Blog ini ditujukan kepada seluruh ummat Islam yang cinta kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Para Sahabat RA, Auliya', Habaib, Ulama', dan sejarah kebudayaan Islam.
Tampilkan postingan dengan label Sejarah Kebudayaan Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah Kebudayaan Islam. Tampilkan semua postingan

Rabu, 12 September 2012

Muhammad Ibnu Qasim, Sang Perintis Peradaban Islam di Asia Selatan

Bersenjatakan ketapel raksasa dan batu berapi, pasukan Muslim membebaskan Asia Selatan. Di bawah Muhammad Ibnu Qasim, Asia Tengah mulai mengenal Peradaban Islam
Masuknya Islam ke kawasan Asia Selatan – India dan Pakistan sekarang – di motori oleh seorang tokoh Mujahid bernama Muhammad Ibn Qasim. Pada abad ke delapan Masehi, dalam waktu kurang dari dua tahun, panglima perang muslim itu dengan gagah berani berhasil mematahkan perlawanan pasukan beberapa kerajaan yang masih beragama Hindu di wilayah itu. Dan sejak itulah, Islam mulai berkembang dengan pesat di anak benua Asia tersebut.
Muhammad ibn Qasim lahir pada tahun 695 M dizaman keemasan dinasti Bani Umayah. Ketika itu, kaum muslimin sudah mulai menguasai beberapa wilayah di Timur dan Barat. Di kawasan Timur, Qutaiba Ibnu Muslim menghancurkan perlawanan pasukan Tartar sehingga sebagian kawasan Asia tengah memeluk Islam. Sementara di Barat, Musa Ibn Nusair membebaskan hampir seluruh kawasan Afrika Utara. Bersama salah seorang jenderalnya, Thariq bin Ziyad, ia berhasil menduduki semananjung Liberia kemudian masuk ke Spanyol dan selanjutnya menembus ke jantung Eropa.
Ibnu Qasim tumbuh sebagai anak muda yang cerdas dan pemberani. Tak mengherankan bila Hajjaj bin Yusuf, Gubernur ketika itu, mengangkat Ibnu Qaim , yang kebetulan kemenakannya sendiri, sebagai panglima perang. Ibnu Qasim yang saat itu belum genap berusia 17 tahun, dipercaya memimpin sebuah pasukan beranggotakan 6.000 parajurit. Pasukan besar ini segera berangkat ke medan perang untuk merebut Debal, ibukota Sind (sekarang Pakistan).
Ketika Sind diperintah oleh Dahir Charch, seorang raja yang otoriter bukan hanya menguasai Sind, ia juga menguasai Baluchistan, Makram, Gujarat, marwar dan sebagian Punjab, kawasan-kawasan yang beribukotakan Debal, yang terletak di jalur barat sungai Indus. Hubungan dengan kekhalifahan Islam agak kurang serasi, karena ia terlalu suka melindungi sejumlah pemberontak. Bahkan tentaranya sering merampas barang-barang milik pedagang Muslim di Debal, dalam perjalanan mereka dari Ceylon ke Jazirah Arab. Tidak hanya itu, mereka juga sering menahan anak-anak dan perempuan keluarga pedagang Muslim. Raja Dahir selalu menolak membebaskan mereka, meskipun beberapa kali Khalifah memperotes.
Bisa dimaklumi jika kemudian pasukan Ibnu Qasim menyerang mereka. Dengan bersenjatakan ketapel raksasa dan batu besar berapi, 6.000 pasukan muslim mengepung dan menggempur Debal. Perang yang sangat dahsyat pun pecah hingga berlangsung beberapa hari. Pada awalnya Raja Dahir mampu mengimbangi serbuan itu karena mendapat dukungan sebagian raja kecil Hindu di beberapa kawasan di anak benua itu.
Pasukan Dahir berjumlah 10.000 tentara, terdiri dari pasukan gajah dan pemanah yang sangat mahir. Dahir sendiri mahir mengatir strategi perang. Ketika pasukan muslim mulai letih, ia menggerakkan pasukannya untuk menyerang habis-habisan. Tapi ketika terdesak ia sempat mengunci diri dibalik benteng kota Debal yang kukuh dan sangat sulit ditembus.
Meski begitu pasukan muslim dengan siasat perang yang jitu, bisa merubah situasi. Pasukan muslim mendadak menguasai medan pertempuran dan mengalahkan musuh. Mereka bersenjatakan katapel raksasa yang di sebut Uroos. Sebuah batu besar berapi menyala-nyala yang dilontarkan dengan Uroos berhasil mematahkan tiang bendera musuh di puncak benteng. Pasukan yang terkepung dalam benteng membaca hal itu sebagai pertanda buruk. Maka akhirnya mereka keluar dari benteng, dan disambut pasukan muslim dengan gempuran habis-habisan. Pasukan musuhpun bertekuk lutut.
Setelah berhasikl membebaskan Debal, pasukan Ibnu Qasim menyerbu kerajaan Nerwal. Dalam waktu tak terlalu lama, Raja Nerwal menyerah tanpa perlawanan berarti. Dari Nerwal Ibnu Qasim bergerak ke Bherah. Tapi disana pasukannya merndapat perlawanan dahsyat, meski akhirnya mampu mengalahkan Raja Vijay Ray. Setelah itu berturut-turut Ibnu Qasim merebut Sehwan, benteng Sesam, dan Sahihah, tampa perlawanan berarti. Ia juga bergerak ke sisi barat sungai Indus. Sampai disebuah kawasan dekat Jhimpir, sisi Timur sungai Indus, pasukan Ibnu Qasim berhadapan lagi dengan sebagian pasukan Raja Dahir yang berkekuatan besar yang dipimpin oleh Jenderal Jay Singh.
Di tengah pertempuran dahsyat, pasukan Ibnu Qasim menyebrangi Sungai Indus yang lebar dan berarus kuat. Mereka menggunakan beberapa perahu kecil di ikat satu dengan yang lain. Setiap perahu diawaki oleh lima pemanah pilihan, perahu paling depan ditarik dengan Mangonel semacam mesin penggerak. Pasukan berparahu itupun bergerak mengikuti arus, menyerang musuh diseberang sungai dengan ribuan anak panah. Walhasil, musuhpun dapat dipukul mundur.
Dari sisi sungai diseberang sana, pasukan Ibnu Qasim merangsek masuk ke jantung pertahanan musuh, dan akhirnya berhasil merebut Jhimpir. Dari sana mereka menguntit pasukan pengawal Raja Dahir yang berlindung di benteng Rawar. Dengan mudah pasukan Dahir dikalahkan dan menyerah, sementara sang Raja terbunuh.. pertempuran lainnya pecah di Brahmanabad, dan dimenangkan oleh pasukan muslim. Mereka berhasil memukul mundur pasukan Hindu di bawah pimpinan Jay Singh, yang buru-buru melarikan diri kearah Kashmir.
Pasukan muslim lalu bergerak maju lagi untuk merebut wilayah-wilayah di sekitar Rohri, dan seterusnya merangsek ke Sikka. Dalam pertempuran dahsyat selama beberapa hari, banyak korban jatuh di kedua belah pihak. Dan akhirnya dengan sekuat tenaga, pasukan muslim menggempur Multan, basis pasukan Hindu yang cukup kuat.
Walhasil hanya dalam waktu dua tahun (712-714) pasukan muslim di bawah komando Muhammad Ibnu Qasim berhasil memenangkan 11 kali pertempuran dahsyat melawan pasukan Raja Dahir. Ibnu Qasim sendiri tgernyata tidak hanya hebat di medan pertempuran, tapi juga piawai sebagai pemimpin di masa damai. Ia memerintah kawasan luas yang dikuasainya dengan adil. Tak mengherankan jika rakyat, baik muslim maupun non-muslim, sangat menghormatinya.
Pada masa Ibnu Qasim, sesungguhnya awal kebijakan daerah diterapkan, kebijakan otonomi daerah pertama kali dalam sejarah ketatanegaraan diterapkan. Masa itu adalah masa peralihan antara pemerintahan dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah, ketika hukum dan perundang-undangan diperluas pelaksanaannya sampai ke kawasan selatan seperti Karachi. Selain itu sejumlah kota dibangun dengan tujuan untuk memperluas dakwah. Sementara Bahasa Arab mulai diperkenalkan sebagai bahasa resmi.
Beberapa abad kemudian, ketika Ghaznavids (976-1148) dua penguasa pribumi India yang bergama Islam, memerintah wilayah-wilayah tersebut, pelaksanaan hukum dan perundang-undangan berdasarkan syariat Islam diperluas hingga ke Dehli. Dan sejak tahun 1206 sampai 1526, lima dinasti secara bergantian memerintah dengan tetap mempertahankan hukum dan perundang-undangan Islam. Begitu juga ketika Sultan Moghal (1526-1707) memerintah kawasan yang sudah dibebaskan itu.
Bersamaan dengan itu pula ada kecendrungan mengembangkan bahasa Persia sebagai bahasa Resmi, meskipun leteratur agama masih banyak yang menggunakan bahasa Arab. Dan selaras dengan perkembangan politik, saat itu pemerintah Islam juga mengembangkan institusi-institusi politik, eknomi, sosial dan agama.

Kamis, 14 Juni 2012

Nadhom Tauhid Aqidatul Awam

oleh : Gus Muhammad Taqiyyuddin Alawy


Kitab Nazhom Aqidatul awam karangan Syech Ahmad Marzuki bermula dari mimpi Syech Ahmad Marzuki pada malam jumat pertama di bulan Rajab tahun 1258 yang bertemu dengan Rasulullah SAW dan para sahabatnya, dalam mimpi tersebut Rosululloh saw berkata kepada Syech Ahmad al marzuki “Tulislah Nadzhom Tauhid “ Barang siapa yang menghafalnya dia akan masuk kedalam surga dan mendapatkan segala macam kebaikan yang sesuai dengan Al quran dan Sunnah .” Syech Ahmad marzuki pun bingung dan bertanya kepada Rasulullah SAW ” Nadzhom apa ya Rasulullah..??. Para sahabat menjawab ” Dengarkan saja apa yang akan Rosululloh saw ucapkan ” . Nabi Muhammad saw berkata ” Ucapkan..


أبـْـدَأُ بِـاسْمِ اللهِ والـرَّحْـمَنِ


Maka Syech Ahmad Marzukipun mengucapkan


أبـْـدَأُ بِـاسْمِ اللهِ والـرَّحْـمَنِ


Sampai dengan akhir Nadzhom yaitu


وَصُحُـفُ الـخَـلِيلِ وَالكَلِيمْ


فِيهَـا كَلامُ الْـحَـكَمِ الْعَلِيمْ


Nabi Muhammad saw pada saat itu mendengarkan bacaan Syech Ahmad almarzuki, maka saat itupula Syech Ahmad al marzuki terbangun dari tidurnya dan Beliau baca apa apa yang terjadi dalam mimpinya, dan ternyata Nadzhom tersebut telah terekam rapih dari awal sampai akhir nadzhom.


Nadzhom tauhid yang telah diberikan Rosululloh kepada Syech Ahmad marzuki , beliau tuangkan dalam sebuah kitab yang diberi nama “Aqidatul Awam” ( Aqidah untuk orang awam ) . Selang beberapa waktu lamanya Syech Ahmad Al marzuki bermimpi kembali bertemu dengan Rosululloh saw , dan Rosululloh saw berkata ” Bacalah apa yang telah kau kumpulkan di hatimu ( pikiranmu)”, lalu Syech Ahmad Marzuki berdiri membacanya dari awal sampai akhir Nadzhom dan para Sahabat rosululloh di samping nabi muhammad saw mengucapkan “Amiin” pada setiap bait bait nadzhom ini dibacakan . Setelah selesai Syech Ahmad Marzuki menyelesaikan bacaanya, nabi Muhammad saw bekata kepadanya dan mendokannnya:” Semoga Alloh memberimu Taufiq kepada hal-hal yang menjadi Ridho-Nya dan menerimanya itu darimu dan memberkahi kamu dan segenap orang mukmin dan menjadikannya berguna kepada Hamba hamba Alloh swt amiinn”.


Kitab Nadzhom Aqidatul awam semula hanya berisi 26 bait , namun karena rasa cinta dan rindunya Syech Ahmad marzuki kepada nabi Muhammad saw maka beliau menambahkan hingga mencapai 57 Bait Nadzhom…


Saudaraku .. sedikit saya gambarkan , Nama lengkap beliau Syekh Ahmad bin Muhammad bin Sayid Ramadhan Mansyur bin Sayid Muhammad al-Marzuqi Al-Hasani, dilahirkan sekitar tahun 1205 H di mesir , Beliau sepanjang waktu bertugas mengajar Masjid Mekkah karena kepandaian dan kecerdasannya Syech Ahmad Marzuki diangkat menjadi Mufti Mazhab Almaliki di Mekkah menggantikan Sayyid Muhammad yang wafat sekitar tahun 1261, Syech Ahmad marzuki juga terkenal sebagai seorang Pujangga dan dijuluki dengan panggilan Abu Alfauzi.


Kitab Nadzhom Aqidatul awam berisi pokok-pokok keyakinan ajaran Islam yang dijadikan sebagai pijakan bagi kaum muslimin . Di dalamnya menjelaskan tentang ilmu tauhid dan dasar-dasarnya. Ilmu tauhid ini menjelaskan tentang keesaan Allah dan pembuktiannya. Dalam kitab tersebut menjelaskan sifat-sifat Allah, atau yang disebut aqoid lima puluh.


Aqoid lima puluh itu terdiri dari, 20 sifat yang wajib bagi Allah, 20 sifat mustahil bagi Allah, 1 sifat jaiz bagi Allah, serta 4 sifat wajib bagi Rasul, 4 sifat mustahil bagi rasul dan 1 sifat jaiz bagi rasul. Semua merupakan isi dari ajaran yang terangkum dalam kitab Aqidatul Awam.


Kewajiban mengetahui 50 keyakinan tersebut diperuntukkan, baik bagi laki-laki maupun perempuan yang telah mukallaf. Kewajiban mengetahui 50 kayakinan tersebut tak hanya untuk diketahui tapi juga dimengerti, sehingga umat Islam bisa mewujudkan kebahagiaan dunia dan akhirat, yang hanya akan didapatkan oleh orang-orang yang mengamalkan ajaran Islam dengan baik dan benar.


Kitab Nadzhom Aqidatul awam banyak diajarkan di pesantren dan Majlis ta’lim dan merupakan dasar dasar ketauhidan yang harus dipahami oleh setiap muslim. Bahkan Syech Nawawi Assyafi”i memandang penting untuk mempelajari Kitab Aqidatul awam karena setiap mukallaf wajib mengetahui sifat sifat Alloh dengan mengenal Sifat Alloh maka dia akan mengenal dirinya begitu juga sebaliknya ( barang siapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhan-nya) jika sudah mengenal Alloh maka dia akan senantiasa Taat dalam menjalankan semua perintah Alloh dan Rosulnya dan menjauhi segala larangannnya. Dan Syech Nawawi Assyafi’i pun mengkomentari Kitab Aqidatul awam tersebut dalam sebuah kitab bernama “Nurudz zholam”..


Nah , Saudaraku fillah yang belum hafal teks Aqidatul Awwam , berikut kami tuliskan teksnya ,,


AQIDATUL AWWAM


الشيخ أحمد المرزوقي المالكي

ٍ

Asy-Syeikh Ahmad Al Marzuqi Al Maliki


أَبـْـدَأُ بِـاسْمِ اللهِ وَالـرَّحْـمَنِ وَبِـالـرَّحِـيـْمِ دَائِـمِ اْلإِحْـسَانِ

Saya memulai dengan nama Alloh, Dzat yang maha pengasih, dan Maha Penyayang yang senatiasa memberikan kenikmatan tiada putusnya

فَالْـحَـمْـدُ ِللهِ الْـقَدِيْمِ اْلأَوَّلِ اْلآخِـرِ الْـبَـاقِـيْ بِلاَ تَـحَـوُّلِ

Maka segala puji bagi Alloh Yang Maha Dahulu, Yang Maha Awal, Yang Maha Akhir, Yang Maha Tetap tanpa ada perubahan

ثُـمَّ الـصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ سَرْمَـدَ ا عَـلَـى الـنَّـبِيِّ خَيْرِ مَنْ قَدْ وَحَّدَا

Kemudian, semoga sholawat dan salam senantiasa tercurahkan pada Nabi sebaik-baiknya orang yang mengEsakan Alloh

وَآلِهِ وَصَـحْـبِهِ وَمَـنْ تَـبِـعْ سَـبِـيْلَ دِيْنِ الْحَقِّ غَيْرَ مُـبْـتَدِعْ

Dan keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti jalan agama secara benar bukan orang-orang yang berbuat bid’ah

وَبَـعْـدُ فَاعْلَمْ بِوُجُوْبِ الْمَعْرِفَـهْ مِنْ وَاجِـبٍ ِللهِ عِـشْرِيْنَ صِفَـهْ

Dan setelahnya ketahuilah dengan yakin bahwa Alloh itu mempunyai 20 sifat wajib

فَـاللهُ مَـوْجُـوْدٌ قَـدِيْمٌ بَاقِـي مُخَـالِـفٌ لِلْـخَـلْقِ بِاْلإِطْـلاَقِ

Alloh itu Ada, Qodim, Baqi dan berbeda dengan makhlukNya secara mutlak

وَقَـائِمٌ غَـنِـيْ وَوَاحِـدٌ وَحَيّ قَـادِرٌ مُـرِيـْدٌ عَـالِمٌ بِكُلِّ شَيْ

Berdiri sendiri, Maha Kaya, Maha Esa, Maha Hidup, Maha Kuasa, Maha Menghendaki, Maha Mengetahui atas segala sesuatu

سَـمِـيْعٌ الْبَـصِيْـرُ والْمُتَكَلِـمُ لَهُ صِفَـاتٌ سَـبْـعَـةٌ تَـنْـتَظِمُ

Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Berbicara, Alloh mempunyai 7 sifat yang tersusun

فَـقُـدْرَةٌ إِرَادَةٌ سَـمْـعٌ بَصَـرْ حَـيَـاةٌ الْـعِلْـمُ كَلاَمٌ اسْـتَمَرْ

yaitu Berkuasa, Menghendaki, Mendengar, Melihat, Hidup, Mempunyai Ilmu, Berbicara secara terus berlangsung

وَ جَـائـِزٌ بِـفَـضْـلِهِ وَ عَدْلِهِ تَـرْكٌ لِـكُـلِّ مُمْـكِـنٍ كَفِعْلِهِ

Dengan karunia dan keadilanNya, Alloh memiliki sifat boleh (wenang) yaitu boleh mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya

أَرْسَـلَ أَنْـبِيَا ذَوِي فَـطَـانَـهْ بِالصِّـدْقِ وَالـتَّـبْلِـيْغِ وَاْلأَمَانَهْ

Alloh telah mengutus para nabi yang memiliki 4 sifat yang wajib yaitu cerdas, jujur, menyampaikan (risalah) dan dipercaya

وَجَـائِزٌ فِي حَقِّـهِمْ مِنْ عَـرَضِ بِغَـيْـرِ نَقْصٍ كَخَفِيْفِ الْمَـرَضِ

Dan boleh didalam hak Rosul dari sifat manusia tanpa mengurangi derajatnya,misalnya sakit yang ringan

عِصْـمَـتُهُمْ كَسَـائِرِ الْمَلاَئِـكَهْ وَاجِـبَـةٌ وَفَـاضَلُوا الْـمَـلاَئِكَهْ

Mereka mendapat penjagaan Alloh (dari perbuatan dosa) seperti para malaikat seluruhnya. (Penjagaan itu) wajib bahkan para Nabi lebih utama dari para malaikat

وَالْـمُسْـتَحِيْلُ ضِدُّ كُـلِّ وَاجِبِ فَـاحْـفَظْ لِخَمْسِيْنَ بِحُكْمٍ وَاجِبِ

Dan sifat mustahil adalah lawan dari sifat yang wajib maka hafalkanlah 50 sifat itu sebagai ketentuan yang wajib

تَـفْصِيْـلُ خَمْسَةٍ وَعِشْرِيْـنَ لَزِمْ كُـلَّ مُـكَـلَّـفٍ فَحَقِّقْ وَاغْـتَنِمْ

Adapun rincian nama para Rosul ada 25 itu wajib diketahui bagi setiap mukallaf, maka yakinilah dan ambilah keuntungannya

هُمْ آدَمُ اِدْرِيْسُ نُوْحٌ هُـوْدٌ مَـعْ صَالِـحْ وَإِبْرَاهِـيْـمُ كُـلٌّ مُـتَّبَعْ

Mereka adalah Nabi Adam, Idris, Nuh, Hud serta Sholeh, Ibrahim ( yang masing-masing diikuti berikutnya)

لُوْطٌ وَاِسْـمَاعِيْلُ اِسْحَاقٌ كَـذَا يَعْـقُوْبُ يُوْسُفٌ وَأَيـُّوْبُ احْتَذَى

Luth, Ismail dan Ishaq demikian pula Ya’qub, Yusuf dan Ayyub dan selanjutnya

شُعَيْبُ هَارُوْنُ وَمُوْسَى وَالْـيَسَعْ ذُو الْكِـفْلِ دَاوُدُ سُلَيْمانُ اتَّـبَـعْ

Syuaib, Harun, Musa dan Alyasa’, Dzulkifli, Dawud, Sulaiman yang diikuti

إلْـيَـاسُ يُوْنُسْ زَكَرِيـَّا يَحْيَى عِـيْسَـى وَطَـهَ خَاتِمٌ دَعْ غَـيَّا

Ilyas, Yunus, Zakaria, Yahya, Isa dan Thaha (Muhammad) sebagai penutup, maka tinggalkanlah jalan yang menyimpang dari kebenaran

عَلَـيْـهِـمُ الصَّـلاةُ والسَّـلامُ وآلِهِـمْ مـَـا دَامَـتِ اْلأَيـَّـامُ

Semoga sholawat dan salam terkumpulkan pada mereka dan keluarga mereka sepanjang masa

وَالْـمَـلَكُ الَّـذِي بِلاَ أَبٍ وَأُمْ لاَ أَكْـلَ لاَ شـُرْبَ وَلاَ نَوْمَ لَهُمْ

Adapun para malaikat itu tetap tanpa bapak dan ibu, tidak makan dan tidak minum serta tidak tidur

تَفْـصِـيْلُ عَشْرٍ مِنْهُمُ جِبْرِيْـلُ مِـيْـكَـالُ اِسْـرَافِيْلُ عِزْرَائِـيْلُ

Secara terperinci mereka ada 10, yaitu Jibril, Mikail, Isrofil, dan Izroil

مُـنْـكَرْ نَـكِـيْرٌ وَرَقِيْبٌ وَكَذَا عَـتِـيْدُ مَالِكٌ وَرِضْوَانُ احْتـَذَى

Munkar, Nakiir, dan Roqiib, demikian pula ‘Atiid, Maalik, dan Ridwan dan selanjutnya

أَرْبَـعَـةٌ مِنْ كُتُبٍ تَـفْصِيْـلُهَا تَـوْارَةُ مُـوْسَى بِالْهُدَى تَـنْـزِيْلُهَا

Empat dari Kitab-Kitab Suci Allah secara terperinci adalah Taurat bagi Nabi Musa diturunkan dengan membawa petunjuk

زَبُـوْرُ دَاوُدَ وَاِنْـجِـيْـلٌ عَلَى عِيْـسَى وَفُـرْقَانٌ عَلَى خَيْرِ الْمَـلاَ

Zabur bagi Nabi Dawud dan Injil bagi Nabi Isa dan AlQur’an bagi sebaik-baik kaum (Nabi Muhammad SAW)

وَصُحُـفُ الْـخَـلِيْلِ وَالْكَلِيْـمِ فِيْـهَـا كَلاَمُ الْـحَـكَمِ الْعَلِيْـمِ

Dan lembaran-lembaran (Shuhuf) suci yang diturunkan untuk AlKholil (Nabi Ibrohim) dan AlKaliim (Nabi Musa) mengandung Perkataan dari Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui

وَكُـلُّ مَـا أَتَى بِهِ الـرَّسُـوْلُ فَحَـقُّـهُ الـتَّـسْـلِـيْمُ وَالْقَبُوْلُ

Dan segala apa-apa yang disampaikan oleh Rosulullah, maka kita wajib pasrah dan menerima

إِيـْمَـانُـنَا بِـيَـوْمِ آخِرٍ وَجَبْ وَكُـلِّ مَـا كَـانَ بِـهِ مِنَ الْعَجَبْ

Keimanan kita kepada Hari Akhir hukumnya wajib, dan segala perkara yang dahsyat pada Hari Akhir

خَـاتِمَةٌ فِي ذِكْرِ بَاقِي الْوَاجِـبِ مِمَّـا عَـلَى مُكَـلَّفٍ مِنْ وَاجِـبِ

Sebagai penutup untuk menerangkan ketetapan yang wajib, dari hal yang menjadi kewajiban bagi mukallaf

نَـبِـيُّـنَـا مُحَمَّدٌ قَـدْ أُرْسِلاَ لِلْـعَالَمِـيْـنَ رَحْـمَـةً وَفُضِّلاَ

Nabi kita Muhammad telah diutus untuk seluruh alam sebagai Rahmat dan keutamaan diberikan kepada beliau SAW melebihi semua

أَبـُوْهُ عَـبْدُ اللهِ عَبْدُ الْمُطَّلِـبْ وَهَـاشِمٌ عَبْـدُ مَنَافٍ يَـنْـتَسِبْ

Ayahnya bernama Abdullah putera Abdul Mutthalib, dan nasabnya bersambung kepada Hasyim putera Abdu Manaf

وَأُمُّـهُ آمِـنَـةُ الـزُّهْـرِيـَّـهْ أَرْضَـعَـهُ حَـلِيْمَـةُ السَّعْدِيـَّهْ

Dan ibunya bernama Aminah Az-Zuhriyyah, yang menyusui beliau adalah Halimah As-Sa’diyyah

مـَوْلِدُهُ بِـمَـكَـةَ اْلأَمِيْـنَـهْ وَفَـاتُـهُ بِـطَـيْـبَةَ الْـمَدِيْنَهْ

Lahirnya di Makkah yang aman, dan wafatnya di Toiybah (Madinah)

أَتَـمَّ قَـبْـلَ الْـوَحِيِ أرْبَعِيْنَا وَعُمْـرُهُ قَـدْ جَـاوَزَ الـسِّـتِّيْنَا

Sebelum turun wahyu, nabi Muhammad telah sempurna berumur 40 tahun, dan usia beliau 60 tahun lebih


وسـَبْـعَةٌ أَوْلاَدُهُ فَـمِـنْـهُـمُ ثَلاَثَـةٌ مِـنَ الـذُّكُـوْرِ تُـفْهَمُ

Ada 7 orang putera-puteri nabi Muhammad, diantara mereka 3 orang laki-laki, maka pahamilah itu

قـَاسِـمْ وَعَـبْدُ اللهِ وَهْوَ الطَّيـِّبُ وَطَـاهِـرٌ بِـذَيْـنِ ذَا يُـلَقَّبُ

Qasim dan Abdullah yang bergelar At-Thoyyib dan At-Thohir, dengan 2 sebutan inilah (At-Thoyyib dan At-Thohir) Abdullah diberi gelar

أَتَـاهُ إِبـْرَاهِـيْـمُ مِنْ سَـرِيـَّهْ فَأُمُّهُ مَارِيـَةُ الْـقِـبْـطِـيَّـهْ

Anak yang ketiga bernama Ibrohim dari Sariyyah (Amat perempuan), ibunya (Ibrohim) bernama Mariyah Al-Qibtiyyah

وَغَـيْـرُ إِبـْرَاهِيْمَ مِنْ خَـدِيْجَهْ هُمْ سِتَـةٌ فَـخُـذْ بِـهِمْ وَلِـيْجَهْ

Selain Ibrohim, ibu putera-puteri Nabi Muhammad berasal dari Khodijah, mereka ada 6 orang (selain Ibrohim), maka kenalilah dengan penuh cinta

وَأَرْبَعٌ مِـنَ اْلإِنـَاثِ تُـذْكَـرُ رِضْـوَانُ رَبِّـي لِلْـجَـمِـيْعِ يُذْكَرُ

Dan 4 orang anak perempuan Nabi akan disebutkan, semoga keridhoan Allah untuk mereka semua

فَـاطِـمَـةُ الزَّهْرَاءُ بَعْلُهَا عَلِيْ وَابـْنـَاهُمَا السِّبْطَانِ فَضْلُهُمْ جَلِيْ

Fatimah Az-Zahro yang bersuamikan Ali bin Abi Tholib, dan kedua putera mereka (Hasan dan Husein) adalah cucu Nabi yang sudah jelas keutamaanya

فَـزَيْـنَـبٌ وبَـعْـدَهَـا رُقَـيَّـهْ وَأُمُّ كُـلْـثُـوْمٍ زَكَـتْ رَضِيَّهْ

Kemudian Zaenab dan selanjutnya Ruqayyah, dan Ummu Kultsum yang suci lagi diridhoi

عَـنْ تِسْـعِ نِسْوَةٍ وَفَاةُ الْمُصْطَفَى خُـيِّـرْنَ فَاخْـتَرْنَ النَّـبِيَّ الْمُقْتَفَى

Dari 9 istri Nabi ditinggalkan setelah wafatnya, mereka semua telah diminta memilih syurga atu dunia, maka mereka memilih nabi sebagai panutan

عَـائِـشَـةٌ وَحَـفْصَةٌ وَسَـوْدَةُ صَـفِـيَّـةٌ مَـيْـمُـوْنَةٌ وَ رَمْلَةُ

Aisyah, Hafshah, dan Saudah, Shofiyyah, Maimunah, dan Romlah

هِنْـدٌ وَ زَيْـنَبٌ كَـذَا جُوَيـْرِيَهْ لِلْـمُـؤْمِنِيْنَ أُمَّـهَاتٌ مَرْضِيَهْ

Hindun dan Zaenab, begitu pula Juwairiyyah, Bagi kaum Mu’minin mereka menjadi ibu-ibu yang diridhoi

حَـمْـزَةُ عَـمُّـهُ وعَـبَّـاسٌ كَذَا عَمَّـتُـهُ صَـفِيَّـةٌ ذَاتُ احْتِذَا

Hamzah adalah Paman Nabi demikian pula ‘Abbas, Bibi Nabi adalah Shofiyyah yang mengikuti Nabi

وَقَـبْـلَ هِـجْـرَةِ النَّـبِيِّ اْلإِسْرَا مِـنْ مَـكَّـةٍ لَيْلاً لِقُدْسٍ يُدْرَى

Dan sebelum Nabi Hijrah (ke Madinah), terjadi peristiwa Isro’. Dari Makkah pada malam hari menuju Baitul Maqdis yang dapat dilihat

بَـعْـدَ إِسْـرَاءٍ عُـرُوْجٌ لِلـسَّمَا حَتىَّ رَأَى الـنَّـبِـيُّ رَبـًّا كَـلَّمَا

Setelah Isro’ lalu Mi’roj (naik) keatas sehingga Nabi melihat Tuhan yang berkata-kata

مِنْ غَيْرِ كَيْفٍ وَانْحِصَارٍ وَافْـتَرَضْ عَـلَـيْهِ خَمْساً بَعْدَ خَمْسِيْنَ فَرَضْ

Berkata-kata tanpa bentuk dan ruang. Disinilah diwajibkan kepadanya (sholat) 5 waktu yang sebelumnya 50 waktu

وَبَــلَّـغَ اْلأُمَّــةَ بِـاْلإِسـْرَاءِ وَفَـرْضِ خَـمْـسَةٍ بِلاَ امْتِرَاءِ

Dan Nabi telah menyampaikan kepada umat peristiwa Isro’ tersebut. Dan kewajiban sholat 5 waktu tanpa keraguan

قَـدْ فَـازَ صِـدِّيْقٌ بِتَـصْدِيْقٍ لَـهُ وَبِـالْـعُرُوْجِ الصِّدْقُ وَافَى أَهْلَهُ

Sungguh beruntung sahabat Abubakar As-Shiddiq dengan membenarkan peristiwa tersebut, juga peristiwa Mi’raj yang sudah sepantasnya kebenaran itu disandang bagi pelaku Isro’ Mi’roj

وَهَــذِهِ عَـقِـيْـدَةٌ مُـخْـتَصَرَهْ وَلِـلْـعَـوَامِ سَـهْـلَةٌ مُيَسَّرَهْ

Inilah keterangan Aqidah secara ringkas bagi orang-orang awam yang mudah dan gampang

نـَاظِـمُ تِلْـكَ أَحْـمَدُ الْمَرْزُوقِيْ مَـنْ يَنْـتَمِي لِلصَّادِقِ الْمَصْدُوْقِ

Yang di nadhomkan oleh Ahmad Al Marzuqi, seorang yang bernisbat kepada Nabi Muhammad (As-Shodiqul Mashduq)

وَ الْحَـمْـدُ ِللهِ وَصَـلَّى سَـلَّمَا عَلَـى النَّبِيِّ خَيْرِ مَنْ قَدْ عَلَّمَا

Dan segala puji bagi Allah serta Sholawat dan Salam tercurahkan kepada Nabi sebaik-baik orang yang telah mengajar

وَاْلآلِ وَالـصَّـحْـبِ وَكُـلِّ مُرْشِدِ وَكُـلِّ مَـنْ بِخَيْرِ هَدْيٍ يَقْتَدِي

Juga kepada keluarga dan sahabat serta orang yang memberi petunjuk dan orang yang mengikuti petunjuk

وَأَسْـأَلُ الْكَـرِيْمَ إِخْـلاَصَ الْعَمَلْ ونَـفْـعَ كُـلِّ مَنْ بِهَا قَدِ اشْتَغَلْ

Dan saya mohon kepada Allah yang Maha Pemurah keikhlasan dalam beramal dan manfaat bagi setiap orang yang berpegang teguh pada aqidah ini

أبْيَاتُهَا ( مَـيْـزٌ ) بِـعَدِّ الْجُمَّلِ تَارِيْخُها ( لِيْ حَيُّ غُرٍّ ) جُمَّلِ

Nadhom ini ada 57 bait dengan hitungan abjad, tahun penulisannya 1258 Hijriah

سَـمَّـيْـتُـهَا عَـقِـيْدَةَ الْـعَوَامِ مِـنْ وَاجِبٍ فِي الدِّيْنِ بِالتَّمَامِ

Aku namakan aqidah ini Aqidatul Awwam, keterangan yang wajib diketahui dalam urusan agama dengan sempurna

Sumber : http://www.facebook.com/groups/100859117253/permalink/10151019082237254/

Sabtu, 28 Januari 2012

SEJARAH SHALAWAT BADAR

Shalatullah salamullah ala toha rasulillah
Shalatullah salamullah ala yasin habibillah…
Hampir bisa dipastikan semua orang Nahdlatul Ulama kenal dengan shalawat ini – Shalawat Badar. Shalawat ini adalah shalawat yang banyak sekali faedahnya, menjadi sumber kekuatan dan pertolongan dan wasilah kepada Rasulullah SAW. Tetapi tak banyak yang tahu bahwa shalawat ini diilhamkan kepada seorang Kyai asli Indonesia dari NU, yakni Kyai Ali Mansur, yang semasa hidupnya menjabat sebagai pengurus NU Banyuwangi, Jatim.

Saat itu sekitar tahun 1960-an. Kyai Mansur gelisah karena memikirkan pergolakan politik yang makin kacau; orang-orang PKI makin kuat di daerah pedesaan, sedangkan warga NU terdesak. Pada suatu malam beliau bermimpi didatangi sekelompok Habaib berpakaian putih-hijau, dan pada saat yang sama istrinya bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Beliau menanyakan mimpi ini kepada seorang Habib ahli kasyaf, Habib Hadi al-Haddar Banyuwangi. Oleh Habib dijawab bahwa itu adalah para pahlawan perang Badar.

Dua mimpi istimewa suami-istri ini menjadikan dirinya memperoleh ilham untuk menulis syair dan shalawat. Yang lebih aneh, esok harinya tetangga berdatangan membawa banyak bahan makanan, seolah-olah akan ada acara besar. Para tetangga ini bercerita bahwa pagi-pagi buta rumah mereka diketuk oleh orang-orang berjubah putih yang memberi tahu bahwa Kyai Ali Mansur akan ada kegiatan besar. Kyai Ali Mansur bingung karena tak punya hajatan besar apapun; namun para tetangga bergotong royong memasak di dapur sampai malam, siap-siap menyambut kedatangan tamu esok pagi.

Pagi hari, Kyai Ali Mansur duduk di rumahnya sambil bertanya-tanya siapa tamunya.. Lalu menjelang matahari muncul datanglah serombongan habaib dipimpin oleh Habib Ali ibn Abdurrahman al-Habsyi dari Kwitang, Jakarta.

Setelah mereka berbincang, Habib Ali Kwitang bertanya kepada Kyai Mansur “mana syair yang ente buat kemarin? Mohon bacakan dan lagukan di depan kami semua.” Kyai Ali Mansur kaget karena Habib Ali tahu apa yang dikerjakannya kemarin malam, padahal beliau belum bercerita kepada siapapun dan lagipula baru kali ini Habib Ali Kwitang datang jauh-jauh dari Jakarta ke Banyuwangi.

Kyai Ali Mansur kemudian membacakan syair itu sambil dilagukan. Dan memang Kyai yang satu ini suaranya sangat bagus. Para habaib mendengarkan, dan tak lama kemudian mereka menangis. Selesai dibaca, Habib Ali Kwitang berdiri dan berkata, “Ya Akhi, mari kita lawan Genjer-genjer PKI dengan Shalawat Badar!” Kemudian Kyai Ali Mansur diundang ke Kwitang untuk mempopulerkan Shalawat Badar di sana.

Karena itulah bacaan Shalawat Badar ini sering dipakai dalam istigotsah dan sering diamalkan para santri yang sedang menghadapi berbagai kesulitan. Meski sebagian kalangan non-NU menganggap shalawat ini bid’ah, namun dalam kenyataannya, para Wali Allah tak menganggapnya bid’ah dan bahkan mengakui dan mengamalkannya, seperti dicontohkan oleh ulama besar Habib Ali Kwitang.

Mudah2an kita diberi kelapangan dan kemampuan oleh Allah untuk mengamalkannya, membebaskan segala duka cita kita lantaran berkah Rasul dan para pahlawan badar…

Ilahi sallimil ummah minal aafati wan niqmah
wa min hamin wamin ghummah, bi ahlil badri yaa Allah….

wa Allahu a’lam


Sumber: http://rumahcahaya.blogspot.com/2009/07/sejarah-shalawat-badar.html

Minggu, 01 Januari 2012

Sejarah Peradaban Islam Indonesia yang Terkubur (dikubur)

oleh MAS ZAKI MUHYIDDIN

Berbicara tentang peradaban sangat menarik (interestable), karena ia menjadi bagian dari kehidupan umat manusia yang signifikan. Sejarah manusia penuh dengan berbagai peradaban yang silih berganti, tergantung para penguasa dan para pemimpin dunia. Mereka yang kuat akan menentukan model peradaban umat manusia. Apalagi di era global ini, model peradaban hampir menjadi seragam karena sekat-sekat teritorial, nasional, budaya, agama, dan ras tidak mampu membentengi dirinya dari upaya memasarkan model peradaban yang menjadi trend di pihak-pihak yang kuat dan berkuasa. Sehingga pada gilirannya, corak-corak budaya, agama, nasional, dan ras menjadi luntur dan akhirnya hancur, kemudian diganti dengan model paradaban yang mendunia.
Peradaban islam adalah terjemahan dari kata Arab al – hadha- rah al – islamiyah.Kata arab ini juga sering di artikan dalam bahasa indonesia dengan kebuayaan islam “kebudayaan” dalam bahasa arab adalah al-tsaqafa, di indonesia,sebagai mana juga di arab dan barat.
Kalau kita baca definisi kebudayaan (culture), misalnya dalam Kamus yang sama: (1). The totality of socially transmitted behavior patterns, arts, beliefs, institutions, and all other products of human work and thought…., maka kebudayaan memiliki makna yang hampir sama dengan peradaban. Keduanya adalah hasil kerja manusia pada suatu zaman. Namun, dalam pembicaraan secara umum, peradaban nuansanya lebih luas, lebih menyeluruh, lebih sophisticated, dan lebih mentereng.
Disamping itu, berbeda dengan kebudayaan, peradaban lebih dekat dengan struktural (kekuasaan), bahkan melingkupinya. Sedang kebudayaan, biasanya malah sering disebut sebagai antitesa dari kekuasaan (struktural), sehingga sering muncul istilah ‘pendekatan struktural’ dan ‘pendekatan kultural’. Belum lagi dalam keseharian, kebudayaan malah dipersempit lagi dengan aspek2 kesenian belaka. Bahkan kedua aspek itu sering digabung menjadi seni-budaya. Karenanya berbeda dengan kebudayaan yang bisa dibiarakan relatif terlepas dari kekuasaan, peradaban hampir selalu terkait dengan kekuasaan.
Islam diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa bangsa arab yang semula terkebelakang, bodoh, tidak terkenal,dan di abaikan oleh bangsa- bangsa lain,menjadi banngsa yang maju.Ia dengan cepat bergerak mengembangkan dunia, membina suatu kebudayaan dan pradaban yang sangat penting artinya dalam sejarah manusia hingga sekarang.bahkan kemajuan wilayah barat bersumber dari peradaban islam yang masuk ke Eropa melalui Spayol.
Ketika berbicara tentang masa lalu kaum muslimin bisa jadi sebagian orang –muslim- merasa kurang tertarik bahkan terkesan tidak mau membicarakannya. Inilah buah dari pendidikan kita yang sekuler, Islam tidak diperkenalkan secara komprehensif sebagai peradaban yang agung dan mulia namun hanya diperkenalkan sebagai sebuah ‘agama’ belaka, bukan sebagai sebuah aturan hidup di segala bidang (Idiologi).
Gambaran Islam sebagai sebuah peradaban secara objektif yang terdiri dari aspek kebudayan materi (madaniah) dan kebudayaan inmateri (Tsaqafah) sedikit sekali kita temukan dibuku-buku standar pendidikan kita hingga hari ini.
Peradaban Islam yang dibangun oleh kebudayan materi (madaniah) yaitu hasil karya fisik yang disyariatkan maupun yang bersifat mubah, yaitu produk ilmu pengetahuan dan teknologi. Adapun kebudayaan inmateri (Tsaqafah) yaitu berupa pemikiran yang berfondasikan aqidah dan syariah islam yaitu aturan beribadah dengan sang pencipta, aturan pergaulan, ilmu ekonomi, pendidikan, aturan pemerintahan, kemiliteran, aturan hukum, hingga aturan berhubungan dengan luar negeri.
Dalam ranah sejarah, harapan membangun kaum muslimin bangga terhadap Agamanya sehingga ingin mengamalkan agamanya dan memperjuangkannya, justru terbalik, karena yang ditemukan dalam sejarah Peradaban Islam ternyata kejumudan, penindasan, pengkhianatan, pembunuhan, kerakusan, dsb. Apa sebab? Ternyata yang kita baca selama ini referensinya kebanyakan dari para orientalis barat yang jelas-jelas membenci islam.
Imbas dari pandangan negatif terhadap Sejarah Peradaban Islam adalah dimarjinalkannya ilmu-ilmu islam lainnya. Aqidah dikaji secara dangkal, difahami sebagai Rukun Iman belaka yang dicukupkan untuk dihapal dan dilisankan, bukannya untuk perlihatkan, diamalkan. Syariah sering didengung-dengungkan tetapi mengkajinya jarang-jarang.Bahasa arab dipinggirkan. Al-Qur’an lebih banyak dilagukan daripada dijadikan petunjuk dan pedoman kehidupan. As-Sunnah sering diperbincangkan namun contoh Rasulullah seringkali diacuhkan. Padahal tidak akan terlihat idealitas keagungan dan kemuliaan Islam tersebut apabila tidak difaktual dalam kehidupan. Saya rasa sedang kita rasakan saat ini. Itulah kiranya fakta kemunduran umat muslim saat Ini.
Barat menuduh kaum muslimin sebagai kaum yang bengis, dan agamanya adalah agama yang jumud, anti ilmu, anti pemikiran serta kreatifitas dalam seluruh segemen. Ini adalah penghinaan murni kepada Islam dan umatnya. Kaum muslimin terdahulu, adalah pembawa obor ilmu pengetahuan, membangun pilar-pilar peradaban Islam yang telah menerangi dunia ini, dan hingga sekarang tetap meneranginya.Memang benar, kaum muslimin mengetahui peradaban-peradaban umat sebelumnya, dan mereka mengambil manfaat pelajaran darinya dan bahkan menambahkannya, membenarkan yang benar, lalu mereka membuat kreasi baru di setiap lapangan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan di saat Eropa dalam kegelapan. Kemajuan Eropa di segala bidang yang telah diraihnya pun tak terlepas dari peradaban Islam dan kaum muslimin.
Kejadian-kejadian dan penemuan-penemuan yang telah ditemukan oleh tokoh-tokoh ilmuwan muslim terdahulu jarang diwacanakan atau diinformasikan kepada kita. Sebaliknya, – pada masa kejayaan islam- dimanipulir oleh Barat., lalu mereka menisbatkan penemuan-penemuan tersebut kepada tokoh-tokoh mereka. Sebagai contoh, Isaac Newton, , Barat menobatkan ia sebagai penemu teori gravitasi bumi. Padahal, Tsabit bin Qarah telah menemukan teori itu seratus tahun sebelumnya daripada Newton.


Dimanakah Sejarah Peradaban Islam Indonesia?
Peradaban yang dibangun oleh Nabi Muhammad Saw. adalah peradaban yang dibangun di atas pijakan pandangan dunia agama bukan materi. Islam lebih mengedepankan nilai-nilai ruhani dan kemanusiaan. Materi – termasuk teknologi – bukan tujuan utama tetapi hanya aksidental. Keberhasilan menurut Islam tidak diukur dengan perolehan materi yang banyak tetapi diukur dengan pendekatan diri kepada Allah dan memperbanyak bekal untuk hari akhir. Imam Ali as. di saat kepalanya ditebas oleh seorang Khawarij secara spontan berkata, “Demi Tuhan Ka’bah, aku telah berhasil !”. Sampainya seseorang kepada Allah Swt dan berkhidmat kepada manusia adalah prestasi yang dituntut oleh Islam. Materi sebagai materi tidak mempunyai nilai apapun di mata Islam. Materi akan berarti jika dimaknai dengan tujuan-tujuan akhirat. Dalam tulisan ringkas ini, saya tidak perlu mengutip ayat maupun hadis tentang iman dan amal kebaikan, karena sangat banyak ayat dan hadis yang menjelaskan hal tersebut.
Nabi Muhammad Saw. dengan peradaban yang berdasarkan nilai-nilai agama dan kemanusiaan berhasil mengalahkan dua kekuatan yang kuat; Persia dan Romawi yang membangun peradaban dengan kekuatan materi. Meskipun pada perkembangan berikutnya para pemimpin Islam, khususnya khilafah Abbasiyyah, lebih concern pada pembangunan materi bukan pengembangan nilai-nilai agama dan kemanusiaan.
Jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia, bangsa Indonesia telah memeluk agama hindu dan budha disamping kepercayaan nenek moyang mereka yang menganut animisme dan dinamisme. Setelah Islam masuk ke Indonesia, Islam berpengaruh besar baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi,maupun di bidang kebudayaan yang antara lain seperti di bawah ini.
Pengaruh Bahasa dan Nama
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sangat banyak dipengaruhi oleh bahasa Arab. Bahasa Arab sudah banayk menyatu dalam kosa kata bahasa Indonesia, contohnya kata wajib, fardu, lahir, bathin, musyawarah, surat, kabar, koran, jual, kursi dan masker. Dalam hal nama juga banyak dipakai nama-nama yang berciri Islam (Arab) seperti Muhammad, Abdullah, Anwar, Ahmad, Abdul, Muthalib, Muhaimin, Junaidi, Aminah, Khadijah, Maimunah, Rahmillah, Rohani dan Rahma.
Pengaruh Budaya, Adat Istiadat dan Seni
Kebiasaan yang banyak berkembang dari budaya Islam dapat berupa ucapan salam, acara tahlilan, syukuran, yasinan dan lain-lain. Dalam hal kesenian, banyak dijumpai seni musik seperti kasidah, rebana, marawis, barzanji dan shalawat. Kita juga melihat pengaruh di bidang seni arsitektur rumah peribadatan atau masjid di Indonesia yang banayak dipengaruhi oleh arsitektur masjid yang ada di wilayah Timur Tengah.
Pengaruh dalam Bidang Politik
Pengaruh ini dapat dilihat dalam sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia seperti konsep khilafah atau kesultanan yang sering kita jumpai pada kerajaan-kerajaan seperti Aceh, Mataram. Demak, Banten dan Tidore
Pengaruh di bidang ekonomi
Daerah-daerah pesisir sering dikunjungi para pedagang Islam dari Arab, Parsi,dan Gujarat yang menerapkan konsep jual beli secara Islam. Juga adanya kewajiban membayar zakat atau amal jariyah yang lainnya, seperti sedekah, infak, waqaf, menyantuni yatim, piatu, fakir dan miskin. Hal itu membuat perekonomian umat Islam semakin berkembang.
Ulama dan Intelektual; Simbol Peradaban Islam Indonesia
Sangat disayangkan.. “penglihatan” sejarah Islam di Indonesia tidak memunculkan “periodisasi keemasan” peradaban Islam dalam kurun waktu abad 16 sampai 18 M, karena periodisasi yang muncul adalah masa “prakolonialis”. Padahal pada masa ini tumbuh peradaban Islam yang setaraf dengan sejarah peradaban Islam di Timur Tengah masa Daulah Abassiyah. Bukti-bukti yang menunjukan lahirnya peradaban Islam di Indonesia adalah dengan munculnya para Ulama dan Intelektual Islam di seluruh penjuru Nusantara. Mereka diantaranya :
1. Syeikh Hamzah al-Fansuri (Sasterawan sufi agung)
2. Syeikh Nuruddin ar-Raniri (Ulama ahli debat,tersohor di Aceh)
3. Habib Husein al-Qadri (Penyebar Islam Kalimantan Barat)
4. Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari (Pengarang Sabil al-Muhtadin)
5. Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari (Ulama sufi dunia Melayu)
6. Syarif Abdur Rahman al-Qadri (Sultan pertama kerajaan Pontianak)
7. Syeikh Abdul Rahman Minangkabau (Mursyid Thariqat Naqsyabandiyah)
8. Mufti Jamaluddin al-Banjari (Ahli undang-undang Kerajaan Banjar)
9. Ahmad Khathib Sambas (Mursyid Tariqat Qadiriyah)
10. Syeikh Nawawi al-Bantani (Digelar Imam Nawawi kedua)
11. Muhammad Khalil al-Maduri (Guru ulama Jawa, Madura)
12. Saiyid Utsman Betawi (Mufti paling masyhur)
13. Tuanku Kisa-i al-Minankabawi lahirkan tokoh besar Hamka
14. Raja Muhammad Sa’id – Cendekiawan Istana Riau
15. dll
….. sayang sedikit pengetahuan tentang mereka..padahal mereka telah memberikan andil besar dalam peradaban Islam di Indonesia dengan karya-karya kitab yang mereka tulis. Tulisan tangan asli para ulama yang disebut manuskrip, merupakan bukti sejarah perkembangan Islam di kawasan ini. DR H Uka Tjandrasasmita, seorang Arkeolog Islam menyatakan ; Di Aceh, pada abad 16–17 terdapat cukup banyak penulis manuskrip. Misalnya, Hamzah Fansuri, yang dikenal sebagai tokoh sufi ternama pada masanya. Kemudian ada Syekh Nuruddin ar-Raniri alias Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu ‘Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi. Ia dikenal sebagai ulama yang juga bertugas menjadi Qadhi al-Malik al-Adil dan Mufti Muaddam di Kesultanan Aceh pada kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani abad 16. Salah satu karyanya yang terkenal berjudul ”Bustanul Salatin.” Syeikh Abdul Rauf al-Singkili yang juga ditetapkan sebagai Mufti dan Qadhi Malik al-Adil di Kesultanan Aceh selama periode empat orang ratu, juga banyak menulis naskah-naskah keislaman.
Karya-karya mereka tidak hanya berkembang di Aceh, tapi juga berkembang seluruh Sumatera, Semenanjung Malaka sampai ke Thailand Selatan. Karya-karya mereka juga mempengaruhi pemikiran dan awal peradaban Islam di Pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, Buton hingga Papua. Sehingga di daerah itu juga terdapat peninggalan karya ulama Aceh ini. Perkembangan selanjutnya, memunculkan karya keislaman di daerah lain seperti, Kitab Sabilal Muhtadin karya Syekh al Banjari di Banjarmasin. Di Palembang juga ada. Di Banten ada Syekh al Bantani yang juga menulis banyak manuskrip. Semua manuskrip ini menjadi rujukan umat dan penguasa saat itu.
Taufik Abdullah (2002) membagi sejarah peradaban Islam di Nusantara dari abad ke-13 hingga pertengahan abad ke-19 M ke dalam tiga gelombang, yaitu :
1. Gelombang Pertama adalah gelombang diletakkannya dasar-dasar kosmopolitanisme Islam, yaitu sikap budaya yang menjadikan diri sebagai bagian dari masyarakat kosmopolitan dengan referensi kebudayaan Islam. Gelombang ini terjadi sebelum dan setelah munculnya kerajaan Samudra Pasai hingga akhir abad ke-14 M.
2. Gelombang Kedua terjadi proses islamisasi kebudayaan dan realitas secara besar-besaran. Islam dipakai sebagai cermin untuk melihat dan memahami realitas. Pusaka lama dari zaman pra-Islam, yang Syamanistik, Hinduistik dan Buddhistik ditransformasikan ke dalam situasi pemikiran Islam dan tidak jarang dipahami sebagai sesuatu yang islami dari sudut pandang doktrin. Gelombang ini terjadi bersamaan dengan munculnya kesultanan Malaka (1400-1511) dan Aceh Darussalam (1516-1700).
3. Gelombang Ketiga, ketika pusat-pusat kekuasaan Islam di Nusantara mulai tersebar hampir seluruh kepulauan Nusantara, pusat-pusat kekuasaan ini ‘seolah-olah’ berlomba-lomba melahirkan para ulama besar. Dalam gelombang inilah proses ortodoksi Islam mengalami masa puncaknya. Ini terjadi pada abad ke-18 – 19 M.
…… semoga kita bisa menghargai jasa besar ulama indonesia masa lalu….

Sumber :

1. http://www.fathurin-zen.com/?p=65
2. http://aljawad.tripod.com/arsipbuletin/peradaban.htm
3. http://www.tarbiyah.net/artikel-islam/
4. http://syariahpublications.com
5. http://pondokshabran.org
6. http://abuafkar.multiply.com/tag/peradaban
7. http://www.scribd.com/doc/9227600/Perkembangan-Islam-Pada-Abad-Pertengahan
8. http://sabili.co.id/index.php/20080819117/Wawancara/Manuskrip-Ulama-Nusantara-
9. ijarah-Penjajah.htm
10.http://makalahzaki.blogspot.com/2011/06/sejarah-peradaban-islam-indonesia-yang.html

Selasa, 06 Desember 2011

Sejarah Berdirinya Pondok-Pondok Pesantren Bandungsari

Al-kisah pondok pesantren Bandungsari telah ada sejak zaman wali songo, dikisahkan di desa Bandungsari kecamatan Ngaringan kabupaten Grobogan, telah pernah berdiri pondok pesantren yang didirikan oleh waliyulloh SYEKH AHMAD ALI murid dari SUNAN GIRI. Namun keberadaan pondok dan makamnya terjadi khilaf.

Kiai BASYARIDDIN bin Kiai RADEN JUMALI waliyulloh asal Tuyuhan Pamotan Rembang adalah Kiai pertama yang mendirikan Pondok Pesantren di kulon kali (barat sungai), setelah beliau wafat diteruskan menantunya yaitu Kiai HASAN PURO putra Kiai IMAM TABRI dari Jatisari Wirosari. Menantu Kiai BASYARIDDIN yang lain yaitu Kiai IBRAHIM mendirikan Pondok Pesantren di masjid selatan. Sepeninggal beliau diteruskan Kiai MUKTI kemudian diteruskan Kiai SAIROZI. Menantu beliau yang lain yaitu kiai ARIF mendirikan Pondok Pesantren di madrasah utara. Sepeninggal beliau diterusakan Kiai DAHLAN dan Kiai MUHADI. Sepulang dari Pondok Pesantren Langitan Jawa Timur putra-putra KIAI HASAN PURO yaitu Kiai ASMU’IN dan HAMZAH beserta sahabatnya KH. MA’RUF mengamalkan ilmunya di Bandungsari. HAMZAH menjadi Kepala Desa Bandungsari namanya diganti HADI REJO. Kiai ASMU’IN mendirikan Pondok Pesantren di dekat pondok Kiai DAHLAN dan Kiai MUHADI. KH. MA’RUF dinikahkan dengan keponakan Kiai ASMU’IN yaitu putri mbah PAWIRO menantu HASAN PURO.

Tahun 1905 KH. MA’RUF mendirikan pondok dikomplek kauman sebelah barat. Tahun 1917 kiai SIDIK menantu mbah PAWIRO mendirikan Pondok Pesantren di kauman timur. Beliau adalah putra Kiai UMAR ABDULLOH dari Jati Sari. Sepulang berguru di Pondok Pesantrennya KH. HASYIM ASY’ARI dari Tebu Ireng, Kiai MASYHURI putra KH. MA’RUF membantu ayahandanya membimbing para santri.

Pada tahun 30-an terjadi krisis di Pondok Pesantren utara. Kiai MUHADI hijrah ke Demak, Kiai DAHLAN pindah ke Trowolu, Kiai ASMU'IN wafat. Setelah Kiai ASMU'IN wafat istrinya dijadikan istri kedua Kiai MA’RUF. Pondok utara dan semua santrinya digabungkan di Pondok Pesantrennya Kiai MA’RUF. Pada tahun 1944 M. ketika Kiai SIDIK wafat. Pondok timur dipersatukan dengan pondok barat oleh Kiai MASYHURI di beri nama AL MA'RUF. Seiring dengan makin banyaknya santri maka sistem mengajarnya pun diubah dengan cara formal yaitu dengan mendirikan madrasah yang diberi nama RIYADLOTUSSUBBAN dengan guru-guru mengajarnya;

Shof I : Ustadz Kastolani Ibnu KH. Ma’ruf

Shof II : Ustadz Sholeh Ibnu KH. Ma’ruf

Shof III : Ustadz Nawawi menantu Kiai Siddiq alumni dari Tebuireng.

Klas I : Ustadz Syamsuddin ibnu Kiai Siddiq

Klas II : Kiai Muslih Ali dari Kudus santri Kiai Ma’ruf.

Sedangkan struktur pengurus Madrasah;

Mudir ‘Am : Kiai Masyhuri

Pelaksana : Kiai Abdul Karim

Ketua : Bpk. Kardi dari Bandungsari

Sekretaris : Bpk. Kasturi dari Sendangsuro

Perlengkapan : Bpk. Salamun dari Bandungsari

: Bpk. Ridwan dari Bandungsari

Tahun 1963 M Kiai MASYHURI wafat. Kepemimpinan Pondok Pesantren dipegang oleh KH. ABDUL KARIM dan Kiai MUSLIH. Tahun 1981 M. Kiai MUSLIH wafat. Posisi beliau digantikan Kiai BASYARIDDIN putra Kiai SIDIK.

Tahun 1988 M. KH. ABDUL KARIM Wafat. Posisi beliau digantikan KH. ABDUL WAHID ZUHDI dan KH. AHMAD KHOLIL KARIM, dibawah kepemimpinan KH. ABDUL KARIM dan Kiai MUSLIH di Bandungsari hanya satu Pondok Pesantren yaitu PP. Al Ma’ruf. Tapi sepeninggal Kiai MUSLIH mulailah bermunculan pesantren-pesantren baru. Semoga bermunculnya pesantren-pesantren baru membawa hikmah dan berkah untuk kemaslahatan Islam dan orang-orang Islam. Kemudian KH. ABDUL WAHID ZUHDI melebarkan sayap ke Ngangkruk (sebelah utara PP. Al Ma'ruf) untuk mengembangkan program-program beliau yang sekarang sangat tersohor, diantaranya program 40 hari, 100 hari, menghafal Alfiyyah plus murod dalam satu tahun.


Kemajuan Yang Dicapai

Di Bidang Fisik

Di bangun PON-PES AL-KUTTAB khusus santri kecil dan Ibtida’ dilahan seluas … ha, plus kamar mandi dan WC. Dibangun asrama untuk penampungan orang hilang ingatan (gila) terlantar (tak memiliki keluarga) bernama yayasan "MA'ATHYH" dengan kapasitas 40 orang plus kantor penjaga. Dibangun pula komplek PON-PES PUTRI tiga lantai dengan 30 kamar tidur dan ruang pendidikan. Dibangun pula madrasah "ASHSHOCHU" berdiri Nopember 2007.


Dibidang Pendidikan

Dibidang pendidikan, beliau memunculkan terobosan program-program baru yang belum dimiliki oleh pondok pesantren lain seperti :

Diterapkannya metode memahami kitab secara cepat dan cerdas, mempelajari dan menghafal kitab selama 40 hari bagi tingkatan dasar. Kemudian disusul program 100 hari. Target program ini, santri dituntut untuk dapat memaknai (makna gandul, jawa) serta memahami maksud dari kitab Aby Syuja'.

Membaca kitab kotongan/tanpa makna (pagi belajar, sore setoran, malam musyawaroh) bagi pelajaran wajib.

Difokuskannya pelajaran Hadis, Falak, Faroidl, Arudh di bulan liburan (bulan Robi'ul Awwal dan Romadhon) bagi santri dalam maupun luar pondok pesantren. Bahkan dalam ilmu Falak, mengalami kemajuan yang luar biasa terbukti dikirimkannya guru-guru falak dari pesantren lain, dari Jawa Tengah dan Jawa Tinur juga Madura untuk belajar falak tiap bulan Ramadhan.

Dijadikannya kitab-kitab karangan Beliau sebagai mata pelajaran wajib di lebih dari 10 pesantren Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti, Nahwu Mandhumah, Risalah Nisa’, Faidu Dzil Jalal dan Falak.

Kerja sama dengan lebih dari 20 Pon-Pes baik besar maupun kecil dari Jawa Timur dan Jawa Tengah seperti Sarang, Lirboyo untuk Bahtsul Masa’il Kubro Fiqhiyyah Waqi'iyyah dengan metode yang lain dari pondok pesantren pada umumnya yakni dengan metode pembuatan makalah.

Diterimanya lulusan Fadhlul Wahid untuk belajar di Mesir dan Yaman. Bahkan sekarang sudah begitu banyak santri Beliau yang belajar di Mesir atau Yaman yang mendapatkan titel Lc.


Di Bidang Kemasyarakatan

Beliau adalah pembimbing rohani bagi jama’ah Thoriqoh As-Syadziliyyah yang jumlah pengikutnya kurang lebih mencapai 7000 (tujuh ribu) orang di tiga Kabupaten yaitu Blora, Grobogan, dan Demak. Seluruh kegiatan pengajian di biayai oleh Beliau tanpa memungut dari santri Thoriqoh sejak Beliau membentuk thoriqoh syadziliyyah.

Setiap bulan Robi’ul Awwal selalu mengadakan khitanan massal sejak tahun 1997, tiap tahun tidak kurang dari 100 anak yang dikhitan. Menampung dan merawat orang-orang hilang ingatan (gila) yang terlantar (tidak memiliki keluarga) yang di ambil dari jalan-jalan di 2 Kabupaten yaitu Blora dan Grobogan.


Di Bidang Teknologi

Telah diajarkan pemahaman computer untuk siswa MTs (Tsanawi) keatas, yang bertujuan untuk merealisasikan program computerisasi untuk mentahrij hadis-hadis.

Melihat sikap Beliau yang sangat peduli terhadap Maslahatul Islam Wal Muslimin dan keberhasilan yang telah di capai oleh Pon-Pes Fadhlul Wahid selama dalam bimbingan Beliau, sudah seharusnya kita sebagai kaum muslimin pada khususnya serta bangsa Indonesia pada umumnya bangga terhadap keberhasilan Beliau.


Keadaan Masyarakat Sekitar Pesantren

Pondok Pesantren Fadhlul Wahid terletak di area pesawahan lebih persisnya tanah yang tinggi (angkruk, jawa) desa Bandungsari yang jauh dari kota ± 5 km arah barat kecamatan Ngaringan, 32 km arah timur dari kota kabupaten Grobogan. Pesantren ini berada agak jauh dari perkampungan karena memang asal mulanya bekas pesawahan yang cukup luas (7 hektar).

Secara sosial dan kultur masyarakat sekitar berasal dari masyayih, santri, pelajar dan petani. Heterogenitas juga dilihat dari beragamnya agama (Islam dan Kristen) yang dipeluk masyarakat sekitar pesantren. Tidak lebih dari radius 2 km terdapat 1 buah gereja dan beberapa masjid serta musholla yang berjejer-jejer. Namun demikian, bagi pemeluk Kristen jumlahnya sangat minim hanya segolongan saja. Meskipun demikian, kerukunan dan toleransi antar umat beragama terbina sangat baik sehingga tidak ada perselisihan yang berarti. Taraf ekonomi masyarakat sekitar didominasi oleh kalangan 65 % petani, 20 % pedagang, 10 % wiraswasta, dan 5 % buruh.


Organisasi Kelembagaan

Organisasi kelembagaan di pondok pesantren Fadhlul Wahid bernama yayasan "MA'ATHYH" yang mana yayasan ini dibidang sosial. Maksud dan tujuan yayasan "MA'ATHYH" tersebut adalah melaksanakan kewajiban fardlu kifayah dengan menitikberatkan pada Pengayoman Dan Perawatan Kepada Orang Lupa Ingatan (Gila) Yang Terlantar (tidak diketahui keluarganya) dan bukan bermaksud untuk penyembuhan. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang yayasan "MA'ATHYH" akan dibahas pada bab berikutnya.


Kegiatan Pendidikan

Pendidikan yang diselenggarakan adalah pengajian kitab-kitab salaf mulai pagi (baik pelajaran Al-Qur'an maupun kitab kuning) sampai malam (jam musyawaroh). Kurikulum yang diterapkan adalah murni kurikulum pesantren yang mengacu pada pemahaman kitab-kitab salafiyyah. System pendidikan/pengajian kitab kuning (sorogan, setoran makna, dll) yang mengarah pada pendalaman materi dan wawasan ilmu agama/'ulumuddin dengan pendekatan metode efektif-efesien dan pengajaran klasikal (salafiyyah) serta bahtsul masa'il (baik bahtsul masa'il sughro, wustho, maupun kubro). Pada dimensi pragmatis diajarkan computer (yang diharuskan pada tingkatan kelas Funun) yang mengacu pada santri untuk bisa mentahrij hadis-hadis (mulai dari riwayat hadis, biografi para shohabat, mencari ibaroh-ibaroh kitab kuning, dan lain sebagainya). Kegiatan ekstra yang tersedia meliputi beladiri PORSIGAL, sepakbola, computer, berkebun.


Sarana Dan Prasarana

Aset, sarana dan prasarana yang dimiliki yaitu : 1 buah aula, 1 unit gedung madarasah ashshochu, 1 unit gedung TK Al-Kuttab, 1 unit gedung pesantren putra, 1 unit gedung pesantren putri, 1 ruang perpustakaan dan ruang computer. Sarana olahraga yang dimiliki adalah sepakbola.


Sumber Dana

Dana pondok pesantren bersumber utama dari iuran syahriyyah dari santri setiap bulan dan penjualan kitab-kitab atau hasil karya para santri sendiri seperti makalah-makalah, hasil musyawarah, dan lain-lain. Disamping itu juga sumbangan dari wali santri, santri thoriqoh dan lembaga-lembaga lain yang tidak mengikat.
Demikian sekelumit profil pondok pesantren Fadhlul Wahid desa Bandungsari kecamatan Ngaringan kabupaten Grobogan propinsi Jawa Tengah dipaparkan, Semoga ada manfaatnya bagi pondok pesantren pada khususnya dan masyarakat pada umumnya

Senin, 05 Desember 2011

Sejarah islam di indonesia oleh Syekh Ahmad Mutamakkin (Mbah Mad)

Sejarah awal mula datangnya Islam dan cara penyebarannya di Indonesia banyak versi dan dari beberapa teori yang muncul mempunyai dasar dan sudut pandang yang berbeda.

Perbedaan pendapat diantara para ahli tersebut berkisar pada, kapan datangnya, siapa yang menyebarkannya dan melalui jalur mana serta dengan cara seperti apa, hingga pada motif pertanyaan mengapa Islam dapat menjadi pandangan mayoritas masyarakat Indonesia dengan berbagai aliran dan varian golongannya.
Mungkin yang lebih menarik diteliti lebih jauh mengapa Islam bisa diterima oleh bangsa kita melebihi agama yang lain bahkan melampaui tradisi lama yang telah sekian abad menjadi keyakinan masyarakat.

Namun demikian para ahli secara umum berpendapat, penyebaran Islam di Indonesia terjadi secara berangsur-angsur, bersifat variatif dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama.
Batu nisan di Leran Gresik memberi petunjuk kemungkinan telah ada komunitas Islam yang berkembang di daerah itu pada sekitar tahun 475 Hijriah ( 1082 M).
Sementara Marcopolo dalam catatannya sempat singgah 5 bulan di daerah Sumatra pada tahun 1292 M, dia menceritakan adanya kota pelabuhan Islam Perlak yang telah ramai pada waktu itu, baru pada tahap selanjutnya melalui jalur perdagangan ke seluruh penjuru Nusantara Islam menyebar pada sekitar abad ke-XV-XVI.
Di Jawa Islam menyebar dan berkembang seiring dengan kehadiran para pendatang dari Gujarat dan Cina melalui jalur perdagangan sekitar abad XV, namun H.J De Graaf dan TH. Pigeaud dalam bukunya kerajaan Islam pertama di Jawa mensinyalir besar kemungkinan pada abad XIII di Jawa sudah ada orang Islam yang menetap melalui jalur perdagangan laut yang menyusuri pantai timur Sumatra lewat laut Jawa yang sudah dilakukan sejak jaman dulu, sehingga mereka sempat singgah di daerah pantai utara laut Jawa, karena pesisir pantai utara sangat cocok sebagai pusat pemukiman saat itu.

Penyebaran Islam di Jawa tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dan kiprah perjalanan orang-orang suci yang sangat legendaris dalam cerita lisan orang Jawa-Islam yang sangat populer dengan sebutan Wali berjumlah sembilan atau walisongo.
Meskipun terkenal dengan sebutan walisongo diduga kemungkinan besar sebenarnya jumlah yang sesungguhnya lebih dari itu, namun angka sembilan dalam mitologi Jawa memiliki makna tersendiri, dan kesembilan wali yang populer dan diyakini masyarakat sebagai penyebar Islam pertama di Jawa adalah: Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Gunungjati.

Kesembilan Wali tersebut diyakini oleh masyarakat Jawa memiliki kemampuan linuwuh baik secara fisik maupun spiritual, bahkan mereka dianggap mampu melakukan hal-hal yang sulit untuk diterima secara akal, merubah pohon pinang jadi emas dan membuat soko masjid dari pasahan kayu.
Lepas dari perdebatan apakah cerita lisan itu benar atau salah yang jelas para wali yang jumlahnya sembilan itu memilki kemampuan lebih dalam arti yang rasional dan ilmiah yaitu mereka sebagai pendatang yang berusaha merintis sebuah ajaran dan ideologi baru mampu melakukan strategi yang jitu di dalam mencari celah-celah nilai antara tradisi dan keyakinan lama ( Hindu-Budha) dengan tradisi dan keyakinan baru ( Islam ) dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan, sehingga Islam sebagai nilai-nilai baru dengan strategi yang mereka bangun bisa diterima, bahkan sekarang menjadi ajaran mayoritas di indonesia.

Strategi dan taktik inilah sebenarnya yang sekarang diwarisi oleh lembaga pendidikan yang namanya pesantren, karena memang secara historis keberadaan pesantren tidak bisa terlepas dari sejarah keberadaan para wali tersebut.
Penjagaan harmoni dan penghormatan terhadap nilai-nilai lama dan lokalitas sangat dijunjung tinggi di dalam proses akulturasi dan integrasi yang mereka lakukan.

Intitusionalisasi pesantren merupakan perjuangan tahap lanjut dari pendekatan yang digunakan walisongo dalam meng-Islamkan tanah Jawa, kesalehan sebagai jalan hidup, pemahaman yang konkret dan utuh terhadap budaya lokal merupakan karakter yang dimilki para santri yang dulu juga pernah dilakukan walisongo.

Perkembangan Islam di Jawa menemukan momentumnya ketika para wali dapat berintegrasi dengan para tokoh bangsawan Jawa saat itu, integrasi ini dilakukan dengan berbagai cara diantaranya melalui pendidikan, perkawinan dan puncaknya ketika walisongo bersatu membangun masjid Demak dan menjadikannya sebagai pusat kerajaan Islam pertama di Jawa Tengah pada paruh kedua abad XV, Demak cepat menjadi pusat perdagangan dan lalu lintas serta sekaligus menjadi pusat ibadah bagi golongan menengah Islam yang baru muncul.
Politik ekspansi raja-raja Demak dalam masa kejayaannya telah jauh masuk ke Jawa Barat, Tengah dan Timur, hal itu selalu dibarengi dengan dakwah agama, sebab semangat agama raja-raja Demak menganggap Masjid Demak sebagai simbol kerajaan Islam pada saat itu

Dalam sejarah dimaklumi Raden Patah sebagai raja Demak yang pertama, diyakini dia adalah keturunan raja kerajaan pra Islam Majapahit yang terakhir yang dalam legenda bernama Brawijaya, ibu raden Patah konon sorang putri keturunan Cina dari keraton raja Majapahit.
Berturut-turut setelah kerajaan Demak dipegang oleh raden Patah pada tampuk kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh pangeran Sabrang Lor yang selanjutnya diteruskan oleh generagi ketiga yang bernama Trenggono, keduanya merupakan putra dari raden Patah raja pertama Demak.

Demak sebagai ibu kota kerajaan Islam menjadi titik tolak perjuangan pada dasawarsa pertama abad XVI untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh Jawa melalui berbagai ekspansi dan ekspedisi militer, ke arah barat Hasanuddin putra syekh Nurullah yang lebih dikenal dengan gelar Sunan Gunungjati kelak kemudian diketahui sebagai raja Islam pertama di Banten, sementara ke arah timur bisa dilihat Jaka Tingkir seorang prajurit yang mengabdi pada raja Demak dan menjadi menantunya Trenggono raja Demak generasi ketiga menguasai Pajang dan menjadi raja disana yang setelah itu mengangkat pangeran Timur ( putra raja Demak ) sebagai bupati di Madiun.
Perluasan daerah melalui ekpansi dan ekspedisi ini menyebar ke berbagai arah penjuru Jawa sampai ke Madura pada paruh pertama abad XVI

Sementara itu penyebaran Islam di daerah Jawa bagian Tengah terjadi seiring dengan menyebarnya keturunan para raja Demak ke berbagai daerah di Jawa Tengah, seperti Jaka Tingkir, istri putri Trenggono raja Demak ketiga menguasai Pajang, Ratu putri Kalinyamat ( ipar perempuan raja Pajang ) memrintah di daerah Jepara dan daerah Pati saat itu dikuasai dan diperintah di bawah seorang raja yang bernama Ki Panjawi, teman seperjuangan Ki Gede Pamanahan dan Jaka Tingkir ( Sultan Hadiwijaya ) ketika melawan Aryo Penangsang untuk menuntut balas matinya saudara ipar Jaka Tingkir ( suami Ratu Kalinyamat ).

Diceritakan bahwa raja Demak ketiga Sultan Trenggono (putra Brawijaya atau Raden Patah, raja Demak pertama) telah mengawinkan salah satu putrinya dengan Jaka Tingkir ( Sultan Hadiwijaya ) dari perkawinan itu lahirlah Pangeran Benowo ( Raden Hadiningrat ) yang mempunyai putra bernama pangeran Sambo ( Raden Sumohadinegoro ) yang menurunkan putra Ahmad Mutamakkin.
Syekh Ahmad Mutakkim adalah seorang yang disegani serta berpandangan jauh, salah satu tokoh yang berjasa besar dalam penyebaran Agama Islam di Utara Pulau Jawa khususnya wilayah Pati.
Syekh Ahmad Mutamakkin adalah seorang tokoh lokal yang menjadi cikal bakal dan nenek moyang orang Kajen dan sekitarnya, yang kelak kemudian hari menjadi motivator dan inspirasi berdirinya pondok pesantren yang sekarang menjadi ciri khas desa tersebut.
Beliau dilahirkan di Desa Cebolek, 10 Km dari kota Tuban, karenanaya beliau di kenal dengan sebutan Mbah bolek di daerahnya.
Lazimnya orang yang hidup pada zaman dahulu, Mutamakkin muda mengembara untuk memenuhi hasrat keinginannya, suatu ketika sampailah pada sebuah tempat, tepatnya di sebelah utara timur laut Desa Kajen sekarang, sebagaimana yang menjadi kebiasaan para pengembara pada waktu itu untuk menngembalikan suasana daerah asalnya sekaligus untuk memudahkan dalam beradaptasi dengan lingkungan baru, diberilah nama daerah itu dengan “Cebolek” seperti desa kelahiran beliau.

Dalam masa hidupnya syekh Mutamakkin sepenuhnya mengabdikan diri untuk penyebaran agama Islam di daerahnya, beliau pernah belajar di Yaman kepada Syekh Muhammad Zayn al-Yamani yang merupakan seorang tokoh Sufi dalam tarekat Naqsyabandiyah dan sangat berpengaruh di Yaman saat itu.
Tidak diketahui secara pasti kapan syekh Mutamakkin berguru kepada Syech Muhammad Zayn al-Yamani, namun melalui tahun wafatnya ayah Syekh Zayn ( Syekh Muhammad al-Baqi ) tahun 1663 dan kematian putranya ( Abdul Khaliq Ibn Zayn ) tahun 1740 jadi diperkirakan Syekh Zayn hidup antara abad XVI-XVII.
Dengan demikian dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa Syekh Mutamakkin berguru pada beliau pada sekitar masa itu.

Menurut Zainul Milal Bizawi, penulis buku Perlawanan Kultural Agama Rakyat; Pemikiran dan paham Keagamaan Syekh Ahmad Mutamakkin, Rihlah Ilmiah atau pengembaraan dalam menuntut ilmu serta jaringan keilmuan Syekh Mutamakkin tidak terlalu penting, baginya yang lebih penting adalah tentang signifikansi dan sepak terjang beliau dalam dinamika Islam di Jawa terutama tentang pilihannya dalam memakai serat Dewaruci sebagai salah satu strategi dan metode dalam meyampaikan berbagai ajarannya.

Dalam serat Cebolek diceritakan bahwa Syekh Mutamakkin merupakan seorang tokoh yang mempunyai pemikiran kontroversial, yang pada saat itu sedang hangatnya pergumulan dalam pemikiran Islam antara Islam eksoteris yang berpegang teguh terhadap syari’at dan Islam esoteris yang mempunyai kecenderungan terhadap nilai-nilai substansial dalam Islam melalui ajaran ke-Sufian dan Tarekat.
Syekh Mutamakkin mewakili kelompok kedua dalam pergulatan tersebut, dengan berbagai ajarannya tentang ilmu hakekat yang dalam tasawuf mengandaikan bersatunya antara kawula dan Gusti.
Ajaran ini mendapatkan tempat di sebagian besar hati masyarakat saat itu karena memang mereka masih terbawa oleh budaya dan ajaran lama ( Hindu-Budha) yang dalam ajarannya identik dengan penerimaan terhadap hal-hal yang berbau mistik.

Sebagai seorang ‘alim, diceritakan Mbah Mutamakkin sangat teguh dalam memegang prinsip dan pendiriannya tentang Aqidah yang diajarkan dalam Islam, meskipun demikian beliau juga senang mengikuti dan mencermati cerita dalam pewayangan, terutama cerita yang menyangkut lakon Bima Suci atau Dewa Ruci, bahkan menurut penuturan Milal dalam bukunya, saking senangnya beliau termasuk satu-satunya orang yang fasih dan faham betul tentang alur dan penafsiran dalam cerita tersebut.
Karena memang bagi beliau cerita Bima Suci atau Dewa Ruci itu mengandung unsur kesamaan seperti apa yang pernah dipelajarinya dalam ilmu tasauf ketika berguru di Yaman pada syekh Zain al-Yamani.

Lazimnya seorang sufi, Mbah Mutamakkin gemar melakukan ritual-ritual yang berhubungan dengan peningkatan dalam meningkatkan kedekatan dan ketaqwaan kepada sang Khaliq ( Riyadloh), ritual ini biasanya beliau lakukan dengan melatih menahan dan mengurangi kegiatan makan, minum dan tidur, dalam rangka pengekangan hawa nafsu.
Suatu ketika Mbah Mutamakkin melakukan riyadloh dengan puasa selama 40 hari.
Pada hari terakhir riyadloh, sangi istri diminta untuk memasak yang enak dan lezat setelah itu disuruh untuk mengikat beliau, agar dapat mengalahkan hawa nafsunya.
Namun sebagain versi lain mengatakan bahwa kejadian ini (pengikatan) hanya sebagai simbol pertarungan beliau dengan hawa nafsunya, yang akhirnya keluar dari dalam dirinya dua ekor anjing yang dengan lahapnya langsung menghabiskan hidangan yang telah disajikan oleh istrinya.
Dua anjing tersebut lalu diberi nama oleh beliau Abdul Qohar dan Qomaruddin yang kebetulan menyamai nama penghulu dan khotib Tuban, pemberian nama ini bagi sebagian masyarakat yang anti terhadap beliau dianggap sebagai penghinaan atau bahkan sebagai sebuah kritik terhadap para penguasa saat itu, namun menurut H.M Imam Sanusi pemberian nama itu mengandung arti dan perlambang bagi Mbah Mutamakkin sendiri, yaitu hamba Allah yang mampu memerangi hawa nafsunya.

Mbah Mutamakkin adalah sosok seorang ‘alim yang terbuka, berani, apa adanya dan suka bercanda dan menguji seseorang, sikap dan sifat tersebut pernah membuat seorang musafir merasa terhina karena ketika bertamu di rumah beliau tersinggung oleh perkataan yang dilontarkan Mbah Mutamakkin pada saat menjamu makan nasi berkat ( satu porsi nasi dari kenduren ) yang dihabiskan sampai bersih, dikatakan oleh beliau bahwa anjingnya saja tidak suka makan ikan kering, apalagi sampai habis seperti itu.
Karena tamu tersebut tidak terima dengan perkataan Mbah Mutamakkin yang dianggapnya sebagai sebuah penghinaan, akhirnya tamu itu membuat selebaran dan diedarkan kepada para ulama yang berisi tentang kehidupan Mbah Mutamakkin yang memelihara anjing dan suka melihat dan mendengarkan wayang, padahal bagi masyarakat Islam hal itu dianggap melanggar peraturan hukum Islam.

Karena kejadian itu akhirnya Mbah Mutamakkin sempat disidangkan di keraton Surakarta dengan penuntut seorang alim dari Kudus yang bernama Katib Anom untuk dihukum mati dengan dibakar, namun yang terjadi bukan hukuman malah sebaliknya beliau dibebaskan tanpa syarat dan berhasil kembali ke Kajen untuk meneruskan perjuangan atas apa yang menjadi keyakinannya.

Banyak versi baik yang tertulis maupun yang masih beredar dalam keyakinan masyarakat Kajen yang menceritakan tentang sejarah kehidupan Mbah Mutamakkin, dan dari kedua versi yang berkembang saling bertolak belakang sesuai dengan sudut pandang masing-masing, versi yang ditulis oleh penguasa saat itu yang lebih dikenal dengan “serat Ccebolek” menempatkan Mbah Mutamakkin sebagai seorang pembangkang dan penganjur aliran sesat yang kurang mampu dan memahami bidang agama sementara versi yang diyakini masyarakat Kajen dan ditulis oleh salah satu pengikut dan keturunannya berdasarkan “lokal historis” masyarakat sekitar Kajen menempatkan Mbah Mutamakkin sebagai seorang yang alim dan suci sebagi penganjur agama Islam di daerah itu bahkan beliau menempati posisi tertinggi dalam struktur keyakinan masyarakat Islam sebagai seorang waliyullah, demikian juga yang disimpulkan dalam bukunya “Memelihara Umat” Pradjarta menyatakan bahwa Mbah Mutamakkin adalah seorang perintis pertama dan penyebar agama Islam di daerah Tayu dan sekitarnya.

Wallahu a’lam, lepas dari perdebatan berbagai versi yang ada mana yang dianggap benar.
Namun satu yang pasti dan dapat dibuktikan bahwa Mbah Mutamakkin berhasil lolos dari tuntutan atas kematiannya dan di masyarakatnya sampai sekarang tetap diyakini sebagai seorang wali yang memilki berbagai kemampuan linuwuh dan karomah.

Bahkan kehadirannya di desa Kajen telah menjadi pioner dan perintis dari berdirinya pesantren dan penyebaran agama Islam di wilayahnya, ini merupakan bukti nyata bahwa beliau diterima dan dipercaya oleh masyarakatnya, dan sejarah adalah bukti yang paling real atas sebuah peristiwa yang terjadi.

Perjuangan dan ajaran beliau sampai sekarang masih diyakini dan dipegang teguh oleh keturunan dan para pengikutnya, pengaruh beliau masih dapat dirasakan sampai sekarang, layaknya sebagai tanah perdikan pada zaman itu yang dibebaskan dari pembayaran pajak, Kajen sekarang adalah tanah pendidikan yang menjadi alternatif dari bentuk pendidikan nasional yang ada, Kajen dengan daya tarik dan berbagai kelebihannya ingin menyampaikan bahwa sejarah independensinya sebagai tanah perdikan tidak sekedar mandiri dalam arti sempit yang mengelola kehidupannya sendiri namun lebih dari itu Kajen adalah sebuah desa yang senantiasa mengikuti perkembangan yang terjadi tanpa menghilangkan nilai lokalitas yang dimilkinya, pembangunan bukan berarti merubah segala sesuatu dengan menghancurkan yang lama,tapi pembangunan adalah suatu usaha untuk memahami jati diri dan potensinya yang disesuaikan dengan kebutuhan demi kemaslahatan dan kebahagiaan baik di dunia maupun akhirat.

Hal ini dibuktikan dengan keberadaan pesantren di desa Kajen yang mencapai lebih dari 26 dan sekitar 8 madrasah yang semuanya dikelola dan dikembangkan oleh keturunan sang pejuang dan penganjur nilai-nilai luhur dan keislaman, Mbah Mutamakkin.

Sedikit Kisah Tentang Bulan Muharram

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (Maksudnya ialah: bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri (Maksudnya janganlah kamu menganiaya dirimu dengan mengerjakan perbuatan yang dilarang, seperti melanggar kehormatan bulan itu dengan mengadakan peperangan) kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al Taubah: 36)

Muharram merupakan bulan yang sangat berpengaruh pada sejarah kehidupan umat Islam. Suatu bulan yang menjadi pembuka tahun dalam kalender Islam, Hijriyah. Suatu bulan yang penuh barokah dan rahmah, karena bermula dari bulan inilah –menurut dunia Islam- berlakunya segala kejadian alam ini. Bulan Muharram juga termasuk salah satu dari empat bulan yang dimuliakan Allah dalam al Qur’an (Al Taubah: 36).

Secara otomatis bulan Muharam merupakan bulan yang menyimpan banyak sejarah kehidupan umat. Di mana pada bulan itu Allah SWT banyak menurunkan peristiwa yang patut dikenang bagi umat sebagai rasa syukur atas kenikmatan yang diberikan, karena peristiwa-peristiwa yang terjadi pada bulan tersebut dapat memberikan banyak inspirasi bagi kelangsungan hidup umat manusia di muka bumi ini.

Meskipun demikian, di sana kadang timbul pertanyaan dalam benak kita, kenapa penetapan awal tahun dalam Islam berdasarkan hijrah Rasul Muhammad saw? Apakah karena dalam hijrah tadi terdapat sesuatu yang sangat urgen untuk dikenang? Bukankah selain hijrah masih ada beberapa peristiwa yang tidak kalah pentingnya dengan hijrah tadi? Seperti kelahiran atau wafat Rasul saw, peristiwa awal penerimaan wahyu, peristiwa Isra’ & Mi’raj yang mendatangkan perintah shalat wajib lima waktu, di mana hal itu merupakan tonggak atau tiang agama (Ashsholatu ‘imaduddin). Pun tak kalah pentingnya peristiwa penaklukan kota Mekah yang menjadi pusat persatuan dan kesatuan umat Islam, dan masih banyak lagi beberapa peristiwa lainnya yang berpengaruh pada eksistensi Islam di muka bumi ini. Namun, kenapa harus bersandar pada hijrah Rasul Muhammad saw kalender Islam itu ditetapkan?

Bulan Muharram Dalam Sejarah

Tradisi penanggalan Hijriyah dirintis pada masa kekhalifahan Umar Bin Khattab RA. Pada waktu itu muncul wacana diperlukannya penanggalan yang baku dan seragam untuk berbagai urusan kenegaraan dan kemasyarakatan. Kemudian, muncullah berbagai usulan dari para Sahabat. Pada akhirnya disepakati bahwa peristiwa hijrah Nabi SAW dari Makkah menuju Madinah dijadikan patokan dalam perhitungan awal tahun kelender Islam.

Dalam sejarahnya, Khalifah Umar bin Khattab (13-23 H/634-644 M) pernah menerima surat dari Gubernurnya di Bashra Abu Musa Al Asy’ari yang menyebutkan pada awal suratnya berbunyi: “……menjawab surat Tuan yang tidak tertanggal…..”. Perkataan pendek yang tampaknya tidak begitu penting telah menarik perhatian Khalifah Umar, yaitu perlunya umat Islam mempunyai penanggalan yang pasti. Hingga akhirnya diadakan musyawarah khusus untuk menentukan kapan awal tahun baru Islam.

Dalam musyawarah yang dihadiri oleh para tokoh-tokoh terkemuka dari kalangan sahabat itu, muncul beberapa usulan untuk menentukan kapan dimulainya tahun baru Islam. Di antara usulan tersebut terdapat pendapat yang mengatakan penanggalan Islam dihitung dari peristiwa penyerangan Abrahah terhadap Ka’bah, yang dikenal dengan sebutan “Amul Fiil” (tahun Gajah) dan itu sudah sering dipakai. Ada yang menyarankan penanggalan Islam dihitung dari turunnya wahyu pertama kepada Rasulullah SAW, di mana waktu itu beliau secara resmi dilantik oleh Allah SWT sebagai Nabi dan Rasul untuk seluruh umat. Ada juga yang mengusulkan penanggalan Islam dihitung dari wafatnya Rasululah saw, dengan alasan pada waktu itu diturunkan wahyu terakhir yang menegaskan bahwa Islam sebagai agama yang sempurna. Dan ada pula yang berpendapat bahwa penanggalan Islam dihitung dari hijrahnya Rasullah saw dari Mekah ke Madinah, dengan alasan karena peristiwa itu merupakan pintu masuk kehidupan baru bagi Rasulullah SAW dan umatnya dari dunia kemusyrikan menuju dunia tauhid (Islam).

Setelah lama musyawarah bersama dengan berbagai pendapat dan argumentasi masing-masing, akhirnya disepakati bahwa usulan terakhir itu yang diterima (penanggalan Islam dihitung dari hijrahnya Rasullah saw dari Mekah ke Madinah), yang kemudian diumumkan oleh khalifah bahwa tahun baru Islam dimulai dari Hijrah Rasulullah Ssw dari Makkah ke Madinah.

Menariknya, meskipun awal bulan Muharram merupakan awal tahun bagi tahun Hijriyah, ternyata Muharram bukan awal permulaan hijrah Nabi SAW. Soalnya hijrah beliau jatuh pada permulaan bulan R. Awwal tahun ke-13 kenabian (14 Sept 622 M), bukan pada awal Muharram. Sedangkan antara permulaan hijrah Nabi Saw dan permulaan kalender Islam (Muharram) sesungguhnya terdapat jarak sekitar antara 62-64 hari, dan antara keduanya terdapat bulan Shafar.

Dalam kitab tarikh Ibnu Hisyam dinyatakan bahwa keberangkatan hijrah Rasulullah dari Mekah ke Madinah pada akhir bulan Shafar, dan tiba di Madinah pada awal bulan R. Awal. Jadi bukan pada tanggal 1 Muharram sebagaimana anggapan sebagian orang.

Adapun penetapan Bulan Muharram sebagai awal tahun baru dalam kalender Hijriyah adalah hasil musyawarah para sahabat nabi SAW pada zaman Khalifah Umar bin Khatthab ra saat mencanangkan penanggalan Islam. Pada saat itu ada yang mengusulkan R. Awal sebagai awal tahun dan ada pula yang mengusulkan bulan Ramadhan. Namun kesepakatan yang muncul saat itu adalah bulan Muharram, dengan pertimbangan bahwa pada bulan itu telah bulat keputusan Rasulullah saw untuk hijrah ke Madinah pasca peristiwa Bai’atul Aqabah (ikrar penduduk Madinah yang datang ke Mekah untuk masuk Islam). Di mana saat ada 75 orang Madinah yang ikut baiat untuk siap membela dan melindungi Rasulullah SAW, jika beliau datang ke Madinah di kemudian hari. Dengan adanya bai’at ini, Rasulullah SAW pun melakukan persiapan untuk hijrah, dan baru dapat terealisasi pada bulan Shafar, meski ancaman maut dari orang-orang Quraisy senantiasa mengintai beliau.

Betapa besar dan berat perjuangan Rasul SAW waktu itu hingga setiap datang tanggal 1 Muharram, ingatan kita terlukis kembali pada puncak perjuangan beliau SAW 14 abad silam. Suatu perjuangan untuk membebaskan kaum muslimin dari kezaliman dan tindakan sewenang-wenang yang menimpa mereka dikarenakan tindakan orang-orang kafir tersebut semakin hari semakin meningkat pada taraf yang sangat membahayakan masa depan Islam dan kaum muslim. Dengan izin Allah SWT, Rasulullah SAW beserta para sahabatnya yang setia, akhirnya meninggalkan tanah kelahirannya yang tercinta Makkah Al-Mukarramah untuk pindah ke negeri yang baru yaitu Yastrib (Madinah). Perpindahan beliau dari Makkah ke Yastrib inilah yang disebut “hijrah”, dan oleh Khalifah Umar bin Khattab dijadikan momentum dan starting point, pangkal tolok perjalanan sejarah Islam, dengan ucapannya: “Hijrah itu memisahkan antara yang hak dengan yang batil, karena itu jadikanlah catatan sejarah”.

Hijrah Sebagai Penetapan Kalender Islam

Peristiwa hijrah Rasul Allah Muhammad saw dan para sahabatnya, bisa kita ambil sebagai suatu pelajaran berharga dalam kehidupan kita. Betapapun berat menegakkan agama Allah SWT, tetapi seorang muslim tidak layak untuk mengundurkan diri untuk berperan di dalamnya.

Dalam sejarahnya, malam itu (menjelang hijrah) Rasulullah SAW akan keluar dari rumah. Sementara di luar rumah, orang-orang yang ingin membunuhnya sudah menunggu. Dengan izin Allah SWT (waja’alna min baini aidihim saddan wa min kholfihim saddan fa’aghsyainahum, fahum la yubshirun), baginda Nabi SAW bisa melewati para musuh yang telah mengepung rumahnya tadi dengan selamat.

Meskipun berhasil melewati mereka, beliau tetap harus bersembunyi dahulu di sebuah goa (tsur) karena musuh masih tetap mengejar. Namun mereka tidak berhasil dan beliau dapat meneruskan perjalanannya. Meskipun demikian pengejaran tetap dilakukan, tetapi Allah menyelamatkan beliau dan juga Abu Bakar yang menemaninya hingga sampai di Madinah dengan selamat. “Allah senantiasa akan menolong hambaNya selama ia mau menolong agamaNya”.

Perjalanan dari Mekah ke Madinah yang melewati padang pasir yang tandus dan gersang, telah beliau lakukan demi sebuah perjuangan yang menuntut sebuah pengorbanan. Namun beliau yakin bahwa dibalik kesulitan ada kemudahan “inna ma’al ‘usri yusron…”.

Begitu tiba di Madinah, dimulailah fase kehidupan baru dalam sejarah perjuangan Islam. Perjuangan demi perjuangan beliau lewatkan bersama para sahabat. Menyampaikan wahyu Allah, mendidik manusia agar menjadi masyarakat yang beradab dan terkadang harus menghadapi musuh yang tidak menginginkan akan hadirnya agama baru (Islam). Tidak jarang beliau turut serta ke medan perang untuk menyambung nyawa demi tegaknya agama Allah SWT, hingga Islam tegak sebagai agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk dunia saat itu. Lalu sudahkah kita berbuat untuk agama kita?

Jika dicermati dan direnungi dengan seksama apa yang terjadi dalam sejarah hijrah tersebut, pemilihan hijrah sebagai titik perhitungan kalender Islam sangatlah tepat. Di mana penetapan tersebut didasarkan pada esensi dari peristiwa hijrah itu sendiri, yaitu suatu gerakan umat secara kolektif dari dunia kegelapan kufur menuju kondisi yang lebih baik (Islam).

Daya revolusi dengan hijrah sebagai inspirasinya, tidak mungkin terjadi jika umat tidak menyediakan ruang koreksi bagi diri sendiri. Kita bisa sepakat bahwa pertambahan usia manusia berbeda dengan usia mobil yang kian bertambah. Manusia tua tidak sama dengan mobil tua. Jika mesin secara perlahan mengalami kerusakan mekanis, aus, berkarat, dan sebagainya, maka semua itu beda dengan manusia. Hakikat usia manusia terletak pada kesempatan untuk membentuk sikap dewasa dari masa ke masa.

Jika asumsi tersebut bisa diterima secara kolektif, usia peradaban manusia yang kian menua harusnya menuju pada kematangan atau kedewasaan. Namun, tampaknya yang terjadi tidak selalu demikian. Manusia kini memang banyak mengaku dirinya modern, namun sering alpa jika mereka adalah bagian dari alam semesta yang fana.

Arti Muharram

Kata Muharram, secara etimologinya diambil dari kata Arab “Harrama-Yuharrimu-Tahriiman-Muharrimun-wa-Muharramun”, yang berarti “diharamkan”. Yakni, Muharram adalah sesuatu yang dihormati / yang terhormat dan yang diharamkan (dari hal-hal yang tidak baik). Sebagaimana tertulis dalam sejarahnya, bahwa pada bulan Muharram ini umat Muslim diharamkan Allah untuk berperang.

Bulan Muharram adalah bulan yang pertama dan salah satu dari 12 bulan dalam kalender hijriah yang tercantum pada Kitabullah, sejak Allah SWT menjadikan alam semesta. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (Maksudnya ialah: bulan Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri (Maksudnya janganlah kamu menganiaya dirimu dengan mengerjakan perbuatan yang dilarang, seperti melanggar kehormatan bulan itu dengan mengadakan peperangan) kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al Taubah: 36).

Adapaun kata-kata “hijrah” dan pecahan katanya, dalam Alqur`an ada lebih dari 30 kata. Kata-kata hijrah dirangkai dengan kata-kata “iman” dan “jihad”. Hal itu menunjukkan bahwa hijrah itu adalah suatu tingkat dalam perjuangan (jihad) yang berlandaskan kepada keimanan. Firman Allah SWT: “Orang-orang yang beriman, yang berhijrah dan berjihad pada jalan Allah dengan harta benda dan dirinya, lebih tinggi derajatnya pada sisi Allah, Mereka itulah orang-orang yang menang. Tuhan menyampaikan berita gembira kepada mereka dengan beroleh rahmat, ridhaNya dan surga yang di dalamnya mereka memperoleh nikmat yang abadi”. (QS. At-Taubah: 20-21).

Derajat yang tinggi dari Allah SWT tersebut merupakan penghargaan bagi orang-orang yang berjuang, berjihad dan berkurban demi agamaNya. Perjuangan harus dilandasi dengan iman yang kuat dan mendalam. Jihad adalah upaya dengan sungguh-sungguh sehingga nampak jelas garis pemisah antara yang hak dan yang batil.

Pada tahun baru Hijriyah, Muharram, bagi orang yang tidak atau kurang mengerti tentang Islam, mereka akan memperingatnya dengan cara yang kurang tepat karena bertitik tolak dari anggapan yang kurang tepat pula. Mereka yang demikian tersebut menganggap Muharram (syura) adalah bulan keramat, angker, atau naas dan berbahaya. Oleh karena itu, peringatan yang diadakan juga bermacam-macam, antara lain; begadang semalam suntuk, berjalan (pawai) semalam suntuk, mengadakan sesaji ke laut atau tempat-tempat yang dianggap keramat, mandi keramas (berendam) supaya awet muda, memandikan (marangi) pusaka, seperti keris, tombak dan lain sebagainya.

Demikian itu mereka lakukan karena menurut keyakinannya, mereka takut celaka, takut kena musibah, dan sejenisnya. Padahal sebenarnya hal tersebut sama sekali tidak diajarkan oleh Islam, bahkan hal itu bisa mengantarkan pelakunya pada jurang kesyirikan (musyrik), na’udzu billah min dzaalik.

Di sini, yang paling relevan untuk dilakukan adalah apa yang pernah diketengahkan oleh Amirul Mukminin, Umar Ibn Khaththab: “ Haasibuu anfusakum qabla an tuhasabuu ” (Koreksilah diri kalian, sebelum kalian semua dikoreksi (di akhirat) kelak). Dalam ungkapan itu yang dimaksud adalah seruan pada umat secara kolektif untuk introspeksi diri pada apa yang pernah dilakukan tahun-tahun sebelumnya. Bukan malah berpoya-poya, berpesta-ria, ber-SEPHIA-mesra (Sabu-Ekstasi-Putaw-Heroin-Inex-Alkohol) dan ber-vulgaria bersama penjaja cinta sebagaimana yang dilakukan oleh (sebagian) orang-orang Barat.

Betapa sangat terpuji dan mulianya jika dana pesta-pesta tersebut, sarana dan prasana penyambutan tahun baru yang tidak bermanfaat itu dialokasikan kepada mereka yang masih selalu menjerit kelaparan, merintih kehausan, menangis kehilangan papan (tempat tinggal), menggigil kedinginan dan yang mengerang kepanasan. Masih adakah empati kita pada mereka? Ataukah empati itu sudah tertutup dengan dinding tebal apatis dan egois kita?

Sejarah Dalam Muharram

Sementara dalam bulan Muharram, lebih-lebih tanggal 10 Muharram, yang disebut ‘Asyura, atau bulan Suro (sebutan Jawa) banyak menitiskan peristiwa bersejarah pada kita, kususnya apa yang pernah dialami oleh para Nabi dan Rasul Allah. Di mana pada hari itu merupakan “hari pertolongan” bagi para Nabi.

Dalam sejarahnya, pada hari itu terdapat beberapa peristiwa besar yang sangat berpengaruh dalam sejarah eksistensi agama Tauhid (Islam), antaranya:
1. Nabi Adam bertaubat kepada Allah dan dipertemukan dengan isterinya , Siti Hawa di Padang Arafah (Jabal Rahmah).
2. Nabi Idris diangkat oleh Allah ke langit.
3. Nabi Nuh diselamatkan Allah SWT dari perahunya setelah bumi ditenggelamkan selama enam bulan.
4. Nabi Ibrahim diselamatkan Allah dari pembakaran Raja Namrud.
5. Nabi Yusuf dibebaskan dari penjara.
6. Penglihatan Nabi Ya’kub yang kabur dipulihkan Allah kembali.
7. Nabi Ayub dipulihkan Allah dari penyakit kulit yang dideritanya.
8. Nabi Yunus dikeluarkan dari perut ikan paus setelah berada di dalamnya selama 40 hari 40 malam.
9. Allah menurunkan kitab Taurat kepada Nabi Musa as.
10. Nabi Musa AS menyeberangi laut merah menyelamatkan diri dari kejaran Fir’aun.
11. Nabi Sulaiman dikaruniai Allah kerajaan yang besar.
12. Nabi Ayub sembuh dari sakitnya yang kronis.
13. Nabi Muhammad SAW lepas dari racun orang-orang Yahudi.
14. Terbunuhnya cucu Nabi Muhammad, Husain Ibn Aly ra. di bukit Karbala.

Pada tanggal ini pula, ummat Islam zaman dahulu diwajibkan berpuasa sebelum adanya perintah wajib puasa Ramadhan. Namun setelah turunnya perintah puasa Ramadhan, maka puasa pada tanggal 10 Muharram menjadi sunnah. Sebagaimana dalam satu riwayat disebutkan bahwa: “Rasulullah menyuruh kita berpuasa Asyura pada tanggal 10 Muharram”. (HR Tirmidzi).

Kemudian di hadits lain Rasulullah SAW meringankan puasa ‘Asyura menjadi sunnah dengan sabdanya: “Barangsiapa yang ingin puasa Asyura, maka berpuasalah dan barangsiapa yang ingin tidak berpuasa, silakan meninggalkannya”. (Al-Hadits). Karena peristiwa bersejarah yang cukup banyak terjadi pada 10 Muharram ini, maka tanggal ini dianggap sebagai tanggal yang penting. Hingga ditetapkan sebagai awal tahun dalam kelender hijriah, di samping bertendensi pada kematangan Rasulullah saw untuk bersiap-siap hijrah pada bulan itu.

Anjuran Dalam Bulan Muharram

Rasulullah SAW menganjurkan kepada ummatnya untuk memetik nilai-nilai rohaniah dari kejadian-kejadian tersebut dan menjadikannya hari peningkatan ibadah dan amal, yaitu dengan berpuasa pada bulan Muharram. Sebagaiamana dijelaskan dalam sabdanya: “Puasa pada hari Asyura menghapuskan dosa-dosa (kecil) pada setahun yang lampau”. (HR Muslim). Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a berkata: Rasululullah saw. Bersabda: “Jika Aku masih hidup tahun depan, niscaya aku akan benar-benar berpuasa pada hari “tasua’ (9 Muharram). (HR. Muslim & Ibnu Majah), yakni demikian itu untuk membedakan kebiasaan kaum yahudi yang suka berpuasa pada tanggal 10 Muharram untuk mengenang sejarah keselamatan Nabi mereka, Musa as. Dan dijelaskan pula bahwa Rasul saw wafat terlebih dahulu sebelum menjalankan puasa di hari tasu’a (9 Muharram) tadi.

Begitu juga dianjurkan pada hari tersebut melakukan perbuatan kebajikan, yang termasuk dalam kategori amal saleh seperti menyantuni fakir miskin, anak yatim, orang-orang lemah dan sengsara, kaum atau keluarga yang membutuhkan pertolongan dan lain-lain. Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang melapangkan (memberi) keluarganya dan ahlinya pada hari Asyura, maka Tuhan akan memberikan kelapangan padanya selama satu tahun”. (HR Baihaqi)

Dengan memahami hadits-hadits tersebut, jelaslah bahwa hari Asyura itu adalah hari untuk beribadah dan beramal serta hari untuk merenungi sejarah. Juga sebagai hari ‘inayatullah (pertolongan Allah), bertaubat, dan minta pertolongan Allah, kususnya mulai tanggal 1 hingga 10 Muharram. Rasulullah SAW mulai mengerjakan puasa ‘Asyura setelah hijrah ke kota Madinah dan sebelum turun ayat mewajibkan puasa Ramadhan.

Dalam suatu riwayat, Said bin Jubair dari Abbas RA mengatakan, ketika Nabi SAW baru hijrah ke Madinah mendapati kaum Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Maka beliau bertanya kepada mereka tentang hal itu, jawab mereka “Hari ini Allah memenangkan Musa dan Bani Israil terhadap Fir’aun dan kaumnya, maka kami puasa karena menganggungkan hari ini”. maka Nabi pun bersabda: “Kami lebih layak mengikuti jejak Nabi Musa dai pada kamu”.

Penutup

Setelah membaca sejarah Muharram yang penulis suguhkan di atas, setidaknya ada beberapa hikmah yang dapat dipetik untuk dijadikan cermin kehidupan kita sehari-hari. Hiruk-pikuk dan zig-zag yang beraneka macam dalam kehidupan yang penuh fatamurgana ini, sangat sulit kita lalui tanpa ada cermin yang menuntun.

Di antara hikmah tersebut adalah kita bisa mengatakan bahwa usaha dan tawakal merupakan kunci sukses dalam mengarungi hidup di dunia ini. Demikian digambarkan Rasul saw bersama Abu Bakar RA saat bersembunyi di Gua Tsur dan para pengejar mereka yang telah berdiri di mulut gua tersebut. Saat itu Abu Bakar RA sangat gemetar ketakutan. Rasulullah SAW menenangkannya sambil berkata: “jangan kuatir dan jangan bersedih. Sesungguhnya Allah bersama kita”. (Al Hadits). Dengan usaha mereka berdua yang berangkat hijrah ke Madinah waktu tengah malam dan selalu bertawakal kepada Allah, akhirnya berhasil terhindar dari bahaya para pengejar yang hendak membunuhnya itu.

Dalam pelaksanaan hijrah sendiri, segala bentuk pengorbanan akan sia-sia dan tidak mendapat pahala di sisi Allah, jika tidak dilandasi dengan perasaan ikhlas karena Allah. Hal ini terekam ketika di antara para sahabat yang ikut berhijrah itu bukan karena Allah, tetapi karena hendak kawin dengan seorang wanita bernama ‘Ummu Qais di Madinah. Perihal tersebut diketahui oleh sebagian sahabat. Sesudah sampai di Madinah, ada orang yang bertanya kepada Rasululah: “Dapatkah pahala orang yang hijrah karena hendak kawin?” Maka sabda Rasulullah: “Tidak diterima amal-amal, melainkan menurut niat. Dan seorang tidak akan mendapatkan sesuatu melainkan dari apa yang dia niatkan. Oleh sebab itu, barangsiapa hijrah karena Allah dan RasulNya, maka ia akan dapat pahala hijrah karena Allah dan RasulNya, dan barangsiapa hijrahnya karena dunia, maka ia akan dapat keuntungan dunia itu atau hijrahnya karena wanita, maka ia akan berkawin dengan dia. Maka (pendeknya pahala) hijrahnya itu menurut niat, karena apa ia berhijrah”. (HR. Jama’ah)
Hijrah Rasulullah SAW dan para sahabatnya juga membawa arti tersendiri dalam mempererat ukhuwah islamiyah antara orang-orang yang hijrah dari Makkah ke Madinah (muhajirin) dan orang-orang penduduk asli Madinah yang menolong perjuangan Islam (Anshar).

Keharmonisan hubungan antara kedua kelompok tersebut begitu mesra terbina, seakan-akan semuanya saudara yang telah lama kenal. Kaum Anshar dengan segala keikhlasan memberikan segala macam bantuan bagi Muhajirin yang telah meninggalkan harta bendanya di Mekkah. Muhajirin pun ikut bersama membangun Madinah di bawah pimpinan Rasulullah Saw.

Di sana ada juga pengorbanan dan keyakinan (dalam ibadah; hijrah) yang tergambar dalam jasa Ali bin Abi Thalib, yaitu ketika beliau tanpa ragu menyanggupi untuk menggantikan Nabi agar tetap berada didalam rumah, bahkan beliau kemudian tidur dan mengenakan sorban Nabi. Sungguh sebuah pengorbanan yang sangat heroik, dimana Ali ibn Aby Thalib yang ketika itu masih seorang pemuda, rela untuk menjadi tameng bagi kelangsungan hidup Rasulnya, yang berarti pula kelangsungan dakwah Islam di muka bumi ini.

Nilai ini juga ditunjukan oleh Abu Bakar as Shidiq, yakni ketika beliau berkata “Biar saya yang masuk kedalam gua (Tsur) dulu, kalau ada binatang buas atau binatang berbisa di dalam sana, saya rela mati, biar anda meneruskan perjuangan dan dakwah anda”. Sebuah epik kepahlawanan dan pengorbanan yang luar biasa. Kemudian dalam versi lain menambahkan bahwa ternyata benar Abu Bakar digigit ular berbisa waktu itu, namun atas kehendak Allah, beliau selamat dalam peristiwa itu.

Hikmah lain, adanya upaya bagaimana menciptakan kondisi yang kondusif dalam lingkungan, agar masyarakat bisa hidup dengan aman dan sentosa, damai dan sejahtera, beretika dan beradab. Demikian tergambar dalam pada waktu Rasul SAW sampai di tempat yang baru (Madinah). Di mana setelah itu Nabi SAW mengganti nama “Yatsrib” (artinya; mengecam) menjadi “Madinah” (artinya; Kota Peradaban).

Hal ini mencerminkan bahwa sebuah proses keberhasilan tidak akan dicapai ketika orang-orang yang berada di dalamnya saling mengecam satu sama lain, kritik yang tidak konstruktif, asal ganti dan lebih mementingkan kepentingan golongan dan pribadinya semata.

Penggantian nama Yatsrib menjadi Madinah, menyimbolkan bahwa keberhasilan hanya akan dicapai dalam tata kehidupan yang beradab, dengan adanya sopan santun dan etika berpendapat, kritik dan masukan, tata aturan yang mesti dipenuhi oleh orang-orang beradab. Kemudian dibuktikan dalam sejarah masa kini, bahwa -di manapun- tidak akan pernah bisa mencapai keberhasilan, ketika individu-individu yang terlibat dalam proses itu saling mengecam, bahkan tak jarang menyebarkan fitnah-fitnah keji. Sebaliknya, sebuah kondisi yang “beradab”, yang berdasarkan tata aturan dan norma kesusilaan-lah yang mengantar sebuah bangsa, sebuah kelompok atau apapun untuk mencapai keberhasilannya.

Jika dicermati dengan seksama, akan kita temui bahwa hijrah Rasul saw mempunyai banyak kelebihan dan pengaruh besar dalam eksisitensi agama Islam ini. Hingga pantas hijrah rasul dijadikan patokan penetapan kalender Islam. Sebab, peristiwa-peristiwa penting bersejarah yang lainnya, hampir semuanya terkandung dalam peristiwa hijrah Rasul saw. Misalkan peristiwa Isra’ & Mi’raj, di mana beliau mendapat perintah shalat wajib lima waktu, datang setelah + dua tahun dari hijrah, peristiwa penaklukan kota Mekah, terjadi setelah hijrah, pun wafatnya Rasul saw terjadi setelah hijrah.

Sedangkan peristiwa kelahiran Nabi saw tidak dijadikan patokan kelnder Islam, karena waktu itu beliau (masih bayi) belum bisa diketahui kalau kelak akan menjadi rasul, hingga kelahirannya pun tidak jauh beda dengan kelahiran bayi lainnya.

Awal wahyu turun, jika dijadikan patokan kalender, sangat memungkinkan sekali akan menimbulkan banyak hal, karena peristiwa tersebut dimulai dengan cara “berkhulwah” (bertapa/ semedi). Di mana hal itu sering pula dilakukan kebanyakan orang Jahiliah, dan sebagainya. Yang ahirnya menimbulkan statemen bahwa Islam adalah agama Muhammad (Muhamadism).

Masih ada beberapa nilai lain yang terkandung dalam peristiwa Hijrah tersebut, tapi sayang tidak sempat terekam oleh ingatan penulis, mungkin bisa ditambahkan dan diluruskan untuk yang tidak benar dalam tulisan ini. Semoga tahun baru Islam, Muharram 1429 ini, kita semua umat Islam dapat mengambil hikmah yang banyak terkandung dari sejarah hijrah tadi.

Refrensi

Al Quran al Karim.
Fathul Qarib Ala Tahdzibit targhib wat Tarhib.
Syekh sayyid Alwy iIn Abbas al Maliki al Husaini. Cet.5/2000 M. Makkah al Mukarramah.
Al Kaamil fit Tarikh. Ibnu Atsir.
Tahdzib Sirah Ibn Hisyam.
Refleksi Muharram 1428H. Casnadi. 22 Januari 2007M.

http://mahmudiimam.wordpress.com

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons