Blog ini ditujukan kepada seluruh ummat Islam yang cinta kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Para Sahabat RA, Auliya', Habaib, Ulama', dan sejarah kebudayaan Islam.

Sabtu, 26 Mei 2012

PERTEMUAN AGUNG BERTABUR NUR KEBERKAHAN ANTARA AL QUTHUB AL HABIB ‘ALWI BIN ‘ALI AL HABSYI (Gurawan,Solo) DAN AL QUTHUB AL HABIB ABU BAKAR BIN MUHAMMAD ASSEGAF (Gresik)

Penulis: Al Habib ‘Abdul Qodir bin Husein bin Segaf Assegaf

Pada hari Sabtu, tanggal 18 Dzulqoidah 1371 H, jam 08.00 pagi, bertepatan dengan tanggal 9 Agustus 1952 M, Habib ‘Alwi bin Al Quthub Al Habib ‘Ali bin Muhammad bin Husein Al Habsyi (Pengarang Simthuddhuror), seorang dermawan yang bertakwa, berniat untuk mengunjungi Al Quthub Al Waro’ Al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf yang tinggal di kota Gresik.

Habib Abu Bakar telah berulang kali menulis surat kepada Habib ‘Alwi mengabarkan keinginannya untuk menyampaikan sesuatu yang dititipkan kepadanya. Habib ‘Alwi sendiri telah mendapatkan petunjuk yang jelas dari perkataan Habib Ali dalam diwan[1] beliau:

Wahai kekasihku,
Pergilah dengan nama Allah
kemana pun kau suka
Niscaya kau selamat dari segala kejahatan
Inayah Allah Al-Muhaimin
selalu menjagamu dalam perjalanan

Anak-anak dan kerabat beliau banyak yang hadir saat itu. Sebelum Habib ‘Alwi meninggalkan kediaman beliau yang penuh berkah di Gurawan Solo, beliau membaca Fatihah dan memanjatkan doa-doa mulia. Membaca Fatihah ketika hendak bepergian merupakan kebiasaan ayah beliau, sebagaimana disebutkan dalam kalam Habib ‘Ali. Kemudian dengan jari beliau,Habib ‘Alwi menulis ayat berikut pada dinding rumahnya:

“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Qur’an, benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali.”
(QS Al-Qoshosh, 28:85)

Kami dan Kami beranjak keluar. Di depan rumah kendaraan telah menunggu. Habib ‘Alwi berpamitan kepada mereka yang mengantarkan dan mereka memohon doa dari beliau. Beliau lalu masuk ke dalam mobil milik Sayyid ‘Abdullah bin Muhammad Al ‘Aydrus. Mobil mewah, masih baru, produksi tahun 1952, merek Desoto Custom.

(Kami berangkat menjemput Sayyid Muhammad bin ‘Abdullah Al ‘Aydrus) Di depan rumahnya telah berkumpul beberapa orang dari golongan sa’adah dan lainnya untuk mengantarkan kepergian Habib ‘Alwi dan memohon do’a dari beliau. Di antara mereka adalah Sayyid Salim bin Bashri,Sayyid Muhammad Al ‘Aydrus yang telah siap di rumahnya segera bergegas keluar, lalu masuk ke dalam mobil. Jadi, dalam perjalanan ini Habib ‘Alwi ditemani oleh Sayyid Muhammad bin ‘Abdullah Al ‘Aydrus,Habib ’Abdul Qodir bin ‘Umar Maulachela, Syeikh Hadi bin Muhammad Makarim, Ahmad bin ‘Abud Deqil dan aku sendiri (Habib ‘Abdul Qodir bin Husein bin Segaf Assegaf).

Mobil kemudian membawa kami ke tempat penjualan bensin. Kami berhenti sejenak untuk mengisi bensin, lalu dengan memohon pertolongan Allah SWT kami segera menuju Jombang. Dari Solo kami berangkat pukul 08:45 pagi.

Dalam perjalanan Habib ‘Alwi mendiktekan khotbah catatan perjalanan ini, kemudian kami semua melagukan qoshidah berikut dengan suara nyaring :

Dengan kebesaran Pencipta langit,
Kami duduk bersimpuh
memohon perlindungan dari segala bencana,
Juga dengan Al-Hadi Muhammad dan Sab’ul
Matsâni[2]

Setelah itu Habib ‘Alwi menggubah dua bait sya’ir:

Niat kami dalam ziarah ini sebagaimana niat
sang Habib
Kami mengharap karomah yang dapat mempertemukan
kami dengan para pecinta
Telah lama kami nanti kelalaian musuh yang selalu
mengawasi hingga datang izin
Sebab, orang yang memohon dengan benar
pasti ‘kan mendapat jawaban

Habib ‘Abdul Qodir bin ‘Umar Maulachela melagukan sya’ir itu. Habib ‘Alwi kemudian meneruskan syair gubahannya:

Kami niat berziarah agar semua tujuan tercapai
Kami akan mengunjungi kekasih yang bersemayam
di hati
Husein bin Muhammad, pemuas dahaga mereka yang kehausan
Kami akan mengunjungi kekasih yang tinggal
di pusat kota Jombang

Katakan kepadanya, kami datang bersama rombongan
Bersedekahlah, berdermalah kepada orang
yang telah terlatih lapar
Hidangkan kepada mereka sajian yang pantas
untuk pesta atau untuk tamu
Kami ingin mengunjungi kekasih di pusat kota Jombang

Berilah ilmu orang-orang yang dagangannya telah hilang
agar hari-hari mereka menjadi indah
dan dagangan mereka kembali pulang
Hati menjadi gembira karena akan bertemu para kekasih
Kami hendak mengunjungi kekasih
yang tinggal di pusat kota Jombang.

Kami akan mengambil amanat, madad dan titipan
Dari qutbul wara wan nafaa’ah yang tinggal di Kota Gresik
Atas perintahnya dan mereka adalah kaum dermawan dan budiman
Kami hendak mengunjungi kekasih
yang tinggal di tengah kota Jombang.

Memasuki kota Sragen kami bertemu dengan rombongan pengantin. Keluar dari kota Sragen, kami bertemu lagi dengan rombongan pengantin. Habib ‘Alwi berkata, “Ini adalah pertanda baik.” Sebelum berangkat dari Solo seorang yang bernama Faraj (kelapangan, kelonggaran) datang menemui beliau. Beliau senang dengan kejadian ini, sebab menurut beliau semua itu merupakan pertanda baik bagi kepergian beliau. Rosulullah Saw juga sangat menyukai pertanda baik.

Setelah itu Habib ‘Abdul Qodir Maulachela melagukan syair Hababah Khodijah, putri
Habib ‘Ali Al Habsyi.[3]

Kami sampai di Madiun dalam waktu 1 ½ jam, lalu singgah di rumah Syeikh ‘Awudh Ba’abduh. Beliau menyambut gembira kedatangan Habib ‘Alwi dan rombongan. Kami istirahat di rumah Syeikh kurang lebih 1 jam, kemudian kembali melanjutkan perjalanan.

Mobil melaju dengan cepat, seakan bumi ini dilipat.Tak terasa kami telah sampai di Jombang. Kami segera menuju rumah Habib Husein bin Muhammad Al Haddad. Sewaktu mobil kami berhenti di halaman rumah beliau yang luas, beliau memanggil pembantunya, “Hai Aman! Lihatlah, siapa yang datang!” Habib ‘Alwi berkata, ‘Ini pertanda baik lagi[4].”

Kami lalu memasuki rumah beliau yang luas, yang selalu dipenuhi tamu pagi maupun sore. Mengetahui yang berkunjung Habib ‘Alwi, Habib Husein segera berdiri menyambut beliau dengan gembira, “Segala puji bagi Allah Tuhan alam semesta.

Ya Allah, aku memohon kepadamu kebaikan yang datang secara tiba-tiba.

Habib Husein tidak diberi kabar bahwa Habib ‘Alwi akan datang berkunjung. Beliau lalu membacakan bait-bait syair Habib ‘Abdullah bin Husein bin Thohir:

Tuhanku, pemberian-Mu amat banyak
dan seluruh perbuatan-Mu amat indah
dan angan-anganku pada-Mu amat panjang
maka bermurahlah kepada orang-orang yang berharap

“Kedatangan kalian ini adalah karunia dari Allah. Alhamdulillâhi robbil ‘âlamîn.”

Habib Husein merasa sangat gembira dengan kedatangan Habib ‘Alwi.

Setelah semuanya duduk dengan nyaman, Habib ‘Alwi[5] memberitahu Habib Husein[6], “Kepergianku dari Solo adalah untuk mengunjungi Habib Abu Bakar bin Muhammad Asseggaf di Gresik. Sebab, beliau telah berulang kali mengirim utusan mengundangku. Aku datang kemari untuk meminta pendapat dan saran, karena aku dengar engkau tidak ingin aku datang kepadanya. Aku sengaja menunda kepergianku karena ucapanmu ini. Sekarang aku telah datang, jika kau perintahkan aku untuk melanjutkan perjalanan, aku akan melakukannya. Tetapi jika kau larang aku melanjutkan perjalanan,aku akan pulang.”

Habib Husein lalu menjelaskan, “Aku tidak pernah mengutus seseorang untuk melarangmu pergi. Hanya saja, ketika aku berada di rumah Habib Abubakar, beliau berkata kepadaku, ‘Aku mengemban amanat Habib ‘Ali untuk ‘Alwi. Aku ingin ia datang kemari agar amanat itu dapat kusampaikan.’ Aku lalu berkata kepada beliau, ‘Engkau adalah rumah amanat, di tanganmu amanat itu pasti terjaga, dan ‘Alwi masih hidup bersama kita.’ Sekarang kupikir Habib Abu Bakar ingin menyampaikannya kepadamu. Hanîan laka… Selamat untukmu. Berilah kami bagian.

“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” (QS An-Nisa, 4:8)

Habib Abu Bakar sekarang ini sedang menunggu kalian. Ia berdiri, duduk, berdiri, duduk… Seandainya kalian langsung berangkat ke sana tentu akan lebih baik.”

Sesungguhnya Habib ‘Alwi berniat untuk melanjutkan perjalanan keesokan harinya bersama Habib Husein. Akan tetapi Habib Husein berhalangan, kaki beliau sakit dan beliau memerintahkan Habib ‘Alwi agar segera menemui Habib Abu Bakar yang sedang menunggu-nunggu kedatangannya. Habib Husein rupanya meng-kasyaf keadaan ini.

Sebenarnya keinginan untuk melakukan perjalanan ke Gresik ini muncul Jum’at tengah hari. Namun Habib ‘Alwi baru memberitahukan niatnya ini kepada istri dan anak-anaknya sore hari, dan Sabtu pagi beliau telah berangkat. Demikianlah para wali Allah melihat dengan cahaya Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:

“Hati-hati terhadap firasat seorang mukmin, sebab dia melihat dengan cahaya Allah.” (HR Turmudzi)

Semoga Allah meridhoi mereka semua dan memberi kita manfaat berkat mereka.

“Sejak Subuh aku merasa gelisah, tapi setelah kalian datang perasaan itu hilang berubah menjadi kegembiraan. Semua ini adalah karunia Allah,” kata Habib Husein.

Syeikh Hadi Makarim lalu bercerita, bahwa ia mimpi melihat Habib ‘Ali Al Habsyi menggandeng tangan Habib Husein ke luar dari satu rumah masuk ke rumah lain. Kemudian datang seorang lelaki memberi Habib ‘Ali tiga ridâ[7]: dua berwarna hijau dan satu coklat. Habib ‘Ali memakai ridâ yang hijau, memberikan ridâ hijau yang lain kepada Habib Husein, dan memberikan yang coklat kepada Syeikh Hadi Makarim.

Cerita ini menggembirakan hati Habib Husein, beliau lalu pergi dan kembali membawa dua ridâ: yang berwarna hijau buatan Bali diberikan kepada Habib ‘Alwi, yang putih buatan Solo diberikan kepada Syeikh Hadi Makarim sambil berkata, “Ini sebagai hadiah atas mimpimu yang menggembirakan itu.”

Habib Husein kemudian membacakan lagi sya’ir Habib ‘Abdullah bin Husein:

Tuhanku, pemberian-Mu amat banyak
dan seluruh perbuatan-Mu amat indah
dan angan-anganku pada-Mu amat panjang
maka bermurahlah kepada orang-orang yang berharap

Habib Husein berkata, “Perhatikanlah bait sya’ir ini: dan seluruh tindakan Mu amat indah, ini adalah maqôm ridho.”

Habib Husein lalu bicara tentang mode pakaian. “Penghuni zaman ini telah merubah cara berpakaian mereka, juga cara berpakaian anak mereka, terlebih lagi putri-putri mereka. Mereka memberi anak-anak perempuan mereka pakaian yang pendek hingga di atas lutut. Ini adalah perbuatan yang sangat berbahaya. Suatu hari aku datang ke rumah salah seorang pecintaku. Saat itu anak-anak putrinya berpakaian sebagaimana pakaian kebanyakan orang di zaman ini: pendek di atas lutut. Aku lalu bertanya kepadanya, ‘Kalau aku datang ke tempat asal kalian di Hadhramaut, kemudian dengan tongkat di tanganku ini kusingkapkan pakaian putrimu hingga ke atas lutut, bagaimana sikapmu?’ Ia menjawab, ‘Kita akan saling pukul.’ Aku lalu berkata, ‘Tapi kalian sendiri sekarang melakukan hal itu terhadap putri-putri kalian.’

Rupanya ucapanku itu membekas di hatinya. Ia kemudian segera mengganti pakaian putri-putrinya dengan pakaian yang panjang seperti dahulu. Aku pun merasa sangat bahagia. Adapun teman-teman lain, mereka mengakui bahwa mode pakaian macam itu tidak benar, tapi mereka tidak berbuat apa-apa. Kelak di hari kiamat, anak-anak perempuan mereka akan bergantungan di leher mereka dan berkata, “Ayah kamilah yang mengajarkan semua ini kepada kami.”

Habib Husein membahas persoalan ini panjang lebar dan hanya inilah yang dapat kuhapal. Dan kupikir, ini pun sudah cukup.

Kami kemudian melaksanakan sholat Dzuhur dan Ashor jamak taqdim. Setelah makan siang, Habib Husein menganjurkan agar kami segera berangkat ke Gresik. Kurang lebih pukul 13:30 kami berpamitan untuk melanjutkan perjalanan.

Setelah keluar dari kota Jombang, Habib ‘Abdul Qodir Maulachela melantunkan bait-bait sya’ir humainiyah yang dikarang Habib ‘Alwi di masa lalu.[8]

Kami berhenti sejenak di Mojokerto, kemudian melanjutkan perjalanan dan sampai di Surabaya pukul 16:30. Di Surabaya kami singgah di rumah seorang sayyid yang mulia, yang menempuh jalan leluhurnya, Habib ‘Abdul Qodir bin Hadi Asseggaf. Habib ‘Alwi ingin agar Habib ‘Abdul Qodir bin Hadi Asseggaf menemani beliau ke Gresik. Sesampainya di depan kampung Habib ’Abdul Qodir bin Hadi Assegaf, mobil berhenti dan aku diutus Habib ‘Alwi untuk mengabarkan kedatangan beliau. Habib ‘Abdul Qodir bin Hadi Assegaf[9] segera keluar menemui Habib ‘Alwi. Keduanya bersalaman dan berpelukan. Beliau merasa sangat senang dengan kedatangan Habib ’Alwi. Habib ‘Alwi memberitahu Habib ‘Abdul Qodir bin Hadi Assegaf bahwa beliau ingin segera ke Gresik untuk menemui Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf dan meminta agar ia bersedia menemani beliau ke Gresik. Habib ‘Abdul Qodir bin Hadi Assegaf memenuhi permintaan Habib ‘Alwi, padahal ia telah menyediakan sebuah rumah untuk Habib ‘Alwi dan rombongannya.

Habib ‘Abdul Qodir bin Hadi Assegafmemiliki seorang adik yang tinggal di Solo. Ia bernama Sayyid Ahmad bin Hadi. Ketika adiknya mendengar rencana perjalanan Habib ‘Alwi, ia segera pergi ke Surabaya dengan kereta api pagi agar dapat memberitahu kakaknya rencana perjalanan Habib ‘Alwi. Mendengar berita dari adiknya ini, Habib ‘Abdul Qodir bin Hadi Asseggaf segera menyediakan sebuah rumah karena antara dia dan Habib ‘Alwi terjalin ikatan mahabbah dan persaudaraan yang sangat kuat.

Habib Abdul Qodir bin Hadi Asseggaf meminta Habib ‘Alwi untuk singgah sebentar di rumah itu. Letaknya tidak jauh dari tempat berhentinya mobil kami. Rumah itu sangat bagus, penuh dengan perabotan indah, dan lampu yang bersinar terang. Kami lalu mengelilingi rumah yang luas itu. Pemilik rumah itu adalah Syarifah Zahro’ binti Sayyid Abdurrahman bin Hasan Assegaf, sepupu Habib ‘Abdul Qodir bin Hadi Asseggaf. Rumah itu dijadikan sebagai rumah peristirahatan, sedang pemiliknya tinggal di rumah yang lain.

Setelah duduk sebentar, kami melanjutkan perjalanan ke Gersik bersama Habib ‘Abdul Qodir bin Hadi Assegaf. Pukul 17.15 kami telah sampai di depan rumah Al Quthub Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf. Di depan rumah tampak Sayyid Hud bin Abdullah, putra Habib Abu Bakar Assegaf dan sejumlah Muhib di antaranya Salmin Doman telah siap menyambut kedatangan kami.

Beberapa saat sebelumnya Salmin Doman masih
di Surabaya. Setelah mengetahui tujuan perjalanan Habib ‘Alwi, ia segera menyusul ke Gresik untuk menyambut Habib ‘Alwi dan ikut dalam majelis-majelis beliau.

Kami kemudian masuk ke dalam rumah Habib Abu Bakar Assegaf yang penuh berkah. Tatkala menatap wajah beliau yang tampan dan bercahaya seperti bulan purnama,
air mata kami jatuh berderai.

Kebahagiaan menyelimutiku
begitu hebat hingga ‘ku tak kuasa
menahan tangisku

Habib ’Alwi menghampiri Habib Abu Bakar Assegaf[10], mencium tangan beliau. Keduanya lalu saling berpelukan, menangis dan bersyukur kepada Allah SWT atas pertemuan ini. 10 tahun lamanya mereka tidak saling berjumpa. Kekhusyukan dan haibah pertemuan ini dirasakan oleh semua yang hadir. Mereka seakan terpukau dan suasana menjadi hening. Setiap pipi basah oleh air mata, setiap kepala tertunduk ke bawah. Mereka semua menyaksikan pertemuan agung ini setelah perpisahan yang begitu lama. Perpisahan yang dimaksud adalah perpisahan raga, adapun ruh mereka senantiasa hadir dan tak pernah berpisah.

Habib Abu Bakar, semoga Allah memanjangkan umurnya, menatap Habib ‘Alwi dan berulang kali mengucapkan selamat datang dan penghormatan. Selang beberapa saat Habib Abu Bakar memeluk beliau. Ini dilakukannya tiga kali. Tanda-tanda kebahagiaan dan suka cita tampak jelas di wajah keduanya.

Habib Abubakar berkata:

“Yang telah memegang takkan melepaskan.”[11]

“Aku akan mentaatimu. Aku datang kemari dengan berbagai kebutuhan. Dan mengharapkan pemberian untukku, anak-anakku, dan keluargaku,” kata Habib ‘Alwi. Beliau lalu membacakan salah satu ayat Quran.

“Hai pembesar, kami dan keluarga kami telah ditimpa kesengsaraan dan kami datang membawa barang-barang yang tak berharga, maka sempurnakanlah sukatan untuk kami dan bersedekahlah kepada kami, sesungguhnya Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bersedekah.” (QS Yusuf, 12:88)

“Tentu…, tentu…, aku akan memberimu kabar gembira,” kata beliau, “Sejak subuh hari ini aku merasa gelisah dan tak banyak berkata-kata. Aku tidak tahu apa sebabnya. Melihat engkau datang, hilanglah kegelisahanku, hatiku terasa lapang dan aku menjadi bersemangat.”

Catatan Kaki :

[1] Buku yang berisi kumpulan sya'ir.
[2] Sab’ul Matsâni: Surat Al-Fatihah
[3] Lihat lampiran ke-1
[4] Pertanda baik karena pembantu Habib Husein bernama Aman yang berarti keselamatan.
[5] Habib Alwi lahir tahun 1311 H, meninggal tahun 1373 H. Jadi beliau melakukan perjalanan ini pada usia 60 tahun.
[6] Habib Husein lahir di Qoidun tahun 1303 H, meninggal tahun 1376 H. Jadi pada pertemuan ini umur beliau 68 tahun. Beliau ke Jawa tahun 1329 H, ketika berumur 27 tahun.
[7] Ridâ adalah sejenis selendang.
[8] Keterangan ada pada lampiran ke-2 dalam buku.
[9] Habib ‘Abdul Qodir bin Hadi Assegaf meninggal di Surabaya bulan Dzulhijjah tahun 1376 pada usia 68 tahun. Jadi waktu pertemuan ini beliau berusia 63 tahun.
[10] Habib Abu Bakar lahir di Besuki Jawa Timur tahun 1285 H, meninggal di Gresik, Jawa Timur pada malam Senin 17 Dzulhijjah 1376 H pada usia 91 tahun. Jadi pada pertemuan ini usia beliau 86 tahun.
[11] Maksudnya, Habib Abu Bakar takkan membiarkan Habib ‘Alwi pergi.

sumber : http://www.facebook.com/pages/JEJAK-PARA-HABAIB-Dzurriat-ROSULULLAH-Saw-/210611705625911?ref=ts

AL HABIB ‘ALI BIN SYECH ABU BAKAR BIN SALIM (PANGERAN SYARIF ‘ALI – KESULTANAN PALEMBANG)

Al Habib lahir dari pasangan penuh berkah Habib Abu bakar bin Sholeh B.S.A. dan Syarifah Nur binti Ibrohim bin Yahya, sejak kecil beliau dididik langsung oleh kedua orangtuanya dengan pendidikan agama yang terbaik. Ayah beliau, Habib Abu Bakar, yang lahir di kota 'Inat Hadromaut adalah cucu se orang Wali Besar yaitu Habib ‘Ali bin Ahmad B.S.A., salah satu murid Al Imam Al Quthub Al Habib ‘Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al Haddad Shohiburrothib.

Tradisi tarbiyah (pendidikan) keilmuan yang diterima Habib ‘Ali bin Ahmad dari gurunya ini dan guru-gurunya yang lain, serta dari generasi habaib sebelumnya, beliau pegang teguh dan diteruskannya kepada para muridnya, keluarganya, anak-cucunya, dan begitu seterusnya. Demikianlah, hingga sampailah kepada salah seorang cucunya yang bernama Abu Bakar, yang kemudian meneruskan tarbiyah itu kepada putranya yang bernama ‘Ali, yang di kemudian hari dikenal sebagai Pangeran Syarif ‘Ali.

Pangeran Syarif ‘Ali atau Habib ‘Ali bin Abu Bakar bin Sholeh bin ‘Ali bin ‘Ahmad Bin Syech Abu Bakar bin Salim Asseggaf, lahir di kota Palembang, pada tahun 1208 H/1790 M, atau lebih kurang sekitar 220 tahun yang lalu. Pada masa itu, Kesultanan Palembang Darussalam dipimpin seorang sultan yang sholeh, yaitu Sultan Muhammad Bahauddin, putra sultan terdahulu, Ahmad Najamuddin I.

Gelar Pangeran yang disandang beliau adalah karena kedekatan dirinya dengan keluarga besar Kesultanan Palembang Darussalam, baik secara nasab, pertalian pernikahan, maupun kedudukannya sendiri di dalam lingkungan pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam. Nenekn beliau dari sebelah ibu adalah cucu Sultan Mahmud Badaruddin Sedangkan salah seorang istrinya, yang bernama Laila atau bergelar Ratu Maliya adalah putri Sultan Husein Dhiauddin.
Ibundanya yaitu Syarifah Nur binti Ibrahim Bin Yahya, adalah seorang wanita sholehah putri seorang Al Allamah Habib Ibrohim bin Zein bin Yahya,beliau adalah Ahli Tasawwuf. Pangeran Syarif ‘Ali mendapatkan banyak pelajaran dari ibunya sendiri di samping tambahan pelajaran lainnya dari para paman beliau, seperti Habib ‘Abdullah bin Ibrohim dan Habib Syech bin Ibrohim, serta dari banyak ‘ulama lainnya pada masa itu.

Diriwayatkan, beliau memiliki koleksi hingga sekitar seribu kitab. Untuk ukuran saat itu, jumlah sebanyak itu tentu sangat spektakuler. Ini menunjukkan kecintaan-nya pada ilmu sekaligus keluasan ilmu beliau yang mendalam.

Masa kecil beliau, sebagaimana putra-putri keluarga ‘Alawiyyin lainnya, selalu berada dalam lingkungan pendidikan agama, baik dari orangtuanya sendiri maupun dari para guru. Disebutkan, sejak kecil kecerdasannya terlihat menonjol dan beliau memiliki banyak teman sepergaulan yang berpendidikan. Bersama orang tuanya, Pangeran Syarif ‘Ali sering mengunjungi kesultanan, hingga
beliau pun memiliki kedekatan dengan sultan kala itu.

Menginjak remaja, Pangeran Syarif ‘Ali giat melakukan pelayaran niaga, terutama ke Kalimantan dan Jawa. beliau arungi lautan yang luas dengan kapal kayu pinisi sederhana, di tengah ancaman badai besar dan gelombang laut yang kerap datang menghadang. Belum lagi ancaman kehadiran kawanan bajak laut yang sangat marak pada saat itu. Ganasnya alam telah membentuk kepribadiannya yang dikenal sebagai seorang yang gagah berani, teguh pendirian, tidak banyak bicara, dan bersikap tegas dalam menangani persoalan.
Suatu saat, Sultan Husein Dhiauddin meminta beliau menyelesaikan sebuah misi khusus kesultanan ke Pulau Kalimantan. Maka karena berhasil menyelesaikan misi tersebut itulah beliau, yang masih dalam usia relatif muda, dipercaya Sultan memegang jabatan bendahara kesultanan dan dinikahkan dengan salah satu putrinya, Raden Ayu Maliya.

Dari pernikahannya dengan putri sultan ini, beliau mendapat putra bernama Hasan, yang setelah dewasa memutuskan untuk hijrah ke negeri lain. Berbekal sejumlah uang dan wasiat pemberian ayah beliau, berangkatlah Habib Hasan bin Pangeran Syarif ‘Ali dengan kapal ayahbeliau berlayar ke arah timur. Namun tidak sampai ke tujuan, karena kapalnya karam di Selat Bangka atau Belitung dan dia selamat mendarat di suatu kampung nelayan.

Dari buku Sejarah Daerah Sumatera Selatan (Depdikbud, 1991-1992), disebutkan, masjid yang pertama ada di Pulau Belitung didirikan oleh Sayyid Hasan bin Syech Abu Bakar. Belum diketahui, apakah nama ini ada hubungannya dengan putra Pangeran Syarif ‘Ali yang juga bernama Hasan.
Pangeran Syarif ‘Ali, dalam usia yang relatif muda, telah dipercaya memegang jabatan bendahara kesultanan. Namun beliau hadir di lingkungan istana pada masa-masa pahit yang dialami keluarga sultan.

Dalam suasana kebencian kepada Belanda setelah kesultanan dilumpuhkan dan kemudian dihapuskan, terjadilah keresahan di tengah-tengah rakyat.
Mengantisipasi hal ini, sejalan pula dengan politik kolonial, setelah meneliti beberapa pilihan pribadi, di antaranya yang dinilai paling berpengaruh di kalangan keluarga kesultanan dan di kalangan masyarakat umum, Belanda mengangkat Pangeran Syarif ‘Ali sebagai Pegawai Tinggi Pembantu Residen untuk menjalin hubungan dengan semua golongan masyarakat.

Pangeran Syarif ‘Ali merasakan hal ini sebagai sebuah dilema. Kekuatan tentara kesultanan telah dilumpuhkan. Dapat ditebak, bila beliau menolak, hukuman seperti yang diterima ayah mertuanya juga akan ia dapat. Bila diterima, beliau hanya menjadi alat musuh, yang waktu itu sangat memerlukannya.

Mempertimbangkan banyak hal, sosok yang selalu tak lepas dari sorban dan jubah itu akhimya memutuskan untuk menerima jabatan tersebut, dengan catatan, ia tak berkenan duduk di meja kerjanya di kantor Residen. Dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari, beliau pun ingin dibantu oleh putra beliau Abu Bakar, atau dikenal dengan Pangeran Bakri.
Meski tampaknya tidak menyukai kehadiran Pangeran Syarif ‘Ali, yang selalu mengenakan pakaian ke’ulamaannya, Residen Belanda saat itu memerlukan pengaruhnya. Maka, persyaratan itu pun dapat diterimanya. L.W.C. van den Berg menyebutkan, Belanda telah menggunakan pengaruhnya dan pengaruh putranya selama hampir setengah abad. Sebaliknya, Pangeran Syarif ‘Ali sebenarnya tak sudi berhubungan dengan mereka. Karenanya, uang gajinya, yang tergolong amat besar pada saat itu, selama ber-puluh-puluh tahun lamanya, tak satu sen pun beliau ambil.

Pangeran Syarif ‘Ali wafat pada 27 Muharram 1295 H/1877 M dalam usia 87 tahun di kota Palembang. Jenazah beliau dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga, yaitu di Gubah 3 ilir Palembang.

Kedudukannya dalam hal keilmuan digantikan oleh putra beliau, Habib Muhammad Mahmud. Sedangkan dalam hal aktivitas beliau di kesultanan, digantikan oleh putra beliau, Habib Abu Bakar, atau dikenal dengan Pangeran Bakri.
http://www.facebook.com/pages/JEJAK-PARA-HABAIB-Dzurriat-ROSULULLAH-Saw-/210611705625911

KH. Abdul Manan Muncar Banyuwangi Jawa Timur

Kiai Jadug dari Banyuwangi


Nama KH Abdul Manan adalah nama yang tidak asing lagi bagi kebanyakan penduduk di wilayah kab Banyuwangi-Jawa Timur, khususnya desa Sumberas Muncar Banyuwangi. Kiai ini dikenal sebagai kiai ”jadug” alias jago gelut melawan berandalan dan perampok pada waktu itu.

KH Abdul Manan merupakan putra kedua dari KH Moh Ilyas yang berasal dari Banten dan Umi Kultsum, yang berasal dari Jatirejo, Kandangan (Kediri). Lahir di desa Grampang, Kab Kediri pada tahun 1870. Saat berusia 1 tahun, ia dibawa KH Moh Ilyas pindah dari Grempol ke desa Ngadirejo Kecamatan Kandangan, Kab Kediri.
KH Moh Ilyas di Ngadirejo kemudian membuka pondok pesantren ala kadarnya. Selepas mendapat didikan dari sang ayahanda, KH Moh Ilyas, Abdul Manan juga “nyantri” ke beberapa pondok pesantren di Jawa Timur. Saat berusia sekitar 12 tahun ia masuk pondok pesantren Keling atau lebih masyhur dikenal Pondok Pesantren Ringin Agung yang diasuh oleh Mbah KH Nawawi. Sekalipun usianya masih kecil, ia mendapat didikan langsung dari Mbah Nawawi, sehingga saat ia menjadi santrinya ia banyak dikenal sebagai “santri pemberani”. Dimana hanya orang dewasa saja yang semestinya mengaji dengan Mbah Kyai Nawawi, namun ia sudah mengeyamnya sejak pertama kali masuk pesantren.
Lepas dari pondok pesantren Ringin Agung, ia kemudian melanjutkan ke pondok pesantren Gerompol yang tidak lain adalah pondok pesantren neneknya sendiri . Di pondok gerompol, ia banyak menimba ilmu hikmah dan ia dikenal sebagai jago gelut alias ahli jadug karena sering melawan kalangan berandalan dan perampok yang sering merajalela di daerah tersebut. Bahkan ia pernah berhadapan dengan lima puluh berandalan sekaligus dan ia melawan mereka dengan sendirian dan dari sekian banyak berandalan itu dapat dibrantasnya dengan mudah karena ia memang memeiliki jurus-jurus silat yang pernah ia pelajari di Pondok Pesantren Grompol.
Puas mempelajari ilmu hikmah dan silat di pondok Gerompol, ia kemudian melalaang buana keberbagai pondok pesantren untuk memperdalam ilmu-ilmu agama Islam. Dikalangan santri biasa disebut sebagai “santri kalong” karena mondoknya hanya sebentar saja. Beberapa pondok pesantren yang pernah dirambah oleh KH Abdul Manan diantaranya adalah Pondok Pesantren KH Abas di daerah Wlingi (Blitar), Pondok Pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo), Pondok Pesantren Gayam (Jombang), Pondok Pensatren Tegalsari (Ponorogo) dan terakhir ia mondok dengan KH Kholil Al Bankalani (Bangkalan, Madura) atau yang biasa disapa dengan pangilan Mbah Cholil Bangkalan.
Lepas mendapat didikan dari Mbah Cholil ia kemudian melanjutkan belajar ke Mekkah dan belajar dengan ulama-ulama Indonesia yang ada di Mekah dan juga beberapa rubath yang ada di sana selama 9 tahun.
Sepulangnya dari tanah suci, KH Abdul Manan kembali ke daerah asalnya yakni desa Jatirejo, Kandangan, Kab Kediri untuk membantu orang tuanya menularkan ilmu-ilmu yang sudah didapatnya kepada santri-santri KH Moh Ilyas.
KH Abdul Manan menikah dengan seorang putri dari dusun Sumberbiru Puhrejo, Pare (Kediri) bahkan sampai membangun pondok kecil. Namun karena KH Abdul Manan tidak cocok dengan tempat itu, akhirnya ia furqoh (cerai) dengan istrinya dengan status belum punya putra dan ia akhirnya kembali ke Jatirejo , Kandangan (Kediri).
Di Jatirejo, rupanya ia tidak betah juga karena rasa ghirah (semangat) untuk berta’alum (mencari ilmu) masih sedemikian tinggi. Akhirnya ia kembali mondok ke pesantren Jalen Genteng (Banyuwangi) yang saat itu diasuh oleh KH Abdul Basyar. Karena usianya paling tua, di Pondok Jalen ia diangkat menjadi kepala pondok atau banyak orang bilang lurahnya Pondok. Tak selang beberaqpa lama kemudian, ia diambil menantu oleh KH Abdul Basyar dengan dinikahkan dengan salah satu putrinya yakni Siti Asmiyatun.
Pernikahan beliau dengan Siti Asmiyatun binti Abdul Basyar ia dikaruniai duabelas putra yakni Nyai Siti Robi’ah Askandar, Tabsyrul Anam, Ma’ariful Waro, Rofiqotuddarri, Nuryatun,Ma’rifatun, Khosyi’atun, Kamaludin, Abdul Malik Luqoni, Mutamimmah, Munawarroh dan Zubaidah.
Pada masa penjajahan Jepang, istrinya yakni Nyai Asmiyatun wafat. Ia kemudian menikah lagi dengan Hj Umtiyatun (Jalen) dan dari istri keduanya ia dikaruniai 9 putra-putri yakni Ny Asliyatun, Moh Soleh, KH Fahruddin, Moh Dalhar, Ny St Aisyah, Dewi, Dafi’ul Bala’, Ny Mariyati dan KH Toha Muntaha.
Tahun 1929 Ia pindah dari Jalen ke Berasan dan mendirikan pondok pesantren Minhajut Thullab. Sedangkan pondok pesantren Jalen diteruskan olehh adik iparnya yakni Nyai Mawardi.

Mulai membangun Pondok
Sebelum memilih daerah Berasan, ia sebelumnya berkeliling mulai dari Kalibaru, Silir, Pesanggrahan, Tamansari dan Berasan. Ternyata dari sekian tempat yang dijelajahi akhirnya terpilih daerah Berasan. Itu pun atas isyaroh dari KH Cholil Canggan Genteng, Banyuwangi agar memilih daerah Berasan menjadi sentral peantren yang akan ia rintis.
Awalnya, ia berangkat ke Berasan dengan tujuh teman santri dari Jalen dan bertemu dengan warga desa Badegan , Rogojampi (Banyuwangi) yang juga adalah pemilik tempat yang akan dijadikan lokasi pondok pesantren yakni H Sanusi. Pemilik tanah dan dan rumah di desa Berasan itu (H Sanusi-red) akhirnya mau menjual rumah dan tanahnya kepada KH Abdul Manan.
Tepat tahun 1932, KH Abdul Manan berserta keluarga dan diikuti oleh 12 santrinya, resmi boyongan dari Jalen menuju Berasan dan mulai membangun pondok pesantren. Awal berdiri pondok pesantren hanya berupa sebuah rumah dan musola kecil dan bangunan pondok bambu yang beratap daun alang-alang, sangat memprihationkan.
Semakin lama, santri mulai berdatangan dari berbagai daerah, bahkan mulai kerepotan menampung jumlah santri, sehingga ia menambah jumlah lokasi pondok dengan membeli sebagaian tanah penduduk setempat sekaligus membuat bangunan masjid dan bangunan kamar-kamar pondok pesantren yang permanen.

Masa penjajahan Jepang dan Kolonial
KH Abdul Manan terkenal sangat gigih melawan penjajah Jepang dan Belanda. Banyak kyai di Banyuwangi pada masa penjajahan Jepang dan Belanda yang menderita karena ditangkap oleh penjajah. Akan tetapi berkat lindungan Allah SWT, KH Abdul Manan dapat lolos dari tiap jeratan penjajah. Pada masa itu, beliau diungsikan oleh para santri dan masyarakat di rumah-rumah penduduk. Nasib nahas memang banyak menimpa Kyai-Kyai besar pada masa penjajahan yang berhasil ditangkap oleh penjajah seperti KH Manshur (Sidoresmo), Kyai Moh Ilyas, KH Askandar dan masih banyak lagi karena melawan penjajahan Kumpeni Belanda. Lepas dari penjajahan Belanda, dan Indonesia telah merdeka, ia tetap mengajar di pesantren.
Tepat tahun 1945 ia membangun sebuah gedung yang bisa menampung banyak jamaah untuk mengaji, yakni gedung “Jam’iyyah al Ishlah” atau populer dengan jam’iyyah gedong. Pada waktu itu, memang Pondok Pesantren Minhajut Thullab belum ada sistem pendidikan serupa dengan pendidikan sekolah-sekolah, yang ada hanya sistem pengajian-pengajian ala pesantren sepereti sorogan, bandongan , khitobah dll.
Baru pada tahun 1947 mulai dibuka sekolah bnermateri khusus pendidikan agama atau madrasah diniyah yang dibimbing oleh KH Suyuthi. Pada tahun 1951 dibuka sekolah setingkat Madrasah Ibtidaiyah yakni MI Miftahul Mubtadin. Baru pada tahun 1976 didirikan mulai dari tingkat kanak-kanak (TK Khodijah), MTs Miftahul Mubtadin dan SMA Al Hikmah.
KH Abdul Manan adalah sosok ulama yang soleh dan zuhud. Beliau mendidik putra putrinya di rumahnya dan kemudian anak-anaknya ia pondokan ke berbagai pesantren lain. Beliau dikenal sangat teliti dengan pendidikan anak-anaknya dan para santri bahkan juga masyarakat di mana bila sudah jam 20.00 mereka diwajibkan untuk istirahat (tidur). Beliau adalah seorang yang aktif dan disiplin dengan apapun tugas. Memang awalnya beliau mendidik dan memberi pengajian kepada putra-putranya, santri dan masyarakat sendirian, belum punya tenaga pengajar dari kalangan santri. Namun setelah santri-santri sudah mampu mengajar dan mengaji, mereka dianjurkan untuk memberikan pengajian kepada santri-santri di bawahnya.
Uniknya, para santri atau tenaga pengajar yang ada di pondok Minhajut Tulab tidak dibayar dengan uang. Namun mereka dijamin dan dicukupi dalam kebutuhan makan sehari-hari, ada yang makan di ndalemnya Mbah Kyai dan ada juga yang sebagian makan di rumahnya orang-orang desa yang diberi garapan berupa sawah atau kebun dari tanah KH Abdul Manan.
Keseharian beliau adalah seorang Kiai dan seorang petani. Sedang dibidang pertanian cukup dipercayakan kepada orang lain. Beliau juga dikenal sebagai pedagang yang sukses. Cara beliau memasarkan daganagannya, beliau cukup dirumah. Kalau ada orang yang ingin menjual barangnya mereka datang ke rumah Mbah KH Abadul Manan. Sedangkan kalau beliau menjualnya cukup dipasarkan oleh orang-orang yang dapat dipercaya.
Rotan bertuah
Setelah Indonesia merdeka,m justru ada peristiwa yang lebih kejam lagi yakni pemberontakan 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia (Gerakan 30 S PKI). Kekejaman dan komunis lebih kejam lagi, banyak kyai dan santri menjadi korban PKI. Melihat tindakan seperti itu, ia bersama santri dan penduduk tidak tinggal diam. KH Abdul Manan mengutus beberapa santri untuk mencari beberapa batang rotan (Kayu penjalin) dan dijadikan azimat untuk melawan PKI.
Rotan-rotan itu oleh KH Abdul Manan setelah didoakan dipergunakan oleh para santri dan masyarakat untuk melawan dan melumpuhkan orang-orang PKI yang masih sering berkeliaran di daerah Banyuwangi. Khasiat rotan itu juga bahkan dapat membakar rumah-rumah penduduk PKI cukup dengan memukulkannya. Tidak hanya rotan yang dapat di asma’ oleh KH Abdul Manan, banyak orang yang datang sambil membawa barang kesayangannya untuk didoakan oleh beliau, seperti cincin, sorban, peci dll.
Kelebihan dan kejadugan KH Abdul Manan bukanlah sesuatu yang didapat secara instan, tetapi buah dari riyadhah sejak ia berusia mua. Saat masih menimba ilmu di pondok pesantren ia sering melakukan puasa mutih, ngrowot. Saat belajar di Mekah selama 9 tahun ia juga berpuasa secara terus menerus, kecuali 2 hari yang diharamkan untuk tidak berpuasa yakni hari Idul Fitri dan hari Idhul Adha (2 hari Idul Adha). Bahkan tak jarang ia hanya berbuka hanya sebutir kurma dan minumnya juga hanya segelas air zam-zam.
Amalan-amalan yang ia lakukan dari usia muda sampai menjelang wafat lewat memperbanyak puasa semata-semata demi keberhasilan dan kebaikan beliau untuk memperihatini (laku prihatin) agar anak –anak dan santrinya kelak dapat menjadi orang yang berhasil serta berguna bagi masyarakat banyak. KH Abdul Manan wafat pada hari Jumat Kliwon menjelang Subuh 15 Syawal 1399 H (1979 M) dan di makamkan masih di sekitar pondok pesantren Minhajut Thulab, Sumberberas, Muncar, Banyuwangi (Jawa Timur).
SUMBER MAJALAH ALKISAH
http://aladamyarrantawie.blogspot.com/
http://www.facebook.com/SYAFAAH.dan.BAROKAH
http://www.facebook.com/Para.Pecinta.Habaib.dan.Ulama

AL-IMAN AL-HABIB ‘ALAWI BIN ‘ABDULLAH BIN ‘ AYDARUS BIN SYIHAB رضي الله عنه (1303H-1386H)

Sufyan bin ‘Uyainah berkata:
عِندَ ذِكْرِ الصَّالِحِينَ تَنزِلُ الرَّحْمَةُ
Tatkala menyebut orang-orang saleh, turun rahmat.


AL-IMAN AL-HABIB ‘ALAWI BIN ‘ABDULLAH BIN ‘ AYDARUS BIN SYIHAB رضي الله عنه (1303H-1386H)

Nama beliau harum masyhur di kota Tarim. Kisah mengenai beliau sentiasa meniti di bibir penduduk kota Tarim. Karamahnya masyhur diperkatakan orang. Kata-kata hikmat dan pengajaran beliau sering dipetik oleh para Saadah Ba'Alawi di kota Tarim. Beliau adalah salah seorang auliya dari kota Tarim.

Nasab: Beliau adalah al-‘Arif ar-Rabbani wa al-Mursyid ash-Shomadaani, al-‘Allamah al-Faqih, Syeikh Tarim fi ‘Ashrihi al-Habib al-Munib ‘Alawi bin ‘Abdullah bin ‘Aidarus bin Muhammad bin ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Aidarus bin ‘Ali bin Muhammad bin asy-Syeikh Syihabuddin (al-Ashghor) Ahmad bin ‘Abdurrahman ibn asy-Syeikh Syihabuddin (al-Akbar) Ahmad bin Abdurrahman bin Syeikh ‘Ali bin Abu Bakar as-Sakran bin bin ‘Abdurrahman as-Saqqaf bin Muhammad Maula ad-Dawilah bin ‘Ali Shohib al-Dark bin ‘Alawi al-Ghuyur bin al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad Shohib al-Mirbath bin ‘Ali Khali’ Qasam bin ‘Alawi bin Muhammad bin ‘Alawi bin ‘Ubaidullah bin Imam al-Muhajir Ahmad bin ‘Isa al-Rumi bin Muhammad al-Naqib bin ‘Ali al-Uraidhi bin Ja’far as-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Hussin al-Sibth putera kepada Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fathimah al-Zahra’ binti Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم. Bonda beliau bernama Fathimah binti Muhammad bin Umar bin Ahmad Bilfaqih.

Kelahiran: Dilahirkan di kampung an-Nuwaidirah di Kota Tarim al-Ghanna pada Muharram 1303H. Tumbuh membesar di dalam keluarga yang berilmu lagi bertaqwa. Beliau dibesarkan, dipelihara dan didik oleh bonda beliau sendiri kerana tatkala itu ayahandanya merantau ke tanah Jawa. Di samping itu beliau juga di didik oleh bapa saudaranya al-Habib Muhammad bin ‘Aidarus binSyihab. Membesar di dalam suasana kehidupan yang sederhana. Sewaktu kecil beliau menderita sakit yang parah yang menggangu pertumbuhannya. Maka tatkala al-Habib ‘Aidarus bin ‘Umar al-Habsyi (1237H – 1314H) menziarahi kota Hawi maka peluang ini di-ambil oleh bapa saudaranya untuk membawanya bertemu dengan al-Habib ‘Aidarus bin ‘Umar al-Habsyi untuk didoakannya. Al-Habib ‘Aidarus bin ‘Umar al-Habsyi adalah seorang yang sangat ‘alim (al-‘Allamah) dan seorang ‘arifbillah. Beliau adalah merupakan seorang musnid dan digelar sebagai Musnid Hadhramaut. Al-Habib ‘Aidarus bin ‘Umar al-Habsyi meletakkan tangannya ke perut al-Habib ‘Alawi bin ‘Abdullah BinSyihab dan menyapu kepalanya sambil membacakan doa selama satu jam. Kemudian beliau berpesan kepada al-Habib Muhammad bin ‘Aidarus agar memberinya minum sejenis minyak (samin). Seterusnya al-Habib ‘Aidarus bin ‘Umar al-Habsyi berkata: InsyaAllah, dia akan sembuh. Sesungguhnya aku tidak datang ke sini kecuali untuk anak ini. Ini merupakan satu isyarat bahwa saatu ketika kelak al-Habib ‘Alawi bin ‘Abdullah BinSyihab akan menjadi orang besar.

Bonda beliau wafat pada ketika usia beliau 11 tahun iaitu pada tahun 1314H. Pada usianya 14 tahun, bapa saudaranya, al-Habib Muhammad bin ‘Aidarus pula wafat.

Pendidikan dan Guru-guru Beliau: Al-Habib ‘Alawi belajar al-Qur’an, membaca dan menulis dengan Syeikh ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Salman BaHarmi di Mi’lamah al-Aidarus al-Akbar. Kemudian selepas itu belajar di Qubbah asy-Syeikh ‘Abdullah bin Syeikh al-‘Aidarus ilmu fiqih, nahwu dan tasawwuf dengan al-Habib Syeikh bin ‘Aidarus bin ‘Abdullah al-‘Aidarus dan al-Habib Ahmad bin Muhammad bin ‘Abdullah al-Kaf.

Beliau juga belajar pada al-Habib ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Hussin al-Masyhur iaitu Mufti Hadhramaut dan pengarang kitab Bughyatul Mustarsyidin yang masyhur itu. Beliau belajar pada ulama tersohor ini di zawiyah Masjid Syeikh ‘Ali. Pada mula beliau belajar pada al-Habib ‘Abdurrahman al-Masyhur setiap hari Isnain dan Khamis, kemudiannya beliau menghadiri keseluruhan pengajian yang dipimpin al-Habib ‘Abdurrahman al-Masyhur.

Pada tahun 1318, tatkala Tarim dilanda wabak taun, masyarakat Tarim tidak berani keluar dari rumah mereka. Ketika itu guru beliau al-Habib ‘Abdurrahman al-Masyhur menyuruh beliau untuk tetap mengikuti pengajian. al-Habib ‘Abdurrahman al-Masyhur menasihati beliau: “Jangan takut, kamu tidak akan menderita penyakit tersebut". Beliau taat dengan perintah gurunya dan keluar mengikuti pengajian hariannya sebagaimana biasa, dan alhamdulillah, dengan berkat taat pada saranan guru juga berkat doa dari gurunya, beliau selamat dari wabak tersebut.

Selain dari yang disebutkan diatas, Al-Habib ‘Alawi belajar dari ramai ulama-ulama besar di Hadhramaut pada zamannya. Antaranya: Al-Imam al-‘Allamah ‘Abdullah bin ‘Umar asy-Syathiri (1290 – 1361); Al-Habib al-‘Allamah al-Hasan bin Sholeh al-Jufri al-Bahr (wafat 1319); Al-Habib al-‘Allamah ‘Ali bin Muhammad al-Habsyi (1259 – 1333); Al-Habib al-‘Allamah Ahmad bin Hasan al-‘Atthas (1275 – 1334); Asy-Syeikh al-‘Allamah al-Faqih Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu Bakar al-Bakri al-Khatib (1275 – 1331); Asy-Syeikh al-‘Allamah Mufti Tarim Abu Bakar bin Ahmad bin ‘Abdullah al-Bakri al-Khatib (1268 – 1356); Al-Habib al-‘Allamah ‘Alawi bin ‘Abdurrahman bin Abu Bakar al-Masyhur (1263 – 1342); Al-Habib al-‘Allamah Aidarus bin ‘Alawi bin ‘Aidarus al-‘Aidarus; Al-Imam al-‘Arif al-Habib Muhyiddin bin ‘Abdullah bin Husain Bilfaqih; Al-Habib al-‘Allamah Seggaf bin Hasan bin Ahmad bin Husain al-Aidarus; Asy-Syeikh al-‘Allamah al-Faqih Fadhal bin ‘Abdullah ‘Irfan; Al-Habib al-‘Allamah ‘Ali bin ‘Abdurrahman al-Masyhur; Al-Habib al-‘Allamah Jamaluddin Muhammad Salim as-Sirri; Al-Habib al-‘Allamah ‘Abdullah bin ‘Ali bin Syihab.

Al-Imam al-‘Allamah ‘Abdullah bin ‘Umar asy-Syathiri, apabila menyebut tentang al-Habib ‘Alawi bin ‘Abdullah BinSyihab, berkata: Memadailah bagi Rubath Tarim sebagai satu kebanggaan sekiranya ia mengeluarkan darinya seorang yang seumpama ‘Alawi bin ‘Abdullah.

Mengajar dan Murid-murid Beliau: Beliau juga mengajar di Zawiyah asy-Syeikh ‘Ali bin Abu Bakar. Kitab yang beliau baca adalah Minhaj ath-Tholibin, al-Iqna’ dan Fathul Mu’in, dan mengkhatamkan pengajian dengan membaca sedikit dari kitab-kitab tasawwuf seperti Ihya ‘Ulumiddin dan ditutup pengajian tersebut dengan bacaan Surah Yaasin. Beliau juga mengadakan rohah pada setiap hari Isnin dan Khamis di rumah beliau yang mana kemudiannya dipindahkan ke Masjid Surur. Majlis maulid beliau adalah setiap malam Selasa di Masjid Surur. Pada majlis itu dibacakan Sirah Nabawiyyah dan memberi nasihat dan peringatan.

Dalam salah satu rehlah dakwah al-Imam al-Habib ‘Abdullah bin ‘Umar asy-Syathiri, di luar kota Tarim, beliau menghendaki seseorang menggantikan tempat beliau mengajar di Rubath Tarim, namun beliau tidak menemukannya melainkan al-Imam al-Habib ‘Alawi bin ‘Abdullah BinSyihab. Maka beliau pilih al-Imam al-Habib ‘Alawi bin ‘Abdullah BinSyihab mengajar di Rubath Tarim pada hari Sabtu dan Rabu. Dan setelah kewafatan al-Imam al-Habib ‘Abdullah bin ‘Umar asy-Syathiri pada tahun 1361, al-Imam al-Habib ‘Alawi bin ‘Abdullah BinSyihab menggantikan tempat beliau untuk mengajar dan berteruskan sehinggalah beliau wafat pada 1363.

al-Habib Umar bin 'Alawi al-Kaf
Antara murid-murid beliau adalah anak-cucu beliau iaitu Muhammad dan cucu beliau ‘Abdullah, ‘Ali dan Abu Bakar; al-‘Allamah al-Habib Ahmad bin ‘Abdurrahman bin ‘Ali as-Seggaf; al-‘Allamah al-Habib Muhammad bin Hadi bin Hasan as-Seggaf; al-‘Allamah al-Habib ‘Abdurrahman bin ‘Ubaidullah bin Muhsin as-Seggaf; al-‘Allamah al-Habib ‘Abdullah bin Thahir al-Haddad; al-‘Allamah al-Habib ‘Alawi bin Thahir al-Haddad; al-‘Allamah al-Habib Salim bin Hafidz ibn Syeikh Abu Bakar bin Salim (datuk kepada Guru Mulia al-Habib ‘Umar); al-‘Allamah al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafidzbin Syeikh Abu Bakar bin Salim (ayahanda kepada Guru Mulia al-Habib Umar. Beliau telah menghimpun kata-kata hikmah guru beliau al-Habib ‘Alawi BinSyihab di dalam 6 jilid kitab berjudul Majmu’ Kalam wa Mawa’idz al-Habib ‘Alwi bin Abdullah bin Syihab yang masih berbentuk manuskrip); al-Habib ‘Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih; al-Habib Zein bin Ibrahim bin ZeinBinSumaith (al-Habib Zein mengikuti majlis-majlis pengajian al-Habib ‘Alawi bin ‘Abdullah bin Syihabuddin di Rubath Tarim dan di Zawiyah asy-Syeikh ‘Ali bin Abu Bakar . Selain itu mengikuti rohah minggunan yang diadakan di masjid Surur); al-‘Allamah al-Habib ‘Umar bin ‘Alawi al-Kaf (beliau menulis manaqib gurunya ini dalam kitab berjudul Tuhfah al-Ahbaab wa Tazkirah Uli al-Albaab bi Dhikr Nazr Min Manaqib al-‘Arifbillah al-Wahhaab al-Habib ‘Alawi bin Muhammad bin ‘Aidarus bin Muhammad ibn Syihab); al-Habib ‘Abdul Qadir bin Ahmad bin ‘Abdurrahman bin ‘Ali as-Seggaf dan ramai lagi.

Ibadah beliau: Beliau banyak mengerjakan sholat, di mana sholat adalah penyejuk hatinya. Sentiasa memelihara dan istiqamah sholat sunat Rawatib, Witir, Dhuha, Tahajjud, membaca al-Qur’an, aurad dan wirid. Beliau berjaga untuk betahajjud di akhir malam di rumah beliau, kemudian keluar ke Masjid Surur, lalu membaca al-Qur’an sehingga terbit fajar. Kemudian menunaikan sholat Shubuh dan setelahnya kembali ke rumah beliau membaca aurad sehingga terbit matahari. Kemudian mengerjakan sholat Dhuha. Beliau menghidupkam masa di antara Maghrib dan ‘Isya di Masjid Almaas. Di dalam bulan Ramadhan beliau hanya tidur 2 atau 3 jam sahaja, selebihnya adalah untuk beribadah.

Suatu ketika seorang ulama bermimpi bahwa kubur al-Imam al-Habib ‘Alawi bin ‘Abdullah bin Syihabuddin berada di halaman masjid al-Habib ‘Abdullah bin Syeikh al-Aidarus sedang dikerumuni oleh masyarakat, sesudah lapan hari dia menceritakan mimpinya kepada al-Habib ‘Abdullah bin ‘Alawi bin Zein al-Habsyi, lalu beliau menjawab: “Nafsu kita masih hidup dalam diri kita masing-masing, sementara nafsu al-Habib ‘Alawi bin ‘Abdullah bin Syihabuddin sudah terkubur dalam kuburan tersebut”.

Akhlaq Dalam Berdakwah: Seorang yang lembut hati dan sabar dalam berdakwah, mewarisi akhlaq luhur datuk beliau, Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم.

Guru Mulia al-Habib ‘Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz ibn Syeikh Abu Bakar bin Salim mencerita tentangnya. Kata Guru Mulia: “Masyrakat di zaman al-Imam al-Habib ‘Alawi bin ‘Abdullah bin Syihabuddin pernah melempari bahagian luar Masjid Surur dengan kotoran haiwan ketika al-Imam al-Habib ‘Alawi bin ‘Abdullah bin Syihabuddin di dalam Masjid Surur untuk meghadiri pembacaan Maulid. Walaupun demikian, al-Imam al-Habib ‘Alawi bin ‘Abdullah bin Syihabuddin tidak pernah membalas, tetap bersabar, teguh pendirian dan terus berdakwah sehingga seluruh masyarakat menerima dakwahnya”.

Habib 'Alawi bersama anak beliau Habib Muhammad
Guru Mulia bercerita lagi: “Masyrakat dahulu berkata: ‘Alawi bin Syihabuddin tidak mengerti apa-apa. Dia ingin masyarakat semua berada dalam thoriqohnya. Zaman sekarang berbeda, tidak seperti zaman dahulu. Dia tidak tahu cara mendidik masyarakat, dia tidak tahu waktu. Meskipun demikian, al-Imam al-Habib ‘Alawi bin ‘Abdullah bin Syihabuddin tetap shiddiq, ikhlas dan beradab dengan Allah. Bashiroh beliau bersinar. Beliau menjaga mu’amalah beliau dengan Allah Ta’ala dengan cara berakhlaq mulia kepada orang tua dan anak-anak. Akhirnya mereka tunduk kepada beliau. Orang yang sangat membenci beliau lalu berhenti mencelanya”.

Kewafatan beliau: al-Imam al-Habib ‘Alawi bin ‘Abdullah bin Syihabuddin wafat pada 12 Ramadhan 1386. Beliau dimakamkan di Pemakaman Zanbal. Setelah pemergian beliau, tempat beliau diganti oleh anak beliau al-Habib Muhammad bin ‘Alawi bin ‘Abdullah BinSyihab. Dan setelah al-Habib Muhammad wafat, tempat diganti oleh al-Habib ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Alawi bin ‘Abdullah BinSyihab. Beliau dulunya dikenali sebagai Qalbu Tarim dan kini di kenali sebagai Ainut Tarim. Alhamdulillah al-fagir sempat beberapa kali menziarahi al-Habib ‘Abdullah BinSyihab dan mendapatkan doa serta ijazah daripada beliau. Dan dapat juga bertabarruk dengan kopiah yang pernah dipakai oleh al-Habib ‘Alawi bin ‘Abdullah BinSyihab. Alhamdulillah.

Makam al-Habib 'Alawi dan anak beliau al-Habib Muhammad
Kata-kata beliau: Rasa Cemburu Pada Agama Mulai Hilang: “Dalam sebuah akhbar (hadits) disebutkan bahwa di akhir zaman kelak akan ada orang-orang yang hatinya luluh seperti garam yang larut dalam air, kerana mereka melihat kemungkaran tapi tidak mampu memusnahkannya. Sekarang aku melihat rasa cemburu pada agama telah mati. Sehingga andaikata setengah warga kota menjadi kafir, maka tidak akan ada satu bulu roma pun yang berdiri dan tidak ada seorang pun yang terluka hatinya. Kalian wajib berdakwah, memberikan peringatan. Semoga Allâh memandang kita semua http://aladamyarrantawie.blogspot.com/

http://www.facebook.com/Kisah.Para.DatudanUlama.Kalimantan
http://www.facebook.com/Para.Pecinta.Habaib.dan.Ulama
 http://www.facebook.com/SYAFAAH.dan.BAROKAH

Sayyid ‘Abdullah bin Shadaqah bin Zaini Dahlan al-Jailani

Sayyid ‘Abdullah bin Shadaqah bin Zaini Dahlan al-Jailani


Beliau adalah seorang ulama besar yang dilahirkan pada tahun 1290H /1291H (1874M /1875M) di Kota Makkah al-Mukarromah. Beliau lahir dalam keluarga ulama yang sholeh. Ayahanda beliau adalah saudara kandung Syaikhul Islam Mufti Haramain Sayyidi Ahmad Zaini Dahlan, ulama dan mufti Hijaz yang masyhur, manakala bunda beliau adalah saudara perempuan Sayyidi Abu Bakar Syatho ad-Dimyathi ( Pengarang kitab I`anathuttholibin ).
Nasab penuh beliau adalah Sayyid ‘Abdullah bin Shadaqah bin Zaini Dahlan bin Ahmad Dahlan bin ‘Utsman Dahlan bin Ni’matUllah bin ‘Abdur Rahman bin Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Utsman bin ‘Athoya bin Faaris bin Musthofa bin Muhammad bin Ahmad bin Zaini bin Qaadir bin ‘Abdul Wahhab bin Muhammad bin ‘Abdur Razzaaq bin ‘Ali bin Ahmad bin Ahmad (Mutsanna) bin Muhammad bin Zakariyya bin Yahya bin Muhammad bin Abi ‘Abdillah bin al-Hasan bin Sayyidina ‘Abdul Qaadir al-Jilani, Sulthanul Awliya` bin Abi Sholeh bin Musa bin Janki Dausat Haq bin Yahya az-Zaahid bin Muhammad bin Daud bin Muusa al-Juun bin ‘Abdullah al-Mahd bin al-Hasan al-Mutsanna bin al-Hasan as-Sibth bin Sayyidinal-Imam ‘Ali & Sayyidatina Fathimah al-Batuul radhiyaAllahu`anhum ajma`in.

Tatkala beliau berusia 6 tahun, ayahandanya wafat, Sidi Ahmad Zaini Dahlan telah mengambil tugas ayahandanya untuk menjaga dan memberi pendidikan yang sempurna kepadanya. Pamannya ini turut mengasihi dirinya serta memberikan perhatian besar terhadapnya. Beliau berada di bawah asuhan pamannya ini sehinggalah ulama besar Hijaz ini wafat di Kota Madinah al-Munawwarah pada tahun 1304H (1887M).

Setelah kepergian pamannya yang mulia, Sayyid ‘Abdullah kembali ke Kota Makkah dan menyambung pengajiannya dengan para ulama di sana, antaranya dengan pamannya Sayyidi Abu Bakar Syatho ad-Dimyathi, Syaikh Muhammad Husain al-Khayyath, Habib Husain bin Muhammad al-Habsyi dan lain-lain ulama terkemuka. Kedalaman ilmunya diakui para ulama sehingga beliau diberi kepercayaan untuk menjadi Imam dalam Masjidil Harom di Maqam Ibrahim (tempat bagi Imam mazhab Syafi’i ) serta menjadi tenaga pengajar di Masjidil Haram yang mengendali halaqoh ilmu di Babus Salam.

Sayyid ‘Abdullah terkenal sebagai u`ama yang suka mengembara dari satu tempat ke satu tempat demi menyebarkan risalah dakwah dan ilmu. Beliau telah merantau ke banyak tempat seperti Zanzibar, Yaman, India, Mesir, Bahrain, Iraq, Syam, India, Sri Lanka, Tanah Melayu, Singapura, Jawa dan Sulawesi. Beliau juga telah mendirikan berbagai madrasah di tempat-tempat tersebut. Apa yang menarik ialah sewaktu di Tanah Melayu beliau telah dilantik menjadi Syaikhul Islam (Mufti) Kedah kedua. Namun jawatan tersebut hanya disandangnya kira-kira setahun yaitu dari 1904M sehingga 1905M dan dilepaskannya karena beliau berhasrat untuk kembali ke Makkah.

Setelah lama berkelana, akhirnya Sayyid ‘Abdullah telah memilih untuk menetap di Desa Ciparay Girang, Karang Pawitan dalam daerah Garut, Jawa Barat. Di situlah beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tahun 1943 M, setelah menjalani hidup yang penuh keta`atan dan keberkatan. Beliau meninggalkan beberapa karangan, antaranya:-

1. Irsyad Dzil Ahkam;

2. Zubdatus Sirah an-Nabawiyyah;

3. Tuhfatuth Thullab fi qawa’idil i’raab;

4. Khulaashah at-Tiryaaq min samuum asy-Syiqaaq;

5. Irsyadul Ghaafil ila maafiith thoriiqatit Tijaaniyyati minal baathil;

6. Fatwa fi ibthal thoriqah wahdatil wujud.

Mudah-mudahan Allah senantiasa mencucuri Rahmat dan Ridho-Nya kepada Sayyidi ‘Abdullah bin Shodaqoh Dahlan al-Jilani al-Hasani. …… Hadiyatan liruhihi al-Fatihah………….
(Habib Ahmad bin Faqih Ba'syaiban dan Fy ) http://aladamyarrantawie.blogspot.com/
http://www.facebook.com/Kisah.Para.DatudanUlama.Kalimantan
http://www.facebook.com/Para.Pecinta.Habaib.dan.Ulama
http://www.facebook.com/SYAFAAH.dan.BAROKAH

HABIB UMAR BIN ISMAIL BIN YAHYA CIREBON

MELAWAN PENJAJAH DENGAN DAKWAH


Demi menegakkan ajaran islam, ia tak kenal kompromi dengan pemerintah kolonial Belanda.

Habib Umar lahir di Arjawinangun pada bulan Rabiu’ul Awwal 1298 H atau 22 Juni 1888. Ayahnya, Syarif Ismail, Adalah Dai berdarah Hadramaut yang menyebarkan Islam di Nusantara. Ibunya asli Arjawinangun, Siti Suniah binti H.Shiddiq. Pasangan ini dikaruniai empat orang anak: Umar, Qasim, Ibrahim, dan Abdullah. Garis keturunan Habib Umar sampai kepada Nabi Muhammad melalui Sayyidina Husein.
Pandidikan agama langsung diperoleh dari ayahnya sendiri, baru kemudian ia mengembara ke berbagai pesantren di Jawa Barat, dari tahun 1913 hingga 1921.
Menyaksikan masyarakat Kampung Arjawinangun, Cirebon, tanah kelahiranya tenggelam dalam kebiasaan berjudi dan perbuatan dosa besar lainnya, Habib Umar merasa terpanggil untuk memperbaikinya. Dalam sebuah mimpi, ia bertemu Syarief Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati, yang memberinya restu untuk niat baiknya tersebut. Selain itu Syarief Hidayatullah juga mengajarkan hakikat kalimat Syahadat kepadanya. Maka, setiap Malam Jum’at Habib Umar pun Menggelar pengajian di rumahnya.
Tapi upaya itu mendapat perlawanan serius dari masyarakat. Mereka mencemooh, menghina, dan mencibir pengajian Habib Umar. Dibawah tekanan masyarakat itu, ia terus berjalan dengan dakwahnya itu. Dan Karena pengajiannya dianggap meresahkan masyarakat, pada gilirannya pemerintah kolonial menangkap Habib Umar dan menjebloskannya ke dalam Penjara. Namun, tiga bulan kemudian ia di bebaskan, berkat perlawanan yang diberikan oleh jama’ahnya hingga jatuh korban di kalangan antek-antek Belanda.
Kepalang basah, tahun 1940, Habib Umar bahkan menyediakan rumahnya sebagai markas perjuangan melawan pemerintah kolonial Belanda. Tidak hanya itu, ia juga turun tangan dengan mengajarkan ilmu kanuragan kepada kaum muda.
Bulan Agustus 1940 ia ditangkap Belanda lagi danpengajiannya ditutup, Enam bulan kemudian, 20 Februari 1941, ia dibebaskan.
Semangat perjuangan melawan kolonialisme semakin membara dalam dada Habib Umar. Mka ia pun banyak mengadakan kontak dengan tokoh-tokoh agama di seputar Cirebon, seperti Kiai Ahmad Sujak (Bobos), Kiai Abdul Halim (Majalengka), Kiai Syamsuri (Wanantara), Kiai Mustafa (Kanggraksan), Kiai Kriyan (Munjul).
Tidak Hanya pada masa penjajahan Belanda, Pada zaman Jepang pun nama Habib Umar melejit lagi sebagai pejuang agama. Ia memperkarakan Undang-Undang yang di keluarkan Jepang yang melarang pengajaran huruf Arab di Masyarakat. UU itu dianggap sebagai alat agar umat islam meninggalkan Al-Quran.
Panji-Panji Syahadatain
Pada masa kemerdekaan, Tahun 1947, Habib Umar mulai mengibarkan panji-panji Syahadatain. Itu bermula dari pengajian yang dipimpinnya yang semula dikenal sebagai “Pengajian Abah Umar” menjadi “Pengajian Jamaah Asyahadatain”. Ternyata pengajian ini mendapat simpati luas sehingga menyebar ke seluruh Jawa Barat dan Jawa Tengah. Tahun 1951 lembaga itu mendapat restu dari presiden Soekarno.
Tahun 1951, Habib Umar sempat mendirikan Pondok Pesantren Asyahadatain di Panguragan. Namun Selain mengajarkan ilmu agama dan ketrampilan seperti bertani, menjahit, bengkel, koperasi, dan ilmu kanuragan, Habib Umar juga mengharuskan Jamaahnya bertawasul kepada Rasulullah, Malaikat, Ahlul bayt, Wali, setiap selesai shalat fardhu. Menurutnya, tawasul menyebabkan terkabulnya suatu doa. Lebih Jauh lagi, Habib Umar juga mendirikan Tarekat Assyahadatain.
Ia Juga sekaligus pemimpin Tarekat Assyahadatain, menulis buku berjudul Awradh Thariqah Al-Syahadatain, Sebagai pedoman Bagi Jamaahnya. Syahadat, menurut Habib Umar, Tidak Cukup dilafadzkan di mulut, tapi maknanya juga harus membias ke dalam jiwa. Dengan persaksian dua kalimat syahadat itu, seseorang akan diampuni atas dosanya, dan terkikis pula akar-akar kemusyrikan dalam dirinya.
Karyanya yang lain adalah Awrad (1972), menggunakan Bahasa daerah yang berisi ilmu ahlaq dan tasawuf, aqidah dan pedoman hidup kaum muslimin.
Habib Umar menghadapa ke Hadirat Allah pada 13 Rajab 1393 atau 20 Agustus 1973. Semoga Amal Ibadah dan perjuangannya mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT.

(Sumber: ALKISAH NO.09/4 – 17 MEI 2009 HAL 146 ).
http://www.bamah.net/2012/05/habib-umar-bin-ismail-bin-yahya-cirebon/ (HaBib Ahmad bin Faqih Ba'Syaiban ) http://aladamyarrantawie.blogspot.com/
http://www.facebook.com/Kisah.Para.DatudanUlama.Kalimantan
http://www.facebook.com/Para.Pecinta.Habaib.dan.Ulama
http://www.facebook.com/SYAFAAH.dan.BAROKAH

Habib Nuh al Haddad, Solo

Habib Nuh al Haddad, Solo


Habib Nuh al Haddad atau dikenal sebagai Raden Nuh Al Haddad adalah keturunan langsung dari Qutb Imam Abdullah bin Alwi al Haddad qs Menurut Habib Nuh, keluarga Al Haddad adalah Ahlul Bayt klan pertama datang ke tanah DKI, Solo. Ini bertanggal sebelum waktu 9 Orang Suci (Wali Songo). Besar Kakek-Nya Habib Ibrahim sama seperti habaaib lain perjalanan jarak jauh dalam menyebarkan Islam dengan cinta.
Ada cerita yang diriwayatkan oleh Habib Noh tentang kakek buyutnya yang pertama kali datang ke solo dan mendengar berita tentang putri lokal yang sangat sakit dan siapapun obat akan diberikan hadiah yang besar dan kuat. Habib Ibrahim membantu raja dan dengan kekuatan Allah swt sang putri obatnya. Ia diberi kesempatan untuk berada di beberapa posisi penting dalam administrasi raja meskipun dia sudah menjadi penasihat untuk raja namun ia menolak tawaran dia malah berhasil melalukan perbanyakan Islam untuk keluarga kerajaan dan akhirnya raja memeluk agama Islam. Kemudian, Habib Ibrahim menikah dengan sang putri. Inilah sebabnya mengapa Habib Noh al Haddad sedang disebut Raden Nuh. Salah satu kakek lain yang besar, adalah guru dan penasehat bagi raja Yogyakarta. Keluarga Haddad tentu memberikan kontribusi bagi pengembangan studi keagamaan di banyak bagian dunia ini adalah Singapura, Malaysia, Indonesia dan banyak lagi. Para amal dari Ratib Al Haddad terkenal di berbagai bagian dunia saat ini. Habib Nuh pernah diterima telepon dari muridnya yang sedang bekerja di Rusia, mengatakan ada sebuah Majlis Ratib Al Haddad di Moskow.
Habib Nuh al Haddad selalu tetap di rumahnya kecuali shalat Jumat. Dia tidak meninggalkan rumah selama 25 tahun. Orang-orang dari semua lapisan masyarakat sering mendatanginya untuk meminta saran inspirasi dan membantu. Dari officals pemerintah, staf urusan agama untuk jelata, ia tidak mengubah siapa pun turun ketika datang untuk menawarkan bantuannya. Hingga hari ini Habib Nuh selalu melakukan dakwah dengan basis masyarakat pada memperbaiki karakteristik masyarakat nya. Kasih-Nya, kasih sayang dan ketulusan akan dirasakan oleh mereka yang mengenalnya dan nikmati saat mereka dengannya. Seorang pria sederhana yang menganut kemanusiaan dengan hati yang penuh cinta. Its sulit untuk menemukan manusia yang mulia dengan kerendahan hati. semoga Allah memberkati dia dan keluarganya.

http://martabat7.blogspot.com/2007/12/habib-nuh-al-haddad-solo.html (Habib Ahmad bin Faqih Ba'Syaiban )
http://aladamyarrantawie.blogspot.com/
http://www.facebook.com/Kisah.Para.DatudanUlama.Kalimantan
http://www.facebook.com/Para.Pecinta.Habaib.dan.Ulama
http://www.facebook.com/SYAFAAH.dan.BAROKAH

Sayyid Isa Alkaff Qathmyr : Annasabah Alawiyyah

Al Habib Isa Alkaff Qathmyr merupakan salah satu Annasabah yang dimiliki Alawiyyin Nusantara. Beliau merupakan sosok individu yang sangat sederhana sekali dengan pakaian ketawadhu'an ini sedikit sekali orang yang dapat mengenal siapa beliau sebenarnya.

Kesederhanaan Hidup Habib Isa

Kehidupan ekonomi beliau begitu sederhana membuat hati kita sedih,untuk menunjang kehidupan hari-hari, beliau menerima upahan menjahit pakaian juga terkadang beliau berdagang dengan bermodal kepercayaan dari orang yang memiliki barang-barang dagangan yang polanya serabutan.

Tempat tinggal beliau sangat sederhana sekali dimana bila kita masuk kerumahnya maka langit-langit rumahnya dapat kita sentuh dengan mengangkat tangan kita. Rumah yang beliau tempati adalah rumah panggung kayu dua tingkat dimana Al Habib tinggal dibagian bawah rumah, dapat kita bayangkan kondisi udara yang cukup lembab.

Rumah tersebut hingga saat ini masih dapat kita lihat yakni di Jl.Ali Qatmyr lrg. Kedipan 13 Ilir Palembang. Para Habaib yang ada saat itu hanya datang dan memperhatikan Al Habib saat mereka mencari nasab, mau nikah ataupun masalah warisan lebih dari itu kehidupan Al Habib nyaris terabaikan dan tidak ada perhatian sama sekali mengenai kehidupannya, sementara beliau berupaya menjaga benteng kemurnian nasab yang mulia yang diamanatkan Rasulullah Shalallahu alaihi wa alihi wa salam.


Kesadaran Alawiyyin Yang Sangat Kronis

Sementara itu Al Habib yang dengan semangat idealis dan militansinya berjuang untuk keluarga Alawiyyin nyaris terabaikan akan tetapi itu tak menular kepada Alawiyyin sekitar. Bahkan untuk hal yang lain kita berani berkorban mati-matian, namun untuk masalah yang sangat prinsipil seperti penjagaan kemurnian nasab, jaminan hidup para Annasabah selalu saja memprihatinkan. Inikah kondisi gambaran golongan Alawiyin yang sudah sakit sangat kronis sekali. Kalau Alawiyin sudah begini bagaimana masyarakat umum?????. Perlu diketahui bahwa orang Yahudi sangat menjamin kehidupan para Rabbi mereka dengan asumsi bahwa bagaimana bisa mendapat pelayanan Rabbi yang berkualitas wawasan dan keilmuannya jika hidupnya saja tak terjamin?.

Setiap ada acara-acara Al Habib selalu berada di baris bagian belakang dan sambil bertanya kepada anak-anak muda siapa nama,nama orang tua,nama kakek mereka dan saat pulang kerumah Al Habib membuat catatan tersendiri. Pada catatannya Al Habib dengan rapi mencantumkan nama fulan bin fulan nikah dengan fulanah binti fulan pada tanggal,bulan dan tahun ,kita akan kagum dan terheran-heran karena kita merasa mencatatkan nama kita tetapi beliau mengetahuinya inilah gambaran orang-orang yang ikhlas tetapi kehidupannya sangat memprihatinkan.

Pengakuan Keilmuan Beliau

Al Habib Muhammad bin Alwi Alatthas yang merupakan ketua Maktab Daimi saat itu dengan kejujuran yang ada mengatakan bahwa untuk wilayah Sumatra dan Semenanjung serta sebagian Kalimantan Al Habib Isa jauh lebih mengetahui dibanding beliau. Disini dapat kita lihat kita punya orang-orang tua jauh lebih terbuka fikirannya dibandingkan dengan kita, Alfaqier (Alidin Asseggaf) sempat ceritakan mengenai kehidupan Al Habib Isa kepada Al Habib Muhammad bin Alwi Alatthas. Mendenger cerita tersebut, beliau sangat kaget dan tersentak kemudian beliau mencoba menghubungi salah seorang sahabatnya ditanah Melayu dan secara bersama-sama Al Habib Muhammad dengan seseorang Habib dari tanah Melayu berkunjung ke kediaman Alhabib Isa dan sedikit memberikan tanda cinta kasih sesama Alawiyin, (satu tindakan yang sangat indah sekali yang belum pernah kita lakukan untuk menghargai seseorang ahli nasab) .

Setelah kunjungan tersebut Alfaqier sempat kembali bertemu dengan Al Walid Muhammad bin Alwi Alatthas dan beliau bercerita panjang lebar. “Yaa.... Waladiy begitukah orang-orang ditempat asal ente yang tidak menghargai orang yang memiliki ilmu yang begitu berjasa dan mempunyai kedudukan khusus disisi ALLAH dan RASULNYA ?????”.

Kisah Maqam Keramat Kembang Koci

Ada satu jasa beliau lagi yang sempat luput dari pengamatam kita yaitu dalam dasawarsa tahun 1980 an Al Habib Isa dengan gigih mengurus maqam Keramat Kembang Koci Di Pelabuhan Boom Baru Palembang (Alfaqier punya surat edaran yang beliau buat untuk mengumpulkan dana guna merawat maqam tersebut).

Dimasa itu beliau seorang diri begitu gigih mempertahankan keberadaan maqam tersebut bahkan beliau pernah tidur di maqam tersebut kira-kira tahun 1994 awal. Pada waktu itu maqam tersebut akan di buldozer/diratakan dengan tanah guna perluasan pelabuhan sehingga beliau beberapa malam menjaga kuburan tersebut jangan sampai dirusak. Dan Alhamdulillah rencana penghancuran maqam tersebut gagal.

Alfaqier bertemu Al Habib Isa terakhir tahun 1994 dimana waktu itu beliau dalam keadaan sakit parah, kedua kaki dan muka beliau bengkak, nampaknya Al Habib terkenah gagal ginjal. Alfaqier tidak melihat saat itu adanya upaya untuk membantu Al Habib untuk berobat ke dokter, akhirnya setelah lebih kurang satu minggu alfaqier bertemu beliau,Alfaqier mendapat khabar bahwa beliau telah wafat di Palembang.

Kesedihan yang sangat menyelimuti kita karena kehilangan orang besar sementara kita belum bisa menghargai jasa-jasanya, Al Habib banyak meninggalkan catatan-catatan dalam bentuk pohon nasab dari berbagai macam qabilah. Al Habib menulisnya dari almanak/tanggalan bekas karena ketidak mampuan membeli kertas dan sangat sayang sekali semua dokumentasi/hasil karya Al Habib Isa banyak yang hilang , Al Habib sempat berpesan bila beliau telah tiada tolong buku yang 15 jilid di kembalikan ke Maktab Adda'imi Pusat Jakarta .

Sewaktu Al Habib Zainal Abidin Asseggaff menjadi ketua Maktab Adda'imi buku tersebut belum berada di pusat hingga menjelang tahun 1999. Alhamdulillah sebagian karya tulisan pribadi al Walid Al Habib Isa ini ada pada Alfaqier di Maktab Naqobatul Asyrof Al Kubro Jakarta. Al Habib dikuburkan di qubah Al-kaff (di Palembang disebut juga qubah kecik/kecil) bersebelahan dengan qubah besar di Jalan Dr.M.Isa Kenten 8 Ilir.

Demikianlah riwayat yang sangat singkat ini dapat Alfaqier tuliskan disini dan ini jauh dari sempurna tetapi hanya inilah yang untuk sementara yang bisa Alfaqier tunjukkan sebagai rasa terima kasih kepada

"GURUKU SEKALIGUS KAKEKKU DAN KAKEK SELURUH ALAWIYYIN NUSANTARA TERCINTA AL WALID AL HABIB ISA BIN MUHAMMAD BIN SYECH AL-QATMYR AL-KAFF" SEMOGA ALLAH BERKENAN MENERIMAH AMAL IBADAHNYA DAN DILAPANGKAN KUBURANNYA SEPERTI DI TAMAN SYURGA

Sumber tulisan oleh:

Alidin Hassan Asseggaf Al Ali bin Abdullah: Manaqib Al Walid Isa bin Muhammad bin Syech AL Qathmyr Al Kaff dengan beberapa perubahan dan tambahan oleh penulis
http://intelektualalawiyyin.blogspot.com/2011/11/sayyid-isa-alkaff-gathmyr.html http://aladamyarrantawie.blogspot.com/
http://www.facebook.com/SYAFAAH.dan.BAROKAH
www.facebook.com/Para.Pecinta.Habaib.dan.Ulama

KH. Muslim Rifa'I Imampuro

Keputusan “Kembali Ke Khittah 1926″ pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo, 1984, didahului oleh gerakan pembaharuan yang digelindingkan oleh sekelompok pemimpin muda NU yang dilokomotifi oleh Gus Dur. Mereka menamakan diri: “Kelompok G-7″, diambil dari nomor rumah Pak Said Budairy di sebuah komplek perumahan di Jakarta, yang mereka jadikan “markas gerakan”. Walaupun sudah tidak tergolong muda, Mbah Lim aktif mengombyongi segala aktivitas kelompok itu dan teramat sering ikut ngendon di markas mereka.
Balayan Malakan Idham Malik meriwayatkan, suatu hari di malam buta ditengah masa-masa gerakan pembaharuan itu, Mbah Lim datang ke rumah Said Budairy yang penghuninya masih lelap semua. Mbah Lim tidak mengetuk pintu tapi langsung menggeloso di emperan rumah yang hanya berupa pelesteran semen dan hanya beberapa jengkal saja lebarnya. Pak Said Buadairy pun kaget setengah mati saat membuka pintu habis subuh.
“Mbaaah! Kok nggak ketok pintu sih? Kayak yang nggak biasa kesini saja!”
Mbah Lim cengar-cengir sambil memamerkan rokok yang sedang dihisapnya.
“Lha ini malah sudah dapat hadiah rokok dari anakmu”, katanya.
Rupanya, anak Pak Said yang bangun duluan sudah lebih dulu mendapati orang menggeloso di emperan rumah. Mengira orang itu gelandangan numpang tidur, ia pun menyedekahkan sebatang rokok.
*  *  *

Dekat-dekat menjelang Muktamar NU ke-28 tahun 1989 di Yogyakarta, Mbah Kiyai Hamid Kajoran jatuh sakit. Mbah Lim (Kiyai Muslim Rivai Imampuro, Klaten) mengajak Gus Dur menengok ke kediaman beliau.
“Aku tak mati yo, Lim…” (Aku mau mati nih, Lim), kata Mbah Hamid.
“Ndak bisa ndak bisa ndak bisa….”, Mbah Lim dengan gayanya yang khas, “mau Muktamar kok mati… enak aja…”
“Lha gimana…?”
“Mati ya mati tapi nunggu Muktamar dulu!”
Tepat empat puluh hari sesudah hari itu, beberapa minggu sesudah Muktamar, Mbah Hamid Kajoran wafat.
Lahumal faatihah….
*  *  *
Mbah Lim pernah terkenal suka “mencium orang”. Sebenarnya yang lebih tepat adalah menempelkan jidat ke jidat. Itu mungkin tanda senang atau sayang yang tak terkatakan. Saya sendiri hampir selalu dibegitukan setiap bertemu.
Sebelum Soeharto lengser, ketika PDI Perjuangan baru saja dideklarasikan, Megawati Soekarnoputri datang ke kediaman Mbah Lim di Jatinom, Klaten. Kebiasaan “adu-jidat” pun dilakukan terhadap Mbak Mega, sehingga foto Mbah Lim yang seolah memeluknya beredar di koran-koran. Tak lama sesudah itu, Mbah Lim datang ke Rembang menemui Gus Mus.
“Aku mewakili Pak Harto, Mega mewakili Bung Karno, salaman, rangkulan, ben rukun… ben rukun…“, Mbah Lim memberi “klarifikasi”, “benar tidak… benar tidak… benar tidak…?”
“Sudah benar semua, Mbah”, kata Gus Mus, “yang meragukan cuma satu… ngambungnya itu lho!”
“Bodong ‘ki… bodong ‘ki… bodong ‘ki…”, Mbah Lim ketawa sampai terguncang-guncang.
*  *  *
Menjelang Muktamar Cipasung, Mbah Lim (Kiyai Muslim Riva’i Imampuro) mengunjungi Gus Dur di Kantor PBNU dengan membawakan sebotol madu. Di botol itu tertempel secarik kertas dengan tulisan: “MADU KUAT UNTUK KETUA UMUM PBNU 5 PERIODE”.
“Nggak mau, Mbah!” Gus Dur menolak, “buat sampeyan sendiri saja. Biar sampeyan yang jadi ketua lima periode”.
“Bodong… bodong… bodong…”, Mbah Lim terkekeh-kekeh.
*  *  *
Perempuan setengah tua itu sudah ada di ruang tamu Mbah Lim ketika kami sekeluarga datang. Tampaknya sudah cukup lama ia disitu. Gelas tehnya sudah dikerubuti semut.
Mbah Lim muncul dari ruang dalam dan langsung menyambut ayahku, berpelukan disusul obrolan riang yang asyik. Perempuan itu belum juga disapa dan kelihatan gelisah sekali karenanya. Sampai akhirnya Mbah Lim tidak tega melihat matanya berkaca-kaca.
“Ada apa… ada apa..?”
“Saya ini pedagang pasar, Mbah… tapi belakangan ini kok dagang saya seret…”
“Biasa! Biasa!” Mbah Lim memotong, “perdagangan memang sedang kurang bagus…”
“Utang saya banyak, Mbah…”
“Apalagi kamu! Negara saja utangnya banyak!”
Perempuan itu terdiam dan menunduk. Mengusap sudut mata dengan ujung kain kerudung.
“Terus maunya apa? Maunya apa? Kalau jimat aku nggak punya. Kalau amalan ada…”
“Lha wong sudah taaahu gitu lhoooo…!” hampir saja perempuan itu berteriak, “pakai nanya-nanya segaalaaaa!”
Mbah Lim nyengir, lalu mengambil secarik kertas dan menuliskan ijazah amalan untuknya.
*  *  *
Selain saya, ada seorang tamu lain dari Semarang yang sowan Mbah Lim malam itu.
“Nginap… nginap… nginap…?” Mbah Lim bertanya pada tamu Semarang.
“Pulang saja, Mbah… masih banyak kendaraan umum kok…”
Mbah Lim menyuruh saya mengambilkan kaleng biskuit di pojok ruangan. Dibukanya kaleng itu –yang ternyata berisi uang receh– lalu dijumputnya uang ribuan selembar demi selembar,
“Ketuhanan Yang Mahaesa…”, selembar ribuan dielus-elusnya, “Kemanusiaan yang adil dan beradab…”, selembar lagi, “Persatuan Indonesia…”, dan seterusnya hingga lima lembar, “Pas… pas… Pancasila… Pancasila…”, lalu diulurkannya uang lima ribu itu pada tamu Semarang, “Ongkos bis… ongkos bis…”.
Si tamu geragapan menolak,
“Jangan, Mbah!” katanya, nyaris seperti orang panik, “Saya yang ngaturi Simbah!”
Dengan gugup ia ulurkan sebuah amplop. Mbah Lim menjemput amplop dan menggenggam tangan si tamu erat-erat, lalu menoleh kepada saya sambil mengedipkan-ngedipkan mata,
“Mancing… mancing… mancing…”, katanya.
Setelah tamu itu pergi, gantian Mbah Lim bertanya pada saya,
“Kalau kamu… tak sangoni apa ninggali…?” (Kuberi sangu atau meninggalkan uang untukku?)
Demi keseimbangan alam, saya merasa punya beban moral untuk memerdekakan kendablegan,
“Saya minta sangu saja, Mbah!”
“Bodong… bodong… bodong…!” Mbah Lim menggosok-gosokkan kelima lembar “ribuan Pancasila” ke jidat saya.
*  *  *
Belum ada sebulan yang lalu Mbah Lim berkunjung ke Rembang.
“Aku ini sebenarnya sudah kangen banget sama nyaiku”, katanya kepada Gus Mus –maksudnya: isteri beliau yang telah mendahului wafat beberapa waktu sebelumnya, “tapi orang-orang itu menahan-nahanku terus… Ya sudahlah… asal demi NKRI…”
Tidak terlalu lama beliau njagong, sebelum kemudian pamitan,
“Moso borongo… moso borongo…”
(Suatu ungkapan pasrah karena merasa tidak bisa ikut ngurusi lagi…)
Lahul Faatihah…

Senin, 09 April 2012

Biografi Jalaludin Rumi

Mawlana Jalaludin Rumi
Oleh Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani
( Grandson of Mawlana Rumi )
“Dia adalah, orang yang tidak mempunyai ketiadaan,Saya mencintainya dan Saya mengaguminya, Saya memilih jalannya dan Saya memalingkan muka ke jalannya. Setiap orang mempunyai kekasih, dialah kekasih saya, kekasih yang abadi. Dia adalah orang yang Saya cintai, dia begitu indah, oh dia adalah yang paling sempurna. Orang-orang yang mencintainya adalah para pecinta yang tidak pernah sekarat. Dia adalah dia dan dia dan mereka adalah dia. Ini adalah sebuah rahasia, jika kalian mempunyai cinta, kalian akan memahaminya.
( Sulthanul Awliya Mawlana Syaikh Nazhim Adil al-Haqqani – Cucu dari Mawlana Rumi, Lefke, Cyprus
Turki, September 1998)
————————————–
Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi juga seorang tokoh sufi yang berpengaruh di zamannya. Rumi adalah guru nomor satu Thariqat Maulawiah, sebuah thariqat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Thariqat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan
kalangan seniman sekitar tahun l648.
Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewaan akal dan indera dalam menentukan kebenaran. Di
zamannya, ummat Islam memang sedang dilanda penyakit itu. Bagi mereka kebenaran baru dianggap benar bila mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal, dengan
cepat mereka ingkari dan tidak diakui.
Padahal menurut Rumi, justru pemikiran semacam itulah yang dapat melemahkan Iman kepada sesuatu yang ghaib. Dan karena pengaruh pemikiran seperti itu pula, kepercayaan kepada segala hakekat yang tidak kasat
mata, yang diajarkan berbagai syariat dan beragam agama samawi, bisa menjadi goyah. Rumi mengatakan, “Orientasi kepada indera dalam menetapkan segala hakekat keagamaan adalah gagasan yang dipelopori kelompok Mu’tazilah. Mereka merupakan para budak yang tunduk patuh kepada panca indera. Mereka menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah. Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali tidak terikat kepada indera-indera, dan tidak mau pula memanjakannya.”
Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya karena tidak pernah melihatnya dengan mata kepala atau belum pernah meraba dengan indera. Sesungguhnya, batin akan selalu tersembunyi di balik yang lahir, seperti faedah penyembuhan yang terkandung dalam obat. “Padahal, yang lahir itu senantiasa menunjukkan adanya sesuatu yang tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya. Bukankah Anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah kegunaannya tersembunyi di dalamnya?” tegas Rumi.
PENGARUH TABRIZ
Fariduddin Attar, salah seorang ulama dan tokoh sufi, ketika berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5 tahun pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak akan menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian
mencatat, ramalan Fariduddin Attar itu tidak meleset. Rumi, Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30
September 1207. Mawlana Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma).
Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama. Namun rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan mereka pun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Rumi baru berusia lima tahun. Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah- pindah dari suatu negara ke negara lain. Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut).
Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap
di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga
mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula
ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.
Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan
pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu.
Beliau baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut mengajar di perguruan tersebut. Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping sebagai guru, beliau juga menjadi da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu banyak tokoh ulama yang berkumpul di Konya. Tak heran jika Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia. Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika beliau sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana seorang ulama, beliau juga memberi fatwa dan tumpuan ummatnya untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika beliau berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin alias Syamsi dari kota Tabriz.
Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba-tiba seorang lelaki asing–yakni Syamsi Tabriz–ikut bertanya, “Apa yang dimaksud dengan
riyadhah dan ilmu?” Mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat
pada sasarannya. Beliau tidak mampu menjawab. Akhirnya Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah
bergaul beberapa saat, beliau mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi. Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu, “Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya.”
Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk
berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan emosinya, sehingga beliau menjadi
penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, beliau tulis syair-syair, yang
himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan Syams Tabriz. Beliau bukukan pula wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat Syams Tabriz. Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syaikh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu, selama 15 tahun terakhir masa hidupnya beliau berhasil menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi. Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain. Bahkan Masnavi sering disebut Qur’an Persia. Karyatulisnya yang lain adalah Ruba’iyyat (sajak empat baris dengan jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang metafisika), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya). Bersama Syaikh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan Thariqat Maulawiyah atau Jalaliyah. Thariqat ini di
Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (para Darwisy yang berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut thariqat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.
WAFATNYA MAWLANA RUMI
Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya
tiba-tiba dilanda kecemasan, karena mendengar kabar bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, tengah menderita
sakit keras. Meskipun demikian, pikiran Rumi masih menampakkan kejernihannya. Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo’akan, “Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan.” Rumi sempat menyahut, “Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian ada juga yang kafir dan
pahit.”
Pada tanggal 5 Jumadil Akhir 672 H atau 17 Desember 1273 dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke Rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desakan ingin mengantarkan kepulangannya. Malam wafatnya beliau dikenal sebagai Sebul Arus (Malam Penyatuan). Sampai sekarang para pengikut Thariqat Maulawiyah masih memperingati tanggal itu sebagai hari wafatnya beliau. “SAMA”, Tarian Darwis yang Berputar Suatu saat Rumi tengah tenggelam dalam kemabukannya
dalam tarian “Sama” ketika itu seorang sahabatnya memainkan biola dan ney (seruling), beliau mengatakan,
“Seperti juga ketika salat kita berbicara dengan Tuhan, maka dalam keadaan extase para darwis juga
berdialog dengan Tuhannya melalui cinta. Musik Sama yang merupakan bagian salawat atas baginda Nabi
Sallallahu alaihi wasalam adalah merupakan wujud musik cinta demi cinta Nabi saw dan pengetahuanNya.
Rumi mengatakan bahwa ada sebuah rahasia tersembunyi dalam Musik dan Sama, dimana musik merupakan gerbang menuju keabadian dan Sama adalah seperti electron yang mengelilingi intinya bertawaf menuju sang Maha Pencipta. Semasa Rumi hidup tarian “Sama” sering dilakukan secara spontan disertai jamuan makanan dan minuman. Rumi bersama teman darwisnya selepas sholat Isa sering melakukan tarian sama dijalan-jalan kota Konya.
Terdapat beberapa puisi dalam Matsnawi yang memuji Sama dan perasaan harmonis alami yang muncul dari
tarian suci ini. Dalam bab ketiga Matsnawi, Rumi menuliskan puisi tentang kefanaan dalam Sama, “ketika
gendang ditabuh seketika itu perasaan extase merasuk bagai buih-buih yang meleleh dari debur ombak laut”.
Tarian Sakral Sama dari tariqah Mevlevi Haqqani atau Tariqah Mawlawiyah ini masih dilakukan saat ini di
Lefke, Cyprus Turki dibawah bimbingan Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani. Ajaran Sufi Mawlana Syaikh Nazim dan mawlana Syaikh Hisyam juga merambah keberbagai kota di Amerika maupun Eropa, sehingga tarian Whirling Dervishes ini juga dilakukan di banyak kota-kota di Amerika, Eropa dan Asia di bawah bimbingan Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani ar-Rabbani.
Tarian Sama ini sebagai tiruan dari keteraturan alam raya yang diungkap melalui perputaran planet-planet.
Perayaan Sama dari tariqah Mevlevi dilakukan dalam situasi yang sangat sakral dan ditata dalam penataan
khusus pada abad ke tujuh belas. Perayaan ini untuk menghormati wafatnya Rumi, suatu peristiwa yang Rumi
dambakan dan ia lukisakna dalam istilah-istilah yang menyenangkan. Para Anggota Tariqah Mevlevi sekarang belajar menarikan tarian ini dengan bimbingan Mursyidnya. Tarian ini dalam bentuknya sekarang dimulai dengan seorang peniup suling yang memainkan Ney, seruling kayu. Para penari masuk mengenakan pakaian putih yang sebagai simbol kain kafan, dan jubah hitam besar sebagai symbol alam kubur dan topi panjang merah atauabu-abu yang menandakan batu nisan. seorang Syaikh masuk paling akhir dan menghormat para Darwish lainnya. Mereka kemudian balas menghormati. Ketika Syaikh duduk dialas karpet merah
menyala yang menyimbolkan matahari senja merah tua yang mengacu pada keindahan langit senja sewaktu Rumi wafat. Syaikh mulai bersalawat untuk Rasulullah saw yang ditulis oleh Rumi disertai iringan musik,
gendang, marawis dan seruling ney. Peniup seruling dan penabuh gendang memulai musiknya maka para darwis memulai dengan tiga putaran secara perlahan yang merupakaan simbolisasi bagi tiga tahapan yang membawa manusia menemui Tuhannya. Pada puatran ketiga Syaikh kembali duduk dan para penari melepas
jubah hitamnya dengan gerakan yang menyimbulkankuburan untuk mengalami ‘ mati sebelum mati”, kelahiran kedua.Ketika Syaikh mengijinkan para penari menari, mereka mulai dengan gerakan perlahan memutar seperti putaran tawaf dan putaran planet-planet mengelilingi matahari. Ketika tarian hamper usai maka syaikh berdiri dan alunan musik dipercepat. Proses ini diakhiri dengan musik penutup danpembacaan ayat suci Al-Quran. Rombongan Penari Darwis, secara teratur menampilkan Sama di auditorium umum di Eropa dan  Amerika Serikat. Sekalipun beberapa gerakan tarian ini pelan dan terasa lambat tetapi para pemirsa mengatakan penampilan ini sangat magis dan menawan. Kedalaman konsentrasi, atau perasaan dzawq dan ketulusan para darwis menjadikan gerakan mereka begitu menghipnotis. Pada akhir penampilan para hadirin diminta untuk tidak bertepuk tangan karena “Sama” adalah sebuah ritual spiritual bukan sebuah pertunjukan seni.
Pada abad ke 17, Tariqah Mevlevi atau Mawlawiyah dikendalikan oleh kerajaan Utsmaniyah. Meskipun
Tariqah Mawlawiyah kehilangan sebagian besar kebebasannya ketika berada dibawah dominasi Ustmaniyah, tetapi perlindungan Sang Raja menungkinkan Tariqah Mawlawi menyebar luas keberbagai daerah dan memperkenalkan kepada banyak orang tentang tatanan musik dan tradisi puisi yang unik dan indah. Pada Abad ke 18, Salim III seorang Sultan Utsmaniyah menjadi anggota Tariqah Mawlawiyah dan kemudian dia
menciptakan musik untuk upacara-upacara Mawlawi.
Selama abad ke 19 , Mawlawiyah merupakan salah satu dari sekitar Sembilan belas aliran sufi di Turtki dan
sekitar tigapuluh lima kelompok semacam itu dikerajaan Utsmaniyah. Karena perlindungan dari raja mereka,
Mawlawi menjadi kelompok yang paling berpengaruh diseluruh kerajaan dan prestasi cultural mereka dianggap sangat murni. Kelompok itu menjadi terkenal di barat., Di Eropa dan Amerika pertunjukkan keliling
mereka menyita perhatian public. Selama abad 19, sebuah panggung pertunjukkan yang didirikan di Turki
menarik perhatian banyak kelompok wisatawan Eropa yang dating ke Turki.
Pada tahun 1925, Tariqah Mawlawi dipaksa membubarkan diri ditanah kelahiran mereka Turki, setelah Kemal Ataturk pendiri modernisasi Turki melarang semua kelompok darwis lengkap dengan upacara serta
pertunjukkan mereka. Pada saat itu makam Rumi di Konya diambil alih pemerintah dan diubah menjadi museum Negara.
Motivasi utama Atatutrk adalah memutuskan hubungan Turki dengan masa pertengahan guna mengintegrasikan Turki dengan dunia modern seperti demokrasi ala barat. Bagi Ataturk tariqah sufi menjadi ancaman bagi modernisasi Turki. Pada saat itulah Syaikh Nazim mulai menyebarkan bimbingan spiritual dan mengajar agama Islam di Siprus, Turki.
————————————-
Maulana Jalaluddin Rumi, Menari di Depan Tuhan “AKAN tiba saatnya, ketika Konya menjadi semarak, dan
makam kita tegak di jantung kota. Gelombang demi gelombang khalayak menjenguk mousoleum kita,
menggemakan ucapan-ucapan kita.” Itulah ucapan Jalaluddin Rumi pada putranya, Sultan Walad, di suatu pagi. Dan waktu kemudian berlayar, melintasi tahun dan abad. Konya seakan terlelap dalam debu sejarah. “Tetapi, kota Anatolia Tengah ini tetap berdiri sebagai saksi kebenaran ucapan Rumi,” tulis Talat Said Halman, peneliti karya-karya mistik Rumi. Kenyataannya memang demikian. Lebih dari 7 abad, Rumi
bak bayangan yang abadi mengawal Konya, terutama untuk pada pengikutnya, the whirling dervishes, para darwis yang menari. Setiap tahun, dari tanggal 2-17 Desember, jutaan peziarah menyemut menuju Konya. Dari delapan penjuru angin mereka berarak untuk memperingati kematian Rumi, 727 tahun silam. Siapakah sesungguhnya makhluk ini, yang telah menegakkan sebuah pilar di tengah khazanah keagamaan Islam dan silang sengketa paham? “Dialah penyair mistik terbesar sepanjang zaman,” kata orientalis Inggris Reynold A Nicholson. “Ia bukan nabi, tetapi ia mampu menulis kitab suci,” seru Jami, penyair Persia Klasik, tentang karya Rumi,Matsnawi.
Gandhi pernah mengutip kata-katanya. Rembrandt mengabadikannya dikanvas, Muhammad Iqbal, filsuf dan
penyair Pakistan, sekali waktu pernah berdendang, “Maulana mengubah tanah menjadi madu…. Aku mabuk
oleh anggurnya; aku hidup dari napasnya.” Bahkan, Paus Yohanes XXIII, pada 1958 menuliskan pesan khusus:
“Atas nama dunia Katolik, saya menundukkan kepala penuh hormat mengenang Rumi.” Besar dalam kembara Jalaluddin dilahirkan 30 September 1207 di Balkh, kini wilayah Afganistan. Ia Putra Bahauddin Walad, ulama dan mistikus termasyhur, yang diusir dari kota Balkh tatkala ia berumur 12 tahun. Pengusiran itu buntut perbedaan pendapat antara Sultan dan Walad. Keluarga ini kemudian tinggal di Aleppo (Damaskus), dan di situ kebeliaan Jalaluddin diisi oleh guru-guru bahasa Arab yang tersohor. Tak lama di Damakus,
keluarga ini pindah ke Laranda, kota di Anatolia Tengah, atas permintaan Sultan Seljuk Alauddin Kaykobad.
Konon, Kaykobad membujuk dalam sebuah surat kepada Walad, “Kendati saya tak pernah menundukkan kepala kepada seorang pun, saya siap menjadi pelayan dan pengikut setia Anda.” Di kota ini ibu Jalaluddin,
Mu’min Khatum, meninggal dunia. Tak lama kemudian, dalam usia 18 tahun, Jalaluddin menikah. 1226, putra
pertama Jalaluddin, Sultan Walad, lahir. Setahun kemudian, keluarga ini pindah ke Konya, 100 Km dari
Laranda. Di sini, Bahauddin Walad mengajar di madrasah. 1229, anak kedua Jalaluddin, Alauddin,
lahir. Dua tahun kemudian, dalam usia 82 tahun, Bahaudin Walad meninggal dunia. Era baru pun dialami Jalaluddin. Dia menggantikan Walad, dan mengajarkan ilmu-ilmu ketuhanan tradisional, tanpa menyentuh mistik. Setahun setelah kematian ayahnya, suatu pagi, madrasahnya kedatangan tamu, Burhannuddin Muhaqiq, yang ternyata murid terkasih Walad. Dan ketika menyadari sang guru telah tiada, Muhaqiq mewariskan ilmunya pada Jalaluddin. Burhanuddin pun menggembleng muridnya dengan latihan tasawuf yang telah dimatangkan selama 4 abad terakhir oleh para sufi, dan beberapa kali meminta dia ke Damakus untuk menambah lmu. 8 tahun menggembleng, tahun 1240, Burhanuddin kembali ke Kayseri. Jalaluddin Rumi
pun menggembleng diri sendiri. Cinta adalah menari Tahun 1244, saat berusia 37 tahun, Jalaluddin sudah
berada di atas semua ulama di Konya. Ilmu yang dia timba dari kitab-kitab Persia, Arab, Turki, Yunani dan
Ibrani, membuat dia nyaris ensiklopedis. Gelar Maulana Rumi (Guru bangsa Rum) pun dia raih. Tapi, di sebuahsenja Oktober, sehabis pulang dari madrasah, seseorang yang tak dia kenal, menjegat langkahnya, dan
menanyakan satu hal. Mendengar pertanyaan itu, Rumi langsung pingsan!
Sebuah riwayat mengatakan, orang tak dikenal itu bertanya, “Siapa yang lebih agung, Muhammad Rasulullah
yang berdoa, ‘Kami tak mengenal-Mu seperti seharusnya’ atau seorang sufi Persia, Bayazid Bisthami yang
berkata, ‘Subhani, mahasuci diriku, betapa agungnya kekuasaanku’. Pertanyaan mistikus Syamsuddin Tabriz
itu mengubah hidup Rumi. Dia kemudian tak lagi terpisahkan dari Syams. Dan di bawah pengaruh Syams,
menghabiskan hari bersama-sama, dan menurut riwayat, ia menjalani periode mistik yang nyala, penuh gairah,tanpa batas, dan kini, mulai menyukai musik. Mereka selama berbulan-bulan mereka dapat bertahan hidup tanpa kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, khusuk menuju Cinta Ilahiah. Tapi hal ini tak lama. Kecemburuan warga Konya, membuat Syams pergi. Dan saat Syams kembali, warga membunuhnya. Rumi kehilangan, kehilangan terbesar yang dia gambarkan seperti kehidupan kehilangan mentari.
Tapi, suatu pagi, seorang pandai besi membuat Jalaluddin menari. Pukulan penempa besi itu,
Shalahuddin, membuat dia ekstase, dan tanpa sadar mengucapkan puisi-puisi mistis, yang berisi ketakjuban pada pengalaman syatahat. Rumi pun kemudian bersabahat dengan Shalahuddin, yang kemudian menggantikan posisi Syams. Dan era menari pun dimulai Rumi, menari sambilmemadahkan syair-syair cinta Ilahi. “Tarian para darwis itulah yang kemudian menjadi semacam bentuk
ratapan Rumi atas kehilangan Syams,” jelas Talat. Sampai meninggalnya, 17 Desember 1273, Rumi tak pernah berhenti menari, kerana dia tak pernah berhenti mencintai Allah. Tarian itu juga yang membuat
peringkatnya dalam inisiasi sufi berubah dari yang mencintai jadi yang dicintai. (Aulia A Muhammad)
~  SUARA MERDEKA
Dipetik dari http://groups.yahoo.com/group/gedongpuisi
Untuk biografi yang lebih lanjut, sila klik http://ms.wikipedia.org/wiki/Jalal_al-Din_Muhammad_Rumi





Senin, 02 April 2012

Nasehat Abu Nawas untuk Sang Sultan

Ketika Sultan Harun Ar-Rasyid menunaikan ibadah haji. Pada Saat tiba di kota Kuffah, tiba-tiba terlihat oleh Sultan, Abu Nawas yang menaiki batang kayu, berlari-larian ke sana kemari dan diikuti anak-anak dengan riang. Wajah sang Sultan mendadak menjadi ceria dibuatnya. Pandangan Mata Sang Sultan berbinar-binar karena sangat merindukan sosok Abu Nawas. Memang Abu Nawas dalam beberapa bulan terakhir meninggalkan kerajaan Baghdad sebagai bentuk protes atas ketidak-adilan dan kesombongan Sultan. Sejak kepergian Abu Nawas itulah Sultan mengalami kesepian. Tidak ada lagi orang yang diajaknya berdiskusi maupun bercanda. Karena itu Sultan sangat gembira begitu melihat sosok Abu Nawas.
Sultan Harun Ar-Rasyid kemudian bertanya kepada para pengawalnya.
“Siapa dia?” tanya Sultan.
“Dia si Abu Nawas yang gila itu,” jawab salah seorang pengawalnya.
“Coba panggil dia kemari, tanpa ada yang tahu, dan sekali lagi aku peringatkan kamu jangan berkata yang buruk lagi tentang dia, perintah Sultan Harun.
“Baiklah wahai Sultanku,” jawab pengawal.
Tidak berapa lama kemudian para pengawal berhasil membawa Abu Nawas ke hadapan Sultan. Abu Nawas diperkenankan duduk di hadapan Sultan.
“Salam bagimu wahai Abu Nawas,” sapa Sultan Harun Ar-Rasyid.
“Salam kembali wahai Amirul Mukminin,” jawab Abu Nawas.
“Kami merindukanmu wahai Abu Nawas,” kata Sultan Harun Ar Rasyid.
“Ya, tetapi aku tidak merindukan Anda semuanya,” jawab Abu Nawas dengan ketus.
Beberapa pengawal kerajaan spontan saja akan mencabut pedang dari sarungnya untuk memberikan pelajaran kepada Abu Nawas yang tak mampu menjaga perkataannya di hadapan Sultan, sang pemimpin. Akan tetapi niat tersebut dicegah sendiri oleh Sultan Harun Ar-Rasyid.
    Abu Nawas
Abu Nawas

“Wahai Abu Nawas, aku merindukan kecerdasanmu, maka berilah aku nasihat,” pinta Sultan.
“Dengan apa aku menasehatimu, inilah istana dan kuburan mereka,” kata Abu Nawas.
“Tambahkan lagi, engkau telah memberikan nasihat yang bagus,” ujar Sultan mulai bersemangat.
“Wahai Amirul Mukminin, barang siapa yang dikarunia Allah SWT dengan harta dan ketampanan, lalu ia dapat menjaga kehormatannya dan ketampanannya, serta memberikan bantuan dengan hartanya, maka ia akan ditulis dalam daftar orang-orang yang shaleh,” kata Abu Nawas.
Sultan Harun Ar-Rasyid begitu senang mendapatkan nasihat itu. Ia kemudian mengira Abu Nawas menginginkan sesuatu darinya.
“Aku telah menyuruh para pengawalku untuk membayar hutangmu,” kata Raja.
“Tidak Amirul Mukminin, kembalikan harta itu kepada yang berhak menerimanya. Bayarlah hutang diri Anda sendiri,” kata Abu Nawas.
Namun Sultan Harun tak menyerah begitu saja. Ia kemudian mempersiapkan hadiah khusus pada Abu Nawas.
“Aku telah mempersiapkan sebuah hadiah untukmu,”katanya.
“Wahai Amirul Mukminin, apakah Paduka berfikir bahwa Allah hanya memberikan karunia kepada Anda dan melupakanku,” jawab Abu Nawas yang segera pergi dari hadapan raja.
Perlakuan itu membuat sang Raja merenung sambil mengevaluasi dirinya sendiri.
Sultan Harun sadar kalau selama ini dirinya kurang adil dan berlaku sombong dengan jabatannya sehingga mudah meremehkan orang lain. Usai mendapat nasihat dari Abu Nawas, Sultan Harun berubah menjadi Sultan yang adil dan bijaksana kepada rakyatnya.
Abu Nawas memberikan nasihat berupa sindiran, namun sang Sultan tidak tersinggug, atau marah atau bahkan memenjarakan Abu Nawas. Sultan malah merenung dan terus merenungi apa gerangan kesalahan yang telah dia buat selama memimpin kerajaan. Sultan Harun ar-Rashid dan Abu Nawas.

Sumber : http://walijo.com/nasehat-abu-nawas-untuk-sang-sultan/#more-4902

Nabi Khidir Ajari Ilmu Abul Qosim al-Qusyairi

Tatkala Abul Qosim al-Qusyairi, baru meninggalkan kampung halamannya untuk menuntut ilmu ke Bukhara. sejenak ia teringat betapa pakaian yang dikenakannya terkena percikan najis saat ia bekerja membantu ibunya di rumah, ia berhenti dan berkata kepada teman seperjalanannya, “Sahabatku,sebentar aku hendak pulang ke rumah dan akan segera kembali kemari tapi engkau boleh pergi terlebih dahulu. Karena aku teringat bajuku yang najis ini, bila aku tidak menggantinya, aku takut najis ini akan mengotoriku sampai di negeri Bukhara. Kalau masih begitu keadaanku, aku khawatir ilmu-ilmu yang kupelajari dari guru kita di sana akan menjadi penutup jalan menuju hidayah Allah, sehingga aku tersesat karenanya, semoga aku dihindarkan dari hal yang sedemikian.”
Maka pulanglah Abul Qasim al-Qusyairi ke rumahnya dan mendapati ibunya berdiri di depan pintu menyambut kedatangannya dan memeluknya seraya berkata, “Alhamdulillah” karena ibunya menunggu kepulangan anak satu-satunya yang ia sayangi.
Dikisahkan, kemudian Nabi Khidir as diperintahkan Allah untuk menemui Abul Qosim al-Qusyairi, “Temuilah Abu Qosim al-Qusyairi, putera ibu yang Shalihah itu, dan ajarkanlah ilmu-ilmu yang telah kau pelajari dari Abu Hanifah kepadanya, karena dia pergi merantau di atas jalan yang direstui ibunya!”
Selanjutnya Nabi Khidir as menemui Abul Qosim al Qusyairi guna menurunkan ilmu-ilmu Fiqih. Dia berkata, ” Engkau berniat melakukan safar (sebutan dalam dunia Tasawuf bagi orang yang meninggalkan tempat kelahiran ke negeri yang jauh dengan niat menuntut ilmu) bersama temanmu untuk mencari ilmu dengan membiarkan ibumu sendirian di kampung ini. Maka biarkanlah aku akan mendatangimu setiap hari dan kau akan belajar bersamaku.”
Sejak pertemuan pertama kali antara Nabi Khidir as dengan Abul qosim itu, Khidir as datang kembali pada keesokan harinya dan hari-hari berikutnya. Demikian berlangsung selama 3 tahun.
Sesudah menyerap ilmu-ilmu dari Nabi Khidir as selama 3 tahun, selanjutnya di sepanjang hidupnya ia mampu menulis seribu Kitab yang berisikan bermacam-macam jenis ilmu..
Nabi Khidir as belajar ilmu-ilmu fiqih kepada Abu Hanifah selama 30 tahun, sedangkan Abul Qosim al-Qusyairi menyerap ilmu-ilmu tersebut hanya dalam tempo 3 tahun. Apakah karena nabi Khidir as mempunyai metode pengajaran yang efektif dengan segala kelebihan yang diberikan Allah swt atau Abul Qosim al-Qusyairi yang memang benar-benar jenius?

Sumber : http://walijo.com/nabi-khidir-dan-abul-qosim-al-qusyairi/

Mbuletisme nJombangistik

By Yahya C. Staquf at 21 April 2011 in Article


Kiyai Mustofa Bisri dan Nyai Siti Fatmah Mustofa

Telah dikisahkan tentang fenomena mbulet di Rembang yang sungguh absolut. Selain mbulet jenis itu, ada juga mbulet relatif. Yaitu, mbulet dalam hubungan sanak-keluarga atau famili (bahasa Inggris: relatives).

Kiyai Basyuni (mertua Gus Mus, paman saya) berhubungan famili dengan saya (istilah Jawa: kepernah) sebagai kakek buyut dari jalur nenek saya. Beliau menikah dengan Nyai Madliyah, sepupu (misan) ayah saya (dan Gus Mus juga) dari jalur kakek saya (Nyai Mardliyah adalah puteri Kiyai Zuhdi, kakak seayah dari kakek saya). Jadi, Nyai Siti Fatmah yang dinikahi oleh Gus Mus itu kepernah keponakan beliau sendiri (dari jalur Nyai Mardliyah) atau kepernah bibi (dari jalur Kiyai Basyuni). Mengingat prinsip persanakan Jawa bahwa perkawinan itu mengikutsertakan hubungan kepernah, maka Nyai Siti Fatmah yang dari jalur ibunya bisa saya panggil “Mbak” kemudian saya panggil “Bulik” karena menikah dengan paklik saya.

Sementara itu, dalam prinsip persanakan Jawa ini tidak ada aturan jelas, apakah status (kepernah) isteri mengikuti suami atau sebaliknya. Jadi, bisa saja saya memilih memanggil Gus Mus dengan “Mas” walaupun beliau paklik saya (karena mengikutkan statusnya kepada status isterinya). Itu juga kalau saya memandang Nyai Siti Fatmah dari jalur ibunya. Kalau dari jalur ayahnya, berarti saya panggil “Mbah”. Panggilan mana yang lebih afdlol?

Diatas segalanya, mbuletisme ternyata bukan khas Rembang, tapi boleh jadi universal. Penelitian Mahrus Husain, S.Ag. (Serondok Akehgendhenge) menemukan adanya fenomena mbulet di Jombang yang –karena sulit dicarikan terma yang pas maka– disebut saja: “mbuletisme nJombangistik”.

Kiyai Chasbullah (ayahanda Kiyai Abdul Wahab Chasbullah) mempunyai menantu bernama Bisri Syansuri. Kiyai Bisri Syansuri mempunyai menantu bernama Chasbullah. Salah seorang putra kiyai Bisri bernama Aziz. Kiyai Aziz (bin Bisri Syansuri) ini ndilalah punya menantu bernama Aziz juga (bin Masyhuri).

Pada waktu pengantin baru, dua orang Aziz (mertua dan menantu) naik becak bersama. Melihat pemandangan itu, Mbah Aman (Kiyai Amanullah Abdurrochim) langsung mbengok:

“Iku tukang becake jenenge yo Aziz pisan!” (Itu tukang becaknya bernama Aziz juga!)

Sumber :http://teronggosong.com/article/mbultisme-njombangistik

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons