Pemimpin Itu Seperti Penggembala Kuda
Filosofi dan nilai-nilai hidup yang diterapkan Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, ternyata lebih banyak direguk dari ayahandanya. Di matanya, lelaki itu begitu agung dan sempurna. Kesabarannya bagai luas lautan yang tak bertepi. “Bayangkan, meskipun telah memiliki 16 anak, namun ayah masih menambahnya lagi dengan anak-anak yatim yang dirawatnya di rumah,” tuturnya mengenang. “Betapapun berat beban yang ditanggungnya, tetapi saya tak pernah menjumpai dan melihat kesedihan pada raut wajahnya,” katanya menambahkan.
Banyak sekali teladan dan tugas hidup yang bisa dipetik dari ayahnya. Sewaktu kecil, Imam Suprayogo diberi tugas untuk mengisi kendi depan rumahnya – yang berada di pinggiran kampung. Bagi yang melintas dan merasa kehausan, mereka bisa langsung meneguknya. “Kalau air dalam kendi itu habis, maka ayah akan langsung menegur saya untuk segera mengisinya,” terangnya.
Saat musim paceklik melanda desa, ayahnya berkeliling dari satu rumah ke rumah lainnya. Jika terdapat keluarga yang tak memiliki persediaan pangan, maka dirinya disuruh mengambil makanan yang ada di rumah dan memberikan kepada keluarga tersebut. ”Ayah selalu berpesan, janganlah menjadi orang yang miskin hati dan jiwa,” tukasnya.
Kesantunan tersebut tumbuh dari landasan hidup yang senantiasa dipegangnya; menang tanpo ngasorake, sugih tanpo bondo, sekti tanpo aji-aji, ngluruk tanpo bolo, kayungyun dening pepoyaning kautamaan (menang tanpa merendahkan, kaya tanpa modal, sakti tanpa ajian tertentu, bertempur tanpa bala bantuan, semua dilakukan untuk memperoleh keutamaan hidup).
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, lahir di Trenggalek 2 Januari 1951. Dirinya dibesarkan dalam tradisi dan keluarga NU yang taat. Ayahnya adalah pengurus NU setempat dan ibunya pengurus Muslimat. Keduanya adalah orang yang sama-sama gemar berorganisasi dan berdakwah. ”Karena waktu itu jarang sekali orang yang punya sepeda, kemana-mana ayah selalu menunggang kuda. Begitupun ketika berdakwah ke pelosok-pelosok kampung,” ungkapnya.
Itulah sebabnya, keduanya menginginkan dirinya untuk tumbuh menjadi seorang da’i. Alasannya, berdakwah bisa dilakukan dengan gampang. Dengan berdakwah, maka seseorang akan dapat dengan mudah mengambil hati dan posisi di masyarakatnya. Namun pada kenyataannya, kata Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang ini, mengajak kepada kebaikan itu bukanlah hal yang gampang.
Apalagi bagi dirinya, yang waktu itu justru menempuh jenjang pendidikannya di SD hingga SMA. Meskipun diserahi sebagai Kepala MI NU yang dikelola ayahnya, namun masih saja dia merasakan betapa sulitnya jadi da’i tersebut. Dari sanalah dirinya menjadi mengerti, bahwa untuk berdakwah perlu mondok di pesantren guna memperdalam ilmu-ilmu agama. Untungnya, seorang kenalan ayahnya memberikan masukan. Sehingga dirinya tak jadi mondok, tetapi langsung meneruskan ke IAIN. Dari sanalah kemudian Suami Hj. Sumarti ini meniti karir sebagai seorang dosen.
Ada peristiwa unik pada awal-awal menjalani profesinya sebagai dosen. Waktu itu – tepatnya di tahun 1968, ayah empat anak ini bisa mengkredit sebuah sepeda motor. Setelah berita itu sampai ke rumah, ayahnya tak bisa tidur. ”Ayah beranggapan jangan-jangan uang yang saya pakai beli, adalah uang yang diambil dari sekolah,” jelasnya.
Lantaran saking kuatirnya, ayahnya berangkat ke Malang hanya untuk sekedar memastikannya. Berangkat dari Trenggalek jam 1 siang dan sampai di Malang malam hari. Karena angkutan kota sudah tidak ada lagi, ayahnya berjalan kaki dari terminal menuju ke rumahnya dan sampai pada pukul 23.00 Wib. ”Setelah diberi tahu kalau pembayarannya diangsur selam tiga tahun, beliau baru bisa merasa lega. Dan esoknya minta diantarkan dengan sepeda motor baru tersebut ke terminal,“ kenangnya sambil tersenyum simpul.
Putra ke-8 dari 16 bersaudara ini, juga merasakan betapa banyak teladan pendidikan yang bisa dipetik dari ayahanya. Sejak kecil dirinya sudah terbiasa mendapatkan pendidikan yang keras dan disiplin. Diantaranya dengan mengurus berbagai jenis hewan ternak; seperti itik, kambing, sapi dan kuda. Dan dari masa-masa penggembalaaan inilah, yang kemudian hari banyak menginspirasi model kepemimpinannya. ”Penggembala dan pemimpin itu, secara esensial artinya hampir sama. Namun kedua istilah tersebut digunakan untuk kepentingan yang berbeda,” tukasnya. “Kalau pemimpin selalu dikaitkan dengan manusia, sedangkan penggembala dikaitkan dengan binatang,” tambahnya menjelaskan.
Tatkala menghalau bebek, kata mantan PR I UMM ini, yang menggembala selalu mengambil posisi di belakangnya dan tidak pernah berada di depannya. Dia cukup membawa satu tongkat. Dan bebek-bebek itupun mungkin akan mengerti hendak dikomando kemana. Sebab kebiasaannya memang sudah seperti itu. Dari rutinitas itulah sehingga bebek-bebek tersebut mudah untuk digerakkan. Hal itu berbeda dengan kambing yang selalu bercerai berai. Satu ke utara, satunya lagi ke selatan. Memang susah sekali menjadi penggembala kambing itu. “Makanya, ketika masih bocah, disengaja atau tidak, Rasulullah memanggul pekerjaan yang sulit tersebut,” terangnya.
Menggembala kuda pun, sambung mantan Ketua STAIN Malang ini, juga memiliki cara yang berbeda. Saat memandikan kuda, jika tidak mau kena tendang, maka posisi penggembala harus berada di depannya. Sebab kuda sangat susah untuk dimandikan ke sungai, jika tidak didahului oleh penggembalanya. “Artinya konsep keteladanan harus diberikan sebelum memerintah orang lain. Dalam bahasa agamanya, ibda’ binafsik!,” tandas mantan Wakil Direktur Pascasarjana UMM ini mantap.
Dalam konteks kehidupan, sambung Guru Besar Fak. Tarbiyah UIN Malang ini, seringkali pemimpin memperlakukan anak buahnya seperti bebek. Mereka disuruh-suruh mengerjakan sesuatu, sedangkan pimpinannya justru malah bersembunyi. Tentu saja sebagai akibatnya, adalah kepemimpinan yang gagal. “Memimpin manusia itu semestinya bertindak seperti penggembala kuda. Dirinya masuk terlebih dahulu ke dalam air, sehingga orang-orang yang dipimpinnya juga turut melakukannya,” sarannya bernada harap.
Ada satu pesan sederhana dari ayahnya, yang hingga kini masih tertancap di sanubarinya: ”Jika kamu sudah dewasa, maka ajaklah sebanyak-banyaknya orang untuk mengucap kalimat tasbih (subhanallah) dan tahlil (laa ilaha illallah). Dan kalau sudah kaya, buatlah masjid yang besar agar bisa dimanfaatkan banyak orang.”
Petua itulah yang menyemangatinya untuk senantiasa berusaha, agar hidupnya bermanfaat bagi banyak orang. Sebab menurutnya, hidup bahagia itu adalah ketika bisa memberi manfaat yang besar kepada orang lain. “Jangan suka hidup menjadi bebannya orang lain. Tapi sebaliknya, usahakan sebisa mungkin untuk menyelesaikan problem kehidupan orang banyak. Itulah yang menjadi kunci pokok keutamaan hidup,” ujar Doktor Sosiologi dari Unair Surabaya ini bernada harap.
0 komentar:
Posting Komentar