Blog ini ditujukan kepada seluruh ummat Islam yang cinta kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Para Sahabat RA, Auliya', Habaib, Ulama', dan sejarah kebudayaan Islam.

Selasa, 25 Januari 2011

KH. Munawwir Krapyak Yogyakarta

MUARA PENGAJARAN TAHFIZH AL-QURAN

Namanya disebut-sebut dalam mata rantai guru-guru Al-Quran terkemuka di tanah air. Ia juga menjadi salah satu muara keilmuan pesantren Al-Quran di Nusantara.

Matahari belum lagi sepenggalah. Sekelompok pemuda berkopiah hitam, baju koko dan kain sarung duduk bersimpuh di serambi sebuah rumah. Dengan tertib dan penuh ta’zhim pemuda beragam usia itu membentuk empat barisan memanjang. Di hadapan mereka duduk seorang ulama sepuh kharismatik yang mengenakan kain sarung, baju dan kopiah putih serta sorban yang dikerudungkan.

Satu persatu, puluhan pemuda tanggung itu membacakan ayat demi ayat Al-Quran, di luar kepala. Sepertinya tidak mudah. Terlihat dari begitu kerasnya para santri itu berusaha mengeja kata demi kata dalam kitab suci secara perlahan, benar dan fasih. Tidak jarang urat-urat leher mereka menonjol keluar, mengiringi keringat yang membanjiri tubuh. Ada juga ayat yang harus diulang berkali-kali karena menurut pandangan sang kiai belum sesuai menurut kaidah tajwid.

Begitulah pemandangan sehari-hari di pesantren Sunan Pandanaran, Sleman, Yogyakarta. Pengajian Al-Quran di pesantren yang diasuh K.H. Mufied Mas’oed itu memang sangat khas. Ia mewakili gambaran sebagian besar pesantren tradisional tahfizhul Quran, penghafalan Al-Quran, yang tersebar hampir di seluruh pulau Jawa, dan Madura.

Termasyhur dengan disiplin bacaan yang sangat ketat dan teliti, pola pengajaran di pesantren Sunan Pandanaran dan beberapa pesantren tahfizhul Quran besar lain di jawa bermuara kepada satu nama, K.H.M. Moenauwir, pendiri Pesantren Krapyak, Yogyakarta.

Di paruh pertama abad dua puluh, bisa dibilang Krapyak adalah tujuan utama santri-santri yang ingin menghafalkan Al-Quran. Dan di Krapyak, sosok kharismatik mbah Moenauwir lah yang merupakan inti magnetnya.

Kiai sepuh kelahiran Kauman Yogyakarta itu memang luar biasa. Tanda-tanda akan menjadi ahli Al-Quran sudah nampak sejak putra Kiai Abdullah Rosyad itu masih kecil. Ia telah mengkhatamkan Al-Quran sebelum usianya menginjak delapan tahun.

Moenauwir kecil, yang merupakan cucu Kiai Kasan Besari (senopati Pangeran Diponegoro untuk wilayah Kedu), juga pernah ditantang ayahandanya untuk mengkhatamkan pembacaan Al-Quran dalam waktu satu minggu. Waktu itu ia dijanjikan akan diberi hadiah Rp. 150,00 bila mampu. Ternyata Moenauwir berhasil memenuhi tantangan tersebut. Bahkan sejak itu ia selalu istiqamah mengkhatamkan Al-Quran seminggu sekali, meski tanpa hadiah.

Kehandalannya dalam membaca Al-Quran dengan fasih bahkan diakui gurunya, Kiai Kholil Bangkalan. Ketika usianya hampir menginjak 10 tahun, orang tuanya mengirim Moenauwir kecil untuk nyantri Pesantren Demangan, Bangkalan, Madura. Mengetahui kefasihan salah seorang santrinya dalam membaca kalam ilahi, Kiai Kholil memerintahkan Moenauwir untuk mengimami shalat jamaah. Sementara Kiai Kholil sendiri berdiri sebagai makmum di belakangnya.

Bermukim di Haramain
Selepas dari Bangkalan, Kiai Moenauwir mengaji ke beberapa ulama besar seperti Kiai Soleh Darat, Semarang, dan Kiai Abdurahman, Watucongol, Muntilan, Magelang. Usai mengaji di beberapa pesantren, tahun 1888 Moenauwir muda pun bermukim di Al-Haramain selama 21 tahun.

Enam belas tahun pertama dihabiskan Moenauwir di Makkah khusus untuk mempelajari dan mendalami Al-Quran beserta cabang keilmuannya. Beberapa gurunya yang mengajarkan tahfizh, tafsir dan qiraat sab’ah di Makkah antara lain Syaikh Abdullah Sanqoro, Syaikh Sarbini, Syaikh Mukri, Syaikh Ibrahim Huzaimi, Syaikh Manshur, Syaikh Abdus Syakur dan Syaikh Musthofa.

Karena kecemerlangannya dalam mengaji, guru qiraat sab’ahnya, Syaikh Yusuf Hajar, memberinya ijazah sanad qiraah yang bersambung hingga Rasulullah: sesuatu yang sangat jarang didapatkan murid-murid Syaikh Yusuf karena sangat sulit persyaratannya. Dalam silislah tersebut Kiai Moenauwir berada pada urutan ketiga puluh lima. Ada juga sanad lain yang diperolehnya dari Syaikh Abdul Karim bin Umar Al-Badri Ad-Dimyathi, yang sedikit lebih pendek.

Untuk memantapkan hafalan Al-qurannya, Kiai Moenauwir juga melakukan riyadhah berjenjang. Tiga tahun pertama ia mengkhatamkan Al-Quran setiap tujuh hari sekali. Tiga tahu kedua ia mengkhatamkan Al-Quran tiga hari sekali. Dan tiga hari ketiga Kiai Moenauwir mengkhatamkan Al-Quran setiap hari. Riyadhah tersebut ditutup dengan membaca Al-Quran tanpa henti selama 40 hari 40 malam. Riyadhah tersebut, menurut Kiai Nur Kertosono buku Sejarah Perkembangan Krapyak, membuat mulut Kiai Moenauwir sempat terluka dan mengeluarkan darah.

Usai tirakat, Kiai Moenauwir lalu melanjutkan pengajian ilmu-ilmu syariat lain, seperti fiqih dan tauhid, di Madinah selama lima tahun berikutnya. Setelah itu barulah ia pulang ke kampung halamannya di Kauman, Yogyakarta.

Di Kauman ia membuka sebuah pengajian kecil di langgarnya, menambah semarak pengajian-pengajian Al-Quran di lingkungan keraton tersebut. Tahun 1909, karena jumlah santrinya semakin banyak, Kiai Moenauwir memindahkan pesantrennya ke kampung Krapyak. Menurut beberapa sumber kepindahan tersebut juga dilakukan ayahanda Kiai Warson, penyusun kamus Al-Munawwir, itu untuk menghindari kewajiban seba kepada sultan.

Pesantren Krapyak diawali dengan sepuluh orang santri dan mencapai jumlah enam puluh orang pada sepuluh tahun pertama. Setelah tahun 1920 jumlah santri Krapyak berkembang dengan sangat pesat hingga mencapai ratusan orang.

Santri-santri Kiai Moenauwir generasi awal itulah yang kemudian mengembangkan pengajian tahfizhul Quran ke seluruh penjuru tanah air. Beberapa pesantren kemudian berkembang pesat. Sebut saja Pesantren Yanbu’ul Quran, Kudus (didirikan K.H. Arwani Amin), Pesantren Al-Muayyad, Mangkudan, Solo (didirikan K.H. Ahmad Umar), Pesantren Al-Asy’ariyah, Kalibeber, Wonosobo (K.H. Muntaha), Pesantren Kempek, Cirebon (K.H. Umar Sholeh), Pesantren Benda Bumiayu, Brebes (K.H. Suhaimi) dan lain-lain. Termasuk juga Kiai Moefid Mas’oed pendiri dan pengasuh pesantren Sunan Pandanaran, Sleman, yang tidak lain adalah menantu Kiai Moenauwir.

Dua Tahun
Mengaji gaya Krapyak memang tidak mudah. Selain haru memperhatikan benar panjang-pendeknya bacaan, pengucapan huruf (makharijul huruf) juga diawasi dengan sangat ketat. Tidak jarang untuk mampu membaca Surah Al-Fatihah dengan benar, seorang murid harus menghabiskan waktu berbulan-bulan. Bahkan pada masa Kiai Moenauwir, pernah ada santri yang menghabiskan waktu sampai dua tahun untuk membaca surah Al-Fatihah dengan baik dan benar.

Apalagi jika ingin mendapatkan ijazah silsilah sanad Al-Quran dari Kiai Moenauwir. Bukan hanya kemampuan membaca dan menjaga hafalan yang menjadi tolok ukur, tetapi juga perilaku selama nyantri di Krapyak. Ketatnya persyaratan memperoleh ijazah sanad belakangan juga diberlakukan kiai-kiai alumni Krapyak terhadap para santrinya.

Meski tidak semuanya mengantongi ijazah sanad, namun pesantren-pesantren alumni Krapyak tetap saja merupakan produsen terbesar huffazh di tanah air. Pesantren Sunan Pandanaran, misalnya, setiap tahunnya mewisuda tidak kurang dari tiga puluh orang santri huffazh. Demikian pula di Pesantren Al-Munawwir Krapyak, dan Al-Asy’ariyyah, Kalibeber, Wonosobo.

Karena bersumber dari satu almamater, program pengajian Al-Quran di pesantren-pesantren tahfizhul Quran di Jawa pun rata-rata sama. Diawali dengan tahfizh juz 30 atau juz ‘Amma, kemudian disusul program bin nazhar atau membaca 30 juz dengan tartil. Dua program tersebut wajib diikuti seluruh santri. Setelah khatam bin nazhar, barulah santri dapat mengikuti program bil ghaib atau tahfizh 30 juz.

Semua jenjang pengajian tersebut menggunakan metode pengajaran mushafahah atau sorogan, yakni satu persatu santri menghadap gurunya untuk menyetorkan bacaan atau hafalannya. Untuk program Juz ‘Amma, setoran saat mengaji biasanya per surah. Sedangkan untuk program bin nazhar batas setoran adalah per maqra’. Lain lagi dengan program bil ghaib 30 juz yang setoran mengajinya dihitung per halaman. Sebelum diijinkan meneruskan oleh sang guru, para santri akan terus mengulang-ulang bacaan atau hafalan sebelumnya.

Agar seragam, pesantren-pesantren tahfizhul Quran alumni Krapyak biasanya menggunakan Al-Quran yang sudah ditash-hih Kiai Arwani Amin, Kudus. Al-Quran tersebut lazim disebut “Al-Quran Ayat Pojok”, karena setiap halamannya ditutup dengan akhir ayat, sehingga tidak ada potongan ayat yang berada di halaman berikutnya. Ini untuk memudahkan santri dalam menentukan batas menghafal atau menyetorkan hafalan.

Melihat masih cukup besarnya jumlah para penghafal Al-Quran yang diwisuda setiap tahunnya, sepertinya umat Islam di tanah masih bisa bernafas lega. Setidaknya satu atau dua dasawarsa ke depan negeri ini masih akan terus berhias lantunan ayat-ayat suci Al-Quran yang tersimpan dengan baik di dalam dada para huffazh. Semoga ! (Kang Iftah)

Minggu, 23 Januari 2011

Gus Miek (Ketertundukan Binatang )


Ketika gus miek baru mulai bisa merangkak, saat itu ibunya membawa ke kebun untuk mengumpulkan kayu bakar dan panen kelapa, bayi itu ditinggalkan sendirian di sisi kebun, tiba-tiba dari semak belukar muncul seekor harumau. Spontan sang ibu berlari menjauh dan luapa bahwa bayinya tertinggal. Begitu sadar, sang ibu kemudian berlari mencari anaknya. Tetapi, sesuatu yang luar biasa terjadi. Ibunya melihat harimau itu duduk terpaku di depan sang bayi sambil menjilagti kuku-kukunya seolah menjaga sang bayi. Peristiwa ketertundukan binatang ini kemudian berlanjut hingga Gus Miek dewasa. Di antara kejadian itu adalah Misteri Ikan dan Burung Raksasa. Gus mike yang sangat senang bermain di tepi sungai Brantas dan menonton orang yang sedang memancing, pada saat banjir besar Gus Mik tergelincir ke sungai dan hilang tertelan gulungan pusaran air. sampai beberapa jam, santri yang ditugaskan menjaga Gus Miek, mencari di sepanjang pirnggiran sungai dengan harapan Gus miek akan tersangkut atau bisa berenang ke daratan. Tetapi, Gus Miek justru muncul di tengah sungai, berdiri dengan air hanya sebatas mata kaki karena Gus Miek berdiri diatas punggung seekor ikan yang sangat besar, yang menurut Gus Miek adalah piaraan gurunya. Pernah suatu hari, ketika ikut memancing, kail Gus Miek dimakan ikan yang sangat besar. Saking kuatnya tenaga ikan itu, Gus Miek tercebur ke sungai dan tenggelam. Pengasuhnya menjadi kalang kabut karena tak ada orang yang bisa menolong, hari masih pagi sehingga masih sepi dari orang-orang yang memancing. Hilir mudik pengasuhnya itu mencari Gus Miek di pinggir sungai dengan harapan Gus Miek dapat timbul kembali dan tersangkut. Tetapi, setelah hampir dua jam tubuh Gus Miek belum juga terlihat, membuat pengasuh itu putus asa dan menyerah. Karena ketakutan mendapat murka dari KH. Djazuli dan Ibu Nyai Rodyiah, akhirnya pengasuh itu kembali ke pondok, membereskan semua bajunya ke dalam tas dan pulang tanpa pamit. Dalam cerita yang disampaikan Gus Miek kepada pengikutnya, ternyata Gus Miek bertemu gurunya. Ikan tersebut adalah piaraan gurunya, yang memberitahu bahwa Gus Miek dipanggil gurunya. Akhirnya, ikan itu membawa Gus Miek menghadap gurunya yaitu Nabi Khidir. pertemuan itu menurut Gus Miek hanya berlangsung selama lima menit. Tetapi, kenyataannya Gus Miek naik ke daratan dan kembali ke pondok sudah pukul empat sore. beberapa bulan kemudian, setelah mengetahui bahwa Gus Miek tidak apa-apa, akhirnya kembali ke pondok. Pada suatu malam di ploso, Gus Miek mengajak Afifudin untuk menemaninya memancing di sungai timur pondok Al Falah. Kali ini, Gus Miek tidak membawa pancing, tatapi membawa cundik. Setelah beberapa lama menunggu, hujan mulai turun dan semakin lama semakin deras. Tetapi, Gus Miek tetap bertahan menunggu cundiknya beroleh ikan meski air sungai brantas telah meluap. Menjelang tengah malam, tiba-tiba Gus Miek berdiri memegangi gagang cundik dan berusaha menariknya ke atas. Akan tetapi, Gus Miek terseret masuk ke dalam sungai. Afifudin spontan terjun ke sungai untuk menolong Gus Miek. Oleh Afifudin, sambil berenang, Gus Miek ditarik ke arah kumpulan pohon bambu yang roboh karena longsor. Setelah Gus Miek berpegangan pada bambu itu, Afifudin naik ke daratan untuk kemudian membantu Gus Miek naik ke daratan. Sesampainya di darat, Gus Miek berkata “fif, ini kamu yang terakhir kali menemaniku memancing. Kamu telah tujuh kali menemaniku dan kamu telah bertemu dengan guruku. “Afifudin hanya diam saja. Keduanya lalu kembali kepondok dan waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi.

KH Achmad Djazuli


Dialah Mas’ud, yang mendapat julukan Blawong dari KH. Zainuddin. Kelak dikemudian hari ia lebih dikenal dengan nama KH. Achmad Djazuli Utsman, pendiri dan pengasuh I Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri.

Diam-diam KH. Zainuddin memperhatikan gerak-gerik santri baru yang berasal dari Ploso itu. Dalam satu kesempatan, sang pengasuh pesantren bertemu Mas’ud memerintahkan untuk tinggal di dalam pondok.

“Co, endang ning pondok!”
“Kulo mboten gadah sangu, Pak Kyai.”
“Ayo, Co…mbesok kowe arep dadi Blawong, Co!”
Mas’ud yang tidak mengerti apa artinya Blawong, hanya diam saja. Setelah tiga kali meminta, barulah Mas’ud menurut perintah Kyai Zainuddin untuk tinggal di dalam bilik pondok. Sejak itulah, Mas’ud kerap mendapat julukan Blawong.
Ternyata Blawong adalah burung perkutut mahal yang bunyinya sangat indah dan merdu. Si Blawong itu dipelihara dengan mulia di istana Kerajaan Bawijaya. Alunan suaranya mengagumkan, tidak ada seorang pun yang berkata-kata tatkala Blawong sedang berkicau, semua menyimak suaranya. Seolah burung itu punya karisma yang luar biasa.
Ia lahir di awal abad XIX, tepatnya tanggal 16 Mei 1900 M. Ia adalah anak Raden Mas M. Utsman seorang Onder Distrik (penghulu kecamatan). Sebagai anak bangsawan, Mas’ud beruntung, karena ia bisa mengenyam pendidikan sekolah formal seperti SR, MULO, HIS bahkan sampai dapat duduk di tingkat perguruan tinggi STOVIA (Fakultas Kedokteran UI sekarang) di Batavia.
Belum lama Mas’ud menempuh pendidikan di STOVIA, tak lama berselang Pak Naib, demikian panggilan akrab RM Utsman kedatangan tamu, KH. Ma’ruf (Kedunglo) yang dikenal sebagai murid Kyai Kholil, Bangkalan (Madura).
“Pundi Mas’ud?” tanya Kyai Ma’ruf.
“Ke Batavia. Dia sekolah di jurusan kedokteran,” jawab Ayah Mas’ud.
“Saene Mas’ud dipun aturi wangsul. Larene niku ingkang paroyogi dipun lebetaken pondok (Sebaiknya ia dipanggil pulang. Anak itu cocoknya dimasukan ke pondok pesantren),” kata Kyai Ma’ruf.
Mendapat perintah dari seorang ulama yang sangat dihormatinya itu, Pak Naib kemudian mengirim surat ke Batavia meminta Mas’ud untuk pulang ke Ploso, Kediri. Sebagai anak yang berbakti ia pun kemudian pulang ke Kediri dan mulai belajar dari pesantren ke pesantren yang lainnya yang ada di sekitar karsidenan Kediri.
Mas’ud mengawali masuk pesantren Gondanglegi di Nganjuk yang diasuh oleh KH. Ahmad Sholeh. Di pesantren ini ia mendalami ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, khususnya tajwid dan kitab Jurumiyah yang berisi tata bahasa Arab dasar (Nahwu) selama 6 bulan.
Setelah menguasai ilmu Nahwu, Mas’ud yang dikenal sejak usia muda itu gemar menuntut ilmu kemudian memperdalam pelajaran tashrifan (ilmu Shorof) selama setahun di Pondok Sono (Sidoarjo). Ia juga sempat mondok di Sekarputih, Nganjuk yang diasuh KH. Abdul Rohman. Hingga akhirnya ia nyantri ke pondok yang didirikan oleh KH. Ali Imron di Mojosari, Nganjuk dan pada waktu itu diasuh oleh KH. Zainuddin.
KH. Zainuddin dikenal banyak melahirkan ulama besar, semacam KH. Wahhab Hasbullah (Pendiri NU dan Rais Am setelah KH. Hasjim Asy’ari), Mas’ud yang waktu itu telah kehabisan bekal untuk tinggal di dalam pondok kemudian mukim di langgar pucung (musala yang terletak tidak jauh pondok).
Selama di Pondok Mojosari, Mas’ud hidup sangat sederhana. Bekal lima rupiah sebulan, dirasa sangat jauh dari standar kehidupan santri yang pada waktu rata-rata Rp 10,-. Setiap hari, ia hanya makan satu lepek (piring kecil) dengan lauk pauk sayur ontong (jantung) pisang atau daun luntas yang dioleskan pada sambal kluwak. Sungguh jauh dikatakan nikmat apalagi lezat.
Di tengah kehidupan yang makin sulit itu, Pak Naib Utsman, ayah tercinta meninggal. Untuk menompang biaya hidup di pondok, Mas’ud membeli kitab-kitab kuning masih kosong lalu ia memberi makna yang sangat jelas dan mudah dibaca. Satu kitab kecil semacam Fathul Qorib, ia jual Rp 2,5,-(seringgit), hasil yang lumayan untuk membiayai hidup selama 15 hari di pondok itu.
Setelah empat mondok di Mojosari, Mas’ud kemudian dijodohkan dengan Ning Badriyah putri Kyai Khozin, Widang, Tuban (ipar Kyai Zainuddin). Namun rupa-rupanya antara Kyai Khozin dan Kyai Zainuddin saling berebut pengaruh agar Mas’ud mengajar di pondoknya. Di tengah kebingungan itulah, Mas’ud berangkat haji sekaligus menuntut ilmu langsung di Mekkah.
H. Djazuli, demikian nama panggilan namanya setelah sempurna menunaikan ibadah haji. Selama di tanah suci, ia berguru pada Syeikh Al-‘Alamah Al-Alaydrus di Jabal Hindi. Namun, ia di sana tidak begitu lama, hanya sekitar dua tahun saja, karena ada kudeta yang dilancarkan oleh kelompok Wahabi pada tahun 1922 yang diprakasai Pangeran Abdul Aziz As-Su’ud.
Di tengah berkecamuknya perang saudara itu, H. Djazuli bersama 5 teman lainnya berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah. Sampai akhirnya H. Djazuli dan kawan-kawannya itu ditangkap oleh pihak keamanan Madinah dan dipaksa pulang lewat pengurusan konsulat Belanda.
Sepulang dari tanah suci, Mas’ud kemudian pulang ke tanah kelahirannya, Ploso dan hanya membawa sebuah kitab yakni Dalailul Khairat. Selang satu tahun kemudian, 1923 ia meneruskan nyantri ke Tebuireng Jombang untuk memperdalam ilmu hadits di bawah bimbingan langsung Hadirotusy Syekh KH. Hasjim Asya’ri.
Tatkala H. Djazuli sampai di Tebuireng dan sowan ke KH. Hasjim Asya’ri untuk belajar, Al-Hadirotusy Syekh sudah tahu siapa Djazuli yang sebenarnya, ”Kamu tidak usah mengaji, mengajar saja di sini.” H. Djazuli kemudian mengajar Jalalain, bahkan ia kerap mewakili Tebuireng dalam bahtsul masa’il (seminar) yang diselenggarakan di Kenes, Semarang, Surabaya dan sebagainya.
Setelah dirasa cukup, ia kemudian melanjutkan ke Pesantren Tremas yang diasuh KH. Ahmad Dimyathi (adik kandung Syeikh Mahfudz Attarmasiy). Tak berapa lama kemudian ia pulang ke kampung halaman, Ploso. Sekian lama Djazuli menghimpun “air keilmuan dan keagamaan”. Ibarat telaga, telah penuh. Saatnya mengalirkan air ilmu pegetahuan ke masyakrat.
Dengan modak tekad yang kuat untuk menanggulangi kebodohan dan kedzoliman, ia mengembangkan ilmu yang dimilikinya dengan jalan mengadakan pengajian-pengajian kepada masyarakat Ploso dan sekitarnya. Hari demi hari ia lalui dengan semangat istiqamah menyiarkan agama Islam.
Hal ini menarik simpati masyakarat untuk berguru kepadanya. Sampai akhirnya ia mulai merintis sarana tempat belajar untuk menampung murid-murid yang saling berdatangan. Pada awalnya hanya dua orang, lama kelamaan berkembang menjadi 12 orang. Hingga pada akhir tahun 1940-an, jumlah santri telah berkembang menjadi sekitar 200 santri dari berbagai pelosok Indonesia.
Pada jaman Jepang, ia pernah menjabat sebagai wakil Sacok (Camat). Di mana pada siang hari ia mengenakan celana Goni untuk mengadakan grebegan dan rampasan padi dan hasil bumi ke desa-desa. Kalau malam, ia gelisah bagaimana melepaskan diri dari paksaan Jepang yang kejam dan biadab itu.
Kekejaman dan kebiadaban Jepang mencapai puncaknya sehingga para santri selalu diawasi gerak-geriknya, bahkan mereka mendapat giliran tugas demi kepentingan Jepang. Kalau datang waktu siang, para santri aktif latihan tasio (baris berbaris) bahkan pernah menjadi Juara se-Kecamatan Mojo. Tapi kalau malam mereka menyusun siasat untuk melawan Jepang. Demikian pula setelah Jepang takluk, para santri kemudian menghimpun diri dalam barisan tentara Hisbullah untuk berjuang.
Selepas perang kemerdekaan, pesantren Al-Falah baru bisa berbenah. Pada tahun 1950 jumlah santri yang datang telah mencapai 400 santri. Perluasan dan pengembangan pondok pesantren, persis meniru kepada Sistem Tebuireng pada tahun 1923. Suatu sistem yang dikagumi dan ditimba Kyai Djazuli selama mondok di sana.
Sampai di akhir hayat, KH. Ahmad Djazuli Utsman dikenal istiqomah dalam mengajar kepada santri-santrinya. Saat memasuki usia senja, Kyai Djazuli mengajar kitab Al-Hikam (tasawuf) secara periodik setiap malam Jum’at bersama KH. Abdul Madjid dan KH. Mundzir. Bahkan sekalipun dalam keadaan sakit, beliau tetap mendampingi santri-santri yang belajar kepadanya. Riyadloh yang ia amalkan memang sangat sederhana namun mempunyai makna yang dalam. Beliau memang tidak mengamalkan wiridan-wiridan tertentu. Thoriqoh Kyai Djazuli hanyalah belajar dan mengajar “Ana thoriqoh ta’lim wa ta’allum,”katanya berulangkali kepada para santri.
Hingga akhirnya Allah SWT berkehendak memanggil sang Blawong kehadapan-Nya, hari Sabtu Wage 10 Januari 1976 (10 Muharam 1396 H). Beliau meninggalkan 5 orang putra dan 1 putri dari buah perkawinannya dengan Nyai Rodliyah, yakni KH. Achmad Zainuddin, KH. Nurul Huda, KH. Chamim (Gus Miek), KH. Fuad Mun’im, KH. Munif dan Ibu Nyai Hj. Lailatus Badriyah. Ribuan umat mengiringi prosesi pemakaman sosok pemimpin dan ulama itu di sebelah masjid kenaiban, Ploso, Kediri.
Konon, sebagian anak-anak kecil di Ploso, saat jelang kematian KH. Djazuli, melihat langit bertabur kembang. Langit pun seolah berduka dengan kepergian ‘Sang Blawong’ yang mengajarkan banyak keluhuran dan budi pekerti kepada santri-santrinya itu.

Masa Menuntut Ilmu Agama

HIJRAH KE PESANTREN

Mas’ud sudah resmi menetap di Batavia. Dari tempat yang jauh itu terkadang ia terbayang kampung halamannya. Teringat akan ayah ibunya, saudara‑saudaranya atau teman sebayanya. Dalam hati ia bertekad tak akan mengecewakan harapan orang tuanya. “Daku harus belajar dengan sungguh‑sungguh, aku harus berhemat agar orang tuaku tak memikul beban yang berat, aku harus pulang sukses, dengan menggondol nama kebesaran Dr. Mas Mas’ud Utsman. ” Pernyataan itulah yang selalu dicamkan dalam hatinya. la membayangkan betapa bangga dan bahagianya kedua orangtua dan saudara‑saudaranya bila kelak dirinya sukses menjadi seorang Sarjana, keluarganya akan turut terhormat.

Tiba‑tiba sepucuk surat datang. Sebuah surat dari Ploso. Kabar apa gerangan yang disampaikan oleh keluarganya dalam surat tersebut. Sebagaimana lazimnya seorang mahasiswa yang jauh dirantau, hatinya dag‑dig‑dug harap‑harap cemas, karena tak mampu menahan rasa penasaran.

Isi surat itu sungguh diluar dugaan, Mas’ud diminta segera pulang ke Ploso, padahal kehadirannya di Batavia belumlah lama.

Pak Naib beserta istri tengah menunggu kedatangan anaknya di Ploso. Dari hari ke hari sejak surat telah terkirim pasangan suami istri itu terus menunggu dengan sabar. Akhimya datang juga yang ditunggu‑tunggu.

Mas’ud merasa lega dan bahagia berada kembali di tengah‑tengah keluarganya, demikian pula kedua orang tuanya merasa bersyukur nienerima kedatangan anaknya dengan selamat. Pak Naib tahu kalau Mas’ud sangat lelah diperjalanan, oleh karena itu disuruhnya makan terlebih dahulu dan kemudian istirahat secukupnya. Rasanya belum pantaslah untuk melakukan pembicaraan serius dalam kondisi lelah seperti itu. Namun diam‑diam sebenarnya kedua orang tua itu menyimpan tanda tanya besar yang belum terjawab. Bagaimanakah perasaan Mas’ud dengan digagalkannya kuliah di Fakultas Kedokteran? Tidakkah anak itu kecewa atau putus asa? Dan macam‑macam peraasan berkecamuk di hati kedua orang tua itu.

Akan tetapi keduanya telah mantap dalam mengambil keputusan bahwa saran Kyai Ma’ruf mesti dilaksanakan dan tak dapat ditawar‑tawar. Doa selalu dipanjatkannya kepada Allah semoga Mas’ud diberi‑Nya petunjuk untuk menerima kebenaran.

Kemudian setelah semuanya merasa tenang, Pak Naib, Bu Naib dan Mas’ud duduk bersama, layaknya bagaikan sidang kecil‑kecilan. “Ada yang perlu kita bicarakan,” begitulah Pak Naib & mengawali pembicaraan. Lalu Pak Naib menceritakan apa yang teriadi selama Mas’ud tidak ada di rumah. Bahwa Kyai Ma’ruf tidak nienyetujui perihal kuliahnya di Fakultas Kedokteran, Orang tua itu menjelaskan keinginan nya agar Mas’ud melepaskan cita-citanya untuk menjadi dokter. Kini dia harus pindah kedunia baru, dunia Pondok Pesantren. Mas’ud terdiam sambil merunduk hormat, tetapi dalam benaknya dia tengah memikirkan jawaban apa yang akan disampaikannya. Rasanya tak mungkin dia akan membantah keinginan orang tuanya, lebih‑lebih pencetusnya adalah Kyai Ma’ruf seorang ‘ulama yang disegani oleh setiap orang termasuk Pak Naib serta Mas’ud sendiri. Apalagi sebagai anak yang berbakti kepada ibu bapaknya tak akan ada pilihan lain kecuali menyerah sebulat‑bulatnya mentaati apa yang diperintahkan kedua orang tuanya.

Kemudian Mas’ud menjawab dengan pasti tanpa ada keraguan, dia tak keberatan dengan kehendak orang tuanya. Suatu jawaban yang tulus ikhlas bukan atas dasar keterpaksaan.

Pak Naib dan Bu Naib sangat terharu dan senang. Alhamdulillah, gayung telah bersambut. Seketika itu beliau terkenang kemballi kepada nasihat‑nasihat Kyai Ma’ruf. Dahulu Kyai itulah yang menganjurkan kepadanya untuk rajin‑rajin bersilaturohmi dengan pari ‘ulama agar anaknya menjadi orang alim, Ialu Kyai itu pula yang menganjurkan Mas’ud untuk pindah ke Pesantren. Harapan-harapannya sebagai orang tua diwarnai perasaan optimis, mungkin Mas’ud inilah yang akan muncul sebagai kenyataan dari firasat Kyai Ma’ruf. Pak Naib hanyut dengan perasaannya sendiri, dalam hati beliau berdo’a semoga anaknya benar‑benar menjadi anak yang sholeh, berilmu dan beramal. Sehingga kelak dihari akhirat anak ini akan tampil sebagai penolong dari segala kesulitin yang menimpa. Beliau terus berdo’a dan berdo’a.

Bagaimana dengan Mas’ud? Kecewakah ia ? Cengsi kah ia dikatakan dokter droup out? Tidak! Tidak sania sekali, Mas’ud h.ukan anak kecil lagi. Dia sudah etikup de‑wasa menghadapi berbagai persoalan. Dia percaya orang tuanya punya niat yang baik, cinta dan kasih orang tuanya tak pernah diragukannya. “Ridlo orang tua jaminan kesuksesan,” begitu semboyannya. Dia nampak sangat siap untuk segera memasuki pintu gerbang Pondok Pesantren.

***

Mas’ud memasuki dunia Pondok Pesantren setelah menginjak dewasa, usianya sudah mencapai hampir 16 tahun. Tetapi pemuda yang selalu haus dahaga akan ilmu pengetahuan itu bergumam It’s never late to learn (Tak ada istilah terlambat untuk belajar). Bukankah Rasulullah Saw telah bersabda :

اطلب العلم من المهد الى اللحد

“Tuntutlah ilmu sejak dari buaian ibu sampai ke liang lahad.” Nabi Muhammad Saw telah mencanangkan Long life education jauh sebelum dunia barat menemukannya.

Dengan ucapan bismillahirrohmannirrohim berangkatlah ia ke Pondok Gondanglegi diantarkan Pak Naib dengan mengendarai dokar yang ditarik si Konang. Maka resmilah Mas’ud diterima sebagai murid KH Ahmad Sholeh Condanglegi Nganjuk, seorang ulama yang terkenal alim dalam bidang ulumul qur’an.

Di Pondok inilah Mas’ud mendalami ilmu‑ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an khususnya tajwid disamping ia juga belajar kitab Al‑Ajrumiyah pelajaran tata bahasa Arab tingkat dasar dan lebih dikenal dengan nama ilmu Nahwu.1

Perlu diketahni bahwa ada sesuatu yang ajaib yang hanya dapat dirasakan oleh orang‑orang yang belajar ilmu agama dengan penuh kesungguhan disertai dengan himmah yang tinggi. Ketika telah diperoleh kefahaman, kemudian ilmu itu masuk ke dalam dada, meskipun cuma setetes terasa nikmat luar biasa, tenang dan tenteram terasa dihati, seolah‑olah perkara lain tak ada artinya sama sekali. Sangat berbeda dengan belajar ilmu‑ilmu dunia saja, kian menumpuk pengetahuan yang didapat malahan seringkali mendatangkan kegelisahan. Terbayanglah ijazah, terbayanglah gelar, kekuasaan, kemewahan dan istri cantik. Dan tatkala ilmu‑ilmu dunia telah sampai pada klimaksnya, jadilah pemiliknya seorang pakar yang dikagumi. Lambat laun sang pakar merasakan kehebatan dirinya, terkadang dianggaplah dirinya sebagai The best (yang terbaik) dan tak terkalahkan lagi sedangkan orang lain dianggap sepele dan bodoh. Itulah awal kesombongan dan keangkuhan yang membawa kesesatan. Tidak jarang yang akhirnya tergelincir tidak menjalankan ibadah lupa pada Tuhan.

Agaknya sejak di Gondanglegi Mas’ud sudah merasakan nikmat dan lezatnya ilmu agama, dia telah mabuk kepayang di lautan ilmu Allah yang tidak mengenal batas. Bukankah sebelum masuk Pesantren dia telah mengalami bagaimana rasanya menjadi pelajar dan mahasiswa? dipuja dan disanjung oleh orang lain. Semua itu tak ada artinya sama sekali apabila dibandingkan dengan kenikmatan yang dirasakan di Pesantren.

Diapun berjanji dalam hati untuk bersungguh-sungguh menekuni pelajaran. Konon, selama belajar di Pondok Mas’ud tak pernah tidur dengan sengaja. la hanya tidur apabila tertidur. Hampir seluruh waktunya untuk belajar dan terus belajar. Itulah sebabnya dia sudah mampu menguasai ilmu‑ilmu Al-Qur’an dan kitab Al‑Ajrumiyah hanya dalam tempo 6 bulan saja.2)

***

Dasar ilmu Nahwu sudah dikantonginya di Gondanglegi. la ingin mencari lagi dasar ilmu shorof, sebab ada makalah yang mengatakan Nahwu adalah apak ilmu pengetahuan sedang shorof adalah ibunya. Berarti Mas’ud baru berhasil meraih bapak ilmu, pantaslah kalau ia segera pamit dari Gondanglegi untuk selanjutnya belajar di Pondok Sono‑Sidoarjo.3) Pondok kedua yang dimasukinya ini sangat terkenal menonjol dalam bidang ilmu shorof khususnya pelajaran Tashrifan, Di Pondok inilah Mas’ud khusus belajar tashrif. Tidak didapatkan keterangan yang pasti mengenai. berapa lama ia belajar di Pondok ini, yang jelas tidak sampai setahun.

Akhirnya ia kembali lagi ke daerah Nganjuk ingin melanjutkan di Pondok Mojosari, berguru kepada Kyai Zainuddin yang sangat masyhur dimasa itu. Namun sebelumnya dia sempat mondok di Sekarputih Nganjuk untuk beberapa lama menimba ilmu dari KH Abdul Rohman pengasuh pondok tersebut. Pemuda Mas’ud sang pendatang baru di dunia Pondok Pesantren ini nampaknya benar‑benar haus akan ilmu agama, ia ingin mengejar ilmu dimanapun berada dari satu tempat ke tempat yang lain. Bagaikan seorang pemburu yang tak mengenal ngarai, tebing dan jurang.
MOJOSARI PENUH KENANGAN

Mengiktiti kisah panjang perjalanan hidup pemuda Mas’ud belumlah lengkap kalau tidak mengungkap cerita Pondok Mojosari sekaligus Kyai Zainuddin pengasuhnya, karena dipondok inilah Mas’ud menemui jati dirinya sebagai calon ulama dikemudian hari. Ke pondok inilah dia melanjutkan petualangan mencari ilmu setelah dari Gondanglegi, Sono dan Sekarputih. Dari tujuh pondok yang disinggahinya selama hidup pondok inilah yang paling lama ia huni. Sampai akhirnya ia mempersunting putri angkat Kyai Zainuddin guru utamanya. Apabila anda hanya menggunakan akal, mungkin tak akan percaya kalau Pondok Mojosari telah menelorkan banyak ulama. Apalagi kita hanya memandang lewat kacamata sistem pendidikan modern belaka.

Pondok berusia tua yang didirikan oleh KH. Ali Imron beratus‑ratus tahun yang lampau ini memang tergolong cukup antik dan aneh (kontroversial). Bila anda datang bertamu kesana mungkin akan merasa kaget atau asing. Seringkali ada tamu atau santri baru yang datang langsung disambut oleh para santri Mojosari, Ialu digendong beramai‑ramai sambil dibacakan sholawat. Bila santri barit ini berani membalas dengan kata‑kata kontan dimasukkan kedalam kamar dan diambilkan pentung, kemudian penggojlokan dilanjutkan. Tidak main‑main apabila masih berani juga bisa dipentung sungguhan sampai tunduk.4)

Oleh‑oleh berupa rokok, jajan atau uang recehan tak segan‑segan diminta oleh santri dan dikeroyok dibagi rata beramai‑ramai. Saat penulis mengadakan penelitian ke pondok ini, suasana semacam itu masih terjadi.

Banyak tamu menjadi malu, jengkel bahkan marah, sehingga mengadukan hal ini Iangsung kepada Kyai. Pada zaman Kyai Zainuddin’ masih memangku pondok, beliau sering memarahi santrinya yang bertingkah kurang etis tersebut, bahkan sampai memukul‑mukul dengan tongkat. Akan tetapi tradisi itu tak pernah sembuh, hanya sempat berkurang dan kambuh lagi. Akhirnya Kyai pasrah menganggapnya sebagai suatu suratan pembawaan dari pondok Mojosari. “Biarkah saja mereka nakal, ibarat padi mereka inasih muda wajarlah kalau tengadah, nanti jika mereka sudah berisi akan merunduk dengan sendirinya,” begitu ungkapan beliau.5)

Namun santri Mojosari mengaku bahwa sama sekali tak ada maksud negatif apalagi akan menyakiti kepada para tamu atau santri baru, gojlokan hanyalah suatu tradisi yang maksudnya untuk melatih kesabaran dan memperkuat mental dalam menerima cobaan. Sebagaimana layaknya perpeloncoan untuk mahasiswa baru di universitas.

Suasana setiap hari di Pondok Mojosari sangat berbeda dengan pondok‑pondok Salafiyah pada umumnya. Di pondok ini tidak nampak santri‑santri tekun belajar, melakukan riyadloh atau tirakat puasa, ngrowot, mutihan dan sebagainya. Banyak santri yang bergerombol bersenda gurati, ngobrol dengan bebas, yang penting mereka mengaji dengan tertib dan rajin sholat berjamaah.

Namun bukan berarti permasalahan ukhuwah sesama santri diabaikan. Bahkan suasana keakraban dan persamaan nasib nampak sangat menonjol. Tidak ada seorang santripun dapat menyimpan jajan untuk dimakan besok pagi, semuanya mesti dibagi‑bagi.

Ada lagi yang lebih antik, pada zaman dahulu belum ada fasilitas kamar mandi dan WC, jadi para santri seluruhnya mandi ke sungai. Sudah lumrah bagi santri Mojosari apabila telanjang bulat dari kamarnya bergerombol menuju sungai, padahal santri‑santri pada zaman itu sudah besar‑besar, suatu pemandangan yang sungguh mengerikan. Terkadang mereka ke sungai sambil mencari ikan dan tentu saja hasilnya buat dimakan keroyokan. Solidaritas (persaudaraan) sesama santri tidak hanya sampai disitu, sudah menjadi kebiasaan pula apabila mereka merokok terjadilah salome (satu batang ramai‑ramai) dan banyak lagi contoh yang lain.6)

***

Keantikan Pondok Mojosari ini ada asal usulnya.7) Alkisah, KH Ali Imron asal Grobogan Purwodadi Semarang tatkala masih muda pergi berguru kepada Kyai Salimin di Lasem Jawa Tengah. Suatu malam Kyai Salimin keluar melihat‑lihat santrinya yang tengah nyenyak tidur dilokasi pondok. Tiba‑tiba beliau melihat pancaran sinar yang keltiar dari balik sarung seorang santri. Beliau mendekati santri tersebut dan sarungnya diikatkan, Ialu esok paginva semua santri ditanya. Ternyata si empunya sinar adalah Ali Imron. Oleh karena itu setelah dirasa cukup ilmu yang diperoleh Kyai Salimin memilihnya menjadi menantu dan menugaskannya untuk membuka hutan di daerah Nganjuk dan kemudian didirikan Pondok Pesantren yang tak lain adalah Pondok Mojosari sekarang ini.

Demi pengabdian kepada ilmu dan ta’dzim kepada gurunya, Kyai Ali Imron berangkat menuju lokasi yang diperintahkan. Dijalaninya tirakat luar biasa sampai bertahun‑tahun lamanya di tengah hutan belantara yang sangat angker. Menghadapi para penghuni rimba raya yang terdiri dari macan, ular jin dan hantu bukan perkara yang ringan. Rupanya Kyai Ali Imron sangat dekat dengan Allah Sang pemilik hutan dan jagat raya, sehingga tak satupun makhluk jahat yang sanggup merintanginya dan akhirnya sukseslah beliau mengemban amanat guru sekaligus mertuanya. Tirakatnya benar‑benar mengeluarkan daya kekuatan bathin yang luar biasa dan doa‑doanya sangat makbul.

Di tengah‑tengah tirakat yang amat berat itulah beliau mengucapkan rangkaian kalimat nadzar. “Santri‑santri yang belajar di Pondok ini kelak, tak perlu puasa dan tirakat macam‑macam, seluruh tirakat aku yang menanggung. Pokoknya mereka mau mengaji dengan tekun disini, Insya Allah diberkahi”. Sebuah nadzar yang makbul dan menjadi kenyataan dikemudian hari.

Mantapnya keyakinan para santri Mojosari akan keampuhan nadzar Kyai Ali Imron lambat laun membawa warna lain di Pondok Mojosari. Para santri benar‑benar tidak menjalani tirakat semata‑mata mengandalkan tirakatnya sang pendiri pondok. Ciri khas ini terus berkesinambungan dari generasi ke generasi sampai sekarang. Tak terkecuali pada priode kepemimpinan KH. Zainuddin, tatkala Mas’ud menuntut ilmu di pondok tersebut.

SIAPAKAH KYAI ZAINUDDIN?

KH. Zainuddin berasal dari Padangan Bojonegoro ‑ jatim dimasa mudanya ia belajar di Pondok Langitan Babat, Sudah menjadi tradisi yang baik di kalangan para ulama untuk menjodohkan putrinya dengan santri‑santri berbobot., Begitu pula dengan Kyai Zainuddin, karena prestasinya yang menonjol beliau Ialu dijadikan menantu oleh gurunya, kemudian diutus untuk meneruskan kepemimpinan Pondok Mojosari.

Beliau tampil pada urutan kelima sebagai pengasuh terhitung dari KH Ali Imron sang pendiri pondok. Berkat kepribadian dan kepemimpinan Kyai Zainuddin yang agung nama pondok Mojosari melejit ke segenap penjuru.

Beliau dikenal oleh masyarakat sebagai waliyulloh, namun aktivitas sehari‑harinya tak beda dengan petani-petani desa yang bersahaja, karomahnya tak pernah dibuat pameran. Bahkan beliau lebih nampak sebagai seorang ulama syari’ah yang kokoh, tugas‑tugasnya dijalankan dengan disiplin dan istiqomah. Setelah selesai mengajar di malam hari, sekitar pukul 22.00 beliau istirahat dan bangun jam 02.00 akhir malam, beliau menjalankan tahajjud, tilawatil Qur’an dan lain‑lain, mendekatkan diri kepada Allah Swt sampai menjelang shubuh. Terkadang selepas ibadah tengah malam, beliau keluar dari rumah mungkin sebagai refreshing dari rasa penat. Lalu beliau berputar‑putar di sekitar pekarangan yang dipadati dengan pohon buah‑buahan. Beliau mengumpulkan sawo, jambu dan sebagainya yang jatuh akibat bosok atau sisa kelelawar. Makanan itu cukup Iezat untuk sarapan ternaknya besok pagi. Tatkala fajar menyingsing beliau berkeliling membangunkan santri di Pondok, disebutnya nama masing‑masing santri yang dibangunkannya. Begitu banyak nama santri yang mampu beliau hafal. Apabila musini dingin telah tiba, biasanya santri agak sulit bangun pagi, untuk mengatasinya Kyai Zainuddin tak pernah kehilangan taktik. Beliau keliling membawa wadah air dan selembar serbet. Serbet yang sudah dibasahi itu kemudian ditempelkannya atau diteteskan airnya ke tubuh siapa saja yang belum bangun, tak peduli tamu atau bukan. Beliau memang memiliki sifat humor sehingga santri‑santri menjadi sangat akrab dengannya. Santri yang terkejut merasakan tetesan air sangat dingin itu mulai bergerak bangun, namun lucunya Kyai Zainuddin dengan sigap segera bersembunyi di balik pintu tak beda dengan anak‑anak yang bermain kucing‑kucingan. Apabila si santri merapikan kembali selimut atau sarungnya, karena enggan bangun, dengan sangat sabar beliau mengulangi tetesan-tetesan berikutnya sampai akhirnya si santri bangun dengan sendirinya. Untuk santri‑santri yang masih juga membandel diteteskannya minyak tanah dari sumbu lampu kaleng bekas yang dipergunakan para santri zaman listrik belum menyebar itu. Si santripun bisa marah seketika sambil berteriak: “Wo nakal ! Mbeling nganggo lengo gas.”

Dan si santri hanya bisa tersenyum tersipu‑sipu malu ketika tahu pelakunya adalah Kyai yang mengajak sholat. Begitu juga ketika adzan Dhuhur berkumandang Kyai Zainuddin naik ke masjid lebih awal dan dengan penuh kesabaran beliau memanggil‑manggil santrinya selama hampir satu jam. “Ayo sholat Co, Ayo sembahyang Co,” seru beliau berulang‑ulang. 8)

Pengajian yang beliau asuh amat banyak, dari kitab kecil sampai yang besar. Usai pengajian di pagi hari beliau mengganti pakaian dan memegang sapu. Disapunya halaman, kandang sapi, kandang kambing, ayam, bebek dan kuda. Beliau sangat suka memelihara binatang dari sapi sampai kucing, seakan‑akan rumahnya mirip kebun binatang. Walaupun ada pembantu yang bertugas merawat dan memberi makan binatang‑binatang peliharaannya, beliau sendiri turun tangan membagi‑bagi makanan menunjukkan bahwa Kyai ini benar‑benar seorang penyayang binatang. Kedisiplinannya pada kebersihan sungguh mengagumkan, sehingga kandang-kandang binatang itu tak terkesan kotor sama sekali, apalagi halaman atau kamar-kamar rumahnya.

Adalah budi pekerti yang pantas diteladani disaat-saat kita sebagai umat Muhammad merasa bangga punya agama yang menjunjung kesucian dan kebersihan. Akan tetapi rumah kita lebih kotor dari orang Majusi. Kita gantung kaligrafi bertuliskan sabda Nabi Saw

النَّظَفَةُ مِنَ اْلاِيْمَانِ

Namun sampah berserakan dibawahnya. Kyai Zainuddin tidak hanya pandai menganjurkan sunah Rosul, tetapi beliau praktekkan sendiri dalam kehidupan, sesuai dengan nasihat yang sering disampaikannya kepada para santri Co, ojo Iali karo ayat :

أَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ

(Apakah kamu perintah orang lain untuk berbuat baik, padahal kamu melupakan dirimu sendiri)

Syariat Islam dijalankannya dengan nyata dan konsekuen. Untuk keperluan hidup sehari‑hari beliau mengolah tanah pertanian secukupnya, beliau sendiri sering memegang pacul menanam singkong, jagung atau pisang. Beliau tidak menunjukkan tingkah khoriqul ‘adah dihadapan masyarakat.9)

Akan tetapi sepandai‑pandai menyimpan durian, tercium juga baunya. Begitu juga halnya Kyai Zainuddin, banyak ulama arif mengakui kewaliannya. Pada suatu ketika KH Hasyim Asy’ari (Pendiri dan Rois Akbar NU) membuat surat edaran untuk meluruskan acara perayaan Maulid Nabi, berhubung Mauludan di Pondok Mojosari dinilai kurang Islami. Konon para santri Mojosari mengadakan pertunjukan wayang wong, kuda lumping, pencak, ketoprak dan sebagainya untuk memeriahkan perayaan Maulid. Seponsornya adalah santri‑santri dari Blitar, Jombang, Ponorogo dan Banyumas. Setelah surat edaran siap dikirim, malam harinya Kyai Hasyim bermimpi bahwa alim ulama seluruh Indonesia sholat berjamaah di sebuah masjid jami. Dengan jelas beliau melihat yang bertindak selaku imam adalah Kyai Zainuddin Mojosari. Surat edaran tersebut praktis tidak jadi dikirim, sebab pada dasarnya Kyai Hasyim cukup segan terhadap Kyai Zainuddin yang merupakan guru dari KH. Wahab Hasbullah pendiri NU dan Rois Aam setelah KH. Hasyim Asy’ari.* Tentu saja terdapat rasa sungkan ditubuh NU untuk mengatur (menegur) gurunya sendiri.

Ketenaran nama Kyai Zainuddin ternyata membawa dampak lain. Sehubungan dengan kewaliannya itulah, banyak orang datang mohon ijazah do’a, namun beliau tetap mengaku tidak punya do’a khusus dan memang seperti itulah yang dapat disaksikan, beliau bukan ahli thoriqot. Bila ada orang yang datang minta ijazab do’a beliau spontan menjawab . “Enggih sampun kulo ijazahi”. Entahlah apakah memang benar sudah atau belum Wallobu a’lam bishshowab.

HARI‑HARI PERTAMA DI MOJOSARI

Gaung Pondok Mojosari menggema terdengar di segenap penjuru, banyak ulama merupakan alumni pondok ini bahkan hampir setiap alumni pondok ini setelah pulang mesti mengajar bagaimanapun bentuknya. Antik dan unik merupakan identitas pondok Mojosari yang sudah tak asing lagi dan diakui oleh masyarakat. Maka datanglah para santri dari daerah‑daerah yang jauh di Pulau jawa seperti Surabaya, Banyumas, Cirebon dan sebagainya. Walaupun demikian jumlah santri pada masa Kyai Zainuddin terbatas antara 200 sampai 250 orang.

Tentu saja Mas’ud yang selalu mengikuti informasi pesantren mengetahui secara detail tentang Pondok Mojosari karena pondok yang pertama kaii dimasukinya adalah Gondanglegi dimana Kyai Sholeh pengasuhnya masih mempunyai hubungan keluarga dengan Kyai Mojosari. Nampaknya Mas’ud telah lama menyimpan keinginannya untuk menjadi santri pondok favorit ini, dan iapun datang ke Mojosari. Sayang perjalanannya tak mulus, ia harus menerima kenyataan dan bersabar memecahkan problema yang menimpa dirinya. Masalahnya bekal yang diberikan Pak Naib tak mencukupi untuk tinggal di Pondok. Uangnya terlalu minim untuk dapat membayar iuran kamar dan biaya‑biaya yang lain. Mas’ud memang anak yang nerimo dan tak suka membebani orang tuanya. Oleh karena itu ia tak pemah minta dana tambahan. Dengan bekal sedikit itu dia ingin terus maju, Dimana ada kemauan disitu ada jalan seolah‑olah begitulah prinsipnya. Bukankah jalan menuju sorga itu dipenuhi onak dan duri ? Sebagaimana sabda Rosululloh Saw

خُفَّةِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهْوَاتِ (رواه مسلم)

(Sorga itu dikelilingi dengan duka derita, dan neraka itu dikelilingi dengan hawa nafsu (Muslitn)

Mengingat ketidakmampuan membayar inilah maka ja memutuskan untuk tinggal di langgar Pucung yang terletak tidak jauh di selatan pondok. Dari tempat inilah ia mengikuti kegiatan belajar di pondok dengan pulang pergi.10)

Menurut riwayat yang lain bertempatnya Mas’ud diluar pondok gara‑gara ia takut menerima gojlokan. Memang gojlokan yang biasa diterima oleh para santri baru seperti telah dipaparkan sebelumnya cukup mengerikan. Sehingga banyak yang bertahan tinggal di Pondok cuma sehari semalam saja. Bayangkan, ada santri baru diketahui takut melihat ulat, malahan semakin ditempelkan ulat di tubuhnya. Tanpa sadar santri tersebut berteriak‑teriak berlari tunggang langgang dalam keadaan telanjang.

Sementara diam‑diam Kyai Zainuddin selalu memperhatikan gerak‑gerik santri baru yang berasal dari Ploso ini. Agaknya ada sesuatu yang menarik pada diri Mas’ud dan suatu ketika terjadilah pertemuan dan dialog :*)

Kyai Zanuddin : “Co, endang ning pondok”

Mas’ud : “Kulo boten gadah sangu Yai”.

Kyai Zainuddin : “Ayo, Co … besok kowe arep dadi Blawong, Co!”

Mas’ud tidak mengerti apa artinya Blawong, namun ia hanya diam seribu bahasa, rupanya ia tengah berfikir tentang posisinya yang amat sulit, hendak ke pondok uang kiriman tak akan cukup sebaliknya jika tetap di Langgar Pucung berarti tidak taat pada gurunya. Oleh karena itu predikat Blawong untuk dirinya hanya melintas sekilas dibenaknya. la sudah mengerti bahwa Kyai Zainuddin sering memberi julukan kepada santri barunya dan selanjutnya Kyai itu lebih suka memanggil dengan nama julukan ketimbang nama aslinya. Tentu saja bukan sekedar guyonan, akan tetapi sebagai seorang waliyullah beliau dikenal dapat menembus hal‑hal yang bersifat bathiniah, termasuk pribadi dan hari depan masing‑masing santrinya.

Sumber yang lain menceritakan bahwa sebeltim Mas’ud sowan (menghadap) Kyai, terlebib dahulti Kyai berangkat ke Ploso untuk menemui Pak Naib sekeluarga, “Mas’ud itu Blawong”, kata Kyai Zainuddin kepada Pak Naib.

“Tolong supaya benar‑benar diperhatikan kebutuhannya”.11)

Lucunya ketika Mas’ud sowan kepada Kyai, bukan Mas’ud yang menyampaikan salam dari orang tuanya di Ploso, melainkan Kyai Zainuddin terlebih dahulu mengawali pembicaraan dengan mengatakan “Salam dari ibu‑bapakmu “.

Agaknya Kyai Zainuddin menganjurkan Mas’ud pindah ke pondok bukan sekedar basi‑basi. Sampai tiga kali beliau mendesak Mas’ud untuk bertempat di pondok sampai akhirnya murid itu benar‑benar taat pada perintah gurunya. Kyai menempatkannya di sebuah kamar berslama sama Zaini, Sobiri dan Baidowi yang temasuk orang-orang dekat Kyai sekaligus murid-murid kesayangan beliau yang kelak dikemudian hari tampil sebagai Kyai sukses di tempatnya masing‑masing.12)

GARA‑GARA FATHUL QORIB KIAN SPIRIT13)

Sudah setahun lebih Mas’ud tidak pulang. Sebagaimana anak rantauan dia kangen kepada keluarga, rindu akan kampung halaman. Pikirannya terasa kurang konsentrasi kepada pelajaran, maka pulanglah ia ke Ploso untuk bersilaturrohmi dengan ayah‑ibu, saudara dan sanak famili. Tentu saja Pak Naib sekeluarga merasa sangat senang menerima kedatangannya berhubung lama sudah tak jumpa. Masing‑masing dapat melepaskan perasaan rindunya dan saling menceritakan keadaan selama perpisahan.

Sudah bisa dipastikan Pak Naib mesti melahirkan kebiasaannya dengan menyembelih ayam. Namun kali ini lebih istimewa, yang disembelih bukan sembarang ayam, tetapi ayam jago yang sudah dikebiri, berarti bukan sekedar untuk Mas’ud, agaknya seperti ada acara penting.

Betul saja, ternyata Pak Naib mengadakan selamatan atas pulangnya Mas’ud dari Pondok. Diundangnya pemuka Masyarakat dan dua orang Kyai yaitu Kyai Pondok Kemayan dan Kyai Pondok Kalianyar, tak ada yang tahu apa niat Pak Naib dengan acara kendurinya.

Pada jam yang ditentukan para undangan telah duduk dengan rapi, Mas’ud dipanggil untuk ikut makan bersama. Tiba‑tiba setelah acara jamuan makan usai, Pak Naib menyampaikan maksud acara.

“Nyuwun sewu Pak Kyai,” kata Pak Naib menghadap dua orang Kyai di depannya. Semua mata tertuju ke arah Pak Naib. “Anak saya ini sudah setahun di Pondok Mojosari, coba Pak Kyai uji kemampuannya, apakah sudah bisa mengaji atau belum?” lanjut Pak Naib yang membuat para hadirin serentak tercengang. Sementara Mas’ud tertunduk, gemetar, kaget dan gugup karena merasa dirinya belum punya kemampuan apa‑apa. Hampir saja apa yang barusan dimakannya berhamburan keluar dari mulutnya.

Dia tidak bisa menghindar, kecuali harus membaca kitab taqrib yang disodorkan kepadanya. Sejak itu Mas’ud bertekad tak akan pulang kalau belum siap dengan kemampuannya. Apabila rasa rindunya kepada keluarga sudah tak tertahan lagi atau ada keperluan yang sangat mendesak terpaksalah ia pulang ke rumah Roihah, adiknya yang sudah menikah dengan H. Abdul Hamid di desa Kemayan (empat km ke arah selatan Ploso). Dari sanalah ia mengutus adiknya untuk menyampaikan pesannya ke Ploso.

Pengalaman digojlok ayahnya waktu pulang sangat membekas di hatinya. Betapa tidak, di hadapan publik orang‑orang terpandang ia harus menanggung malu, mentalnya benar‑benar diuji. Peristiwa itu tak akan dapat ia lupakan, sehingga ia semakin takut untuk menyia‑nyiakan waktunya, ia harus belajar lebih giat lagi.

Tiba‑tiba Kyai Zainuddin memanggilnya dan menugaskannya untuk membaca (mengajar) kitab Fathul Qorib. Sekali lagi ia menjadi kaget dan menanggung beban moral yang amat berat. Mas’ud memberanikan diri menyatakan kepada Kyai babwa dirinya belum siap. Namun Kyai mengatakan selanjutnya : “Co, sampean manut mawon. Sampean sekedar berdagang, sing bakul kulo” (Mas kamu menurut saja. Kamu sekedar pelayan dari dagangan saya. Majikan yang memiliki dagangan adalah saya). Yang dimaksud dengan dagangan adalah Ilmu. Akhirnya Mas’ud tak mampu mengelak dan harus belajar dan berusaha dengan segenap kemampuannya untuk menjalani perintah gurunya. Namun dua peristiwa di atas merupakan cambuk spirit baginya untuk berpacu lebih maju. Tak ada waktu untuk hura‑hura, tak ada kesempatan untuk ugal‑ugalan.

SUKA DUKA DI MOJOSARI14)

Mas’ud terus semakin giat belajar, seakan‑akan tak pernah mengenal lelah, tidurnya hanya sedikit dan temannya yang paling akrab adalah kitab, pulpen dan tempat tinta berukuran besar. Pengalaman pahit diuji ayahnya membawa pengaruh besar bagi jiwanya. Lebih‑lebih setelah peristiwa itu Mas Miftah, kakaknya sering menuduh dirinya gagal belajar di Pondok. Hatinya malu dan terkadang sedih. Itulah sebabnya tatkala Kyai Zainuddin menugaskannya untuk mengajar Fathul Qorib, dia terkejut, tertunduk merendah sambil berucap: “Kulo dereng saget nopo‑nopo, Kyai!”*)

Namun Kyai Zainuddin yang arif‑billah itu sudah faham, siapa sebenamya Mas’ud, termasuk kemampuan yang sudah dicapainya. Seperti biasanya Kyai Zainuddin sering bercerita dan memberi nasehat di sela‑sela pengajiannya. Kerap kali beliau tiba‑tiba berkata: “Co, kancane ngaji iki Blawong, co! “**) tanpa menunjuk kepada siapa-siapa. Tetapi Mas’ud merasa dalam hati kalau yang ditujukan oleh Kyai adalah dirinya. Dan para santripun lama kelamaan mengerti siapa Blawong diantara mereka.

Karena penasaran Mas’ud scring bertanya kepada teman‑temannya apakah artinya Blawong, tak ada yang dapat memberi jawaban dengan pasti. Dan agaknya ia tak puas sebelum mendapat jawaban sebenarnya, Ialu ditanyakannya kepada orang‑orang tua. Ternyata Blawong adalah burung perkutut mahal yang bunyinya sangat indah dan merdu. Si Blawong itu dipelihara dengan mulia di Istana Kerajaan Brawijaya dan tentu saja ia turut naik tahta menjadi raja seluruh perkutut di wilayah kekuasaan Brawijaya bahkan raja seluruh burung margasatwa di rimba belantara. Di samping alunan suaranya yang mengagumkan, tak ada seorangpun yang berkata‑kata tatkala Si Blawong sedang berkicau, semua menyimak suaranya. Seolah‑olah burung itu punya pengaruh dan kharisma luar biasa Tidak hanya sampai disitu pujian yang diterima oleh Mas’ud, adalagi yang lebih unik. Mbah Abu Hamid dari desa Ngetos‑Nganjuk sering datang di Pondok Mojosari, beliau mengaku murid Kyai Zainuddin. Beliau juga dikenal sebagai seorang Waliyulloh yang berprilaku Khoriqul ‘adah (di luar kebiasaan). Bila Mas’ud berjalan hendak mandi ke sungai, Mbah Abu menghampirinya dan terkadang berputar‑putar mengitari santri berprestasi ini sambil menirukan ayam jago yang sedang kukuruyu (keluruk: Jawa). Suatu ketika Mbah Abu bertingkah lebih aneh lagi, tiba‑tiba beliau memukul kentongan Pondok dan beduk sambil berteriak‑teriak laksana suporter tinju yang penuh semangat.

“Jagoku Ploso, nek kalah tak pesteni mulih”,*) seru beliau berulang‑ulang. Tak ada yang mengerti apa sebenarnya maksud Mbah Abu. Mungkin kelak Mas’ud akan menjadi jago (tokoh) di tengah‑tengah masyarakatnya wallohu’alam.

Blawong dan jago adalah dua julukan yang disandang oleh Mas’ud, membuat namanya kian harum di kalangan sesama santri dan semakin dicintai oleh Kyai. Kepada Syihabuddin yang menjabat pengurus Pondok waktu itu Kyai Zainuddin mengintruksikan agar Mas’ud diberikan keistimewaan (kehormatan) tidak boleh ikut kerja apabila ada gotong royong. Tetapi Syihab tak perduli, tetap semua santri harus bergotong royong tanpa kecuali. “Perkara Mas’ud calon Kyai, itu kan soal nanti”, Tandas Syihab dengan tegas. Kyai Zainuddin nampaknya tahu sikap Syibab dan kembali beliau memperingatkan. “Kelak kamu akan tahu bahwa Mas’ud itu benar‑benar seorang ‘Ulama besar”, kata Kyai dengan mantap.

Bagaimana dengan diri Mas’ud? banggakah ia? sikapnya biasa‑biasa saja bahkan semakin menunduk tawadlu’. Pujian dan penghormatan tidak membuat dirinya takabbur atau merasa dirinya punya kelebihan Ialu meremehkan orang lain. Dia tidak ongkang‑ongkang menunggu ilmu ladunni turun dari langit, walau pun Kyai Ma’ruf Kedunglo, Kyai Zainuddin (gurunya) dan Mbah Abu Hamid yang merupakan tiga auliya’ telah menandaskan dirinya akan jadi seorang’Ulama di kemudian hari, justru sebaliknya pujian‑pujian itu diterimanya sebagai beban moral, ia harus dapat meningkatkan prestasinya dan untuk itulah dia harus tekun belajar sepanjang waktu, bukankah ia hanyalah anak pegawai negeri, tak memliki nasab Kyai. Satu‑satunya yang dapat dijadikan andalan hanyalah ketekunan dan kesungguhan berikhtiar.

Tak ada jalah mendatar atau menurun terus menerus di dunia ini. Terkadang ditemui tanjakan, jurang dan tebing, terkadang turun silih berganti. Seperti itulah jalan hidup setiap insan di dunia ini dan Mas’ud‑pun mengalaminya. Mengenang derita sengsara yang ia jalani benar‑benar membuat hati kita merasa iba dan terenyuh.

Pak Naib memberi jatah biaya hanya Rp. 5 sebulan, tanpa membawa beras dan lauk pauk dari rumah. Padahal di zaman itu rata‑rata santri berbekal Rp. 10,‑ terkadang masih ditambah lauk pauk dan beras. Maksud Pak Naib tentu saja baik, untuk melatih anaknya agar terbiasa berhemat, hidup sederhana dan tahan menderita disamping tanggungannya memang banyak. Bayangkan saja putraputrinya ada 13 orang.

Karena bekalnya dibawah standar, konon setiap hari ia hanya makan satu piring kecil (lepek: Jawa) yang dimasaknya dengan menggunakan kaleng kecil (semacam kaleng susu kental manis cap bendera/indo milk). Kaleng tersebut dipanaskan diatas nyala lampu. Lauk pauknyapun sekedar untuk pelicin masuknya nasi melewati kerongkongan. Terkadang ontong (jantung pisang) yang diberi bumbu ala kadarnya, satu ontong bisa sampai lima hari. Terkadang daun luntas yang dipetiknya dari pagar dioleskan pada sambal yang rasanya kocar-kacir tak karuan dan terkadang lauk pauknya sambal kluwak. Bahkan sering kali hanya makan dengan garam saja. Sungguh jauh untuk dikatakan ni’mat apalagi Iezat. Mas’ud yang bekas calon dokter itu bukannya tak mengerti akan ilmu gizi, tetapi keadaanlah yang memaksa harus demikian.

Rupa‑rupanya Kyai Zainuddin mengerti derita yang dihadapi oleh Mas’ud. Bertambahlah kasih sayang dan cinta beliau kepada santri pujaannya itu. Sering kali Mas’ud menerima kiriman.makanan dari rumah Kyai. Alhamdulillah, betapa syukur dan ni’matnya bagaikan menghadapi hari raya.

Menurut sebagian riwayat di pertengahan mondok di Mojosari inilah meninggalnya Pak Naib Ustman, ayahnya tercinta. Musibah ini membuat kesedihan yang dalam di hatinya. Dia merasa belum dapat membalas budi orang tuanya, belum sempat ia tunjukkan prestasi puncak berupa kesuksesan setelah tamat dari Pondok. Disamping itu ia merasa kehilangan tempat mengadu tatkala menghadapi problema kehidupan. Kini tinggallah ibunya, seorang wanita yang harus tabah menanggung beban berat mengasuh 13 putra dan putri. Suatu tanggung jawab yang amat berat bagi seorang wanita tua seperti ibu Naib.

Mas’ud merasa terharu bereampur pilu dalam hati, semakin khusu’ ia berdo’a kepada Alloh SWT, semoga kiranya orang tua itu mendapat ampunan dan yang masih hidup diberi kesabaran dan ketabahan menjalani kehidupan.

Terbetiklah hatinya bagaimana langkah untuk meringankan beban ibunya, ia ingin mandiri. Maka muncullah idenya yang menarik, ia membeli kitab‑kitab kuning yang masih kosong, Ialu dengan tulisannya yang sudah terkenal bagus, indah dan rapi diberinya makna sangat jelas, makna gandul ala pesantren yang mudah dibaca dan dipahami. Untuk keperluan inilah ia memiliki tempat tinta berukuran besar. Banyaklah santri yang tertarik utituk memiliki hasil kreasinya. Lalu dijualnya kitab tersebut, tentu saja dengan harga berlipat, sampai kitab kecil semacam fathul qorib laku Rp 2,50,‑ (seringgit) suatu jumlah yang lumayan bagi Mas’ud, sudah cukup untuk biaya hidup 15 hari. Seorang sahabatnya yang sampai sekarang masih memiliki dagangan berharga itu adalah Kyai Jufri Prambon Nganjuk.

MACANPUN TUNDUK KEPADA BLAWONG15)

Sakit perut ingin buang hajat sudah tak dapat ditahan lagi. Mas’ud bingung karena di Pondok tak ada WC. Hendak ke sungai terlalu jauh dan gelap gulita, karena kejadian ini tiba‑tiba muncul di waktu malam hari. Akhirnya tanpa berfikir panjang ia berlari‑lari kecil, Ialu berjongkoklah ia dibawah pohon petai besar yang teletak di kebun dekat Pondok. Menurut perasaannya ia memegang salah satu dari akar petai yang menjalar di atas tanah. Setelah rasa mules agak berkurang ia memandang dengan teliti kearah depan. Di kegelapan malam itu akhirnva tampak yang ia pegang itu bukan akar petai, tetapi moncong seekor macan yang tengah berbaring. Tersentak ia terkejut dan segera meninggalkan tempat itu dengan berjalan cepat dan perasaan ngeri.

Pohon petai besar dan rindang itu memang angker. Konon menurut orang‑orang yang mengerti tentang dunia makhluk halus di pohon itu terletak Istana kerajaan jin. Makhluk halus itu sudah bermukim berabad‑abad lamanya dan sering mengganggu santri Pondok. Setidaknya ada seorang santri yang menjadi gila setiap tahun akibat ulah makhluk halus.

Tetapi Mas’ud tak apa-apa, jiwa raganya yang bersih dari maksiat dan ibadahnya yang tekun telah menghantarkannya dekat dengan Allah Sang Maha Raja dari segala jin dan manusia. Macan jadi‑jadian dari jin jahat itu tak berdaya apa‑apa, tunduk kepada Sang Blawong.

BLAWONG JADI RAJA

Salah satu faktor yang menunjang suksesnya Rasululloh SAW dalam perjuangan menyebarkan agama Allah adalah persatuan yang utuh antara beliau dengan sahabat‑sahabatnya terutama sahabat empat yang dikenal dengan nama Khtilafaur‑Rosyidin. Hal ini dicapai karena adanya hubungan keluarga yang dijalin lewat tali pernikahan. Abu Bakar As‑Shiddiq dan Umar Bin Khottob r.a adalah mertua‑mertua beliau, Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib adalah menantu‑menantu beliau.

Mempererat hubungan dengan para kader perjuangan Islam yang telah dicontohkan oleh Rosululloh SAW ini dikemudian hari diwariskan sebagai suatu tradisi oleh para ‘Ulama warotsatul anbiya. Di Pondok Pesantren sudah lazim terjadi santri‑santri yang punya prestasi menonjol dan berakhlaq mulia dijodohkan dengan putri atau keluarga Kyai. Dan Kvai Zainuddin adalah salah satu contohnya.

Empat tahun sudah Mas’ud di Mojosari. Berkat ketekunannya hampir seluruh fan (vak) sudah dikuasainya dengan baik. Kyai Zainuddin merasa lega melihat santri andalannya itu benar‑benar telah memenuhi harapannya. Sungguh tak dapat duraikan dengan kata‑kata. Betapa bangganya seorang guru apabila menyaksikan muridnya punya prestasi, lebih‑lebih dikalangan Pesantren. Bukankah Ilmu yang tumbuh dan berkembang di dada santrinya merupakan jariyah yang pahalanya terus mengalir untuk sang guru sampai jasad sudah terkubur?

Begitulah kebanggaan Kyai Zainuddin kepada Mas’ud berakibat lebih lanjut, seakan‑akan ia tak bisa melepaskannya lagi. Mas’ud bagi beliau adalah kader yang diharapkan dapat mengorbitkan Mojosari lebih lanjut. Maka muncullah niat beliau untuk menjodohkan Mas’ud dengan ning Badriyah putri Kyai Khozin Widang Langitan‑Babat (ipar Kyai Zainuddin). Gadis yang semula anak ipar ini dijadikan putri angkat oleh Kyai Zainuddin dan dibesarkan di Mojosari berhubung beliau tak memperoleh keturunan. Beliau tak ingin terlambat mendapatkan Mas’ud, khawatir kalau didahului oleh orang lain.

Sementara Mas’ud yang berpenampilan gagah dan berparas tampan itu belum berfikir terlalu jauh tentang teman hidup, terlebih‑lebih lagi usianya baru menginjak ± 19 th. Ketekunan dan cintanya pada ilmu telah menyelamatkan dirinya dari hayalan & lamunan betapa indahnya belahan jiwa tambatan jantung. No time for love merupakan prinsip yang ia pegang teguh selama masih menuntut ilmu, karena wanita dianggapnya penggoda paling rawan bagi seorang pencari ilmu.

Akan tetapi Mas’ud tak mampu mengelak tatkala Kyai Zainuddin tiba‑tiba memanggil dan mengutusnya pulang ke Ploso. “Sampaikan salamku pada ibumu,” kata beliau mengawali pesan. “Sampaikan kepadanya bahwa kamu akan saya jadikan menantu”.

Sungguh Mas’ud tak bisa berbuat apa‑apa dihadapan gurunya yang agung. la pamit sambil menghela nafas panjang.

***

Kini Mas’ud sudah pulang ke Ploso dan sedang berada di tengah‑tengah keluarganya, semua duduk mengerumuninya karena dia terlalu lama tak pulang. Tatkala suasana cukup tenang, dia menyampaikan salam dan pesan Kyainya.

“Salam Pak Kyai Bu”, katanya yang langsung dijawab: “Alaika wa’alaihimus salam “, oleh ibunya “Kulo dipun utus nyampaeaken pesan, bilih Pak Kyai mundut kulo dados menantu”, katanya melanjutkan (Saya diutus untuk menyampaikan pesan Pak Kyai bahwa saya akan diambil menjadi menantu).

Sebelum ibunya memberi tanggapan yang pasti, Mas Miftah tersentak dan tiba‑tiba berkata dengan lantang : “Kowe mondok isih pirang dino, wis pingin kawin … arep dadi mantune Kyai, isomu opo? ” (kamu mondok baru berapa hari saja sudah pingin kawin. Bisamu apa?). Ternyata ungkapan Mas Miftah di atas cukup diperhatikan dan mempengaruhi keputusan rembukan keluarga ini. Memang Miftah diakui sangat cerdas dan lincah sehingga memegang peranan di keluarganya terutama setelah Pak Naib meninggal.16)

Mas’ud kembali lagi ke Mojosari dengan membawa keputusan keluarga bahwa dirinya belum siap untuk menikah. Namun Kyai Zainuddin tak mau menerima keputusan itu. Beliau memerlukan diri untuk datang ke Ploso.

Di Ploso seluruh keluarga menyambut Kyai dengan penuh hormat, lebih‑lebih kali ini ada topik pembahasan yang istimewa. “Sing momong niku kulo, kulo langkung ngertos pribadi santri setunggal‑setunggalipun”,*) tegas Kyai dengan gayanya yang khas. Semuanya bungkam diam seribu bahasa, termasuk Mas Miftah. Dan pembicaraanpun dilanjutkan membahas tehnik pelaksanaan, hari resepsi dan seterusnya.

***

Malam resepsi telah tiba. Dua sejoli Mas’ud dan Badriyah telah bersanding, resmi dinobatkan menjadi raja dan ratu semalam. Seluruh mata memandang ke arah pelaminan. Si Blawong benar‑benar menjadi raja.

Para undangan dari kalangan ‘Ulama, Umaro’, Tokoh masyarakat dan handai taulan telah pula datang sementara suara gendang bertalu‑talu mengiringi barisan anak-anak muda yang bernyanyi sambil berlenggak lenggok memainkan kipas di tangannya. Kesenian ‘ruddat’ yang mengenakan seragam gaya Turki ini memang sengaja didatangkan dari Langitan oleh Kyai demi memeriahkan acara resepsi. Malam sejuta rasa, semua bergembira. Mojosari berubah seketika dipadati oleh lautan manusia, hingar bingar suara lagu dan gendang, diselingi teriakan dan tepuk tangan para hadirin. Suatu resepsi yang tergolong meriah dan megah di kala itu.

Siapapun dapat menyaksikan betapa Kyai Zainuddin sangat mengagumi Mas’ud, Resepsi inilah buktinya, beliau benar‑benar mewujudkan rasa syukurnya yang luar biasa. Kini guru agung itu telah menjadi satu dengan murid kesayangannya lewat tali pernikahan. Dan sejak itulah Mas’ud sangat populer dengan sebutan Mas’udnya Kyai Zainuddin, Bukan Mas’ud Ploso atau Mas’udnya Pak Naib.

PANGGILAN NABI IBRAHIM

Setelah beberapa lama di Mojosari, sepasang pengantin baru itu hendak pulang ke Langitan. Kyai Khozin pengasuh Pondok Langitan diam‑diam juga punya rencana yang sama dengan Kyai Zainuddin. Kyai Khozin ingin agar menantunya yang tersohor ‘alim itu mengajar di Pondoknya dan kelak akan tampil sebagai penerus perjuangan beliau. Rencana itu ternyata diketahui oleh Pak Chasbulloh seorang yang ‘alim dan berperilaku khoriqul adah. Tak seorangpun yang berani melanggar perintah atau larangannya, termasuk Kyai Khozin sendiri. Sudah banyak buktinya orang jadi kuwalat karena melanggar atau meremehkan perintahnya.

“Sampean kedah ning kutho, Inggih! saben jam sekawan sonten nganti jam songo. Ngangge niki”,*) kata Pak Chasbulloh kepada Mas’ud sambil menunjuk bendi (dokar) mewahnya. “Nyaine diajak, ben marem”**) katanya melanjutkan. Mas’ud hanya dapat mengangguk sambil berucap “Inggih “.

Setiap jam 4 sore sebuah bendi mewah beserta kusirnya telah siap menjemput Mas’ud dan istrinya untuk kemudian berangkat berputar‑putar di kota Babat. Orang memandang betapa asyiknya dua sejoli itu, berbulan madu dengan kendaraan mewah bersantai ke kota bagaikan sepasang merpati. Namun orang tak pernah mengerti betapa jenuhnya Mas’ud hanya melakukan kegiatap monoton yang itu‑itu saja setiap hari. Lalu kesempatan itu dipergunakannya untuk berziarah ke makam seorang ‘Ulama di Babat, di tempat itulah dia munajat kepada Alloh setiap hari dan pulang pada waktu yang sudah ditentukan. Lama kelamaan Mas’ud jenuh juga, dia tak mengerti apa tujuan Pak Chasbulloh memerintahkannya berputar-putar di kota. Hendak pamit pulang ke Ploso tak berani, apalagi akan pindah ke Pondok lain. “Apa tujuanku setiap hari begini”, kata batinya yang penuh tanda tanya. Padahal ia sangat senang andaikata diberi kesempatan untuk mengajar atau membuka pengajian di Pondok Langitan, demi mengembangkan ilmunya dan mengamalkannya.

Di tengah kebingtingannya itu timbullah niatnya untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Pak Chasbulloh merestuinya, begitu juga istrinya tercinta. Maka pulanglah ia ke Ploso untuk mohon izin dan berunding dengan ibunya.

“Haji?” seru ibunya kaget tatkala ia mengungkapkan persoalannya. “Le …, le … ! Opo sing arep di enggo haji?”*) lanjut ibu yang merasa tak punya kemampuan itu. “Warisan kulo disade sedoyo, Bu”**) tandas Mas’ud dengan singkat.

Akhirnya diputuskan bahwa Mas’ud positif berangkat haii. Sawah seluas (l/2 bahu : Jawa) beserta sapi hak miliknya dijual habis ternyata belum mencukupi untuk membayar ONH (ongkos naik haji) sebesar 115 golden, maklum waktu itu sedang terjadi krisis ekonomi dimana uang amat sulit didapat karena harga barang‑barang sangat murah. Namun dalam hati kecilnya Mas’ud yakin apabila Nabi Ibrabim a.s telah memanggil tak ada satu kekuatanpun yang dapat menghalangi. Ikhtiar mesti terus dilakukan sambil bertawakal kepada Alloh.

Adalah tidak mudah bagi Mas’ud untuk sampai Baitulloh, di tengah‑tengah kerumitan mencari kecukupan uang ONH itu istrinya jatuh sakit di Langitan, akan tetapi tekad Mas’ud tak pernah goyah. Diyakininya bahwa semua kesusahan yang menimpa ini hanyalah cobaan bagi semua perbuatan mulia. Hatinya tegar bagaikan batu karang di tengah lautan yang tak bergeming dihempas ombak.

Hari keberangkatan sudahlah tiba, namun persoalan belum bisa dipecahkan. Tanpa diduga sebelumnya Kyai Zainuddin (mertuanya) menyodorkan seiumlah uang, konon besarnya 100 golden suatu jumlah yang amat besar untuk zaman itu lebih‑lebih disaat situasi ekonomi sedang kacau. Tak berlebihan bila dikatakan bahwa beliaulah pengganti Almarhum ayahnya (Pak Naib).17)

Alhamdulillah, betapa syukurnya Mas’ud dan segenap keluarga. Rupanya Allah telah menyaksikan kesabaran hambanya menerima cobaan, Ialu diberinya jalan keluar. Panggilan Ibrahim benar‑benar untuk Mas’ud. Labbaika Allohumma Labbaika, rombonganpun berangkat beriring-iring sembari deru sholawat bergema di udara. Mereka menuju desa Kras dengan berjalan kaki menempuh jarak 4 km, dan Kyai Zainuddin Mojosari yang sejak semalam menyempatkan diri menginap di Ploso ikut serta berjalan kaki dan seterusnya ikut mengantar ke Surabaya. Di Pelabuhanpun Kyai Mojosari itu bermalam sampai kapal benar‑benar berangkat. Puluhan ribu tangan melambai-lambai, tak tertahan tetesan air mata keharuan mengalir dalam rangka melepas keberangkatan tamu Alloh. Semoga kembali lagi dengan selamat dan mendapatkan haji Mabrtir.

MENGHAFAL DI KAPAL

Pelayaran Surabaya Jeddah dengan menggunakan kapal uap tak secepat pesawat jet DC 10 atau Boing 747 sekarang ini. Tiga bulan lamanya terapung‑apung diatas laut. Pelayaran adalah suasana yang biasanya membuat orang menjadi sedih, menghayal dan rindu. Mas’ud tak mau membiarkan fikirannya melayang‑layang tak berguna. Bila memikirkan istrinya yang sedang sakit di Langitan sedihlah ia, dikuatkannya hatinya untuk bertawakkal kepada Alloh bersabar menerima cobaan.

Lalu kesempatan di kapal yang luang dipergunakannya untuk menghafal bait‑bait syair (nadhom) uqudul juman, sebuah kitab tertinggi dalam bidang Balaghoh. Sungguh Mas’ud tak pernah menyia‑nyiakan waktu berlalu tanpa belajar, karena ia bersemboyan bahwa kunci utama mencari ilmu adalah Mempeng (sungguh‑sungguh). Dan itulan yang dilakukannya sejak kecil.
1 Keterangan Mbah Burdah Jombang dan KH. Manshur Sholeh Mojosari.

2) Cerita Kyai Syihabuddin kepada Pak Salam.

3) Keterangan Mbah Burdah Jombang. Menurut sumber lain, Pondok Siwalan Panji Sidoarjo

4) Keterangan Mbah Masruri Mojosari

5) Cerita KH. Manshur Sholeh Mojosari, Beliau mengenang masa-masa nakalnya di Mojosari

6) Cerita Mbah Masruri, KH. Manshur Sholeh dan lain-lain.

7) Dikisahkan oleh KH. Manshur Sholeh Mojosari.

8) Dikisahkan oleh KHA. Djazuli Utsman kepada Pak Musleh.

9) KH. Manshur Sholeh, Mbah Masruri dan Mbah Burdah.

* Keterangan :

Pada waktu KH. Hasyim Asy’ari istilah yang dipakai adalah Rosi Akbar tapi sepeninggal beliau para penerusnya merasa riskan menyandang gelar Rois Akbar, lalu diganti dengan istilah Rois Aam.

10) Cerita KH. Manshur Sholeh Mojosari.

*) Kyai Zainuddin : “Mas, ayo pindah ke Pondok”

Mas’ud : “Saya tidak punya bekal Kyai”

Kyai Zainuddin : “Ayolah Mas, kelak kamu akan jadi Blawong”

11) Keterangan Kyai Ma’ruf Mursyidi Ponorogo

12) Keterangan Mbah Burdah Jombang

13) Cerita KHA. Zainuddin Djazuli, diterima dari H. Abd. Hamid Kemayan (ipar KHA. Djazuli Utsman suami Roihah)

14) Dirangkum dari keterangan KH. Manshur Sholeh, Mbah Burdah, Mbah H. Abd. Ghani, dll.

*) Saya belum bisa apa-apa Kyai”

**) Mas, temannya ngaji ini adalah Blawong”

*) Jago saya dari Ploso, kalau kalah saya pastikan pulang”

15) Kisah Kh. Manshur Sholeh dan Mbah H. Abd. Ghani

16) Cerita Mbah Burdah Jombang

*) “Yang mengasuh adalah saya, jadi saya lebih mengerti pribadi masing-masing santri”.

*) “Kamu harus ke kota setiap hari jam 4 sore sampai jam 9 malam, pakai bendi ini”.

**) “Istrinya diajak biar puas”

*) “Nak……nak……! apa yang dipakai untuk haji?”

**) “Warisan saya dijual semua, Bu”

17) Keterangan Mbah Burdah Jombang dan Pak Musleh

Masa Menuntut Ilmu Agama

lbadah haji tengah berlangsung, setiap Jamaah hanyut dalam perasaannya masing masing, rukun demi rukun dari lbadah haji menyimpan nilai spiritual yang amat tinggi dan mendatangkan rasa khusu’ dekat dengan Allah. Sehingga banyak orang menangis menyesali dosa dosanya, disamping menangis haru mendapat kehormatan untuk datang memenuhi panggilannya, mereka bersyukur dan bahagia dapat menyempurnakan rukun Islam. Betapa dekat hubungan seorang hamba dengan Tuhannya di tempat yang mulia itu.
Tidak semua muslim bisa datang ke sana, banyak orang kaya raya meninggalkan dunia fana ini sebelum menunaikan ibadah haji, wajar kalau kita katakan para jamaah haji itu adalah manusia manusia pilihan.
Mungkin Mas’ud termasuk seorang jamaah yang pantas mensyukuri nasibnya melebihi jamaah jamaah yang lain. Betapa tidak, ia datang ke tanah suci bukan karena kekayaannya. la datang tersendat sendat berjuang mengatasi rintangan, sungguh ia bersyukur dan merasa lega bahwa dirinya yang serba kekurangan dapat menyempurnakan rukun Islam.
Di tengah tengah kekhusu’an ibadah haji itulah ia menerima khabar dari tanah air bahwa istrinya telah meninggal dunia “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun”. Bagaikan disambar bledek (petir) berita tersebut menyayat kalbunya, sebagai hamba Allah yang baik hanya bersabar yang dapat ia lakukan.
Kini ia merasa sebatangkara, istri sudah tiada, harta sudah terjual habis, rumah memang tidak punya. “Apa yang hendak diharap lagi di tanah air?” pikirnya dalam hati, maka ia bertekad untuk berimukim di tanah suci Mekkah sampai kapanpun, untuk beribadah sambil menggali ilmu dan mengamalkannya. Karena sampai pertengahan abad 19 Mekkah masih merupakan pusat pengajaran ilmu-ilmu Salafiyah secara mendalam, sebab disana banyak pengajar ‘Ulama ‘ulama bertarap internasional. Hal itu tentu saja sangat menarik bagi Mas’ud seorang pemburu ilmu yang tak kenal puas dan lelah.

***

Perkenalan dengan Sablan dapat menghibur dan membesarkan hati H. Djazuli. Demikianlah namanya setelah sempurna menunaikan ibadah haji. la mengganti namanya sebagaimana tradisi yang sudah berlaku, lalu ditambahkannya nama ayahnya dibelakang, jadi lengkapnya H. Djazuli Utsman.
Sahlan sahabat barunya itu adalah seorang jemaah haji yang berasal dari Pagu Gurah Kabupaten Kediri yang tak jauh dari Ploso. Sungguh bahagia rasanya bertemu dengan teman sedaerah dirantau orang, perasaan bersaudarapun terjalin Dan Mas’ud kian bahagia mendengarkan keinginan Sahlan untuk menempuh pahit getirnya kehidupan dirantau orang, teman memikul tatkala berat dan menjinjing tatkala ringan.
Setelah beberapa lama hidup di negeri orang uang bekal telah habis, maka sepakatlah mereka berdua masuk bekerja sebagai tenaga administrasi pada seorang Syech Muzawir (biro travel urusan haji) yang terkait dengan instansi kerajaan, pekerjaan ini ia lakukan demi mendapatkan gaji untuk menyambung hidupnya. Di sela sela tugasnya yang menumpuk pergilah ia mengaji menambah ilmu, namun lama kelamaan mereka sadar bahwa tugas yang menumpuk telah menyita sebagian besar waktunya sehingga tujuan semula untuk menuntut ilmu telah terbengkalai.
Kedua orang sahabat itu berunding dan akhirnya mereka keluar dari pekerjaan. Diputuskannya untuk berguru kepada Syekh Al ‘alamah Al-’Aidarus di Jabal Hindi Mekkah.18) Persoalan rizki di pasrahkan sepenuhnya kepada Allah SWT. Agaknya ia ingat bahwa Abu Hanifah r.a. pernaih meriwayatkan sebuah hadits Rasululloh SAW yang diterima dari seorang sababat beliau bemama Abdulloh bin Hasan Az zuaidy:
من تفقه فى الدين الله كفاه الله همه ورزقه من حيث لا يحتسب
(Barang siapa mempelajari agama Alloh, maka Alloh memenuhi cita citanya dan diberinya rizki dari arah yang tak disangka sangka).
Benar saja, tak lama kemudian para Mukimin yang ada di Mekkah berkumpul dan meminta H. Djazuli supaya bersedia memberikan pengajian untuk mereka. Rupanya Allah telah memenuhi janjinya untuk memberkati rizki kepada pengabdi ilmu, sebab dari merekalah H. Djazuli mendapatkan uluran tangan, jumlahnya memang tak seberapa, namun sudah mencukupi untuk menyambung hidup dan bekal menuntut ilmu.
Untuk tempat bernaung disewanya sebuah ruangan bawah dari rumah tingkat. Dia harus tidur bersama kumpulan arang dan barang-barang yang berserakan karena ruang yang disewanya itu adalah sebuah gudang. Menurut riwayat yang lain, tempat tinggalnya itu emperan pabrik yang telah rusak, dan didekatnya terdapat pohon-pohon kurma. Konon kabamya ada sedikit uang sisa yang ia miliki, jumlahnya tak seberapa hanya seringgit (Tak jelas apakah ringgit emas atau golden). Uang yang dipersiapkannya apabila ada keperluan mendesak itu dimasukannya ke dalam pelepah kurma yang sudah terpotong, lalu pelepah yang terisi uang itu dimasukannya kembali disela sela pelepah kurma yang masih utuh di batangnya. Ketempat itulah ia pulang untuk berganti pakaian atau merigambil alat alat belajarnya sambil tak lupa mengontrol uangnya, masihkah atau tidak. Apabila teman-temannya bertanya dimana tempat tinggalnya dan menyatakan ingin berkunjung maka ia menjawab: “Ah…. gak usah, kita ngaji dan ngumpul di Masjidil Harom saja”.
Menyimpan uang tersebut perlu ia lakukan karena pekerjaan tetap sudah tidak ada, kiriman dari rumah tak dapat diharapkan lagi mengingat harta warisan telah dijual babis, sementara ibunya masih menanggung sejumlah anak.19)
Nasib pilu yang dihadapi H. Djazuli sungguh membuat kita merasa iba, ia tak tahu apakah esok pagi ada atau tidak sepotong roti, sebutir kurma yang hendak dimakan terkadang ia ikut ambil bagian sedekah dari ransumransum yang disediakan oleh para dermawan Arab. Makan dan minum sekedarnya dengan makanan yang tak cocok bagi selera lidahnya semata mata untuk memperoleh kekuatan beribadah dan menuntut ilmu. Diterimanya makanan itu dengan rasa penuh syukur, karena itulah yang diberikan oleh Allah. Tak pemali ia mengeluh apalagi meneteskan air mata. Karena bagi H. Djazuli yang sudah terlanjur dimabuk kepayang oleh ilmu, segenap penderitaan yang dialaminya atau pedihnya perut yang keroncongan telah dapat dilupakannya bila ia berhadapan dengan kitab, dalam rangka belajar atau mengajar.

NESTAPA DI PADANG SAHARA20)

Waktu terus bergulir, tak terasa hampir dua tahun sudah H. Djazuli mendalami ilmu di Mekkah, kealiman yang dibawanya dan sudah diakui sejak ia di Mojosari semakin meningkat saja. Namun ia tak pernah menunjukkan bahwa dirinya telah ‘alim, tetap saja merendah dan tekun luar biasa, bahkan semakin merasa bodoh.
Akan tetapi pada tahun 1922 ia dan seluruh warga negara asing di Mekkah terpaksa tak dapat meneruskan pelajaran atau kegiatan, karena tahun itu terjadi kudeta (Perebutan kekuasaan) oleh kelompok Wahabi yang diprakarsai oleh Abd. Aziz As Suud. Perang saudara berkecamuk hebat dan diberlakukan hukum darurat perang. Karena situasi negara yang masih sangat rawan, pihak keamanan negara segera menangkap orang orang asing dan dipaksa kembati ke negara asalnya. Mendengar berita tersebut H. Djazuli merasa sedih dan sangat khawatir kalau sampai tertangkap dan dipulangkan. Pasainya selama berada di tanah suci belum pernah ia ziarah kemakam Rosul di Madinah, maklum ia tak punya biaya. Lalu diajaknya Sahlan beserta 5 orang teman lainnya untuk menerobos masuk ke Madinah secara nekat berjalan kaki. Mereka bertujuh sepakat berangkat dengan membawa sedikit bekal sambil mengalungkan Guriba (Kantong wadah air yang terbuat dari kulit kambing) dilehernya masing masing. Berjalanlah mereka melintasi padang pasir tandus yang amat luas, sebagai gerilyawan yang diburu oleh pemberontak Wahabi, apabila jejaknya diketahui niscaya mereka akan ditangkap dan gagallah rencananya. Sejatih mata memandang yang tampak hanya lautan pasir yang bergelombang akibat hembusan angin kencang, sesekali dijumpainya gunung gunung batu nan terjal. Tak ada pepohonan hijau yang mampu tumbuh disana karena terik panas matahari mencapai 40º 55º C, sementara air sangat sulit, lebih langka daripada premium, emas dan perak. Ada juga ditemuinya beberapa pohon kurma penuh debu yang hidup segan mati tak mau di pinggir pinggir perkampungan suku Baduwi. Sungguh pemandangan yang amat menyeramkan apalagi bagi rombongan yang berasal dari Indonesia itu, suatu negara yang beriklim sedang.
Namun keganasan padang pasir tak pernah membuat musafir itu mundur, tekadnya sudah begitu kuat untuk bertemu dan pamitan kepada Rosululloh sebelum dipaksa pulang oleh pemerintah. Walaupun untuk mencapai maksudnya mereka harus berjalan kaki menempuh jarak 498 km.
Mereka berjalan terus dengan tertatih tatih, apabila panas sudah mencapai terik yang terlalu menyengat sekitar jam 11.00 siang, mereka sudah tak tahan berjalan, maka segeralah mereka mencari tempat istirahat, mereka sangat senang jika menemukan tempat berteduh baik pohon atau timbunan batu dilereng gunung, apalagi disitu ada mata air yang biasa disebut Wadi, dapatlah mereka melakukan istirahat disana, mengisi persediaan air dan tertidur pulas. Namun jika mereka tidak menemukan tempat senyaman wadi, terpaksalah mereka berhenti dan tidur di tengah tengah padang pasir. Digalinya padang pasir itu Ialu masing masing mereka memendam badannya sampai batas leher, hanya kepala yang kelihatan. Maksudnya agar mereka tidak terserang HEAT STROKE (Penyakit bahaya akibat sengatan padang pasir yang punya kadar kelembaban amat rendah).
Namun yang paling mengagumkan dari kisah perjalanan ini, keteguhan hati mereka untuk tetap membuka pengajian disaat saat istirahat, bila memungkinkan mereka duduk melingkar dan H. Djazuli sebagai Ustadz memulai pembahasan. Kitab yang mereka kaji adalah Minhatul i’rob, sebuah kitab kecil tentang pelajaran nahwu. Namun sayang, kitab yang turut serta dalam perjalanan bersejarah itu terpaksa menjadi cacat, pasalnya H. Djazuli tak bisa meninggalkan kebiasaan merokok dan pinggir pinggir kitab itulah yang terpaksa disobek untuk membungkus tembakau.
Ditemuinya sekelompok Badui menggembalakan kambing. Di zaman dahulu orang Badui adalah suku bangsa Nomaden (Suku yang suka bertempat tinggal secara pindah pindah), mereka mengembara mencari tempat yang layak untuk kambing kambingnya. Pengembangan serta pendidikan untuk suku Badui sehingga menjadi suku yang bermukim tetap dan mengolah pertanian kurma baru dimulai setelah raja Abd. Aziz Bin Su’ud naik tahta.21)
Rupanya kelompok Badui tadi tertarik melihat rombongan orang orang asing tengah berjalan kaki dengan susah payah, orang asing itu kelihatan meringis kepanasan, agaknya mereka butuh pertolongan. Betapa senangnya H. Djazuli dan kawan kawannya setelah Badui tersebut menyapa mereka dan mempersilahkan singgah digubuknya. Di situlah sang musafir bisa tidur, sholat dan mengisi persediaan air, sementara Badui menyembelih seekor kambing untuk merceka. Mereka diberi makan sampai kenyang, kemudian diberikan bungkusan berisi makanan dan daging kambing untuk makanan di perjalanan. Masing masing menenteng sebuah bungkusan.
Mereka bisa tersenyum penuh rasa syukur, yakinlah mereka bahwa Allah benar-benar maha Pengasih dan Penyayang. Mereka yakin bahwa Allah pasti memberi rizki dengan caranya sendiri, walaupun di tengah pasir yang Iuas ini. Mereka tak pernah putus asa, perjalananpun terus dilanjutkan. Ternyata ada lagi kelompok Badui ditemtuinya. Badui kedua ini juga tertarik melihat iring iringan mereka, tetapi yang menarik bagi kelompok Badui ini adalah bungkusan bungkusan makanan dan barang bawaan mereka. Timbulah niat jahat dan kekasaran Badui yang sudah ditempa oleh alam yang gersang dan ganas, Badui mulai menyergap rombongan musafir sambil menjulurkan tombak dan memaksa rombongan segera menyerahkan diri. Namun sebelum insiden perampokan berlangsung salah seorang anggota rombongan dengan suara memelas menjelaskan kepada Badui itu dengan logat ‘Amiyyah:
انا فقير الجاوى بذى ارواح الى مدينة الرسول
(Kami fakir fakir dari tanah lawa akan berziarah ke makam Rosul).
Badui badui itu terketuk nuraninya, lebih lebih setelah memperhatikan keadaan musafir itu yang sangat membutuhkan pertolongan, malahan Badui tersebut Ialu mempersilahkannya istirahat dan memberinya makan minum.

***

Hari demi hari mereka berjalan dan terus berjalan, sandal sandal mereka sudah tak berfungsi lagi sementara kaki kaki mereka mulai membengkak, disobeknya surban atau celana untuk membalut kakinya agar dapat meneruskan perjalanan dan kesengsaraanpun kian terasa. Meneruskan perialanan bagi mereka adalah sungguh berat, namun akan kembali lagi ke Mekah sudah terlanjur jauh, akan berdiam di tengah gurun pasir juga sangat mustahil. Gurun pasir dirasakannya sangat kejam, tak ada warung atau kios tempat membeli keperluan, yang ada hanyalah dahaga dan hanya bersabar yang dapat mereka lakukan. Mereka mengharap semoga rasa haus di panas terik ini akan melepas dahaga baginya dihari kiamat nanti.
Kini mereka sudah tak punya apa apa lagi buat dimakan atau diminum, sementara mereka sudah sangat lapar dan haus, saat itulah H. Djazuli berkata kepada Sahlan dan kawan kawan: “Aku akan berdo’a kalian semua mengaminkan”, dan mereka pun berdo’a dengan khusuknya mohon pertolongan kepada Allah.
Tak lama setelah itu seorang berbaju putih memanggil-manggil dari kejauhan sambil berisyarat dengan tangan, orang tersebut mempersilahkan sang musafir masuk kedalam gua. Disana sudah disiapkan aneka makanan, lauk pauk dan buah buahan. Dan merekapun makan sepuas-puasnya kemudian tak lupa mereka diberi bungkusan dan air minum untuk persiapan di tengah jalan.
Peristiwa serupa terjadi berulangkali. Anchnya tempat makan tadi sudah hilang lenyap tatkala mereka menoleh ke belakang, yang ada tinggallah padang pasir. Ini baru disadarinya setelah peristiwa berulang kali, aneh tapi nyata sebagai bukti kekuasaan Tuhan.

***

Mereka merasa lega dan amat bersyukur setelah sebulan lebih terkatung katung dihempas derita akhirnya sampailah mereka di kota Madinah sekitar jam 16.30 sore, kota yang pernah menerima Rosul dan kaum Muhajirin dengan lemah lembut dan ramah tamah. Perlakuan itu juga yang mereka harapkan setelah memasuki kota.
Perihnya kaki yang sudah bengkak bengkak dengan parahnya tak tertahankan lagi disamping kelesuan dan kejenuhan perjalanan yang telah memuncak dan mereka membaringkan tubuh di suatu tempat tanpa perduli malu, sebagian mereka tertidur pulas kecapaian.
Tiba tiba lewat seorang wanita sedang menggendong madu, wanita itu agaknya juga masygul melihat pemandangan yang ganjil berupa orang orang asing tidur berserakan dengan pakaian kumal dan kaki bengkak, terbitlah rasa kemanusiaan dalam nuraninya, “Sungguh kasihan mereka”, bisik hatinya. Wanita itu berhenti tak jauh dari tempat sang musafir sambil melepaskan gendongannya di atas tanah. Dan masing masing musafir itu diberinya madu sekedarnya, madu Arab yang terkenal tinggi khasiatnya. Latu wanita tadi mempersilahkan para musafir untuk mampir di rumah keluarganya.
Seluruh anggota keluarga dan tetangga berkerumun menyambut musafir musafir yang sangat menyedihkan nasibnya ini, di tempat itulah mereka menginap, mendapatkan pelayanan makan dan pengobatan.
Kini mereka merasa puas telah dapat mencapai maksud hati untuk menghadap kepada Rosul yang mulia. Perihnya kaki yang bengkak dan pedihnya derita perjalanan terasa agak berkurang karena mengenang betapa beratnya perjuangan Rosul dan sahabat sahabatnya. Merekapun berziarah berulang kali selama berada di kota ini. Mereka mengharapkan safa’at di hari kemudian.
Hampir sebulan lamanya mereka di Madinah, sedangkan di Mekkah peperangan berangsur-angsur mereda. Kaum Wahabi berhasil menggulingkan pemerintah lama, maka resmilah berdiri kerajaan AS SU’UDIYYAH (Saudi Arabiyah). Walaupun peperangan sudah hampir usai, orang orang asing tetap dipaksa untuk pulang kembali ke tanah airnya.
Dan sejak berkuasanya Kaum Wahabi itulah Arab Saudi melarang kegiatan belajar mengajar untuk ajaranajaran lain termasuk Ahlussunnah Waljama’ah, sekaligus pengajaran kitab kuning. Yang diperbolehkan hanyalah pengajaran dan pengembangan ajaran Wahabi. Konon H. Djazuli dan kawan kawannya ditangkap oleh pihak keamanan di Madinah dan dipaksa untuk pulang lewat pengurusan konsulat Belanda. Petugas tak memberi kesempatan untuk berkemas kemas, pamitan atau mengurus barang, dan kitab kitabnya di Mekkah untuk dibawa pulang. Hanya kitab Dalailul khoirot yang terbawa pulang. Kitab tersebut beliau peroleh dari orang yang tak dikenal pada suatu tempat di Mekkah. Konon setelah beliau tanyakan tempat itu dahulu adalah kuburnya Syekh Ibrahim Attaimiy.
H. Djazuli telah sampai di Jakarta setelah berlayar berbulan bulan dengan kapal uap. Pemerintah memberikan uang transport dan sebelum berangkat ke Ploso kakinya mendapat pengobatan terlebih dahulu.
Tak seperti pak haji pada umumnya yang pulang bahagia d.engan wajah berseri seri memakai jubah, surban, igal dan pakaian pakaian kebesaran Arab lainnya. H. Djazuli datang tak dapat turun sendiri dari mobilnya karena kakinya yang masih sakit. Memakai baju deril yang sobek di sana sini, tak ada sanak famili, yang menjemput ke pelabuhan, karena tak ada orang yang menyangka ia akan pulang.22)
Semua orang terkejut menyaksikan kedatangannya dan merasa iba melihat haji baru itu digotong dari mobil yang mengantarnya. Suasana pilu dan sedih menyelimuti perasaan seluruh keluarga dan tak ada yang kuasa menahan air mata. Siapa yang tak terharu dan tersayat hatinya melihat keberangkatannya berbekal derita, di tanah suci dihempas derita yang begitu susah sampai pulangpun ternyata membawa oleh oleh derita. Tak ada kurma dan air Zamzam yang dibagi, sedangkan kitab kitab dan barangnya tak sempat dibawa pulang, semuanya ditinggal di Mekkah. Akan tetapi ia sebenarnya membawa oleh oleh yang jauh lebih berharga dari segala-galanya yaitu ilmu agama dan haji yang Mabrur.

Kembali Ke Pesantren

Berangsur angsur kesehatan H. Djazuli pulih kembali setelah mendapatkan perawatan dan istirahat secukupnya, akan tetapi bagi H. Djazuli yang sedari kecil sudah ditempa untuk disiplin dan menghargai waktu, istirahat dirasakannya sebagai beban mental, disamping itu ia merasakan bahwa keadaannya yang menganggur telah menambah pemikiran bagi ibunya yang nampak semakin tua, timbul perasaan tidak enak dihatinya, apalagi telah melihat saudara saudaranya seperti Mas Iskandar, Zarkasi dan Miftah telah bekerja sebagai pegawai negeri dan telah berumah tangga dengan mapan, ia tak layak untuk terus di rumah, walaupun bagi ibunya sendiri tak menganggap apa apa.
Perasaannya ini sangat beralasan karena ia sudah dewasa dan warisan yang menjadi haknya telah dijual habi untuk haji, ia tak ingin menjadi beban bagi orang lain. Maka dengan berbekal semangat berangkatlah ia ke Tebuireng – Jombang setelah pamit dari rtumah dan singgah beberapa lama mohon izin di mojosari kepada Kyai Zainuddin mertuanya.
Ia memilih Tebuireng karena pada tahun 1923 itu, walaupun Organisasi Nu belum berdiri nama Kyai hasyim Asy’ari amatlah masyhur. Murid Kyai Kholil Bangkalan ini dikenal sangat alim ilmu hadits, disamping Pondok Tebuireng mempunyai nama yang harum karena reputasinya yang banyak menelorkan tokoh-tokoh Ulama dan Politisi di negara ini.
Tatkala H. Djazuli telah sampai di Tebuireng dan sowan (menghadap) kepada Kyai Hasyim untuk menyampaikan niatnya akan mempelajari ilmu terutama ilmu hadits, Kyai Hasyim malah menugaskannya untuk membaca (mengajar) Tafsir Jalalain. H. Djazuli tak bisa berbuat pura-pura bodoh di hadapan Kyai Hasyim. Sebab beliau tahu siapa H. Djazuli sebenarya yang tak lain adalah Mas’udnya Kyai Zainuddin Mojosari. Bukankah nama itu sudah dikenal di kalangan Pesantren, khususnya Ulama’ ulama’ yang karib dengan Kyai Zainuddin seperti Kyai Hasyirn.
“Kamu tidak usah mengaji, mengajar saja disini,” kata Kyai Hasim dengan tegas. Bukan hanya Tafsir yang ditugaskan kepadanya, tapi dipercaya juga untuk rnengajar di Madrasah.
H. Djazuli sebenarnya masih menyadari kebodohannya. Seperti itulah memang sikapnya sampai ia kelak menjadi ‘ulama besar. la selalu merasa bodoh, merasa baru menguasai setetes ilmu dari samudera ilmu yang tak ada batasnya. Itulah sebabnya ia selalu merendah dan masih selalu haus sampai kapanpun. Tugas mengajar yang diembankan kepadanya diterimanya dengan ikhlas semata-mata sebagai ta’dhim dan ia yakin dari tugas itu dapat dipetik banyak pelajaran dan pengalaman. lapun menjalankan tugasnya dengan baik, disiplin dan penuh tanggung jawab.
Kini Kyai Hasyim tidak mendengar cerita dari Kyai Zainuddin atau orang lain tentang kehebatan Mas’ud, tetapi sudah dibuktikannya dengan mata kepala sehingga bertambahlah kagum, cinta dan kepercayaan beliau. Konon, ketika itu baru berdiri Majelis Musyawaroh Riadlotut Tholabah (Majelis kerjasama antar Pondok Pesantren yang menyelenggarakan seminar seminar tentang permasalahan agama sesuai dengan konteks yang berkembang). Untuk mewakili Tebuireng dalam bahtsulmasail (seminar) H. Djazulilah yang dipilih oleh Kyai Hasyim. Berulang kali ia menghadiri Bahsulmasail diberbagai tempat seperti di Kenes, Surabaya, Semarang dan sebagainya. Di acara acara inilah ia banyak bertemu dengan tokoh tokoh berkaliber nasional. Suatu kesempatan yang baik baginya untuk berkenalan dan berhubungan dengan tokoh masyarakat sehingga wawasannya dapat berkembang sangat luas. la tidak hanya memiliki wawasan keagamaan dan keilmuan yang dalam, wawasan berbangsa dan bernegara juga dikuasainya.
Jelaslah dari derap langkahnya di Tebuireng H. Djazuli telah menimba banyak ilmu dan pengalamaii disamping ilmu Hadits yang menjadi tujuan pokoknya. Sebab disamping pengalaman luas di luar Pondok lewat forurn bahtsulmasail di atas ia terus ditempa dengan pengalaman pengalaman di dalam Pondok. Mengajar Tafsir merupakan study banding (komparasi) untuk memilih methode yang tepat dalam memberikan pengajian, sedangkan mengajar di Madrasah merupakan peluang emas untuk belajar sistem rnanajemen dan methode pendidikan Pondok yang baik.

DARI JOMBANG KE TREMAS LEWAT KARANGKATES

Prestasi H. Djazuli telah membuat banyak pihak mengacungkan jempol, bahkan banyak orang yang mempunyai anak gadis simpati ingin menjadikannya menantu. Andaikan Kyai Hasyim Asy’ari waktu itu punya anak gadis yang pantas dijodohkan, tentu beliau akan mengikat hubungan dengan murid andalannya yang sudah berstatus duda namun masih muda perkasa (23 th). Akan tetapi beliau tak berlepas tangan begitu saja, H. Djazuli diarahkannya menuju seorang sahabat akrabnya yaitu Kyai. Muharrom Karangkates (± 2 km dari Ploso), Kyai yang tergolong maju saat itu mempunyai anak gadis belia bernama Hannah. Isianya sekitar belasan tahun, usia yang terlalu kanak-kanak untuk menghadapi rumah tangga penuh tantangan. Namun dibalik itu Kyai Muharrom sependapat dengan Kyai Hasyim bahwa H. Djazuli tak boleh dilepaskan begitu saja, yang penting harus diikat sejak dini.
Karena alasan itulah tak lama setelah pernikahan berlangsung Kyai Muharrom menawarkan kepada sang menantu untuk kembali mondok bersama Jufri dan Makki, dua orang kakak iparnya. Sudah pasti H. Djazuli sang pemburu ilmu yang tak pernah mengenal lelah itu sangat senang mendengar tawaran mertuanya. Pesantren yang dituju adalah Tremas, sebuah pesantren yang terletak jauh di pelosok desa di kawasan kabupaten Pacitan yang waktu itu kendaraan sejenis bendipun tak dapat mencapainya. Untuk sampai kesana orang harus berjalan kaki beberapa lama. Untuk periode 1894 1934 M. Pondok Pesantren Tremas diasuh H. Dimyathi adik kandung sekaligus murid Syaikh Mahfudz Attarmasiy. Pondok Tremas menjadi sangat populer di zaman dahulu karena Kyai Kyainya yang benar-benar ‘alim, juga dipengaruhi reputasi (nama baik) Syaikh Mahfudz sebagai ‘Ulama kenamaan yang juga muallif (penulis) berpuluh puluh Kitab yang menjadi literatur di berbagai negara Arab dan Pondok pondok pesantren di Nusantara. Bahkan beliaulah putra Indonesia pertama yang mengajar di Masjidil Haram Makkah.23)
Tatkala sowan kepada kyai dalam rangka menyampaikan niatnya belajar, untuk kesekian kalinya H. Djazuli ditugasan memberi pelajaran. Bahkan kali ini tidak tanggung tanggung, Kyai Dimyathi menugaskannya untuk membaca sekaligus tiga kitab yang tergolong tebal tebal. Yang membuat dirinya grogi adalah ia datang ke Tremas tanpa membawa kitab, sehingga ia memberanikan diri untuk menghaturkan pada Kyai.
“Maaf saya tidak membawa kitab”, katanya mengelak, yang langsung dijawab oleh Kyai : “Tidak jadi soal, nanti bisa pinjam kitab saya”, maka diapun tidak dapat mengelak, mau tidak mau harus mengajar dengan membaca kitab Kyainya. Dan seperti yang terjadi di pondok pondok sebelumnya, kepercayaan mengajar ini juga membuat H. Djazuli tak dapat bersantai seperti santri santri biasa, dia harus lebih tekun. Mempengnya yang tak pernah surut membuktikan betapa cintanya kepada ilmu, melebihi cintanya kepada yang lain. Seolah olah ia telah berjanji setia kepada ilmu my love just for you, sehingga ia melupakan pelukan istrinya, agaknya Iezatnya madu ilmu melebihi nikmatnya bulan madu.
Di Karangkates Kyai Muharrom beserta istrinya dan Hannah putrinya menunggu dengan sabar. Sungguh kecintaan dan harapan Kyai Muharrom kepada sang menantu tak dapat diukur, sehingga beliau rela berkorban apa saja, mengalahkan cinta kepada anak kandungnya sendiri. Direncanakannya Pondok yang besar untuk H. Djazuli yang akan dibangun di areal tanah miliknya. Kyai Muharrom yakin bahwa masa depan menantunya adalah masa depan agama, keduniawian tak pemah dipikirkannya.
Akan tetapi lbu Nyai sebagai wanita yang normal mempunyai pandangan yang berbeda dengan suaminya. Disamping masa depan agama (Pondok Pesantren), Ibu Nyai ingin memikirkan masa depan dunia bagi pasangan muda menantu dan anaknya. Beliau yang berasal dari keluarga yang berada ini tak ingin anak cucunya hidup melarat, sengsara dan hina ekonominya. Jadi kehidupan dunia sangat perlu dipikirkan disamping kehidupan akherat. Bukankah kita butuh dunia hasariah, akherat hasanah?. Adalah sangat wajar kalau beliau memikirkan masalah ini sebagaimana pandangan wanita pada umumnya yang terkadang berlebihan terlalu khawatir akan nasib anaknya, bukan berarti beliau materialis.24)
Perbedaan pandangan yang kemudian menimbulkan kesalahpahaman itu terus berkelanjutan sampai H. Djazuli dan ipar iparnya pulang dari Tremas. Bahkan setelah ketiga kader calon tokoh pondok itu diterjunkan untuk mengajar, kesalahfahaman tadi berkembang menjadi cemburu, fasalnya pengajian pengajian yang diasuh oleh H. Djazuli selalu mendapat kunjungan lebih ramai dan antusias dari para santri, mengalahkan kedua putranya. Hal ini tentu menimbulkan gap (jurang pemisah) yang sulit dihindarkan, walaupun rumah tangga yang dibina H. Djazuli dan Hannah bisa berlangsung harmonis dan rukun.
Suatu cobaan berat diterimanya dalam memilih antara istri tercinta ataukah idealisme perjuangan mengembangkan ilmu, banyak sudah calon pemimpin kandas ketika dihadapkan pada wanita harta atau kedudukan. H. Djazuli adalah teladan yang pantas kita tiru, hatinya tak bergeming menerima tantangan tantangan seperti itu. Dia tetap memilih ilmu, suatu idealisme yang sudah diyakininya, mengaji dan hanya mengaji, itulah yang terpenting, perkara lain adalah kecil, perkara rizki adalah anugrah Tuhan semata, itulah prinsip yang dipegang oleh H. Djazuli dan itu pula pendiriannya, tatkala ibu mertuanya mengatakan dengan sinis: “Wong isane mung ngaji tok, sing kanggo ngopeni bojo iku apo … ?”*)
Akhirnya demi kemaslahatan bersama dan kelangsungan cita cita, H. Djazuli menjatuhkan talaq dengan sangat terpaksa setelah terlebih dahulu mohon pertimbangan dan restu ibunya di Ploso.

Menjadi Kyai Perintis Al Falah

MENGEMBAN AMANAH MENEBAR ILMU

Dari Karangkates Haji Djazuli Ialu pulang ke Ploso dengan diikuti seorang santrinya bernama Muhammad Qomar, lucunya santri itu tidak lain adalah kakak iparnya sendiri yang tak mau berpisah dengannya. Karena di Ploso ia belum memiliki tempat tinggal, maka ia bersama santri satu satunya itu tinggal di bilik utara masjid kenaiban. Seandainya yang menjabat naib waktu itu bukan Bapak Iskandar, kakak kandungnya sendiri mungkin ia tak boleh menempati bilik itu.
Pertengahan tahun 1924 dari seorang santri dan satu masjid ini Haji Djazuli mulai merintis pesantren. la meneruskan pengajian untuk anak anak desa sekitar Ploso yang sudah dimulainya dengan pulang pergi sejak ia masih berada di Karangkates. Jumlah murid pertama yang ikut mengaji ± 12 orang. Dengan ikhlas ia membimbing murid-muridnya demi menjalankan amanah yang dibebankan kepada orang yang sudah memiliki Ilmu. la merasa wajib menyebarkan ilmunya semata mata karena perintah Allah, bukan karena ambisi ingin menjadi tokoh yang disegani berpengaruh dan dihormati, apalagi untuk mencari keuntungan materi. Dibimbingnya santri yang sedikit itu dengan telaten dan penuh kesabaran lewat sistem sorogan, dibacakannya makna gandul (makna berbahasa jawa dari kitab kuning ala pesantren) kepada murid muridnya, Ialu disuruhnya murid murid itu mengulang makna tadi secara bergantian. Dibetulkannya apabila ada yang salah membaca dengan cara yang baik dan bijaksana, bahkan dengan senang hati ia menuliskannya di kitab murid muridnya apabila sang murid menyodorkan kitab beserta pulpen berikut tintanya. Diterangkannya materi pelajaran dan permasalahan dengan jelas dan tuntas.1)
Semangat yang ditunjukkannya ketika mengajar di hadapan berpuluh puluh orang ketika masih di Mojosari, Mekkah, Tebuireng, Tremas dan Karangkates tidak berbeda dengan menghadapi seorang santri di serambi masjid Dan begitu juga sikapnya ketika mengajar ratusan santri di kemudian hari. Sungguh ia mengajar bukan untuk sanjungan, namun semata mata demi perintah Allah.
Itulah rahasia keberhasilannya dan itulah modal awal satu satunya yang ia miliki. Tak ada modal harta sepersenpun, tak ada sejengkal tanah, yang dimilikinya, bahkan apa yang hendak dimakan besok pagi saja ia tak mengerti.
Di saat saat itu ia selalu ingat pesan Kyai Zainuddin, guru sekaligus mertuanya, “Le ngajiyo! senajan ora duwe santri”.*) Kata kata itulah yang selalu membakar semangatnya dan tak pernah padam selamanya. Bahkan. sampai terbawa bawa ke dalam mimpi, seringkali ia bermimpi didatangi oleh Kyai Zainuddin dan diperintahkan untuk mengajar ngaji.2) Dan di suatu malam ia bermimpi menggendong mayat, Ialu tiba tiba mayat tersebut hidup. Esok paginya ia menceritakan perihal mimpinya itu dan ia melanjutkan : “Jarene arep hasil sejane” (jadi akan berhasil rencananya), sebagaimana layaknya kepercayaan orang orang tua tentang ta’bir mimpi menggendong mayat.
Hari demi hari kian banyak orang yang tahu kalau Mas’udnya Kyai zainuddin alias blawong yang telah melanglang buana memburu ilmu dari ujung timur di Sidoarjo sampai ke ujung barat di Mekkah kini telah pulang menebarkan ilmunya di kampung kelahirannya, maka banyaklah anak anak desa sekitar bahkan dari wilayah yang agak jauh datang ke Ploso mengikuti pengajiannya.
Di penghujung tahun 1924 itu seorang santri Tremas bemama Abdullah Hisyam asal Kemayan (± 3 km selatan Ploso) datang bertamu kepada Haji Djazuli sambil membawa salam dan surat surat dari sahabat lamanya. Kedua orang yang merasa sama sama satu almamater (seperguruan) di Pondok Tremas itu beramah tamah sampai lama. Haji Djazuli bertanya tentang gurunya Hisyam, tentang kitab-kitab yang dikuasainya dan masalah masalah kesulitan yang dihadapinya. Setelah dialog terasa cukup, Ialu Haji Djazuli melanjutkan, “Sudahlah! tidak usah mondok ke sana ke mari, tinggal di sini saja ikut ngaji bersama saya, fainnalhuda hudallah.” “Alhamdulillah”, seru Hisyam dengan suara datar. Hisyam merasa senang sekali karena kepergiannya ke Tremas satu setengah tahun yang Ialu sebenarnya ingin mengikuti pengajian Haji Djazuli di samping Kyai Dimyathi, namun sayang sekali rencananya itu tak dapat terlaksana karena sesampainya di Tremas Haji Djazuli baru saja boyong (pulang ke Karangkates), maka Hisyam benar benar lega mendengar tawaran Haji Djazuli daii mantaplah ia mulai saat itu untuk berguru sambil mengajar membantu gurunya. Konon Hisyam bukanlah orang yang cerdas tapi berkat ketekunan dan kesabaran Haji Djazuli membimbingnya ditanmbah kemauannya yang membaja ia mampu tampil sebagai guru yang berbobot dan merupakan salah seorang pelopor berkembangnya Pondok Ploso di masa masa berikutnya. Bahkan setelah ia pulang ke kampungnya di dusun Kemayan ia menjadi Kyai yang cukup disegani.
Haji Djazuli semakin optimis (berbesar hati) akan berhasil mendirikan Madrasah dan Pondok Pesantren yang punya masa depan gemilang. Tiba tiba ia dipanggil oleh Kyai Zainuddin, guru sekaligus mertuanya, maka ia segera berangkat ke Mojosari. Tak pernah diduga sebelumnya Kyai Zainuddin berkata “Kowe biyen anakku, saiki yo anakku Mulo Pondok iki (Mojosari) terusno opo dene omahku, sawahku iki mbesok pandumen karo Zaini (putra angkat beliau).”*) Bak disambar petir di siang bolong, Haji Djazuli terperanjat di depan gurunya yang dihormatinya sekaligus mertuanya tercinta. Betipa tidak, ia sudah memiliki kemantapan hati untuk mendirikan Pondok di Ploso, sementara gurunya menginginkannya meneruskan Pondok Mojosari, suatu perbedan pendapat yang sulit dipecahkan.
Dengan sangat terpaksa ia menjawab dengan penuh kejujuran babwa ia sudah mantap untuk mendirikan Pondok di Ploso. Jawaban ini membuat Kyai Zainuddin kecewa dan marah. Bukankah sejak Haji Djazuli masih menjadi santri pengabdiannya terhadap Pondok Mojosari sudah ditekankan oleh Kyai dan agaknya Kyai sangat berharap agar Haji Djazuli benar benar tampil sebagai generasi penerus pimpinan Pondok Mojosari.
Haji Djazuli pulang ke Ploso dengan perasaan gundah, hatinya sedih karena telah berani menyakiti perasaan gurunya. la amat khawatir akan kelangsungan cita citanya tanpa mendapat ridlo dan dukungan dari gurunya sekaligus ayahnya yang telah berjasa besar dalam hidupnya. Namun apa hendak dikata perbedaan pendapat tak bisa dihindarkan.
Agaknya permasalahan berat yang dihadapi oleh Haji Djazuli ini sampai juga ke telinga Kyai Hasyim Asy’ari, sehingga beliau memerlukan diri untuk menjernihkan permasalahan dengan berperan sebagai penengah, beliau segera sowan (menghadap) kepada Kyai Mojosari dan menjelaskan duduk perkaranya dengan penuh diplomatis lagi bijaksana. “Sampun kersanipun menawi pancen Haji Djazuli kepingin badhe dhamel Pondok wonten Ploso nggih sak kersanipun”.*) begitu di antara kata yang disampaikan Kyai Hasyim Asy’ari. Kemudian hilanglah kesalahfahaman Kyai Mojosari dan beliau dapat mengerti serta akhirnya merelakan kehendak menantunya.3)

LIKU LIKU DI AWAL 19254)

Hilang sudah keraguan di hati dan mantaplah Haji Djazuli meneruskan perjuangannya membina dan mendidik murid muridnya. Maka dengan ucapan Bismillah dan bekal Tawakal dibentuknya sebuah Madrasah. Surat permohonan pemantauan kepada pemerintah Belanda untuk lembaga baru yang kemudian dikenal dengan nama Al Falah itu tertanggal 1 januari 1925. Karena Madrasah tersebut belum punya gedung maka tempat belajamya menggunakan serambi masjid. Inilah awal keberangkatan Haji Djazuli menjadi seorang Kyai di usia yang masih muda 25 tahun.
Hisyam sudah enam bulan digembleng oleh Kyai muda, banyak peningkatan yang diperolehnya dan siaplah ia untuk mengajar di tingkat yang lebih rendah, maka Kyai Djazuli memerintahkannya untuk mengajar di malam hari sehabis maghrib membawakan mata pelajaran Sulam taufiq, Risalatul Mubtadiin dan Bad’ul amali. Jadwal ini hanya berlangsung dua bulan untuk kemudian diganti waktunya menjadi malam hari dan ternyata setelah enam bulan berjalan diganti lagi menjadi jam delapan pagi. Begitulah awal perjalanan dari sebuah perjuangan yang masib harus beradaptasi dengan tuntutan kebutuhan murid yang dilayaninya. Memang menyebarkan llmu ibarat orang berdagang yang harus menyesuaikan diri dengan keinginan pembeli agar barangnya bisa laku.

Cerita tentang berdirinya Madrasah sudah terdengar di kalangan yang lebib luas hingga satu demi satu santri berdatangan dari berbagai desa dan santri santri yang berasal dari daerah yang jauhpun satu demi satu menetap di Ploso. H. Ridwan Syakur, Baedlowi dan Khurmen, ketiganya dari Sendang Gringging ditambah H. Asy’ari dan Berkah dari Ngadiluwih merupakan santri santri pertama yang menetap. Suasana sudah terasa ramai dan masjidpun terasa sesak yang menimbulkan permasalahan baru yaitu mendesaknya pengadaan ruang belajar yang memadai. Direncanakanlah pembangunan sebuah gedung Madrasah. Dengan segenap tenaga, fikiran dan jerih payah yang tak ternilai, Kyai Djazuli keliling desa guna mengumpulkan.dana untuk pembangunan tersebut. Beliau harus mengayuh sepeda berpuluh puluh kilometer sampai Kediri, Tulungagung, Trenggalek dan terkadang ke Blitar. Namun tak sia sia banyak hartawan dan dermawan mengulurkan tangan sehingga pembangunan segera bisa dilaksanakan. Akan tetapi di dunia ini tak ada jalan yang terus mendatar, sebanyak jalan yang menurun sebanyak itu pula yang mendaki. Begitulah dengan perjalanan awal Al Falah. Konon bersamaan dengan berlangsungnya pembangunan Madrasah Pak Iskandar kakak kandung beliau membeli sepeda fongres secara kredit, maka pecandu kesenian, perjudian dan se)enisnya yang merasa terancam dengan kehadiran Kyai baru itu benar benar mendapat bahan ocehan dan peluang untuk melancarkan serangan awal.5)
“Stop sumbangan untuk madrasah”, kata mereka. “Menyumbang sama saja dengan melancarkan angsuran kredit,” begitu bunyi fitnah yang disebarkannya, bahkan ada penduduk yang membelah kayu untuk disumbangkan kepada pembangunan. Di tengah perjalanan kayu tersebut dicegat dan sebagiannya dibawa kembali.

Kyai Djazuli tetap diam, seperti diamnya di masa kanak kanak. Kesabarannya begitu tinggi. Akan tetapi fitnah bukannya reda, justru semakin menusuk hati. Disebarkanlah isu babwa jalannya Madrasah Ploso itu tidaklah baik, karena gurunya kurang umur, kurang pintar, kurang sholeh dan sebagainya. Kyai Djazuli masih tenang tenang saja, namun diam diam beliau mempunyai taktik yang sangat jitu untuk menangkis serangan mereka. Diundanglah para Kyai dan pemuka masyarakat sewilayah kecamatan Ploso untuk mengadakan suatu rapat yang berkaitan dengan berdirinya Madrasah. Acara dibuka dengan pembacaan Al Qur’an oleh Abdullah Hisyam seorang santri beliau yang ditugaskan mengajar di Madrasah. Tentu saja kemampuan vokal (suara), tajwid dan lagunya memenuhi persyaratan. Setelah itu Kyai Djazuli memberi sambutan tentang permasalahan permasalahan yang tengah dihadapi, tetapi sebagian isi sambutan tersebut memperkenalkan siapakah Qori’ yang penampilannya cukup lumayan tadi. Saya berani menugaskannya mengajar karena bacaannya sudah bagus, sah untuk dijadikan imam sholat, tulisannya jelas dapat terbaca dan akhlaknya pun bagus.
“Saya menganggap dia cukup pantas. Adapun masalah-masalah kekurangan akan saya usahakan untuk diperbaiki”, begitulah sambutan beliau yang kemudian dilanjutkan dengan ungkapan sebagai berikut: “Akan tetapi terserah bapak bapak, kalau mengusulkan untuk diganti, ya saya akan ganti”, serentak hadirin menjawab: “Tidak, tidak perlu! sudah, sudah bagus”.

Tanpa komentar panjang, tanpa bertengkar apa lagi bentrokan fisik atau konfrontasi. Kyai Djazuli dengan bijaksana sudah menyelamatkan perjuangannya dari serangan fitnah, sebab dari hasil pertemuan itu isu isu negatif sudah tidak bisa mempengaruhi kalangan tokoh tokoh masyarakat khususnya tokoh agama.
Di tengah tengah badai topan kendala dan rintangan itu pembangunan terus berjalan dipimpin oleh seorang tukang bangunan bernama Hasan Hadi. Seluruh santri bahu membahu bergotong royong, begitu juga Kyai dan Ibu Nyai terlibat langsung sampai pembangunan sudah layak untuk ditempati, tinggallah semen untuk lantai yang tak terjangkau oleh dana. Tak ada rotan akarpun jadi, maka dipakailah batu bata merah untuk lantainya, sehingga Madrasah yang berlokasi di depan Masjid dan terdiri dari 2 lokal itu terkenal dengan sebutan Madrasah Abang (Madrasah Merah). Peristiwa ini terjadi pada tahun 1927, konon KH. Hasyim Asy’ari berkenan hadir pada acara selamatan/ syukuran pembangunan Madrasah tersebut, suatu peresmian yang sangat sederhana.
Lega sudah hati Kyai Djazuli, begitu pula para santri yang belajar. Mereka merasa tentram dan punya harapan untuk meraih ilmu dengan sukses dengan tersedianya fasilitas yang kian meningkat, sementara santri santri baru dari daerah yang jauh terus bertambah. Banyaknya santri yang menetap sudah tak tertampung lagi di Masjid sehingga timbullah permasalahan lagi yaitu pengadaan asrama (pondok) tempat bermukim bagi para santri. Maka pada tahun berikutnya (1928) dibangun pondok yang pertama kali yang diberi nama pondok D (Darussalam) yang disusul pada tahun berikutnya dengan pembangunan Pondok C (Cahaya) yang semula diperuntukkan sebagai tempat mujahadah bagi para santri.
Begitulah sepak terjang seorang ‘Ulama sejati yang mengajarkan ilmunya semata mata Lillahita’ala Ialu santri datang satu persatu berkerumun bagai tawon menyerbu gula. Santri itu dilayaninya dengan baik semata mata karena amanah Allah. Setelah santri santri berdesak desakan diperjuangkannya Madrasah dan asrama. Kini kita cap beliau sebagai ‘Ulama kuno, ‘Ulama kolot berjuang bagaikan siput tak punya rencana. Tetapi ketahuilah perjalanan seekor siput, walaupun perlahan tapi pasti. Sangat berbeda dengan generasi modern yang mendewa dewakan manajemen. Pondok dirancang dengan rencana matang, Ialu didirikan gedung permanen dengan fasilitas lengkap sembari memasang iklan di berbagai media. Namun fakta telah bicara, banyak terjadi gedung sudah mulai retak dan keropos sementara santri santrinya tak kunjung datang. Suatu bahan renungan bagi pejuang pejuang Pondok Pesantren.

Cinta Sampai Cita-Cita Tercapai

Masyarakat modern benar‑benar telah mengakui betapa besar peranan wanita dalam pembangunan. Karena itulah Pemerintah Orde Baru perlu mengangkat seorang menteri perawan (Peranan Wanita).

Sumbernya memang dari ajaran Islam. Ingatlah bahwa Nabi Musa a.s. menatap sinar di bukit Tursina tatkala berjalan berdampingan dengan Safurah, istrinya yang tercinta. Begitu juga tatkala ayat lqro’ (ayat pertama) Al qur’an diturunkan, Rosululloh SAW. sangat butuh spirit dan dekapan Siti Khodijah. “Zarnmiltini, zammiltini” (selimuti aku, selimuti aku), sabda beliau sambil menggigil. Sejarah telah membuktikan babwa sukses yang dicapai para Nabi dan tokoh‑tokoh besar tidak lepas dari peranan wanita sang pendamping.

Bagaimana dengan Kyai Djazuli? seorang duda yang tak henti‑heiitinya dihempas gelombang cobaan?, rupanya beliau butuh pendamping sebagai teman berbagi rasa, tersenyum bersama tatkala senang dan teman berunding memecah aneka problema. Di samping itu beliau berfikir bahwa kelanjutan Pondok pesantren perlu disiapkan sejak dini dan salah satu cara yang banyak ditempuh adalah lewat jalur keturunan. Bukankah dari dua kali pernikahannya beliau belum memperoleh keturunan?

Sebagai warga masyarakat yang supel dalam bergaul Kyai Djazuli sering beramah tamah dengan Mantri Setjo Atmodjo, seorang mantri guru (Kepala Depdikbud) yang bertugas di kecamatan Ploso. Pak mantri ini berasal dari Nglorok Pacitan dan kemudian menikah dengan putri Kyai Imam Mahyin dari Durenan Trenggalek (keturunan Mbah Mesir bin Mbah Yahudo) semuanya adalah ‘Ulama-’ulama terkenal di zamannya.

Dari Pak Mantri inilah KH. Ahmad Djazuli mendengar siapa sebenamya Roro Marsinah, seorang janda muda sholehah putri Kyai Imam Mahyin (adik ipar pak Mantri). Beberapa waktu yang Ialu si dia bercerai dengan Kyai Ihsan Jampes hanya karena kesalahpahaman. Ternyata perceraian itu membuatnya tersinggung, karena disamping putri kyai bangsawan, ia punya nasab cukup tinggi juga punya prinsip atau pendirian yang kuat. Tentu saja wataknya juga tergolong keras seperti layaknya sifat khas orang‑orang Durenan, dan sejak perceraiannya itu ia lebih mendekatkan diri kepada yang kuasa merenungkan apa salah dan kekurangan‑kekurangannya sambil istighfar mohon ampun. Sehari‑hari ia membaca Al qur’an di pusara Al Maghfurlah Kyai Imam Mahyin, ayahnya yang meninggal ketika ia masih berusia 17 tahun.6)

Tak pantas kalau kita katakan ia telah patah hati, namun bagaimanapun jua perceraian itu belum mampu ia lupakan, Kyai lhsan diakuinya memang ‘alim bahkan di kemudian hari beliau mampu mengarang kitab Sirojuttolibin sebuah syarah (komentar dan pengembangan) dari Minhajul Abidin karya Imam Ghozali yang akhirnya kitab tersebut tersebar luas di kalangan ummat Islam dunia terutama di Cairo dan Baghdad.

Roro Marsinah bertekad tak mau kawin lagi kalau tidak mendapatkan seorang pria yang mampu menandingi ke’aliman Kyai lhsan. Ganteng jelek tak jadi ukuran, kaya miskin tak jadi persyaratan yang penting ‘alim, kuat agamanya. Memang begitulah seharusnya pilihan seorang wanita yang punya keimanan kuat.

Akan halnya Kyai Djazuli sangat mendambakan wanita yang kuat agamanya syukur kalau nasabnya juga bagus. Perkara keibuan, menarik, suka humor, langsing, lincah, manis, montok dan sebagainya tak jadi soal. Namun Kyai muda yang tergolong The have not (ekonomi melarat) itu juga sangat mendambakan wanita yang tidak materialis.

Tuhan Yang Maha Tahu mendengar jeritan hati kedua hambanya yang berlainan jenis itu. Dikabulkannya do’a mereka dan diberinya jodoh. Pernikahanpun berlangsung tanpa didahului masa berpacaran atau masa saling menyesuaikan diri, tak ada upacara tukar cincin. Memang begitulah kisah dua pernikahan sebelumnya yang dialami oleh Kyai Djazuli. Bukankah Islam mengajarkan bahwa cinta kasih akan tumbuh dalam rumah tangga yang sah sebagai anugerah dari sang pencipta? Jadi Islam mengajarkan pacaran setelah nikah, bukan seperti yang dilakukan olch anak‑anak muda yang terbawa arus kebudayaan barat.

Akad nikah dan resepsi pernikahan berlangsung tanggal 15 Agustus 19307), kedua mempelai sama‑sama mensyukuri jodohnya yang tak meleset dari idaman semula. Keduanya saling menyelami dan saling menerima segenap kelebihan dan kekurangan masing‑masing. Cintapun bersemi, tumbuh perlahan tapi pasti dalam mahligai rumah tangga sakinah penuh rahmat. Roro Marsinah yang kini telah resmi menjadi Bu Nyai itu amat memaklumi akan kefakiran suaminya tercinta, oleh karena itu makan tiwul, gaplek dan sawut dengan lauk sambal kluwak tak mengendorkan cintanya. Dia bukan wanita mata duitan, ada uang abang sayang tak ada uang abang ditendang. Dimakannya makanan-makanan bergizi rendah itu dengan perasaan syukur, bukan keluhan. la sama sekali tak kaget berhadapan dengan kemelaratan, sebab ia telah ditempa oleh pengalaman hidupnya yang juga penuh derita. Sejak balita usia dua tahun ibunya telah dipanggil yang kuasa, ia tak sempat bermanja‑manja menikmati kasih sayang ibunya. Dan beberapa lama kemudian ayahnya kawin lagi sehingga ia yang merupakan anak kesebelas dan terkecil ini harus mengalami pahitnya sebagai anak tiri. Dan ketika usianya mencapai tujuh tahun ayahpun menyusul wafat, membuat hidupnya selalu dalam derita yang berkepanjangan. Walaupun ayahnya banyak meninggalkan warisan ia agaknya terlalu kecil untuk ikut campur urusan harta benda, sehingga ia tak mengerti hak miliknya. 8)

Atas dasar persamaan sanggup menghadapi derita keluarga baru yang dibina Kyai Djazuli dengan istrinya dapat rukun dan damai. Namun sebagaimana layaknya sebuah keluarga, muncullah permasalahan rumah tempat tinggal karena tidak mungkin keduanya akan tinggal di bilik masjid kenaiban itu. Rupanya Bu Sholeh (kakak kandung beliau). merasa kasihan melihat nasib saudaranya, Ialu diberikannya tempat tinggal bagi pasangan baru itu. Konon tempat tinggal itu adalah sebuah lumbung yang terletak di kediaman Gus Fu’ sekarang ini. Lumbung itu kemudian dirubah menjadi rumah dengan membuat pintu ala kadarnya. Sungguh rumah yang sangat jauh untuk dikatakan layak dihuni apalagi untuk dikatakan sejahtera dari segi bendawi.

Menyesalkah Bu Nyai memilih Kyai miskin itu? Tidak, malahan sebaliknya dia merasakan suaminya adalah segalanya. Kyai Djazuli dikenalnya punya prestasi yang unggul di bidang Ilmu, sabar dan pandai bergaul sejak masih belajar di Pondok, bahkan pernah seperguruan dengan Kyai Ihsan Jampes ketika berguru kepada Syech Al Aidarus di Mekkah. “Pondok yang tengah dirintis suamiku harus sukses,” begitu tekadnya dalam hati sambil mengenang masa‑masa Ialunya yang luka. Sungguh dia wanita yang hebat, mampu mengobati hatinya dengan ibadah dan fastabiqul khoirot (berlomba‑lomba dalam kebagusan), bukannya patah hati lalu gantung diri.

Hubungan suami istri Kyai Djazuli semakin hangat saja setelah Ibu Nyai nampak hamil. Sungguh Kyai Djazuli sangat mengharapkan untuk segera punya keturunan, oleh karena itulah beliau kelihatan benar‑benar bersyukur ketika putri pertamanya lahir pada tanggal 7 September 1931. Diberinya nama Siti Azzah. Anak pertama itu bagaikan kaca cermin, ditimang selalu dan tak jemu untuk dipandang begitulah halnya Kyai Djazuli. Namun tatkala si mungil putrinya itu mulai belajar bicara dengan lucu-lucunya pada usia satu tahun Allah menghendaki lain. Putri itu meninggal dunia yang membuat hatinya menjadi amat pilu. Andaikan beliau tidak memiliki iman yang kuat niscaya hatinya akan terluka perih dan sulit untuk disembuhkan.

Satu setengah tahun kemudian lahirlah putra kedua yang diberi nama Hadziq, maka terobatilah rasa sedihnya karena ditinggalkan oleh Siti Azzah beberapa waktu yang Ialu. Namun rupanya Allah masih terus menguji ketabahan hati Kyai Djazuli dan istrinya, putra tersayang yang dicanangkan untuk menjadi penerus estafet perjuangan itu juga diambil oleh yang kuasa pada usia kecil 9 bulan. Kembali kesedihan menyelimuti rumah tangganya.

Kyai Djazuli beserta istri tercinta dan putrinya (Lailatul Badriyah)

Namun Kyai Djazuli dan istrinya tak pernah putus asa, sambil terus menerus berdo’a kepada Allah SWT. Tatkala ibu Nyai hamil lagi untuk yang ketiga kalinya, maka dukun bayi yang dipercaya untuk merawat sang bayi kali ini tidak sembarang dukun. Akan tetapi seorang dukun dari Trenggalek yang dahulu pernah berperan menolong ketika Ibu Nyai dilahirkan. Dukun ini menyarankan agar ari-ari si bayi jangan ditanam ke dalam tanah seperti yang dilakukan terhadap dua bayi yang telah Ialu, mulai bayi ketiga ini dan seterusnya ari‑arinya dibanyutkan di sungai Brantas. Sampai soal pemberian nama untuk bayi ketiga ini diserahkan kepada Kyai lain, maka diberilah nama Zainuddin sekaligus dalam rangka tafa’ul (agar ketularan) dengan Kyai Zainuddin Mojosari.

Suka dan duka datang silih berganti sebagai romantika kehidupan keluarga yang membuat Ibu Nyai perlahanlahan dapat melupakan pedihnya pengalaman masa lalunya. Akan tetapi semangatnya untuk berkiprah agar Al Falah terus jaya tetap membara, dasarnya bukan lagi yang lain‑lain, tetapi lillahi ta’ala. Bukankah sebagai seorang istri ia wajib untuk turut berjuang menegakkan cita‑cita suaminya sebagai wanita ia ingin menjadi tiang negara sebagaimana yang ditandaskan oleh Rasululloh SAW dalam haditsnya.

المرأة عماد اللاد واذاصلحت صلحت البلاد واذافسدت فسدت البلاد

Meskipun telah dikaruniai tiga orang anak keadaan perekonomian keluarga ini tetap saja miskin papa dan rumah tempat tinggal belum dimilikinya. Menurut sebuah riwayat pada masa‑masa itu Kyai Djazuli menumpang (Magersari : Jawa) di rumah pak Iskandar, kakaknya. Rumah itu sekarang menjadi kediaman KH. Zainuddin Djazuli. Melihat kemiskinan tersebut, sebagai seorang suami yang bertanggung jawab Kyai Djazuli berkeinginan untuk bekerja mencari nafkah meredakan derita rumah tangga.

Namun dengan tegas Ibu Nyai menyanggah: “Pun, Sampean ngaji mawon, kulo sing ngurusi sangu”,*) sejak itulah konsentrasi mengajar Kyai Djazuli terus meningkat, karena beliau dan pasangannya telah seia‑sekata untuk mengutamakan keberhasilan Al Falah mengalahkan persoalan-persoalan yang lain. Kyai Djazuli terus berfikir untuk kemajuan pesantren. Mengajar, matla’ah, sholat jamaah, sholat sunnat dilaksanakannya dengan istiqomah (ajek, rutin) sementara istrinya berusaha kecil‑kecilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, bermacam‑macam usaha telah dijalani seperti berjualan sayur‑mayur di depan rumah, berdagang kain keliling desa dengan berjalan kaki sambil menggendong dagangannya ala mbok jamu, membuka warung untuk santri dan usaha‑usaha lain yang halal.

Rumah ini dulu adalah rumah bu saleh disinilah Kyai Djazuli menumpang

Memang tak seberapa hasil yang diperolehnya, namun rizki yang halal benar‑benar punya kadar barokah yang tinggi. Buktinya, rizki yang sedikit itu telah cukup baginya walaupun dengan menu makanan sangat sederhana. Tiwul, sawut dan singkoiig rebus tergolong makanan bergizi rendah menurut pendapat umum dan para ahli gizi, akan tetapi makanan‑makanan itu tidak menyebabkan kekuatan ibadah keluarga Kyai Djazuli menjadi merosot.

Beban Ibu Nyai semakin terasa berat dengan lahirnya putra ketiga, keempat dan seterusnya. Di samping memikirkan roda perekonomian keluarga mencari nafkah banting tulang, beliau juga harus merawat dan membina putra‑putranya. Namun sungguh mengagumkan, kesibukan-kesibukan tersebut tidak membuat perhatiannya kepada Pondok Pesantren menjadi berkurang. Beliau berhati baja, tidak acuh terhadap perjuangan suaminya, peran aktifnya untuk kemajuan Pondok tak dapat dibilang kecil. Beliau tahu pasti kalau lonceng tanda pengajian atau beduk dipukul menyimpang dari jadwal sebenarnya dan tak segan‑segan beliau memberikan teguran. Ketika suaminya berangkat untuk menjadi imam sholat subuh misalnya, beliau keluar dari rumah untuk mengontrol santri‑santri yang punya gelagat tidak ikut jamaah atau membangkong. Dengan gaya khasnya beliau menegur dengan pertanyaan “Nyapo nggak jamaah?”*) Tentu saja si santri tak dapat menjawab karena sungkan dan grogi, maka beliau melanjutkan dengan kata‑kata “Omahmu kan adoh”**) sebagai nasehat kepada santrinya.

Masih soal disiplin Ibu Nyai, para Ustadz yang bertugas mengajar di kelas atau yang membantu mengasuh pengajian merasa sangat kesulitan untuk libur mengajar. Apabila ada Ustadz terdengar akan libur, beliau Ialu memanggil yang bersangkutan untuk ditanya model interogasi “Nyapo libur?” ***)tanya beliau seolah‑olah ingin tahu. Jika jawabannya adalah karena tidak enak badan, langsung beliau berkata : “Ta gaeno jamu, ben waras”****), sambil berlalu untuk mengolah ramuan jamu jawa. Setelah minum jamu sang Ustadzpun merasa sungkan dan malu, hingga akan memaksakan diri untuk menjalankan tugasnya.

Beliau faham siapa diantara para ustadz yang tergolong malas, maka beliau sendiri yang aktif memukul Ionceng pada jadwal-jadwal ustadz yang bersangkutan. Dan tidak hanya sampai di situ peran aktifnya untuk Al Falah. Bahkan beliaulah yang menjadi bagian keuangan Pondok yang mengurus anggaran belanja, semua itu dirangkap oleh beliau untuk lembaga Al Falah yang masih muda, di saat organisasi Pengurus Pondok belum teratur. Beliau terjun langsung berfikir dan bekerja sebagai pengurus, terkadang melakukan tugas keamanan, terkadang sebagai bagian keuangan.9)

Jarang ditemui Bu Nyai semacam itu, yang tidak hanya membantu suami di garis belakang (kasur, sumur dan dapur). Tetapi tampil mendamping suami di garis depan sebatas kodratnya sebagai wanita, tidak sampai mengalahkan suami dengan dalih emansipasi. Jasanya untuk Al FaIah hanya Allah yang mampu menghitungnya. Maka pantaslah kalau kita panggil namanya Ummul Ma’had. Bersama beliau cinta tergapai dan bersama beliau pula cita‑cita tercapai.
6) Cerita Mbah Munaris kedawung, dan cerita Mbah Nyai H. Rodliyah Djazuli kepada Pak Musleh.

7) Stanboek asal osoel dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda.

8) Cerita Ibu Nyai Hj. Lailatul Badriyah Djazuli.

*) “Sudahlah, Bapak ngaji saja, saya yang mengurusi biaya”

*) “Mengapa tidak jamaah”

**) “Rumahmu kan jauh”

***) Mengapa libur?”

****) “Saya buatkan jamu biar sehat”

9) Cerita KH. Miftahul Ma’na Blitar

http://islamtradisionalis.wordpress.com/category/tokoh/biografi-kh-ahmad-djazuli-utsman/

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons