Hadrotus Syekh KH. Manshoer Anwar dilahirkan pada tanggal 20 Sya’ban 1325 H / 1907 M. Di dusun Paculgowang Diwek Jombang. Ketika itu ayahandanya Al Maghfurlah KH. Anwar Alwi telah mengasuh pondok pesantren. Kelahiran beliau di tengah-tengah keluarganya disambut dengan rasa syukur kehadirat Allah S.W.T. yang telah menganugrahkan seorang bayi yang mungil dan lucu yang kemudian diberi nama Abdul Barr. Beliau adalah putera keempat dari pasangan KH. Anwar Alwi dengan Nyai Hj. Khodijah yang berjumlah dua belas :
1. Noer 7. Azizah
2. Mabrur 8. Rumanah
3. Abdul Halim 9. Bariyyah/Robi’ah
4. Abdul Barr 10. Amjad
5. Afifah 11. ‘Alie
6. As’ad/KH. Mahfudz 12. Abdullah
Masa Kanak-kanak
Sebagaimana lazimnya orang-orang yang akan menjadi pemimpin dimasa yang akan datang, Manshoer kecilpun sudah menampakan keistimewahan pada dirinya. Hingga pada hal-hal yang sebenarnya tidak diterima oleh akal secara wajar, dan hal itu pernah terjadi pada beliau ketika berumur lima tahun.
Konon, beliau sedang bermain di bawah pohon kelapa di belakang di belakang rumah. Ketika beliau sedang asyik bermain, tiba-tiba sebuah kelapa jatuh menimpa kepalanya dari ketinggian kira-kira lima belas meter, tetapi anehnya beliau tidak terluka sedikitpun dikepala. Namun hanya tidak sadarkan diri, dalam sekejap kemudian beliau pulih kembali seperti semula. Padahal jelas peristiwa itu tidak masuk akal kalau kepala manusia ditimpa sebuah kelapa dengan ketinggian tersebut tidak mengalami luka sedikitpun. Kejadian aneh yang lain yang pernah terjadi pada beliau, ketika beliau terperosok kedalam kubangan kapur gamping yang dalam keadaan mendidih. Dan beliau tidak juga mengalami luka sedikitpun. Peristiwa ini jelaslah pertolongan Allah S.W.T. yang menghendaki pada salah seorang hambanya, yang akan menjadi panutan serta teladan bagi umat islam dalam masyarakat sekitarnya.
Demikian kejadian-kejadian aneh yang menimpa beliau dimasa kanak-kanak, yang beliau lalui dengan tabah meski penuh penderitaan yang jarang dialami oleh anak-anak kecil waktu itu. Walau begitu beliau sangat tekun memperdalam ilmu pengetahuan dibawah asuhan ayahandanya. Hari demi hari yang beliau lalui semata untuk belajar dan patuh pada orangtua.
Belajar Di Tanah Suci
Pada awalnya keberangkatan KH. Manshoer ke Tanah Suci dengan maksud menunaikan rukun islam yang kelima, yaitu ibadah haji bersama orangtuanya. Tetapi karena waktu itu beliau masih berumur empat belas tahun, maka oleh kedua orangtuanya beliau dititipkan kepada KH. Baidlowi, salah seorang menantu KH. Hasyim Asy’ari yang bermukim di Makkah. Sementara orangtuanya kembali ke Tanah Air.
Selama kurang lebih empat tahun dibawah asuhan dan bimbingan KH. Baidlowi, beliau hendak dikirim ke Mesir untuk meneruskan jenjang pendidikannya di Universitas Al Azhar Kairo. Pada saat itu terjadi perebutab kekuasaan di Tanah Suci antara Syarief Husein dan Ibnu Sa’ud. Maka atas anjuran KH. Baidlowi, beliau yang sudah bergelar haji segera mengirim surat kepada orangtuanya untuk mengutarakan niat dan anjuran KH. Baidlowi, akan tetapi dalam surat balasannya, orangtuanya menghendaki beliau pulang saja dan melanjutkan pendidikannya di Tabah Air. Setelah mengerti akan kehendak orangtuanya KH. Baidlowi pun tidak memaksa kehendak KH. Manshoer untuk belajar di Kairo. Akhirnya atas restu KH. Baidlowi yang selama kurang lebih empat tahun menjadi pengasuh sekaligus gurunya, KH. Manshoer meninggalkan Tanah Suci untuk kembali ke Tanah Air bersama rombongan.
Mondok Di Tanah Air
Sekembalinya beliau dari Tanah Suci, KH. Manshoer lalu meneruskan pelajarannya dipondok pesantren Tebuireng. Pondok yang berjarak dua kilometer dari arah barat Paculgowang yang kala itu diasuh oleh Hadrotus Syeh KH. Hasyim Asy’ari, seorang sahabat ayah beliau.
Di Pondok pesantren Tebuireng beliau sempat mengenyam pendidikan selama tiga tahun. Kemudian melanjutkan pendidikan belajarnnya di Pondok Lirboyo Kediri. Di Pondok ini pun beliau belajar selama tiga tahun. Namun dalam masa tiga tahun pendidikan tersebut cukup berpengaruh bagi perkembangan pribadi beliau yang luhur. Perilaku dan kepribadian beliau dalam kesehariannya telah tampak ciri-ciri keistimewah yang memancar dalam dirinya. Semangat serta ketekunan dalam mempelajari ilmu-ilmu agama membuat teman-teman merasa segan dan menaruh rasa hormat. Maklum selain beliau seorang putera Jombang, juga waktu itu beliau sudah bergelar haji, yang memang langka bagi kalangan santri pada waktu itu, tetapi bukan berarti beliau menjadi santri yang sombong karena faktor keturunan maupun gelar haji yang disandangnya. Bahkan satu sikap yang jarang dimiliki oleh santri pada waktu itu adalah pembawaan beliau yang tenang dan tidak ceroboh.
Maka tidak salah apabila Hadrotus Syeh KH. Abdul Kariem merasa simpati dan tertarik untuk dijadikan sebagai menantu. Sehingga pada waktu itu keluarga Lirboyo menghubungi KH. Anwar, ayahanda beliau. Dan ternyata keinginan KH. Abdul Kariem disambut hangat oleh pihak keluarga Paculgowang terutama KH. Anwar sendiri.
Pernikahan KH. Manshoer Anwar
Beberapa hari setelah peristiwa itu berlangsung kemudian KH. Manshoer pindah ke Pondok pesantren Panji Sidoarjo. Sebenarnya semua pihak keluarga menghendaki akan pernikahan segera dilaksanakan. Tapi keinginan ini oleh KH. Anwar ditolak secara halus dengan alasan KH. Manshoer belum pantas naik ke jenjang pelaminan, masih harus sabar menunggu waktu agar beliau tetap meneruskan pendidikannya di Pondok pesantren Panji Sidoarjo. Akan tetapi alas an itu tidak membuat pihak Lirboyo hilang harapan, karena bagaimanapun rencana untuk melangsungkan pernikahan KH. Manshoer telah disetujui oleh kedua belah pihak. Maka KH. Abdul Kariem mengirim sebuah surat kepada adik KH. Manshoer yaitu KH. Mahfud (pengasuh pondok pesantren Al-Khoiriah Seblak Kwaron Jombang sekarang), yang ketika itu sedang mondok di Tebuireng agar menjemput kakaknya yang ada di Pondok pesantren Panji untuk diajak ke Lirboyo untuk dinikahkan. Akhirnya dilangsungkan acara akad nikah antara KH. Manshoer dengan puteri kedua KH. Abdul Kariem bersamaan dengan peresmian berdirinya masjid pondok pesantren Lirboyo pada tahun 1928 M.
Pada sore harinya setelah akad pernikahan, datanglah KH. Anwar Alwi dengan maksud meminta KH. Manshoer kepada KH. Abdul Kariem untuk meneruskan mondok di Panji. Hal ini terjadi karena KH. Manshoer melangsungkan pernikahan tanpa sepengetahuan pihak Paculgowang, sehingga tidak ada yang menghadiri acara pernikahan KH. Manshoer kecuali adik beliau. Ketidak hadiran keluarga Paculgowang bukan berarti tidak setuju dengan pernikahan KH. Manshoer, akan tetapi KH. Manshoer dibawa ke Lirboyo tanpa sepengetahuan dan izin dari ayahandanya.
Sungguh pada peristiwa yang jarang sekali ditemukan, sepasang pengantin baru harus menjalani hidup terpisah karena sang suami harus menuntut ilmu di Pondok pesantren. Tapi keadaan ini oleh KH. Manshoer dan Nyai Salamah diterima dengan sabar dan lapang dada, sebab beliau sadar dengan sepenuhnya bahwa ilmu agama sangat dibutuhkan oleh masyarakat disekitarnya yang memang ketika itu baik daerah Paculgowang maupun Lirboyo masih sangat awam masalah agama.
Di pondok Panji, KH. Manshoer memperdalam ilmunya selama tiga tahun. Rasa rindu dan gelisah beliau tahan dengan sabar, tawakkal dan qona’ah. Baru setelah ayahanda KH. Anwar Alwi wafat, beliau bertemu dengan Nyai Salamah sang istri yang ditinggalkan selama tiga tahun. Alangkah bahagia dan harmonisnya pertemuan itu.
Pengasuh Pondok
Setelah KH. Anwar Alwi wafat, beliau merupakan sosok yang dianggap mumpuni sebagai pengganti ayahnda beliau sebagai penerus cita-cita sang ayah seperti juga ayahndanya KH. Manshoer mewarisi ketekunan dan ketelatenan dari ayahnya dalam mendidik para santri dan muridnya, terutama dalam mengajarkan bacaan al-qur’an. Kefashihan dalam mambaca al-qur’an adalah tolak ukur dalam membaca kitab kuning. Beliau sangat rajin membaca al-qur’an sambil berkeliling dibagian dalam masjid. Meskipun beliau bukan seorang yang Hafidzul Qur’an 9orang yang hafal Al-qur’an) tapi beliau betul-betul menguasai dan mendalami tentang bacaan Al-qur’an serta menguasai tafsirnya.
Dedikasi dan semangat beliau dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan tidak hanya terbatas pada pengajian kitab kuning secara sarasehan. Bahkan lebih dari sekedar itu, beliau juga merintis system sekolah yang terbagi menjadi beberapa kelas.
Tepatnya pada tahun 1931 M, beliau mendirikan sekolah madrasah diniyah. Materi pelajarannya diambil dari kitab-kitab salaf. Kelebihan dari system ini, pelajaran disampaikan secara tertulis dan ditambahi keterangan secara mendalam.
Pada awal berdirinya, madrasah ini diselenggarakan di Serambi Masjid yang kemudaian dipindah ke Gedung baru yang terletak di depan masjid (sekarang kantor lama). Semula jam pertama dimulai setelah maghrib. Tetapi kemudian waktu itu dipindah setelah dzuhur, karena waktu maghrib dianggap terlalu sempit. Sejak mulai inilah siswa mulai bertambah.
Pada wal berdirinya, KH. Manshoer dibantu oleh diantara lain bapak Muhsin (pindah ke Sidoarjo yang kemudian menjadi kiyai disana) dan Almarhum Bapak Abdul Qodir.
Sementara itu KH. Manshoer sebagai pengasuh pondok sibuk mengisi pengajian-pengajian di pondok maupun di Masyarakat. Dalam kesehariannya, beliau selalu membaca kitab kuning. Dari sekian kitab yang dijadikan sebagai wiridan yaitu tafsir jalalain yang mengikuti kebiasaan ayahandanya.
Di Zaman Kolonial
Dalam masyarakat, KH. Manshoer selalu aktif di dalam organisasi. Beliau menjadi anggota jam’iyyah(perkumpulan). Baik ditingkat desa, kecamatan, kabupaten bahkan organisasi yang berskala nasional. Sehingga nama beliau masyhur dikalangan masayarakat Jombang dan diinstansi pemerintahan. Sebab selain beliau seorang ulama yang gigih memperjuangkan agama juga beliau termasuk kiyai militant dalam berjuang mengusir kaum penjajah.
Pada zaman kontra revolusi menghadapi agresi militer Belanda, beliau bergabung dengan Sabililah (Laskar Hizbulloh) yang beroperasi di daerah Tambak Oso, Sidoarjo. Bahkan pada waktu itu beliau menjadi komandan yang membawahi ratusan gerilyawan muslim. Kaum muslimin bertekad mengusir orang-orang bule dari bumi Indonesia.
Konon, ketika KH. Manshoer dan Kh. Thohir diperintahkan membawa surat oleh KH. Hasyim Asy’ari, ditengah-tengah perjalanan beliau diikuti oleh mata-mata serdadu Belanda, ketika hari mulai senja dan malampun mulai pekat beliau pun menginap di Rumah yang kosong. Tapi rupa-rupanya pihak Belanda telah mengetahui dimana beliau menginap. Ketika beliau berdua sedang beristirahat, maka sebuah bom pun meluncur memporak porandakan tempat penginapan beliau. Namun berkat perlindungan Allah maka beliau selamat dari mara bahaya. Kemudian pada pagi harinya beliau bangun, beliau kaget dan melihat rumahnya telah hancur porak poranda bahkan atap rumahnya pun telah berjatuhan dan menakjubkan adalah beliau selamat dari petaka. Setelah beliau merenung sejenak lalu beliau memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah S.W.T. yang melindungi beliau dari mara bahaya, lalu beliaupun keluar dari reruntuhan bangunan.
Pada waktu memimpin pertempuran di Tambak Oso beliau sakit pada bagian paha dan rahang yang mambengkak, ini disebabkan karena siang malam beliau berjuang di daerah Tambak Oso yang masih berupa rawa-rawa dan terkenal dengan sebutan daerah yang penuh dengan nyamuk malaria. Oleh karena penyakit beliau tidak kunjung sembuh, maka beliau terpaksa pulang untuk istirahat. Pada saat itulah dating satu kompi pasukan Belanda sampai di Desa Jatirejo dan bertemu dengan seorang warga Paculgowang. Orang itu pun masuk di Paculgowang, mereka sempat menangkap dua orang yang mereka curigai sebagai mata-mata RI. Sesampainya di Halaman rumah KH. Manshoer, beberapa serdadu diantar masuk untuk menggeledah dan mencari kiyai Manshoer dan yang lain berjaga-jaga diluar, karena waktu itu beliau sedang terbaring sakit pemimpin pasukan Belanda pun mengira bahwa beliau bukanlah orang yang mereka cari, akhirnya ia memerintahkan pasukannya meninggalkan rumah KH. Manshoer, dan akhirnya beliau lolos dari penangkapan. Padahal waktu itu beliau menyimpan dua pucuk senapan laras panjang, bayonet dan sepatu panjang. Ketika isteri baliau melihat serdadu belanda, maka segera barang-barang dibuang kedalam sumur sehingga pada waktu penggeledahan Belanda tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan.
Aktifitas Perjuangan
Selain sebagai seorang pejuang yang ikut memperjuangkan Negara dari ke dzoliman penjajah, beliau juga seorang pemangku pondok pesantren Paculgowang. Beliau meluangkan waktu dan tenaganya demi terciptanya kwaliatas santri yang berilmu dan berbudi luhur. Sebagai aktifis organisasi, beliau selalu mencurahkan pikirannya demi kemajuan serta memberantas keterbelakangan umat islam melalui kegiatan-kegiatan yang tertampung dalam organisasi di daerah Jombang.
Kiprah beliau dalam segala hal selalu dilandasi tekad serta semangat keagamaan untuk menjalin tali Ikhuwwah Isalamiyah. Ketika itu salah satu seorang teman yang paling dekat dan selalu bertukar pikiran adalah Kiyai Adlan ‘Ali Almarhum (pengasuh ponok pesantren Wali Songo Cukir). Bersama beliau KH. Manshoer membina Jam’iyyah NU di daerah Jombang. Selain itu beliau juga aktif mengisi pengajian pada anggota muslimat di Kecamatan Diwek Jombang.
Kegiatan-kegiatan beliau ditengah masyarakat benar-benar merupakan andil besar bagi perkembangan islam di daerah Jombang. Bahkan beliau banyak mendirikan majlis-majlis ta’lim yang ada di Paculgowang danJatirejo. Sedangkan hari-hari selain itu beliau juga pernah menjabat penghulu ketua pengadilan agama Jombang.
Wafatnya KH. Manshoer Anwar
Dalam usia beliau yang sudah senja, beliau sering jatuh sakit. Ketika itu belia berusia sekitar 76 tahun. Namun demikian beliau tidak pernah berhenti dari kegiatan mengasuh pondok untuk mengajar para santrinya meski sambil berbaring. Bahkan beliau masih sempat mendirikan Madrasah Tsanawiyah ‘Aliyah yang diberi nama AL-ANWAR. Akan tetapi ketika lembaga ini akan diresmikan dan dibuka pada tahun 1983 M, kondisi beliau mulai menurun. Pada suatu malam kondisi beliau semakin kritis, tetapi beliau menolak untuk dibawa ke dokter. Oleh karena desakan dan permohonan sanak keluarga yang siang dan malam selalu setia menemani beliau, maka pada suatu malam beliau dibawa ke dokter dengan syarat dokter yang akan memeriksa beliau harus beragama islam. Namun karena disekitar Kecamatan Diwek tidak ada dokter yang beragama islam, maka beliau dibawa ke Rumah Sakit Umum (RSU) Jombang setelah dzuhur dalam keadaan setengah sadar, selama di Rumah Sakit beliau selalu mengatakan hal-hal yang beliau kerjakan sehari-hari seperti beliau mengutus para santri-santrinya agar selalu mengerjakan sholat ketika azan tiba. Bahkan pada suatu malam biasa dimana beliau memimpin kegiatan Lailatul Ijtima’ seakan-akan beliau menghadiri dan memimpin acara tersebut. Walaupun beliau berbaring di Rumah Sakit. Hal ini disebabkan karena beliau sangat cinta dengan kegiatan yang sangat erat hubungannya dengan agama dan masyarakat.
KH. Manshoer menjalani perawatan secara intensif di Rumah Sakit selama dua belas hari. Pada hari kesepuluh, beliau memanggil putera-puterinya dan member pesan serta nasehat tentang hal-hal yang menyangkut tentang warisan. Waktu itu putera-puteri beliau hadir kecuali ibu Nyai Sholhah (Banyuwangi), ibu Nyai Kariemah (Probolinggo), Kiyai Abdul Aziz(Lirboyo, Kediri) dan Agus Abdul Kariem yang ketika itu masih belajar di Kairo Mesir.
Pada suatu hari, rombongan yang dipimpin oleh Kiyai Adlan ‘Ali (Almarhum) dan Al mukarom KH. Syamsuri Badlowi yang telah selesai mengadakan rapat NU di Kab Jombang dating menjenguk beliau, dengan mengajak para anggota jama’ah. Karena pada waktu itu keadaan beliau sangat kritis, maka rombongan itu pun tidak dapat menemui beliau dan hanya bisa mendo’akan beliau, kemudian rombingan segera kembali. Selang beberapa saat ketika rombongan itu meninggalkan beliau tepat pukul 23.00, hari Ahad tanggal 15 Agustus 1983 M/ 6 Dzul Qo’dah 1402 H, Hadrotus Syekh Al Mukarrom KH. Manshoer Anwar pulang ke Hadirat Allah yang maha pencipta. Inna lilahi wa innailaihi Roji’un. Semoga semua amal perjuangan dan amal ibadah beliau diterima di sisi Allah S.W.T. Amin Yaa Robbal ‘Alamiin.
Beberapa saat setelah beliau wafat, jenazah beliau dibawa dari rumah sakit dan baru tiba di Rumah duka sekitar pukul 24.00 dengan ambulance. Setelah jenazah beliau tiba di Rumah duka, disambut dengan isak tangis keharuan oleh keluarga dan masyarakat. Tak lama berselang, kemudian jenazah beliau dimandikan oleh KH. Anwar Manshoer, KH. Aziz Manshoer dan Agus H. An’im Falahuddin Machrus.
Pada keesokan harinya masyarakat berduyun-duyun untuk berta’ziyah yang hingga memadati halaman dan pekarangan rumah duka. Hampir disemua tempat para pelayat telah menunggu dengan sabar untuk bisa melaksanakan sholat jenazah. Sholat jenazah dilaksanakan sebanyak 27 kali, hal ini dikarenakan banyak orang yang menyolati. Yang bertindak menjadi imam pertama kali adalah Kiyai Adlan ‘Ali dan disusul oleh para kiyai yang lain yang kemudian diakhiri oleh Kiyai Machrus ‘Ali yang sekaligus memimpin acara pelepasan jenazah. Pelepasan jenazah ditunda karena puteri beliau Nyai Kariemah serta rombongannya belum melaksanakan sholat jenazah, maka jenazah yang sudah ada di Masjid dikembalikan lagi ke Rumah duka untuk disholati. Barulah setelah itu jenazah diantar ke Maqbaroh dengan diiringi ratusan kaum muslimin beliau pulang ke Rahmatulloh dengan meninggalkan tiga orang putera dan tujuh orang puteri, delapan menantu dan tiga puluh cucu serta tiga buyut.
sumber : http://paculgowang.wordpress.com/biografi-al-maghfurlah-kh-manshoer-anwar/
Kamis, 19 Agustus 2010
KH. MANSHOER ANWAR
13.55
Achmad Fahrizal Zulfani Al Hanif
No comments
0 komentar:
Posting Komentar