Blog ini ditujukan kepada seluruh ummat Islam yang cinta kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Para Sahabat RA, Auliya', Habaib, Ulama', dan sejarah kebudayaan Islam.

Kamis, 30 Juni 2011

al-Habib Syekh bin Salim al-Aththas

Al-Maghfurlah al-Habib Syekh bin Salim al-Aththas lahir di Huraidhah, Hadramaut, Yaman, pada hari Jum'at bulan Safar 1311 H. Tumbuh dewasa dalam lingkungan keluarga Ba'alawi yang sangat religius. Masa pendidikannya dimulai dari ayahandanya sendiri, Habib Salim bin Umar bin Syekh al-Aththas (wafat 1956).

Sewaktu menginjak usia tujuh tahun, beliau berguru kepada Habib Abdullah bin Alwi al-Aththas, ulama yang lahir di Cirebon, kemudian menetap di Huraidhah, dan mendirikan Masjid Ba'alawi, beberapa waktu setelah kembali dari Haidrabad, India.

Habib Syekh bin Salim al-Aththas berguru kepada Habib Abdullah bin Alwi al-Aththas sepanjang siang dan malam, kecuali pada hari Jum'at di masjid Ba'alawi. Di masjid itu pulalah beliau tinggal. Beliau juga memperoleh bimbingan dalam berbagai hal, terutama hal-hal yang berkaitan dengan kemuliaan pribadi. Beliau juga mempelajari beberapa ilmu Qira'at, seni membaca Al-Qur'an, di bawah bimbingan Syaikh Sa'id bin Sabbah, yang sangat piawai dalam Qira'at Al-Qur'an. Pada usia 12 tahun beliau telah hafal Al-Qur'an secara sempurna.

Ada kisah menarik tentang kepiawaiannya membaca Al-Qur'an, sebagaimana pernah beliau tunjukkan dalam suatu perayaan khatam Al-Qur'an yang dihadiri berbagai tokoh Alawiyin dan para ulama besar. Di antara mereka terdapat Al-'Allamah al-'Arifbillah Ahmad bin Hasan al-Aththas, ulama yang menguasai 10 jenis qira'at, yang kemudian menjadi guru utamanya.

Sebagai orang yang haus ilmu, beliau berguru kepada beberapa ulama di berbagai tempat. Hampir semua cabang pengetahuan agama dipelajarinya dengan tekun. Beliau banyak menimba berbagai ilmu ushul dan furu' (pokok-pokok dan cabang
pengetahuan Islam) kepada Habib Ahmad bin Hasan al-Aththas. Selain itu, beliau juga menuntut berbagai cabang ilmu pengetahuan agama di Makkah di bawah bimbingan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, seorang Mufti Mazhab Syafi'i.

Bukan hanya belajar, Habib Syekh bin Salim juga gemar berdiskusi. Beliau sering menghadiri berbagai majelis bimbingan dan pengajaran agama di bawah pimpinan Habib Ahmad bin Hasan al-Aththas. Ulama yang sangat terkenal dengan suara dan lagunya ketika membaca Al-Qur'an.

Adapun Ulama-ulama yang mengajar agama dan tasawuf kepada Habib Syekh bin Salim, antara lain :
- Habib Abdullah bin Alwi bin Hasan al-Aththas (penyusun kitab Sabilul Muhtadin)
- Habib Muhammad bin Salim bin Abu Bakar bin Abdullah bin Thalib al-Aththas.

Ulama-ulama inilah yang bertindak sebagai Syaikh Fathu (pembimbing Ilmu Fiqih dan Tharekat) bagi Habib Syekh bin Salim yang sekaligus juga mengkaji beberapa kitab, seperti Al-Bahjah, Al-Irsyad dan Al-Minhaj.

Beberapa guru Habib Syekh bin Salim yang lain :
- Habib Muhammad bin Alwi bin Syekh al-Aththas.
- Habib Ahmad bin Abdurrahman Assaqqaf.
- Habib Abdullah bin Umar asy-Syatiri.
- Habib Alwi bin Abdullah bin Syahab.
- Habib Alwi bin Abbas al-Maliki (Mufti Al-Haramain Makkah)
- Habib Muhammad bin Hadi Assaqqaf dari Seiyun, Hadramaut.

Sebagai ulama tulen, beliau bertekad untuk berdakwah ke berbagai penjuru dunia. Pada tahun 1338 H/1920 M, ketika usianya 27 tahun, Habib Syekh bin Salim berkunjung ke Indonesia, langsung menuju Tegal, Jawa tengah.

Di sana beliau menjalin silaturrahmi dengan para ulama, sesepuh dan pembesar setempat. Ketika itu di Indonesia sudah banyak tokoh Alawiyyin yang sudah bermukim. Beberapa di antaranya, Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Aththas
(Pekalongan), Habib Abdullah bin Muhsin al-Aththas (Bogor), Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhar (Bondowoso), Habib Abu Bakar bin Muhammad Assaqqaf (Gresik), Habib Alwi bin muhammad bin Thahir al-Haddad (Bogor), Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (Kwitang, Jakarta) dan Habib Sholeh bin Muhsin al-Hamid (Tanggul, Jember).

Kedatangan Habib Syekh bin Salim al-Aththas menambah semarak perjuangan dan dakwah Islam di Indonesia. Beliau menjalin silaturrahmi dengan para ulama tanah air, seperti Prof. Dr. Buya Hamka (Jakarta), KH. Hasyim Asy'ari (Jombang), KH. Ahmad Sanusi (Sukabumi), KH. Bisri Syamsuri (Jombang), KH. Ahmad Dahlan (Jogja), Prof. Syafi'i Abdul Karim (Surabaya), Prof. Hasbie ash-Shiddiqy (Jogjakarta), Dr. Shaleh Su'aedi (Jakarta), Sayyid Abu Bakar bin Abdullah bin Muhsin al-Aththas (Jakarta), Sayyid Abdullah bin Salim al-Aththas (Jakarta), Sayyid Alwi bin Abu Bakar bin Yahya (Solo), Sayyid Idrus bin Umar al-Masyhur (Surabaya), Sayyid Umar Asseqqaf (Semarang) dan Sayyid Ahmad bin Ghalib Abu Bakar (Surabaya).

Mencermati perjuangan kaum muslimin Indonesia saat itu tak bisa lain bagi Habib Syekh bin Salim kecuali ikut berjuang melawan penjajah Belanda. Tak ayal, gerak-geriknya pun selalu diincar oleh kaum kafir kolonialis itu. Untuk menghindari intel Belanda, beliau menempuh taktik cukup jitu, yaitu berdakwah sambil berniaga.

Maka mulailah beliau berjalan kaki keluar masuk kampung menyelusuri Tegal dan sekitarnya. Di kota Bahari inilah beliau menikah dengan seorang putri dari keluarga bangsawan Tegal, Raden Ali. Dan sejak itu di Tegal beliau sangat disegani oleh berbagai lapisan masyarakat.

Dalam kapasitasnya sebagai ulama dan pemimpin masyarakat, Habib Syekh bin Salim berusaha mendorong dan menggalang kebersamaan dan kerukunan di antara kaum muslimin dalam bingkai roh kemanusiaan. Beliau juga mengajarkan kitab-kitab klasik yang memuat pokok-pokok dan cabang pengetahuan agama, baik ubudiyah (peribadatan) maupun muamalah (kemasyarakatan). Dalam waktu yang relatif singkat beliau mampu menjalin pergaulan dan persahabatan dengan para ulama dan sesepuh di pelbagai daerah.

Beliau bahkan sempat pula berpartisipasi dalam kancah politik meski dalam waktu yang singkat. Dalam setiap diskusi diskusi, beliau tidak pernah menangkis wacana kaum moderat yang mencuat di tengah masyarakat multi etnik dan kultur tanpa argumentasi kuat. Beliau senantiasa mencetuskan pemikiran-pemikiran konstruktif, mengonsolidasi segala aspirasi dan perbedaan antar golongan dengan konsep jalan tengah penuh hikmat demi kemaslahatan bersama.

Acapkali beliau menjawab berbagai persoalan dengan kalimat bijak dan sederhana, selaras dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, seperti, "Serulah mereka ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan anjuran baik." Juga pesan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam seperti, "Gembirakanlah dan janganlah buat mereka lari. Permudahlah urusan mereka dan janganlah dipersulit."

Habib Syekh bin Salim dikenal piawai terutama dalam bidang Fiqih, Sastra dan Tarikh. Kitab-kitab yang diajarkannya, antara lain :
- Al-Umm (Imam Syafi'i)
- Ar-Risalah (Imam Syafi'i)
- Al-Muhadzab (Syaikh Abu Ishaq asy-Syairazy)
- Tuhfatul Muhtaj dan Fathul Jawwad (Syaikh Ibnu Hajar al-Haitamy)
- Nihayatul Muhtaj (Imam Ramli)
- Fathul Wahhab (Syaikh Zakariya al-Anshary)
- Fathul Mu'in (Syaikh Zainudin al-Maibari)
- Tafsir Sirajul Munir (Imam Khatib asy-Syabainy)
- Tafsir Al-Jalalain (Imam Mahali dan
Imam Suyuthi)
- Shahih Bukhari dan Shahih Muslim
- Ihya Ulumuddin (Imam Ghazali)
- Al-Hikam (Syaikh Ibnu 'Atha'illah)
- Ar-Risalah (Syaikh al-Qusyairy)
- Al-Alfiyyah (Syaikh Ibnu Malik)
- Jauhar Maknun (Syaikh Abdurrahman al-Ahdhary)
- 'Uqudul Juman (Syaikh Jalaludin as-Suyuthy)

Gaya Habib Syekh bin Salim berdakwah cukup unik. Beliau selalu memberi hadiah para santri yang hadir pada hari Selasa hingga Sabtu berupa uang jalan. Mereka juga mendapat hadiah beberapa kitab. Belum lagi jamuan makan dan minum. Selesai shalat Ashar, terutama di bulan Ramadhan, beliau selalu menggelar majlis Rauhah dengan menelaah dan mengkaji ulang pelbagai kitab karangan Salafus shalih. Tak mengherankan jika para santrinya sangat banyak. Tidak sedikit anak didiknya yang dibelakang hari menjadi tokoh masyarakat atau mubaligh, terutama di Jawa Barat.

Ulama-ulama yang pernah menjadi santrinya, antara lain :
- KH. Abdullah bin Husein (Pabuaran, guru para Kiai di Sukabumi)
- KH. Ajengan Juragan Nuh (Ulama tertua di Cianjur)
- KH. Ajengan Abdullah bin Nuh, putra KH. Juragan Nuh (pendiri pondok pesantren Al-Ihya, Bogor)
- KH. Ajengan Muhammad Syuza'i (Ciharashas, Cianjur)
- KH. Ajengan Idris Zainudin (Cipetir, Sukabumi)
- KH. Ajengan Munawar (Cilaku, Sukabumi)
- KH. Ajengan Muhammad Masthuro (Tipar, Sukabumi) pendiri Pondok Pesantren Al-Masturiyah, yang dimakamkan di samping makam Habib Syekh bin Salim al-Aththas.
- KH. Ajengan Abdullah Sanusi (Sukamantri, Sukabumi)
- KH. Ajengan Abdullah Mahfudz (Babakan Tipar, Sukabumi)
- KH. Ajengan Shalahuddin (Pasir ayam, Cianjur)
- KH. Ajengan Ahmad Nadziri (Cijurai, Sukabumi)
- KH. Ajengan Zubaidi (Dangdeur, Cijurai)
- KH. Ajengan Ahmad Zarkasyi Sanusi (Gunung Puyuh, Sukabumi)
- KH. Ajengan Badri Sanusi (Gunung Puyuh, Sukabumi)
- KH. Ajengan Syafi'i (Nyalindung, Sukalarang, Sukabumi)
- KH. Ajengan Ilyas dan para putranya (Bogor)
- KH. Ustadz Sholeh (Ranca, Bali, Cianjur)
- KH. Ajengan Endang Muhyiddin (Jambu Dwipa, Cianjur)
- KH. Ajengan Muhammad Suja'i (Pakuan, Parung kuda, Sukabumi)
- KH. Ajengan Aang Syadzili
(Cibereum, Sukabumi).

Habib Syekh bin Salim al-Aththas memang sempat tinggal di Sukabumi. Beliau bahkan dikenal sebagai Mujahid (Pejuang) kemerdekaan Republik Indonesia. Sejak 1942, bersama KH. Ahmad Sanusi (Sukabumi) dan para tokoh pejuang lainnya, beliau berjuang melawan kolonialis Belanda.

Keberadaan beliau di Sukabumi sempat membuat tatanan masyarakat di kota itu jadi lain. Beliau menjadi sandaran bagi umat yang tengah menghadapi berbagai problem hidup. Beliau juga sempat duduk sebagai Rais Mustasyar (Ketua Dewan Pertimbangan), di samping membantu pembangunan dan kemajuan beberapa Pondok Pesantren di berbagai daerah Sukabumi.

Rebagai panutan masyarakat, Habib Syekh bin Salim memiliki akhlaq yang luhur dan dermawan, terutama terhadap masyarakat lemah dan miskin. Beliau juga sangat menghormati dan memuliakan ulama dan orang-orang shaleh, hingga rumah beliau menjadi ma'wa (tempat tujuan) dan persinggahan para tamu dari berbagai lapisan, dari dalam dan luar negeri, khususnya dari Timur tengah, lebih khusus lagi dari Yaman.

Habib Syekh bin Salim al-Aththas wafat pada hari Sabtu, 25 Rajab 1398 H/1 Juli 1978 M, dalam usia 86 tahun, dikebumikan di Masjid Jami' Tipar,
Sukabumi. Tokoh dan Ulama yang melakukan ta'ziah (melayat), antara lain : Habib Abdullah bin Husein asy-Syami al-Aththas dan Habib Hasan bin Abdullah asy-Syatiry yang bertindak sebagai Imam dalam shalat jenazah.

Wallahu a'lam bish-shawab.

Inilah Mimpi-Mimpi Rasulullah Saw Yang Menakjubkan

Sebelum di Isra’ Mikraj-kan, nabi Muhammad Saw mengalami mimpi-mimpi yang menakjubkan. Berikut adalah mimpi-mimpi beliau sebagaimana diriwayatkan oleh abdurrahman bin samurah ra.

1. Aku telah melihat seorang dari umatku telah didatangi oleh malaikat maut untuk mengambil nyawanya, maka malaikat itu terhalang perbuatannya itu disebabkan oleh ketaatan dan kepatuhannya kepada kedua ibu bapaknya.

2. Aku melihat seorang dari umatku telah disediakan azab kubur yang amat menyiksakan, maka ia telah diselamatkan oleh berkat whudunya yang sempurna.

3. Aku melihat seorang dari umatku sedang dikerumuni oleh syaitan-syaitan dan iblis-iblis laknatullah, maka ia diselamatkan dengan berkat dzikirnya yang tulus ikhlas kepada allah.

4. Aku melihat bagaimana umatku diseret dengan rantai yang diperbuat darip api neraka jahanam yang dimasukkan dari mulut dan dikeluarkan rantai tersebut ke duburnya oleh malaikut ahzab, tetapi shalatnya yang khusuk dan tidak menunjuk-nunjuk telah melepaskannya dari siksaan itu.

5. Aku melihat umatku ditimpa dahaga yang amat berat,setiap kali dia mendatangi satu telaga dihalang dari meminumnya, ketika itu datanglah pahala puasanya yang ikhlas kepada allah swt memberi minum hingga ia merasa puas.

6. Aku melihat umatku mencoba untuk mendekati kumpulan para nabi yang sedang duduk berkumpul, setiap kali dia datang dia akan diusir, maka menjelmalah mandi junub dengan rukun yang sempurnanya sambil memimpinnya ke kumpulanku seraya duduk disebelahku.

7. Aku melihat seorang dari umatku berada di dalam keadan gelap gulita disekelilingnya, sedangkan dia sendiri di dalam keadaan bingung, maka datanglah pahala haji dan umrahnya yang ikhlas kepada allah swt lalu mengeluarkannya dari kegelapan kepada tempat yang terang-benderang.

8. Aku melihat umatku coba berbicara dengan golongan orang mukmin tetapi mereka tidakpun membalas bicaranya, maka menjelmalah sifat silaturrahimnya dan tidak suka bermusuh-musuhan sesama umatku lalu menyeru kepada mereka agar menyambut bicaranya, lalu berbicara mereka dengannya.

9. Aku melihat umatku sedang menepis-nepis percikan api ke mukannya, maka segeralah menjelma pahala sedekahnya yang ikhlas kepada allah swt lalu menepis muka dan kepalanya dari bahaya api tersebut.

Rabu, 29 Juni 2011

Habib Hasan bin Soleh Al-Bahr Al-Jufri, Keluhuran Budi dan Kasih Sayangnya

Beliau dikenal sebagai pribadi yang mempunyai keluhuran budi dan kasih sayang terhadap sesama makhluk Allah.

Suatu malam sekelompok orang berkerumun di depan pintu sebuah rumah.

“Siapa yang berkerumun di depan pintu itu?” tanya tuan rumah.

“Mereka adalah fakir miskin yang menantikan sisa-sisa makan malam,” jawab salah seorang pembantunya.

Maka tuan rumah itu pun segera memerintahkan pembantunya untuk mengundang dan menjamu mereka.

Tuan rumah tersebut memang dikenal dermawan, ramah, dan lemah lembut. Dialah Habib Hasan bin Soleh Al-Bahr Al-Jufri, seorang ulama besar dan wali yang termasyhur di Hadramaut.

Beliau lahir di Khali Rasyid, Hadramaut pada 1191 H/1771 M. Sejak berusia dua tahun ia telah yatim, ditinggal ayahandanya, Saleh bin Bahr Al-Jufri. Ia kemudian diasuh oleh ibu dan kakeknya, Sayid Idrus bin Abubakar Al-Jufri di Dzi Ishbah.

Sejak kecil, ia tinggal di lingkungan yang mencintai ilmu pengetahuan agama dengan semangat beribadah yang kuat. Mula-mula belajar membaca Al-Quran kepada Syekh Abdurrahman Ba Suud, kemudian belajar menghafal kitab suci itu di bawah bimbingan Syekh Abdullah bin Saad.

Setelah itu ia berguru ke sejumlah ulama, seperti Habib Umar bin Zein bin Smith, Habib Umar bin Ahmad bin Hasan Al-Hadad, Habib Alwi bin Saggaf bin Muhammad bin Umar Assegaf. Belakangan, ia juga belajar kepada Habib Umar bin Saggaf bin Muhammad bin Umar Assegaf di Seiwun. Di sana pula akhirnya ia mendapatkan jodoh.

Ketika dewasa ia sering berdakwah melalui beberapa majelis taklim keliling di Syibam, kemudian berdakwah di kota-kota lain. Tapi itu tidak berlangsung lama, karena penduduk Syibam saat itu tengah mengalami kemunduran dan kelalaian. Karena itu ia pun terpaksa hijrah dari Syibam menuju Dzi Ishbah.

Di belakang hari ia dijuluki Al-Bahr (yang artinya “laut”, maksudnya “lautan ilmu”) berkat kedalaman dan keluasan ilmu agamanya. Ketika mengkaji kitab Mukhtashar at-Tuhfah langsung dari pengarangnya, Syekh Ali bin Umar bin Qadhi Bakhsir, ia banyak mengoreksi beberapa hal, padahal umurnya baru 20 tahun.

Kedalaman ilmu itu juga tampak ketika Sayid Abdurrahman bin Sulaiman Al-Ahdal, seorang mufti dari Zabid, memintanya menulis risalah yang menjelaskan sifat salat kaum mukarabin, orang yang selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan sebisa mungkin melaksanakana segala ibadah sunah. Permintaan itu ia penuhi dalam risalah Shalatul Muqarrabin, yang membuat kagum para ulama dan sufi, terutama di Hijaz – nama Arab Saudi kala itu.

Sebagai ulama yang berpegang teguh pada sunnah Nabi, ia selalu berusaha meniti jejak para ulama salaf. Misalnya dengan selalu menunaikan salat berjemaah di masjid meskipun letaknya jauh dari rumah di pinggiran kota Dzi Ishbah. Atas permintaan penduduk, juga untuk menghemat waktu dan mengurangi kesulitan perjalanan, ia kemudian pindah ke dalam kota.

Semangatnya untuk mengamalkan salat sunah Rawatib, salat sunah yang dikerjakan secara tetap sebelum dan sesudah salat fardu, dan salat sunah yang lain, memang sangat tinggi. Antara lain, dari salat Khusuf (Gerhana Bulan), salat Kusuf (Gerhana Matahari), sunah setelah wudu, salat Duha delapan rakaat, hingga salat Witir 11 rakaat di akhir malam – semuanya ia kerjakan dengan tekun.

Tentu saja salat wajib lima waktu selalu ia kerjakan secara berjemaah pula. Ia juga lazim membaca setengah dari jumlah surah Al-Quran dalam salat Tahajud. Kadang kala malah khatam dalam satu rakaat. Ulama yang sangat mengutamakan salat ini juga sering melakukan puasa Nabi Dawud (sehari puasa sehari tidak), baik sedang di rumah maupun bepergian, sehat ataupun sakit.

Ahli Ibadah

Beliau juga sering membaca surah Yasin 40 kali dalam satu majelis dan dalam satu atau dua rakaat salat. Di antara wirid yang digemarinya ialah membaca surah Al-Ikhlash sebanyak 90.000 kali dalam satu rakaat salat.

Ia telah menunaikan ibadah haji lebih dari tujuh kali dan sering melakukan tawaf malam hari sambil membaca Al-Quran sampai fajar – kadang malah sampai mengkhatamkannya. Sebagaimana dituturkan Sayid Ahmad bin Ali Al-Junaid dalam perjalanan dari Mekah ke Medinah pada 1233 H/1813 M, pada saat puasa Habib Hasan setiap malam hanya sahur dengan beberapa teguk air, lalu menunaikan salat Tahajud.

Menurut salah seorang anaknya, Abdullah bin Hasan, walaupun sang ayah sedang sakit parah dan hanya bisa terbaring di tempat tidur, ketika waktu salat sunah yang biasa dilakukannya telah tiba, Habib Hasan bangun kemudian memukul kedua pahanya sambil berkata, ”Bangunlah wahai jiwa yang buruk! Jangan kau halangi aku untuk menunaikan wiridku!” Ia lalu mengambil air wudu untuk salat sunah sambil memegang Al-Quran. Usai salat, ia terjatuh dan tubuhnya kembali panas.

Meskipun dikenal sebagai ahli ibadah, dengan rendah hati ia berkata, “Kekerasan hati dan kelalaian telah mengalahkanku, sehingga tidak tersisa lagi padaku selain tawakal kepada Allah, serta prasangka baik kepada-Nya, dan pada sifat-sifat-Nya yang Pengasih dan Penyayang. Adapun amalan-amalanku buruk. Jika ada amalku yang baik, itu berkat kemurahan, rahmat, dan karunia Allah SWT belaka.”

Selain dikenal sebagai ahli ibadah, orang mengenalnya pula sebagai pribadi berbudi luhur dan penuh kasih sayang terhadap sesama makhluk. Seperti diceritakan oleh Habib Ahmad bin Ali Al-Junaid, yang menemaninya dalam perjalanan ke Mekah lalu berziarah ke makam Rasulullah SAW di Medinah. Dalam perjalanannya ke Medinah, mereka dirampok. Tapi Habib Hasan tidak mencegahnya.

“Mengapa Sayid tidak mencegahnya?” tanya Habib Ahmad.

Maka jawab Habib Hasan, “Cobaan ini tidak terlalu berat bagiku, kecuali mereka mengambil Al-Quran yang kubawa. Ini memang cobaan Allah. Dan cobaan Kekasih tidak menyakitkan.”

Ketika saudara kandung Habib Ahmad Al-Junaid, yaitu Habib Umar Al-Junaid, yang kaya, meninggal dunia, ia berwasiat kepada Habib Ahmad agar memberi uang senilai 500 riyal kepada Habib Hasan. Tapi, ketika uang tersebut diserahkan, Habib Hasan justru berkata, ”Ini adalah dosa yang siksanya akan disegerakan.” Lalu ia langsung membagi-bagikan uang tersebut kepada orang-orang yang dapat memanfaatkannya demi ketaatan mereka kepada Allah SWT.

Anjing Liar

Kasih sayangnya tidak hanya terhadap orang-orang di sekitarnya, tapi juga kepada seekor anjing liar yang banyak mengganggu penduduk karena sering melahap hewan piaraan. Mendengar pengaduan penduduk, ia berkata,

”Anjing itu bertingkah demikian karena kalian menelantarkannya dan tidak memberi makan. Bawa kemari anjing itu, lalu berilah makan dia hingga kenyang.”

Habib Hasan sangat menaruh perhatian pada anjing tersebut, dengan menempatkannya dalam sebuah kandang yang bersih dan memberinya makanan. Setiap hari ia selalu bertanya kepada pembantunya bagaimana keadaan anjing yang dipeliharanya itu.

Usai menunaikan salat Jumat di sebuah masjid di Syibam, Habib Hasan melihat seekor burung kecil jatuh dari sarangnya di atas masjid ke lantai. Melihat anaknya jatuh, induknya menjerit-jerit. Habib Hasan rupanya terharu, ia pun tak kuasa lagi menahan air matanya. Maka ia pun lalu minta para jemaah keluar sebentar, agar si induk burung dapat mengambil anaknya dengan leluasa kembali ke sarangnya.

Ia juga sangat peduli pada fakir miskin. Ketika menikahkan salah seorang putrinya, Habib Hasan melihat kerumunan orang di bawah jendela lonteng.

“Siapa yang berkerumun di sana itu?” tanyanya.

“Mereka fakir miskin yang menantikan sisa-sisa makan malam,” jawab pembantunya. Maka ia pun segera memerintahkan menjamu mereka, padahal hanya tersedia makanan yang dipersiapkan untuk para tamu pernikahan.

”Tidak apa-apa, hidangkan saja makanan itu,” ujarnya.

Habib Hasan mendapat gelar Aljufri, sebagaimana para pendahulunya. Tokoh yang pertama mendapat gelar Aljufri ialah Habib Abubakar bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ustadzil A’dzam Al-Faqih Al-Muqaddam. Julukan itu ada riwayatnya. Ketika masih kecil, ia disapa oleh sang kakek, Al-Imam Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mawla Dawilah, “Ahlan bil Jufrah!” (Selamat datang, anak kambing kecilku).

Sang kakek memanggil cucunya dengan panggilan “anak kambing” karena tubuh cucunya yang gendut dan lucu seperti anak kambing yang sehat. Menurut seorang ahli bahasa, jufri berarti anak kambing usia empat bulan. Ada pula yang mengatakan, sebutan jufri itu digunakan karena dahulu kakek mereka menulis buku tentang jufr dan sering mengulang-ulang kata jufri.

Habib Hasan bin Soleh Al-Bahr Al-Jufri, yang berbudi luhur dan penuh kasih sayang, wafat pada waktu Dhuha, hari Rabu, 23 Zulkaidah 1273 H/1853 M, di Dzi Ishbah. Jenazahnya dimakamkan dekat makam ibundanya di tengah musala di samping rumahnya.

Disarikan dari buku Shalat Para Wali karya Habib Hasan bin Soleh Al-Bahr Al-Jufri terjemahan Habib Novel Muhammad Alaydrus terbitan Putera Riyadi, Solo

KH. Abdul Fattah Hasyim

Pada sekitar dekade 20-an, dimana rakyat Indonesia masih berada dalam genggaman pemerintah kolonial. Di sebuah dusun kecil yang bernama Kapas di kota Jombang tepatnya pada tahun 1911 M. lahirlah seorang perintis yang kita kenal sebagai sosok pecinta ilmu yang arif, bijaksana, tegas dan kharismatik. Beliau adalah Hadrotus Syekh Romo KH. Abdul Fattah. Terlahir dari pasangan KH. Hasyim Idris (Kapas Jombang) dan Ibu Nyai Hj. Fathimah binti KH. Hasbullah bin KH. Abdus Salam (Tambakberas Jombang), beliau adalah putra pertama dari empat bersaudara. Adik pertamanya bernama Maisaroh (Istri KH. Nur Salim, Mayangan). Kemudian KH. Abdul Wahid dan yang terakhir adalah KH. Faiq Hasyim (Kedunglo Kediri).

A. Mengenal lebih dekat Kyai Fattah
KH. Abdul Fattah Hasyim dilahirkan di Kapas Jombang tepatnya pada tahun 1911 M. dan wafat lebih kurang 31 tahun yang lalu tepatnya pada hari jum’at wage tanggal 27 April 1977 pukul 22.15 di Tambakberas Jombang. Ayahandanya bernama KH. Hasyim bin Kyai Idris dari kapas Jombang adalah seorang Kyai yang sangat digdaya, terkenal ilmu kanuragannya, wira’ i dan ahli tirakat, sementara Ibunya bernama Fathimah putri KH. Hasbullah seorang dermawan yang kaya raya Pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas, Ibu Nyai Fathimah adalah adik termuda dari seorang pendiri organisasi Nahdlatul Ulama’ KH. Abdul Wahab Hasbullah. KH Abdul Fattah Hasyim merupakan putra pertama dari empat bersaudara, adik pertamanya bernama KH. Abdul Wajid kemudian Ibu Nyai Fatihah ( istri KH. Nursalim Mayangan) dan yang terakhir ( Saudara seayah beda Ibu ) KH. Moh. Faiq Kedunglo Kediri.

Silsilah keturunan KH. Abdul Fattah Hasyim dari ayah maupun ibu mempunyai jalur kenasaban (Intisab) sampai pada Pangeran Benowo, dari pangeran Benowo ke atas jalur keturunan bertemu langsung (muttashil) sampai pada Joko tingkir ke atas lagi sampai Sultan Pajang ( 1570-1587M).

Setelah usianya sudah mencapai dewasa setelah beberapa tahun melakukan perjalanan intlektual (ngudi kaweruh babakan ilmu Agomo) di beberapa Pondok Pesantren di pulau jawa, tepatnya pada 1938 di usianya yang ke 27 KH. Abdul Fattah di jodohkan seorang gadis cantik yang bernama Musyarrofah, putri KH. Bisyri Sansuri pengasuh Pondok Pesantren Denanyar Jombang suami dari ibu Nyai Khodijah yang merupakan kakak kandung Ibu Nyai Fathimah Ibunya KH. Abdul Fattah. Buah dari perkawinan beliau dengan Ibu Nyai musyarrofah melahirkan dua belas putra putri (tiga putra dan sembilan putri). Adapun keduabelas putra putri KH. Abdul Fattah adalah sebagai berikut :

Fathimah (Alm) meninggal di usia dua tahun
Mu’izah (Alm) mennggal di usia dua tahun
Nyai Hj. Nafisah Sahal, istri KH. Sahal Mahfud (Pengasuh Pondok Pesantren Maslahul Huda Kajen Pati)
Nyai Hj. Hurriyah Jamal, istri KH. Djamaluddin Ahmad ( pengasuh Pondok Pesantren Bumi Damai Al Muhibbin Bahrul Ulum Tambakberas Jombang)
Mahsunah (Alm) meninggal di usia bayi
Nyai Hj. Muthmainnah Sulthon, nama aslinya Kholishoh, Istri KH. Sulthon Abdul Hadi (pengasuh pondok pesantren Al Hikmah Bahrul Ulum Tambakberas Jombang
Hubby Syauqi (Alm), ayahanda Agus Jabbar Hubbi Pengasuh Pondok Pesantren Al Hidayah Bahrul Ulum.
Nyai Hj. Lilik Muhibbah, istri KH. Masduqi Amin (Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Gedongan Cirebon)
KH. Abdul Nashir, (Pengasuh Pondok Pesantren Al Fathimiyyah dan pengasuh Pondok Induk Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas)
KH. Ah. Taufiqurrahman, (Pengasuh Pondok Pesantren Ar-roudloh Bahrul Ulum Tambakberas Jombang)
Nyai Hj. Syafiyah, nama aslinya adalah makiyyah istri Dr.Yahya Ja’far (Pengasuh Pondok Pesantren Al Hikmah Al Fathimiyyah Denoyo Malang)
Bani meninggal ketika masih kecil


B. Kepribadian Kyai Fattah
KH. Abdul Fattah Hasyim dikenal sebagai seorang yang memiliki kepribadian yang adekuat. Hal ini nampak pada perilakunya yang cenderung teguh dalam memegang prinsip, suka menolong, penuh kasih sayang, zuhud, wira’i dan tawaddlu’. Belaiu juga seorang yang memiliki kedisiplinan yang tinggi dan istiqomah terhadap hal-hal yang terkait dengan mu’amalah, pendidikan, dan ibadah. Dengan karakternya yang demikian beliau sangat dihormati oleh orang-orang yang berinteraksi dengan beliau.

Dalam urusan jamaah shalat lima waktu KH. Abdul fattah sebagaimana yang di tuturkan oleh putrinya Ibu Nyai Hj Nafisah tidak pernah absen, bahkan menjelang wafatnya di saat mengalami sakit parah beliau masih menanyakan orang yang menyertai jamaahnya. Hampir setiap subuh sekitar pukul 03.30 pagi dengan sangat telaten beliau membangunkan para santri dari kamar perkamar untuk jamaah shalat subuh, mengomando dengan meniup trompet di depan rumahnya kepada para santri untuk meng’adzani setiap masuk waktu shalat. Setengah jam sebelum di mulai jamaah sholat beliau KH. Abdul fattah sebagaiman yang di katakan oleh KH Hasan, beliau sudah siap dengan pakaian shalat yang lengkap dengan serban (imamah) di kepala dan sajadah di pundaknya, seperempat jam sebelum jamaah di mulai beliau sudah megerjakan i’tikaf di Masjid.

Kedisiplinan dan keistiqomahan yang tinggi juga nampak dari dalam diri beliau KH. Abdul fattah Hasyim ketika membimbing dan mengasuh santri-santri Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum. Tepat pukul 07.00 ketika sudah waktunya masuk sekolah, sebelum bel masuk berbunyi beliau sudah bertandang lebih dahulu ke Madrasah, mengontrol para guru yang tidak masuk pada hari itu, sehingga menurut Pak Ihsan Mojokrapak sebagai salah seorang guru pada era Kyai Fattah, melihat kedisiplinan yang tinggi yang sudah mendarah daging pada diri KH. Abdul Fattah tersebut sehingga menimbulkan perasaan malu (ewuh pakewuh) dari para guru ketika terlambat atau atau tidak masuk mengajar. Begitu juga dalam urusan pengajian para santri setelah shalat Subuh dan Ashar menurut K. Ilham, beliau KH. Abdul fattah adalah tipikal orang memiliki jiwa istiqomah yang sangat tinggi sekali, tidak pernah absen dalam memberikan pengajian, kecuali terdapat udzur yang sangat mendesak yang tidak bisa beliau tinggalkan. Konon karena kedisiplinan dan keteguhannya dalam memegang perinsip dan amanah khusussnya amanah para santri yang di titipkan oleh orang tuanya kepada belaiu, walaupun ada tamu sekalipun dari jauh kalau sudah waktunnya ngajar maka beliau lebih memilih untuk mengajar dari pada melayani tamu tersebut, hal ini di sebabkan karena beliau merasa punya tanggung jawab terhdap santri santri yang di titipkan kepadanya. Begitu juga dalam memberikan pengajian masyarakat beliau KH. Abdul Fatttah Hasyim tidak pernah lobong (absen) sebagaimana yang di tuturkan oleh bapak Munif ketua ranting NU pada era kyai Fattah, bahwasanya KH Abdul fattah adalah seorang yang disiplin dan istiqomah dalam membina pengajian Masyarakat, walaupun kondisi cuaca kurang bersahabat sehabis hujan, kondisi jalan masih terjal, bergelombang (becek jw) dan gelap karena belum ada penerangan listrik beliau KH. Abdul fattah tidak pernah malas dan patah semangat untuk datang ke musholla musholla dalam rangka mengisi pengajian masyarakat, ketika pengajian di mulai jam 08.30 malam beliau KH. Abdul Fattah sudah datang sudah datang secara tepat sesuai dan langsung memulai pengajian tersebut walaupun kedaan jamaah yang hadir masih sangat sedikit, begitu juga ketika pengajian selesai jam 10 malam maka pada saat itu pula beliau langsung mengahiri pengajian walaupun tema pengajian yang di bicarakan belum tuntas. Sehingga menurut Mbah kholiq pengiat pengajian kyai Fattah, akibat kedisiplinan dan keistiqomahan beliau kyai Fattah tersebut para jamaah yang sedianya akan absen mengikuti pengajian merasakan malu (sungkan : bahasa jawa) dengan dirinya sendiri, dan realitas yang terjadi pada masa pengajian KH. Abdul Fattah akibat kedisiplinan dan keistiqomahannya hampir setiap musholla pada saat pengajian beliau selalu di penuhi dengan pengunjung, bahkan pihak panitia pengajian sampai harus membuatkan tenda khusus untuk menampung jamaah pengajian yang tidak kebagian tempat dalam pengajian yang di asuh oleh beliau.

Di mata keluarganya terutama putra putrinya KH. Abdul fatah Hasyim adalah sosok seorang ayah yang sangat tegas dan disiplin, setiap subuh beliau sudah membangunkan putra putrinya untuk jamaah shalat subuh. di tengah kesibukan mengasuh dan mendidik masyarakat dan anak anak pondok. Sebagai seorang ayah yang mempunyai tanggung jawab terhadap putra putrinya terutama dalam urusan pendidikan mereka beliau KH. Abdul fattah Hasyim juga tidak pernah lepas kontrol terhadap segala aktifitas yang di lakukan oleh putra putrinya terutama dalam hal pendidikan, hampir setiap hari beliau selalu memantau perkembangan belajar putra putrinya, selalu menanyakan hasil belajar yang di raih putra putrinya serta tidak jarang beliau menangani sendiri pengajaran mereka, sebagaimana yang di alami oleh Ibu Nafisah Sahal, ketika menginjak kelas enam Madrasah Ibtidaiyyah dia di ajar sendiri oleh ayahandanya tentang pelajaran ilmu Faraidl. Perhatian KH. Abdul fattah tidak berhenti pada saat putra putrinya masih belajar di rumah saja akan tetapi ketika putra putrinya sudah suadah meneruskan belajar di pondok pesantren mereka masih mendapatkan pantauan dan perhatian serius dari beliau, hal ini terbukti ketika putra putrinya pulang dari pondok pesantren sebagaimana yang di ceritakan oleh Ibu Lilik muhibbah salah satu putri beliau, bahwasanya, kalimat pertama yang di lontarkan beliau kepada sang anak sepulang dari belajar dari Pondok di antaranya adalah “berapa nilai rapornya, ketika mengikuti pelajaran di pondok” dan “bagaimana kitabnya (penuh tidak maknanya)”, hal ini menunjukan bahwa KH. Abdul fattah Hasyim sosok yang sangat disiplin dan sangat intens dan disiplin terhadap pendidikan putra putrinya.

KH. Abdul fattah seorang yang teguh dalam memegang prinsip terutama prinsip prinsip syari’ah, komitmen penuh dalam memegang hukum, tidak ceroboh (semberono) dalam memutuskan setiap permasalahan lebih lebih yang berkaitan dengan hukum syariat, sebuah contoh yang sangat menarik tentang komitmen beliau pada permasalahan hukum sebagaimana yang di tuturkan oleh KH. Djamaludin adalah kebijakan beliau KH Abdul Fattah tentang hukum pengumpulan zakat fitrah oleh pengurus NU ranting melalui para penerima zakat mustahiqquzzakat yang di tunjuk panitia untuk menerima zakat dari masyarakat, dalam memutuskan boleh tidaknya kebijakan seperti ini KH. Abdul Fattah tidak buru buru memutuskan hukum boleh atau tidak kebijakan di atas, akan sebagai langkah ihtiyath (hati hati) untuk mencapai kebenaran hukum dalam kacamata syara’ beliau tidak merasa malu untuk menanyakan terlebih dahulu hukumnya kepada KH. Bisyri Sansuri. Begitu juga dalam hal penegerian Madrasah Muallimin oleh pemerintah melalui menteri Agama tahun 1969 KH. Abdul Fattah tidak serta merta menerima tawaran tersebut akan tetapi tawaran tersebut di terima setelah melalui pertimbangan dan pemikiran yang matang, sehingga wujud kongkritnya setelah di negerikannya Madrasah Muallimin tersebut ciri ciri khas pesantren yang berupa kurikulum kitab kitab salaf tidak sampai tergusur serta menjadi menu utama dalam proses belajar mengajar di Madrasah ini, hal ini tidak lepas dari komitmen KH. Abdul Fattah Hasyim dalam mempertahankan prinsip dan ajaran-ajaran yang di rintis oleh Ulama Ulama salaf .

Menurut ibu Nafikah salah satu santri al fathimiyyah tahuan 50an, dalam kaitannya memelihara Amar ma’ruf nahi seperti pergaulan antara laki laki dan perempuan KH. Abdul Fattah Hasyim memiliki sikap yang sangat tegas dan ketat. bahkan beliau sangat tidak setuju sekali apabila terdapat acara pengajian sementara di dalamnya terdapat percampuran antara laki-laki dan perempuan, begitu juga apabila terdapat pengajian yang di hadiri oleh kaum laki laki sementara yang memberi ceramah dan pembaca Al Qur’an dalam pengajian tersebut adalah seorang perempuan beliau sangat tidak setuju sekali dan tidak akan bersedia hadir dalam acara tersebut.


C. Kesalehan kyai Fattah
Walaupun pikiran, tenaga, dan waktu beliau curahkan untuk mendidik dan membina (ngemong) santri dan masyrakat, bukan berarti KH. Abdul Fattah Hasyim berpangku tangan serta melepaskan diri dalam urusan-urusan keluarga. Sebagaimana di ceritakan oleh KH. Nashir Fattah, sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab penuh terhadap urusan keluarga terutama dalam hal ekonomi, berbagai usaha dan pekerjaan pernah beliau jalanai, beliau pernah merintis bisnis penimbunan garam, berdagang tembakau, membuka toko dan lain lain akan tetapi dari usaha-usaha yang beliau terjuni itu selalu mengalami kerugian, bahkan uang pinjaman yang rencanaya akan beliau alokasikan untuk mengembangkan usaha usaha tersebut raib di ambil oleh sekawanan pencuri, sehingga dalam perkembanganya untuk menyambung kebutuhan keluarganya beliau hanya mengandalkan penghasilan dari toko kecil dan sebidang tanah yang sampit yang di pelihara oleh salah seorang abdi ndalem dan salah seorang warga kampung Tambakberas.

Dalam kondisi ekonomi yang serba kekurangan (paspasan : bahasa jawa), tersebut tidaklah mengendurkan perhatian beliau KH. Abdul Fattah Hasyim terhadap nasib faqir, miskin dan orang orang yang membutuhkan, hampir tiap pekan bisa di pastikan terdapat tamu yang bertandang ke rumah beliau untuk meminta sumbagan, di tengah tengah kondisi ekonomi yang sempit yang beliau alami, dengan tanpa berat (ora eman.: bahasa Jawa) beliau memberikan sebagian harta yang beliau miliki kepada mereka, akibat kedermawanan dan kemurahan beliau terhadap orang yang membutuhkan sampai beliau sering menuai protes dari Ibu Nyai.

Dengan kedermawanan beliau yang begitu tinggi dalam kondisi ekonomi yang sempit sehingga putrinya Ibu Hj Nafisah sahal mengibaratkan KH. Abdul Fattah Hasyim bagaikan air yang selalu mengalir yang tidak pernah berhenti alirannya walaupun di pancarkan ke berbagai aliran.

Adapun untuk kehidupan KH. Abdul Fattah Hasyim yang berhubungan dengan ibadah, dan amalan amalan keseharian lainnya, sebagaimana yang di ungkapkan oleh Bapak Abdurrohman Saliman yang pernah menjadi abdi ndalem kyai Fattah, bahwasanya KH. Abdul Fattah Hasyim adalah seorang yang sangat istiqomah dalam urusan jama’ah shalat lima waktu, bahkan hingga beliau di beri cobaan sakit parah yang meyebabakan beliau di panggil Allah, beliau tidak bersedia meninggalkan jamaah.

Untuk amalan amalan ibadah selain jamaah yang rutin di lakukan oleh KH. Abdul Fattah Hasyim sebagaimana di tuturkan oleh putri beliau Ibu lilik Muhibbah adalah istiqomah membaca al qur’an setelah jamaah shalat shubuh sampai jam tujuh pagi, dalam rentang waktu tersebut tidak kurang empat juz dari al Qur’an yang beliau baca, bahkan kemanapun berpergian beliau selalu membawa Qur’an kecil di sakunya.

Adapun untuk amalan yang berupa wirid wirid atau dzikir tertentu tidak begitu banyak yang di amalkan oleh beliau KH. Abdul Fattah Hasyim, beliau juga tidak terlibat secara formal dalam Thoriqot Thoriqot tertentu seperti Thoriqot Syadiliyah, Naqsyabandiyah dan lain lain sebagaimana yang terjadi pada masa sekarang, walaupun beliau sendiri mempunyai amalan amalan Thoriqot tersebut, Sebagaimana di katakan oleh KH. Syamsul Huda bahwasnya menurut KH. Abdul Fattah Hasyim ketika seorang sudah mengamalkan shalat lima waktu dengan berjamaah di tambah dengan Shalat sunnat rowatib dan membaca Al-Qur’an secara kontinyu (istiqmah) maka sudah merupakan aktualisasi pada pengamalan Thoriqot. Senada dengan Pak Kyai Syamsul Huda putra beliau KH Abdul Nashir menuturkan bahwasanya KH. Abdul Fattah Hasyim tidak pernah mengikuti thoroqot tertentu, hal ini di sebabkan karena ketika beliau KH. Abdul Fattah Hasyim sowan kepada KH. Wahab Hasbullah dalam rangka memohon izin untuk mengikuti Thoriqot tertentu, permohonan izin tersebut langsung di jawab oleh beliau KH. Wahab bahwa dengan megadakan pengajian, mendidik dan membina santri secara rutin sudah merupakan perwujudan dari pengamalan Thoirqot.

Selain amalan amalan yang di lakukan oleh KH. Abdul Fattah Hasyim sebagaimana yang di sebutkan di atas adalah daya belajar (Mutholaah) beliau yang sangat tinggi, hampir setiap hari terutama malam hari beliau secara rutin mempelajari berbagai kitab, terutama kitab kitab yang sedianya di sampaikan di pengajian santri dan masyarakat. Begitu tingginya mutholaah beliau sehingga ketika Gus Dur meminta waktu untuk mengaji sebuah kitab tertentu beliau harus mendapatkan kesempatan jam 01 malam untuk bisa mengaji sorogan dengan beliau

D. Perjalanan intelektualitas kyai Fattah
Perjalanan KH. Abdul Fattah Hasyim dalam menuntut ilmu di awali dari gemblengan secara intensif dari ayahandanya sendiri, beliau mendapatkan pendidikan dasar Ilmu Ilmu Agama dan pengajaran Al Qur’an. Di samping mendapatkan pendidikan dari ayahandanya sendiri KH. Abdul Fattah juga mendapatkan tambahan pendidikan dasar dasar Ilmu Agama di Madrasah Ibtidiyyah Tambakberas yang pada saat itu beliau se angkatan dengan KH. Moh Wahib sampai kelas enam shifir

Setelah mengijak remaja, dengan berbekal dasar ilmu agama yang telah beliau kuasai selanjutnya KH. Abdul Fattah Hasyim melanjutkan perjalanan intlektualnya Rihlah Ilmiyyah ke beberapa Pondok Pesantren, dan sudah menjadi tradisi yang umum di kalangan santri santri zaman dahulu melakukan perjalanan menuntut ilmu yang tidak hanya di satu atau dua pesantren saja, tradisi ini mereka lakukan di sebabkan karena antara pesantren satu dengan pesantren lainnya mempunyai karakter dan keunggulan yang berbeda beda, terdapat tipe pondok pesantren yang hanya mendalami ilmu ilmu Nahwu (Gramatikal Arab), terdapat tipe pesantren yang hanya mengfokuskan pada pengkajian ilmu al qur’an dan Hadits dan ada juga tipe Pesantren yang hanya mengfokuskan pada bidang pengkajian ilmu Tashawwuf sehingga alasan seperti ini mungkin yang mengilhami KH. Abdul Fattah Hasyim untuk melakukan perjalanan menuntut ilmu (rihlah ilmiyyah) ke beberapa Pondok Pesantren. Pondok. Pertama kali yang di tuju oleh beliau KH. Abdul Fattah Hasyim dalam pengembaraan menuntut ilmu menurut sebagian pendapat adalah pondok Pesantren Mojosari Nganjuk, selanjutnya setelah mendapatkan seberkas cahaya ilmu (Nuurul ilmu) dari Pondok tersebut beliau melanjutkan ke Pondok pesantren Siwalan Panji Buduran Sidoarjo di bawah asuhan KH. Khozin, di Pesantren ini beliau mendalami Ilmu Ilmu Tata Bahasa Arab (Gramatikal Arab) yang meliputi Shorof, Nahwu (Al fiyyah Ibnu Malik) dan Balaghoh. Setelah beberapa lama menimpa ilmu di Pesantren Siwalan Panji, dan mendapatkan modal ilmu yang luas beliau KH. Abdul Fattah Hasyim belum merasa puas dan masih merasa bodoh terhadap ilmu yang telah di capai, sehingga pada akhirnya beliau memutuskan untuk melakukan perjalanan intlektual di Pesantren Tebuireng Jombang di bawah bimbingan dan asuhan Hadlrotussyaikh KH. Hasyim asyari. Di pilihnya Pesantren Tebuireng sebagai alernatif terakhir oleh beliau KH. Abdul Fattah Hasyim dalam pengembaraannya mencari ilmu tidak lain di sebabkan karena sosok Kyainya yang Alim Allaamah, sosok Ulama pewaris yang di gambarkan oleh Rosulullah SAW dari Hadits yang di riwayatkan oleh Jabir :

عن حابر رضي الله عنه ( موقوف مرفوع ) قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تجالسوا العلماء إلا إذا دعوكم من خمس إلى خمس : من الشك إلى اليقين ومن الكبر إلى التواضع ومن العداوة إلى النصيحة ومن الرياء إلى الإخلاص ومن الرغبة إلى الزهد "

Di riwayatkan dari sahabat Jabir dia berkata: Rosulullah SAW bersabda: “ janganlah kalian bergabung dengan setiap orang alim (‘ulama’) kecuali mereka mengajak kalian dari lima perkara menuju lima perkara, dari keragu raguan menuju keyaqinan dari riya’ kepada ikhlas, dari cinta dunia kepada benci dunia dari sifat sombong kepada sifat tawadlu’ (merendahkan diri), dari permusuhan kepada nasehat (Imam Ar-Rozi Tafsir Ar- Rozi Vol 1 hal 472. CD. Maktabah As-Syamilah

Di samping itu KH. Abdul Fattah ingin ngalap (mengambil) barokah dari KH Hasyim Asyari sebagai sosok kyai yang alim, wira’i, dan zuhud, tawaddlu’, sosok kyai yang menjadi lentera umat, dengah barokah tersebut dapat menjadi cahaya pembuka hati beliau dalam mencari ilmu yang di ridloi oleh Allah SWT, sebagaimana wasiat sang bijak Luqman al Hakim kepada kepada putranya : “putraku bergabunglah kalian dengan ulama’ dan ambilah berkahnya, sesungguhnya Allah menerangi hati itu dengan ilmu seperti bumi yang subur karena di siram air hujan (Al Muwatha’ Imam Malik). Dalam Nasir Sulaiman . al Ilmu Dloruroh al Syar’iyyah . (Riyadl: Darul Wathon. 1992), h. 17

Pada saat mondok di Pesantren Mbah Hasyim ini bakat intlektual KH. Abdul Fattah mulai tampak, sehingga di mata Hadlrotussyaikh KH. Hasyim Asyari KH. Abdul Fattah termasuk santri istimewa, bahkan menurut KH. Ilham perak bahwasanya KH. Hasyim Asyari tidak akan memulai mbalah (membaca) kitab untuk para santri sebelum KH. Abdul Fattah Hasyim berada di sampingnya. Dan karena kapasitas keilmuan KH. Abdul Fattah yang sudah mumpuni sehingga Hadlrotussyaikh KH. Hasyim Asyari memberi amanat. Beliau untuk ikut membantu mengajar para santri di Pesantren Tebuireng serta sering menjadi badal (pengganti) Hadlrotussyaikh ketika beliau berhalangan hadir dalam pengajian masyarakat. Menurut penuturan KH. Djamaluddin bahwasannya Hadlrotussyaikh KH. Hasyim Asyari pernah mengirim beliau KH. Abdul Fattah Hasyim sebagai duta Pondok dalam rangka mengemban misi da’wah Islam di daerah Sekaran Balen Bojonegoro selama kurang lebih tiga tahun.

Kesungguhan KH. Hasyim Idris untuk menempa kyai Fattah salah satunya nampak pada peristiwa ketika kyai Fattah mondok di tebuireng dan dalam keadaan sakit Sewaktu beliau KH. Abdul Fattah mondok di Tebuireng, sebagaimana di ceritakan oleh K Faiq Hasyim bahwsanya pada saat itu beliau mendapat cobaan sakit parah sehingga para pengurus pondok terpaksa megantarkan beliau pulang ke rumah dengan harapan cepat sembuh ketika sudah di rumah, akan tetapi dalam kenyataannya sesampainya beliau ke rumah (belum sampai masuk rumah) KH. Hasyim Idris (abahnya K fattah) sudah muncul dari rumah dan langsung melarang untuk masuk rumah sambil berkata:” lapo muleh ….luweh apik mati nang pondok dari pada muleh, aku ihlas, ridlo awakmu mati nang pondok dari pada mati nang omah ” dan tidak lama setelah kembali lagi ke pondok beliau di beri kesembuhan oleh Allah dari sakit yang di deritanya

Berbagai fan ilmu di pelajari oleh KH. Abdul Fattah Hasyim di Pesantrennya Mbah Hasyim Asyari, namun yang paling menonjol dan paling di geluti adalah Kitab Hadits Shoheh Bukhori yang di susun oleh Muhammad bin Isma’il al bukhory dan Shoheh Muslim yang di karang oleh Muslim bin Hujjaj al Qusyairi, bahkan untuk kedua kitab tersebut KH. Abdul Fattah mendapatkan sanad secara langsung (muttashil) dari Hadrotussyaikh KH.Hasyim Asyari.

E. Kyai Fattah dan pengembangan pesantren
Antara KH. Abdul Fattah Hasyim dengan pesantren ibarat sekeping koin yang salah satu sisinya saling melangkapi, KH. Abdul Fattah Hasyim adalah figur Kyai dari Pesantren oleh Pesantren dan untuk Pesntren

Setelah belasan tahun secara intensif menggali pengetahuan keagamaan di berbagai Pondok Pesantren, selanjutnya maka, tak heran jika KH. Abdul Fattah Hasyim akhirnya mempunyai kapasitas dan intlektual keilmuan yang tinggi, mampu menguasai berbagai disiplin ilmu, maka sekembalinya dari Pesantren Tebuireng pada tehun 1940 beliau langsung mendapat amanat dari KH. Hasyim Asyari untuk mengajar di Pesantren Denanyar, pada saat beliau membanntu mengajar di Pesantren Denanyar banyak Santri dari Pondok Pesantren Tebuireng yang pindah ke Pesantren Denanyar mengikuti jejak beliau, dan konon beliau KH. Abdul Fattah Hasyim juga turut serta memprakarsai berdirinya Madrasah di Pondok Pesantren Denanyar.

Selang beberapa lama setelah ikut membantu mengajar (khidmah) di Pondok Pesantren Denanyar beliau di minta kembali ke Tambakberas tanah kelahirannya di sebabkan sang ayah KH. Hasyim Idris di panggil yang maha kuasa.

Ulama’ adalah lentera umat, di manapun mereka berpijak mereka selalu membawa cahaya yang menyinari umat dari kegelapan dan kesesatan. KH. Abdul Fattah Hasyim ibarat sebuah lentera yang selalu di kerubuti kumbang kumbang malam di manapun lentera tersebut berada kumbang kumbang itu selalu mengikutinya. Dalam al Rozi , Tafsir al Rozi, (CD Maktabah Syamilah )Vol. 12 hal. 363

Sebagaimana yang terjadi ketika KH. Abdul Fattah Hasyim pindah ke Denanyar dari menuntut ilmu di Tebuireng di mana banyak santri dari Tebuireng yang ikut hijrah beliau ke Denanyar, hal serupa juga terjadi ketika beliau di minta kembali ke Tambakberas setelah meninggalnya ayahandanya KH. Hasyim Idris, banyak di antara santri santri Denanyar yang ikut hijrah beliau ke Tambakberas, hal ini di sebabkan karena beliau adalah sosok Guru yang memiliki kapasitas keilmuan yang tinggi dan selalu menjadi panutan murid muridnya.

Setelah menikah, beliau menetap di Denanyar. Karena ketelatenan dan keuletan beliau dalam mendidik santri-santri saat masih menjadi tangan kanan gurunya di Tebuireng dulu, maka ketika KH. Fattah menetap di Denanyar, banyak santri yang ikut hijroh ke Denanyar juga. Namum beliau mengabdikan diri di Denanyar hanya sampai tahun 1942, meskipun demikian yang memprakarsai adanya Madrasah di Denanyar adalah KH. Fattah. Kembalinya KH. Fattah ke Tambakberas disebabkan setelah Ayahandanya berpulang ke Rahmatullah, beliau merasa terpanggil untuk melanjutkan berjuang di bumi Tanbakberas dengan diikuti 40 santri.

Pada masa masa awal beliau KH. Abdul Fattah Hasyim menggepakkan kakinya di pondok pesantren Tambakberas, pondok peninggalan dari mbah mbahnya tersebut kondisi santrinya sangat sedikit sekali bahkan santri yang tinggal di pondok tersebut tinggal dua belas orang, dan rupanya merosotnya pamor Pesantren terutama menurunnya jumlah santri tidak hanya di alami oleh Pondok Pesantren Tambakberas saja, akan tetapi hampir seluruh Pesantren yang di jawa mengalami hal yang sama. hal ini bila di teliti lebih dalam di sebabkan oleh beberapa faktor di antaranya adalah, situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan bagi masyarakat untuk memperdalam ilmu di Pondok Pesantren.

Maka dengan kondisi Pondok Pesantren yang sudah sangat kritis di tengah situasi dan kondisi yang tidak menentu ini timbulah i’tikad dan perjuangan KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Abdul Fattah Hasyim dan Kyai Kyai lain untuk mengembalikan para Santri ke meja belajar, upaya yang di lakukan oleh KH. Abdul Fattah Hasyim di bantu oeh Kyai Kyai lain di bawah arahan KH. Abdul Wahab Hasbullah adalah memberikan himbauan kepada masyarakat dalam menangkis seluruh gangguan baik secar fisik maupun mental terhadap eksistensi dan perkembangan Pondok Pesantren,

Di antara usaha yang di lakukan adalah mengajukan permohonan kepada pemerintah Jepang dengan mengatasnamakan guru yang mengajar di Tambakbeas setelah sebelumya mengajukan permohonan atas nama ranting NU di tolak. Dalam pengajuan permohonan ini bertindak sebagai ketua adalah KH. Abdul Fattah sendiri di bantu oleh pengurus pengurus yang lain di antaranya adalah, KH. Abdul Jalil, KH. Abdurrohim, K. Zubair, bapak Ma’ruf dan bapak Soihah, yang kesemuanya di hadirkan di Jombang untuk berjanji dan bersumpah di hadapan pemerintah Jepang, di bawah ancaman nyawa, dan pada akhirnya dengan semangat jihad yang tinggi, permohonan para Kyai tersebut di kabulkan oleh pemerintah Jepang, dan pada ahirnya Madrasah di perbolehkan beroprasi kembali.

Langkah selanjutnya yang di lakukan oleh KH. Abdul Fattah Hasyim setelah berhasil membebaskan lembaganya dari intervensi penjajah Jepang adalah menciptakan image (anggapan positif) bagi seluruh anggota masyarakat terhadap citra Pondok Pesantren yang sebelumnya tercoreng akibat propaganda kaum penjajah, melalui mimbar mimbar pengajian rutin yang beliau rintis bersama sama para tokoh masyarakat yang di antaranya adalah K. Husni, dan K.Abdul Jalil. Dalam mimbar pengajian tersebut beliau-beliau mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mengarahkan anak anaknya agar belajar di sekolah sekolah Islam yang di antaranya adalah Madrasah Ibtidaiyah Tambkberas.

Setelah situasi dan kondisis mulai kondusif, rongrongan dan fitnah dari kaum penjajah terhadap Pondok Pesantren sudah tidak ada lagi, langkah selanjutnya yang di lakukan oleh KH. Abdul Fattah Hasyim dalam upaya mengembangkan dan meningkatkan kemajuan Pendikan Islam di Bahrul Ulum adalah beliau merintis berdirinya Madarasan Muallimin Mualliamat sebagai lembaga sekolah lanjutan tingkat menengah dan atas dan Pondok Pesantren Putri al fathimiyyah sebagai sarana tempat tinggal bagi santri putri yang ingin mondok dan belajar secara optimal di Tambakberas. Dan sepeninggal KH.Abdul Hamid beliau di beri amanat untuk mengasuh santri Pondok Pesantren Bahrul Ulum.

Pada tahun 1956, di Tambakberas telah berdiri sebuah sekolah bernama “Mubdil Fan” yang didirikan oleh KH. Wahab Hasbulloh. Dan beberapa tahun kemudian jenjang pendidikan formal yang telah ada ditambah dengan mendirikan Madrasah Muallimin Muallimat Atas (MMA) ,waktu itu dengan jenjang pendidikan 4 tahun . Dan pada tahun 1965 MMA disempurnakan menjadi 6 tahun. Tapi di tengah-tengah tahun 1965 MMA disempurnakan Ulum, pada tanggal 7 Ramadlan Almaghfurlah KH. Abdul Hamid yang mengelola dan bertanggungjawab terhadap PP. Bahrul Ulum berpulang ke Rahmatulloh, sehingga pengelolaan selanjutnya di percayakan kepada KH, Abdul Fattah Hasyim, sementara KH. Abdul Wahab Hasbulloh sendiri aktif di Organisasi Nahdlotul Ulama’ .

Di antara kesibukan beliau dalam mengelola Pondok Pesantren dan madrasah serta membina masyarakat di sekitarnya, ternyata KH. Abdul Fattah sama sekali tidak melupakan tugas utamanya sebagai seorang ayah. Dalam mendidik putra-putranya beliau terkenal sangat tegas dan menanamkan sikap disiplin tinggi sebagaimana ayaha beliau dulu mendidik beliau KH. Hasyim Idris, ketegasan beliau terlebih menyangkut hal-hal yang bersifat prinsipil dapat dirasakan pada putra putri beliau, salah satu contoh ketika ada yang melanggar maka harus siap menerima hukumannya. Tetapi sebenarnya beliau bukanlah sosok yang diktator, ini dapat ditelaah dari cerita putra beliau. Ketika itu salah satu dari putra beliau yang pulang dari pesantren mengambil sebuah kebijakan hukum yang tidak sama dengan beliau, melihat hal itu, KH. Abdul Fattah tidak langsung menyalahkan atau menyalahi putranya itu. Tapi dengan amat bijaksana beliau menanyakan tentang dasar-dasar hukum yang diambil pijakan oleh putranya tersebut, dan ketika sang putra berhasil mengajukan sebuah argumen yang cukup dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, mak dengan bijaksana pula beliau mendukung dan memebenarkan apa yang dilakukan oleh putranya itu . Hal ini sebagai bukti bahwa dalam menghadapi darah dagingnya beliau cukup demokratis, yang penting tidak melanggar syariat.

F. Kyai Fattah dan Masyarakat
Di lihat dari aspek amaliyahnya terutama bagi masyarakat terdapat empat tipe seorang Kyai yaitu Pertama adalah Kyai tandur ( Kyai yang hanya mengurusi pegajian umat ) Kedua kyai tutur ( Kyai yang memberikan ceramah / ahli pidato) Ketiga Kyai catur ( kyai yang berkecimpung di dunia politik) dan Keempat adalah Kyai sembur (kyai yang memberikan terapi dan pengobatan pada masyarakat).

KH. Abdul Fattah Hasyim adalah tipikal Kyai yang masuk pada kelompok pertama, di mana beliau adalah bisa dikatakan sebagi khodimul ilmi wal-ummah seorang Kyai yang hidupnya di curahkan untuk melayani umat, yang selalu memberikan bimbingan dan arahan mereka tentang ajaran ajaran islam yang di bawa Rosulullah SAW, menjauhkan mereka dari jurang kekufuran dan menghindarkannya dari limbah kebodohan dan keterbelakangan.

Pada tahun 1964 bersama sama sejumlah Kyai Tambakberas di antaranya adalah K.Khotib, K.Masykur dan K. Soihah beliau merintis pengajian masyarakat (Majlis Ta’lim), sebagai tindak lanjut terhadap pengajian yang pernah di rintis oleh KH. Abdurrohim. Tahap awal permulaan pengajian yang yang di prakarsai oleh beliau KH. Abdul Fattah Hasyim bertempat di Musholla Gedang, (sebelah timurnya makam Mbah Wahab) dan pada perkembangannya pengajian yang di rintis oleh para Kyai tersebut semakin maju dan berkembang, dan bahkan merambat ke sebagian besar Musholla-Musholla yang berada di desa Tambakberas dan sekitarnya, sehingga dengan semakin besarnya animo masyarakat terhadap pengajian serta semakin banyaknya majlis majlis pengajian yang di selenggarakan di Musholla-Musholla maka terbentuklah semacam asosiasi atau perhimpunan para Kyai yang bertugas memberikan pengajian rutin di masyarakat yang dalam istilah sekarang dewan pengajian rutin atau dinas pengajian rutin (DPR). Sebagaimana di ceritakan oleh Mbah kholiq, seorang pegiat pengajian KH. Abdul Fattah menuturkan, “karena begitu antusiasnya para Masyarakat dalam mengikuti pengajian yang di rintis oleh KH. Abdul Fattah Hasyim dan para Kyai Kyai Tambakberas hingga Panitia Pengajian memasang tenda untuk jamaah yang hadir, di sebabkan kondisi daya tampung musolla sudah tidak mampu menampung banyaknya para jamaah yang mengkuti pengajian”

Dalam memberikan pengajian di masyarakat yang di adakan tiap malam Ahad KH. Abdul Fattah Hasyim mempunyai kedisipinan yang sangat tinggi, ketika pengajian di mulai pada jam delapan maka sebelum jam delapan beliau sudah berada di majlis pengajian, pada hal saat itu belum ada transportasi seperti sekarang, kondisi jalan masih becek (jembrot : bahasa Jawa), dan belum ada lampu peneragan jalan.

Dalam menjalin pergaulan dengan masyarakat sekitar beliau KH. Abdul Fattah Hasyim termasuk tipe orang yang humanis memiliki rasa kepedulian sosial yang sangat tinggi terhadap setiap orang, senang menghadiri undangan acara masyarakat kampung di tengah kesibukannya mengasuh santri dan masyarakat, gemar memberikan santunan kepada Faqir miskin dan orang yang membutuhkan. Dengan rasa solidaritasnya yang begitu tinggi terutama terhadap Faqir Miskin dan orang orang yang membutukan maka pada setiap akhir bulan Romadlon, bersama tokoh tokoh masyarakat beliau membentuk panitia yang menghimpun zakat fitrah dari masyarakat kemudian di distribusikan kepada masyarakat yang membutuhkan, seperti faqir miskin, anak anak yatim, Guru Guru Diniyyah dan lain lain.

G. Kiprah Di Organisasi
Berbeda dengan KH. Abdul Wahab Hasbullah yang aktif dalam organisasi terutama organisasi NU, dan bahkan memelopori berdirinya Syarikat Islam, KH. Abdul Fattah Hasyim justru kurang begitu tertarik untuk terlibat secara langsung dalam kegiatan organisasi. Kiprah beliau dalam lingkup lembaga NU hanya sebagai motivator dan pembakar semangat para Pemuda dalam memperjuangkan eksistensi ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah di tengah masyrakat.

Sebagamana yang di tuturkan oleh KH. Faiq Hasyim, pada saat NU masih menjadi partai politik beliau sering memberikan orasi kepada para simpatisan pendukung partai NU dalam musim kampanye partai NU, di antara isi orasi kampanye KH. Abdul Fattah Hasyim terhadapa para pendukung partai NU sebagaimana yang di tuturkan oleh KH. Faiq Hasyim adalah bahwasanya sebelum mengawali kampanyenya terlebih dahulu beliau membunyikan nada batuk batuk ala NU, dalam mengucapkan batuk NU nada kalimatnya adalah “ u’u’u’uee-nnu” kemudian para pengunjung yang hadir secara kompak menirukan kalimat tersebut sehingga dengan strategi seperti itu para simpatisan memiliki semangat dan fanatisme yang tinggi terhadap partai NU.

Sedangkan motifasi kampanye beliau terutama terhadap kalangan para remaja di antaranya adalah: “ wahai para pemuda ansor kalian semua harus bisa memasyarakatkan islam ” di ucapkan dengan berulang ulang sehingga dengan keistimewaan yang di miliki beliau dalam membangkitkan gairah dan semangat para pemuda adiknya KH. Faiq menjulukinya sebagai seorang diplomat dan motifator yang ulung. ketika para pemuda dan para santri mendapat sentuhan motivasi beliau, mereka sontak langsung mendapatkan spirit dan motifasi (ghirroh) yang tinggi.

Sebagian pendapat mengatakan bahwasanya KH. Abdul Fattah Hasyim juga pernah terlibat aktif dalam organisasi massa hanya saja dalam level daerah. Sebagaimana yang di ungkapkan KH Djamaluddin Ahmad bahwasanya KH. Abdul Fattah Hasyim pernah menjadi syuriah NU cabang Jombang di saat ketua umum Tanfizdiyahnya di pegang oleh KH. Aziz Bishri. begitu juga Mbah Ahyat perak menuturkan bahwasanya KH. Abdul Fattah Hasyim dalam organisasi NU beliau pernah menjabat sebagi Katib Syuriah NU, yang di antara tugas tugas beliau sebagaimana penuturan Mbah Muhayyat adalah menulis jawaban jawaban dari segala persoalan persoalan hukum yang terjadi di tengah tengah masyarakat. Sedangkan menurut penuturan K. Kholil dari Nganjuk adalah bahwasannya KH. Abdul Fattah Hasyim sering mengikuti acara Halaqoh dan Bahtsul Masa’il membahas problematika umat bersama Ulama Ulama NU.


H. Kyai Fattah berpulang ke Rahmatulloh.
Sebagaimana di ceritakan oleh KH. Nashir Fattah, KH. Abdul Fattah Hasyim semenjak beliau terjatuh dari pondok di depan ndalem beliau, kondisi kesehatan beliau mulai tidak stabil, sering sakit sakitan, dalam kondisi seperti ini beliau masih rutin mengimami jamaah shalat lima waktu serta memberiakan pengajian dan pengajaran kepada para santri, dan bahkan hingga pada masa masa kritis dari sakit yang beliau derita, beliau masih menanyakan siapa yang yang akan menemaninya dalam menjalankan shalat berjamaah.

Di usia yang ke enam puluh enam tahun, akibat sakit yang di derita dari hari ke hari kondisi kesehatan beliau semakin memburuk, tepat pada malam Juma’at tanggal 27 April pukul 22.15, minggu tenang menjelang pemilu 1977 beliau menghadap keharibaan sang Kholiq, Innaa lillahi wainnaa ilaihi rooji’uun

Duka yang mendalam menyelimuti seluruh masyarakat muslim terutama warga besar Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum atas kepergian seorang Ulama’ besar, sosok pencinta ilmu yang seluruh hidunya di curahkan untuk membina dan membimbing umat, seorang pejuang pendidikan yang berhasil menorehkan sejarah perkembangan Pendidikan Islam di Bahrul Ulum. allohummahamrhum, wayaghfirlahum, wayu’laa darojaaatahum fil jannah, wayanfa’unaa biarsroorihim waanwaarihim wabiuluumihim wabarokaatihim amiin.

Pada Jum’at pagi beliau di makamkan di pemakaman keluarga, sebelah selatan Madarasah Muallimin Muallimat atas wasiyat beliau yang menginginkan untuk di makamkan di sebelah selatan gedung Madrasah Muallimin harapan beliau dengan di makamkan di tempat tersebut ketika beliau sudah di alam baqo’, beliau masih bisa mendengarkan santri santri yang membaca kitab, melantunkan bait bait al-fiyyah dan ayat-ayat suci Al Qur’an.
sumber:http://www.alfathimiyyah.net/p/pendiri-dan-pengasuh-ppp-alfathimiyyah.html

KETIKA KYAI SALING NYANTRI

Adalah dua orang Kiai di Tanah Jawa yang sangat terkenal kealimannya pada awal abad ke-20, yaitu Kiai Cholil Bangkalan (wafat 1925) yang merupakan gurunya kiai setanah Jawa bahkan se Nusantara. Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah adalah di antara para muridnya. Selain itu ada Kiai Muhammad Dahlan Jampes Kediri, seorang waliyullah yang menjadi guru para Kiai sezamannya dan yang menurunkan seorang ulama besar yaitu Kiai Ihsan Jampes penulis beberapa kitab seperti Sirajut Thalibin dan Manahijul Imdad yang terkenal di seluruh dunia.

Sebagai seorang ulama, maka semakin tinggi ilmunya semakin tawadlu sikapnya, walaupun usianya sudah lanjut dan kealimannya diakui semua ulama, maka tidak ada halangan bagi Kiai Dahlan untuk nyantri pada Kiai Cholil di Bangkalan Madura. Meski telah belajar ke berbagai kiai terkemuka di seluruh pesantren di tanah Jawa, tetapi rasanya kurang lengkap bagi Kiai Dahlan kalau tidak berguru kepada kiai Cholil dan ingin diakui sebagai murid dari waliyullah ini.

Dengan meninggalkan pesantren dan santrinya berangkatlah Kiai Dahlan ke Bangkalan untuk nyantri kepada Kiai Cholil. Di sana diterima sebagai santri biasa, sehingga sempat menghuni pesantren itu beberapa bulan. Setelah beberapa bulan berlangsung Kiai Cholil berkata kepada Kiai Dahlan agar segera pulang, sebab semua ilmu yang dimiliki sudah habis sudah diajarkan semua. Sebagai ketaatan pada guru maka setelah memperoleh ijazah dari Kiai kharismatik tersebut maka pulanglah Kiai Dahlan ke Pesantrennya, kembali mengajar para santri.

Betapa kagetnya Kiai Dahlan selang beberapa bulan kemudian Kiai Cholil datang ke pesantren Jampes Kediri dengan niat untuk berguru menjadi santri Kiai Dahlan, sebab ada beberapa ilmu penting yang belum dikaji Kiai Cholil dan ilmu itu hanya dimiliki Kiai Dahlan.

Setelah terjadi perbincangan lama, maka diterimalah Kiai Cholil sebagai santri mengkaji beberapa disiplin keilmuan di bawah bimbingan Kiai Dahlan. Hubungan keduanya menjadi berbalik yang semula kiai Cholil menjadi guru sekarang diperlakukan sebagai muridnya. Sementara Kiai Dahlan menjadi gurunya dan bertindak sebagai guru.

Setelah beberapa bulan belajar di pesantren itu, maka Kiai Dahlan memangggil Kiai Cholil dan mengatakan bahwa saat ini jumlah santri baru yang mendaftar semakin banyak, sehingga kamar pondok tidak lagi mencukupi, karena itu Kiai Cholil dipersilahkan agar segera pulang biar kamarnya bisa untuk menampung santri baru. Setelah memproleh ijazah dari Kiai Dahlan, maka pulanglah Kiai Cholil Bangkalan ke Pesantrennya di Bangkalan.

Dalam tradisi pesantren mencari ilmu memang tidak ada batasnya, meski telah lanjut usia, meski telah berada di puncak ketenaran. Bagi para ulama ilmu bukanlah popularitas, tetapi sarana menuju ketakwaan. Ilmu yang tidak menambah ketakwaan hanyalah kehampaan, ilmu yang mendekatkan kepada Allah adalah ilmu yang benar-benar manfaat, migunani, karena itu akan terus dicari sepanjang hayat. (Abdul Mun’im DZ – Diceritakan Gus Irfan Masruhin, keluarga Kiai Ihsan Dahlan Jampes Kediri)

Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad


Pakar Ilmu-ilmu Al-Quran

Ia pakar ilmu yang langka: ilmu-ilmu Al-Quran. Lulus sebagai doktor dari sebuah universitas di Madinah dengan cumlaude, ia mengasuh pesantren di Cirebon, untuk mencetak para penghafal Al-Quran.

Bagaimana perasaan Anda jika di malam hari yang gelap, dalam perjalanan melewati gurun yang tandus, sepi bahkan kosong, kendaraan Anda tiba-tiba mogok? Takut, tegang, cemas, tentu menyelimuti perasaan Anda. Bagaimana pula jika tak lama kemudian ada orang yang menolong, membawa Anda dan mobil Anda ke bengkel tanpa mengharapkan apa-apa? Tentu, tak terbayangkan perasaan Anda: lega dan gembira.
Itu hanya salah satu dari sekian banyak kemudahan yang dialami oleh Dr. Ahsin Muhammad. Dari berbagai pengalaman hidupnya, ia semakin meyakini, pertolongan Allah akan hadir bagi mereka yang senantiasa menjaga hubungan dengan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. “Barang siapa yang selalu mengingat Allah dalam keadaan senang, Allah akan mengingatnya ketika ia dalam keadaan susah,” ujarnya mengutip sebuah hadits.
Tamu kita kali ini ialah pendiri dan pengasuh Ma`had Darul Qur’an di Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat. Setiap Ahad pagi ia menyelenggarakan pengajian qiraat warasy, yang diikuti para guru Al-Quran dari wilayah Cirebon dan sekitarnya, dan telah berlangsung sekitar tiga bulan. Sebelumnya, materi yang diberikan mencakup semua qiraat mutawatir yang dikenal sebagai qiraat sab`ah. Tetapi karena dipandang terlalu berat, dan menyulitkan mereka yang belum memiliki bekal yang memadai, pengajian ini lalu difokuskan pada salah satu qiraat saja. Dan itu adalah qiraat warasy.
Di masa sekarang, model pengajian yang memberikan materi pendalaman berbagai macam qiraat seperti ini terbilang langka. Mereka yang berminat mempelajarinya pun tidak banyak. Padahal, materi ini sangat dibutuhkan dalam rangka menjaga cara membaca Al-Quran yang tepat. Karena itu, para peserta merasakan manfaatnya – yang kemudian mereka kembangkan di tempat masing-masing.
Berkembangnya pengajian mengenai qiraat dan pendalaman ilmu-ilmu Al-Quran merupakan salah satu obsesinya yang terus diupayakan secara serius. Menurutnya, menjaga kemurnian Al-Quran merupakan tugas mulia. Segala sesuatu yang dapat merusak atau setidaknya mengganggu kemurnian Al-Quran harus dicegah. Karenanya, peredaran buku-buku Yasin Fadhilah yang cara penulisannya tidak membedakan mana bagian yang merupakan ayat Al-Quran dan mana yang bukan, dikecamnya.

Rektor IIQ
”Mestinya Yasin Fadhilah seperti itu ditarik dari peredaran, kemudian direvisi. Penerbit selama ini sembrono mencampuradukkan dan menyamakan ayat Al-Quran dan doa. Seharusnya dibedakan penulisannya, agar jelas mana yang Al-Quran dan mana yang bukan,” katanya.
Menyinggung metode pengajaran Al-Quran, menurutnya selama ini sudah berjalan baik. Selain itu, banyak pesantren yang membuka program menghafal Al-Quran. Kelemahannya, para santri berhenti hanya pada menghafal Al-Quran, tidak berusaha mengembangkan kemampuannya dengan mendalami ilmu Al-Quran, termasuk berbagai qiraatnya.
Dia memang pakar dalam bidang qiraat dan ilmu-ilmu Al-Quran. Itu sebabnya ia lalu diserahi berbagai tugas penting. Sejak 2 November 2005, ia menjabat rektor Institut Ilmu Al-Quran (IIQ), Jakarta, perguruan tinggi yang mencetak para ahli Al-Quran. Posisi ini sebelumnya diduduki tokoh-tokoh yang terkenal pakar di bidang ilmu-ilmu Al-Quran, seperti Prof. K.H. Ali Yafie (2001-2005), sementara rektor sejak IIQ berdiri adalah Prof. H. Ibrahim Hosen (1977-2001).
Bukan itu saja tugas yang diemban pria yang tenang, santun, dan ramah ini. Kini ia juga dipercaya sebagai ketua Tim Revisi Terjemahan dan Tafsir Al-Quran Departemen Agama, yang beranggotakan beberapa pakar ilmu Al-Quran, seperti Prof. Dr. H. Huzaimah T. Yanggo, Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, Prof. H. Ali Mustafa Ya’qub, Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, dan beberapa pakar lain. Tim ini telah bekerja sejak 2004 dan diperkirakan akan menuntaskan tugas mereka pada 2007.
Keahliannya dalam ilmu Al-Quran membawa berkah tersendiri. Selama beberapa tahun belakangan, setiap Ramadhan ia diundang ke Inggris untuk menjadi imam shalat Tarawih di London dan kota-kota lainnya. Meski begitu ia tetap tinggal bersama keluarga di Cirebon. Setiap minggu ia bolak-balik Jakarta-Cirebon. Senin sampai Kamis ia di Jakarta, hari-hari lain ia habiskan di Cirebon untuk mengajar di pesantren.
Putra pasangan K.H. Muhammad dan Nyi Umi Salamah ini dilahirkan di Arjawinangun, Cirebon, pada 21 Februari 1956. Sejak kecil ia telah menunjukkan bakatnya dalam ilmu-ilmu Al-Quran. Ketika masih duduk di kelas IV SD dan belum lagi dikhitan, ia telah hafal tiga juz Al-Quran, yakni juz 28, 29, dan 30. Karena itu kakeknya dari pihak ibu, K.H. Syathori, pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid, Arjawinangun, sangat menyayanginya.

Lingkungan Religius
”Ketika saya dikhitan, beliau yang mengurusi semuanya. Saya juga diberi pakaian yang berbeda dari yang lain. Beliau memang sangat berkeinginan, di antara anak-anak atau cucu-cucunya banyak yang hafal Al-Quran. Karena itu, bila ada cucu yang datang dan mencium tangannya, selalu ditepuk-tepuk dadanya sambil berucap, ‘Nanti, di sini ada Al-Quran, ada hadits, ada Alfiyah (salah satu kitab standar ilmu nahwu)’,” tuturnya mengenang sang kakek.
Meskipun tak sempat mengalami masa dewasa sebagian besar cucu-cucunya, apa yang diidam-idamkan oleh sang kakek akhirnya menjadi kenyataan. Ahsin dan ketiga saudara perempuannya, semuanya hafal Al-Quran. Sedang empat saudara laki-lakinya hafal beberapa surah Al-Quran. Ketika kakeknya wafat, Ahsin masih duduk di bangku SMP.
Saat sang kakek masih hidup, Ahsin sering menemaninya mengimami shalat berjamaah. Terkadang ia juga ikut mendengarkan apabila kakeknya membacakan kitab di pengajiannya. “Hanya nguping, seperti anak-anak yang lain,” ujarnya. Meski demikian, ia mendapat banyak hal penting dari kehidupan keseharian sang kakek, seorang ulama yang di masa hidupnya sangat disegani dan dihormati. Menurutnya, sang kakek berjasa menciptakan lingkungan yang religius, yang mencintai ilmu dan ulama. Kakeknya seorang penyabar, mempunyai perhatian pada para santri, dan hampir tidak pernah marah.
Menurutnya resep menghafal Al-Quran ialah doa orangtua yang benar-benar sangat mengharapkan anaknya dapat menghafal Al-Quran. Orangtua yang demikian niscaya akan selalu bermohon kepada Allah dengan sungguh-sungguh. Tentu doa yang demikian kemungkinan diterimanya lebih besar. Karena itu langkah si anak selanjutnya untuk mewujudkan harapan orangtua akan lebih mudah. Selain itu harus ada usaha yang maksimal ketika membimbing anak untuk menghafalkannya.
Ayah lima anak ini menyelesaikan pendidikan dasarnya di SD dan SMP Arjawinangun. Sedangkan dasar-dasar ilmu agama ia pelajari di pesantren milik keluarganya. Selama tiga tahun sejak 1970 ia melanjutkan pelajaran di Pesantren Lirboyo, Kediri, sambil belajar di SMU. Sejak lama, Pesantren Lirboyo memang didominasi oleh para santri asal Cirebon dan sekitarnya.
Di pesantren terkemuka itu ia belajar fiqh dan ilmu-ilmu alat, seperti nahwu, sharaf, dan sebagainya. Sementara di saat libur panjang ia menimba ilmu di pesantren lain. Antara lain, ia pernah mengaji tabarruk kepada K.H. Umar Abdul Manan (Solo) dengan menyetorkan hafalan-hafalan Al-Qurannya. Meski tidak lama belajar kepadanya, tidak sampai dua bulan, ia merasa sangat beruntung, karena bisa memperoleh syahadah sanad dari sang guru.

Ponpes Krapyak
“Tidak semua orang – termasuk para santri yang sudah lama belajar kepada beliau – yang bisa mendapatkannya,” ujarnya. Sertifikat sanad dari Kiai Umar memang sangat didambakan. Dengan sertifikat itu terjaminlah bacaan yang benar, bagus, dan fasih. Juga menunjukkan bobot intelektualitas dan tanggung jawab sebagai seorang hafizh Al-Quran.
Keinginanannya yang kuat untuk mendalami Al-Quran membawanya meneruskan belajar di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta (1973- 1976). Ia juga sempat belajar kepada K.H. Arwani (Kudus). Tetapi ketika baru berjalan sekitar dua bulan, ia diminta pulang ke Cirebon untuk menyiapkan keberangkatannya ke Makkah. “Meski demikian, bagi seorang santri, sesingkat apa pun masa belajarnya, ia harus bisa menyerap berbagai ilmu, termasuk akhlak dan keteladanan gurunya,” katanya.
Bulan Agustus 1976 menandai era baru dalam hidupnya. Ia berangkat ke Arab Saudi untuk mendalami ilmu-ilmu agama sebagaimana cita-cita orangtuanya. Mula-mula ia belajar di Makkah. Sekitar satu tahun, 1976-1977, ia mengaji Al-Quran di Masjidil Haram di bawah bimbingan Syekh Abdullah Al-`Arabi, seorang Mesir yang didatangkan oleh Jamaah Tahfizh Al-Quran. Di Masjidil Haram memang banyak kegiatan, salah satunya dikoordinasikan oleh lembaga tersebut.
Ketika itu yang memimpin lembaga tersebut ialah Syekh Shalih Al-Qazzaz, mantan sekjen Rabithah `Alam Islami. Yang juga banyak berperan di lembaga ini ialah Syekh Ibrahim Sa`d, seorang Mesir yang mengatur metode menghafal Al-Quran. Masa itu merupakan kebangkitan Tahfizhul-Qur’an di Arab Saudi. Hal ini tidak terlepas dari partisipasi para masyaikh qurra’ (guru-guru para pembaca Al-Quran) yang berasal dari Mesir, baik di Makkah, Jeddah, Madinah, maupun yang lainnya.
Pengajian di Masjidil Haram ia ikuti pagi hari, sedang sore harinya ia menuntut ilmu di Markaz Ta`lim al-Lughah al-`Arabiyyah. Karena sudah hafal Al-Quran, ketika belajar ia hanya “menyetor” hafalan dan mendalami bacaannya. Di akhir tahun, ia mengikuti ujian dan lulus, mendapat syahadah yang menyatakan bahwa yang bersangkutan dapat membaca Al-Quran secara hafalan dari awal hingga akhir.

Menulis Tahqiq
Pada 1977 ia berangkat ke Madinah al-Munawarah untuk mengikuti kuliah di Fakultas Kulliyatul-Qur’an wa Dirasah Islamiyyah dari Al-Jami`ah Al-Islamiyah. Di sini ia tak mengalami kesulitan berarti, semua berjalan lancar tanpa hambatan. Apalagi ia mendapat beasiswa 200 dolar atau 775 riyal per bulan. Pemberian beasiswa itu, selain sebagai penghargaan bagi mereka yang mempelajari dan menghafal Al-Quran, juga untuk memotivasi para mahasiswa yang kuliah di fakultas tersebut.
Selepas menamatkan pendidikan kesarjanaan, ia melanjutkan ke program pascasarjana di universitas yang sama mengambil Jurusan Tafsir dan Ilmu Al-Quran, selesai pada 1987 dengan tesis Sejarah Perkembangan Ulumul Qur’an. Sedang untuk disertasi ia menulis tahqiq (menulis dan meneliti kembali) kitab At-Taqrib wal-Bayan fi Ma`rifati Syawadzil-Qur’an, karya Ash-Shafrawi, ulama asal Iskandariyah, Mesir, kelahiran 636 H/1216 M.
Dan akhirnya ia meraih gelar doktor dengan yudisium Mumtaz Syaraful ‘Ula (cumlaude) pada 1989. Praktis selama 12 tahun, sejak 1977, ia menghabiskan masa mudanya di Jam’iyyah Al-Islamiyyah, Madinah. Di antara teman dari tanah air yang belajar di sana tapi beda angkatan adalah Hidayat Nur Wahid (ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat) dan Salim Seggaf Al-Jufri (dubes RI di Arab Saudi). Usai belajar di Madinah, ia kembali mengajar di Pondok Pesantren Darut Tauhid, Cirebon, yang diasuh oleh pamannya, K.H. Ibnu Ubaidillah.
Penguasaannya yang mendalam tentang ilmu-ilmu Al-Quran menarik perhatian banyak kalangan. Maka pada 1992, ia diajak oleh K.H. Syukron Makmun, pengasuh Pondok Pesantren Darul Rahman, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, untuk ikut mendirikan Institut Islam Darul Rahman. Pada tahun itu juga ia mengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) dan di Institut Agama Islam Negeri (kini Universitas Islam Negeri, UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Beberapa tahun kemudian ia diangkat sebagai pengajar tetap di IAIN hingga kini.
Di tengah kesibukannya mengajar, baik di Cirebon, Jakarta, maupun di luar negeri, ia masih berusaha untuk merampungkan buku tentang ilmu-ilmu Al-Quran, sebagai salah satu syarat untuk pengangkatannya sebagai guru besar. ”Sudah selesai saya tulis, tinggal dibukukan,” ujarnya.

Sabtu, 25 Juni 2011

KH. Sya'roni Ahmadi

Potret Seorang Pendidik Agama Yang Ulung
Terlahir dari keluarga santri, sejak kecil kiai Sya’roni dikenal sebagai anak yang gandrung mengkaji agama, mulai dari al-Quran sampai tauhid, fikih, tasawuf dan sebagainya. Terbukti, meskipun berasal dari keluarga dari ekonomi pas-pasan, beliau rajin mengikuti pengajian-pengajian yang diadakan di sekitar kota Kudus. Sya’roni kecil termasuk anak yang cerdas. Pada usia 11 tahun berliau sudah hafal kitab Alfiyah Ibnu Malik bahkan hafal al-Quran pada usianya yang ke-14.
Kiai Sya’roni merupakan anak yang ke tujuh dari delapan bersaudara. Beliau ditinggalkan ibundanya semenjak kecil tepatnya ketika berusia 8 tahun. Sepeninggal ibunya kiai Sya’roni di asuh oleh sang ayah. Namun masa ini pun tidak berlangsung lama. Karena menginjak usiannya yang ke 13 tahun, kiai Sya’roni ditinggal oleh ayahnya. Lengkap sudah duka kiai Sya’roni karena sejak saat itu ia menjadi anak yatim piatu.

Dalam pendidikan formalnya beliau sempat mengenyam pendidikan di Madrasah Diniyah Mu’awanah di Madrasah Ma’ahid lama -(pada masa KH. Muchit). Sedangkan pendidikan non formalnya, baliau banyak belajar dari satu tempat ke tempat lain. Untuk belajar al-Qur’an utamanya Qira’ah al-Sab’iyyah berliau berguru kepada KH. Arwani Amin Kudus yang mengasuh pondok Yanbu’ul Qur’an. Beliau juga sempat berguru kepada KH. Turaikhan Ajjuhri. Sedangkan guru-gurunya yang lain adalah KH. Turmudzi dan KH. Asnawi dan lain-lain.

Kiai Sya’roni banyak dikenal sebagai sosok yang menguasai ilmu agama secara interdisipliner. Beliau tidak hanya mahir dalam ilmu tafsir, tetapi juga dalam ushul al-fiqh, fikih, mantiq, balaghah dan sebagainya. Dalam hal al-Qur’an, baliau tidak hanya pandai membacanya namun juga pintar melagukannya bahkan beliau menjadi dewan Musabawah Tilawatil al-Qur’an (MTQ) tingkat nasional.

Setelah sekian lama bergumul dengan ilmu dan pengajian-pengajian, kiai Sya’roni akhirnya menikah pada tahun 1962. Beliau menyunting seorang gadis bernama Afifah. Dari pernikahan itu beliau deianugerahi 8 anak putra, 2 anak laki-laki dan 6 anak perempuan.

Model dan Strategi Dakwah
Setelah sekian lama belajar, Kiai Sya’roni mulai berdakwah di masyarakat dalam usianya yang sangat muda. Dalam melaksanakan dakwah Islamiyah ini, Kiai Sya’roni menggunakan dua model. Pertama yakni model dakwah di masjid-masjid atau di sebuah rumah warga yang dijadikan tempat untuk mengaji; kedua adalah pengajian umum atau tabligh akbar.

Metode pertama ini biasanya dipakai dan dikonsumsi oleh masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Pengajian yang dilakukan sudah ditetapkan jadwalnya dan proses pengajarannya pun dilakukan secara berkesinambungan. Sedang model kedua biasanya dipakai untuk berdakwah di luar daerah. Hal ini karena di samping masalah waktu yang tidak memungkinkan untuk berdakwah dengan model pertama juga terkadang karena permintaan dari penduduk setempat.

Dalam melakukan dakwah Islamiyah, sekitar tahun 1960 sampai 1970-an, Kiai Sya’roni dikenal sebagai tokoh yang sangat keras. Apalagi saat itu adalah masa-masa meruyaknya ideologi komunisme yang dilancarkan PKI.

Gaya yang “keras” ini selalu dipakai Kiai Sya’roni dalam berbagai kesempatan karena keadaan waktu itu mengandaikan demikian. Baik ketika khutbah maupun pengajian umum atau tabligh akbar beliau selalu tampil dengan mengambil hukum yang tegas ketika dihadapkan pada suatu permasalahan yang terjadi dalam masyarakat (waqi’iyyah). Konon gaya seperti ini sering dipakai KH. Turaikhan dalam berdakwah.

Namun sekitar periode 1980-an, kiai Sya’roni mulai banting setir. Gaya dakwah yang selama ini dilakukan dengan nada keras dirubah total dengan memakai gaya yang melunak. Perubahan gaya dalam berdakwah ini dilakukan dengan pendekatan komparatif yakni merujuk kepada pergeseran masyarakat dari waktu ke waktu serta logika kebutuhan masyarakat yang tiap saat berubah. Karena masyarakat dari waktu ke waktu berubah maka metode berdakwah pun mesti berubah

Latar Politik
Zaman penjajahan Belanda Kiai Sya’roni sempat terlibat dalam perang perang gerilya dalam rangka pengusiran Belanda dari muka bumi Indonesia. Tahun 1965 yakni masa pemberontakan PKI Kiai Sya’roni juga merupakan salah seorang yang menjadi target operasi yang dilakukan oleh PKI. Hal ini karena Kiai Sya’roni merupakan sosok yang rajin berkampanye dan membuat pengajian-pengajian. Kiai Sya’roni dengan tegas menolak ideologi komunisme PKI.

Dalam konteks kepartaian, pada 1955 Kiai Sya’roni merupakan sosok yang rajin berkampanye untuk partai ka’bah. Sampai dengan tahun 1970-an kiai Sya’roni juga sering terlibat aktif dalam partai NU sampai akhirnya NU mengambil keputusan kembali ke Khittah 1926 dalam Muktamar Situbondo. Dan beliau merupakan orang NU yang mendukung kembali khittah NU 1926. Adapun pasca khittah NU kiai Sya’roni juga sempat terlibat di Partai persatuan Pembangunan (PPP). Namun beliau hanya bermain di belakang layar dan tidak berada di garis struktural kepartaian. Beliau cenderung mengambil posisi netral.

Langkah ini menjadikan kiai Sya’roni mampu diterima oleh semua kalangan. Hubungan dengan pemerintah daerah yang waktu itu didominasi oleh Golkar tetap terjaga dengan baik. Ditambah lagi dengan pembawaan beliau yang lunak dan halus. Baliau juga sangat menghindari kepentingan partai dalam setiap pengajian yang dilakukan. Kegiatan kultural kiai Sya’ronipun tetap berjalan dengan baik. Bahkan beliau menjadi sosok yang disegani, baik oleh pemerintah daerah maupun kelompok-kelompok yang lain.

Karya-Karya
Kiai Sya’roni merupakan sosok yang bukan hanya pandai membaca kitab dan berpidato, namun beliau juga tergolong produktif dalam berkarya. Tercatat beliau kerap menulis, mensyarah dan menterjemah beberapa kitab yang digunakan untuk mengajar. Kitab-kitab tersebut banyak dikonsumsi pleh madrasah-madrasah di kota Kudus. Adapun karya-karya tersebut adalah :

1. Al-Faraid al-Saniyah
Kitab ini banyak mengupas tentang doktrin ahlusunnah wal jama’ah. Penyusunan kitab ini konon diilhami oleh kitab Bariqat al-Muhammadiyah ‘ala Tariqat al-Ahmadiyah milik KH. Muhammadun Pondowan, Tayu, Pati yang saat itu rajin berpidato dan mengisi pengajian untuk menolak gerakan Muhammadiyah di kota Kudus. Kiai Sya’roni menulis kitab ini selama kurang lebih dua tahun.
2. Faidl al-Asany
Kitab ini terbagi ke dalam tiga juz dan banyak membahas tentang Qira’ah al-Sab’iyyah.
3.
Al-Tashrih al-Yasir fi ‘ilmi al-Tafsir
Kitab ini banyak mengupas tentang tafsir al-Qur’an mulai dari pembacaan, lafal-lafalnya, sanad, arti-arti yang berhubungan dengan hukum dan sebagainya. Kitab setebal 79 halaman ini ditulis pada tahun 1972 M/1392 H
4. Tarjamah Tarsil al-Turuqat
Kitab ini membahas ilmu manthiq
5. Tarjamah al-Ashriyyah
Kitab ini membahas ilmu Ushul al-Fiqh yang banyak mengupas tentang lafadz ‘amm dan khas, mujmal dan mubayyan, ijma, qiyas dan sebagainya. Kitab ini disusun pada hari ahad siang tanggal 29 Juni 1986 M/21 Syawal 1406 H
6. Qira’ah al-Ashriyyah
Kitab ini terdiri dari tiga juz. Penyusunan kitab ini dimaksudkan, sebagaimana penuturan kiai Sya’roni, untuk memudahkan para santri atau para siswa dalam mempelajari kitab kuning.

Kekinian
Selama perjuangannya di Kudus, kiai Sya’roni telah memberikan banyak hal. Tradisi santri yang sekarang ini lekat dengan masyarakat Kudus rasanya tak bisa dilepaskan dari jasa beliau. Pengajian rumahan atau di masjid-masjid seperti di masjid al-Aqsha Menara Kudus masih rutin dijalankan. Pengajian tersebut diantaranya adalah membaca al-Qur’an dan tafsir al-Qur’an. Adapun waktunya ba’da shubuh, pukul 7-8 pagi dan setelah maghrib. Dalam setiap pengajiannya, kiai Sya’roni juga mampu men-setting iklim toleransi antara beberapa kelompok yang ada, sebut saja kaum Nahdliyyin dan Muhammadiyah.

Dalam bidang pengembangan fisik, kiai Sya’roni banyak memberikan jasa dalam mengembangkan madrasah-madrasah di kota Kudus, seperti Madrasa Banat NU, Muallimat, Qudsiyyah, Tasywiq al-Thullab al-Salafiyah (TBS), dan Madrasah Diniyah Keradenan Kudus. Kiai Sya’roni juga tercatat sebagai penasehat Rumah Sakit Islam YAKIS dan menjabat mustasyar NU cabang Kudus. Beliau juga mengisi pengajian rutin tiap ahad pagi di Masjid Jama’ah Haji Kudus (JKH). (Disarikan dari Jurnal Inovasi dan berbagai sumber)

K.H. Ammar Faqih Maskumambangi

Ammar Faqih adalah salah seorang ulama yang berasal dari Jawa Timur, pengasuh Pondok Pesantren Maskumambang, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik. Ia banyak menulis tentang masalah-masalah Aqidah, Filsafat dan Fiqih dalam bahasa Arab dan Jawa (Pegon). Antara lain tulisannya adalah Tuhfatul Ummah fil ‘Aqaaid wa Raddi al Mafaasid, yang mendapat sambutan baik dari ulama-ulama di Mesir.

Pemikiran-pemikiran Ammar Faqih, banyak mendapat pengaruh langsung dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, dan dari sini membawa pengaruh yang sangat positif terutama dalam pola penanaman jiwa tauhid di lingkungan Pondok Pesantren Maskumambang sampai saat ini.

Ammar Faqih adalah cucu dari K.H. Abdul Djabbar, pendiri Pondok Pesantren Maskumambang dari putranya yang bernama K.H. Faqih bin Abdul Djabbar. Ammar Faqih dilahirkan pada tanggal 8 Desember tahun 1902 di Kampung Maskumambang, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik, dan meninggal pada hari Selasa malam Rabu tanggal 25 Agustus 1965.

Bersama-sama dengan beberapa orang tokoh seperti K.H. Fatah Yasin (mantan Menteri Sosial), K.H. Wahid Hasyim (mantan Menteri Agama), dan beberapa pengasuh Pondok Pesantren di Indonesia yang pernah nyantri di Maskumambang, Ammar Faqih memperoleh pengetahuan agama dari lembaga pendidikan yang diasuh oleh ayahnya. Materi pengajaran, ditekankan pada masalah-masalah Aqidah, Fiqih, Nahwu, Sharaf, Ushul Fiqih, dan Akhlaq.

Pada tahun 1925, dalam usia remaja, Ammar Faqih berkesempatan memperdalam pengetahuan agamanya. Ia belajar di Mekah selama lebih kurang dua tahun, yaitu dari tahun 1926 sampai dengan tahun 1928 M. dan pada tahun 1931 M. ia belajar Ilmu Falak kepada K.H. Mansur di Madrasah Falakiyah Jakarta. Kemudian tahun 1943, ia mengikuti latihan para kiai selama 20 hari di Jakarta.

Di dalam pengalaman organisasinya –sebelum Ammar Faqih berangkat ke Mekah, atas dasar kemampuan di bidang ilmu yang dimilikinya, ia sudah mendapat kepercayaan untuk memimpin Pondok Pesantren sejak K.H. Faqih bin Abdul Djabbar wafat pada tahun 1937 M. dan pada masa penjajahan Jepang, segala aktivitasnya senantiasa diawasi dan dicurigai. Dan seperti para pemimpin masyarakat yang lain, Ammar Faqih dalam beberapa bulan juga sempat menghuni di dalam penjara Jepang.

Pada masa revolusi fisik, kompleks Pondok Pesantren yang dipimpinnya, digunakan sebagai tempat latihan, sekalian digunakan sebagai markas para pejuang bersenjata yang mundur dari daerah Lamongan, Gresik, dan Surabaya. Karena digunakan sebagai markas, segala aktivitas yang berhubungan tentang perang, baik itu dalam mengatur strategi, taktik dan lainnya, semua dilakukan di dalam kompleks Pondok Pesantren ini.

Pada masa setelah kemerdekaan, dengan dikeluarkannya Maklumat pemerintah yang memberi kebebasan untuk mendirikan Partai, Ammar Faqih pun tidak ketinggalan dalam organisasi tersebut. Salah satu Partai yang kemudian digelutinya adalah Partai Masyumi. Di dalam Partai ini, Ammar Faqih pertama-tama aktif sebagai pimpinan anak cabang di Dukun. Kemudian pada tahun 1959, ia terpilih sebagai ketua DPRD kabupaten Surabaya (sekarang kabupaten Gresik).

Dalam perjalanan organisasi Ammar Faqih selanjutnya, ia ditunjuk sebagai anggota Majelis Syuro Pusat. Namun, setelah dalam tubuh partai tersebut mengalami perpecahan dengan sesama umat Islam, ia lebih baik mengundurkan diri. Dan sampai akhir hayatnya (1965 M.), tenaganya dan hidupnya hanya dicurahkan untuk mengasuh pondok Pesantren.

Mengenai pemikiran-pemikirannya Ammar Faqih, masalah-masalah yang sering dilontarkannya adalah hal-hal yang selalu berkaitan dengan aqidah Islamiyah. Dalam menanggapi kemunafikan misalnya, Ammar Faqih mengemukakan empat faktor. Faktor pertama, Iman dan Islam diterjemahkan dengan –istilah bahasa Jawa– Nyandel (percaya tanpa bukti) dan selam atau sunnat (memotong kulit kemaluan). Kedua, Syahadat bagi mereka (orang Islam) yang dipentingkan adalah mengucapkan. Ketiga adalah Istikat disamakan dengan anggapan, dan yang keempat; Ilah diartikan pangeran.

Atas dasar kenyataan tersebut, ia berkesimpulan bahwa menghukumi Islam atas sembarang orang dengan alasan pernah nikah di hadapan penghulu adalah tidak benar. Alasan yang dikemukakan Ammar Faqih adalah karena cara seperti itu sekadar mematuhi peraturan pemerintah lagi pula ucapan syahadat tersebut didikte pada saat akan melangsungkan nikah.

Dalam masalah filsafat, Ammar Faqih menekankan beberapa masalah. masalah pertama yaitu Burhan. Masalah Burhan sebagai pengkajian masalah akal, menemukan hukum bahwa sesuatu itu dianggap mustahil, atau sesuatu itu dianggap wajib, atau sesuatu itu mungkin (boleh ada dan boleh tidak). Kedua, adalah Musyahadat; hukum yang diterima oleh akal ketika merasakan sesuatu dengan indera.

Ketiga adalah Mujarrabat, adalah hukum yang diterima oleh akal dari percobaan yang berulang-ulang, dan keempat, Mutawaafitaat, yaitu hukum yang diterima oleh akal dari berita kenyataan yang tidak dapat dihitung pemberitaannya. Kelima, Hadatsiyah, yaitu hukum yang diterima oleh akal ketika ditampakkan sesuatu dengan panca indera lahir. Dan yang keenam, Mahsuusat, yaitu hukum yang diterima oleh akal menurut keadaan lahir.

Dalam masalah Fiqih, dari pemikiran-pemikiran Ammar Faqih menegaskan bahwa orang Islam dapat berpegang pada pemikiran para imam mujtahid dengan tanpa mewajibkan umat Islam untuk taklid kepada salah satu madzhab.

Di dalam hidupnya, Ammar Faqih merupakan seorang yang sangat produktif dalam hal penulisan. Banyak karya tulis yang sudah diselesaikannya dan bahkan ada yang sudah dicetak untuk disebarluaskan ke seluruh masyarakat. Di antara karya-karya dari karangannya adalah;
1.
Tuhfatul Ummat.
2. Ar Raddu wan Nawadhir
Sebuah Kitab yang memakai bahasa Arab dan diterbitkan di Mesir tahun 1354 H./1935 M. Di dalam Kitab ini, mengupas tentang masalah-masalah fiqhiyyah terutama masalah berbilangan tempat shalat Jum’at yang sebelumnya pernah diperselisihkan beberapa ulama Jawa Timur dalam mentekel kasus Masjid Dukun Majid Sembungan.
3. Al Fashlul Mubin
4.
Nurul Islam
5.
Al Hujjatul Bao’ighoh
6. Filsafat Ketuhanan
Buku ini merupakan karya yang ditulis dengan mamakai bahasa Indonesia yang mengupas tentang masalah ketuhanan dan agama. Buku ini lebih kecil di bandingkan dengan kitab-kitab yang lainnya. Di dalam buku ini, Ammar Faqih membagi Hujjah menjadi dua; yang pertama adalah Hujjah Naqliyah dan yang kedua Hujjah Aqliyah. Hujjah Aqliyah, bagi dia, meliputi Jadal, Khathabah, Syi’r, dan Burhan.
Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Pandawa pada tahun 1955. Menilik tahun penerbitan buku tersebut, diduga bahwa hasil pemikirannya tersebut adalah mempunyai kaitan yang sangat erat dengan konsep dasar negara.
7. Shilatul Ummah
Merupakan sebuah Kitab yang masih dalam bentuk tulisan tangan dengan menggunakan bahasa Jawa. Di dalam buku ini, Ammar Faqih coba menjelaskan tentang pentingnya al-Qur’an dan as-Sunnah. Ia memaparkan, bahwa sebab-sebab terjadinya perpecahan yang menimpa ummat Islam, pada dasarnya adalah kurang memahami, mematuhi dan mengamalkannya mereka terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah serta mengabaikan ulama.
Buku ini diterbitkan oleh Balai Kursus Kilat, tanggal 19 Rajab 1379 H. atau 18 Januari 1960.
8. Hidayatul Ummat
Sebuah buku yang telah selesai diterjemahkan oleh K.H. Adenan Nur dan K.H. Bey Arifin. Karena pokok buku tersebut menuntun manusia kepada keimanan kepada Allah, maka buku tersebut disalin dengan judul Jadilah Mu’min Sejati. Di dalam buku ini dijelaskan bahwa setelah seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai kebulatan tekad, maka selanjutnya dituntut untuk menyatakan kesanggupan untuk mengupas kekufuran yang dilakukan sebelumnya. Di dalam halaman judul aslinya tertera dengan judul Tuhfatul Ummat, padahal menurut penerjemahnya adalah Hidayatul Ummah.
9.
Tahdidu Ahli Sunnah wal Jama’ah.
Ini adalah sebuah buku yang ditulis dengan memakai bahasa Arab yang pada mulanya ditulisnya buku ini, hanya dalam rangka memberikan jawaban pertanyaan-pertanyaan tertulis dari salah seorang guru agama yang pada pokoknya mengharapkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
a. Apakah definisi Ahli Sunnah Wal Jama’ah
b. Definisi tersebut bukan hanya menyangkut masalah ushuluddin, termasuk juga ahli madzhab empat dalam masalah furu’.
c.Tentang wajibnya madzhab bagi orang yang belum sampai ke tingkat ijtihad.
Buku ini selesai ditulis pada pertengahan Bulan Jumadil Awwal tahun 1381 H. setelah itu, oleh Aden Nur dimuat dalam majalah “Muslimin” dari nomor 110 sampai dengan 117. Penerjemah kitab ini, masih memiliki karya nasjah asli yang masih berupa tulisan tangan.[]

KH. Ahmad Qusyairi

Kisah Lailatul Qadar
Kiai Ahmad Qusyairi sebenarnya datang dari jauh. Beliau lahir di Lasem (Sumbergirang) Sabtu Pon 11 Sya’ban 1311 H atau 17 Pebruari 1894 M. Beliau adalah putra keempat dari 23 orang bersaudara. Ayahanda beliau, KH. Muhammad Shiddiq, dikaruniai 23 anak dari tiga orang istri: Nyai Maimunah (Masmunah?), Nyai Zaqiyah (Siti Maryam?) dan Nyai Siti Mardhiyah. Dengan Nyai Maimunah beliau dianugerahi tujuh anak, dengan Nyai Zaqiyah dikaruniai sembilan anak dan dengan Nyai Siti Mardhiyah tujuh anak. Kiai Achmad Qusyairi adalah putra beliau dari istri pertama.

Mengingat keterbatasan sumber, tak banyak yang bisa diungkap dari masa kecil Kiai Achmad. Tetapi yang pasti, sejak usia dini beliau sudah dikirim ke pesantren oleh ayahandanya. Beliau berpindah dari satu pondok ke pondok lainnya. Antara lain, pernah menimba ilmu di Langitan (Tuban), di Kajen (Pati) semasih diasuh Kiai Khozin, dan Semarang (Kiai Umar). Tetapi yang paling fenomenal adalah belajar beliau di Bangkalan, yakni di pondok Syaikhuna KH. Kholil.

Kiai Kholil adalah ulama besar. Seorang waliyullah. Ada yang menyebut, beliau adalah wali kutub. Banyak santri beliau yang menjadi wali dan kiai besar. Kepada beliaulah ayahanda KH. Muhammad Shiddiq menimba ilmu dan amaliyah. Kemudian, setelah berkeluarga, beliau mengirimkan putra-putranya di sana, termasuk Kiai Achmad Qusyairi. Kelak, Kiai Achmad Qusyairi juga menitipkan putra sulung beliau, KH. Ridlwan, untuk mengais ilmu dari barokah dari sang wali kutub.

Menurut KH. Hasan Abdillah Glenmore, Kiai Achmad Qusyairi nyantri kepada Kiai Kholil saat masih remaja (pasca baligh). Suatu kali, di bulan Ramadhan, Kiai Kholil menyuruh para santri supaya tidak tidur di malam hari. Katanya, “Ayo cari Lailatul Qadar”. Maksudnya, mereka disuruh beribadah malam supaya mendapat barokah dari malam yang sangat mulia itu.

Kiai Achmad Qusyairi termasuk di antara santri yang juga mencari Lailatul Qadar. Tetapi beliau salah sangka. Beliau mengira, Lailatul Qadar itu benda kongkret. Malam itu beliau mencarinya ke sana kemari namun hasilnya, tentu saja, nihil. Pulang ke pesantren beliau dilanda kecapekan, lantas tertidur pulas.

Pada dini hari, Kiai Kholil berkeliling pesantren. Tujuanya, untuk mengawasi para santri. Tiba-tiba beliau melihat seberkas cahaya pada tubuh kecil seorang santri. Beliau mendekati sosok kecil itu lantas mengikat ujung sarungnya (dibikin simpul mati), sebagai tanda. Paginya, seusai salat subuh, beliau membuat pengumuman. “Ayo, siapa yang di sarungnya ada tali simpul?” Tak ada santri yang menjawab. Si empunya simpul pun tak menjawab karena takut. Dia merasa bersalah karena tidur pulas tadi malam, padahal disuruh begadang. “Kalau tak ada yang mau mengaku, ya sudah!” kata Kiai Kholil dengan nada keras.

Dengan takut-takut seorang santri yang masih kecil mengacungkan jarinya. “Saya,” katanya. Ternyata dia santri bernama Achmad Qusyairi. Marahkah Kiai Kholil, yang dikenal berperangai keras itu? Tidak. Beliau justru berkata, “Mulai sekarang para santri tak usah mengaji padaku. Cukup kepada Achmad Qusyairi.” Kita tidak tahu persis (para sumber kita juga tidak tahu) apakah setelah kejadian itu beliau langsung pulang. Tetapi kami menduga beliau tidak langsung pulang. Beliau masih terus menimba ilmu hingga beberapa tahun.

Menikah
Ketika Kiai Achmad masih kecil, ayahanda beliau berpindah ke Jember. Konon, kepindahan itu dikarenakan isyarat dari Rasulullah s.a.w. melalui mimpi. Mimpi itu mengisyaratkan supaya beliau berpindah ke timur untuk berdakwah. Jember pun menjadi pilihan karena itulah yang diperintahkan oleh KH. Kholil Bangkalan, guru beliau. “Kiai Shiddiq jembar,” katanya saat santrinya itu singgah dalam perjalanan ke timur.

Kebetulan Jember saat itu merupakan daerah gersang dari sisi dakwah. Penduduknya masih banyak yang tidak beragama atau beragama Hindu-Budha. (baca: “Biografi Mbah Shiddiq” oleh Afton Ilman) Di kota ini ada seorang saudagar kaya bernama H. Alwi. Dia memiliki lima buah pabrik selep beras dan 35 rumah besar. Dia sangat akrab dengan Kiai Shiddiq. Bahkan, tanah tempat berdirinya pesantren serta rumah Kiai Shiddiq di Talangsari adalah hasil waqaf dari H. Alwi.

H. Alwi rupanya menyimpan kesan mendalam kepada pemuda Achmad Qusyairi, putra kiai yang dikaguminya itu. Begitu terkesannya sehingga dia menuruti apa yang dikatakan oleh pemuda itu. Misalnya, seperti dituturkan Kiai Hasan Abdillah, pemuda Achmad Qusyairi menyarankan kepada H. Alwi supaya mengeluarkan zakat mal untuk hartanya yang berlimpah itu. “Ini harus dizakati” katanya. “Baik” jawab si saudagar.

H. Alwi tidak hanya mengamini, tapi juga menyerahkan soal perhitungan zakatnya kepada Kiai Achmad, dan Kiai Achmad menjalankan tugas itu dengan baik setiap tahunnya.

Alhasil, keduanya sudah seperti anggota keluarga. Seperti bapak dan anak. Guna lebih melanggengkan hubungan keluarga tersebut, H. Alwi meminang pemuda Achmad Qusyairi untuk menjadi menantunya. Tetapi manusia hanya bisa berencana, dan Allah yang menentukan. Pemuda Achmad Qusyairi urung jadi menantu H. Alwi karena dijodohkan ayahandanya dengan putri KH. Yasin bin Rois Pasuruan. Bagaimana ceritanya?

Begini. Kiai Shiddiq, abah beliau, telah menjalin hubungan pertemanan dengan Habib Alwi bin Segaf As-Segaf Pasuruan melalui hubungan dagang. Keduanya memang sama-sama pedagang, tapi juga sama-sama wali. Dari Habib Alwi, Kiai Shiddiq mengenal Kiai Yasin bin Rois, seorang kiai besar pengasuh Pesantren Salafiyah yang terletak di desa Kebonsari, Pasuruan. Suatu kali, ketika Kiai Shiddiq bersama pemuda Achmad Qusyairi mengunjungi Habib Alwi, sang Habib menawarkan untuk menjodohkan putra Kiai Shiddiq itu dengan putri Kiai Yasin. Kiai Shiddiq menyatakan setuju. Kiai Yasin juga sepakat. Singkat cerita, pemuda Achmad Qusyairi dinikahkan dengan Fatmah binti Kiai Yasin bin Rais.

Akan halnya H. Alwi, tentu saja dia merasa kaget. Dia lalu menuntut kepada Kiai Achmad supaya mencarikan ganti beliau. Kiai Achmad menawarkan iparnya, Kiai Muhammad bin Yasin. H. Alwi merasa cocok, begitu pula di pihak pria. Maka dilangsungkanlah pernikahan antara Kiai Muhammad dan putri H. Alwi.

Malu
Kiai Achmad menikah dalam usia 19-20 tahun. Beliau merasa malu karena istri beliau, yang usianya lebih tua satu tahun, sudah hafal seluruh Al-Quran. Selama ini Kiai Achmad memang tidak pernah menghafalkan Al-Quran. Waktunya habis untuk menimba dan menimba ilmu.

Rasa malu tadi melecut beliau. Setahun setelah pernikahan, beliau berangkat ke kota suci Mekah guna menghafalkan Al-Quran di sana. Alhamdulillah, dalam waktu tiga bulan beliau berhasil menghafalkan 30 juz al-Quran. Pulang ke Indonesia, beberapa kali beliau kembali ke Mekah untuk beribadah haji dan menimba ilmu. Suatu kali, beliau sedang berada di Mekah. Tiba-tiba Perang Dunia I meletus. Beliau tidak bisa pulang. Apa boleh buat. Beliau pun bermukim di tanah suci itu selama lima tahun. Di sana beliau menjalin hubungan dengan Syekh. Lima tahun kemudian, sepulang dari sana, beliau menjadi badal (wakil atau agen) dari syekh tersebut.

Syekh adalah julukan bagi orang-orang yang bertindak sebagai host atau rumah bagi para jamaah haji. Mereka mengorganisasikan perjalanan ibadah haji para jamaah selama di tanah suci, sejak kedatangan hingga kepulangan mereka serta menyediakan akomodasi dan berbagai fasilitas yang diperlukan. Para syekh itu memiliki wakil atau agen di Indonesia, yang disebut Badal Syekh. Peran Badal Syekh ini mirip dengan yang dijalankan KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji) sekarang: dari mencari jamaah, mendaftarkan mereka di Jakarta (segala dokumen haji kala itu harus diurus di kantor pusat di ibukota), dan mengurus keberangkatan mereka.

Lebih kurang, itulah pula yang dilakukan oleh Kiai Achmad. Para calon jamaah haji mendaftar kepada beliau, lalu beliau mengurus segala keperluan mereka dan mengantar mereka hingga ke kapal. Para calon jamaah haji itu, yang datang dari berbagai desa di kota dan kabupaten Pasuruan, berkumpul di Pesantren Salafiyah. Dari sana mereka naik dokar ke Pelabuhan Pasuruan. Karena kapal yang mengangkut mereka tidak bisa sandar di tepian, maka dari pelabuhan mereka diangkut dengan perahu kecil ke tengah laut.

Kiai Achmad biasanya ikut naik pula ke perahu kecil itu, guna memastikan tiada masalah pada para calon jamaah tersebut: entah itu soal tiket ataupun soal berbagai dokumen perjalanan. Terkadang, menurut Kiai Hasan Abdillah, beliau tidak hanya mengantar sampai ke kapal, tapi juga sampai ke Mekah. Pasalnya, kapten kapal yang terkesan oleh penampilan dan bahasa Belanda beliau, lalu mengajak beliau untuk ikut ke Jeddah, tanpa paspor.

Di samping menjadi Badal Syekh, beliau juga membuka usaha di bidang peralatan dokar. Tepatnya, beliau menjual suku cadang dan peralatan dokar. Adapun tokonya terletak di selatan Masjid Agung Pasuruan, dan diberi nama “Pasoeroeansche Dokar Handel”.

Beliau juga mengajar. Cukup banyak pengajian yang beliau gelar, baik di lingkungan pondok Pesantren Salafiyah maupun di luarnya. Entah itu di kota Pasuruan maupun di luar kota, seperti di desa Winongan (Kabupaten Pasuruan) dan kota Gresik.

Selama di Pasuruan beliau tinggal di lingkungan pondok pesantren Salafiyah. Tepatnya di sayap kiri rumah mertua beliau, Kiai Yasin. Adalah Kiai Yasin yang menyuruh beliau supaya membangun “sayap” tersebut, yang menempel di rumah sang mertua. Kemudian pada dasawarsa 1930-an, beliau membangun rumah di sebelah kanan rumah Kiai Yasin, yakni rumah yang kelak ditempati oleh menantu beliau, KH. Hamid.

Menurut KH. Hasan Abdillah, Kiai Achmad merupakan menantu yang disayang oleh Kiai Yasin. Maklum, antara keduanya ada kesamaan prinsip. Beliau tidak hanya disuruh membangun rumah yang menempel pada rumah Kiai Yasin, tapi juga dipercaya untuk mengajar di pondok. Peran sebagai pengajar dan pengurus pondok terus beliau pegang sepeninggal mertua beliau dan tongkat estafeta kepengasuhan pondok berpindah ke KH. Muhammad bin Yasin, putra Kiai Yasin.

Tetapi beliau tidak hanya mengajar di lingkungan pesantren. Beliau juga mengajar di tempat-tempat lain, seperti di Winongan (Kabupaten Pasuruan), Gresik, Madura dan lain-lain. Belakangan, seperti dituturkan KH. Abdur Rohman Ahmad, beliau tidak mengajar lagi di Gresik, tetapi orang-orang Gresik yang datang ke Pesantren Salafiyah Pasuruan untuk mengikuti pengajian beliau.

Dicalonkan Jadi Bupati
Sekitar tahun 1945-1946 beliau berpindah tempat tinggal: dari Pasuruan ke Kabupaten Jember. Tepatnya di Jatian, sebuah desa pedalaman, sekitar 15 km, sebelah timur kota Jember. Mengapa berhijrah?

Ada dua versi. Versi pertama diungkapkan oleh Kiai Hasan Abdillah. Katanya, Kiai Achmad berhijrah karena enggan dicalonkan menjadi bupati Pasuruan. Kala itu para kiai se-Pasuruan yang berkumpul di Masjid Agung Pasuruan sepakat menunjuk Kiai Achmad sebagai calon bupati.

Versi kedua diungkapkan oleh Ibu Nyai Hajjah Zainab, istri Kiai Achmad. Kepada al-faqir Nyai Zainab mengutip kata-kata Kiai Achmad bahwa beliau berpindah ke Jatian karena dikejar-kejar oleh Belanda. “Jatian itu kan desa pelosok, jadi cocok untuk tempat sembunyi,” ujar Nyai Zainab.

Tentang pencalonan Kiai Achmad sebagai bupati, ada pula kesaksian dari KH. Abdur Rahman Ahmad. “Aku juga mendengar waktu itu Abah dicalonkan di masjid karena Abah masih keturunan Mbah Surga Surgi,” ucapnya.

Kiai Abdur Rahman saat itu masih menjadi seorang pemuda tanggung berusia sekitar 14-15 tahun. Kalau Kiai Abdur Rahman yang masih muda mendengar kabar tersebut, berarti kabar itu sudah menjadi pembicaraan umum. Dan karena sudah menjadi konsumsi umum, sangat wajar bila ada tambahan bumbu-bumbu, seperti bumbu bahwa Kiai Achmad adalah keturunan Mbah Surga Surgi (trah ningrat yang menurunkan para bupati Pasuruan), padahal tidak.

Sayang, alfaqir tidak mendapatkan data tertulis mengenai pencalonan tadi. Pertama, karena pencalonan itu merupakan keputusan ulama, bukan sesuatu yang diputuskan instansi formal. Kami menduga, para ulama kala itu belum memiliki tradisi mengarsipkan hasil-hasil rapat mereka. Kedua, kondisi saat itu begitu kacau, sehingga kalaupun ada, dokumen itu bisa jadi hilang.

Toh sejarawan Pasuruan dari P3GI, yang juga penulis buku “Hari Jadi Kota Pasuruan”, Untung Sutjahjo, tidak menepis kemungkinan adanya rapat demikian. Berikut ini kutipan kata-katanya kepada alfaqir:

“Adanya rapat untuk mengajukan seorang calon adipati sangat mungkin terjadi. Lebih-lebih, hubungan umaro-ulama sangat erat kala itu. Masjidnya adalah masjid Kiai Kanjeng. Masjid Agung adalah tempat membahas pula persoalan pemerintahan tertentu. Tetapi saya menduga, rapat itu diadakan secara sembunyi-sembunyi. Sebab, kondisi Pasuruan (dan di kota-kota lain) pada 1945 kacau sekali. Tidak aman. Belanda, pasca-terusirnya Jepang, sangat ketat mengawasi setiap gerakan atau perkumpulan. Karena itu, rapat mungkin diadakan sembunyi-sembunyi. Dan karena diadakan secara sembunyi-sembunyi, sangat boleh jadi dokumennya tidak ada. Pencalonan itu mungkin saja membuat marah Belanda. Jadi, sangat pantas kalau KH. Ahmad Qusyairi dicari oleh Belanda.” (Dalam catatan sejarah, Adipati R. Rumenggung Ario memerintah mulai 1936 hingga 1945.

Selanjutnya, tampuk kepemimpinan berpindah kepada Adipati R. Soedjono. Berarti pada 1945 memang terjadi suksesi kepemimpinan, entah karena desakan rakyat ataukah karena masa baktinya telah berakhir. Tetapi kalau kita perhatikan, masa bakti para adipati tidak sama. Kepemimpinan R. Tumenggun, misalnya, berlangsung selama 9 tahun, sedang adipati sebelumnya, R.A.A. Harsono, hanya memerintah selama tiga tahun.) Mengenai seberapa kacaunya Pasuruan (dan kota-kota lain) pada saat itu, hal itu bisa kita simak pada penuturan Soetjipto, seorang veteran perang yang tinggal di Jalan Mawar Pasuruan. Dia lahir tanggal 2 Pebruari 1925:

“Saya dulu sekolah di HIS Bangilan, dekat alun-alun kota Pasuruan. Lalu meneruskan di MILO Probolinggo. Karena di Pasuruan tidak ada MILO. Baru lima bulan sekolah, pecah perang.

Pada saat proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, kita tidak tahu menahu. Baru setelah itu ada pemberitahuan. Lalu pemerintah membentuk tentara. Saya ikut. Saya menjadi kepala. Pada saat itu, khususnya ketika Belanda hendak mendarat di Surabaya, orang-orang tergerak untuk menjadi tentara. Terbentuklah pasukan-pasukan. Ada tentara reguler (TNI). Ada pula tentara nonreguler. Tentara kedua ini terbentuk begitu saja. Tidak teratur. Saya pernah mendengar (mungkin salah mungkin benar), KH. Ahmad Qusyairi memimpin pasukan. Namun, jangan bayangkan pasukan itu ada barisannya. Itu tidak teratur. Kalau ada serangan, pemimpin itulah yang mengkomando. Tetapi saya tidak pernah bertemu dengan beliau. Wong saya golongannya lain. (Beliau golongan santri, Soetjipto bukan santri, sehingga bukan satu komunitas.) Orang-orang berangkat sendiri-sendiri ke Surabaya.

Tanpa komando, tanpa koordinasi. Dari Pasuruan, Jember, Probolinggo, Malang, Mojokerto dan lain-lain. Banyak dari mereka yang mati. Mereka adalah orang-orang yang berani mati. Dalam pasukan itu ada dua macam. Orang bodoh tapi berani nyerang dengan segala risiko. Ada yang pintar, tidak berani nyerang. Mereka memakai perhitungan. Pada saat Jepang datang, orang Belanda sudah habis di pasuruan. Gemente dikuasai. Pabrik-pabrik gula dikuasai semua oleh orang Jawa. Tapi mereka tidak tahu caranya memenej yang benar.

Pada pascaproklamasi, orang-orang berangkat ke Surabaya. Yakni untuk membendung Belanda yang hendak kembali. Terus terang, kita kalah terus. Kita terus mundur. Kita terdesak ke Sidoarjo. Lalu terdesak lagi ke Porong. Lalu ke Pandaan. Terjadi pertempuran hebat. Kita terus mundur, hingga Belanda berhasil masuk ke Malang. Kami pernah ke Purwodadi untuk menyerang Belanda, dan dengan tujuan memutus kabel telpon Malang-Surabaya. Tapi keburu diserang lewat udara. Dibombardir pesawat. Rupanya ada mata-mata.

Pada akhirnya Pasuruan juga dikuasai Belanda. Banyak Belanda di sini. Pasuruan dikuasai oleh KNIL. Sebenarnya juga banyak cecunguk-cecunguk Belanda. Mereka orang Jawa tapi hatinya Belanda. Mereka merasa enak di bawah Belanda.

Nah, kalau pada siang hari Pasuruan dikuasai KNIL, malam hari dikuasai pribumi. Tentara gerilya. Hampir semua orang bergerilya. Ada Belanda lewat diserang, dibunuh. Ada cecunguk Belanda, dibunuh. Pernah ada Pak Carik, hendak membeli kambing. Ketemu teman-teman, dia digeledah, ditemukan korek api dengan bendera merah-putih-hijau, langsung dia dibunuh. Ada Pak Lurah, punya kambing 12 ekor. Tiga ekor diambil, disembelih, kepalanya dikasihkan ke saya. Kondisinya memang kacau.

Nah, pada malam hari itu kita bergerilya. Kita serang kantor polisi. Sebab, banyak polisi yang hatinya Belanda, meski orang Jawa. Kita serang kantor-kantor lain. Bahkan juga kepala desa atau aparat lain yang dianggap antek Belanda. Terkadang kita membakar.

Kalau Kiai Ahmad Qusyairi dicalonkan menjadi bupati, itu bisa saja terjadi. Sebab, waktu itu kita memang hendak menguasai semua. Kita tidak bisa berperang. Senjata kita juga apa adanya. Ada pula senjata api, tapi tidak banyak. Kita bikin pasukan maling untuk mencuri senjata milik Belanda.”

Yang hendak dikatakan ialah, pada saat itu terjadi kekacauan yang luar biasa. Di samping itu, ketika orang-orang mengetahui adanya proklamasi kemerdekaan, dan mereka melihat orang-orang Jepang berkemas, bukan mustahil Pasuruan juga mengalami eforia sebagaimana yang meluas di berbagai daerah. Yakni eforia yang, sebagaimana kita saksikan pada saat munculnya fajar reformasi dulu, memicu suatu semangat untuk menjebol segala yang ada dan menggantinya dengan yang baru sama sekali. Seperti dilaporkan di sejumlah daerah (seperti di Tegal), orang-orang beramai-ramai mendongkel penguasa lama yang dianggap berbau penjajah (meski dia sendiri orang pribumi) dan menggantinya dengan orang baru. Pasuruan mungkin saja mengalami hal serupa.

Pertanyaannya, mengapa Kiai Achmad Qusyairi? Tampaknya beliau dipandang memiliki dua macam kompetensi sekaligus: ahli ilmu agama dan sekaligus mumpuni di bidang umum. Paling tidak, mereka menilainya dari kemampuan beliau berkomunikasi dengan bahasa Belanda dan Jepang. Beliau juga cukup fasih berbahasa Indonesia. Beliau sudah akrab dengan cara-cara yang cukup modern dipandang dari ukuran saat itu. Misalnya, berkomunikasi lisan dan tulis (lewat surat) dengan kapten kapal (yang semuanya orang Belanda tulen), para pejabat pemerintahan kolonial dan lain-lain. Beliau juga piawai menyusun untaian kata-kata indah dalam bentuk buku, risalah (karangan singkat) dan surat undangan -- termasuk dalam bahasa Indonesia. Bahkan, di zaman “sedini” itu, beliau sudah memiliki kartu pos khusus dengan kop usaha atau toko peralatan dokar beliau. Tak kalah pentingnya ialah, beliau sudah biasa mengurus pemberangkatan haji, yang tidak hanya memerlukan keahlian khusus di bidang manajemen dan administrasi, tetapi juga juga mobilitas yang tinggi serta kemampuan lobi serta kedekatan dengan pejabat-pejabat pusat. Makanya, tidak heran jika beliau pernah diminta oleh Jepang untuk menjadi penghulu, tetapi beliau menolak. Bisa saja pencalonan itu membuat marah orang-orang Belanda. Itulah sebabnya, beliau termasuk orang yang dicari-cari oleh Belanda.

Dengan demikian, kedua faktor tadi sama benarnya untuk menjelaskan kepindahan beliau dari Pasuruan ke Jatian. Walaupun demikian, seperti dikatakan oleh Kiai Hasan Abdillah, beliau menolak menjadi bupati karena beliau adalah orang yang tidak mengagulkan jabatan, bukan karena takut Belanda.

Dan itu, kami kira, benar. Sebab, sebelumnya beliau telah menolak tawaran jabatan penghulu dari Jepang. Beliau juga menolak tawaran duduk di jajajaran pengurus NU karena merasa diri tidak pantas.

Hijrah Lagi
Selama tinggal di Jatian, beliau menggelar pengajian. Pengajian ini diikuti baik oleh orang-orang Jatian maupun dari luar. Di antara orang luar Jatian yang rajin mengikuti pengajian beliau ialah H. Abdul Azhim dan H. Sholeh, keduanya berasal dari Glenmore, Banyuwangi.

Mereka di Glenmore terbilang saudagar kaya. Waktu itu Glenmore adalah daerah yang gersang dari segi siraman rohani. Daerah yang keras karena di sana banyak preman. Kemaksiatan merajalela, termasuk yang biasa disebut sebagai Mo Limo (5-M): madat (mabuk-mabukan), madon (zina), main (judi), maling (mencuri), mateni (membunuh). Sementara itu, jumlah guru agamanya tidak banyak. Ada seorang guru agama di sana yang konon masih suka bermain sabung ayam.

Itulah, maka H. Abdul Azhim dan H. Sholeh berinisiatif untuk menawari Kiai Achmad pindah ke Glenmore. Ternyata gayung bersambut. Beliau mengiyakan tawaran tersebut. Satu setengah tahun setelah bermukim di Jatian, beliau melakukan hijrah lagi, yaitu ke Glenmore.

Mula-mula beliau tinggal di rumah H. Abdul Azhim yang terletak di sebelah barat pasar. Lalu beliau membeli rumah di timur pasar. Tak lama kemudian rumah itu dijual, dan hasil penjualannya dipakai membeli rumah di Kalibaru.

Beliau sendiri menempati rumah pemberian H. Mustahal, yang terletak sekitar 200 meter sebelah selatan rumah yang dijual tadi. Rumah ini menjadi tempat tinggal permanen beliau hingga akhir hayat beliau.

Akan halnya keberadaan beliau di Glenmore, sungguh tak mudah. Setelah melewati masa “bulan madu”, mulailah beliau menapak jalan menanjak. Beliau difitnah. Seperti dituturkan oleh Abdusy Syakur (70 tahun), warga Magelenan, Glenmore, suatu kali Pak Syarqowi datang, mengatakan bahwa beliau jadi omongan orang. “Sudah biar saja, orang kalau dibicarakan itu, dosanya habis,” kata beliau. Lalu beliau masuk ke dalam rumah, dan kembali membawa uang. “Ini berikan pada orang-orang yang membicarakan aku. Terima kasih, karena telah menghabiskan dosaku.”

Memang beliau menjadi bahan omongan orang banyak. Dan itu ada provokatornya, kata Kiai Abdillah. Provokator ini menghasut orang. “Jangan ke Kiai Achmad Qusyairi,” katanya di hadapan orang banyak dalam acara tahlilan. Fitnah itu begitu menghebat hingga Kiai Hasan, yang masih muda kala itu, tidak tahan. Dia sudah mau marah. Dia melaporkan hal itu pada Kiai Hamid, kakak iparnya. “Anu Lah, wong Glenmore iku gak nyucuk karo ilmune Abah (Orang-orang Glenmore tidak dapat menjangkau ilmu KH. Achmad),” kata Kiai Hamid kepada Kiai Abdillah. Beliau juga menyarankan supaya Kiai Achmad kembali ke Pasuruan.

Kiai Abdillah juga membatin, “Biar Abah ke Pasuruan saja, orang-orang aku yang hadapi.” Tetapi beliau bersikukup tetap tinggal di Glenmore. “Biar saja aku difitnah. Aku lebih suka dicela orang daripada dipuji,” ujar beliau.

Di tengah terpaan badai yang hebat itu, beliau tetap bertahan. Beliau mengemong masyarakat. Sedikit demi sedikit beliau memperbaiki keadaan. Beliau mendirikan musalla di utara rumah beliau (1948). Di musalla ini dan di rumah beliau, beliau menggelar pengajian. Para ustaz dan kiai di Glenmore mengaji pada beliau. Orang-orang awam juga. Ada yang dari Glenmore, ada pula dari luar Glenmore.

Tetapi, tentu saja, tidak hanya lewat pengajian beliau mengemong dan mendidik masyarakat, tapi juga lewat keteladanan dan nasihat-nasihat. Terkadang beliau marah. Seperti marah beliau kepada Cak Arik kala pemuda ini masih bermain layang-layang padahal waktu salat Jumat tinggal beberapa menit lagi.

Glenmore pun, pelan tapi pasti, beringsut. Citranya berubah. Dari desa Mo Limo, desa yang tidak aman dan penuh kerawanan, menjadi desa santri yang damai dan aman. Orang-orang yang dulunya dikenal sebagai perampok, pembunuh, ahli menggoda istri orang – pendeknya para jagoan dan preman – berubah penampilan menjadi santri setia beliau yang alim.

Dan dengan sendirinya pula, fitnah yang pernah merebak hebat, lambat laun mereda. Omongan-omongan miring mengenai beliau menghilang, dan orang-orang yang dulunya menjadi pemfitnah dan penghasut berubah menjadi para santri yang taat beragama dan bersikap takzhim pada beliau. Ternyata, segala fitnah dan hasutan itu dikarenakan kesalah-pahaman belaka. Sekarang, orang telah mengerti. Berkat kesabaran dan konsistensi beliau dalam menjaga syariat, lambat laun mereka menjadi semakin tahu. Coba, seandainya beliau mundur sebelum berjuang, mungkin Glenmore tidak banyak berubah. Jadi, alangkah besarnya manfaat kesabaran dalam perjuangan. Dan benarlah firman Allah:

"Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan berkata, “Kami beriman,” sedang mereka tidak diuji?"

Wafat
Dalam usia senja beliau, sekitar tahun 1970, berkali-kali beliau mengatakan ingin wafat di tanah suci Mekah. Hal itu beliau ucapkan dalam banyak kesempatan di hadapan orang banyak. Kebetulan ketika hendak berangkat menunaikan ibadah haji pada 1971 beliau dilanda sakit.

Maka dari itulah, ketika beliau berangkat ke tanah suci dengan menumpang kapal laut, banyak orang yang waswas. Walaupun beliau sempat dinyatakan sehat oleh dokter pada hari-hari menjelang keberangkatan, sesampai di Mekah beliau menderita sakit keras. Begitu parahnya sehingga beliau hanya tergolek di tempat tidur. Ibu Nyai Zainab, yang menyertai beliau, dengan teladen meladeni segala kebutuhan beliau. Termasuk, maaf, menceboki beliau karena beliau benar-benar tidak bisa bangun dari pembaringan. Tak heran jika sempat terbetik perasaan khawatir di hati Ibu Nyai tersebut, “Bagaimana kalau aku ditinggal sendirian di sini?” Betapa beratnya bagi Bu Nyai yang tak pernah keluar dari rumah itu berada dan pulang sendirian dari negeri orang.

Alhamdulillah, beberapa hari menjelang pulang, Kiai Achmad berangsur sehat. Allah Maha berkehendak. Beliau pun pulang ke tanah air menyertai istri beliau dalam keadaan sehat wal afiat. Para anggota keluarga, handai tolan dan para santri yang sempat khawatir merasa lega.

Tetapi beliau tidak lama menyertai beliau. Pada tahun berikutnya di bulan Syawal, saat berada di Gresik, beliau jatuh di kamar mandi. Ternyata kejatuhan itu membawa pengaruh yang besar pada kesehatan beliau. Beliau langsung jatuh sakit dan tidak bisa bangun dari pembaringan.

Beliau kemudian dibawa ke Pasuruan, dan menempati rumah Kiai Hamid, yakni rumah yang dulu beliau tinggali. Seminggu berada di sana, beliau dilanda koma. Dan pada tanggal 22 Syawal 1392 H. bertepatan dengan 28 November 1972 M beliau menghembuskan nafas terakhir dalam usia 81 tahun, meninggalkan 15 putra dan putrid, sejumlah cucu dan dua orang istri: Ibu Nyai Hajjah Halimah dan Ibu Nyai Hajjah Zainab.

Dengan diantar ribuan pelayat, beliau dikebumikan di kompleks pemakaman di belakang Masjid Agung Al-Anwar Pasuruan.

Beliau pun menjadi yang terakhir dari tiga serangkai yang wafat dalam waktu tiga bulan berturut-turut. Yang pertama adalah KH. Achmad Sahal Pasuruan pada bulan Sya’ban, lalu KH. Ma’shum Lasem pada bulan Ramadhan, dan beliau sendiri wafat pada bulan Syawal. (Hamid Ahmad, putra terakhir dari KH. Achmad Qusyairi b. Shiddiq_posted from salafiyah.org)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons