Lahir
di Tongan, Malang pada tahun 1901, Wafat Pada 1964 Dimakamkan
dilingkungan Pesantren PPAI Kepanjen.Pendidikan NIS, ELS, nyantri di
Kiai Mukti, Kasin, Ponpes Canga'an Bangil, Ponpes Salafiyah Siwalan
Panji, Sidoarjo.
Perjuangan/Pengabdian
: Pendiri Ponpes Sono Tengah, Pakisaji, Pendiri Pesantren Karangsari
Bantur, Pendiri Ponpes PPAI Ketapang, Kepanjen, Penggerak tentara
Hisbullah, Rois Syuriah NU Cabang Malang, menjadi Ketua Misi Ulama se
Jatim ke Moskow, Rusia, dan Karachi mewakili Partai NU wilayah Jawa
Timur.
Kiai Low Profile, yang Jadi Delegasi Ulama ke Rusia
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan)
dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu
ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (QS.
Al-Jaatsiyah:18)
Ayat
ke-18 dalam Al Qur'an surat Al-Jaatsiyah itulah, yang selalu ditanamkan
KH Moh. Said kepada santrinya. Harapannya, agar santri yang menuntut
ilmu di Pondok Pesantren Agama Islam (PPAI) Ketapang, Kepanjen, yang
diasuhnya tidak model-model. "Kalau memang hanya bisa membaca Al
Fatihah, ya ajarkan Al Fatihah itu," ujarnya kala itu.
Prinsip
kiai kelahiran Tongan, Kota Malang pada tahun 1901 ini, sebagai seorang
pemimpin harus bisa mencetak atau mengkader santrinya menjadi pemimpin.
Karenanya, tak heran jika kemudian Kiai Said, putra dari H Moh. Anwar
dan Ny Lis ini berhasil mengkader santrinya menjadi kiai, ustadz, dan
tokoh masyarakat. Seperti KH Abdul Hanan, KH Alwi Murtadho, Pengasuh
PPAI Al Ihsan, Blambangan, Bululawang, KH Abdul Basyir, KH. Drs Mahmud
Zubaidi, Ketua MUI Kabupaten Malang, yang juga Pengurus NU Cabang
Kabupaten Malang, Ustadz H Ismail Qodly, guru agama di SLTP Shalahuddin,
Gus Mad Suyuti Dahlan, Pengasuh Ponpes Nurul Ulum, Kacuk, Sukun, KH
Ahmad Su'aidi, yang kini menjadi Pengasuh PPAI Ketapang, menggantikan
beliau, dan puluhan kiai lainnya, yang tersebar di Malang dan
sekitarnya.
Pada
masa penjajahan Belanda, Kiai Said termasuk beruntung. Karena pada usia
10 tahun, beliau dapat mengenyam pendidikan dan berhasil menamatkan
pendidikan NIS tahun 1911, dan 5 tahun kemudian menamatkan ELS tahun
1916. Setamat dari ELS beliau bekerja menjadi Komis Pos di Jember
selama 9 tahun, mulai tahun 1916 sampai 1925.
Sejak
masa muda, beliau memang dikenal sebagai orang yang suka bekerja keras,
dan tekun belajar. Selain membantu orang tuanya, juga berdagang, serta
terkadang bertani.
Beliau
menikah pada tahun 1925, dengan Siti Fatimah, seorang wanita dari Kidul
Pasar Malang. Waktu itu, beliau masih berstatus sebagai pegawai di
Kantor Gubernur di Surabaya tahun 1925 – 1927. Dalam pernikahan
tersebut, Kiai Said tidak sampai dikarunia putra.
Secara khusus, awalnya Kiai Said hanya nyantri di beberapa kiai di Malang, seperti ngaji pada Kiai Mukti, Kasin, dan beberapa kiai lainnya. Selain itu, juga pernah nyantri ke Canga'an Bangil. Kemudian nyantri ke Pondok Pesantren Salafiyah Siwalan Panji Sidoarjo pada tahun 1926 – 1931.
Secara khusus, awalnya Kiai Said hanya nyantri di beberapa kiai di Malang, seperti ngaji pada Kiai Mukti, Kasin, dan beberapa kiai lainnya. Selain itu, juga pernah nyantri ke Canga'an Bangil. Kemudian nyantri ke Pondok Pesantren Salafiyah Siwalan Panji Sidoarjo pada tahun 1926 – 1931.
Bekerja
menjadi pegawai pemerintah Belanda, ternyata tidak memuaskan hati
beliau, hingga dia mengundurkan diri. Karenanya, setelah menyelesaikan
pendidikan di pesantren beliau mendirikan dan mengasuh Ponpes Sono
Tengah Pakisaji Malang pada tahun 1931 sampai 1947. Pada tahun 1948,
beliau mendirikan Pesantren Karangsari di Bantur. Setelah itu, sekitar
tahun 1949 mendirikan Ponpes PPAI Ketapang, Kepanjen.
Di masa pendudukan penjajah Belanda, Kiai Said, turut berjuang bersama masyarakat untuk mengusir penjajah. Bahkan beliau termasuk tokoh yang menggerakkan tentara Hisbullah pada tahun 1945 –1948.
Di masa pendudukan penjajah Belanda, Kiai Said, turut berjuang bersama masyarakat untuk mengusir penjajah. Bahkan beliau termasuk tokoh yang menggerakkan tentara Hisbullah pada tahun 1945 –1948.
Dikalangan
santri, dan masyarakat, beliau dikenal sebagai ulama yang bijaksana,
serta dekat umaro' dan organisasi yang allamah waro’ dan sufi. Selain
itu, juga aktif di organisasi NU, dan sempat menjadi Rois Syuriah NU
Cabang Malang pada tahun 1950 –1965. Bahkan, pernah ditunjuk menjadi
Ketua Misi Ulama se Jatim ke Moskow, Rusia, dan Karachi mewakili Partai
NU wilayah Jawa Timur.
Menurut
Gus Mad Suyuti Dahlan, Kiai Said itu sosok sufi yang berpendirian
teguh, suka menyendiri, dan menjauhi keramaian. Meski beliau lebih
menekankan pada syariat (fiqih), tapi juga mengamalkan Thoriqoh
Kholwatiyah dengan kitab susunannya Khulasoh Dzikril Ammah wah Khossoh,
yang didirikan Syeh Kholwati. "Beliau itu hampir 27 tahun tidak pernah
telat melaksanakan shalat berjama'ah. Dan pelajaran itu, selalu
ditekankan pada santri-santrinya," ujar Gus Mad Suyuti Dahlan.
Demikian
juga dalam bidang pendidikan, beliau sangat memperhatikan para generasi
muda. Para santrinya diarahkan untuk menjadi penganjur agama Islam atau
da’i, serta menjadi kader-kader dakwah yang memperjuangkan agama Islam
ala ahlussunnah wal jama’ah, serta menyebarluaskan ajaran ponpes yang
sehaluan dengan PPAI Ketapang.
Kiai
Said dipanggil Allah SWT pada tahun 1964 dalam usia 63 tahun, dan
dimakamkan di sekitar pesantrennya. Pernah beliau sewaktu sakit
dikunjungi Habib Abdul Qodir Bil Faqih, Pengasuh Pesantren Darul Hadits
Al Faqihiyah yang kebetulan diantarkan Gus Suyuti Dahlan. Dalam
pertemuan itu, Habib Abdul Qodir sempat menawarkan obat dari Jerman,
yang sangat istimewa dan mujarab kepada Kiai Said. Namun, dengan segala
kerendahan hati tawaran tersebut tidak diterima.
Lantas Kiai Said menceritakan, jika dirinya pernah bermimpi hatinya itu pecah jadi dua. Pecahan itu kemudian menjadi tulisan dalam bahasa Arab, yang artinya, "Tidak ada obat untuk penyakit ini, kecuali dengan dzikrullah."
Lantas Kiai Said menceritakan, jika dirinya pernah bermimpi hatinya itu pecah jadi dua. Pecahan itu kemudian menjadi tulisan dalam bahasa Arab, yang artinya, "Tidak ada obat untuk penyakit ini, kecuali dengan dzikrullah."
"Kalau
begitu, tidak usah saya beri obat Pak Kiai. Dzikir itu saja
diteruskan," tutur Gus Mad Suyuti menirukan perkataan Habib Abdul Qodir
Bil Faqih kepada Kiai Said waktu itu.
0 komentar:
Posting Komentar