“Ya Allah, hidupkan aku dalam keadaan miskin. Dan ambil nyawaku dalam keadaan yang sama. Serta, kumpulkanlah aku bersama orang-orang miskin.”
Sekitar tahun 1925 M/1343H. Nyai Nadzifah, istri Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri, KH. Nawawie Noerhasan, melahirkan seorang bayi lelaki. Atas saran Mbah Cholil Bangkalan, kiai dan wali kesohor dari Bangkalan, bayi itu kemudian diberi nama Muhammad Cholil.
Keistimewaan Kiai Cholil memang sudah tampak sejak kecil, hingga sebagian orang pun meyakininya sudah menjadi wali sejak kecilnya itu.
Sehari sebelum Mbah Cholil Bangkalan wafat, Mas Cholil (panggilan akrab Kiai waktu kecil) berteriak-teriak, “Medura kiamat, Medura kiamat (Madura kiamat, Madura kiamat)”. Ucapan itu diteriakkan Mas Cholil berkali-kali, sehingga didengar oleh abahnya, Kiai Nawawie, yang waktu itu sedang mengajar di surau.
“Ana apa, Lil (ada apa Lil)?” Kiai Nawawie bertanya.
“Medura kiamat, Ba (Madura kiamat, Abah), “ kata Mas Cholil, mengulang.
Kiai Nawawie baru mengerti perkataan Mas Cholil pada keesokan harinya, ketika sampai berita kepadanya bahwa Mbah Cholil Bangkalan wafat. Ulama adalah pilar dunia yang dapat menahan murka Allah untuk menurunkan adzab pada manusia. Karena itu, wafatnya seorang ulama besar sekelas Mbah Cholil bisa disebut sebagai kiamat.
Dalam menjalani masa-masa belajar, Kiai Cholil mengembara dari satu pondok ke pondok yang lain. Selain mengaji kepada Kiai Abdul Djalil, Kiai Cholil juga pernah ngaji di Pesantren Sarang, Jawa Tengah, saat pesantren itu diasuh oleh Kiai Zubair, ayahanda K.H. Maimun Zubair.
Saat mondok di sana, di samping mengaji, secara sembunyi-sembunyi ia mengisi bak mandi Kiai Zubair. Selang beberapa lama, hal itu diketahui, Kiai Zubair berkata kepada Kiai Cholil, “Mas, sampeyan wangsul mawon, sa aken liane (Mas, kamu pulang saja, kasihan yang lain).”
Maksud kata “kasihan” tersebut karena hampir di setiap sisi ia unggul, sementara santri lainnya tertinggal jauh. Bahkan pada masalah yang tak terkait dengan pelajaran secara langsung, seperti kerja mengabdi kepada guru, ia mengungguli yang lainnya.
Di Pondok Sarang, Kiai Cholil mondok hanya sekitar tiga bulan.
Selepas dari Sarang, Kiai Cholil melanjutkan mengaji kepada Kiai Mahfudz, Termas, dan Kiai Masduki, Lasem, Jawa Tengah. Tidak diketahui secara pasti berapa lama Kiai Cholil mengaji kepada dua ulama kenamaan tersebut.
Selang beberapa lama, Kiai Cholil berangkat nyantri ke Makkah. Di Tanah Suci, Kiai Cholil mengaji kepada ulama-ulama besar, di antaranya Syaikh Amin Kutbi dan Syaikh Hasan Al-Yamani. Disebutkan, sewaktu di Makkah ia mondok selama tiga tahun.
Dua Lumbung Padi
Di dalem Kiai Cholil ada dua lumbung padi, satu untuk keperluan dalem, yang satunya untuk persediaan seandainya masyarakat kampung membutuhkan. Kondisi seperti itu sudah lama ia perhitungkan. Sebab, ketika waktu paceklik datang, biasanya masyarakat akan datang meminta bantuan kepadanya.
Suatu saat panen gagal, sehingga masyarakat berduyun-duyun meminta bantuan. Saking banyaknya yang datang, lumbung persediaan yang biasanya untuk keperluan dalem juga dikeluarkan, tapi tetap saja tidak mencukupi.
Kondisi itu membuatnya menangis sedih. Ia merasa tidak dapat membantu masyarakat dengan maksimal.
Bila hari raya sudah dekat, seperti biasanya banyak orang berkeliling menjajakan dagangan dari rumah ke rumah. Setiap orang yang datang kepadanya untuk menawarkan barang, hampir pasti barang dagangannya dibelinya, dan untuk sementara waktu disimpannya di dalem. Ketika hari raya tiba, semua barang itu dibagikan kepada tetangga sekitar.
Kiai Cholil juga dikenal sebagai seorang yang sangat menghormati tamu dan tidak membeda-bedakan siapa pun tamu yang datang kepadanya. Semua tamu ia sambut dengan penuh hormat dengan sambutan yang hangat.
Wujud kepeduliannya juga dapat dilihat dari komitmennya yang bukan saja mengajar santri-santri didiknya, tetapi juga mendidik masyarakat. Secara rutin ia memberikan pengajian kepada masyarakat kampung setiap hari Selasa. Sementara pada hari Ahad ia memberi pengajian kitab Bidayatul Hidayah kepada kepala desa dan aparatnya se-Kecamatan Kraton.
Pendidik Sejati nan Bersahaja
Kiai Cholil adalah sosok yang kesehariannya penuh dengan keteladanan. Di antara teladan istimewanya adalah keistiqamahannya yang sangat menonjol dalam hal belajar dan mengajar.
Sedari kecil, kecintaannya pada ilmu sudah sangat kuat. Itu ditandai di antaranya dengan kepergiannya yang selalu tak pernah lepas dari kitab.
Sementara dalam hal mengajar, para santrinya sangat merasakannya. Bagi mereka, hampir tidak pernah ada libur dalam majelis-majelis rutin bersama Kiai Cholil di sepanjang hidupnya.
Cerita salah seorang muridnya, Ustadz Abdurrahman Syakur, dirinya sering diajak Kiai Cholil untuk menghadiri undangan. Biasanya naik dokar. Di sela-sela perjalanan, Kiai Cholil sering kali menyempatkan diri mengajari pelajaran ilmu faraidh. Sampai sekarang pelajaran yang diberikan Kiai Cholil terus teringat dan banyak manfaatnya bagi si ustadz.
Terhadap pengembangan kualitas keilmuan santri, khususnya para santri senior, ia sangat menaruh perhatian. Secara bergilir santri senior dipanggil untuk membaca kitab di hadapannya. Karena Kiai Cholil yang memanggil, mau tidak mau, mereka tertuntut untuk selalu siap menguasai materi pelajaran, khawatir bila mereka dipanggil secara mendadak.
Ketekunannya dalam menyimak memang luar biasa. Adiknya, Kiai Hasani, sangat mengagumi sifat kakaknya itu. Kiai Hasani pun sampat mengutarakan langsung kekagumannya kepada sang kakak.
Namun dengan tawadhu’ Kiai Cholil menganggap ketekunan itu satu hal yang sangat wajar dan tidak perlu dikagumi. “Tidak tahu, Ni (Kiai Hasani), saya senang muthala’ah, anak-anak senang mendengarkan),” katanya kepada Kiai Hasani.
Salah seorang kiai, Kiai Aqib Yasin, pernah menuturkan, dalam hal ibadah zhahir, Kiai Cholil bisa dibilang “biasa”. Tapi dalam hal ta’lim wa ta’allum, ia luar biasa. “Tirakat Kiai Cholil itu ta’lim wa ta’allum.”
Mengenai ketekunannya tersebut, Kiai Cholil pernah menukil dhawuh dari ayahnya, Kiai Nawawie Noerhasan, “Tekunlah belajar dan shalat berjama’ah, niscaya kau peroleh ilmu yang bermanfaat”. Rupanya, dhawuh itu sangat membekas dan menjadi prinsip hidup Kiai Cholil. Tidak ada kamus berleha-leha, melepaskan waktu tersia-sia tanpa belajar.
Teringat akan dhawuh itu pula, selain dalam hal ilmu, dalam hal shalat berjama’ah selama hidupnya bisa dikatakan ia tidak pernah meninggalkan shalat berjama’ah. Ketika hampir wafat pun, ia memaksakan diri shalat berjama’ah dengan bermakmum kepada seorang kiai lainnya, K.H. Abdul Halim.
Kiai Cholil termasuk seorang hafizhul Qur’an, orang yang hafal Al-Quran. Bila ia mengimami shalat berjama’ah, suaranya menyejukkan qalbu dan sangat menyentuh hati, hingga tak jarang membuat air mata orang yang bermakmum kepadanya menetes tanpa mereka sadari.
Kiai Cholil adalah sebuah kitab yang telah termanifestasi dalam tingkah laku. Demikian buku Jejak Langkah Masyayikh Sidogiri menyebutkannya. Dengan kata lain, ia adalah kitab berjalan yang berhias perilaku yang penuh dengan keteladanan dalam gerak-geriknya sehari-hari. Akhlaq dan syari’atnya tepat berpadu dengan ilmunya.
Sepulang menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya, Kiai Cholil berkata pada Kiai Hasani, “Tidak pas, Ni. Mengerjakan sunnah, meninggalkan yang wajib.” Kalimat itu adalah ungkapan protes darinya pada sistem dan juga praktek pelaksanaan ibadah haji yang sering mengabaikan salat dalam perjalanan.
Pada suatu acara walimah, uang Kiai Cholil diambil oleh Gus ‘Ud, seorang yang terkenal sebagai wali majdzub. Kiai Cholil mengingatkan, “Haram, Gus… haram, Gus!” Kiai Cholil mengingatkan, siapapun orangnya, jika tidak sesuai syari’at, harus ditegur.
Selain tegas dalam hal syari’at, profilnya dikenal sangat sederhana dan tidak suka ditonjol-tonjolkan. Dalam forum-forum apapun ia lebih senang diam. Diamnya bukan berarti diam tidak paham atau acuh tak acuh. Diamnya itu adalah untuk memberikan kesempatan bicara yang lebih luas kepada yang lainnya. Terbukti, biasanya setelah semua anggota dalam suatu forum kehabisan argumen atau ada yang musykil, barulah Kiai Cholil angkat bicara, dan mereka semua langsung bisa menerima. Sehingga, bisik-bisik di kalangan mereka menyebutkan, ”Kiai Cholil banyak hafal kitab”.
Saat makan, bila sudah terasa nikmat, ia berhenti seketika. Soal kebiasaannya ini, Kiai Cholil tidak pernah bercerita, hingga sampai suatu ketika salah seorang yang biasa mendampinginya bertanya kepadanya tentang hal itu. “Saya khawatir nikmat saya habis di dunia,” jawab Kiai Cholil.
Sikap hidup sederhana Kiai Cholil bisa dibaca dari doa yang tertampang di dalemnya, “Ya Allah, hidupkan aku dalam keadaan miskin. Dan ambil nyawaku dalam keadaan yang sama. Serta kumpulkankanlah aku bersama orang-orang miskin.” Juga sebuah ayat Al-Quran yang maknanya, “Kami memberikan makan pada kalian hanya untuk (mencari) ridha Allah. Kami tidak mengharap dari kalian balasan dan juga kata terima kasih.”
Kedua kalimat itu terpampang di ruang tamu dalem Kiai Cholil dan sering dibaca olehnya. Tulisan itu bukan sebuah hiasan belaka atau slogan kosong, tapi betul-betul terwujud nyata dalam kehidupan Kiai Cholil sehari-hari.
Kepergian Sang Teladan
Segala yang hidup akan kembali kepada-Nya. Tak ada yang mampu menebak kapan Malaikat Maut akan datang menjemput ajal. Tak ada pula orang yang dapat mengulur waktu dari jadwal yang telah ditentukan.
Di salah satu malam ganjil pada bulan yang amat mulia, Senin Pon 21 Ramadhan 1397 H atau 05 September 1977, Kiai Cholil wafat.
Shalat terakhirnya adalah shalat Isya yang kemudian dilanjutkan dengan shalat Tarawih. Ia shalat duduk bermakmum kepada K.H. Abdul Halim. Sebelum shalat, karena sifat tawadhu’nya, ia bertanya kepada K.H. Abdul Halim, apakah sudah boleh dirinya shalat dengan duduk.
Saat sedang mengerjakan shalat Tarawih seperti malam-malam sebelumnya, ia pergi ke kamar kecil. Ketika itu, ia terjatuh tanpa ada seorang pun bersamanya.
Tak lama berselang salah seorang santri yang biasa mengirinya dating menolong. Tapi tak lama kemudian, Kiai Cholil mengembuskan napas yang terakhir.
Beribu-ribu orang hadir untuk memberikan penghormatan kepada seorang yang pernah dikomentari oleh Rais Am NU K.H. Ahmad Shiddiq Jember, “Kiai Cholil itu wali karena istiqamahnya.” Dengan mata berkaca-kaca mereka mengenang dengan doa kepada sosok kiai tercinta. Kiai yang penuh rasa kasih sayang.
Saat itu, keranda seperti berjalan di atas ujung jari, karena begitu banyak dan rapatnya orang yang memikul. Bahkan, tikar yang dibuat sebagai alas keranda menjadi rebutan ribuan jama’ah sampai habis tak tersisa. Semuanya berebut untuk mengambil, kendati secuil, barakah Kiai Cholil. []
IY*AP
Catatan:
1. Yang disebut “Kiai Abdul Djalil” adalah K.H. Abd. Djalil bin Fadlil, kakak ipar K.H. Cholil Nawawie dan Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri sebelum beliau.
2. Yang disebut “Ustadz Abdurrahman Syakur” adalah K.H. AD. Rohman Syakur, Rais Syuriah PCNU Kab. Pasuruan.
3. Yang disebut “K.H. Abdul Halim” adalah K.H. Abd. Alim Abd. Djalil (wafat 2005), keponakan K.H. Cholil Nawawie dan penerusnya sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.
4. Yang disebut “Kiai Aqib Yasin” adalah keponakan K.H. Cholil Nawawie dan kiai di PP. Salafiyah, Kota Pasuruan.
(“Ya Allah, hidupkan aku dalam keadaan miskin. Dan ambil nyawaku dalam keadaan yang sama. Serta, kumpulkanlah aku bersama orang-orang miskin.”
Sekitar tahun 1925 M/1343H. Nyai Nadzifah, istri Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri, KH. Nawawie Noerhasan, melahirkan seorang bayi lelaki. Atas saran Mbah Cholil Bangkalan, kiai dan wali kesohor dari Bangkalan, bayi itu kemudian diberi nama Muhammad Cholil.
Keistimewaan Kiai Cholil memang sudah tampak sejak kecil, hingga sebagian orang pun meyakininya sudah menjadi wali sejak kecilnya itu.
Sehari sebelum Mbah Cholil Bangkalan wafat, Mas Cholil (panggilan akrab Kiai waktu kecil) berteriak-teriak, “Medura kiamat, Medura kiamat (Madura kiamat, Madura kiamat)”. Ucapan itu diteriakkan Mas Cholil berkali-kali, sehingga didengar oleh abahnya, Kiai Nawawie, yang waktu itu sedang mengajar di surau.
“Ana apa, Lil (ada apa Lil)?” Kiai Nawawie bertanya.
“Medura kiamat, Ba (Madura kiamat, Abah), “ kata Mas Cholil, mengulang.
Kiai Nawawie baru mengerti perkataan Mas Cholil pada keesokan harinya, ketika sampai berita kepadanya bahwa Mbah Cholil Bangkalan wafat. Ulama adalah pilar dunia yang dapat menahan murka Allah untuk menurunkan adzab pada manusia. Karena itu, wafatnya seorang ulama besar sekelas Mbah Cholil bisa disebut sebagai kiamat.
Dalam menjalani masa-masa belajar, Kiai Cholil mengembara dari satu pondok ke pondok yang lain. Selain mengaji kepada Kiai Abdul Djalil, Kiai Cholil juga pernah ngaji di Pesantren Sarang, Jawa Tengah, saat pesantren itu diasuh oleh Kiai Zubair, ayahanda K.H. Maimun Zubair.
Saat mondok di sana, di samping mengaji, secara sembunyi-sembunyi ia mengisi bak mandi Kiai Zubair. Selang beberapa lama, hal itu diketahui, Kiai Zubair berkata kepada Kiai Cholil, “Mas, sampeyan wangsul mawon, sa aken liane (Mas, kamu pulang saja, kasihan yang lain).”
Maksud kata “kasihan” tersebut karena hampir di setiap sisi ia unggul, sementara santri lainnya tertinggal jauh. Bahkan pada masalah yang tak terkait dengan pelajaran secara langsung, seperti kerja mengabdi kepada guru, ia mengungguli yang lainnya.
Di Pondok Sarang, Kiai Cholil mondok hanya sekitar tiga bulan.
Selepas dari Sarang, Kiai Cholil melanjutkan mengaji kepada Kiai Mahfudz, Termas, dan Kiai Masduki, Lasem, Jawa Tengah. Tidak diketahui secara pasti berapa lama Kiai Cholil mengaji kepada dua ulama kenamaan tersebut.
Selang beberapa lama, Kiai Cholil berangkat nyantri ke Makkah. Di Tanah Suci, Kiai Cholil mengaji kepada ulama-ulama besar, di antaranya Syaikh Amin Kutbi dan Syaikh Hasan Al-Yamani. Disebutkan, sewaktu di Makkah ia mondok selama tiga tahun.
Dua Lumbung Padi
Di dalem Kiai Cholil ada dua lumbung padi, satu untuk keperluan dalem, yang satunya untuk persediaan seandainya masyarakat kampung membutuhkan. Kondisi seperti itu sudah lama ia perhitungkan. Sebab, ketika waktu paceklik datang, biasanya masyarakat akan datang meminta bantuan kepadanya.
Suatu saat panen gagal, sehingga masyarakat berduyun-duyun meminta bantuan. Saking banyaknya yang datang, lumbung persediaan yang biasanya untuk keperluan dalem juga dikeluarkan, tapi tetap saja tidak mencukupi.
Kondisi itu membuatnya menangis sedih. Ia merasa tidak dapat membantu masyarakat dengan maksimal.
Bila hari raya sudah dekat, seperti biasanya banyak orang berkeliling menjajakan dagangan dari rumah ke rumah. Setiap orang yang datang kepadanya untuk menawarkan barang, hampir pasti barang dagangannya dibelinya, dan untuk sementara waktu disimpannya di dalem. Ketika hari raya tiba, semua barang itu dibagikan kepada tetangga sekitar.
Kiai Cholil juga dikenal sebagai seorang yang sangat menghormati tamu dan tidak membeda-bedakan siapa pun tamu yang datang kepadanya. Semua tamu ia sambut dengan penuh hormat dengan sambutan yang hangat.
Wujud kepeduliannya juga dapat dilihat dari komitmennya yang bukan saja mengajar santri-santri didiknya, tetapi juga mendidik masyarakat. Secara rutin ia memberikan pengajian kepada masyarakat kampung setiap hari Selasa. Sementara pada hari Ahad ia memberi pengajian kitab Bidayatul Hidayah kepada kepala desa dan aparatnya se-Kecamatan Kraton.
Pendidik Sejati nan Bersahaja
Kiai Cholil adalah sosok yang kesehariannya penuh dengan keteladanan. Di antara teladan istimewanya adalah keistiqamahannya yang sangat menonjol dalam hal belajar dan mengajar.
Sedari kecil, kecintaannya pada ilmu sudah sangat kuat. Itu ditandai di antaranya dengan kepergiannya yang selalu tak pernah lepas dari kitab.
Sementara dalam hal mengajar, para santrinya sangat merasakannya. Bagi mereka, hampir tidak pernah ada libur dalam majelis-majelis rutin bersama Kiai Cholil di sepanjang hidupnya.
Cerita salah seorang muridnya, Ustadz Abdurrahman Syakur, dirinya sering diajak Kiai Cholil untuk menghadiri undangan. Biasanya naik dokar. Di sela-sela perjalanan, Kiai Cholil sering kali menyempatkan diri mengajari pelajaran ilmu faraidh. Sampai sekarang pelajaran yang diberikan Kiai Cholil terus teringat dan banyak manfaatnya bagi si ustadz.
Terhadap pengembangan kualitas keilmuan santri, khususnya para santri senior, ia sangat menaruh perhatian. Secara bergilir santri senior dipanggil untuk membaca kitab di hadapannya. Karena Kiai Cholil yang memanggil, mau tidak mau, mereka tertuntut untuk selalu siap menguasai materi pelajaran, khawatir bila mereka dipanggil secara mendadak.
Ketekunannya dalam menyimak memang luar biasa. Adiknya, Kiai Hasani, sangat mengagumi sifat kakaknya itu. Kiai Hasani pun sampat mengutarakan langsung kekagumannya kepada sang kakak.
Namun dengan tawadhu’ Kiai Cholil menganggap ketekunan itu satu hal yang sangat wajar dan tidak perlu dikagumi. “Tidak tahu, Ni (Kiai Hasani), saya senang muthala’ah, anak-anak senang mendengarkan),” katanya kepada Kiai Hasani.
Salah seorang kiai, Kiai Aqib Yasin, pernah menuturkan, dalam hal ibadah zhahir, Kiai Cholil bisa dibilang “biasa”. Tapi dalam hal ta’lim wa ta’allum, ia luar biasa. “Tirakat Kiai Cholil itu ta’lim wa ta’allum.”
Mengenai ketekunannya tersebut, Kiai Cholil pernah menukil dhawuh dari ayahnya, Kiai Nawawie Noerhasan, “Tekunlah belajar dan shalat berjama’ah, niscaya kau peroleh ilmu yang bermanfaat”. Rupanya, dhawuh itu sangat membekas dan menjadi prinsip hidup Kiai Cholil. Tidak ada kamus berleha-leha, melepaskan waktu tersia-sia tanpa belajar.
Teringat akan dhawuh itu pula, selain dalam hal ilmu, dalam hal shalat berjama’ah selama hidupnya bisa dikatakan ia tidak pernah meninggalkan shalat berjama’ah. Ketika hampir wafat pun, ia memaksakan diri shalat berjama’ah dengan bermakmum kepada seorang kiai lainnya, K.H. Abdul Halim.
Kiai Cholil termasuk seorang hafizhul Qur’an, orang yang hafal Al-Quran. Bila ia mengimami shalat berjama’ah, suaranya menyejukkan qalbu dan sangat menyentuh hati, hingga tak jarang membuat air mata orang yang bermakmum kepadanya menetes tanpa mereka sadari.
Kiai Cholil adalah sebuah kitab yang telah termanifestasi dalam tingkah laku. Demikian buku Jejak Langkah Masyayikh Sidogiri menyebutkannya. Dengan kata lain, ia adalah kitab berjalan yang berhias perilaku yang penuh dengan keteladanan dalam gerak-geriknya sehari-hari. Akhlaq dan syari’atnya tepat berpadu dengan ilmunya.
Sepulang menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya, Kiai Cholil berkata pada Kiai Hasani, “Tidak pas, Ni. Mengerjakan sunnah, meninggalkan yang wajib.” Kalimat itu adalah ungkapan protes darinya pada sistem dan juga praktek pelaksanaan ibadah haji yang sering mengabaikan salat dalam perjalanan.
Pada suatu acara walimah, uang Kiai Cholil diambil oleh Gus ‘Ud, seorang yang terkenal sebagai wali majdzub. Kiai Cholil mengingatkan, “Haram, Gus… haram, Gus!” Kiai Cholil mengingatkan, siapapun orangnya, jika tidak sesuai syari’at, harus ditegur.
Selain tegas dalam hal syari’at, profilnya dikenal sangat sederhana dan tidak suka ditonjol-tonjolkan. Dalam forum-forum apapun ia lebih senang diam. Diamnya bukan berarti diam tidak paham atau acuh tak acuh. Diamnya itu adalah untuk memberikan kesempatan bicara yang lebih luas kepada yang lainnya. Terbukti, biasanya setelah semua anggota dalam suatu forum kehabisan argumen atau ada yang musykil, barulah Kiai Cholil angkat bicara, dan mereka semua langsung bisa menerima. Sehingga, bisik-bisik di kalangan mereka menyebutkan, ”Kiai Cholil banyak hafal kitab”.
Saat makan, bila sudah terasa nikmat, ia berhenti seketika. Soal kebiasaannya ini, Kiai Cholil tidak pernah bercerita, hingga sampai suatu ketika salah seorang yang biasa mendampinginya bertanya kepadanya tentang hal itu. “Saya khawatir nikmat saya habis di dunia,” jawab Kiai Cholil.
Sikap hidup sederhana Kiai Cholil bisa dibaca dari doa yang tertampang di dalemnya, “Ya Allah, hidupkan aku dalam keadaan miskin. Dan ambil nyawaku dalam keadaan yang sama. Serta kumpulkankanlah aku bersama orang-orang miskin.” Juga sebuah ayat Al-Quran yang maknanya, “Kami memberikan makan pada kalian hanya untuk (mencari) ridha Allah. Kami tidak mengharap dari kalian balasan dan juga kata terima kasih.”
Kedua kalimat itu terpampang di ruang tamu dalem Kiai Cholil dan sering dibaca olehnya. Tulisan itu bukan sebuah hiasan belaka atau slogan kosong, tapi betul-betul terwujud nyata dalam kehidupan Kiai Cholil sehari-hari.
Kepergian Sang Teladan
Segala yang hidup akan kembali kepada-Nya. Tak ada yang mampu menebak kapan Malaikat Maut akan datang menjemput ajal. Tak ada pula orang yang dapat mengulur waktu dari jadwal yang telah ditentukan.
Di salah satu malam ganjil pada bulan yang amat mulia, Senin Pon 21 Ramadhan 1397 H atau 05 September 1977, Kiai Cholil wafat.
Shalat terakhirnya adalah shalat Isya yang kemudian dilanjutkan dengan shalat Tarawih. Ia shalat duduk bermakmum kepada K.H. Abdul Halim. Sebelum shalat, karena sifat tawadhu’nya, ia bertanya kepada K.H. Abdul Halim, apakah sudah boleh dirinya shalat dengan duduk.
Saat sedang mengerjakan shalat Tarawih seperti malam-malam sebelumnya, ia pergi ke kamar kecil. Ketika itu, ia terjatuh tanpa ada seorang pun bersamanya.
Tak lama berselang salah seorang santri yang biasa mengirinya dating menolong. Tapi tak lama kemudian, Kiai Cholil mengembuskan napas yang terakhir.
Beribu-ribu orang hadir untuk memberikan penghormatan kepada seorang yang pernah dikomentari oleh Rais Am NU K.H. Ahmad Shiddiq Jember, “Kiai Cholil itu wali karena istiqamahnya.” Dengan mata berkaca-kaca mereka mengenang dengan doa kepada sosok kiai tercinta. Kiai yang penuh rasa kasih sayang.
Saat itu, keranda seperti berjalan di atas ujung jari, karena begitu banyak dan rapatnya orang yang memikul. Bahkan, tikar yang dibuat sebagai alas keranda menjadi rebutan ribuan jama’ah sampai habis tak tersisa. Semuanya berebut untuk mengambil, kendati secuil, barakah Kiai Cholil. []
IY*AP
Catatan:
1. Yang disebut “Kiai Abdul Djalil” adalah K.H. Abd. Djalil bin Fadlil, kakak ipar K.H. Cholil Nawawie dan Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri sebelum beliau.
2. Yang disebut “Ustadz Abdurrahman Syakur” adalah K.H. AD. Rohman Syakur, Rais Syuriah PCNU Kab. Pasuruan.
3. Yang disebut “K.H. Abdul Halim” adalah K.H. Abd. Alim Abd. Djalil (wafat 2005), keponakan K.H. Cholil Nawawie dan penerusnya sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.
4. Yang disebut “Kiai Aqib Yasin” adalah keponakan K.H. Cholil Nawawie dan kiai di PP. Salafiyah, Kota Pasuruan.
(“Ya Allah, hidupkan aku dalam keadaan miskin. Dan ambil nyawaku dalam keadaan yang sama. Serta, kumpulkanlah aku bersama orang-orang miskin.”
Sekitar tahun 1925 M/1343H. Nyai Nadzifah, istri Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri, KH. Nawawie Noerhasan, melahirkan seorang bayi lelaki. Atas saran Mbah Cholil Bangkalan, kiai dan wali kesohor dari Bangkalan, bayi itu kemudian diberi nama Muhammad Cholil.
Keistimewaan Kiai Cholil memang sudah tampak sejak kecil, hingga sebagian orang pun meyakininya sudah menjadi wali sejak kecilnya itu.
Sehari sebelum Mbah Cholil Bangkalan wafat, Mas Cholil (panggilan akrab Kiai waktu kecil) berteriak-teriak, “Medura kiamat, Medura kiamat (Madura kiamat, Madura kiamat)”. Ucapan itu diteriakkan Mas Cholil berkali-kali, sehingga didengar oleh abahnya, Kiai Nawawie, yang waktu itu sedang mengajar di surau.
“Ana apa, Lil (ada apa Lil)?” Kiai Nawawie bertanya.
“Medura kiamat, Ba (Madura kiamat, Abah), “ kata Mas Cholil, mengulang.
Kiai Nawawie baru mengerti perkataan Mas Cholil pada keesokan harinya, ketika sampai berita kepadanya bahwa Mbah Cholil Bangkalan wafat. Ulama adalah pilar dunia yang dapat menahan murka Allah untuk menurunkan adzab pada manusia. Karena itu, wafatnya seorang ulama besar sekelas Mbah Cholil bisa disebut sebagai kiamat.
Dalam menjalani masa-masa belajar, Kiai Cholil mengembara dari satu pondok ke pondok yang lain. Selain mengaji kepada Kiai Abdul Djalil, Kiai Cholil juga pernah ngaji di Pesantren Sarang, Jawa Tengah, saat pesantren itu diasuh oleh Kiai Zubair, ayahanda K.H. Maimun Zubair.
Saat mondok di sana, di samping mengaji, secara sembunyi-sembunyi ia mengisi bak mandi Kiai Zubair. Selang beberapa lama, hal itu diketahui, Kiai Zubair berkata kepada Kiai Cholil, “Mas, sampeyan wangsul mawon, sa aken liane (Mas, kamu pulang saja, kasihan yang lain).”
Maksud kata “kasihan” tersebut karena hampir di setiap sisi ia unggul, sementara santri lainnya tertinggal jauh. Bahkan pada masalah yang tak terkait dengan pelajaran secara langsung, seperti kerja mengabdi kepada guru, ia mengungguli yang lainnya.
Di Pondok Sarang, Kiai Cholil mondok hanya sekitar tiga bulan.
Selepas dari Sarang, Kiai Cholil melanjutkan mengaji kepada Kiai Mahfudz, Termas, dan Kiai Masduki, Lasem, Jawa Tengah. Tidak diketahui secara pasti berapa lama Kiai Cholil mengaji kepada dua ulama kenamaan tersebut.
Selang beberapa lama, Kiai Cholil berangkat nyantri ke Makkah. Di Tanah Suci, Kiai Cholil mengaji kepada ulama-ulama besar, di antaranya Syaikh Amin Kutbi dan Syaikh Hasan Al-Yamani. Disebutkan, sewaktu di Makkah ia mondok selama tiga tahun.
Dua Lumbung Padi
Di dalem Kiai Cholil ada dua lumbung padi, satu untuk keperluan dalem, yang satunya untuk persediaan seandainya masyarakat kampung membutuhkan. Kondisi seperti itu sudah lama ia perhitungkan. Sebab, ketika waktu paceklik datang, biasanya masyarakat akan datang meminta bantuan kepadanya.
Suatu saat panen gagal, sehingga masyarakat berduyun-duyun meminta bantuan. Saking banyaknya yang datang, lumbung persediaan yang biasanya untuk keperluan dalem juga dikeluarkan, tapi tetap saja tidak mencukupi.
Kondisi itu membuatnya menangis sedih. Ia merasa tidak dapat membantu masyarakat dengan maksimal.
Bila hari raya sudah dekat, seperti biasanya banyak orang berkeliling menjajakan dagangan dari rumah ke rumah. Setiap orang yang datang kepadanya untuk menawarkan barang, hampir pasti barang dagangannya dibelinya, dan untuk sementara waktu disimpannya di dalem. Ketika hari raya tiba, semua barang itu dibagikan kepada tetangga sekitar.
Kiai Cholil juga dikenal sebagai seorang yang sangat menghormati tamu dan tidak membeda-bedakan siapa pun tamu yang datang kepadanya. Semua tamu ia sambut dengan penuh hormat dengan sambutan yang hangat.
Wujud kepeduliannya juga dapat dilihat dari komitmennya yang bukan saja mengajar santri-santri didiknya, tetapi juga mendidik masyarakat. Secara rutin ia memberikan pengajian kepada masyarakat kampung setiap hari Selasa. Sementara pada hari Ahad ia memberi pengajian kitab Bidayatul Hidayah kepada kepala desa dan aparatnya se-Kecamatan Kraton.
Pendidik Sejati nan Bersahaja
Kiai Cholil adalah sosok yang kesehariannya penuh dengan keteladanan. Di antara teladan istimewanya adalah keistiqamahannya yang sangat menonjol dalam hal belajar dan mengajar.
Sedari kecil, kecintaannya pada ilmu sudah sangat kuat. Itu ditandai di antaranya dengan kepergiannya yang selalu tak pernah lepas dari kitab.
Sementara dalam hal mengajar, para santrinya sangat merasakannya. Bagi mereka, hampir tidak pernah ada libur dalam majelis-majelis rutin bersama Kiai Cholil di sepanjang hidupnya.
Cerita salah seorang muridnya, Ustadz Abdurrahman Syakur, dirinya sering diajak Kiai Cholil untuk menghadiri undangan. Biasanya naik dokar. Di sela-sela perjalanan, Kiai Cholil sering kali menyempatkan diri mengajari pelajaran ilmu faraidh. Sampai sekarang pelajaran yang diberikan Kiai Cholil terus teringat dan banyak manfaatnya bagi si ustadz.
Terhadap pengembangan kualitas keilmuan santri, khususnya para santri senior, ia sangat menaruh perhatian. Secara bergilir santri senior dipanggil untuk membaca kitab di hadapannya. Karena Kiai Cholil yang memanggil, mau tidak mau, mereka tertuntut untuk selalu siap menguasai materi pelajaran, khawatir bila mereka dipanggil secara mendadak.
Ketekunannya dalam menyimak memang luar biasa. Adiknya, Kiai Hasani, sangat mengagumi sifat kakaknya itu. Kiai Hasani pun sampat mengutarakan langsung kekagumannya kepada sang kakak.
Namun dengan tawadhu’ Kiai Cholil menganggap ketekunan itu satu hal yang sangat wajar dan tidak perlu dikagumi. “Tidak tahu, Ni (Kiai Hasani), saya senang muthala’ah, anak-anak senang mendengarkan),” katanya kepada Kiai Hasani.
Salah seorang kiai, Kiai Aqib Yasin, pernah menuturkan, dalam hal ibadah zhahir, Kiai Cholil bisa dibilang “biasa”. Tapi dalam hal ta’lim wa ta’allum, ia luar biasa. “Tirakat Kiai Cholil itu ta’lim wa ta’allum.”
Mengenai ketekunannya tersebut, Kiai Cholil pernah menukil dhawuh dari ayahnya, Kiai Nawawie Noerhasan, “Tekunlah belajar dan shalat berjama’ah, niscaya kau peroleh ilmu yang bermanfaat”. Rupanya, dhawuh itu sangat membekas dan menjadi prinsip hidup Kiai Cholil. Tidak ada kamus berleha-leha, melepaskan waktu tersia-sia tanpa belajar.
Teringat akan dhawuh itu pula, selain dalam hal ilmu, dalam hal shalat berjama’ah selama hidupnya bisa dikatakan ia tidak pernah meninggalkan shalat berjama’ah. Ketika hampir wafat pun, ia memaksakan diri shalat berjama’ah dengan bermakmum kepada seorang kiai lainnya, K.H. Abdul Halim.
Kiai Cholil termasuk seorang hafizhul Qur’an, orang yang hafal Al-Quran. Bila ia mengimami shalat berjama’ah, suaranya menyejukkan qalbu dan sangat menyentuh hati, hingga tak jarang membuat air mata orang yang bermakmum kepadanya menetes tanpa mereka sadari.
Kiai Cholil adalah sebuah kitab yang telah termanifestasi dalam tingkah laku. Demikian buku Jejak Langkah Masyayikh Sidogiri menyebutkannya. Dengan kata lain, ia adalah kitab berjalan yang berhias perilaku yang penuh dengan keteladanan dalam gerak-geriknya sehari-hari. Akhlaq dan syari’atnya tepat berpadu dengan ilmunya.
Sepulang menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya, Kiai Cholil berkata pada Kiai Hasani, “Tidak pas, Ni. Mengerjakan sunnah, meninggalkan yang wajib.” Kalimat itu adalah ungkapan protes darinya pada sistem dan juga praktek pelaksanaan ibadah haji yang sering mengabaikan salat dalam perjalanan.
Pada suatu acara walimah, uang Kiai Cholil diambil oleh Gus ‘Ud, seorang yang terkenal sebagai wali majdzub. Kiai Cholil mengingatkan, “Haram, Gus… haram, Gus!” Kiai Cholil mengingatkan, siapapun orangnya, jika tidak sesuai syari’at, harus ditegur.
Selain tegas dalam hal syari’at, profilnya dikenal sangat sederhana dan tidak suka ditonjol-tonjolkan. Dalam forum-forum apapun ia lebih senang diam. Diamnya bukan berarti diam tidak paham atau acuh tak acuh. Diamnya itu adalah untuk memberikan kesempatan bicara yang lebih luas kepada yang lainnya. Terbukti, biasanya setelah semua anggota dalam suatu forum kehabisan argumen atau ada yang musykil, barulah Kiai Cholil angkat bicara, dan mereka semua langsung bisa menerima. Sehingga, bisik-bisik di kalangan mereka menyebutkan, ”Kiai Cholil banyak hafal kitab”.
Saat makan, bila sudah terasa nikmat, ia berhenti seketika. Soal kebiasaannya ini, Kiai Cholil tidak pernah bercerita, hingga sampai suatu ketika salah seorang yang biasa mendampinginya bertanya kepadanya tentang hal itu. “Saya khawatir nikmat saya habis di dunia,” jawab Kiai Cholil.
Sikap hidup sederhana Kiai Cholil bisa dibaca dari doa yang tertampang di dalemnya, “Ya Allah, hidupkan aku dalam keadaan miskin. Dan ambil nyawaku dalam keadaan yang sama. Serta kumpulkankanlah aku bersama orang-orang miskin.” Juga sebuah ayat Al-Quran yang maknanya, “Kami memberikan makan pada kalian hanya untuk (mencari) ridha Allah. Kami tidak mengharap dari kalian balasan dan juga kata terima kasih.”
Kedua kalimat itu terpampang di ruang tamu dalem Kiai Cholil dan sering dibaca olehnya. Tulisan itu bukan sebuah hiasan belaka atau slogan kosong, tapi betul-betul terwujud nyata dalam kehidupan Kiai Cholil sehari-hari.
Kepergian Sang Teladan
Segala yang hidup akan kembali kepada-Nya. Tak ada yang mampu menebak kapan Malaikat Maut akan datang menjemput ajal. Tak ada pula orang yang dapat mengulur waktu dari jadwal yang telah ditentukan.
Di salah satu malam ganjil pada bulan yang amat mulia, Senin Pon 21 Ramadhan 1397 H atau 05 September 1977, Kiai Cholil wafat.
Shalat terakhirnya adalah shalat Isya yang kemudian dilanjutkan dengan shalat Tarawih. Ia shalat duduk bermakmum kepada K.H. Abdul Halim. Sebelum shalat, karena sifat tawadhu’nya, ia bertanya kepada K.H. Abdul Halim, apakah sudah boleh dirinya shalat dengan duduk.
Saat sedang mengerjakan shalat Tarawih seperti malam-malam sebelumnya, ia pergi ke kamar kecil. Ketika itu, ia terjatuh tanpa ada seorang pun bersamanya.
Tak lama berselang salah seorang santri yang biasa mengirinya dating menolong. Tapi tak lama kemudian, Kiai Cholil mengembuskan napas yang terakhir.
Beribu-ribu orang hadir untuk memberikan penghormatan kepada seorang yang pernah dikomentari oleh Rais Am NU K.H. Ahmad Shiddiq Jember, “Kiai Cholil itu wali karena istiqamahnya.” Dengan mata berkaca-kaca mereka mengenang dengan doa kepada sosok kiai tercinta. Kiai yang penuh rasa kasih sayang.
Saat itu, keranda seperti berjalan di atas ujung jari, karena begitu banyak dan rapatnya orang yang memikul. Bahkan, tikar yang dibuat sebagai alas keranda menjadi rebutan ribuan jama’ah sampai habis tak tersisa. Semuanya berebut untuk mengambil, kendati secuil, barakah Kiai Cholil. []
IY*AP
Catatan:
1. Yang disebut “Kiai Abdul Djalil” adalah K.H. Abd. Djalil bin Fadlil, kakak ipar K.H. Cholil Nawawie dan Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri sebelum beliau.
2. Yang disebut “Ustadz Abdurrahman Syakur” adalah K.H. AD. Rohman Syakur, Rais Syuriah PCNU Kab. Pasuruan.
3. Yang disebut “K.H. Abdul Halim” adalah K.H. Abd. Alim Abd. Djalil (wafat 2005), keponakan K.H. Cholil Nawawie dan penerusnya sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.
4. Yang disebut “Kiai Aqib Yasin” adalah keponakan K.H. Cholil Nawawie dan kiai di PP. Salafiyah, Kota Pasuruan.
(Majalah alkisah No. 20/tahun VII/5-18 Oktober 2009,http://syamsu-l.blogspot.com/2009/12/kh-cholil-nawawie-sidogiri-jawa-timur.html)
0 komentar:
Posting Komentar