (dialectical relationship) antara teks dan realitas sosio-historis serta antara teks dan penafsiran manusia. Sejarah Islam pun merupakan produk hubungan yang kompleks antara aspek kemanusiaan dan wahyu, atau antara teks agama dan faktor sosio-ekonomi-politik. Oleh sebab itu, Islam harus dipahami secara sosiologis.

Ibrahim Abu Rabi juga mengapresiasi pemikiran Rochdy Alili, dalam bukunya Qu’est-ce que l’islam? (Apa itu Islam?), yang membedakan antara Islam sebagai nilai normatif dan Islam sebagai fenomena historis. Islam merupakan agama yang bersumber dari wahyu, namun—dalam sejarah evolutifnya—Islam telah menciptakan tradisi politik, filsafat, khazanah keilmuan, sosial, dan budaya yang sangat kompleks. Islam pun ditarik-tarik ke dalam isu-isu sosial-politik, sehingga para intelektual dan politisi akan memiliki penafsiran yang berbeda tentang Islam. Dalam konteks ini, Islam dapat dipahami sebagai kekuatan pasif maupun revolusioner. Pada masa kolonial, Islam sering dipahami sebagai kekuatan revolusioner untuk mengusir penjajah, sebagaimana yang dilakukan oleh Abd al-Qadir al-Jazairi dan Syaikh Sanusi di Afrika Utara. Islam akhirnya menjadi wilayah yang problematik; Islam dapat diartikan sebagai teks dan teologi; Islam sebagai pemikiran keislaman; Islam sebagai sejarah; dan Islam sebagai sebuah atau sejumlah institusi agama.

Pendidikan Islam tradisional diharapkan sudi menerima terobosan-terobosan pemikiran di atas agar terjadi pergeseran paradigmatik. Namun, diakui atau tidak, lembaga pendidikan tradisional masih tertutup untuk menerima pemikiran-pemikiran baru yang menggandeng disiplin ilmu umum akibat trauma kolonialisme. Pada era kolonial terjadi dikotomi antara ilmu agama dan umum. Lembaga pendidikan Islam tradisional menaruh curiga kepada kurikulum pendidikan umum yang dinilai tidak Islami dan berbau Barat. Mengadopsi pengetahuan umum sama saja dengan westernisasi. Eksklusivitas inilah yang mengakibatkan semakin jauhnya lembaga pendidikan tradisional dari modernitas. Lembaga pendidikan kian terasing dari perkembangan ilmu-ilmu empirik dan rasional. Di Arab Saudi, Pakistan, Afghanistan, Yaman, dan lain-lain, tradisionalisme sangat kuat dimana kurikulum abad pertengahan tidak mengalami perubahan berarti dan telaah kritis sangat dihindari.

Pendidikan tradisional masih belum menerima analisis kritis yang berbasis pada ilmu-ilmu sosial dan filsafat kritis. Pendidikan tradisional terlalu terpaku pada sistem menghafal dan mengulang-ulang produk pemikiran klasik tanpa ada inovasi. Ibrahim setuju dengan statemen Rifaat Said, pemikir Mesir, bahwa pendidikan tradisional sangat literalistik. Kajian-kajian tradisional secara ideologis lebih dikonstruksikan untuk membela, bukan mempertanyakan, status quo. Dengan demikian, diperlukan pembacaan modern dan kontemporer terhadap turats agar terjadi transformasi paradigmatik dari tradisionalisme ke post-tradisonalisme/modernisme, sebagaimana yang usung oleh Muhammed Abed al-Jabri dalam proyek Naqd al-Aql al-Arabinya.

Intelektual Elit Arab Modern
Para penguasa diktator di dunia Muslim tidak pernah menghendaki demokrasi yang dinilai dapat mengancam kekuasaan mereka. Wacana demokratisasi dan modernisasi Arab telah lama digulirkan oleh para pemikir, namun para rezim diktator Arab baru tumbang satu persatu pada saat ini. Wacana demokratisasi dan modernisasi sebenarnya telah bergulir di dunia Arab pasca kekalahaan negara-negara Arab dari Israel pada tahun 1967. Di tengah-tengah proses demokratisasi yang jauh dari komplit, modernisasi yang dibangun oleh penguasa diktator pun mengalami kegagalan. Sebagai respon atas kegagalan itu muncullah kelompok-kelompok Islamis yang menawarkan penerapan syariat Islam. Di sisi lain, kelompok sekularis menilai bahwa tradisi pemikiran Islam yang diusung oleh kelompok Islamis justru akan menghambat laju kemajuan dan demoktarisasi.

Kelompok sekular ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga: 1) Arab nasionalis seperti Qustantine Zurayk. Pemikiran-pemikirannya dapat dijumpai dalam buku al-Mualafat al-Kamilah li Doktor Qustantine Zurayk; 2) para pemikir Marxis yang diwakili oleh Adonis, Ghali Shukri, Abdallah Laroui, al-Afif al-Akhdar, Sadiq Jalal al-Azim, Tayyib Tizine, Halim Barakat, Husain Muruwah, dan lain-lain. Gagasan-gagasan para pemikir Marxis ini, menurut penulis, sangat layak diapresiasi oleh kalangan Muslim tradisional. Pemikiran mereka dapat memberi kontribusi besar bagi perkembangan dinamika pemikiran Islam tradisional. Sebagai contoh, misalnya, Husein Muruwah, dalam bukunya al-Naz’ah al-Madiyah fi al-Falsafah al-Islamiyah (Kecenderungan Materialis dalam Filsafat Islam), menenjelaskan perkembangan pemikiran Islam dari era awal dengan pendekatan dialektika-meterialis-historis (jadaliyah madiyah tarikhiyah). Pendekatan ini setidaknya dapat membuka cakrawala kalangan tradisional bahwa khazanah keilmuan Islam merupakan produk pemikiran yang terikat dengan kondisi sosio-ekonomi, kultur, dan politik sepanjang sejarah Islam. Pertentangan kelas antara borjuis dan proletar ikut mewarnai corak wacana Islam. Pemikiran kelas borjuis dan penguasa akan menciptakan khazanah Islam pro status quo, sementara wacana Islam yang muncul dari kalangan proletar akan membentuk wacana kiri Islam yang marginal. Khazanah pemikiran Islam dibaca dengan pendekatan sosiologis kemudian dipilah-pilah antara wacana yang pasif dan revolusioner; 3) kelompok sekular-liberal yang diwakili oleh Zaki Najib Mahmud, Jabir Asfur, Fuad Zakaria, Faraj Fauda, dan lain-lain. Mereka menyuarakan pentingnya keluar dari kungkungan tradisi dan menolak upaya politisasi agama yang dilakukan oleh kelompok Islamis. Faraj Fauda dan sejumlah pemikir Al-Jazair dan Tunisia bahkan secara ekstrem mengasosiasikan bahwa semua tradisi Islam dapat menghambat kemajuan dan merusak civil society. Para pemikir sekular ini tentu memiliki pemikiran yang beragam, namun secara garis besar mereka disatukan oleh sebuah gagasan utama bahwa kekalahan Arab dari Israel adalah karena ketertinggalan dunia Islam dari modernitas Zionis.

Kesimpulan
Dunia Muslim menghadapi tantangan-tantangan yang kompleks dalam aspek sosial, politik, ekonomi, dan budaya, kemudian menimbulkan respon yang beragam dari kelompok-kelompok modernis, nasionalis, dan Islamis revivalistik. Tantangan-tantangan itu harus dihadapi dengan gerakan modernisasi dan demokratisasi dalam segala bidang; institusi pendidikan maupun politik. Hal ini penting untuk menyikapi politik otoritarianisme yang berkembang di dunia Arab. Munculnya respon dari kelompok modernis, nasionalis, dan Islamis merupakan fenomena yang tak dapat dipungkiri sebab pemerintah di beberapa negara Muslim gagal menciptakan percepatan proses demokrasi. Dunia Arab juga mengalami kekacauan politik akibat menguatnya cengkraman militer dalam mengendalikan kekuasaan. Hal ini diperparah oleh dukungan kekuatan Barat terhadap rezim-rezim otoriter. Ibrahim Abu Rabi menyayangkan munculnya respon-respon negatif dari kelompok Islamis revivalistik, namun, di sisi lain, ia juga mengkritik kuatnya intervensi Barat atas kebijakan-kebijakan dunia Muslim yang dapat memicu gerakan radikalisme. Dengan demikian, upaya menanggulangi kekerasan atas nama agama adalah melalui proses modernisasi, demokratisasi, dan minimalisasi intervensi Barat terhadap kebijakan ekonomi dan politik di dunia Muslim.

Sumber : http://as-salafiyyah.blogspot.com/search/label/Biografi%20Ulama

Senin, 25 Juli 2011

Prof. Dr. Komaruddin Hidayat

Komaruddin Hidayat (lahir di Magelang, Jawa Tengah, 18 Oktober 1953; [1] adalah rektor Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta untuk periode 2006-2010.[1] Selain sebagai akademisi, ia juga menjadi penulis kolom di beberapa media massa.[2] Kemampuan inteletualitasnya ia tunjukkan dengan menjadi peneliti di beberapa lembaga kajian dan penelitian.[2]

Karier

Sejak kecil Komar dekat dengan dunia Islam utamanya pesantren.[2] Komarudin merupakan Alumni pesantren modern Pabelan, Magelang (1969) dan Pesantren al-Iman, Muntilan (1971).[2] Setelah lulus dari pesantren, ia melanjutkan studi sarjana muda (BA) di bidang Pendidikan Islam (1977) dan sarjana Lengkap (Drs.) di bidang Pendidikan Islam (1981) di IAIN Jakarta.[1]

Komar melanjutkan studi doktoral ke luar negeri.[1] Ia Meraih doktor di bidang Filsafat Barat di Middle East Techical University, Ankara, Turkey (1990).[1]

Pada 17 Oktober 2006, dalam rapat senat yang dipimpin oleh Azyumardi Azra, di Auditorium utama UIN Syarif Hidayatullah, Komar terpilih sebagai rektor universitas tersebut.[1] Ia memenangi pemilihan suara atas dua kandidat lainnya yakni Prof. Dr. Masykuri Abdillah dan Prof. Dr. Suwito.[1]

Komar merupakan kolumnis di beberapa media massa seperti Harian Kompas dan Seputar Indonesia dan Republika.[2] Selaku akademisi, Komar menjadi Dosen pada Fakultas Pasca Sarjana IAIN Jakarta (sejak 1990), dosen pada Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia (sejak 1992), dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara (sejak 1993).[2]

Selain sebagai dosen, ia juga sebagai Dewan Redaksi majalah Ulumul Qur`an (sejak 1991), Dewan Redaksi jurnal Studia Islamika (sejak 1994), Dewan Editor dalam penulisan Encylopedia of Islamic World, dan Direktur pada Pusat Kajian Pengembangan Islam Kontemporer, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sejak 1995).[3] Sejak tahun 1990, ia merupakan salah satu peneliti tetap Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta.[3]

Perjalanan hidup

Komar lahir di keluarga miskin di Muntilan.[4] Meski keadaan tidak menguntungkan, ia memiliki motivasi kuat dalam meraih pendidikan yang terbaik.[rujukan?] Untuk meraih keberhasilan, Komar memiliki motivasi besar yang dilatarbelakangi empat hal.[4] Empat hal inilah yang menjadi titik balik bagi hidupnya.[rujukan?] Pertama, kondisi kampung halaman yang menyedihkan.[rujukan?] Kedua, wafatnya ibu sejak kecil.[4] Ketiga, sosok neneknya, Qomariyah, yang arif dan menanamkan semangat kehidupan yang besar.[4] Keempat, hadirnya sosok Kiai Hamam Ja’far dan kondisi pesantren yang menjadi latar sosial tempat dirinya tumbuh menjadi sosok yang dewasa.[4]

Nenek Komar adalah orang yang arif.[rujukan?] Ia menggantikan peran ibu yang telah meninggalkannnya sejak kecil.[4] Selain kagum terhadap neneknya, Komar juga mendapat dorongan motivasi dari Kiai Hamam Ja’far di Pesantren Pabelan, Magelang.[rujukan?] Komar menilai, sosok Kiai Hamam yang sudah dianggap sebagai ayahnya itu seperti sosok Nabi Musa.[4] Yakni, figur pemimpin, panutan, dan pemberi petunjuk yang selalu bersikap keras untuk menaklukkan ketimpangan dan kemiskinan.[4]

Kiai Hamam mengajarkan Komar bahwa manusia punya hak untuk merdeka, untuk hidup.[4] Kiai Hamam menunjukkan semangat dan etos kerja tinggi yang ditunjukkan Nabi ketika hijrah.[4] Komar juga mendapat pesan bahwa prinsip hidup harus seperti air.[rujukan?] Kalau mengenang saja, ia akan menjadi sumber penyakit, sementara apabila mengalir, ia akan menjadi bersih.[4]

Berkat motivasi tersebut, Komar merantau ke Jakarta pada usia 18 tahun sehingga akhirnya beberapa capaian ia raih, antara lain mendapat kesematan belajar di luar negeri dan menjadi rektor universitas.[4] Ia juga telah berkeliling ke 30 negara dalam rangka seminar dan studi komparatif untuk masalah kebudayaan dan pengembangan keagamaan dengan berbagai universitas dan NGO.[3]

Biografi lengkap

Berikut biografi lengkap Komarudin Hidayat.[5]

Jabatan
Rektor UIN Jakarta, 2006-2010
Ketua Panitia Pengawas Pemilu 2004

Pendidikan
Ponpes Pabelan, Magelang (1969)
Sarjana Fakultas Ushuludin IAIN Jakarta (1981)
IMaster and PhD Bidang Filsafat pada Middle East Technical University, Ankara, Turki (1995)
Post Doctorate Research Program di Harfort Seminary, Conecricut, AS, selama satu semester (1997)
International Visitor Program (IVP) ke AS (2002)

Pengalaman kerja
Guru Besar Filsafat Agama, UIN Jakarta (sejak 2001)
Direktur Eksekutif Yayasan Paramadina (1996-2000)
Associate Trainer/Consultant bidang HRD pada Vita Niaga Colsultant (sejak 1999)
Dosen Tetap Institut Bankir Indonesia (sejak 2000)
Dosen Pascasarjana Universitas Gajah Mada (sejak 2003)
Advisory Board Member of Common Ground Indonesia (sejak 2001)
Ketua Panitia Pengawas Pemilu Pusat (2003-2004)
Chairman pada Indonesia Procurement Watch (sejak 2002)
Direktur Eksekutif Pendidikan Madania (sejakn 2001)
Dewan Pertimbangan Pendidikan DKI Jakarta (sejak 2004)
Direktur Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta (sejak 2005)
Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan RI (sejak 2005)
Ketua Panitia Pengawas Pemilu, 2004
Rektor UIN Jakarta, 2006-2010

Karya tulis
Memahami Bahasa Agama (1996)
Masa Depan Agama (1995)
Tragedi Raja Midas (1998)
Tuhan Begitu Dekat (2000)
Wahyu di Langit, Wahyu di Bumi (2002)
Menafsirkan Kehendak Tuhan (2003)
Psikologi Kematian (2005)

Referensi
^ a b c d e f g tokohindonesia.com. Prof Dr Komaruddin Hidayat: Rektor UIN Jakarta 2006-2010. (diakses 3 Mei 2010)
^ a b c d e f www.bukabuku.com. Komarudin Hidayat
^ a b c bhaca.org. Profil Komaruddin Hidayat. (diakses 5 Mei 2010)
^ a b c d e f g h i j k l Indopos. Minggu, 22 Oktober 2006. “Ke Jakarta untuk Menaklukan Kemiskinan”
^ website HMI cabang Ciputat. Komarudin Hidayat (diakses 3 Mei 2010)

http://wwwinfonusantara.blogspot.com/2010/07/komaruddin-hidayat.html

Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah, MA


Antar Peradaban Harus Saling Melengkapi

Jika hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan tampak makin mesra di Indonesia, maka tengoklah figur Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah, MA. Sebab dia termasuk cendekiawan Muslim yang sangat getol memperjuangkannya. Bayangkan, ketika dulu umat Islam masih merasa ‘gerah” dengan yang namanya “ilmu modern”, dirinya justru dengan lantang menyuarakannya.

Sebab menurutnya, antara disiplin ilmu agama dan ilmu pengetahuan semestinya saling memiliki keterhubungan. Oleh karenanya, dirinya sangat keras menolak pemisahan antar keduanya. Sebab hal itu justru dapat menciptakan justifikasi yang sesat bagi masyarakat Muslim. “Itu bisa menimbulkan persepsi, bahwa ilmu agama hanya berupa konsep-konsep ketuhanan, kenabian, akidah, fiqh, tafsir, hadist dan sebagainya,” ungkapnya. “Sedangkan yang berada di luar itu, dianggap berada di luar kajian wilayah agama,” tuturnya menambahkan.

Paradigma berpikir semacam itu, ujar Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini, sudah seharusnya diubah. Sebab untuk memahami kompleksitas realitas kehidupan, keilmuan apapun tak bisa berdiri sendiri. Untuk dapat menyelesaikan persoalan kehidupan, maka dibutuhkan perangkat ilmu lainnya. Jika keterkaitan ilmu itu diputus, maka akan bisa menimbulkan sikap fanatisme pada disiplin keilmuan.

Lelaki yang dilahirkan pada tanggal 28 Juli 1953 di desa Margomulyo, Tayu, Kabupaten Pati, Jawa tengah ini, sejak kecil memang memiliki bakat kecerdasan dan daya fikir yang luar biasa. Itulah sebabnya, selepas dari SDN Margomulyo di tahun 1966, dirinya dikirim keluarganya untuk menempuh studi di Kulliyatul al-Muallimin al-Islamiyah (KMI) Pondok Modern Gontor Ponorogo.

Setelah menamatkan pendidikannya pada tahun 1972, dia melanjutkan studinya ke Institut Pendidikan Darussalam (IPD) di tempat yang sama. Setelah meraih gelar Bachelors of Art di tahun 1977, lantas hengkang ke Yogyakarta dan masuk ke IAIN Sunan Kalijaga pada Fakultas Ushuluddin jurusan Perbandingan Agama.

Ketika pertama kali memasuki Kota Yogyakarta di tahun 1978, orang pertama di PT dengan ribuan mahasiswa ini merasakan, kota tersebut amatlah kondusif bagi kerukunan hidup beragama. Mahasiswa yang berada di kampus-kampus, dihuni dari berbagai etnis dan agama. Mereka dapat membaur dalam kehidupan yang plural. “Kota Yogyakarta adalah sosok yang unik dan inspirasional bagi dialog antar umat beragama,” celetuknya.

Obsesi hidup pada sebuah masyarakat yang pluralistik tersebut, sudah terbina sejak di pendidikan menengah Pondok Modern Gontor. Dan kebiasaan itu makin berkembang, ketika dirinya menjadi mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga. “Sewaktu di Gontor, kami sudah dibiasakan hidup memadukan antara teks dan konteks, antara teks dan realitas sosial,” tukasnya.

Kondisi yang ada di Yogyakarta, simpulnya, sangat menunjang untuk komunikasi antar umat beragama secara baik. Sebab ada empat prasyarat untuk dapat menciptakan hubungan tersebut menjadi baik. Pertama, dialog antar agama tidak terbatas pada tataran teologis dan filosofis, tetapi pada praktik hidup sehari-hari. Kedua, adanya pemahaman agama yang mendalam. Ketiga, pemahaman sejarah agama masing-masing. Dan yang keempat, selain lembaga-lembaga pendidikan, perlu dikembangkan pula lembaga-lembaga studi multiagama.

Pada tahun 1982, dia meraih gelar S1 dari IAIN Sunan Kalijaga. Setahun kemudian suami Hj Nurkhayati ini diangkat menjadi Dosen Tetap di Fakultas Ushuluddin di Universitas yang sama. Kemudian pada tahun 1985, atas sponsor Departemen Agama RI dan Pemerintah Republik Turki, dirinya mengambil Program Ph.D bidang Studi Filsafat di Department of Philosohpy, Faculty of Art and Sciences, Middle East Technical University (METU), Ankara, Turki.

Di sini dia sempat menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI). Hal itu dilakoninya pata tahun 1986 hingga 1987. Selama libur musim panas, Amin bekerja part time di Sekretariat Kantor Haji di Jeddah (1985 dan 1990), di Makkah (1988) dan di Madinah (1989). Sementara gelar Ph.D pada institusi tersebut, diraihnya di tahun 1990.

Waktu itu disertasinya mengangkat judul “The Idea of University of Ethical Norms in Ghazali and Kant”, yang kemudian diterbitkan di Turki (Antara; Turkiye Diyanet Vakfi) pada tahun 1992. Karya terjemahannya diterbitkan tahun 1995, oleh penerbit Rajawali (Jakarta) dengan judul: Agama dan Akal Pemikiran; Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusiawi.

Pada tahun 1993, dia menjadi Dosen Tetap di Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, dan diserahi materi Filsafat Islam dan Filsafat Agama. Di tahun ini pula, dirinya diserahi tugas sebagai Asisten Direktur Pascasarjana pada Institut yang sama. Hal itu dipangkunya hingga tahun 1996. Disamping itu juga menajabat sebagai Wakil Kepala Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), Universitas Muhamadiyah Yogyakarta.

Dua tahun kemudian, bapak tiga anak ini juga mengajar di beberapa kampus ternama di Indonesia. Disamping mengajar di IAIN Sunan Ampel Surabaya, Universitas Muhammadiyah Malang dan IAIN Walisongo Semarang, juga megajar pada Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, serta di Universitas Islam Bandung (UNISBA).

Namun kesibukan tersebut sejenak ditinggalkannya, karena harus pergi ke Canada untuk mengambil Program Postdoctor, McGill University, Montreal dan selesai pada tahun 1998. Di tahun inilah, dirinya diserahi jabatan sebagai Wakil Rektor UIN Sunan Kalijaga. Juga sekaligus dipercaya sebagai Kepala Departemen Agama dan Filsafat di Program Pascasarjana. Hal itu dijalaninya hingga tahun 2002. Sebab di tahun itulah, dirinya diangkat menjadi Rektor UIN Sunan Kalijaga – hingga dua periode masa jabatan.

Betapun kesibukan akademiknya banyak menyita waktu, namun masih tetap menyempatkan diri untuk kegiatan sosial. Amin Abdullah tercatat pernah menjadi Ketua Asosiasi Mahasiswa Indonesia di Turki (1987 s/d 1988), serta sebagai Ketua Divisi Umat dan sumberdaya manusia ICMI-DIY (1991 s/d 1995). Pada periode tersebut, dia juga menjadi Anggota Majlis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Kemudian juga menjadi Ketua Majlis Tarjih Muhammadiyah (1995 s/d 2000), sebagai Anggota Dewan Konsultatif, Indonesia Conference on Religion and Peace / ICRP (2000 s/d 2002), menjadi Wakil Ketua Dewan Nasional Muhammadiyah (2000 s/d 2005), serta sebagai Anggota Badan Akreditasi Jurnal (2003 s/d 2004).

Itulah sebabnya, nama Pak Amin – demikian panggilan karibnya – tak asing lagi di kalangan akademisi Muslim Indonesia. Apalagi kreativitas dan ide-idenya seolah tak pernah mengering. Lebih-lebih yang diperuntukkan bagi dunia pendidikan. Untuk dapat mengembangkan dunia pendidikan seoptiomal mungkin, ujarnya, hendaknya pendidik tidak terpaku pada kurikulum. “Kurikulum hanyalah sebagai patokan, yang harus dikembangkan dengan kreativitas yang tinggi oleh setiap pendidik,” tandasnya.

Yang amat disayangkannya, kenapa dunia akademik kita mesti terpaku dan selalu berkiblat ke Barat? Padahal pengembangan dunia akademik di Timur Tengah, terlihat lebih memanusiawikan manusia. Ketika memberikan beasiswa pendidikan bagi mereka yang sudah berkeluarga misalnya, anak istrinya juga mendapat biaya hidup di tempat mereka belajar. “Sementara negara-negara Barat, justru mengganggap manusia seperti mesin,” tandasnya.

Semangat pluralistik negara-negara AS, menurutnya, baru sebatas di dalam saja. Cara melihat ke dalam inilah yang tampak sangat menonjol. Namun ketika melihat ke luar, mereka tak mau menghargai adanya realitas pluralisme. “Nah, dalam semangat itu AS menempatkan cara bersikap dan bertindak secara sepihak terhadap persoalan-persoalan di luar negaranya,” tegasnya. “Oleh karenanya AS perlu belajar menghargai realitas pluralisme, sama seperti yang dikembangkan di negara mereka,” tambahnya.

Keterperangahan terhadap dunia Barat inilah, tuturnya, yang mengakibatkan terjadinya pengagungan secara berlebihan terhadap kekuatan rasio. Dan itu telah menjadi gejala global, yang telah menyebabkan krisisnya manusia modern. Sehingga kehidupan keberagamaan, terkesan hanya sebagai rutinitas formalitas semata. Manusia menjadi kehilangan makna hidup, karena spiritualitas agama tidak terasah. “Gejala seperti ini tak hanya menerpa masyarakat urban, bahkan sudah menembus desa-desa di pelosok tanah air,” tengarainya. “Keadaan seperti ini, membawa masyarakat Islam berupaya mencari kembali pesan keruhanian Islam yang seakan menghilang,” tambahnya bernada harap.

Dirinya menyayangkan, kenapa untuk membangkitkan kembali spiritualitas agama yang semakin kering ini, malah dimaknai sepenggal-sepenggal oleh kelompok serpihan umat Islam. Padahal sesungguhnya, Islam tidak bisa dimaknai secara sepenggal-sepenggal; yang terpenting adalah sisi syari’atnya, atau tarekatnya, hekekatnya atau makrifatnya saja. “Keempat-empatnya harus diasah bila ingin menjalani Islam secara kaffah. Sehingga kebeningan jiwa dan kegairahan spiritual akan bisa dicapai,” terangnya.

Pada saat berfikir, bersikap dan berbuat, kata Amin, seseorang hendaknya terus mengedepankan hati, sehingga timbul penghargaan terhadap kehidupan orang dan mahluk hidup lainnya. Sebab Islam hadir secara universal untuk kebahagiaan seluruh umat manusia di dunia maupun di akherat. “Islam merupakan panggilan suci untuk seluruh jiwa manusia, dan bukan untuk kelompok-kelompok yang berserpih,” tegasnya. “Bahkan kenyataannya, kehadiran kelompok serpihan itulah yang justru menodai pesan ruhaniah Islam itu sendiri,” tambahnya menjelaskan.

Untuk menyuarakan ide-idenya itulah, Guru Besar bidang filsafat agama ini banyak menulis di berbagai media cetak. Seperti di Al-Jami’ah (Media Ilmu Pengetahuan Agama Islam, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), Akademika (Universitas Muhammadiyah Surakarta), Al-Qalam (IKIP Muhammadiyah Yogyakarta), Jurnal Teologi GEMA (Universitas Duta Wacana Yogyakarta), Media Inovasi UMY, Pembimbing (Departemen Agama Jakarta), Jurnal Studi Islam, Islamika, Suara Muhammadiyah, Ulumul Qur’an, dan sebagainya.

Ide-ide tersebut juga dituangkannya dengan menulis buku. Di antara buku-bukunya yang telah terbit; Falsafah Kalam di Era Posmodernisme (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995), Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996), Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer (Mizan, Bandung, 2000), Arah Baru Studi Keislaman: Pendekatan Integratif-Interkonektif (Pustaka Pelajar, Yogyakarta), dan lain sebagainya.

Sementara buku yang ditulisnya bersama cendekiawan yang lain, meliputi; Islamic Studies Dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi: Sebuah Antologi, Pendidikan Agama Era Multikultural-Multireligius, Integrasi Sains-Islam: Mempertemukan Epistemologi Islam dan Sains, Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum, Upaya Mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum, Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, serta Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer.

Disamping menerjemah buku karya penulis berkaliber dunia, Amin Abdullah juga sangat aktif menjadi narasumber baik pada seminar nasional maupun internasional. Di antaranya adalah seminar yang diselenggarakan di Kairo, Mesir (1992), Ankara, Turki (1993), Malaysia (1994), Leiden, Belanda (1996), Tokyo, Jepang (1999), Libya (2000), Korea Selatan (2003), Kanada (2003), London (2003), Kuala Lumpur, Malaysia (2003), Belanda (2003), Thailand Selatan (2005), Universitat Marburg, Jermany (2005), Kremlin, Moskow (2005). Bahkan empat tahun terakhir ini, dirinya juga masih kerap diundang menjadi narasumber di berbagai negara.

Yang diserukannya melalui berbagai seminar dan beragam karya tulisnya, adalah bermuara pada perlunya dialog kebersamaan. Sebab manusia tak mungkin berdiri sendiri. Ia membutuhkan manusia lainnya untuk saling berinteraksi, saling mengenal dan saling berkembang. Oleh karenanya, antar manusia itu harus saling belajar, saling take and give, agar tercipta regenerasi, bisa tumbuh, bisa berkembang, yang nantinya terjadi siklus yang kemudian muncul generasi baru, dan begitu seterusnya.

Begitu juga dengan peradaban. Sebab peradaban itu muncul bersamaan dengan adanya manusia. Antara yang satu dengan yang lainnya, harus saling belajar, saling melengkapi dan mengisi yang kurang. “Manusia bisa mencapai taraf cita-cita yang diinginkannya, juga melalui peradaban yang terus berkembang ,” tandasnya mengingatkan.

Prof. Dr. H. Nur Syam, Msi

Rektor yang Gemar Membaca Sastra

Rasa sepi ternyata punya ungkapan kreativitasnya sendiri. Begitupun bagi Nur Syam, yang lahir di sebuah dusun kecil Desa Sembungrejo, Merakurak, Tuban. Putra tunggal pasangan Pak Sabar dan Turmiatun ini, di masa kanaknya kerapkali diliputi rasa sepi yang mengiris. Tetapi rasa sepi itu segera diusirnya dengan membaca kisah-kisah pewayangan.“Sejak SD saya memang gemar mengoleksi buku-buku pewayangan. Yang paling saya sukai waktu itu, adalah membaca cerita Mahabarata,” kenangnya menerawang ke masa silam.

Rasa sepi itu kian terasa menjarah, ketika dirinya menginjak kelas II SMEP Negeri di tahun 1973. Karena tepat saat itulah, ayahandanya pulang ke Rahmatullah. Bagi usia anak yang tengah beranjak meremaja, saat-saat kesedihan semacam itu tentulah teramat memilukan. Maka hari-haripun terasa disambar oleh kesepian yang sangat panjang. “Untungnya, ibu dan nenek saya begitu hangat dalam memberikan belaian kasih sayangnya,” ungkapnya bernada getir. “Kalau saya lagi ngambek, mereka tinggal berkata: masak sudah besar kok malah seperti itu? Dengan ucapan itu, biasanya hati saya luluh dan menjadi sejuk kembali,” tambahnya dengan senyum dikulum.

Saat-saat sakral yang tak pernah dilupakannya, adalah beberapa jam menjelang ayahandanya wafat. Sebab waktu itu beliau menasehatkan sebuah pesan sambil menahan sakitnya: Aku hanya ingin kamu bisa terus sekolah. Teruskan sekolahmu, Nak. Aku ingin melihat kamu jadi orang pinter. “Sungguh itu merupakan pengalaman yang sangat luar biasa buat saya. Nasehat itu telah memberikan inspirasi dan menguatkan jiwa saya untuk tetap sekolah,” tutur lelaki kelahiran Tuban 7 Agustus 1958 ini dengan air mata yang tertahan.

Itulah sebabnya, meskipun banyak sekali orang yang memintanya untuk berhenti, dirinya tetap saja mengayuh sepeda sepanjang 15 Km ke sekolah. Setiap hari berangkat pukul 5 pagi dan pulang ketika hari menjelang petang. Bahkan dirinya pernah jatuh dua kali dari sepeda hingga patah tulang, sehingga membutuhkan perawatan sebulan untuk penyembuhan. Namun setelah sembuh, dirinya masih tetap saja meminta untuk bersekolah dan terus sekolah.

Jika malam telah tiba, hampir seluruh waktunya dihabiskan di Langgar depan rumah milik kakeknya. Di Langgar inilah anak-anak desa menghabiskan masa-masa kanaknya. Pada saat-saat Ramadhan, keceriaan mereka kian ramai dan menggembirakan. Setiap anak membawa bekal untuk persiapan sahur bersama. “Jadi.. yaa Langgar itulah yang menjadi tempat hiburan saya. Disitulah kami mengusir sepi dengan mengaji bersama, bermain-main dan bercanda-ria, serta tidur pun juga sama-sama di Langgar,” ungkapnya dengan nada yang ceria.

Setelah lulus SMEP dirinya melanjutkan ke PGA. Sebab Kakeknya selalu mengingatkan, agar kelak dirinya menjadi guru agama. Awal-awal di kos-kosan, rasa sepi itu kembali datang menghunjam. Maka diisilah malam-malamnya dengan membaca novel-novel sastra dan cerita pendek. “Koleksi saya waktu itu banyak sekali. Dan yang paling saya sukai adalah karya-karya Hamka,” tuturnya menjelaskan.

Selepas lulus PGA di tahun 1977, Suami Hj. Annisah Sukindah ini melanjutkan ke Fak. Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya. Meskipun dikenal sebagai seorang aktivis, namun rasa sepi itupun masih saja seringkali hadir menemaninya. Di malam-malam sepi itulah, dirinya seringkali menghabiskan buku-buku yang tebal. “Ketika di IAIN, saya hidup sebatang kara. Tak ada keluarga atau famili yang ada di Surabaya. Di kos-kosan tak jarang saya menangis di kamar sendirian,” kilahnya.

Ketika selesai sarjana mudanya, dirinya diminta untuk mengasisteni Prof. Dr. Bisri Affandi – yang waktu itu menjabat sebagai Purek I. Setahun kemudian disarankan untuk mengikuti tes seleksi dosen dan lulus. Maka di tahun 1997 itulah dirinya resmi menjadi dosen PNS. “Ya.. berkat do’a kakek akhirnya saya jadi dosen juga. Padahal seharusnya kan jadi seorang da’i?” tukasnya sambil mengulum senyum.

Setahun kemudian, ayah tiga anak ini diterima di Pascasarjana UIN Yogyakarta. Tetapi karena faktor ekonomi, maka terpaksa niatan itu diurungkannya. Bahkan karena gaji PNS yang pas-pasan, dirinya mengajar banyak kampus di Jawa Timur. Seperti di Surabaya, Sidoarjo, Situbondo, Jombang, Kediri dan Tulungagung. “Saya terus keliling dan hampir nggak pernah pulang di bawah pukul 9 malam. Ya… ngejar setoranlaah!” katanya bernada kelakar.

Pada tahun 1989, dirinya lulus seleksi di PLPA (Program Latihan Pendidikan Agama) di Jakarta. Selama 6 bulan dirinya mendapat gemblengan dan digodok menjadi peneliti di bidang ilmu sosiologi dan antropologi agama. Dari sinilah dirinya tergugah untuk mendalami ilmu-ilmu tersebut. “Itulah yang membuat saya berani melamar ke McGill. Namun karena kemampuan TOEFL saya masih kurang, saya tak bisa diterima,” akunya jujur.

Setelah melewati masa vakum selama tiga tahun, akhirnya Pembantu Rektor II IAIN Sunan Ampel Surabaya ini melanjutkan studinya ke Program Pascasarjana Unair Surabaya. Dirinya berhasil menyelesaikan S2nya di bidang Sosiologi tahun 1997. Sedangkan Doktornya diraih pada tahun 2003 dari universitas yang sama. Tepat pada tanggal 1 Oktober 2005, Guru Besarnya di bidang sosiologi disahkan. Dan pada tanggal 8 Agustus 2008 yang lalu, dirinya terpilih sebagai Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya masa jabatan 2008 – 2012.

Selain menjadi dosen di Fakultas Dakwah dan Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, kini juga masih mengajar pada PPs IAI Ibrahimi Situbondo, PPs IAI Tribakti Kediri, PPs STAIN Tulungagung dan PPs Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum Jombang. Selain itu, pada tahun 2006 juga berkesempatan mengikuti University Management Workshop di McGill University, Montreal, Canada.

Prof. Dr. H. Nur Syam, Msi juga aktif melakukan penelitian ilmiah; seperti Etnografi Kehidupan Penganut Tarekat Syatariyah di Kuanyar Mayong Jepara (Toyota Foundation, 1990), Wanita Pekerja Rumahan di Ujung Pandang (Menteri UPW dan PIKI, 1998), Implementasi Program Tribina di Lamongan (Bappeda TK I Jatim, 1991), Konflik dan Integrasi antara NU dan Muhammadiyah (1991), Agama dan Politik; Makna Afiliasi Politik Penganut Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah di Cukir Jombang (Tesis,1997), Tradisi Islam Lokal Pesisiran; Studi Konstruksi Sosial Upacara pada Masyarakat Palang Tuban (Disertasi, 2005) dan sebagainya.

Tulisannya juga tersebar di berbagai media cetak baik nasional maupun lokal; seperti Harian Pagi Jawa Pos, Harian Surya, Harian Umum Bhirawa, Majalah MIMBAR Pembangunan Agama, Majalah SANTRI. Tulisannya tersebar pula di sejumlah jurnal ilmiah, antara lain Jurnal Studi Keislaman Akademika, Jurnal Qualita Ahsana dan jurnal lainnya.

Sementara bukunya yang telah terbit adalah; Metodologi Penelitian Dakwah (Ramadhani Solo, 1991), Metodologi Penelitian Perspektif Mikro (Media Insan Cendekia, 2003), Pembangkangan Kaum Tarekat (LEPKISS, 2004), Institusi Sosial di Tengah Perubahan (Jenggala Pustaka Utama, 2004), Filsafat Dakwah; Pemahaman Filosofi Tentang Ilmu Dakwah (Jenggala Pustaka Utama, 2005), Bukan Dunia Berbeda; Sosiologi Komunitas Islam (Pustaka Eureka, 2005), Islam Pesisir (LKiS, 2005), Model-Model Pemberdayaan Masyarakat (Pustaka Pesantren, 2005), dan Dakwah Pemberdayaan Masyarakat (Pustaka Pesantren, 2005).

Betapapun sibuk Nur Syam bergelut dengan dunia sains, namun masih saja menyempatkan dirinya untuk membaca novel-novel sastra. Itulah alasan kenapa akhir-akhir ini banyak karya-karya sastra yang dikoleksinya. Lantas bagaimana cara menggabungkan sains dan sastra dalam diri Anda? “Ya.. ketepatan saya kan belajar metodologi penelitian kualitatif. Saya diajarkan bagaimana mengungkapkan realitas dalam bentuk yang verbal. Nah, dalam novel saya bisa belajar bagaimana menarasikan realitas dengan gambaran yang sangat utuh,” tukasnya singkat.

Prof. DR. H. Imam Suprayogo, M.Pd

Pemimpin Itu Seperti Penggembala Kuda

Filosofi dan nilai-nilai hidup yang diterapkan Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, ternyata lebih banyak direguk dari ayahandanya. Di matanya, lelaki itu begitu agung dan sempurna. Kesabarannya bagai luas lautan yang tak bertepi. “Bayangkan, meskipun telah memiliki 16 anak, namun ayah masih menambahnya lagi dengan anak-anak yatim yang dirawatnya di rumah,” tuturnya mengenang. “Betapapun berat beban yang ditanggungnya, tetapi saya tak pernah menjumpai dan melihat kesedihan pada raut wajahnya,” katanya menambahkan.

Banyak sekali teladan dan tugas hidup yang bisa dipetik dari ayahnya. Sewaktu kecil, Imam Suprayogo diberi tugas untuk mengisi kendi depan rumahnya – yang berada di pinggiran kampung. Bagi yang melintas dan merasa kehausan, mereka bisa langsung meneguknya. “Kalau air dalam kendi itu habis, maka ayah akan langsung menegur saya untuk segera mengisinya,” terangnya.

Saat musim paceklik melanda desa, ayahnya berkeliling dari satu rumah ke rumah lainnya. Jika terdapat keluarga yang tak memiliki persediaan pangan, maka dirinya disuruh mengambil makanan yang ada di rumah dan memberikan kepada keluarga tersebut. ”Ayah selalu berpesan, janganlah menjadi orang yang miskin hati dan jiwa,” tukasnya.

Kesantunan tersebut tumbuh dari landasan hidup yang senantiasa dipegangnya; menang tanpo ngasorake, sugih tanpo bondo, sekti tanpo aji-aji, ngluruk tanpo bolo, kayungyun dening pepoyaning kautamaan (menang tanpa merendahkan, kaya tanpa modal, sakti tanpa ajian tertentu, bertempur tanpa bala bantuan, semua dilakukan untuk memperoleh keutamaan hidup).

Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, lahir di Trenggalek 2 Januari 1951. Dirinya dibesarkan dalam tradisi dan keluarga NU yang taat. Ayahnya adalah pengurus NU setempat dan ibunya pengurus Muslimat. Keduanya adalah orang yang sama-sama gemar berorganisasi dan berdakwah. ”Karena waktu itu jarang sekali orang yang punya sepeda, kemana-mana ayah selalu menunggang kuda. Begitupun ketika berdakwah ke pelosok-pelosok kampung,” ungkapnya.

Itulah sebabnya, keduanya menginginkan dirinya untuk tumbuh menjadi seorang da’i. Alasannya, berdakwah bisa dilakukan dengan gampang. Dengan berdakwah, maka seseorang akan dapat dengan mudah mengambil hati dan posisi di masyarakatnya. Namun pada kenyataannya, kata Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang ini, mengajak kepada kebaikan itu bukanlah hal yang gampang.

Apalagi bagi dirinya, yang waktu itu justru menempuh jenjang pendidikannya di SD hingga SMA. Meskipun diserahi sebagai Kepala MI NU yang dikelola ayahnya, namun masih saja dia merasakan betapa sulitnya jadi da’i tersebut. Dari sanalah dirinya menjadi mengerti, bahwa untuk berdakwah perlu mondok di pesantren guna memperdalam ilmu-ilmu agama. Untungnya, seorang kenalan ayahnya memberikan masukan. Sehingga dirinya tak jadi mondok, tetapi langsung meneruskan ke IAIN. Dari sanalah kemudian Suami Hj. Sumarti ini meniti karir sebagai seorang dosen.

Ada peristiwa unik pada awal-awal menjalani profesinya sebagai dosen. Waktu itu – tepatnya di tahun 1968, ayah empat anak ini bisa mengkredit sebuah sepeda motor. Setelah berita itu sampai ke rumah, ayahnya tak bisa tidur. ”Ayah beranggapan jangan-jangan uang yang saya pakai beli, adalah uang yang diambil dari sekolah,” jelasnya.

Lantaran saking kuatirnya, ayahnya berangkat ke Malang hanya untuk sekedar memastikannya. Berangkat dari Trenggalek jam 1 siang dan sampai di Malang malam hari. Karena angkutan kota sudah tidak ada lagi, ayahnya berjalan kaki dari terminal menuju ke rumahnya dan sampai pada pukul 23.00 Wib. ”Setelah diberi tahu kalau pembayarannya diangsur selam tiga tahun, beliau baru bisa merasa lega. Dan esoknya minta diantarkan dengan sepeda motor baru tersebut ke terminal,“ kenangnya sambil tersenyum simpul.

Putra ke-8 dari 16 bersaudara ini, juga merasakan betapa banyak teladan pendidikan yang bisa dipetik dari ayahanya. Sejak kecil dirinya sudah terbiasa mendapatkan pendidikan yang keras dan disiplin. Diantaranya dengan mengurus berbagai jenis hewan ternak; seperti itik, kambing, sapi dan kuda. Dan dari masa-masa penggembalaaan inilah, yang kemudian hari banyak menginspirasi model kepemimpinannya. ”Penggembala dan pemimpin itu, secara esensial artinya hampir sama. Namun kedua istilah tersebut digunakan untuk kepentingan yang berbeda,” tukasnya. “Kalau pemimpin selalu dikaitkan dengan manusia, sedangkan penggembala dikaitkan dengan binatang,” tambahnya menjelaskan.

Tatkala menghalau bebek, kata mantan PR I UMM ini, yang menggembala selalu mengambil posisi di belakangnya dan tidak pernah berada di depannya. Dia cukup membawa satu tongkat. Dan bebek-bebek itupun mungkin akan mengerti hendak dikomando kemana. Sebab kebiasaannya memang sudah seperti itu. Dari rutinitas itulah sehingga bebek-bebek tersebut mudah untuk digerakkan. Hal itu berbeda dengan kambing yang selalu bercerai berai. Satu ke utara, satunya lagi ke selatan. Memang susah sekali menjadi penggembala kambing itu. “Makanya, ketika masih bocah, disengaja atau tidak, Rasulullah memanggul pekerjaan yang sulit tersebut,” terangnya.

Menggembala kuda pun, sambung mantan Ketua STAIN Malang ini, juga memiliki cara yang berbeda. Saat memandikan kuda, jika tidak mau kena tendang, maka posisi penggembala harus berada di depannya. Sebab kuda sangat susah untuk dimandikan ke sungai, jika tidak didahului oleh penggembalanya. “Artinya konsep keteladanan harus diberikan sebelum memerintah orang lain. Dalam bahasa agamanya, ibda’ binafsik!,” tandas mantan Wakil Direktur Pascasarjana UMM ini mantap.

Dalam konteks kehidupan, sambung Guru Besar Fak. Tarbiyah UIN Malang ini, seringkali pemimpin memperlakukan anak buahnya seperti bebek. Mereka disuruh-suruh mengerjakan sesuatu, sedangkan pimpinannya justru malah bersembunyi. Tentu saja sebagai akibatnya, adalah kepemimpinan yang gagal. “Memimpin manusia itu semestinya bertindak seperti penggembala kuda. Dirinya masuk terlebih dahulu ke dalam air, sehingga orang-orang yang dipimpinnya juga turut melakukannya,” sarannya bernada harap.

Ada satu pesan sederhana dari ayahnya, yang hingga kini masih tertancap di sanubarinya: ”Jika kamu sudah dewasa, maka ajaklah sebanyak-banyaknya orang untuk mengucap kalimat tasbih (subhanallah) dan tahlil (laa ilaha illallah). Dan kalau sudah kaya, buatlah masjid yang besar agar bisa dimanfaatkan banyak orang.”

Petua itulah yang menyemangatinya untuk senantiasa berusaha, agar hidupnya bermanfaat bagi banyak orang. Sebab menurutnya, hidup bahagia itu adalah ketika bisa memberi manfaat yang besar kepada orang lain. “Jangan suka hidup menjadi bebannya orang lain. Tapi sebaliknya, usahakan sebisa mungkin untuk menyelesaikan problem kehidupan orang banyak. Itulah yang menjadi kunci pokok keutamaan hidup,” ujar Doktor Sosiologi dari Unair Surabaya ini bernada harap.

Prof. Dr. Ir. H. Muhammad Nuh DEA

Dari Tanah Sawah ke Ubin Kabinet

Prof. Dr. Ir. H. M. Nuh, adalah orang modern yang lahir di tanah sawah. Sebab, ia memang terlahir sebagai anak seorang petani sederhana. Tapi kini, ia tak lagi bermain lempung untuk sekedar membuat mobil-mobilan atau rumah-rumahan dari rumput gajah yang sering tumbuh liar di pemukiman sawah. Karena kini, ia telah mampu merancang angan dalam rumah kecil bernama komputer.

Sewaktu kecil, Lelaki kelahiran Surabaya 17 Juni 1959 ini, lahir dan dibesarkan di lingkungan religius di kawasan Rungkut Gunung Anyar Surabaya. Sepintas, sosok Dr Nuh sama dengan kebanyakan masyarakat lainnya. Yang lain, hanyalah pada keberaniannya membedol kultur masyarakat Indonesia waktu itu yang masih “anti teknologi”. Dr Nuh hanya ingin membuktikan, bahwa dirinya mampu hidup di “dua alam”, yang dianggap banyak orang tidak bisa disatukan – lantaran frame bahwa teknologi bisa menjauhkan dari urusan ibadah. “Agama Islam itu rasional dan trans rasional. Permasalahannya, banyak guru yang belum mampu mengaitkan fenomena kealaman dengan ke Esa-an Tuhan, atau guru agama yang tidak mau membuka wawasan tentang pentingnya ilmu kealaman,” tandas Dr Nuh.

Perjalanan kariernya di bidang rekayasa teknologi ini, lebih bermula dari keprihatinannya melihat sedikit sekali umat Islam yang sadar akan pentingnya mendalami ilmu kealaman. Dr Nuh melihat, ada proses panjang pemahaman masyarakat secara keseluruhan terhadap pemilahan antara ilmu keagamaan ansich dengan ilmu kealaman. Oleh karena itulah, dirinya bertekad ingin menggabungkan kedua-duanya menjadi suatu keilmuan yang komprehensif dan sempurna. “Ketakutan masyarakat, jika seseorang menguasai ilmu keduniaan akan meninggalkan agama kan tidak terbukti?” kilahnya. “Alangkah bagusnya, kalau kita dapat menguasai ilmu-ilmu kealaman kemudian dikaitkan dengan fenomena ke Esa-an Tuhan. Bukankah hal itu akan semakin menambah keimanan kita?” tandasnya.

Tampaknya, pencipta alternatif alat penyembuhan kanker yang bernama Hyperthemia ini telah banyak belajar dari sejarah Nabi Sulaiman AS. Kala itu, Sang Nabi bersama para tentaranya sedang melewati sebuah lembah yang dihuni para kawanan semut. Bahkan Nabi Sulaiman sempat tersenyum dan tertawa ketika mendengar komentar sang Ratu semut. “Kalau kita tarik terhadap pengetahuan kekinian, seseorang bisa mengenal bahasa binatang itu kan pengetahuan modern yang space dan recognition bagian dari ilmu elektro,” simpulnya.

Oleh karena itu, usai menamatkan sekolahnya di SMAN 9 Surabaya, pria yang masih tercatat sebagai anggota Institute of Electrical and Electronic Engineering ini memutuskan untuk melanjutkan studinya di Teknik Elektro ITS. Setelah menyelesaikan Program Strata Satunya pada tahun 1983, Ayah Rachma Rizqina Mardhotillah ini dipercaya untuk mengajar di almamaternya. Namun, tidak berselang lama, berkat kemampuan otaknya yang cemerlang, M. Nuh mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi di Universite Science et Technique du Languedoc Montpellier, Perancis. Gelar Masternya diselesaikan pada tahun 1987, sedangkan gelar Doktornya selesai tahun 1990 di Universitas yang sama.

Kepakaran M. Nuh dalam bidang Control System-Biomedical System Engineering tersebut, kian lengkap setelah pada tanggal 14 Agustus 2004 yang lalu, diangkat sebagai Guru Besar dalam bidangnya di ITS. Mantan Pembantu Direktur III Politeknik Etektronika Negeri Surabaya (PENS) ITS tahun 1992-1997 itu, kemudian sering diundang ceramah dalam berbagai seminar untuk menjelaskan ilmu pengetahuan dan teknologi serta berbagai persoalan yang menyelimutinya. Dalam sekelompok budaya, jelas lelaki yang tergabung dengan Technical Committee Member pada kegiatan-kegiatan seminar ilmiah baik nasional maupun internasional itu, ada yang namanya G-Technology (Generik Teknologi). “Maksudnya, siapa pun butuh ini. Atau apa pun bisa digerakkan dengan ini,” tukas M. Nuh. Falsafahnya adalah “Konversi Energi”. Pada abad ini, telah ditemukan mesin baru yaitu komputer sebagai G-Teknologi atau banyak yang menyebut IT (Information Technology), atau disebut juga ICT (Information Communication Technology). “Jadi, barangsiapa yang tidak menguasai G-Teknologi, tentu akan ditinggal laju perkembangan zaman,” tegas mantan Direktur PENS ITS tahun 1997-2003 itu.Di abad 21 yang telah masuk pada Knowledge Based Society yakni masyarakat yang berbasis ilmu pengetahuan ini, M. Nuh selalu menekankan terhadap betapa pentingnya menggunakan dan mempertajam akal. Tanpa itu, masyarakat akan ketinggalan. “Nah, bagaimana kita menerjemahkan kemampuan berpikir dalam keseharian, itulah yang memerlukan ketajaman. Apabila rasio manusia tidak jalan, maka habislah pengetahuan itu,” imbuh Ketua Yayasan Pendidikan Al Islah Surabaya ini menandaskan.

Melihat sosok seorang M. Nuh, dirinya bukanlah tipe ilmuwan yang asyik dengan dirinya sendiri dan ilmu yang digelutinya. Selain rajin meneliti dan menulis, Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia Jawa Timur ini, ternyata juga dikenal aktif dalam mengabdikan dirinya untuk kepentingan masyarakat. Sekretaris Yayasan Dana Sosial Al Falah Surabaya ini, selain dikenal berkepribadian santun dan sederhana, juga mempunyai jiwa sosial yang tinggi. Di sela-sela kesibukannya sebagai seorang pendidik, beliau juga masih sempat memikirkan orang-orang yang lemah dan miskin. Sehingga atas keseriusannya menangani bantuan proyek-proyek dari JICA (Japan International Cooperation Agency), pada tahun 2003 dirinya mendapatkan penghargaan JICA Special Award di ITS. Suatu Penghargaan yang baru pertama diberikan JICA kepada orang Indonesia.

Dengan kemampuan dan kepribadiannya tersebut, tak salah jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengangkat suami drg. Laily Rachmawati ini menjadi Mentri Komunikasi dan Informasi menggantikan Dr Sofyan A Djalil, SH MA. Kini, anak sawah itu telah berdiri di atas ubin Kabinet Indonesia Bersatu. “Wong kulo niki diajak Pak RT bersih-bersih kali mawon purun kok, panjenengan ajak damel noto negoro kok mboten purun, kan nggih mboten bener (Saya diajak Pak RT untuk membersihkan sungai saja mau, Anda (Presiden) yang mengajak untuk menata negara kok tidak mau, itu kan tidak benar),” ujarnya bersahaja saat menanggapi permintaan Presiden waktu itu. Selain itu, ia juga mendapat pesan khusus dari Presiden. “Saya diminta Presiden untuk mengembangkan Teknologi Informasi (IT) di bidang pendidikan, pemerintah (layanan publik) dan bisnis. Sepertinya M. Nuh memang akan lebih memfokuskan bidikannya pada roses pengembangan teknologi informasi dan meluaskan aksesnya. Apalagi ia menyatakan sudah memiliki rancangan pengembangan IT sejak masih menjadi Rektor ITS periode 2003-2006. Meski diminta konsentrasi ke bidang teknologi informasi, tapi dirinya menyatakan tetap akan memperhatikan bidang lainnya seperti masalah penyiaran, pers, dan sebagainya. “Dalam waktu dekat ini, saya akan segera mengembangkan “National Platform” agar masing-masing departemen dapat terintegrasi,” tukasnya mantap. Dedy Kurniawan

Ustadz Abu Sangkan - Getaran Khusyu’ yang Menyejukkan

Kehidupan masa kecil Abu Sangkan, ternyata penuh dengan guliran air mata. Baru berumur 15 hari sebagai orok, sudah ditinggal wafat oleh ayahandanya. Lalu dirinya diasuh oleh kakeknya Abdul Wahid, yang lebih dikenal sebagai pendekar sekaligus tokoh agama yang cukup disegani masyarakat di Banyuwangi. Lingkungan keluarga yang religius ini, memang sudah turun temurun sejak eyang buyutnya Mbah Mas Mohammad Shaleh – sang pendiri Masjid Jami’ Baiturraman Banyuwangi Kota.

Bahkan eyangnya Kyai Mas Sulaiman memiliki sebuah pesantren, yang kental dengan tradisi salafiyah syafi’iyah. Kelak pemikiran model salafiyah inilah, yang banyak mempengaruhi sikap hidupnya. “Sewaktu kecil, saya dilarang oleh kakek untuk bersiul, adu jago dan nonton tari janger. Bahkan kalau bunyi gamelannya terdengar sampai ke rumah, telinga saya langsung disumpel kapas,” tuturnya mengenang masa silam kanaknya. “Kalau sampai mendengar bunyi-bunyian itu, kata nenek nanti di akhirat kuping saya akan dicor dengan besi panas. Mendengar itu saya langsung tidur,” tambahnya sambil tertawa lirih.

Sayangnya, keceriaan masa balita itupun keburu lenyap dari kehidupannya. Sewaktu dirinya masuk ke SD Al-Irsyad, kakeknya pulang ke rahmatullah. Kesepian pun tiba-tiba saja bergelayut di pelupuk matanya; hidup serasa tak punya siapa-siapa lagi. Karena selama ini sentuhan kasih sayang yang paling dirasakannya, adalah dari kakek tercintanya. “Beliau adalah idola saya. Cita-cita saya waktu itu adalah ingin seperti kakek. Oleh karenanya saya sering disuwuk, agar kalau besar nanti bisa jadi pendekar dan kyai seperti kakek,” ungkapnya bernada pedih. “Keempat saudara saya juga meninggal semua sewaktu masih kecil-kecil, sehingga saya menjadi anak tunggal,” tambahnya.

Ketika beranjak meremaja, pria kelahiran 8 Mei 1965 di desa Alasbuluh kecamatan Wongsorejo – 25 km sebelah utara Banyuwangi – ini sudah terbiasa hidup mandiri. Kegemarannya waktu itu, adalah memperdalam ilmu keagamaan. Itulah sebabnya dia lantas masuk ke pondok pesantren Al-Ihya’ Bogor asuhan KH. Mohammad Husni Thamrin dan KH. Abdullah bin Nuh. “Beliau berdualah yang banyak membimbing saya untuk memperdalam agama,” tukasnya singkat.

Lalu putra pasangan Mohammad Abdush Shamad dan Hj. Sayu Shalihah ini, melanjutkan studinya ke Fak. Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah jurusan Aqidah dan Filsafat. Di saat itulah dirinya mengalami kekurangan ekonomi untuk bisa tetap hidup di Jakarta. Untungnya, sejak keluar dari sekolah Perkebunan (SpbMA) Abu Sangkan sudah terbiasa mandiri secara ekonomi. Dia lantas memutuskan untuk segera mencari kerja, dan diterima di PT Des Art – milik keluarga Titik Puspa – sebagai designer lansekaping. “Setelah tiga tahun di sana, lalu saya keluar dan mengelola perusahaan sendiri di bidang kontraktor dan sebagai eksportir ikan hias,” jelasnya.

Ketika kuliah di IAIN, anak bungsu dari lima bersaudara ini justru meninggalkan dunia dakwahnya. Padahal semasih mondok, begitu getol dunia itu digelutinya. Sebab waktu itu dirinya banyak terlibat dengan aktivitas di berbagai organisasi keislaman. Bahkan pernah juga dia menjadi anggota Ikhwanul Muslimin dan Darul Arqam. “Saya merasa ada yang hilang dari jiwa saya. Jiwa saya telah mengering. Pelajaran agama yang saya dapatkan, juga tak bisa berbuat banyak untuk meredam gejolak jiwa,” keluhnya. “Lalu saya kembali mendalami olah spiritual, yang telah saya dapatkan dari paman guru saya di Banyuwangi,” simpulnya.

Sejak itulah hampir seluruh malamnya dihabiskan untuk berdzikir dan shalat sunnah. Bahkan menjelang pagi pun, dirinya kerap masih tampak duduk diam berdzikir. “Kalau sudah duduk seperti ini, saya merasakan sebuah ketenangan yang tiadatara. Bahkan kondisi tenang ini terbawa sampai ketika saya mengurus pekerjaan di lapangan,” akunya. “Bagi saya, agama itu merupakan persoalan pribadi dengan Allah SWT. Sehingga yang saya perjuangkan justru bukan dakwahnya, melainkan bagaimana saya menjadi orang yang sabar dalam menjalankan agamaNya,” katanya menambahkan.

Itulah yang membuatnya tak merasa terbebani dengan persoalan cita-cita dakwah. Sebab yang ingin selalu dilakukannya, adalah bagaimana senantiasa dekat dengan Allah. Di sisi lain, bagaimana mencari nafkah keluarga serta mengelola zakat penghasilan pribadi untuk para fakir miskin. “Saya rasa ini secara otomatis sudah bermakna sebagai dakwah bil hal. Jadi.. ya tak merasa beban lagi sebagaimana sewaktu saya jadi penceramah,” ujarnya.

Ketenangan semacam itulah, yang membuat dirinya berani menghadapi segala tantangan. Sebab segala apa yang terjadi, hal itu telah diizinkan oleh Allah. Dan dari setiap peristiwa yang terjadi, pasti terdapat hikmah yang sangat luar biasa. Peristiwa itulah yang menggerakkan kehidupan. “Semisal ada kecelakaan. Bagi si korban, tentu pasti menderita. Namun bersamaan dengan itu, banyak orang yang mendapatkan rezki darinya. Seperti dokter, polisi, suster rumah sakit, satpam, tukang parkir dan lain-lainnya,” katanya mencontohkan.

Dari perjalanan panjang pencarian diri itulah, akhirnya Abu Sangkan menemukan metode untuk melakukan shalat khusyu’. Lalu hal itu diterapkannya di rumah bersama keluarga. Setelah banyak teman-teman dari pengajian kecil yang mendengarnya, lalu mereka bersama-sama ingin shalat berjamaah bersamanya. Dan tak terasa jumlah mereka kian hari makin bertambah banyak.

Menjelang tahun 2000, ada yang menuliskannya di milis islam net. Sejak itulah dirinya diminta untuk menuliskan setiap pengalamannya. Dari kumpulan artikel itulah lalu disunting menjadi sebuah buku yang berjudul “Pelatihan Shalat Khusyu’”. Dan dari buku itulah nama Abu Sangkan berkibar menjadi sebuah fenomena, tak hanya di Indonesia namun pula sampai ke negeri tetangga. “Tapi tolong jangan salah paham, ini bukan hasil penemuan saya. Ini hanyalah merupakan dorongan kegelisahan dari seorang santri yang merasa malu dengan dirinya sendiri,” tukasnya bersahaja.

Namun ungkapan itu serius. Sebab selama ini, masih ada saja orang yang salah paham terhadapnya. Mereka mengira, bahwa dirinya telah membuat suatu ajaran baru tentang shalat. “Padahal saya mengajarkannya tanpa pernah mengubah syari’at yang telah ditetapkan,” tegasnya. “Makanya jika ada yang dianggap masih kurang sesuai dengan ajaran Nabi, tolong diperbaiki dan jangan langsung memusuhi. Berilah saya ilmu untuk menutupi kekurangan tersebut, sehingga tiada lagi kesalahan di kemudian hari,” pintanya berendah hati.

Yang pasti, dengan shalat khusyu’ itulah dirinya menjadi lebih mengerti; bahwa ternyata ilmu yang telah diperolehnya selama mengaji tak menjamin bisa menjadi penyejuk hati. Semua itu merupakan pemberian Allah semata, yang diturunkan ke dalam hati hambaNya. Sehingga ketika seseorang meyakini adanya Allah dan hanya kepadaNya dirinya bergantung, maka otomatis rasa khusyu’ itu akan muncul dengan sendirinya. “Maka hatipun menjadi lunak lantaran getaran dzikir kepadaNya. Setiap dari bacaan shalat, sungguh akan senantiasa mempengaruhi hati sehingga menjadi terharu dan menagis,” terangnya.

Dengan melakukan gerakan shalat secara perlahan dan memahami bacaan yang disampaikan kepada Allah, paparnya, maka ketenangan akan muncul dalam hati seseorang. Oleh karenanya dia menyarankan, agar paradigma shalat sebagai kewajiban diubah menjadi sebuah kebutuhan. “Sebab kalau sudah merasa tidak butuh, meskipun dia ahli di bidang agama ya tetap saja tak akan mendapatkan getaran shalat yang nikmat,” jelasnya.

Itulah pasalnya, dalam setiap pertemuan dirinya selalu memulai dari sisi manfaat gerakan rukuk dan sujud. Ketika kita melakukan ruku’ dengan sempurna, maka punggung akan lurus sehingga otot tendon di betis dengan sendirinya akan mengendor. Begitupun saat sedang sujud, maka mengalirlah darah hingga mencapai ke otak. Sehingga oksigen yang dibutuhkan sebanyak 20 persen bisa tercapai. “Dengan begitu mereka akan merasa butuh shalat. Terutama untuk ketenangan hati dan mengatasi rasa stress,” tuturnya sambil mengulum senyum.

Menurut Ustadz Abu – demikian dirinya kerap dipanggil, lewat shalatlah seorang hamba bisa berkomunikasi denganNya. Shalat itu merupakan jalan terpendek menuju Allah. Sebab shalat merupakan perjumpaan dengan Allah Yang Maha perkasa. “Saya telah membuktikan, bahwa shalat itu enak dan bisa menghilangkan stress. Dan inti dari shalat khusyu’ itu, adalah penghambaan diri kepada sang Pencipta,” tuturnya. “Dengan memohon kepadaNya agar diturunkan rasa tenang ke dalam hati, insya Allah dalam beberapa menit saja hati akan bisa sambung kepada Allah. Maka hati pun rasanya damai dan penuh getaran yang menyejukkan,” katanya menambahkan.

Untuk itulah Ustadz Abu Sangkan menyarankan, agar setiap Muslim mau mengajak keluarganya untuk sama-sama menghadapkan hati ke Allah. Dengan getaran iman itulah, semuanya akan dapat mengontrol kejiwaannya masing-masing. Jika terjadi ketegangan dalam keluarga, segeralah berwudhu’ dan lakukan shalat mohon diberi ketenangan agar menjadi keluarga sakinah. “Insya Allah seketika itu pula akan terasa hasilnya,” ujarnya. “Jadi.. sebenarnya sangat sederhana. Tinggal dipraktekkan saja. Ibarat minum pil. Tak perlu berdebat terlalu ruwet. Langsung saja minum dan tinggal tunggu saja hasilnya,” tandasnya.

Sumber:http://ruangbening.wordpress.com/2010/01/24/ustadz-abu-sangkan/

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons