Blog ini ditujukan kepada seluruh ummat Islam yang cinta kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Para Sahabat RA, Auliya', Habaib, Ulama', dan sejarah kebudayaan Islam.

Selasa, 07 Agustus 2012

Kiai Muhammad Na'im Memilih Ngaji

MUHAMMAD NA'IM menolak harapan ayahandanya untuk menjadi jawara. Sebab, meski terhormat, ia tidak nyaman menyaksikan ayahandanya sebagai seorang jawara. Na'im kecil menilai ayahandanya, Haji Na'im, hidup dalam ketidakberaturan. mengembara ke pelbagai tempat dan oleh karenanya sering tidak tidur di rumah.


Muhammad Na'im yang lahir tahun 1912 di Cipete-Jakarta Selatan meminta izin kepada ayahandanya untuk memilih belajar ilmu agama. Ayah dan ibunya, Mera, menyetujui permintaan anaknya yang dinilai agak ganjil.

Saat itulah, sejak anak-anak, Na'im gigih mengaji, keliling dari satu mushola ke mushola lainnya, gigih menemui guru-guru yang ada di kampung-kampung Jakarta. Belajar silat ia lakoni juga, namun
Sekedar menggugurkan kewajiban sebagai anak seorang jawara. Haji Na'im meloloskan Muhammad Na'im untuk tidak mengikuti jejeknya, mungkin karena dua anaknya yang lain, Abdul Madjid dan Abdul Karim --keduanya saudara tua Muhammad Na'im-- bener-benar telah mengikutinya sebagai Jawara. Kelak dua anaknya ini menjadi lurah Cipete Utara. Bahkan, nama Abdul Madjid disematkan sebagai nama jalan. Jawara di jaman itu, memang termasuk masuk kelas terhormat.

Memasuki masa remaja, setelah mengkhatamankan Al-Qru’an, Na'im mulai ngaji di luar kampung. Ia pergi agak jauh ke Kuningan-Jakarta Selatan untuk mengaji kepada Guru Mughni dan Guru Makmun bin Sanusi. Ia pergi lebih jauh lagi, ke Cipinang Muara-Jakarta Timur untuk menimba ilmu kepada Guru Marzuki.

Na'im tidak sendirian. Dari Cipete, ia pergi mengaji bersama tiga sahabatnya: Hamim, Raisin, dan Tabrani. Tiga anak ini kakak beradik, ibu mereka bernama Hj. Rohaya, seorang guru ngaji di Cipete.

Dari Guru Mughni dan Guru Makmun, Naim mempelajari nahwu-shoraf, fiqih, akidah, dan tafsir. Diceritakan, Naim tidak hanya pandai menyerap macam-macam ilmu dari para gurunya, tapi ia juga melakoni nasehat-nasehat gurunya. Sopan santun gurunya diikuti, cara mengajar gurunya dicontoh.

Ketika KH Abdurrazaq Makmun baru datang dari Makkah, Naim langsung datang kepadanya.
“Ini ulama masih anget, harus dimintai ilmunya,” begitu kira-kira kata Naim. Guru dan murid ini amat akrab, seperti teman sebaya, hubungannya tidak kaku. Keduanya juga saling menghormati.

Merintis Ekonomi dan Pengajian
Dalam bab mencari penghidupan, Naim juga meniru para gurunya. Ia memelihara dan mengurus ladang pertanian dan empang di tanah miliknya, yang memang luas. Ia menanam pepaya, rambutan, belimbing, melinjo, jambu, dan jeruk. Empangnya diisi ikan tawes dan gurame. Ia juga berternak sapi. Kelak, ketika putra-putrinya berjumlah tiga puluh, semangatnya untuk mandiri dalam kehidupan ekonomiannya bertambah.

Sementara itu, mushala kecil dibangun dekat empang yang juga berdekatan dengan sumber air alami, masyarakat menyebutnya dengan kobakan. Di tempat sederhana itulah Muhammad Naim mengajarkan Al-Qur'an kepada murid-muridnya. Di antara muridnya itu ada seorang pemuda yang bernama Asyari, yang turut membantu mengurus ladangnya. Kelak, pemuda ini diminta membantunya mengajar.

Berkat kesungguhan dan kegigihan di bidang ekonomi, pada tahun 1932 Muhammad Na’im menunaikan ibadah haji. Seperti umumnya para santri yang naik berhaji, ia juga mukim di Makkah untuk mendalami ilmu agama.

Keberangkatan Na'im ke Tanah Suci menjadi kebanggaan keluarga dan masyarakat sekitar. Mereka bahagia karena selama itu belum ada anak Cipete yang menuntut ilmu di luar daerah, apalagi di luar negeri. Mungkin, dari situlah, perlahan-lahan “kelas” ustadz naik, yang di kemudian hari, “mengungguli” kelas jawara.

Ghirah Dakwah
Di Makkah, Na'im belajar kepada para ulama kenamaan, antara lain Syekh Ali Al- Maliki, Sayyid Alwi Al-Maliki, Syekh Umar Hamdan, Syekkh Ahyad Al-Bughuri. Di sana pula ia bertemu dengan santri-santri dari tanah air, antara lain KH Nur Ali Bekasi.Setelah menetap di sana selama tiga tahun, Muhammad Na’im kembali ke kampung halamannya, Cipete.

Pada tahun 1935 ia menikahi seorang qoriah dari Kuningan-Jakarta Selatan, Siti Mardhiyah binti Haji Sarbini. Kemudian ia juga menikahi Saodah Musyaffa, adik kandung kawannya ketika mengaji di Kuningan, yakni Hamim, Raisin dan Tabrani. Istri ketiganya bernama Hj. Masnah binti Mubarok dari Petogogan, sekarang ini Blok  A.

Kegiatan dakwah yang dilakukan dirasakannya sangat berat, karena keterbatasan tenaga pendakwah di Cipete. Untuk melancarkan dakwahnya, mushala kecil di tepi empang dipindahkan ke dekat lokasi rumahnya. Mulai saat itu, ia membuka pengajian yang lebih luas tiap malam Senin dan Sabtu siang. Pengajian itu diikuti kaum laki-laki dan perempuan.

Lambat tapi pasti pengajian itu mendapat sambutan dari masyarakat. Jama’ahnya tak hanya datang dari kampung Cipete, melainkan juga dari Pangkalan Jati dan Jagakarsa. Di antara mereka ada yang bermukim di rumah-rumah yang disediakan Na’im.

Undangan untuk mengisi pengajian dari luar kampung pun berdatangan, dari Pedurenan, Cipete Selatan, Cipete Utara dan lain-lain. Waktu itu tidak ada kendaraan bermotor, bahkan ia jarang naik sepeda karena kondisi jalan yang tidak baik. Namun ia tidak patah arang. Ghirahnya berdakwah dilakukan dengan kebahagiaan serta dalam rangka mencari ridla Allah SWT dan mengabdi kepada masyarakat.

Dengan bertambah padatnya kegiatan mengajar, KH. Muhammad Na’im minta bantuan salah satu muridnya, Asy’ari untuk mengajar Al-Qur’an kepada murid-muridnya yang lain.

KH Muhammad Na'im bersama para sahabatnya KH Abdurrazaq Ma’mun, KH. Ahmad Hajar Malisi, KH. Madani dan KH. Syakur Khairi kemudian membangun Madrasah Raudhatul Muta’alimin di daerah Mampang Prapatan. Ide mendirikan madrasah tersebut pada masa itu dianggap maju dan cemerlang, karena sekolah agama Islam masih sangat jarang. Waktu itu di Jakarta baru ada sekolah Jami’at Kheir di Tanah Abang, yang dibangun dan dikelola habaib. Di madrasah itulah, anak-anak Naim bersekolah, seperti Abdul Hayyie dan Aisyah.

Pengalaman membangun dan mengelolah madrasah Raudhatul Muta’alimin kemudian dijadikan bekal oleh KH Muhammad Na’im dalam membangun madrasah Daruttahzib atas swadaya masyarakat di atas tanah wakafnya beserta keluarga di Cipete, begitu juga pembangunan Masjid Annur.

Sibuk mengajar di madrasahnya dan penjadi penceramah di mana-mana, tidak menjadikan Muhammad Naim yang sudah dikenal sebagai Kiai Haji lua belajar. Ia masih datang mengaji kepada Habib Ali Al-Habsyi di Kwitang dan Habib Ali Bungur di Bogor.

Jaringan Ulama
Persahabatannya dengan para ulama terkemuka dan para habib, seperti KH Abdurrazaq Makmun, Habib Ali Kwitang, Habib Ali Bungur serta pengalamannya di Mekkah, telah memperluas cakrawala pemikiran KH Muhammad Naim. Pergaulannya diperluas dengan mengikuti perkembangan pendidikan dan perjuangan kemerdekaan di tanah air.

Dalam pandangannya, kiblat pendidikan agama di tanah air adalah Jawa Timur, khususnya Pesantren Tebuireng pimpinan Hadhratusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari. Maka putra pertamanya Abdul Hayyie pun dikirim ke sana. Namun dia juga mendidik putra-putrinya mendalami ilmu-ilmu lainnya di sekolah umum.

Perkenalannya dengan Hadlratusy Syekh bertambah dekat juga seiring sejalan dengan aktifitasnya di NU. NU pula yang mengenalkan Naim dengan KH Abdul Wahid Hasyim, KH Idham Cholid, KH Anwar Musaddad, KH Ilyas, KH Saifuddin Zuhri, KH Tohir Rohili, KH Mursidi, KH Ishaq Yahya, KH Ahmad Syaichu, KH Abdul Aziz Amin.

Statusnya sebagai salah seorang pengurus Syuriah NU Jakarta menyebabkannya sering menghadiri muktamar-muktamar NU yang diselenggarakan di Jawa maupun di daerah lain, seperti muktamar NU di Surabaya, Bandung, Palembang dan Jakarta.

Pada tahun 1949, bersama KH Abdurrazaq Ma’mun, KH Jumhur menghadiriKongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta, pada kesempatan itu bersama KH Abdul Wahid Hasyim, KH Wahab Chasbulloh dan KH Ahmad Dahlan menjadi saksi atas dideklarasikannya pemerintahan Republik Indonesia Serikat.

KH Muhammad Na’im pada 12 Mei 1973 pada usia 61 tahun setelah dirawat empat hari di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta karena menderita penyakit jantung. Jenazahnya dimakamkan di kompleks Masjid Annur Cipete. Seminggu sebelum wafat dia masih sempat meresmikan pembangunan sebuah Mushalla di daerah Pedurenan Jakarta Selatan, yang kemudian diberi nama “Baitun Na’im”. (Abdurrahman Naim, Mantan Musytasyar PCI NU Syiria, tinggal di Jakarta)

Sumber: http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,13-id,38531-lang,id-c,tokoh-t,Kiai+Muhammad+Na+im+Memilih+Ngaji-.phpx

0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons