Blog ini ditujukan kepada seluruh ummat Islam yang cinta kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Para Sahabat RA, Auliya', Habaib, Ulama', dan sejarah kebudayaan Islam.

Jumat, 10 Agustus 2012

Syekh Jangkung, Wali Lugu dari Pati

Wali yang termasuk murid Sunan Kalijaga ini terkenal dengan keluguannya. Sifat itu membawanya pada ketulusan sejati seorang manusia.

Masyarakat Desa Miyono gempar. Branjung, salah satu warga yang cukup terpandang karena kekayaannya, ditemukan tewas di kebun belakang rumahnya. Segera petugas dari desa mengusut ke tempat kejadian perkara, menyelidiki sebab kematian Branjung dan siapa pembunuhnya.

Di saat warga Desa Miyono sudah berkerumun di rumah Branjung tiba-tiba muncul Saridin. Masyarakat langsung menunjukkan pandangan pada adik ipar Branjung yang terkenal melarat itu. Saridin datang dengan sebilah bambu runcing yang ujungnya berlumuran darah. Segera Saridin dipanggil. “Kemari kamu, Din,” ujar seorang petugas.

“Ya… saya tuan,” jawab Saridin.

“Kamu tahu siapa yang membunuh Branjung?” ujar petugas itu sambil menunjuk mayat Branjung dengan sikap menyelidik. Saridin menggeleng. Tapi petugas yang sudah curiga itu tak mau menyerah. Mayat Branjung yang mengenakan baju macan ia rapikan lagi hingga tubuh Branjung yang terbaring itu kini menyerupai macan. “Nah, kalau ini kamu tahu siapa yang membunuh?” tanya petugas itu lagi.

“Lha, kalau macan ini saya membunuh,” jawab Saridin. Tak ayal warga Desa Miyono gempar dengan pernyataan Saridin itu. Berarti Saridin-lah yang membunuh Branjung.

Semalam memang telah terjadi peristiwa pembunuhan di kebun belakang rumah Branjung. Ceritanya diawali ketika Saridin menjagal buah durian yang kepemilikannya ia bagi dua dengan abang iparnya, Branjung. Perjanjiannya adalah setiap durian yang jatuh pada siang hari dimiliki oleh Brajung, sedang yang jatuh pada malam hari dimiliki oleh Saridin. Branjung yang mengajukan perjanjian itu. Rupanya Brajung salah mengira, ia pikir pada siang hari durian jatuh dari pohon. Padahal durian jatuh pada umumnya pada malam hari.

Jelas saja setiap siang Branjung tidak mendapat durian satu pun. Sedangkan pada malam hari ia mengintip ke kebun dan melihat Saridin selalu mendapatkan durian jatuh dalam jumlah cukup banyak. Kenyataan ini membuat Brajung memiliki niat licik. Merasa telah rugi ia berencana menakut-nakuti Saridin dengan menyamar sebagai macan. Dan tanpa pikir panjang segeralah ia bergerak sambil berjalan meniru macan.

Pertama Saridin tidak menyadari keberadaan abang iparnya yang menyamar jadi macan itu, tapi Saridin mulai curiga saat ia tidak menemukan durian dari arah suara jatuh yang ia dengar. Begitu sampai beberapa kali, sampai ia memergoki seekor macan yang membawa durian di tangannya. Tahulah Saridin sekarang, si macan yang kurang ajar itulah yang telah menyusup ke kebunnya. Merasa terancam dengan keberadaan macan itu Saridin langsung membunuhnya dengan bambu di genggamannya.
Dijebloskan ke Penjara

Dibawalah Saridin menghadap kepala desa untuk disidang secara adat. “Saridin, benar kamu telah membunuh kakak iparmu?” tanya kepala desa menegaskan.

“Pak kepala desa, demi Tuhan saya tidak membunuh kakak ipar sendiri,” jawab Saridin polos. Sebagaimana dilakukan petugas keamanan desanya, kepala desa lalu menutup lagi tubuh Branjung dengan pakaian macannya. “Nah, kalau macan ini kamu yang membunuh?” tanya kepala desa. “Ya, betul saya yang membunuh macan ini sebab ia mencuri durian saya,” jawab Saridin. Begitu terus sampai berulang-ulang. Saridin tetap tidak mengakui telah membunuh Branjung. Ia hanya membunuh macan, sebab memang itulah yang terjadi.

Kepala desa merasa bingung apa yang harus ia putuskan. Di satu sisi ia mengetahui bahwa Branjung telah dibunuh oleh Saridin, tapi Saridin tidak bisa dihukum sebab yang ia bunuh adalah macan, samaran kakak iparnya. Karena merasa tidak bisa mencari solusi masalah yang baru pertama kali terjadi ini, Kepala Desa Miyono membawa kasus ini ke Kadipaten Pati.

Di hadapan Joyo Kusumo, Bupati Pati, kejadian tadi kembali berulang. Kalau pakaian macan Branjung dibuka, Saridin tidak mengakui ia telah membunuh, sedang kalau pakaian Branjung dirapatkan Saridin mengakui ia telah membunuh. Tahulah Bupati, Saridin yang dihadapannya ini adalah orang desa yang lugu dan dungu maka dengan sedikit berbohong ia berkata.

“Ya sudah, Din, kalau begitu macan yang salah, karena macan salah, ia harus dikubur, kamu sendiri akan saya beri penghargaan karena telah membunuh macan. Kamu nanti akan saya pindahkan ke bangunan besar, di sana kamu akan diberi makan gratis setiap hari, kamu bebas tidur atau mengerjakan apa saja, tapi kamu tidak boleh keluar, kamu hanya boleh keluar kalau kamu bisa. Nanti kalau kamu mau mandi akan ada orang yang mengantar dan menjaga kamu,” ujar Joyo Kusumo kepada Saridin.

Sebagai orang yang melarat tentu saja Saridin senang mau diberi makan gratis. Apalagi kalau mandi akan diantar, “Wah, mirip Priyayi,” ujar Saridin gembira. Maka dibawalah Saridin ke tempat enak yang tidak lain adalah penjara itu. Di sana ia mendekam sebagai tahanan. Disitulah Saridin mulai menyadari apa yang menimpanya. Karena Bupati membolehkan dirinya keluar dari penjara kalau ia bisa. Saridin ingin keluar untuk minta maaf pada istrinya sebab telah menjadi suami yang berulah. Di sana pula Saridin menghayati wejangan Sunan Bonang, yang mengatakan, jika seorang manusia telah menyatukan rasa dengan Sang Pencipta, apa yang diingnkan pasti akan terlaksana.

Begitulah Saridin dapat pulang dan minta maaf kepada istrinya. Beberapa kali itu ia lakukan. Tapi dasar lugu dan jujur, setelah menengok sang istri, Saridin pulang kembali ke penjara. Sampai akhirnya kelakuannya ini diketahui petugas dan membuat berang Bupati, Saridin dijatuhi hukuman mati tapi berhasil meloloskan diri karena Bupati memperbolehkan dirinya kabur bila berhasil lolos dari kepungan prajurit.

Demikianlah satu babak dalam cerita Saridin yang turun temurun dalam tradisi masyarakat Pati. Tokoh ini dikenal masyarakat sebagai seorang wali yang memiliki keluguan tiada tara. Ia memang rakyat biasa yang polos, tapi justru karena kepolosannya itulah yang membuat menguasaai ilmu hakikat.

Saridin yang juga dinamai Syekh Jangkung, hidup di daerah Kajen, Pati. Daerah itu masih ada sampai sekarang. Mengenai kelahirannya tidak ada data yang kongkrit yang m,encatatnya. Tapi menurut kisah turun temurun yang hidup subur dikalangan masyarakat dan pesantren di Pati. Saridin diyakini hidup se zaman dengan para walisongo, yakni pada abad ke-15.
Cerita Lucu di Kudus

Keberadaan Syekh Jangkung amat terkait dengan Sunan Kalijaga. Wali keramat inilah yang mengajarkan Saridin ilmu hakikat. Konon, Sunan Kalijaga juga yang menolongnya saat bayi dibuang oleh ibunya di sungai. Makanya kemudian Saridin mengamalkan beberapa wejangan sufistik dari Sunan Bonang yang ia dapatkan dari Sunan Kalijaga.

Keberadaan Saridin juga tidak bisa lepas dari Sunan Kudus. Saat melarikan diri ke kabupaten Pati, Saridin bertemu dengan Sunan Kalijaga yang menyuruhnya belajar di pesantren Sunan Kudus di Kudus. Maka berangkatlah Saridin untuk menuntut ilmu.

Sekalipun ia murid baru, Saridin sudah menguasai dasar-dasar agama. Seperti syahadat dan rukun iman yang didapatnya dari Sunan Kalijaga. Kepada Sunan Kudus Saridin menggali lagi makna kalimat suci itu. Saat mengaji itulah beberapa peristiwa unik terjadi.

Karena murid baru dikerjai oleh murid-murid lama. Para santri setiap hari diwajibkan mengisi tempat air untuk wudu. Nah, Saridin yang juga terkena kewajiban itu rupanya tidak kebagian ember. Para santri lama tak ada satupun yang mau meminjamkan ember padanya.

Melihat Saridin bingung kesulitan mendapatkan ember, seorang santri bilang dengan maksud mengolok. “Din, kamu tidak kebagian ember ya, tuh ada keranjang…. Bawa saja air di sumur itu pakai keranjang,” ujar santri itu sambil menahan senyum. Terdorong melaksanakan kewajibannya Saridin membawa saja keranjang itu. Ajaib, air yang seharusnya lolos di sela-sela lubang keranjang itu, malah dapat tertampung hingga Saridin dapat mengisi tempat wudu sampai penuh. Para santri yang melihat hanya melongo melihat ulah Saridin.

Berita itu akhirnya sampai kepada Sunan Kudus. Di hadapan mursyidnya itu Saridin dengan jujur menceritakan semuanya tanpa ada satupun yang tertinggal. Menganggap Saridin sedang menyombongkan diri dengan kelebihannya, Sunan Kudus lalu mengetes Saridin. “Din… kamu ;kan tadi mengisi air, sekarang di tempat wudu itu apakah ada ikannya?” tanya Sunan Kudus. “Setiap air pasti ada ikannya, Kanjeng Sunan, begitu pula di tempat air wudu itu,” jawab Saridin polos. Para santri yang mendengar jawaban Saridin kontan tertawa. “Mana mungkin tempat wudu ada ikannya,” pikir mereka. Tapi setelah di cek memang betul ditemukan ikan di dalamnya.

Sunan Kudus gusar melihatnya, kali ini Sunan Kudus merasa ditantang. “Baik, Saridin, sekarang apa yang ada ditanganku ini?” ujar Sunan Kudus. “Buah kelapa, kanjeng,” jawab Saridin pelan.

“Katamu setiap air ada ikannya, kelapa ini didalamnya ada airnya, apakah kau tetap mengatakan bahwa dalam kelapa ini ada ikannya?” tanya Sunan Kudus lagi. “Ada Kanjeng,” jawab Saridin polos. Kembali hadirin tertawa karena menganggap Saridin dungu. Tapi setelah kelapa itu dibelah kagetlah mereka semua, termasuk Sunan Kudus, karena didalamnya ada ikan hidup yang berenang di air kelapa. Menganggap Saridin melakukan hal-hal yang tak patut, yaitu memperlihatkan karomah diri pada orang lain. Sunan Kudus marah, dan Saridin pun di usir dan tidak boleh menginjak tanah Kudus lagi.

Dengan putus asa Saridin pergi, rupanya hal yang dialaminya diketahui Sunan Kalijaga. Wali yang bijak ini lalu menasehati Saridin untuk sabar sekalipun perbuatannya tadi dilakukan tanpa maksud menyombongkan diri. Sikap Sunan Kudus juga dijelaskan oleh Sunan Kalijaga sebagai sikap yang wajar seorang manusia biasa yang merasa malu jika dipermalukan di depan orang lain di hadapan murid-muridnya. Setelah peristiwa itu Sunan Kalijaga Menyuruh Saridin mengasingkan diri untuk lebih dalam mengenal Allah SWT serta menjalani latihan-latihan rohani untuk menyatu dengan-Nya.

Setelah lulus Saridin kembali ke masyarakat, ia kemudian dikenal sebagai sufi yang namanya cukup disegani di masa Kerajaan Mataram. Ia mengajarkan konsep-konsep tasawuf pada orang-oarang yang ingin mengaji padanya. Ia menetap kembali di Kajen, tanah kelahirannya, sampai wafat. Makamnya masih sering diziarahi orang sampai sekarang.

Sumber kisah Alkisah Nomor 07 / 29 Maret – 11 April 2004

0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons