Apakah sudah ada teori pendidikan ala pesantren? Silahkan dibikin kalau ada yang kober.
Kiyai Umar Abdulmannan rahimahullah, Mangkuyudan, Solo, mengajar dengan tekun tapi tak pernah sama sekali memarahi santrinya. Sembeling apa pun santri, beliau biarkan saja. Beliau cuma menyuruh pengurus pondok membuat daftar santri-santri yang paling kebangetan mbelingnya. Daftar itulah “bekal” beliau dalam setiap munajat malam. Santri-santri di daftar itu secara khusus beliau doakan.
Entah apakah waktu itu santri-santri tahu atau tidak. Seandainya saya mondok disana waktu itu, pastilah saya berjuang mati-matian untuk menjadi mbeling sembeling-mbelingnya, supaya selalu masuk daftar munajat malamnya Kiyai Umar Abdulmannan.
Kyai Kholil Harun, Kasingan, Rembang, kira-kira satu generasi dengan Hadlratusy Syaikh Kiyai Hasyim Asy’ari, Tebuireng, dan Kiyai Dimyathi, Termas, Pacitan. Santri-santri seangkatan kakek saya belum merasa sempurna ngajinya kalau belum berguru kepada ketiga “mahakiyai” tersebut: kepada Kiyai Dimyathi untuk memperdalam fiqih, kepada Kiyai Hasyim menimba ilmu Hadits, dan kepada Kiyai Kholil untuk mematangkan ilmu alat.
Syahdan salah seorang santri Kiyai Kholil begitu mbelingnya sehingga amat sering dimarahi. Setiap kali memarahi, Kiyai Kholil mengatainya dengan: “kucing belang”!
Teman-teman si santri prihatin,
“Akan jadi apa nasib anak itu nanti… dimarahi Kiyai berkali-kali kok tidak kapok-kapok… sampai dikata-katai begitu…”
Siapa sangka, belakangan si santri mbeling menjadi kiyai yang disegani. Teman-temannya heran, sampai-sampai ada yang memerlukan datang untuk bertanya,
“Kok bisa?”
Kiyai-mantan-santri-mbeling tercenung, mengenang gurunya.
“Kalian nggak tahu”, katanya, “dulu itu, setiap Kiyai Kholil mengataiku ‘kucing belang’, aku malah tambah bersemangat…”
“Kok bisa?”
“Kamu tahu enggak, kucing belang itu apa?”
“Kucing mbeling?”
Kiyai-mantan-santri-mbeling tertawa.
“Itu menurut pengertianmu…”, katanya, “aku sendiri memaknainya: macan!”
sumber: www.teronggosong.com
0 komentar:
Posting Komentar