Blog ini ditujukan kepada seluruh ummat Islam yang cinta kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Para Sahabat RA, Auliya', Habaib, Ulama', dan sejarah kebudayaan Islam.

Senin, 25 Juli 2011

Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah, MA


Antar Peradaban Harus Saling Melengkapi

Jika hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan tampak makin mesra di Indonesia, maka tengoklah figur Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah, MA. Sebab dia termasuk cendekiawan Muslim yang sangat getol memperjuangkannya. Bayangkan, ketika dulu umat Islam masih merasa ‘gerah” dengan yang namanya “ilmu modern”, dirinya justru dengan lantang menyuarakannya.

Sebab menurutnya, antara disiplin ilmu agama dan ilmu pengetahuan semestinya saling memiliki keterhubungan. Oleh karenanya, dirinya sangat keras menolak pemisahan antar keduanya. Sebab hal itu justru dapat menciptakan justifikasi yang sesat bagi masyarakat Muslim. “Itu bisa menimbulkan persepsi, bahwa ilmu agama hanya berupa konsep-konsep ketuhanan, kenabian, akidah, fiqh, tafsir, hadist dan sebagainya,” ungkapnya. “Sedangkan yang berada di luar itu, dianggap berada di luar kajian wilayah agama,” tuturnya menambahkan.

Paradigma berpikir semacam itu, ujar Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini, sudah seharusnya diubah. Sebab untuk memahami kompleksitas realitas kehidupan, keilmuan apapun tak bisa berdiri sendiri. Untuk dapat menyelesaikan persoalan kehidupan, maka dibutuhkan perangkat ilmu lainnya. Jika keterkaitan ilmu itu diputus, maka akan bisa menimbulkan sikap fanatisme pada disiplin keilmuan.

Lelaki yang dilahirkan pada tanggal 28 Juli 1953 di desa Margomulyo, Tayu, Kabupaten Pati, Jawa tengah ini, sejak kecil memang memiliki bakat kecerdasan dan daya fikir yang luar biasa. Itulah sebabnya, selepas dari SDN Margomulyo di tahun 1966, dirinya dikirim keluarganya untuk menempuh studi di Kulliyatul al-Muallimin al-Islamiyah (KMI) Pondok Modern Gontor Ponorogo.

Setelah menamatkan pendidikannya pada tahun 1972, dia melanjutkan studinya ke Institut Pendidikan Darussalam (IPD) di tempat yang sama. Setelah meraih gelar Bachelors of Art di tahun 1977, lantas hengkang ke Yogyakarta dan masuk ke IAIN Sunan Kalijaga pada Fakultas Ushuluddin jurusan Perbandingan Agama.

Ketika pertama kali memasuki Kota Yogyakarta di tahun 1978, orang pertama di PT dengan ribuan mahasiswa ini merasakan, kota tersebut amatlah kondusif bagi kerukunan hidup beragama. Mahasiswa yang berada di kampus-kampus, dihuni dari berbagai etnis dan agama. Mereka dapat membaur dalam kehidupan yang plural. “Kota Yogyakarta adalah sosok yang unik dan inspirasional bagi dialog antar umat beragama,” celetuknya.

Obsesi hidup pada sebuah masyarakat yang pluralistik tersebut, sudah terbina sejak di pendidikan menengah Pondok Modern Gontor. Dan kebiasaan itu makin berkembang, ketika dirinya menjadi mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga. “Sewaktu di Gontor, kami sudah dibiasakan hidup memadukan antara teks dan konteks, antara teks dan realitas sosial,” tukasnya.

Kondisi yang ada di Yogyakarta, simpulnya, sangat menunjang untuk komunikasi antar umat beragama secara baik. Sebab ada empat prasyarat untuk dapat menciptakan hubungan tersebut menjadi baik. Pertama, dialog antar agama tidak terbatas pada tataran teologis dan filosofis, tetapi pada praktik hidup sehari-hari. Kedua, adanya pemahaman agama yang mendalam. Ketiga, pemahaman sejarah agama masing-masing. Dan yang keempat, selain lembaga-lembaga pendidikan, perlu dikembangkan pula lembaga-lembaga studi multiagama.

Pada tahun 1982, dia meraih gelar S1 dari IAIN Sunan Kalijaga. Setahun kemudian suami Hj Nurkhayati ini diangkat menjadi Dosen Tetap di Fakultas Ushuluddin di Universitas yang sama. Kemudian pada tahun 1985, atas sponsor Departemen Agama RI dan Pemerintah Republik Turki, dirinya mengambil Program Ph.D bidang Studi Filsafat di Department of Philosohpy, Faculty of Art and Sciences, Middle East Technical University (METU), Ankara, Turki.

Di sini dia sempat menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI). Hal itu dilakoninya pata tahun 1986 hingga 1987. Selama libur musim panas, Amin bekerja part time di Sekretariat Kantor Haji di Jeddah (1985 dan 1990), di Makkah (1988) dan di Madinah (1989). Sementara gelar Ph.D pada institusi tersebut, diraihnya di tahun 1990.

Waktu itu disertasinya mengangkat judul “The Idea of University of Ethical Norms in Ghazali and Kant”, yang kemudian diterbitkan di Turki (Antara; Turkiye Diyanet Vakfi) pada tahun 1992. Karya terjemahannya diterbitkan tahun 1995, oleh penerbit Rajawali (Jakarta) dengan judul: Agama dan Akal Pemikiran; Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusiawi.

Pada tahun 1993, dia menjadi Dosen Tetap di Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, dan diserahi materi Filsafat Islam dan Filsafat Agama. Di tahun ini pula, dirinya diserahi tugas sebagai Asisten Direktur Pascasarjana pada Institut yang sama. Hal itu dipangkunya hingga tahun 1996. Disamping itu juga menajabat sebagai Wakil Kepala Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), Universitas Muhamadiyah Yogyakarta.

Dua tahun kemudian, bapak tiga anak ini juga mengajar di beberapa kampus ternama di Indonesia. Disamping mengajar di IAIN Sunan Ampel Surabaya, Universitas Muhammadiyah Malang dan IAIN Walisongo Semarang, juga megajar pada Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, serta di Universitas Islam Bandung (UNISBA).

Namun kesibukan tersebut sejenak ditinggalkannya, karena harus pergi ke Canada untuk mengambil Program Postdoctor, McGill University, Montreal dan selesai pada tahun 1998. Di tahun inilah, dirinya diserahi jabatan sebagai Wakil Rektor UIN Sunan Kalijaga. Juga sekaligus dipercaya sebagai Kepala Departemen Agama dan Filsafat di Program Pascasarjana. Hal itu dijalaninya hingga tahun 2002. Sebab di tahun itulah, dirinya diangkat menjadi Rektor UIN Sunan Kalijaga – hingga dua periode masa jabatan.

Betapun kesibukan akademiknya banyak menyita waktu, namun masih tetap menyempatkan diri untuk kegiatan sosial. Amin Abdullah tercatat pernah menjadi Ketua Asosiasi Mahasiswa Indonesia di Turki (1987 s/d 1988), serta sebagai Ketua Divisi Umat dan sumberdaya manusia ICMI-DIY (1991 s/d 1995). Pada periode tersebut, dia juga menjadi Anggota Majlis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Kemudian juga menjadi Ketua Majlis Tarjih Muhammadiyah (1995 s/d 2000), sebagai Anggota Dewan Konsultatif, Indonesia Conference on Religion and Peace / ICRP (2000 s/d 2002), menjadi Wakil Ketua Dewan Nasional Muhammadiyah (2000 s/d 2005), serta sebagai Anggota Badan Akreditasi Jurnal (2003 s/d 2004).

Itulah sebabnya, nama Pak Amin – demikian panggilan karibnya – tak asing lagi di kalangan akademisi Muslim Indonesia. Apalagi kreativitas dan ide-idenya seolah tak pernah mengering. Lebih-lebih yang diperuntukkan bagi dunia pendidikan. Untuk dapat mengembangkan dunia pendidikan seoptiomal mungkin, ujarnya, hendaknya pendidik tidak terpaku pada kurikulum. “Kurikulum hanyalah sebagai patokan, yang harus dikembangkan dengan kreativitas yang tinggi oleh setiap pendidik,” tandasnya.

Yang amat disayangkannya, kenapa dunia akademik kita mesti terpaku dan selalu berkiblat ke Barat? Padahal pengembangan dunia akademik di Timur Tengah, terlihat lebih memanusiawikan manusia. Ketika memberikan beasiswa pendidikan bagi mereka yang sudah berkeluarga misalnya, anak istrinya juga mendapat biaya hidup di tempat mereka belajar. “Sementara negara-negara Barat, justru mengganggap manusia seperti mesin,” tandasnya.

Semangat pluralistik negara-negara AS, menurutnya, baru sebatas di dalam saja. Cara melihat ke dalam inilah yang tampak sangat menonjol. Namun ketika melihat ke luar, mereka tak mau menghargai adanya realitas pluralisme. “Nah, dalam semangat itu AS menempatkan cara bersikap dan bertindak secara sepihak terhadap persoalan-persoalan di luar negaranya,” tegasnya. “Oleh karenanya AS perlu belajar menghargai realitas pluralisme, sama seperti yang dikembangkan di negara mereka,” tambahnya.

Keterperangahan terhadap dunia Barat inilah, tuturnya, yang mengakibatkan terjadinya pengagungan secara berlebihan terhadap kekuatan rasio. Dan itu telah menjadi gejala global, yang telah menyebabkan krisisnya manusia modern. Sehingga kehidupan keberagamaan, terkesan hanya sebagai rutinitas formalitas semata. Manusia menjadi kehilangan makna hidup, karena spiritualitas agama tidak terasah. “Gejala seperti ini tak hanya menerpa masyarakat urban, bahkan sudah menembus desa-desa di pelosok tanah air,” tengarainya. “Keadaan seperti ini, membawa masyarakat Islam berupaya mencari kembali pesan keruhanian Islam yang seakan menghilang,” tambahnya bernada harap.

Dirinya menyayangkan, kenapa untuk membangkitkan kembali spiritualitas agama yang semakin kering ini, malah dimaknai sepenggal-sepenggal oleh kelompok serpihan umat Islam. Padahal sesungguhnya, Islam tidak bisa dimaknai secara sepenggal-sepenggal; yang terpenting adalah sisi syari’atnya, atau tarekatnya, hekekatnya atau makrifatnya saja. “Keempat-empatnya harus diasah bila ingin menjalani Islam secara kaffah. Sehingga kebeningan jiwa dan kegairahan spiritual akan bisa dicapai,” terangnya.

Pada saat berfikir, bersikap dan berbuat, kata Amin, seseorang hendaknya terus mengedepankan hati, sehingga timbul penghargaan terhadap kehidupan orang dan mahluk hidup lainnya. Sebab Islam hadir secara universal untuk kebahagiaan seluruh umat manusia di dunia maupun di akherat. “Islam merupakan panggilan suci untuk seluruh jiwa manusia, dan bukan untuk kelompok-kelompok yang berserpih,” tegasnya. “Bahkan kenyataannya, kehadiran kelompok serpihan itulah yang justru menodai pesan ruhaniah Islam itu sendiri,” tambahnya menjelaskan.

Untuk menyuarakan ide-idenya itulah, Guru Besar bidang filsafat agama ini banyak menulis di berbagai media cetak. Seperti di Al-Jami’ah (Media Ilmu Pengetahuan Agama Islam, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), Akademika (Universitas Muhammadiyah Surakarta), Al-Qalam (IKIP Muhammadiyah Yogyakarta), Jurnal Teologi GEMA (Universitas Duta Wacana Yogyakarta), Media Inovasi UMY, Pembimbing (Departemen Agama Jakarta), Jurnal Studi Islam, Islamika, Suara Muhammadiyah, Ulumul Qur’an, dan sebagainya.

Ide-ide tersebut juga dituangkannya dengan menulis buku. Di antara buku-bukunya yang telah terbit; Falsafah Kalam di Era Posmodernisme (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995), Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996), Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer (Mizan, Bandung, 2000), Arah Baru Studi Keislaman: Pendekatan Integratif-Interkonektif (Pustaka Pelajar, Yogyakarta), dan lain sebagainya.

Sementara buku yang ditulisnya bersama cendekiawan yang lain, meliputi; Islamic Studies Dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi: Sebuah Antologi, Pendidikan Agama Era Multikultural-Multireligius, Integrasi Sains-Islam: Mempertemukan Epistemologi Islam dan Sains, Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum, Upaya Mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum, Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, serta Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer.

Disamping menerjemah buku karya penulis berkaliber dunia, Amin Abdullah juga sangat aktif menjadi narasumber baik pada seminar nasional maupun internasional. Di antaranya adalah seminar yang diselenggarakan di Kairo, Mesir (1992), Ankara, Turki (1993), Malaysia (1994), Leiden, Belanda (1996), Tokyo, Jepang (1999), Libya (2000), Korea Selatan (2003), Kanada (2003), London (2003), Kuala Lumpur, Malaysia (2003), Belanda (2003), Thailand Selatan (2005), Universitat Marburg, Jermany (2005), Kremlin, Moskow (2005). Bahkan empat tahun terakhir ini, dirinya juga masih kerap diundang menjadi narasumber di berbagai negara.

Yang diserukannya melalui berbagai seminar dan beragam karya tulisnya, adalah bermuara pada perlunya dialog kebersamaan. Sebab manusia tak mungkin berdiri sendiri. Ia membutuhkan manusia lainnya untuk saling berinteraksi, saling mengenal dan saling berkembang. Oleh karenanya, antar manusia itu harus saling belajar, saling take and give, agar tercipta regenerasi, bisa tumbuh, bisa berkembang, yang nantinya terjadi siklus yang kemudian muncul generasi baru, dan begitu seterusnya.

Begitu juga dengan peradaban. Sebab peradaban itu muncul bersamaan dengan adanya manusia. Antara yang satu dengan yang lainnya, harus saling belajar, saling melengkapi dan mengisi yang kurang. “Manusia bisa mencapai taraf cita-cita yang diinginkannya, juga melalui peradaban yang terus berkembang ,” tandasnya mengingatkan.

0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons