Blog ini ditujukan kepada seluruh ummat Islam yang cinta kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Para Sahabat RA, Auliya', Habaib, Ulama', dan sejarah kebudayaan Islam.

Kamis, 06 September 2012

AL QUTHUB AL HABIB HAMID BIN 'ABBAS BAHASYIM ( WALI MAJEDZUB ASAL KALIMANTAN )

Di Posting Oleh Syababun Nabawi Manaqib 09:58

Beliau masyhur dikenal dengan julukan "Habib Basirih / Datuk Keramat Basirih". Begitulah orang kalimantan mengenal Beliau karena Beliau tinggal dan di makamkan di kampung Basirih (Banjarmasin-Kalimantan Selatan),Di mata orang Kalimantan Beliau adalah seorang Wali Quthub yang Waro' dan memiliki berbagai kelebihan/karomah yang luar biasa dan ajaib. Tanah makam beliau naik secara sendirinya membentuk sebuah tumpukkan gunungan kecil dan selalu tercium bau harum. Beliau memiliki sebuah kolam sumur tempat beliau mandi yang sampai sekarang masih terawat apik disekitar komplek makam beliau. Air kolam tersebut dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan memberikan banyak berkah lainnya.

(Wallahu'alam,, sungguh ALLAH SWT Maha Sempurna dengan menampakkan kekuasaannya kepada seorang Walinya).
Tak secara jelas kami mengetahui kapan beliau lahir dan sejak kapan Beliau menetap di Kalimantan dan kenapa Banjarmasin ibu kota Kalimantan Selatan jadi tempat singgah terakhir Beliau.

Nasab Al Habib Hamid:
Beliau seketurunan dengan Sunan Ampel (Surabaya).Yang mempertemukan keduanya adalah mereka sama-sama keturunan dari Waliyullah Muhammad Shohib Mirbath (keturunan generasi ke-16 dari Rosulullah SAW). Silsilah kedua Auliya ini bertemu di Alwi Ummul Faqih bin Muhammad Shohib Mirbath. Sunan Ampel dari jalur putra Alwi Ummul Faqih yang bernama Abdul Malik (yang hijrah dari Tarim, Hadramaut, Yaman ke India) sedang Habib Basirih dari jalur putra Alwi yang bernama Abdurrahman. Jika Sunan Ampel adalah keturunan ke-23 dari Rasulullah Muhammad SAW, maka Habib Basirih merupakan keturunan ke-36. Dari segi usia, Sunan Ampel lebih tua dan lebih sepuh dari Habib Basirih yang hidup di masa yang lebih muda. Habib Basirih hidup di zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Sunan Ampel hidup sekitar 400 tahun sebelum Habib Basirih

Satu versi menyebut Habib Awad masuk ke Banjar lewat Sampit, Kalteng. Keterangan anggota keluarga Bahasyim lainnya menyebut bahwa Habib Awad bermakam di Bima, Nusa Tenggara Barat. Oleh karena itu antara Bahasyim di Banjar dengan Bahasyim di Bima ada pertalian persaudaraan. Satu versi lain menyebutkan bahwa salah satu cucu Habib Awad bin Umar ada yang hijrah ke Bima dan kemudian menurunkan keluarga besar Bahasyim di Bima. Tapi sebagian besar anggota keluarga Bahasyim berpandangan bahwa Habib Awad adalah Bahasyim tertua (paling awal) yang datang ke Tanah Banjar (Lihat Mata Banua, 8 Agustus: Kisah Para Penebang Kayu Trah Bahasyim Basirih).
Selain dapat ditempuh lewat jalan darat (ada rute trayek angkutan kota/taksi kuning yang melintasi dan menuju Kubah Habib Basirih), peziarah juga dapat mengunjungi petilasan Basirih lewat jalur sungai. Belum ada biro perjalanan wisata yang menggarap rute alternatif via jalan sungai ini sebagai bagian dari paket wisatanya. Sebelum mencapai Kubah Habib Basirih, beberapa ratus meter sebelumnya terdapat pula makam ibu beliau yakni Syarifah Ra’anah. Makam Habib Basirih dan ibundanya masuk dalam daftar inventaris binaan Dinas Pariwisata Kota Banjarmasin. Keduanya digolongkan sebagai objek wisata religius (spiritual) yang layak dikunjungi. Makam Habib Abbas bin Abdullah Bahasyim, suami Syarifah Ra’anah dan ayahanda Habib Basirih justru tak diketahui keberadaannya hingga kini.

Beberapa pihak menduga makam beliau berkumpul di pemakaman habaib di Basirih seberang sungai di dekat Masjid Jami Darut Taqwa Kelurahan Basirih, Banjar Selatan. Masjid ini menurut keterangan didirikan tahun 1822 oleh H Mayasin. Pada tahun 1848 keluarga Habib Basirih pernah merehab masjid ini.Versi lain mengatakan Habib Abbas bermakam di wilayah Sungai Baru. Habbis Abbas dikenal sebagai saudagar kaya raya dan mempunyai kapal dagang. Beliau juga disebut-sebut mempunyai tanah yang cukup luas di wilayah Basirih di samping di Sungai Baru (kini nama sebuah kelurahan di sekitar Jalan A Yani dan Jalan Pekapuran).

Nama Basirih bersinar tak lepas dari sosok Habib Hamid. Beliau pernah berkhalwat (mengurung diri dan melakukan sejumlah amalan) sekian tahun di dalam sebuah rumah (gubuk) kecil tak jauh dari makamnya sekarang. Pada zaman Jepang, Habib Hamid keluar dari pertapaannya. Sejumlah kelakuan aneh beliau belakangan dipahami sebagai pekerjaan kewalian beliau menyelamatkan orang lain. Suatu kali, misalnya, dengan menggunakan gayung, Habib Hamid memindahkan air dari satu tempat ke tempat lain. Orang-orang menilai pekerjaan itu sebagai perbuatan tak bermakna. Padahal, itu adalah cara Habib Hamid menyelamatkan kapal penumpang yang nyaris karam di lautan luas. Sebab di belakang hari ada orang datang ke rumah beliau dan mengucapkan terima kasih atas pertolongan Habib Basirih waktu kapal mereka hampir karam di tengah laut.

Perbuatan Habib Hamid lainnya yang spektakuler adalah menghidupkan kambing mati. Suatu hari, seorang tetangga mengatakan kepada beliau bahwa di batang (rakitan kayu gelondongan di atas sungai yang dapat berfungsi untuk tempat mandi dsbnya) milik Habib Basirih terdapat bangkai kambing yang sudah membusuk. Bersama Habib Hamid, tetangga itu turun ke batang untuk membuktikan penglihatannya. Tetangga itu kaget ketika matanya menatap seekor kambing hidup terikat di batang Habib Hamid.Ulah Habib Hamid lainnya adalah beliau pernah duduk di atas tanggui (penutup kepala berbentuk bundar terbuat dari daun nipah) menyeberangi Sungai Basirih menengok keponakannya Habib Ahmad bin Hasan bin Alwi bin Idrus Bahasyim (Habib Batillantang).
“Waktu kecil saya pernah diberi gulungan benang layang-layang,” ujar Habib Abdul Kadir bin Ghasim bin Thaha Bahasyim, 86 tahun. Gulungan benang layang-layang itu kemudian dipahami oleh Habib Abdul Kadir sebagai perjalanan hidupnya yang sepanjang tali benang layang-layang. HabibAbdul Kadir bekerja di kapal dagang dan berlayar mengarungi berbagai penjuru wilayah pedalaman Kalimantan.Beberapa wanita tua di Basirih mengungkapkan pernah diajak orangtuanya berziarah ke Habib Basirih ketika beliau hidup untuk minta ‘berkah’. Beberapa orang tua meminta air kepada Habib Basirih dengan hajat agar anak-anak mereka pandai mengaji. Setalah diberi ‘air penenang’ anak-anak kecil mereka pun lancar membaca Kitab Suci AlQur’an.

Kisah lainnya, beberapa pria dari atas perahu melintas di depan batang Habib Basirih. Mereka mengolok-olok Habib Basirih ketika beliau sedang mandi di atas batang. Gerak-gerik Habib Basirih yang ganjil menyulut mereka mengeluarkan ucapan yang kurang pantas. Tiba-tiba, perahu mereka menabrak tebing sisi sungai dan kandas. Cerita lainnya, yang masyhur beredar di Basirih, seorang pedagang ikan berperahu menolak panggilan singgah Habib Hamid. Si pedagang berpikir tak mungkin Habib Basirih membayar dagangannya. Akibatnya, selama satu hari penuh tak satupun barang jualan pedagang ikan tersebut ada yang laku. Sementara pedagang lainnya yang menghampiri panggilan Habib Basirih, berkayuh menuju rumah lebih cepat sebab dagangannya hari itu tak bersisa.

Habib Hamid banyak mengungkapkan sesuatu dengan bahasa perlambang (isyarat). Hanya segelintir orang yang paham dengan perkataannya. Suatu hari datang seorang Jepang menemui Habib Basirih. Si Jepang kemudian berjanji setelah urusannya di Makasar selesai akan kembali membawa Habib Basirih ke rumah sakit jiwa. “Pesawat orang Jepang itu jatuh dalam perjalanan ke Makassar,” ujar Syarifah Khadijah binti Habib Hasan Bahasyim, 70 tahun, cucu Habib Basirih.“Selesai berkhalwat di sebuah rumah kecil, Habib Basirih naik ke rumah ini,” ujar Syarifah Khadijah. Kenang-kenangan fisik yang tersisa dari Habib Basirih yang bisa disaksikan adalah foto beliau bersama anak cucunya pada tahun 1949, beberapa waktu sebelum beliau berpulang ke rahmatullah. “Waktu ditawari difoto Habib Basirih cuma tersenyum, menolak tidak, mengiyakan tidak. Tukang fotonya namanya Beng Kiang,” tutur Syarifah Khodijah.

Seperti diketahui, Habib Hamid mempunyai 4 anak, 3 putri dan 1 putra. Saya tidak membicarakan ke 3 putri beliau, karena otomatis garis keturunan beliau terputus (maksudnya tidak menurunkan fam Bahasyim dari habib Hamid lagi kepada anak2 nya)

Dari 1 putra beliau yang bernama Habib Hasan Bahasyim mendapat 1 anak laki-laki bernama Habib 'Idrus Bahasyim dan beberapa anak perempuan (termasuk Syarifah Khodijah Bahasyim yang masih hidup)

Alm.Habib 'Idrus (satu-satunya cucu laki-laki habib Hamid) kemudian kawin 2 kali dengan anak anak sbb :

Dari Syarifah Raguan Baragbah (istri pertama) ;
1. Syarifah Fizria Maryam (Banjarbaru)
2. Habib Fitri Hamid (kubah Basirih)
3. Habib Fathurrachman Bahasyim (Banjarmasin)
4. Habib Fadil Bahasyim (Samarinda)

Dari Syarifah Hani Bilfagih (istri kedua)
1. Habib 'Ali Bahasyim (Jakarta)
2. Syarifah Zuraida Bahasyim (Banjarmasin)
3. Habib Fuad Bahasyim (Banjarmasin)


Jumlah pengunjung di Kubah Habib Basirih walau belum dapat dibandingkan dengan makam Sunan Ampel di Ampel, Surabaya tak mengurangi ketokohan beliau. Sunan Ampel adalah tokoh utama Wali Songo, sebuah dewan (forum) ulama kelas wahid di zaman Kesultanan Demak. Dari segi usia, Sunan Ampel lebih tua dan lebih sepuh dari Habib Basirih yang hidup di masa yang lebih muda. Habib Basirih hidup di zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Sunan Ampel hidup sekitar 400 tahun sebelum Habib Basirih. Yang mempertemukan keduanya adalah mereka sama-sama keturunan dari Waliyullah Muhammad Shahib Mirbath (keturunan generasi ke-16 dari Rasulullah Muhammad SAW). Silsilah kedua tokoh ini bertemu di Alwi Umul Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath. Sunan Ampel dari jalur putra Alwi Umul Faqih yang bernama Abdul Malik (yang hijrah dari Tarim, Hadramaut, Yaman ke India) sedang Habib Basirih dari jalur putra Alwi yang bernama Abdurrahman. Jika Sunan Ampel adalah keturunan ke-23 dari Rasulullah Muhammad SAW, maka Habib Basirih merupakan keturunan ke-36.

NASAB HABIB BASIRIH adalah sebagai berikut: Hamid bin Abbas bin Abdullah bin Husin bin Awad bin Umar bin Ahmad bin Syekh bin Ahmad bin Abdullah bin Aqil bin Alwi bin Muhammad bin Hasyim bin Abdullah bin Ahmad bin Alwi bin Ahmad AlFaqih bin Abdurrahman bin Alwi Umul Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath.

Leluhur Bahasyim di Banjar adalah Habib Awad bin Umar. Habib Awad bin Umar adalah keturunan ke-32 dari Rasulullah Muhammad SAW. Tak ada keterangan jelas perihal asal usul dan di mana Habib Awad tinggal selama hidupnya. Apakah beliau kelahiran Hadramaut (Yaman) atau ada pendahulunya yang berdiam di salah satu daerah di negeri ini dan kemudian hijrah ke nusantara.
Satu versi menyebut Habib Awad masuk ke Banjar lewat Sampit, Kalteng. Keterangan anggota keluarga Bahasyim lainnya menyebut bahwa Habib Awad bermakam di Bima, Nusa Tenggara Barat. Oleh karena itu antara Bahasyim di Banjar dengan Bahasyim di Bima ada pertalian persaudaraan. Satu versi lain menyebutkan bahwa salah satu cucu Habib Awad bin Umar ada yang hijrah ke Bima dan kemudian menurunkan keluarga besar Bahasyim di Bima. Tapi sebagian besar anggota keluarga Bahasyim berpandangan bahwa Habib Awad adalah Bahasyim tertua (paling awal) yang datang ke Tanah Banjar (Lihat Mata Banua, 8 Agustus: Kisah Para Penebang Kayu Trah Bahasyim Basirih).
Selain dapat ditempuh lewat jalan darat (ada rute trayek angkutan kota/taksi kuning yang melintasi dan menuju Kubah Habib Basirih), peziarah juga dapat mengunjungi petilasan Basirih lewat jalur sungai. Belum ada biro perjalanan wisata yang menggarap rute alternatif via jalan sungai ini sebagai bagian dari paket wisatanya. Sebelum mencapai Kubah Habib Basirih, beberapa ratus meter sebelumnya terdapat pula makam ibu beliau yakni Syarifah Ra’anah. Makam Habib Basirih dan ibundanya masuk dalam daftar inventaris binaan Dinas Pariwisata Kota Banjarmasin. Keduanya digolongkan sebagai objek wisata religius (spiritual) yang layak dikunjungi. Makam Habib Abbas bin Abdullah Bahasyim, suami Syarifah Ra’anah dan ayahanda Habib Basirih justru tak diketahui keberadaannya hingga kini.
Beberapa pihak menduga makam beliau berkumpul di pemakaman habaib di Basirih seberang sungai di dekat Masjid Jami Darut Taqwa Kelurahan Basirih, Banjar Selatan. Masjid ini menurut keterangan didirikan tahun 1822 oleh H Mayasin. Pada tahun 1848 keluarga Habib Basirih pernah merehab masjid ini.Versi lain mengatakan Habib Abbas bermakam di wilayah Sungai Baru. Habbis Abbas dikenal sebagai saudagar kaya raya dan mempunyai kapal dagang. Beliau juga disebut-sebut mempunyai tanah yang cukup luas di wilayah Basirih di samping di Sungai Baru (kini nama sebuah kelurahan di sekitar Jalan A Yani dan Jalan Pekapuran).
Nama Basirih bersinar tak lepas dari sosok Habib Hamid. Beliau pernah berkhalwat (mengurung diri dan melakukan sejumlah amalan) sekian tahun di dalam sebuah rumah (gubuk) kecil tak jauh dari makamnya sekarang. Pada zaman Jepang, Habib Hamid keluar dari pertapaannya. Sejumlah kelakuan aneh beliau belakangan dipahami sebagai pekerjaan kewalian beliau menyelamatkan orang lain. Suatu kali, misalnya, dengan menggunakan gayung, Habib Hamid memindahkan air dari satu tempat ke tempat lain. Orang-orang menilai pekerjaan itu sebagai perbuatan tak bermakna. Padahal, itu adalah cara Habib Hamid menyelamatkan kapal penumpang yang nyaris karam di lautan luas. Sebab di belakang hari ada orang datang ke rumah beliau dan mengucapkan terima kasih atas pertolongan Habib Basirih waktu kapal mereka hampir karam di tengah laut.
Perbuatan Habib Hamid lainnya yang spektakuler adalah menghidupkan kambing mati. Suatu hari, seorang tetangga mengatakan kepada beliau bahwa di batang (rakitan kayu gelondongan di atas sungai yang dapat berfungsi untuk tempat mandi dsbnya) milik Habib Basirih terdapat bangkai kambing yang sudah membusuk. Bersama Habib Hamid, tetangga itu turun ke batang untuk membuktikan penglihatannya. Tetangga itu kaget ketika matanya menatap seekor kambing hidup terikat di batang Habib Hamid.Ulah Habib Hamid lainnya adalah beliau pernah duduk di atas tanggui (penutup kepala berbentuk bundar terbuat dari daun nipah) menyeberangi Sungai Basirih menengok keponakannya Habib Ahmad bin Hasan bin Alwi bin Idrus Bahasyim (Habib Batillantang).
“Waktu kecil saya pernah diberi gulungan benang layang-layang,” ujar Habib Abdul Kadir bin Ghasim bin Thaha Bahasyim, 86 tahun. Gulungan benang layang-layang itu kemudian dipahami oleh Habib Abdul Kadir sebagai perjalanan hidupnya yang sepanjang tali benang layang-layang. HabibAbdul Kadir bekerja di kapal dagang dan berlayar mengarungi berbagai penjuru wilayah pedalaman Kalimantan.Beberapa wanita tua di Basirih mengungkapkan pernah diajak orangtuanya berziarah ke Habib Basirih ketika beliau hidup untuk minta ‘berkah’. Beberapa orang tua meminta air kepada Habib Basirih dengan hajat agar anak-anak mereka pandai mengaji. Setalah diberi ‘air penenang’ anak-anak kecil mereka pun lancar membaca Kitab Suci AlQur’an.
Kisah lainnya, beberapa pria dari atas perahu melintas di depan batang Habib Basirih. Mereka mengolok-olok Habib Basirih ketika beliau sedang mandi di atas batang. Gerak-gerik Habib Basirih yang ganjil menyulut mereka mengeluarkan ucapan yang kurang pantas. Tiba-tiba, perahu mereka menabrak tebing sisi sungai dan kandas. Cerita lainnya, yang masyhur beredar di Basirih, seorang pedagang ikan berperahu menolak panggilan singgah Habib Hamid. Si pedagang berpikir tak mungkin Habib Basirih membayar dagangannya. Akibatnya, selama satu hari penuh tak satupun barang jualan pedagang ikan tersebut ada yang laku. Sementara pedagang lainnya yang menghampiri panggilan Habib Basirih, berkayuh menuju rumah lebih cepat sebab dagangannya hari itu tak bersisa.
Habib Hamid banyak mengungkapkan sesuatu dengan bahasa perlambang (isyarat). Hanya segelintir orang yang paham dengan perkataannya. Suatu hari datang seorang Jepang menemui Habib Basirih. Si Jepang kemudian berjanji setelah urusannya di Makasar selesai akan kembali membawa Habib Basirih ke rumah sakit jiwa. “Pesawat orang Jepang itu jatuh dalam perjalanan ke Makassar,” ujar Syarifah Khadijah binti Habib Hasan Bahasyim, 70 tahun, cucu Habib Basirih.“Selesai berkhalwat di sebuah rumah kecil, Habib Basirih naik ke rumah ini,” ujar Syarifah Khadijah. Kenang-kenangan fisik yang tersisa dari Habib Basirih yang bisa disaksikan adalah foto beliau bersama anak cucunya pada tahun 1949, beberapa waktu sebelum beliau berpulang ke rahmatullah. “Waktu ditawari difoto Habib Basirih cuma tersenyum, menolak tidak, mengiyakan tidak. Tukang fotonya namanya Beng Kiang,” tutur Syarifah Khadidjah


Sumber : http://chemot-marley.blogspot.com/2012/08/jumlah-pengunjung-di-kubah-habib.html

KH. Mas Abdurahman (Pendiri Mathla'ul Anwar)


KH. Mas Abdurahman adalah putra dari K. Mas Djamal Al-Djanakawi yang lahir pada tahun 1868 di Kampung Janaka, tepatnya di lereng Gunung Haseupan di Distrik Labuan Kawedanan Caringin Kabupaten Pandeglang Banten.
Gelar "Mas" merupakan gelar kehormatan yang diberikan turun temurun yang berasal dari nama seorang senopati Pajajaran bernama Mas Jong dan Agus Ju. Mereka adalah tangan kanan raja Pajajaran bernama Pucuk Umun. Ketika Kerajaan Pajajaran ditaklukan oleh Sultan Maulana Hasanudin Putra Syarief Hidayatullah Sultan Cirebon, Pucuk Umun lari ke selatan, sedangkan Senopati Mas Jong dan Agus Ju menyerahkan diri kepada Sultan Maulana Hasanudin. Kemudian Mas Jong dan Agus Ju memeluk agama Islam serta mendapat kedudukanpenting sebagai senopati Kasultanan Banten dengan gelar kehormatan Ratu Bagus Ju dan Kimas Jong. Pada masa keruntuhan kasultanan Banten, para ulama/kyai dan guru agama keluarga besar kasultanan Banten meninggalkan istana masuk ke daerah pedalaman. Mereka menjauhkan diri dari keramaian kota, karena Kesultanan sudah berubah menjadi Keresidenan Banten yang dipimpin oleh seorang Residen Bangsa Belanda. Dengan berakhirnya kekuasaan Sultan Banten sebagai pusat dakwah islam, Para Ulama/Kiai, guru agama yang semula bertugas secara resmi sabagi perangkat Kesultanan, kini menjadi orang buronan yang selalu diawasi dan di kejar-kejar dianggap sabagai sumber malapetaka dan pemberontak terhadap pemerintahan Belanda, termasuk keturunan Mas Jong dan Agus Ju pergi mininggalkan istana Kesultanan masuk ke pedalaman di Lereng Gunung Haseupan tepatnya dusun Janaka dalam rangka menusun kembali kekuatan untuk bergerilya melawan Belanda, termasuk di antaranya K. Mas Djamal Al Djanakawi ayahnya KH. Mas Abdurahman.
P E N D I D I K A N
Walaupun K. Mas Djamal Al Djanakawi tinggal di sebuah dusun terpencil yang sukar di jangkau, namun ia memiliki perhatian dan motivasi yang tinggi terhadap masa depan putranya. Ia berfalsafah pohon pisang “bahwa ia tidak ingin meniggal dunia sebelum putranya berhasil atau memiliki bekal ilmu pengetahuan yang memadai” .
Sebagaimana pohon pisang walaupun ditebang beberapa kali, tetap akan terus mengeluarkan tunasnya, setelah menghasilkan buah, baru ia rela untuk mati. Dengan dasr ilmu pengetahuan yang didapat dari ayahnya sendiri terutama pengetahuan dasar baca Al-Qur’an, selanjutnya KH. Mas Abdurahman dididik oleh orang lain untuk mendapatkan pendidikan lanjutan. Diantaranya KH. Shahib di Kampung Kadupinang. Karena jaraknya cukup jauh, sedangkan alat transportasi belum ada., satu-satunya jalan adalah di gendong ayahnya. Setelah cukup dewasa. KH Mas Abdurahman dititipkan di sebuah Pondok Pesantren Al-Qur’an yang berada di daerah Serang dibawah bimbingan KH. Ma’mun yaitu seorang guru spesialis dalam bidang Al-Qur’an. Setelah puas melihat putra-nya dapat menyelesaikan pendidikan di pesantern Al-Qur’an, beliau berangkat ke Tanah Suci menunaikan ibadah Haji, sehingga ia Wafat. Tinggalah KH. Mas Abdurahman yang di rungdung duka, ditinggalkan ayah tercinta tempat mengadu dan harapan pergi untuk selama-lamanya, tetapi peristwa ini tidak melarutkan dalam kedukaan
MENUNAIKAN IBADAH HAJI
Pada tahun 1905 berangkatlah KH. Mas Abdurahman ke Mekah walaupun dengan bekal hanya cukup untuk ongkos pergi saja, tetapi dengan tekad dan kemauan kuat beliau berangkat dengan tujuan disamping menunaikan ibadah haji, ia juga berniat bermukim untuk menuntut ilmu agama sekaligus berziarah ke pusara ayahandanya walaupuhn tidak jelas dimana kuburannya. Karena kuburan di sana tidak meiliki tanda yang tertulis dalam batu nisan seperti di Indonesia, namun ia merasa puas dapat berziarah secara dekat.
Semua hambatan dan rintangan telah dihadapinya, baik uang saku yang terbatas maupun kondisi alam di Mekkah yang tidak sesuai dengan kondisi alam Indonesia. Negeri Mekkah pada waktu itu tergolong negeri yang masih miskin, tidak mempunyai sumber ekonomi tetap. Satu-satunya devisa yang ada adalah dari datangnya musim haji, saat itulah penduduk negeri Mekkah mendpat penghasilan untuk bekal selama satu tahun sampai datangnya musim haji berikutnya. Namun karena tekad dan keingin beliau sangat kuat tertanam dalam hatinya, segala hambatan dan rintangan serta kesusahannya dalam menuntut ilmu dapat di atasi. Selama diperantauan beliau tidak meiliki pemondokan yang tetap, tempatnya selama bermukim adalah di Masjidil Haram, baik tidur maupun belajar. Pakaianpun hanya yang melekat di badannya, apabila dicuci ditunggunya sampai kering. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya kadang-kadang ia pergi ke luar kota mencari kayu bakar untuk dijual dan hasilnya ditukar dengan beras. Karena sulitnya mendapatkan bahan makanan, beras tersebut dicampur dengan pasir , satu sendok beras berbanding satu liter pasir ditambah air yang banyak agar dikala makan dipilihlah butiran nasi satu persatu, perut jadi kenyang akibat terlalu lama memilah-milah beras dan pasir sehingga timbulnya rasa kesal memilih butiran nasi tersebut. Hal ini dilakukan hampir setiap hari selama sepuluh tahun beliau bermukim, kecuali jika musim haji tiba, beliau banyak mendapat penghasilan dari hasil mengantar jama’ah haji yang ziarah
Seluruh pelajaran diikutinya dengan penuh perhatian dan ketekunan walau sarana serta peralatan menulis tidak lengkap, kebanyakan cukup hanya mendengarkan. Tetapi keberhasilan dan kemahirannya dalam menyerap ilmu pengetahuan khususnya bidang agama sangat mendalaminya, diantaranya ilmu bahasa Arab, Fiqh, Usul Fiqh, Nahu, Shorof, Balaghah, Tafsir, Ilmu Ushul, Tasawuf dll
Diantara guru- guru beliau yang berasal dari Indonesia yakni, Syech Nawawi Al-Bantani, berasal dari Tanahara yang terkenal dengan kitab tafsirnya dan Syech Achmad Chotib yang berasal dari Minangkabau yang terkenal dengan Ilmu Tasyawufnya.
Dengan keberhasilannya menguasai ilmu pengetahuan agama, KH. Mas Abdurahman direncanakan diangkat sebagai BADAK (asisten dosen) pengajian di Masjidil Haram, tetapi tidak berlanjut karena adanya permohonan dari para Ulama/Kyai Banten (Menes) agar beliau segera kemabli ke tanah air.
Selama di Tanah suci beliau belajar bersama dengan KH. Hasyim Asy’hari dari Surabaya yang kemudian dikenal sebagai pendiri Nahdlatul ‘Ulama tahun 1926 dan KH. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah tahun 1912
KEMBALI KE TANAH AIR
Sejak para ulama/kyai meninggalkan kesultanan, masyarakat umumnya jarang sekali memperoleh kesempatan belajar menuntut ilmu agama (Islam) secara memadai. Untungnya masyarakat Banten telah memiliki jiwa keislaman yang tertancap secara mendalam, sehingga setiap keluarga merasa berkewajiban mewariskan ilmu agama secara turun temurun sekalipun masih berbaur dengan takhayul, ibadah dan syari’ah dengan bid’ah dan khurafatnya.
Secara umum kondisi masyarakat Banten khususnya dari segi pendidikan memang sangat memprihatinkan, sekolah – sekolah yang dibangun oleh penjajah Belanda tidak disiapkan untuk pribumi, hanya golongan tertentu yang bisa masuk disekolah tersebut. Atas keprihatinan tersebut, para kyai mengadakan musyawarah bertempat di Kampung Kananga dipimpin oleh KH. Entol Mohammad Yasin dan KH. Tb. Mohammad Sholeh serta ulama-ulama di sekitar Menes. Akhirnya musyawarah tersebut mengambil keputusan untyuk memanggil pulang seorang pemuda bernama KH. Mas Abdurahman yang sedang belajar di Mekkah Al Mukaromah. Ia Tengah menimba ilmu Islam kepada seorang guru besar yang berasal dari Banten yakbi Syech Mohammad Nawawi Al-Bantani yang telah diakui oleh seluruh dunia Islam tentang kebesarannya sebagai seorang faqih dengan karya-karya tulisnya dalam berbagai cabang ilmu Islam. Dengan adanya keputusan tersebut, KH. Entol Mohammad Yasin segera mengirim surat beserta ongkos pulang untuk KH.Mas Abdurahman yang dititipkan melalui seseorang yang akan menunaikan ibadah haji. Sebelumnya ia menolak permintaan pulang tersebut dan berat hati meninggalkan tanah suci. Dengan menumpang kapal semprong milik Kongsi KPM beliau akhirnya KH. MAs Abdurahman kembali ke tanah air yang sebelumnya beristirahat terlebih dahulu selama tiga hari di makan Nabi Ibrahim.
KH. Mas Abdurahman bin K. MAs Jamal Al-Djanakawi kembali dari tanah suci Mekkah sekitar Tahun 1910 M. Dengan kehadiran kyai muda yang penuh semangat untuk berjuang mengadakan pembaharuan Islam bersama-sama kyai-kyai sepuh, dapatlah diharapkan untuk membawa umat Islam keluar dari alam gelap gulita ke jalan hidup yang terang benderang. Sekembalinya dari tanah suci, KH. Mas Abdurahman dinikahkan dengan putrid KH.Tb. Mohammad Sholeh yakni Nyi. Enong. Selang beberapa bulan, Nyi enong beserta ibundanya diberangkatkan untuk menunaikan ibdah haji. Namun nasib malang tak dapat dihindarkan, sesampainya di pelabuhan Tanjung Priok, Nyi Enong jatuh sakit dan maut merenggutnya untuk kembali ke Illahi Robbi. Urunglah niat ibundanyapun tak jadi berangkat. Tragedi ini adalah suatu ujian bagi KH. Mas Abdurahman untuk selalu tabah dan sabar dalam mendekatkan diri kepada sang penciptaNya.
Sepeninggal putrunya, KH. Tb. Mohammad Sholeh kedatangan seorang saudagar Menes yang terkenal dimasanya bernama H. Alimemohon untuk menjodohkan putrinya bernama Aminah dengan KH. Mas Abudrahman. Kiranya jodoh berada ditangan Allah, pernikahanpun telah terlaksana atas IrodatNya
BERDIRINYA MATHLA’UL ANWAR
Langkah pertama yang dilakukan KH. Mas Abdurahman dismaping mengadakan pengajian dan tabliq ke berbagai tempat, juga menyelenggarakan pendidikan pondok pesantren. Dengan segala keterbatasannya, pendidikan pondok pesantren dirasakan kurang sistematis, baik dalam hal sarana, dana, manajemen maupun kader mubaliq kurang dapat dihasilan. Ditambah pula dengan kondisi yang kurang aman dari berbagai pengawasan oleh Pemerintah Belanda. Maka para kyai mengadakan musyawarah di antaranya KH. Entol Mohamad Yasin sebagai kyai yang tergolong intelektual, beliau cenderung membentuk pendidikan sistem madrasah dan hl ini sependapat dengan KH. Mas Abdurahman. Beranjak dari sini, akhirnya pertemuan melahirkan kata sepakat untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang dikelola dan dan diasuh secara jema’ah dengan mengkoordinasikanberbagai disiplin ilmu terutama ilmu Islam yang dianggap merupakan kebutuhan yang mendesak. Lembaga pendidikan tersebut bukan lagi bersifat tradisional seperti pondok pesantren yang telah ada, namun harus ditingkatkan menjadi bentuk madrasah. Untuk mencapai tujuan luhur ini sudah tentu dibutuhkan tenaga ahli dalam bidangnya. Dari sekian banyak nama madrasah yang diajukan, maka musyawarah memutuskan bahwa pemberian nama lembaga pendidikan diserahkan kepada KH. Mas Abdurahman untuk melakukan “istikhoroh”. Dari hasil istikhoroh tersebut maka lahirlah nama “ MATHLA’UL ANWAR” yang mempunyai makna “ TERBITNYA CAHAYA” pada tanggal 10 Ramadhan 1334 H bertepatan dengan Tanggal 10 Juli 1916 M yang ditetapkan sebagai tanggal lahirnya Organisasi Mathla’ul Anwar. Sebagi mudir atau direktur adalah KH. Mas Abdurahman dengan presiden bistirnya KH. Entol Mohammad Yasin dari Kampung Kaduhawuk (Menes) serta dibantu oleh sejumlah kyai dan tokoh masyarakat sekitar Menes. Unutk sementara kegiatan belajar mengajar diselenggarakan di rumah KH. Mustaghfiri seorang dermawan Menes yang bersedia rumahnya digunakan untuk tempat belajar mengajar. Selanjutnya dengan modal wakaf tanah dari Ki Demang Entol Djasudin yang terletak di pinggir jalan raya, dibangunlah sebuah gedung madrasah dengan cara gotong royong oleh seluruh masyarakat Menes pada tahun 1920. Bangunan pertama ini berukuran seluas 1000 m2 (20 m x 50 m) yang samapi saat ini masih berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan mulai dari TK sampai Madrasah Aliyah (sederajat SMA). Gedung ini tidak lain adalah pusat perguruan Mathla’ul Anwar yang terletak di Kota Menes Pandeglang. Dari madrasah inilah mulai dihasilkan kader-kader mubaligh serta kyai dan ulama Mathla’ul Anwar ayng kemudian bergerak menyebar luaskan Mathla’ul Anwar keluar daerah pandeglang seperti ke Kabupaten Lebak, Serang, Tangerang, Bogor, Karawang sampai ke residenan Lampung. PAda Tahun 1936 jumlah madrasah MAthla’ul Anwar telah mencapai 40 madrasah yang tersebar di 7 daerah tersebut. Perhatian masyarakat terhadap Mathla’ul Anwar tidak lagi terbatas dari kalangan pelajar, tetapi kaum intelektualpun mulai berpartisipasi aktif. Dengan proses perkembangannya sangat pesat, maka timbulah gagasan-gagasan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas perkembangan organisasinya baik bersifat teknis pedagogis maupun secara administratif organisasi dan keanggotaannya. Maka pada Tahun 1936 diadakan kongres pertama Mathla’ul Anwar dengan menghasilkan keputusan-keptusan penting diantaranya :
1. Mengesahkan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang meliputi : dikukuhkannya Nama, Waktu dan Tempat lahirnya Mathla’ul Anwar berdasarkan Islam sepanjang tuntunan Ahli Sunnah Wal Jama’ah yang bersumberkan Al-Qur’an, Al-Hadits, Al-Ijma dan Al-Qiyas
2. Menetapkan susunan Pengurus Besar (Hoofd Bestuur) antara lain :
a. KH. Entol Mohammad Yasin sebagai Ketua Umum (Presiden)
b. KH.. Abdulmukti sebagai Wakil Ketua (Vice Presiden)
c. E. Ismail sebagai Sekretaris
Untuk terlaksananya rencana pelajaran dengan baik dan sesuai dengan ketentuan, maka diangkatlah seorang Inspektur (pengawas) yang berkedudukan di Pusat. Jabatan ini diamanatkan kepada KH. Mas Abdurahman samapi beliau wafat pada Tahun 1943 M
Para Ulama dan Kyai yang termasuk pendiri Mathla’ul Anwar selain KH. Mas Abdurahman, KH. Entol Mohammad Yasin dan KH. Tb.Mohammad Sholeh juga diantaranya KH. Sulaeman, Kyai Daud, KH.Abdul Mukti, Kyai Syaifudin, Kyai Rusdi, E. Dawawi, E. Djasudin, turut pula golongan muda seperti E. Ismail dll. Perlu dicatat bahwa KH.Mas Abdurahman dan KH.Entol Mohammad Yasin merupakan “Dwi Tunggal”
Adapun ulama dan kyai semasa dan satu generasi dengan KH. MAs Abdurahman diantaranya : Kyai Asnawi (Caringin), Kyai Tegal, Kyai Sugiri (Mandalawangi), Kyai Ruyani (Kadupinang), Kyai Mansyur (Jakarta)
Generasi dan murid – murid pertama yang menjadi pejuang dan penerus Mathla’ul Anwar antara lain :
  1. KH. Mohammad Ra’is
  2. KH. Abdul Latif
  3. KH. Syafei
  4. KH. Uwes Abubakar
  5. KH. Syidik
  6. KH. M. Yunan
  7. KH.Hudori
  8. KH. Achad Suhaemi
  9. KH. Suhaemi
  10. K.Tb. Achmad
  11. KH. Moch. Ichsan
Untuk memudahkan dalam mempelajari pengetahuan agama, KH. Mas Abdurahman banyak menyusun karya-karya tulis dan kitab-kitabnya yang disusun dalam bahasa sunda diantaranya :
  1. Tajwid
  2. Tauhid
  3. Nahu Ajurumiyah jilid I, II, dan III
  4. Syaraf Taqlif
  5. Ilmu Balaghah/Bayan
  6. Djawa’iz
  7. Tauhfah
  8. Munhajulqawin
Fatwa dan pandangan KH. Mas Abdurahman terhadap pemerintah colonial Belanda adalah kafir, menerima gaji dari dari pemerintah colonial Belanda adalah haram, sampai – sampai anaknyapuntidak bolehmasuk sekolah yang didirikan oleh kolonial Belanda. Satu lagi fatwanya, jika seseorang dinikahkan oleh Naib/onder maka dianggap tidak syah dan harus dinikahkan kembali oleh kyai yang bukan pegawai colonial Belanda
(disusun dari berbagai sumber dari sejarah KH. Mas Abdurahman)

 http://yudihendriawan.blogspot.com/2009/11/kh-mas-abdurahman-pendiri-mathlaul.html

BIOGRAFI SYEKH ISMAIL UTSMAN ZEIN AL-YAMANI (AYAHANDA MUHAMMMAD BIN ISMAIL AL-YAMANI) FIGUR ULAMA YANG KONSISTEN TERHADAP MANAJEMEN WAKTU


Syekh Ismail Usman Az-Zein termasuk salah satu ulama’ yang Alim sekaligus Allamah pada zamannya. Kemasyhuran dan kebesaran beliau di mata para ulama begitu tinggi dan terkenal sampai ke Mesir, Yaman, Malaysia, Brunei Darussalam dan Indonesia, sehingga tak ayal lagi kalau banyak santri dan murid beliau menjadi ulama’ besar, sebagai penerus perjuangannya yang tidak lain hanya untuk Izzil Islam wal muslimien.
Nama lengkap beliau adalah Ismail Bin Utsman Bin Ali Bin Salim dari jalur ayah, sedangkan dari jalur ibu, Ismail Bin Layla binti Umar Bin Ali Bin Salim. Jadi ayah dan ibu beliau masih ada ikatan keluarga sepupu. Adapun Az-zein adalah fam yang diambil dari nama kakek beliau yang ketiga belas yaitu syekh Zain Bin Ismail al-Hadhromi, Salah satu ulama’ Fiqh yang terkenal dalam madzhab Syafi’ie.
Banyak ulama’ Syiria, Mesir dan Yaman mengutip pendapat beliau di dalam karya-karya mereka. Hal inilah yang menunjukkan bahwa beliau adalah ulama’ yang alim sekaligus allamah. Begitu juga beliau adalah salah satu waliyullah dengan banyak memiliki karomah dan keistimewaan serta ahli ibadah. Dari keterangan tersebut dapatlah diketahui bahwa Syekh Ismail Usman Zein Al-Yamani adalah keturunan orang alim dan waliyullah. Dan menurut salah satu riwayat, beliau masih keturunan Saif Bin ziyadzan yang notabene adalah raja di Yaman sebelum Rasulullah SAW diutus sebagai nabi.
    KELAHIRAN BELIU
Beliau lahir pada bulan Rabiul Awwal Tahun 1352 H di kota Dhohi salah satu kota di Yaman dan di tempat inilah yaitu Syekh Ismail Al-Hadromi dan Sayid Ahmad bin Isa Al-Muhajir dikebumikan. Adalah merupakan salah satu kelebihan dari kota Dhohi ini adalah adanya cahaya yang selau bersinar, baik siang hari ataupun malam hari, sehingga apabila ada penguburan jenazah di malam hari biarpun tanpa sinar rembulan tidak membutuhkan penerang lagi karena adanya cahaya tersebut. Terlepas dari keajaiban itu semua kota ini dikenal sebagai kota yang sebagian besar penduduknya hafal Al-Qur’an di luar kepala.
Syekh Ismail disamping kaya dengan ilmu beliau juga kaya akan saudara karena beliau sendiri memiliki 13 saudara, namun semua meninggal dimasa ayah beliau masih hidup kecuali beliau sendiri dan adiknya yaitu Syekh Muhammad bin Usman. Ayah beliau sangat optimis sekali bahwa kelak Ismail kecil akan menjadi orang besar sekaligus ulama’ kenamaan. Oleh karena itu beliau selalu dijaga dan dibawa kemanapun ayahnya pergi, dengan tujuan supaya tidak menghabiskan waktu dengan bermain. Acapkali ayah beliau meminta do’a kepada orang yang alim dan sholeh semata-mata untuk mendapatkan barokah dari orang tersebut.
Dari itulah sosok Ismail kecil berbeda dengan teman sebayanya. Pada tahun 1366 H ayah beliau wafat, ketika itu Ismail kecil masih berumur 14 tahun, namun dalam usia yang masih belia ini, Ismail kecil telah menghafal sekaligus memahami beberapa ilmu dan kitab, diantaranya adalah Ilmu Fiqh dan Nahwu serta kitab Safinah, bafadhol, Matan Jurmiyah, Aqidatul Awwam dan Dzurrotul-yatimah. Setelah ayah Ismail kecil wafat, beliau meneruskan studinya di madrasah hukumiyah al-Itbtidaiyyah dan dalam kurun 4 tahun ini, Ismail kecil terkenal dengan kepintaran dan kecerdasannya sehingga dia selalu menjadi bintang pelajar di madrasah itu.
Dengan prestasi inilah guru-gurunya merasa bangga dan memuji kepintaran serta kecerdasannya. Setelah menamatkan pendidikannya di madrasah tersebut, Ismail kecil melanjutkan belajarnya kepada ulama-ulama yang ada di kota Dhohi’ tersebut secara menyeluruh, beliau belajar kitab yang lebih luas referensinya serta berguru kepada syekh yang lebih alim baik yang berasal dari kota tersebut maupun kepada ulama' pendatang.
Walaupun beliau sendiri termasuk santri yang yunior tetapi beliau tidak pernah minder. Beliau berani bergabung dengan yang lebih senior walaupun acapkali beliau dpandang sebelah mata, sehingga pada akhirnya beliau menjadi orang yang lebih pintar dan paling paham diantara mereka. Apabila salah satu dari mereka tidak mengerti atau kurang paham, beliau selalu menjadi rujukan di dalam mudzakkaroh ataupun diskusi-diskusi.
Saking cinta dan semangatnya di dalam belajar, beliau banyak menghafalkan kitab-kitab yang menjadi muqorror dalam halaqoh ilmiyah serta sangat antusias dalam memperhatikan penjelasan-penjelasan gurunya, sehingga pada akhirnya beliau banyak hafal kitab-kitab dasar di dalam bidang Fiqh, Nahwu, Shorrof, Tauhid, Faroid dan lain sebagainya. Dalam kurun waktu 5 tahun atau sekitar 19 tahun dari umur beliau, beliau sudah bisa memberikan fatwa dan menjadi rujukan ulama’-ulama’ Yaman pada waktu itu. Dan sejak saat itulah beliau tidak pernah melalaikan waktu sedikitpun. Beliau banyak memfokuskan diri dalam belajar dan memahami semua ilmu yang beliau pelajari.
Diantara kebiasaan beliau yang sangat mengagumkan adalah beliau termasuk orang yang sangat teliti dan telaten dalam mempelajari kitab-kitab yang beliau pelajari dari gurunya serta memahami semua isinya sampai ke akar-akarnya. Beliau juga tidak pernah lepas dari wudlu’. Kegiatan beliau dalam berwudlu’ hanya satu kali di dalam satu hari karena ketika beliau ingin sholat dzuhur, wudlu’ beliau tidak batal sampai waktu sholat subuh tiba. Beliau juga pandai membagi waktu. Semuanya beliau gunakan untuk belajar dan memuthola’ah. Tidak ada watu yang terbuang sia-sia kecuali waktu untuk makan dan tidur. Itu pun beliau tidur selama sehari semalam 60 menit sebelum waktu dzuhur.
PERNIKAHAN BELIAU
Beliau menikah dengan gadis yang sholehah, ahli berpuasa yang tidak lain adalah sepupu beliau sendiri. Walaupun demikian, hal tersebut tidak mengurangi kemauan beliau untuk terus belajar. Karena yang beliau rasakan, manisnya ilmu lebih manis dari pada manisnya berkeluarga. Dan ternyata pernikahan beliau ini tidak berlangsung lama, hanya berkisar 12 tahun karena Istrinya wafat. Setelah 3 tahun pasca kematian istrinya, beliau menikah dengan seorang gadis yang juga sholehah, hafidzah dan berdarah biru. Alhamdulillah, ternyata dari pernikahan ini beliau dikaruniai 9 putra (6 putri dan 3 putra). Diawal tahun 1380 H beliau hijrah ke Makkah al-Mukarromah dengan niat menetap di sana sampai akhir hayat beliau. Dan di Makkah inilah beliau terkenal sehingga banyak ulama’ yang belajar kepada beliau. Seiring dengan perkembangan zaman, ulama’ yang berguru kepada beliau bertambah banyak, karena disamping mengajar beliau juga produktif dalam mengarang kitab. Lalu pada tahun 1382 H, beliau mengajar di madrasah Sholatiyah selama kurang lebih 23 tahun. Syekh Ahmad Barizi mengatakan, kalau beliau merasa sakit tidak ada obat yang dapat menyembuhkan beliau kecuali mengajar dan mengarang kitab. Dan ini telah terbukti berkali-kali.
GURU-GURU BELIAU
Tidak mudah menjadi orang alim, sukses dan terkenal. Semuanya membutuhkan kegigihan, semangat yang tinggi dan ketekunan dalam belajar. Itulah yang dilakukan oleh beliau di dalam menuntut ilmu. Banyak sekali guru beliau yang tersambung sanadnya, diantaranya adalah Syekh Sayyid Umar Iwadh, syekh Sayyid abdul Qodir al-Husaimi, Syekh Hasan Bin Muhammad al-Masyyat, Syekh Sayyid abdurRahman Bin Muhammad al-Ahdal, syekh sayyid Husain Bin Muhammad Az-zawwaq, syekh sayyid Alawi al-Maliki, syekh Muhammad Amin Al-Quthbi dan Syekh Muhammad Yasin Bin Isa Al-Fadani.
MURID-MURID BELIAU
Semenjak beliau ke Makkah dan menjadi guru besar, santri beliau makin hari makin banyak terutama mereka yang berasal dari Malaysia, Yaman, Mesir, Arab Saudi dan Indonesia. Lebih-lebih yang berasal dari pulau Jawa diantaranya Syekh Ahmad Damanhuri Arman Banten, Syekh Abdul Hamid Bin Ahmad Pamekasan, Syekh Juwairi Sampang, Syekh Taifur Ali wafa’ Sumenep, Syekh abdus-Salam Bin Abdul Hamid Sidogiri, Syekh Ahmad romli Bin Abdul Mujib Gresik, Syekh Abdul Wahid Zuhdi Langitan, Syekh mahfudz ma’mun Jakarta, syekh Khon Tobroni Bangkalan, Syekh Ahmad Barizi Sampang. Syekh Ahmad Ghozali Sampang dan Syekh Ahmad Kurdi Sampang.
KARYA-KARYA BELIAU
Disamping mengajar beliau juga produktif dalam mengarang kitab, baik berupa nadzom ataupun natsar diantaranya al-Jawabul Wadhih an-Naatsir fil Ghozawaat, dhou’us Syama’ah fie Khusussiyyahtil jumu’ah, Irsyadul Mu’minin fie Fadhoilidz Dzikri, Fathul Malikil jalil ’aba’uuna haditsan qurrotul ’aini dan masih banyak lagi.
WAFATNYA BELIAU
Beliau wafat di makkah pada tahun 1414 H dengan membawa sejuta keberhasilan dalam membina para murid dan segudang karya monumental. Selamat jalan guru, selamat jalan ulama' pewaris nabi, sungguh jasamu tiada ternilai harganya.
 
Sumber : http://chemot-marley.blogspot.com/2012/08/biografi-syekh-ismail-utsman-zein-al.html

Asy-Syekh Al-Akbar Muh. Dahlan

Asy-Syekh Al-Akbar Muh. Dahlan

(21 Desember 1916 – 17 September 2001)
A.    Sejarah Kelahiran dan Tanda Kekhalifahan yang ada pada Dirinya
Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Dahlan merupakan putra (anak laki-laki) tertua dari Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah. Beliau dilahirkan pada tanggal 21 Desember 1916 M bertepatan dengan 26 Safar 1334 H di daerah Cidahu, Tasikmalaya.
Pendidikan awal beliau diperoleh langsung dari ayahandanya. Kemudian Sekolah Rakyat Melayu di Singapura. Sepulang Syekh Abdul Fattah ke tanah air pada tahun 1932 beliau disekolahkan di Madrasah ‘Unwanul Falah, Habib Ali Kwitang dan Madrasah Jami’atul Khair Tanah Abang, Jakarta. Setelah menimba ilmu di dua madrasah tersebut, ia mendapatkan tugas untuk mempersiapkan kitab-kitab ayahnya manakala membahas suatu persoalan, menunggunya sampai selesai dan mengembalikan kitab tersebut ke tempatnya semula. Pendidikan model terakhir inilah menurut beliau sangat besar pengaruhnya terhadap diri dan kehidupan beliau selanjutnya.
Berbagai kabar mengenai kebesaran beliau telah tercium di masa kanak-kanak oleh beberapa orang yang telah dianugerahi Mukasyafah. Di antaranya Habib Jamalulail yang menjadi Guru ayahanda beliau, yakni Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah yang menyatakan bahwa bayi ini (Muh. Dahlan) adalah Wali Akbar. Pernyataan itu juga dilontarkan oleh Habib Ali Al-Habsyi[1] Kwitang sewaktu beliau masih belajar di sana.
Pernah suatu peristiwa, ketika Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah bersama beberapa orang murid beliau mengadakan perjalanan berziarah ke tempat-tempat Awliya untuk bertabarruk (mengambil berkah) di daerah Jawa, khususnya Jawa Barat. Sampailah seluruh rombongan di sebuah daerah keramat, yakni di Banten, yang terkenal dengan Keramat Batu Quran. Tempat tersebut merupakan peninggalan seorang Awliya yang bernama Syekh Maulana Manshur Nasharudin (sezaman dengan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan). Di tempat itu Syekh Abdul Fattah memerintahkan beberapa murid-muridnya itu untuk berenang di sebuah kolam yang mengelilingi sebuah gundukan batu. Gundukan batu itu dikenal sebagai Batu Quran, sebab apabila ada seorang yang mampu mengitari batu itu sambil berenang di kolam itu tanpa berhenti (tidak bernafas) sebanyak 7 (tujuh) kali putaran, maka akan muncullah sebuah Quran di atas batu itu. Dan apapun yang dihajatkan olehnya pasti terkabul dengan Izin Allah Ta’ala.
Satu persatu murid Syekh Abdul Fattah mencobanya, kesemuanya tidak berhasil kecuali Syekh Muhammad Dahlan yang pada waktu itu masih muda. Menurut seorang murid beliau yang turut bersama mengikuti jalannya peristiwa itu, selama ini sejak masa dahulu belum ada yang berhasil menempuhnya kecuali beliau (Syekh Muh. Dahlan). Dan ini bisa ditanyakan langsung kepada kuncennya. Dengan demikian kejadian tersebut merupakan isyarat (pertanda) bakal diserahkannya kekhalifahan Thariqat kepada beliau kelak.
Seorang Ulama besar di Jakarta yakni Muallim Syafi’i Hadzami pada masa kecil sering dibawa oleh kakeknya yang bernama Husin mendatangi majelis dzikir di Masjid Al-Fattah Jl. Batu Tulis, pada masa Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah. Ketika ia mengikuti dzikir beberapa kali mengalami jadzbah. Saat itu kakeknya meminta do’a kepada Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah agar cucunya itu dijadikan orang yang alim dan berguna bagi masyarakat. Lalu ia dido’akan.
Dan pada kesempatan lain Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah menyatakan, ‘Dia (Syafi’i Hadzami) kelak akan besar di luar, sedangkan anakku (Muhammad Dahlan) akan besar di dalam’. Hal ini ternyata terbukti benar. Syafi’i Hadzami menjadi Ulama besar betawi yang mempunyai banyak muridnya di berbagai pelosok Jakarta. Dan Muhammad Dahlan setelah terdidik di lingkungan Thariqat akhirnya menjadi Khalifah Thariqat Al-Idrisiyyah sepeninggal Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah.
B.     Pergi Haji yang terakhir kali
Lebih kurang setahun sebelum uzurnya, beliau menunaikan ibadah haji pada tahun 1996, dengan ditemani beberapa orang murid. Ada beberapa kisah ruhaniyah yang terjadi pada diri beliau, yang pernah diceritakan langsung di tengah-tengah majelis. Di antaranya adalah ketika berziarah ke makam Rasulullah Saw di Madinah.
Pada saat itu begitu banyak kaum muslimin berjejalan dan berebut tempat terdepan, mengharapkan tempat yang teramat mulia, yakni Ar-Raudhah[2]. Dengan demikian karena begitu banyaknya orang yang telah masuk ke areal maqam Nabi yang mulia, maka beliau hanya mampu menggelar sajadah di halaman Masjid. Pada saat itulah muncul Rasulullah Saw menghampiri beliau, karena beliau adalah tamu yang diistimewakan oleh Rasulullah Saw, di antara tamu-tamu lainnya, sehingga Rasulullah sendiri yang mendatangi beliau. Serta merta beliau bersujud mencium kaki Rasulullah Saw yang mulia, dikarenakan rasa khudhu’ dan hormat beliau kepadanya.
Satu kisah lagi diceritakan bahwasanya ketika hendak shalat di Makkah Al-Mukarramah, tampak oleh beliau barisan para malaikat dan para Nabi dalam jajaran shaf yang sudah diatur. Tampak di depan shaf, Rasulullah dan beberapa sahabat beliau yang utama, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Pada saat itulah Rasulullah memerintahkan Asy-Syekh Al-Akbar menjadi Imam shalatnya, sehingga beliau semakin bertambah Haya’ di hadapan Rasulullah Saw. Namun dikarenakan perintah, maka beliau menuruti apa yang diisyaratkan Rasulullah Saw kepadanya.
Ada suatu kejadian menarik bahwasanya tatkala beliau bersama Rasulullah Saw pada waktu itu terlihatlah ruhani murid-murid beliau dengan berghamis putih berselendang hijau. Menjadi heranlah beliau, lalu bertanya kepada Rasulullah Saw, “Wahai Rasulullah, junjunganku, mengapakah murid-muridku telah sampai di sini?” Maka Rasulullah Saw menjawab, “Karena mereka senantiasa bersholawat kepadaku ketika hendak sholat Isya berjama’ah, itulah yang menyebabkan aku mencintainya”.
Semenjak pergi haji terakhir itu beliau merasakan Rasulullah senantiasa mengiringi keberadaan beliau ke manapun. Bahkan ketika dalam suasana mengajar di majelis, ketika kisah ini diceritakan. Bayang-bayang ruhani Rasulullah Saw selalu menyertainya.
C.    Beberapa Ujaran-ujaran Beliau
Suatu saat di Majelis, beliau bertanya: ”Mengapa Iblis menangis disambit ketika para jama’ah melontar jumrah, padahal Iblis tidak kelihatan, dan manakah bisa para jama’ah haji melempari batu ke arah Iblis yang tidak kelihatan itu?” Beliau lalu berkata: “Yang membuat Iblis menangis adalah turut perintahnya, bukannya sakit karena lemparan batu. Dikarenakan Iblis itu dahulu tidak turut perintah sehingga menjadi hina dan dilaknat”.
Beliau sering meneguhkan prinsip-prinsip sederhana yang harus dipertahankan oleh seluruh murid, sehingga berulang-ulang ajaran itu disebut agar tidak terlupakan. Di antaranya adalah:
  • Dasar (inti) ibadah adalah turut perintah. Orang yang tidak mau turut perintah adalah orang yang tidak mau beribadah. Kisah iblis adalah bukti tidak turut perintah (pembangkangan). Bukan masalah tidak mau sujudnya tetapi karena tidak turut peintah sehingga Allah murka padanya. Dengan dasar inilah seorang murid diwajibkan turut perintah kepada Mursyidnya dengan menafikan apa bentuk perintahnya dan tidak berhujjah dengan ilmu yang dimilikinya.
  • Hidup-mati atau maju mundurnya Iman itu terletak pada masalah perkara, yakni Wajib-Sunnah sebagai suatu yang diperintahkan dan Haram-Makruh sebagai yang dilarang dan dibenci Allah. Jika seseorang melaksanakan perintah, yakni Wajib-Sunnah, maka keimanannya sedang naik. Dan apabila ia mengerjakan perkara yang Haram-Makruh, berarti keimanannya sedang turun. Padahal bukti kedekatan seorang hamba dengan Rabbul ‘Izzah adalah bergantung dengan maqam imannya.
  • Nasehat itu susah menerimanya. Ilmu itu susah mengamalkannya. Amal itu susah ikhlas-nya.
  • Manusia dalam beribadah itu terbagi 3 tingkatan. Pertama: senang dipuji, takut dicela. Kedua: dipuji dan dicela sama saja dirasaknnya. Dan ketiga: senang dicela, takut dipuji.
  • Orang yang maju ibadahnya adalah orang yang mengetahui salah diri. Yakni memahami betul seluk beluk kekurangan/kesalahan dirinya. Maka sikap yang demikian ini membuat dirinya sibuk meneliti kekurangan dirinya ketimbang mencari-cari kekurangan/kesalahan orang lain, sehingga mempergiati dirinya menambal kekurangan/kesalahan dirinya sendiri dengan banyak-banyak beribadah (taqarub) kepada Allah Ta’ala.
  • Ibadah itu terbagi 2 (dua). Ibadah hasanah dan ibadah derajat. Yang dimaksud ibadah derajat adalah beribadah di bawah bimbingan (pengawasan) seorang Guru yang Mursyid dengan berthariqat. Sedangkan ibadah hasanah itu adalah ibadah dengan munfarid (sendiri), tanpa bimbingan seorang Mursyid (Guru Thariqat). Ibadah hasanah itu diibaratkan bekerja dengan imbalan gaji saja. Sedangkan derajat, diibaratkan bekerja dengan tambahan beberapa fasilitas, seperti bonus, tunjangan kesehatan, kendaraan, asuransi, gaji rutin, dsb. Istilahnya, ibadah derajat itu seperti bekerja di perusahaan resmi, sedangkan ibadah hasanah itu seperti bekerja di tempat tertentu, seperti kuli bangunan yang apabila borongannya selesai, maka selesai pulalah status bekerjanya.
  • Murid itu terbagi 2, murid yang Shadiq (benar) dan murid yang Kadzib (pembohong). Murid yang Shadiq itu mengamalkan, sedangkan yang Kadzib tidak mengamalkan, hanya mengaku-ngaku saja. Syarat murid Shadiq itu 2 (dua): Mahabbah (mencintai Guru) dan Taslim (menyerahkan dirinya/tunduk). Mahabbah saja tidak cukup. Karena banyak orang yang mengaku cinta tapi tidak menyerahkan dirinya.
  • Syarat menjadi murid Thariqat al Idrisiyyah ada 2, percaya (iman) dan mau (diperintah/dibimbing).
  • Murid itu terbagi 4, pertama: yang jauh (dari pandangan mata lahir) tapi dekat (dari pandangan mata batin), kedua: dekat tapi jauh, ketiga: jauh secara lahirnya juga jauh secara batinnya, dan keempat: dekat secara lahirnya juga dekat secara batinnya (inilah yang paling dicintai Guru Mursyid).
  • Orang yang melaksanakan perintah Wajib Sunnah itu adalah saudara kita, meskipun bukan murid. Dan orang yang mengerjakan haram makruh itu adalah musuh kita meskipun ia murid. Yang dicinta dan dibenci adalah kelakuannya.
  • Karcis ke syurga adalah amal Wajib-Sunnah dan karcis ke neraka adalah amal Haram-Makruh.
  • Lebih baik menjalankan ilmu Wali daripada mengaku dirinya Wali.
  • Wali itu mempunyai Raja-nya. Masakah jin-syetan mempunyai Raja, sedangkan Wali tidak?
  • Setiap zaman pemimpin Wali itu berganti-ganti, bukannya setelah meninggal tidak ada lagi Sulthan Awliya. Misalnya: Presiden Sukarno, yang berubah (diganti) adalah Sukarno-nya, bukannya Presiden tidak ada lagi. Demikian pula Pemimpin Wali, senantiasa berganti-ganti setiap masa.
  • Jika tidak ada Wali, dunia ini binasa.
D.    Akhir Hayat Beliau
Tahun-tahun setelah beliau menunaikan haji, tampaklah penurunan beliau secara fisik. Waktu demi waktu beliau lalui dengan kelemahan daya fisik. Tugas dan tanggung jawab sebagai Guru Mursyid, tetap beliau laksanakan. Pergi pulang Jakarta – Tasikmalaya sudah menjadi rutinitas (kebiasaan), beliau masih lakukan meskipun dengan kelemahan dan keterbatasan fisik.
Mengenai penyakit yang cukup parah yang pernah dialami beliau adalah gangguan ginjal, sehingga pernah ketika mengajar beliau meminta izin untuk ke belakang. Beliau pernah dibopong oleh dua orang murid, di kanan-kiri beliau ketika memasuki ruangan majelis. Hal itu dialami menjelang akan dioperasi batu ginjal beberapa bulan kemudian.
Suatu hal aneh terjadi ketika beliau diperiksa oleh beberapa orang dokter, yang menyatakan bahwa organ-organ tubuh vital beliau dalam keadaan sehat, hanya masalah faktor usia saja yang menyebabkan beliau harus banyak istirahat. Bahkan ada cerita seorang murid yang keadaan penyakitnya sudah cukup parah, dibimbing pengobatannya secara ghaibiyah oleh beliau.
Inilah yang membuktikan bahwa bimbingan ruhaniyah Guru yang Wali Mursyid tetap berlangsung kepada murid-murid, meskipun secara jasad tidak berjumpa. Itulah yang menjadi keistimewaan berthariqat di bawah bimbingan Guru Mursyid. Bahkan baik dalam keadaan sehat maupun sakit jasmani seorang Guru Mursyid, ruhaninya tetap membimbing dan mengarahkan perjalanan Salik daripada murid-muridnya. Hal ini telah sering dialami oleh banyak murid Thariqat Al-Idrisiyyah.
Pada tanggal 17 September 2001 M,[3] beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir, dipanggil Kekasih beliau Yang Abadi.
************
Di penghujung akhir perjalanan kepemimpinan Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Dahlan, ternyata tidak ada pernyataan secara terbuka kepada seluruh murid mengenai pergantian kepemimpinan Thariqat setelah beliau mangkat, yang ternyata secara lisan telah beliau ucapkan di hadapan beberapa orang murid tentang pergantian itu pada malam 17 Ramadhan tahun 1997, bahwa Abah Anom (Syekh Daud Dahlan) sebagai Khalifah (pengganti) Mursyid Thariqat.
Mengingat masih terjadinya pro-kontra atas penunjukkan itu, maka selama masih ada Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Dahlan Bapak Muh. Daud Dahlan masih dipandang sebagai Ketua Umum Yayasan Al-Idrisiyyah, yakni yang mengatur dan memimpin jalannya organisasi Thariqat.
(Dikutip dari Buku ‘Biografi Tokoh-tokoh Al-Idrisiyyah’)

HABIB SHOLEH BIN MUHAMMAD MAULADAWILAH

HABIB SHOLEH BIN MUHAMMAD MAULADAWILAH

Lahir : di Singosari Malang pada 1295 H [ Tahun 1807 M]
Wafat : Jum’at, 28 Ramadhan 1370 H [ Tahun 1950 M]
Di Makamkan di Pemakaman Umum Kasin, Malang
Pendidikan : Nyantri kepada Al Habib Muhammad bin Hadi Assegaf, di Kota Siwon, Hadramaut, Yaman, berguru pada Al Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi (Shohibul Maulid), dan kepada Al Habib Ahmad bin Hasan Al Attas.
Putra/Putri : 13 Orang
Perjuangan/Pengabdian : Perintis berdirinya Madrasah Attaraqqie, Mengajar di beberapa masjid, dan majelis taklim.
Ulama Waro’ yang Sederhana
Habib Sholeh bin Muhammad bin Ali Mauladdawilah dilahirkan di Singosari Malang pada tahun 1295 H atau bertepatan dengan tahun 1807 M. Beliau diasuh oleh kedua orang tuanya sampai menginjak usia remaja. Kemudian dibawa ayahnya ke Negeri Hadramaut, dan menetap di Kota Siwon untuk menuntut ilmu, supaya menjadi orang alim dalam bidang hukum Islam.
Di Hadramaut, beliau belajar kepada Al Habib Al Alim Al Alamah Muhammad bin Hadi Assegaf, yang terkenal sebagai mahaguru di Kota Siwon. Selain itu, juga berguru pada Al Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi (Shohibul Maulid) dan kepada Al Habib Ahmad bin Hasan Al Attas (Shohibul Khuroidho).
Berkat kecerdasan dan inayah dari Allah SWT, maka beliau berhasil dalam menuntut ilmu, seperti apa yang dicita-citakan ayahnya. Diantara teman-teman beliau yang seangkatan dalam menuntut ilmu itu adalah Asysyaich Abdurrahman bin Muhammad Baraja yang menjabat sebagai Qodhi di Kota Siwon.
Salah satu bukti yang menunjukkan kepadatan ilmunya, pada waktu di majelis ilmu Al Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf Gresik, ada seorang peserta majelis dari Malang menanyakan suatu masalah kepada Al Habib Abubakar. Setelah dijawab masalah tersebut, lalu Al Habib Abubakar berkata, bila ada masalah lagi, tidak perlu datang ke Gresik, cukup ditanyakan kepada seorang alim di Malang, yaitu Al Habib Sholeh bin Muhammad bin Ali Mauladdawilah.
Selama tinggal di Siwon, beliau menikah dengan cucu Al Habib Sholeh bin Hasan Al Bahar di Sabah. Sekembalinya ke Malang, beliau giat mengadakan pengajian-pengajian, termasuk di Kidul Pasar. Diantara santri beliau yang terkenal, Al Habib Ahmad bin Hadi Al Hamid, Pasuruan, KH Abdullah bin Yasin, Pasuruan, KH. Muhsin Blitar, Al Habib Ali bin Abdullah Mauladdawilah Talun Lor, H. Dahlan, Wetan Pasar, dan KH Ahmad Damanhuri Malang.
Habib Sholeh bin Muhammad bin Ali Mauladdawilah sangat memperhatikan bidang pendidikan, terutama pendidikan putra-putrinya. Bahkan sampai mendatangkan guru Asysyaich Ali Arrohbini untuk mengajar Qiro’atul Qur’an di rumahnya di Bareng Raya, serta mengirim beberapa putranya ke Hadramaut untuk menuntut ilmu di Siwon pada mantan gurunya, yakni Al Habib Al Alim Al Alamah Muhammad bin Hadi Assegaf.
Diantara 13 putra-putrinya yang sekarang masih ada, yakni Habib Alwi bin Sholeh bin Muhammad bin Ali Mauladdawilah, yang kini berada di Jeddah, Habib M Bakir bin Sholeh bin Muhammad bin Ali Mauladdawilah di Malang, dan Ali bin Sholeh bin Muhammad bin Ali Mauladdawilah yang berada di Solo.
‘’Beliau merupakan salah satu perintis Madrasah Attaraqqie, dan sempat juga mendatangkan Al Ustadz Abdul Kadir bin Ahmad Bilfaqih dari Surabaya sekitar tahun 1940-an untuk mengajar, dan menjadi Kepala Madrasah Attaraqqie,’’ kata Ustadz Ahmad bin Salim Alaydrus, menantu Habib Sholeh bin Muhammad bin Ali Mauladdawilah, kala itu.
Amalan beliau sehari-hari yang menonjol adalah dzikrulloh. Diwaktu apapun saja, beliau selalu berdzikir kepada Allah SWT. ‘’Hendaknya lisanmu itu selalu basah karena gerak dengan berdzikir kepada Allah.’’
Selain itu, dalam hidupnya suka beramal, terutama pada fakir miskin, anak yatim, dan famili-familinya. ‘’Dalam hidupnya, beliau juga sangat sederhana dan berlaku waro’, dengan meninggalkan semua perkara yang syubhat (meragukan, red.), yang tidak jelas halalnya. Perbuatannya selalu dijaga benar-benar dan disesuaikan dengan hukum syariat Islam,’’ tutur Ustadz Ahmad, yang juga kakak kandung Ustadz Alwy bin Salim Alaydrus.
Ada beberapa kekeramatan Habib Sholeh bin Muhammad bin Ali Mauladdawilah, diantaranya sewaktu Gunung Kelud di Blitar meletus dan terjadi lahar. Waktu itu beliau sedang mengajar di sebuah masjid. Atas Rahmat dan takdir Allah SWT masjid tersebut tidak roboh dan tidak tersentuh aliran lahar dari Gunung Kelud. Demikian juga dengan jamaah pengajian yang berada di dalam masjid selamat. Padahal rumah-rumah di sekitar masjid roboh dan hanyut terkena aliran lahar. Bahkan sandal Habib Sholeh bin Muhammad bin Ali Mauladdawilah, yang semula hanyut terbawa lahar, setelah banjir lahar redah sandal tersebut kembali lagi ke depan pintu masjid.
Beliau wafat pada hari Jum’at, 28 Ramadhan 1370 H, bertepatan dengan tahun 1950 M dalam usia 75 tahun, dan dimakamkan di pemakaman umum Kasin, Malang. Setelah beberapa hari beliau dimakamkan, beberapa pemilik rumah yang ada di sekitar pemakaman Kasin sering melihat ada cahaya yang keluar dari salah satu makam di pemakaman tersebut. Setelah diselidiki, ternyata cahaya tersebut berasal dari makam Al Habib Sholeh bin Muhammad bin Ali Mauladdawilah
 Sumber : http://chemot-marley.blogspot.com/2012/08/habib-sholeh-bin-muhammad-mauladawilah.html

Sabtu, 01 September 2012

KYAI RADEN SUMOMIHARDJO, KYAI PARAK BAMBU RUNCING, PARAKAN, TEMANGGUNG


Narasumber:
KH. Raden Muhaeminan Gunardho
(Ulama Sepuh, Jawa Tengah, Pimpinan Pondok Pesantren Kyai Parak, Bambu Runcing, Parakan, Jawa Tengah)

Pada saat penjajah Belanda yang dibantu oleh sekutu ingin kembali menjajah Indonesia, Bupati Temanggung yang bernama Sutikno mengumpulkan para ulama dan tokoh masyarakat. Dihadapan para ulama dan tokoh masyarakat tersebut, beliau berkata bahwa tidak lama lagi Belanda akan kembali untuk menjajah Indonesia karena Jepang telah kalah perang melawan sekutu. Bupati Sutikno berharap kepada para ulama dan tokoh masyarakat yang hadir agar dapat memberikan jalan keluar terbaik, yaitu apakah Belanda akan mereka terima kembali sebagai bangsa penjajah ataukah Belanda akan dilawan begitu mereka masuk ke Bumi Temanggung. Bupati Sutikno mengingatkan para hadirin dihadapannya bahwa jika misalnya mereka sepakat untuk melawan Belanda, apakah mereka benar-benar sudah memperhitungkan dengan seksama kekuatan yang mereka miliki karena Belanda mempunyai senjata perang dan bom sedang mereka tidak mempunyai persenjataan sama sekali.
Setelah mendengarkan penjelasan dari Bupati Sutikno tersebut, para ulama dan tokoh masyarakat yang hadir, tidak ada yang berani angkat bicara, apalagi mau mengajukan usul, sampai akhirnya ditengah kesunyian yang mencekam peserta musyawarah ketika itu, ada seseorang yang mengangkat tangan guna memohon waktu untuk menyampaikan buah pikirannya, dan peserta tersebut adalah dari kalangan ulama, beliau bernama Kyai Raden Sumomihardho. Setelah beliau dipersilakan untuk menyampaikan pendapatnya Kyai Raden Sumomihardho, berkata : " Menurut hemat saya, sebaiknya Belanda kita lawan begitu mereka tiba di bumi Temanggung". Mendengar pendapat beliau yang sangat berani tersebut suasana pertemuan ketika itu menjadi tambah mencekam bagi sebagian besar peserta yang hadir karena mereka membayangkan sebuah resiko yang sangat berat pasti akan mereka tanggung jika mereka berani melawan penjajah yang memiliki tentara dengan persenjataan yang lengkap. Kyai Raden Sumomihardho dapat membaca suasana pertemuan yang semakin mencekam tersebut, tetapi beliau sedikitpun tidak berubah pikiran, tetapi malah sebaliknya beliau manambahkan : "Kita tidak rela diperbudak lagi oleh bangsa penjajah, dan adapun mengenai perkara hidup dan mati semuanya terjadi atas kehendak Allah". Beliau melanjutkan : "Masalah hidup dan mati itu semua adalah urusan Allah, dan kita memang tidak mempunyai persenjataan seperti yang dimiliki bangsa penjajah, tapi kita punya Allah". Dan mendengarkan alasan yang masuk akal yang disampaikan oleh Kyai Raden Sumomihardho, akhirnya semua ulama dan tokoh masyarakat yang hadir ketika itu menyetujui pendapat beliau. Setelah acara ditutup, para pemuda pejuang datang ke pondok pesantren beliau dan kepada para pemuda pejuang tersebut, Kyai Raden Sumomihardho memberikan mereka senjata berupa Bambu Runcing yang sudah diberi asma'. Bambu Runcing yang sudah diberi asma' oleh beliau tersebut memiliki beberapa kelebihan. Diantaranya : siapa saja yang memegang bambu runcing itu dia tidak memiliki rasa takut terhadap musuh (tentara penjajah), musuh yang melihat bambu runcing tersebut menjadi kehilangan akal, jika bambu runcing yang telah diberi asma' itu dipegang, ia akan mengeluarkan api. Dan jika ada laki-laki yang melangkahi bambu runcing tersebut, kelaminnya menjadi membesar, dan pernah suatu ketika di daerah Boyolali, bambu runcing tersebut dilempar ditumpukkan pring (bambu biasa), dan pring tersebut terbakar.
Selain memberikan bambu runcing yang sudah di asma', Kyai Raden Sumomihardho juga memberikan senjata berupa ketapel kepada para pemuda pejuang. Batu kerikil yang akan digunakan terlebih dahulu diberi asma' dan setiap batu kerikil yang telah diberi asma'. Jika batu tersebut dipakaikan diketapel dan digunakan untuk menyerang musuh, maka musuh yang terkena oleh batu kerikil itu akan mati. Senjata terakhir yang diberikan kepada pemuda pejuang adalah berupa sujen (sejenis tusuk sate). Setelah sujen tersebut diberi asma', maka jika sujen itu ditanam pihak musuh tidak akan bisa melewati daerah tersebut. Jika sujen itu dilangkahi tikus, tikus itu bisa mati. Kyai Raden Sumomihardho adalah teman seperjuangan dari Cokro Aminorto dan beliau juga masih keluarga dari Bupati Magelang dan merupakan keturunan Wali Songo.

Sumber : http://chemot-marley.blogspot.com/2012

Sayyid Ibrahim Bin Yahya: Teladani para Salaf, agar Menjadi Teladan

Ia merasa kagum terhadap para habib di Indonesia, yang berpegang teguh mengikuti jejak para salaf.
Sejak ratusan tahun yang lalu, Mesir, khususnya Universitas Al-Azhar, menjadi salah satu tujuan terpenting kaum muslimin di seluruh dunia untuk menuntut ilmu. Tak terkecuali para pelajar dari negeri-negeri Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Malaysia. Telah banyak pelajar dari negeri-negeri ini yang menjadi orang-orang alim besar setelah menempuh pendidikan di sana.
Di antara mereka yang berhasil mewujudkan harapan dirinya dan keluarganya selama belajar di sana dan tidak tergoda dengan hiruk pikuk duniawi adalah Syed Ibrahim Bin Yahya, seorang tokoh muda habaib yang sangat dikenal di Pahang, Malaysia, dan memiliki banyak aktivitas dalam lapangan keilmuan dan dakwah.
Terpenuhi Kebutuhannya
Anak keempat dari empat bersaudara ini lahir di Kuala Tekal, Pahang, pada 18 Januari 1967. Ia anak pasangan Syed Ahmad bin Hasan Bin Yahya dan Sharifah Sehah binti Husain bin Hasan bin Abdullah Al-Hinduan. Sebagaimana keluarga Bin Yahya pada umumnya di Malaysia, ia pun keturunan Sayyid Yasin Bin Yahya, yang haulnya setiap tahun diadakan di Pahang.
Tokoh muda Pahang ini mengawali pendidikannya di Sekolah Rendah Kebangsaan K. Krau, lalu melanjutkan ke Sekolah Menengah Agama Al-Khairiah di kampungnya, Temerloh, Kuala Tukal. Setelah itu ia belajar di Kuliah Sultan Abu Bakar Pekan Pahang.
Kecintaannya kepada ilmu membawanya belajar ke Mesir untuk menimba ilmu di Universitas Al-Azhar, Fakultas Bahasa, antara tahun 1990 hingga 1996. Tidak seperti para mahasiswa Malaysia pada umumnya, Syed Ibrahim belajar di sana tanpa mendapatkan beasiswa dari pemerintah. Ketika berangkat ke sana, keluarganyalah yang membantu biaya pendidikan dan biaya hidup di sana. Tetapi sejak awal ia diingatkan bahwa mereka hanya dapat membantunya untuk tahun pertama. Tentu saja ia harus memikirkan biaya untuk tahun-tahun selanjutnya.
Tetapi benarlah apa yang dikatakan dalam hadits bahwa orang yang menuntut ilmu itu akan dipenuhi kebutuhannya oleh Allah SWT. Di tahun-tahun berikutnya, ada saja orang-orang yang membantunya.
Ternyata bukan hanya dalam hal materi ia memperoleh bantuan. Selalu saja ada orang-orang yang membimbingnya, terutama dalam masalah-masalah keilmuan. Ketika seorang pembimbing telah pergi, datang lagi orang lain yang membimbingnya.
Ketika pertama belajar di Al-Azhar, Syed Ibrahim mendapatkan bimbingan dari Habib Muhammad Aqil Al-Mahdali (kini profesor doktor, menetap di Kedah). Setelah itu, ia mendapatkan bimbingan dari Habib Ahmad bin Abdullah Al-Kaf (kini doktor, tinggal di Jakarta). Setelah pembimbing yang kedua ini pulang ke tanah air, ia kembali mendapatkan pembimbing yang baru, yakni Habib Ali bin Abdurrahman Al-Jufri.
Selama di sana, ia pun sering menghadiri kegiatan di Sahah Al-Husainiyyah, sebuah bangunan yang disediakan oleh Habib Ali bin Abdurrahman Al-Jufri yang letaknya berdekatan dengan Masjid Sayyidina Husain. Bersama mahasiswa-mahasiswa habaib dan muhibbin, setiap Ahad malam Senin ia mengikuti pembacaan qashidah Al-Burdah, dan pada malam Jum’at mengikuti pembacaan kitab-kitab Maulid.
Di tempat ini juga diadakan majelis ta’lim yang mempelajari berbagai kitab mutun (jamak matan, kitab inti) maupun kitab-kitab syarah. Para pengajarnya orang-orang dari Hadhramaut yang sedang belajar di Al-Azhar juga tapi sangat menguasai ilmu-ilmu tertentu. Di antaranya Habib Zaid Bin Yahya, yang mengajar ilmu nahwu, antara lain dengan mengkaji kitab Qathrun-Nada, Habib Abdurrahman Al-Jufri, yang mengajar faraidh, Habib Muhammad bin Ahmad Bin Semith, yang mengajarkan kitab Bidayah Al-Hidayah, karya Al-Ghazali, dan Adab Suluk Al-Murid, karya Imam Abdullah Al-Haddad.
Sekembalinya dari Mesir, ia mendarmabaktikan dirinya mengajar di sebuah sekolah agama di Pahang yang bernama Madrasah Darun-Na`im. Bersama teman-teman habaib yang lain ia juga mendirikan majelis ta’lim di Kuala Tekal. Di samping itu ia pun mendapat kepercayaan sebagai nazhir (pengawas) masjid-masjid yang berada di daerahnya yang jumlahnya sekitar 180 masjid. Kemudian sejak tahun 2003 ia bertugas sebagai Pegawai Khas Agama di kantor Menteri Besar Pahang.
Seringnya negeri Pahang dikunjungi para ulama besar memunculkan ide dalam pikirannya untuk mengadakan seminar memanfaatkan momen kedatangan mereka. Maka setiap tahun ia mengadakan seminar bekerja sama dengan pihak-pihak di Hadhramaut, Mesir, dan Indonesia. Kegiatan ini menghadirkan para tokoh ulama dari berbagai negeri. Pada bulan Mei tahun 2007, misalnya, ia membuat seminar dengan tema Bina’ Al-Ummah wa Tazkiyah An-Nufus.
Acara ini dihadiri banyak tokoh terkenal, di antaranya Habib Umar bin Hafidz dan Habib Muhammad bin Abdurrahman Assegaf, ulama asal Hadhramaut yang kini tinggal di Dubai. Juga Sayyid Afifuddin Manshuruddin Al-Jilani, keturunan Sayyid Abdul Qadir Al-Jilani yang kini menetap di Malaysia. Hadir pula Syaikh Fahmi Zamzam, ulama terkenal asal Banjar yang juga memiliki pengajian besar di Kedah.
Tahun sebelumnya ia membuat seminar dengan tema Tawjih Al-Ummah wa Tashfiyah Al-Mafahim Ad-Diniyyah. Dalam acara yang mendapat sambutan dari para dai dan peminat agama di Malaysia ini, hadir para tokoh dari Makkah, Yordania, Syria, Maroko, dan beberapa negeri lain.
Ke Makam para Habib
Syed Ibrahim telah tiga kali mengunjungi Indonesia. Pertama, pada tahun 2006, ke Palembang, dalam rangka menghadiri Maulid di Ribath Al-Muhibbin, Palembang, atas undangan Habib Umar bin Abdul Aziz bin Shahab dan Habib Muhammad Al-Habsyi, serta mengunjungi para habib di Palembang dan Jakarta.
Ia kembali mengunjungi Indonesia pada tahun 2008 untuk menghadiri Multaqa Ulama di Casarua, Bogor, yang diadakan dalam rangka lawatan Habib Umar Bin Hafidz ke Indonesia. Di tahun itu pula ia datang lagi ke Indonesia dalam rangka haul Habib Alwi bin Ali bin Muhammad Al-Habsyi di Soloziarah. Ia juga mengunjungi makam para tokoh habib maupun mereka yang masih ada.
Ia merasa kagum terhadap para habib di Indonesia, yang berpegang teguh mengikuti jejak para salaf. Mereka juga bersungguh-sungguh dalam dakwah dan memiliki respons yang baik terhadap masalah-masalah yang dihadapi umat.
Keberadaan sebagian habib di Malaysia yang telah lama, yang datuk-datuknya sudah berabad-abad tinggal di Tanah Melayu, menurut dugaannya, merupakan salah satu faktor yang menyebabkan mereka agak jauh dari jalan para salaf. Karena itu, di Malaysia, Syed Ibrahim berusaha sedapat mungkin agar para pemuda sadah Alawiyin kembali kepada cara para salaf serta mau mendekati para tokoh habaib untuk mempelajari aqidah, amaliah, dan dakwahnya.
Di antara para tokoh habaib di Malaysia yang patut diziarahi adalah Habib Ali bin Ja`far Al-Aydrus di Batu Pahat, seorang alim yang shalih. Kediamannya senantiasa didatangi orang dari berbagai tempat, baik orang awam maupun para ulama, untuk mengharapkan keberkahannya. Kemudian di Trengganu ada Habib Umar bin Abdul Qadir Al-Aydrus, seorang alim dan dai terkenal. Di daerah ini, keluarganya berpengaruh dalam dakwah. Di Johor ada Habib Zein Al-Habsyi, imam Masjid Wadi Hasan, seorang tokoh terkenal yang sangat dihormati.
Di kalangan ulama intelektual, yang terkenal di antaranya Prof. Dr. Muhammad Aqil bin Ali Al-Mahdali di Kedah. Tokoh yang berasal dari Sulawesi ini adalah seorang yang sangat dihormati. Sedangkan para tokoh yang telah berpulang ke rahmatullah antara lain Habib Utsman bin Muhammad Bin Yahya di Pahang. Ulama kebanggan para habib ini adalah cucu Habib Utsman BinYahya, mufti Betawi. Selain itu, Habib Abdurrahman bin Muhammad Bin Yahya. Ia murid Habib Hasan dan Habib Salim Asy-Syathiri, Tarim, Hadhramaut, meskipun usianya lebih tua dari kedua tokoh ulama kakak-beradik itu.
Yang membanggakan dan membuat hati Syed Ibrahim senang, di Malaysia juga muncul tokoh-tokoh muhibbin. Di antaranya Syaikh Hafizh Jenderami, yang memiliki madrasah di bawah Yayasan Al-Jenderami. Selain itu juga Syaikh Muhammad Kamaluddin, yang sangat terpengaruh dengan madrasah Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki dan Syaikh Shaleh Al-Ja`fari, Mesir.
Dari pernikahannya dengan Sharifah Furwani binti Ahmad Bin Yahya, ia dikaruniai tiga orang anak: Mohammad Al-Baqir, Balqis, dan Sehah. Dalam mendidik anak-anaknya, yang sangat ditekankannya, selain membekali mereka dengan ajaran-ajaran agama, adalah mendekatkan mereka dengan cara para salaf, agar mereka dapat meneladani datuk-datuk mereka itu. Mereka juga senantiasa diingatkan siapa mereka sesungguhnya.
Itulah yang selalu dilakukannya. Bukan hanya terhadap anak-anaknya, tetapi juga generasi-generasi muda habaib pada umumnya. Tak lain harapannya agar para sadah tetap berada pada jalurnya, sehingga dapat menjadi teladan bagi umat selamanya.

 http://pondokhabib.wordpress.com/2009/06/16/syed-ibrahim-bin-yahya-teladani-para-salaf-agar-menjadi-teladan/

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons