Blog ini ditujukan kepada seluruh ummat Islam yang cinta kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Para Sahabat RA, Auliya', Habaib, Ulama', dan sejarah kebudayaan Islam.

Minggu, 13 Februari 2011

Habib Abubakar bin Hasan Assegaf (Pasuruan)

Dai Muda yang Gigih Berdakwah

Usia Habib muda ini terbilang masih muda, Habib Abubakar bin Hasan Assegaf (Pasuruan) termasuk dai muda yang gigih dalam berdakwah. Materi ceramah-ceramahnya telah diterima dengan luas di kalangan Habaib dan muhibbin di Jawa Timur


Habib muda asal Pasuruan ini memang sekarang ini termasuk tokoh vokal yang sering menyampaikan amar ma’ruf nahy munkar ke berbagai lapisan masyarakat, baik melalui cermah-ceramah agama ataupun lewat tulisan. Pendapat-pendapatnya kerap muncul di media-media baik melalui koran, majalah maupun televisi dalam menyikapi persoalan terkini di tengah-tengah masyarakat.

Ditopang dengan suaranya lantang dan lugas dalam menyampaikan ceramah dan taushiyah, tak heran bila jadwal undangannya sangat padat. Panggilan dakwah untuk menyuarakan kebenaran, menurut Habib Abubakar bin Hasan Assegaf adalah semata-mata karena ingin meneruskan jejak Rasulullah SAW. “Rasulullah SAW juga adalah seorang dai,” kata Habib Abubakar membuka perbincangan dengan alKisah.

Prinsipnya dalam berdakwah adalah tetap berpegang pada bil hikmah wal mau’idzotil hasanah. Itulah sekilas sosok dari Habib Abubakar bin Hasan Assegaf, seorang pedakwah muda yang tinggal di Kota Pasuruan. Ia dilahirkan di Pasuruan pada 16 September 1974. Ia merupakan putra sulung dari Habib Hasan Assegaf. Di Jami’ah Nahdalatul Ulama Kabupaten Pasuruan ia masih menjabat sebagai A’wan Syur’iah dari 1997- sekarang.

Nama Abubakar yang ia sandang adalah pemberian nama dari Habib Soleh bin Muhsin Al-Hamid (Habib Soleh Tanggul). Ketika itu, Habib Muhammad bin Hud Assegaf (sang kakek) kebetulan menjadi khadam (pelayan) dari Habib Soleh Al-Hamid. “Jadi ketika saya lahir, kebetulan saat itu Habib Soleh ada di Pasuruan dan sang kakek langsung meminta Habib Soleh Tanggul untuk memberinya nama. Akhirnya saya diberi nama Abubakar karena ingin tafa’ul (menaruh harapan) kepada kakek dari ibundanya yakni Habib Abubakar bin Muhammad (kakek buyut).”

Bahkan ketika masih kecil, Habib Soleh Tanggul juga pernah mentahmidnya (menyuapkan makanan disertai bacaan doa). Habib Hasan Assegaf (ayahnya) pernah berkata kepadanya, ”Habib Soleh itu termasuk guru kamu. Walaupun kamu itu tidak tahu.” Masa kecil dari Habib Abubakar bin Hasan Assegaf banyak dibesarkan dalam lingkungan Habaib dan Ulama yang ada di Jawa Timur. Abah sering membawanya ke berbagai majelis taklim yang diigelar oleh Habib Abdul Qadir bin Husein Assegaf.

Habib yang satu ini menempuh pendidikan formal SD Islam Pasuruan tahun 1987 M dan Madrasah Ibtidaiyah Ma’arif tahun lulus 1407 H (1987 M). Ia kemudian masuk ke Ponpes Salafiyah yang diasuh oleh KH Abdul Hamid, lulus tahun 1410 (1990 M) sampai tingkat Madrasah Tsanawiyah. Selain pendidikan formal, ia mengaji sorogan dengan beberapa ustadz dan Kyai. Seperti Habib Taufiq bin Abdul Qadir Assegaf, KH Asrori (Lebak, Winongan, Pasuruan) dan lain-lain.

Pada waktu masih usia kanak-kanak ia belajar al Qur’an dengan ustad H. Harun, “Beliau adalah guru saya dalam usia Al-Qur’an. Saya juga sempat mencoba belajar menghafal Al-Qur’an dengan KH Imran bin Abdullah bin Yasin (Pasuruan), namun tidak sampai selesai karena keburu mendapat kesibukan dalam urusan pengajian (dakwah) dan pada usia remaja ia sudah mulai keliling berdakwah.

Ia mengaku paling banyak mendapatkan ilmu, selain dari Habib Taufiq, ia mengaku banyak mempunyai kesan mendalam dengan salah satu gurunya yakni KH Asrori. “Dari KH Asrori, saya banyak menghatamkan beberapa kitab yang tidak sempat saya khatamkan di saat saya menempuh pendidikan formal, seperti kitab-kitab fiqh; Fathul Muin, Fathul Wahab, Uqudul Juman, Faraid, Hisab, Kalam, Ilmu Warud (Qowafi). Beliau ahli dalam bidang hisab dan faroid.”

KH Asrori, lanjut Habib Abubakar, sekalipun beliau orang alim beliau sangat tawadhu, low profile sehingga kalau orang melihat sekilas mungkin orang tidak percaya kalau beliau adalah orang yang alim. Bahkan ketika mengajar saya itu beliau yang datang ke rumah saya. Awalnya saya datang ke rumahnya, pada akhirnya beliau meminta yang akan datang ke rumah saya. Bahkan kadang-kadang sempat menunggu saya ketika itu saya masih tertidur karena semalam ada pengajian. Dengan telaten beliau datang hampir tiap hari untuk memberi pelajaran kitab. Saya belajar pada beliau 3 tahunan.”

Selepas menimba berbagai ilmu dengan para ulama dan habaib yang ada di Pasuruan, ia bersama Habib Taufiq bin Abdul Qadir Assegaf dan ulama-ulama muda yang ada di Pasuruan sempat mendirikan DPI (Dakwah Pemuda Islam) tahun 1996-1997. Kegiatan utama dari DPI adalah pembacaan Maulid dan ceramah agama. Kebetulan yang mengisi adalah duet Habaib Muda Pasuruan yakni Habib Taufiq bin Abdul Qadir Assegaf dan Habib Abubakar bin Hasan Assegaf. Pengajian yang diselengarakan oleh DPI itu dihadiri oleh ribuan pemuda muslimin dari berbagai pelosok Pasuruan dan sekitarnya. Kegiatan majelis taklim yang diselenggarakan olehg DPI sifatnya berpindah-pindah dari satu masjid ke masjid yang lain di sekitar Kota dan Kabupaten Pasuruan.

Begitu antusiasnya respon masyarakat dan umat terhadap Dakwah Pemuda Islam (DPI), sehingga wadah pemuda ini dijadikan organisasi keagamaan yang sifatnya lokal di Pasuruan. Namun gerak DPI ini kemudian dibayang-bayangi oleh kekuatan Orde Baru yang saat itu begitu kuat menancapkan kekuasaan di berbagai lini, termasuk terhadap keberadaan organasasi sosial dan kemasyarakatan. “Akhirnya DPI dibubarkan, dikhawatirkan ada kerawanan. Pola-pola dakwah dengan pengerahan masa menjadi rawan,” katanya.

Lebih lanjut Habib Abubakar mengisahkan pada waktu itu banyak isu-isu yang kurang mengenakan, sehingga ia berinisiatif dengan teman-temannya yang lain, DPI dibubarkan pada tahun 1999. Selepas membubarkan diri (DPI bubar), ia dan kawan-kawannya mulai membuat alternatif lain dalam berdakwah, dengan menerbitkan majalah, media cetak, radio Suara Nabawiy.

Lima tahun yang lalu, ia mengampu sebagai Pemimpin Umum dan sekaligus pemimpin redaksi Majalah Cahaya Nabawiy sebuah majalah Islam cukup terkenal di kalangan habaib dan muhibbin di Jawa Timur dan sekitarnya. Ketika aktivitas dakwahnya yang semakin padat, pada awal tahun 2007 ia memutuskan berhenti dari Cahaya Nabawiy dan lebih berkonsentrasi untuk memenuhi permintaan ceramah yang datang dari berbagai penjuru Pasuruan dan kabupaten-kabupaten di Jawa Timur pada khususnya. “Sekarang saya keluar dari Cahaya Nabawiy dan teman-teman yang lain yang melanjutkan gerakan dakwah.”

Dunia dakwah memang menjadi jalan hidupnya, beberapa majlis taklim dan masjid yang dahulu pernah ia tangani kini satu persatu mulai ia pasrahkan kepada para generasi muda lulusan Tarim (Hadhramaut) yang baru datang dan merintis dakwah di Pasuruan. “Jadi bisa dibilang sekarang saya sudah tidak punya pengajian rutin. Tapi lebih sering pengajian yang sifatnya ceremonial, seperti hajatan, ataupun peringatan hari besar Islam.”

Jadwal Solo

Ada satu pengalaman yang mengesankan dirinya saat berceramah di Masjid Assegaf dalam rangka peringatan maulid atas perintah Habib Syekh bin Abdubakar Assegaf. Sewaktu Habib Syekh bin Abubakar Assegaf (alm), mukim di Solo, ia sempat diminta mengisi secara rutin dalam setahun sebanyak dua kali untuk menyampaikan dakwah di masjid Assegaf, Solo. Masjid Segaf (Solo) yang mendirikan adalah Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf (Gresik). Habib Abubakar dijadwal rutin pada acara Maulid 12 Rabiul Awal dan malam Khatmil Qur’an (malam 21 Ramadhan). Mulai tahun 1996 dan berjalan 5 tahun, namun jadwal ceramah itu terhenti selepas Habib Syekh wafat dan ia tidak lagi berceramah di masjid itu.

Saat berceramah di Masjid Assegaf itu juga dihadiri oleh Habib Anis bin Alwi Al-Habsyi (Solo). Saat itu ia menyampaikan untuk kembali pada tatanan ajaran para salaf leluhur alawiyin dan manhaj mereka, yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah, karena sudah mapan dan tidak perlu diragukan lagi baik dalam aqidah, maupun thariqah dalam ibadah. Rupanya Habib Anis (alm) terpukau oleh materi dan gaya ceramahnya, karenanya ia meminta bertemu di zawiyah Ar-Riyadh, Gurawan (Solo).

Sebelum ia pulang ke Pasuruan, sempat berziarah ke makam Habib Alwi di samping masjid Riyadh lalu bersilaturrahmi dengan Habib Anis. “Ya Abubakar, sebaiknya banyak menghafal ayat-ayat, hadits-hadits, kalam-kalam serta dalil-dalil dari tangan para auliya dan ulama. Usahakan itu semua dihafal dan anda akan selalu siap untuk berceramah dalam kondisi apa pun dan akan menambah mantap apa yang diorasikan.”

Habib Anis juga menyampaikan pesan, ”Usahakan isi ceramah tidak dikonsep sebelumnya. Usahakan apa yang disampaikan mengalir apa adanya, sehingga yang mengkonsep ceramah kita adalah Allah SWT. Sehingga kalau yang mengkonsep itu Allah, ucapan kita itu masuk ke hati orang walaupun dengan bahasa yang sederhana.”

Selain itu, Habib Anis sempat berpesan agar lebih terang-terangan dalam menyampaikan dakwah dalam menyikapi masalah Syiah. ”Jangan lagi pakai sindiran, jaga manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah ini dan ajaran salaf alawiyin, khususnya untuk para pemuda alawiyin. Saya masih ingat betul pesan beliau ini. Selain itu saya juga dapat wejangan beliau tentang pentingnya berdakwah.”

Pesan dari Habib Anis Al-Habsyi (alm) itu masih tertanam dalam relung hatinya yang terdalam dan dijadikan sebagai pegangan dalam mengemas untaian-untaian mutiara kata-kata yang penuh hikmah untuk disampaikan kepada kaum muslimin. Ia kini merencanakan untuk membukukan orasi-orasi yang pernah sampaikan di beberapa tempat dan dianggap penting. ”Alhamdulillah, orangnya sudah ada yang menangani. Paling tidak dari orasi-orasi saya itu bisa diubah menjadi bahasa narasi, semoga bisa segera dibukukan. Kalau pun tidak, minimal bisa untuk koleksi saya pribadi, ” katanya.

Seiring dengan perkembangan jaman, tantangan berdakwah itu semakin berat. “Kita tahu, sekarang tuntutan masyarakat semakin banyak. Dengan pesatnya perkembangan teknologi ini otomatis berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Sehingga kadang-kadang kita mau tidak mau juga kita dituntut didalam menyampaikan ceramah itu harus mengikuti perkembangan yang ada, supaya ceramah kita itu menyentuh sendi-sendi kehidupan masyarakat (audiens). Karena hanya dengan cara itulah, dakwah bisa diterima.”

Habib Abubakar juga melanjutkan, apalagi sekarang ini kita melihat model-model dakwah yang beraneka ragam, tapi juga tidak sedikit yang menyimpang dari cara dakwah. Itu merupakan tantangan buat kita, untuk menyampaikan kepada umat Islam, mana cara dakwah yang benar dan mana yang tidak. Jadi artinya, kita itu ngemong, apa mau nya masyakarat.

”Kadang-kadang audiens kita maunya dibumbuni humor, selama tidak kebablasan dan ngawur, masih terkendali itu tidak masalah, yang penting dakwahnya masuk. Tujuan kita yang utama adalah berdakwah. Kita harus selalu ingat misi berdakwah. Bukan kita terbawa oleh mereka, tapi bagaimana kita membawa mereka. Selama setiap dai itu tahu dan mengerti tujuan dakwah, ia tidak akan terbawa oleh arus masyarakat, tapi bisa membawa umat itu untuk menerima dakwah kita.”

Kegigihannya dalam berdakwah, karena Rasulullah SAW sendiri telah banyak memberi suri tauladan dalam berdakwah. ”Saya teringat ucapan Rasululah SAW yang berkata kepada Sayidina Ali bin Abi Thalib, ‘Seandainya Allah memberi petunjuk pada satu orang dengan sebab kamu maka itu lebih baik buat kamu itu nilainya dari pada kendaraan yang terbaik (yang paling mewah).’ dalam riwayat yang lain disebutkan, lebih baik dari pada dunia dan seisinya.”

Bagaimana dengan dakwah lebih dari satu orang?, lanjutnya, syukur-syukur kalau orang yang mendengarkan itu bisa disertai dengan hidayah Allah sehingga orang tersebut menjadi bertobat atau menjadi lebih baik karena mendengar dakwah kita. Itu yang paling bernilai di dunia ini.”Tidak ada yang kita andalkan, baik ilmu, amal, akhlaq kita jauh bila dibandingkan dengan generasi salaf. Jadi apa yang kita bisa dan kita miliki kita berikan, kemudian kita berusaha semaksimal mungkin ikhlas tanpa pamrih sehingga tidak sia-sia apa yang kita upayakan.”

Rabu, 02 Februari 2011

Syaikh Muhammad bin ‘Abdullah As-Sumali (1331-1420 H.)

Segala puji hanya bagi Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, kepada keluarganya dan kepada para pengikutnya.

Amma ba’du

Syaikh Muhammad bin Abdullah As-Sumali adalah seorang pengajar di Masjidil Haram dan Darul Hadits Al-Khairiyah, Makkah. Beliau adalah seorang ulama yang mulia sekaligus seorang muhaddits. Saya (penulis biografi beliau) pernah mengikuti kuliah beliau pada pelajaran kitab Shahih Bukhari dan pelajaran lainnya yang beliau berikan di Masjidil Haram selama tahun pertama kuliah saya antara tahun 1397 H – 1398 H. saya banyak mendapat manfaat dari ilmu beliau, juga dari kepribadian dan akhlak beliau. beliau adalah seorang yang dalam ilmunya, khususnya dalam bidang hadits dan musthalah hadits. Beliau juga memiliki ketekunan yang besar dan memiliki kepandaian dalam berorasi sebaik penguasaan beliau terhadap ilmu syariat dan bahasa Arab.

Allah Ta’ala menganugerahkan barakah melalui pengajaran-pengajaran Syaikh Muhammad As-Sumali di Masjidil Haram dan Darul Hadits. Banyak penuntut ilmu dari berbagai negara adalah bekas murid beliau. syaikh Muhammad As Sumali rahimahullah memiliki andil besar terhadap upaya-upaya perbaikan. Beliau adalah orang yang memiliki rasa takut yang besar kepada Allah, berjiwa satria,, wara’, tawadhu’, dan sederhana dalam urusan dunia.

Beliau tidak bersenang-senang dengan sesuatu selain dengan menekuni ilmu-ilmu syariat, beribadah dan mengabdi kepada Allah sampai Allah memanggil beliau ke haribaanNya. Semoga Allah melimpahkan rahmatNya kepada beliau dan semoga Allah menempatkan beliau di tempat yang pantas beliau dapatkan. Kita memohon kepada Allah agar Dia menempatkan Syaikh Muhammad bin Abdullah As-Sumali di surgaNya yang tinggi. Sungguh Allah adalah Dzat Yang Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan permintaan.

Semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarganya, dan kepada para pengikutnya.

Ditulis oleh Syaikh Umar bin Muhammad As-Subayyil,
Imam Masjidil Haram.

Kelahiran Beliau

Syaikh Al-Muhaddits Muhammad bin Abdullah bin Ahmad As-Sumali merupakan keturunan dari orang-orang yang berasal dari desa Amadin di wilayah Agaden, daerah barat Somalia, wilayah yang kini dikuasai Ethiopia.

Syaikh Muhammad As-Sumali lahir di awal abad 20, sekitar tahun 1910 M (1331 H) atau setelahnya. Hal ini diketahui dari ingatan Syaikh Muhammad As-Sumali kepada seorang Mujahid Somalia bernama Sayyid Muhammad Abdullah dimana saat itu beliau telah berumur beberapa tahun. Sayyid Muhammad ini meninggal pada tahun 1919 M.

Masa Menuntut Ilmu

Syaikh Muhammad As-Sumali mulai menuntut ilmu semenjak masa kanak-kanak, yaitu sejak berumur tujuh atau delapan tahun. Beliau belajar Al-Qur’an dan menghapalnya di bawah bimbingan Syaikh Hasan. Kemudian beliau mempelajari kitab Safinah An-Naja, sebuah kitab fikih madzhab Syafi’I di bawah bimbingan Syaikh Abdur Rahman ‘Awl. Berikutnya beliau mempelajari kitab Al-Minhaj di bawah bimbingan Syaikh Haj Ali Tam’asi, belajar kitab Al-Ajrumiyah dengan Syaikh Muhammad Nur Hisri tentang tata bahasa Arab sebagaimana disebutkan oleh Al-Ashmawi, juga belajar kitab Milhat Al-I’rab dan Lamiyatul Af’al tentang morfologi bahasa Arab.

Setelah merasa cukup belajar dengan para ulama di daerahnya, Syaikh Muhammad As-Sumali kemudian pergi ke negeri lain untuk menuntut ilmu, sebagaimana hal ini banyak dilakukan para generasi salaf. Perjalanan pertama beliau adalah ke Ethiopia, yakni ke sebuah daerah bernama Jakjaka dan Fafan yang membutuhkan waktu perjalanan 10 hari dari tempat tinggal beliau. saat itu beliau berumur 20 tahun. Beliau belajar kitab Nadzm Al-‘Umarbati kepada Syaikh Muhammad Mualim Husain, belajar Lamiyatul Af’al dan Milhatul I’rab kepada Syaikh Abdun Nur. Juga belajar kitab Qatrun Nada dan Al-Alfiyah ibnu Malik kepada Syaikh Arubu. Beliau tinggal di Ethiopia kurang lebih selama 2 tahun.

Selama perjalanan pulang Syaikh Muhammad As-Sumali jatuh sakit disebabkan perbedaan makanan antara Negara Somalia dengan Ethiopia. Bibi dari pihak ayahnya merasa iba dan memberikan perawatan kepada beliau. Setelah sembuh beliau memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Bibinya memberi beliau seekor sapi jantan. Sapi tersebut kemudian dijual dan uangnya digunakan untuk biaya perjalanan menuju Djibouti.

Di sana Syaikh Muhammad As-Sumali belajar kitab Safinah An-Naja di bawah bimbingan Syaikh Ali jauhar namun beliau tidak menamatkannya. Syaihk As-Sumali tinggal di Djibouti tidak lebih dari dua bulan, untuk selanjutnya melakukan perjalanan melalui laut menuju Yaman. Namun badai dan gelombang yang besar menyebabkan perahu mereka terdorong kembali ke tempat semula. Kejadian ini sempat menimbulkan kekhawatiran yang besar pada Syaikh Muhammad As-Sumali. Sejak itu beliau tidak pernah mau lagi melakukan perjalanan melalui laut.

Syaikh Muhammad As-Sumali dan rombongan tiba di kota Zabid, Yaman dan tinggal di sana selama tiga bulan. Di sana beliau belajar kitab As-Safinah. Kemudian beliau pergi ke sebuah daerah yang bernama Qati’ dan tinggal selama sebulan untuk mengikuti kajian kitab Al-Minhaj yang dibawakan oleh Syaikh Yahya, mufti daerah Qati’. Berikutnya beliau menuju Shan’a untuk belajar bahasa Arab, antara lain membaca kitab Qawa’idul I’rab, Qatrun Nada, Al-Jauharul Maknun, Al-Afiyah dan Al-Ashmuni. Namun Syiakh Muhammad As-Sumali tidak senang dengan aqidah penduduk setempat yang terpengaruh dengan firqah Zaidiyah (salah satu aliran Syi’ah). Ketika beliau mengatakan kepada mereka bahwa beliau seorang pengikut madzhab Syafi’I, maka merekapun melarang beliau untuk melanjutkan belajar kitab-kitab Syafi’iyah. Salah seorang pengajar di tempat tersebut, Syaikh Yahya Al-‘Isya, menyarankan agar beliau belajar ilmu hadits.

Kemudian Syaikh Muhammad As-Sumali mempelajari kitab Bulughul Maram dan menghafal sebanyak 500 hadits dari kitab tersebut. berikutnya beliau mengkaji syarah kitab tersebut yaitu kitab Subulus Salam.

Guru-guru beliau di bidang bahasa Arab selama di Yaman adalah : Syaikh Luthfi, Syaikh Ali Fidah dan Syaikh Kabasi. Kemudian guru beliau menyarankan agar ia pergi ke Mesir untuk melanjutkan belajarnya, bnamun saat itu perang dunia kedua meletus dan semua jalur laut ditutup.

Syaikh Muhammad As-Sumali kemudian bertemu dengan seorang teman yang baru datang dari Makkah lalu iapun menceritakan keadaan Makkah. Dan ia pun berkata bahwa di sana terdapat ma’had yang mengajarkan ilmu hadits yaitu Ma’had Darul Hadits. Syaikh Muhammad As-Sumali pun sangat senang dan beliaupun memutuskan untuk pergi ke Makkah yaitu pada akhir tahun 1359 H. bersama rombongan haji yang menuju ke sana, beliaupun tiba di Makkah pada tahun 1360 H karena perjalanannya di tempuh selama kurang lebih satu bulan. Beliaupun langsung masuk ke Ma’had Darul Hadits.

Di Ma’had Darul Hadits tersebut Syaikh rahimahullah bertemu dengan Syaikh Muhammad Hamid Al-Fiqhi dan beliau di tanya, “Ya Muhammad, engkau berasal dari mana?” beliau menjawab, “Saya datang dari Somalia dan ke sini dalam rangka mencari ilmu hadits.” Syaikh Muhammad Hamid sangat senang mendengar jawaban tersebut.

Syaikh Muhammad Al-Fiqhi kemudian memberi penginapan kepada Syaikh Muhammad As-Sumali dimana penginapan tersebut dijaga oleh seseorang yang berasal dari daerah Ashraf yang masih masih memiliki garis keturunan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Di samping belajar di Darul Hadits beliau juga belajar ke Tanah Haram. Beliau belajar kepada Syaikh Abdur Razzak Hamzah Al-Misri, Syaikh Abu Usamah (Imam Masjidil Haram), Syaikh Sulaiman bin Abdur Rahman Al-Hamdan (pengajar ilmu tauhid dan hadits di Masjidil Haram), Syaikh Abu Said Al-Pakistani, Syaikh Muhammad Sulthan Al-Ma’shumi, Syaikh Abu Muhammad Abdul Haq Al-Hasyimi, dan Syaikh Ibnu Mani’.

Diantara guru-gurunya yang paling istimewa adalah: Syaikh Abdurrazzak Hamzah, kepada beliau Syaikh rahimahullah belajar Kutubus Sittah, juga kitab Tafsir Ibnu Katsir dan Bidayah wa Nihayah, tetapi belum sampai selesai.

Setelah beliau belajar selama dua tahun di Darul Hadits, Syaikh rahimahullah di beri tugas mengajar Bahasa Arab disamping ia juga tetap belajar ilmu hadits. Beliau lulus dari Darul Hadits pada tahun 1975 M, dengan memperoleh predikat sangat memuaskan. Selanjutnya beliau diangkat sebagai pengajar di Universitas Islam Madinah dan terdapat banyak penuntut ilmu yang belajar di bawah bimbingan beliau.

Pada akhirnya beliau pindah menjadi pengajar di Masjidil Haram Makkah sampai tahun 1406 H, dan ketika tangan beliau mengalami kecelakaan ia pun tetap memberikan pelajaran meskipun dilakukan dirumah. Hal ini terus dilakukan hingga beliau wafat.

Murid-Murid Beliau

Banyak penuntut ilmu yang menimba ilmu kepada Syaikh rahimahullah baik ketika di Darul Hadits, Masjidil Haram ataupun ketika di Universitas Islam Madinah.

Dan diantara ulama yang sering menghadiri Halaqah rutin beliau adalah:

* Syaikh Muhammad Ibn Abdillah As-Subayyil

* Syaikh Yahya Ibn Utsman Al-Makki Al-Hindi, seorang ulama dari Hijaz.

* Syaikh Muqbil Bin Hadi Al-Wadi’I, Muhaddits dari negeri Yaman yang menyebut Syaikh Muhammad As-Sumali di dalam kitab beliau Al-Muqtarah fi ‘Ilmil Musthalah sebagai ulama yang paling faqih tentang ilmu hadits diwilayah Hijaz.

* Syaikh Ahmad Wulu Al-Habasyi

* Syaikh Muhammad Hasan Al-Jaysh.

Syaikh Muhammad As-Sumali rahimahullah juga memiliki sejumlah murid yang kini menjadi ulama, diantaranya adalah:

* Syaikh Abdurrahman Al-Hudhaifi

* Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Utsman Al-Mani’

* Syaikh Musa’id Al-Humaid

* Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali

* Syaikh Muhammad Al-Madkhali

* Dan Syaikh Wasiyullah Muhammad ‘Abbas.

Wafat Beliau

Beliau mulai jatuh sakit pada awal bulan Sya’ban, dimana beliau merasakan kelemahan yang hebat. Pada hari Sabtu, beliau berdoa kepada Allah, diantara doanya adalah: “Ya Allah, hidupkanlah aku bila hal itu lebih baik bagiku dan matikanlah aku bila hal itu lebih baik bagiku.”

Pada hari Ahad pagi, beliau pingsan dan kemudian dibawa ke rumah sakit. Syaikh rahimahullah sadar keesokan harinya dan murid-muridnya dalam jumlah besar telah datang untuk mengunjungi beliau. syaikh rahimahullah kemudian membuat pesan terakhirnya diiringi doa yang diprakarsai oleh Syaikh Muhammad bin Abdullah As-Subayyil. Beliau kemudian pingsan kembali.

Demikianlah keadaan beliau selama beberapa hari, antara sadar dan pingsan. Kami memohon kepada Allah agar Dia mensucikan Syaikh Muhammad dan meninggikan derajatnya.

Syaikh Muhammad akhirnya meninggal dunia pada hari Ahad malam tanggal 3 Ramadhan 1420 H. beliau dishalatkan keesokan harinya di Masjidil Haram setelah shalat Isya. Beliau dikuburkan di pemakaman Al-Adl, di dekat makam Syaikh Abdul Aziz bin Baz, semoga Allah merahmati mereka.

Sumber : Di ambil dari buku : Untaian Mutiara Kehidupan Ulama Ahlus Sunnah, (dengan sedikit perubahan). Penerbit. Qaulan Karima (hal. 89-91),
Oleh : Abu Thalhah Andri Abd Halim

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons