K.H. Abdullah As‐Sajjad dilahirkan di Guluk‐Guluk Sumenep dari pasangan Nyai Mariyah Idris Patapan dengan K.H. Muhammad Asy‐Syarqawi Al‐Qudusi pada sekitar tahun 1895 M. Nyai Aisyah, adik beliau, lahir pada Jumadil Awal 1316 H./September/Oktober 1898. Tidak diperoleh data yang pasti mengenai tanggal kelahiran beliau.
Berdasarkan dugaan dimaksud, sewaktu K.H. Muhammad Asy‐Syarqawi meninggal pada bulan Muharram tahun 1329 H/Januari 1911 M beliau masih sangat muda. Sebagai putra tokoh agama dan mendapat dukungan serta fasilitas dari ibu beliau, beliau mengembara dan menuntut ilmu di Banyuanyar, Bangkalan, kemudian di Panji Siwalan Sidoarjo, di Tebuireng dan cukup lama di Sidogiri. Seperti kakak beliau, pada waktu menunaikan ibadah haji, beliau juga menggunakan sebagian waktu beliau untuk menuntut ilmu‐ilmu keagamaan. Sewaktu di Tebuireng antara lain beliau mempelajari ilmu falak. Ditulisnya ilmu itu dengan tangan beliau sendiri. Setelah diteliti, ternyata kebanyakan kitab‐kitab yang beliau tinggalkan beliau beli sesudah pulang dari pondok.
Kemudian beberapa waktu sepulang menuntut ilmu, beliau kawin dengan sepupu beliau, Nyai Shafiyah Munawwar dari Kembang Kuning, Talang, Pamekasan. Sesudah itu beliau menempati lahan baru dari hibah salah seorang anggota masyarakat pada beliau. Di tempat yang baru ini beliau mulai mengajar mengaji Al‐Qur'an dan ilmu‐ilmu agama, antara lain beliau mengajar kitab setiap Sabtu malam Minggu kepada masyarakat yang juga datang dari luar desa bahkan luar kecamatan seperti dari Desa Penanggungan, Beragung, Dundang, Payudan Daleman, Jaddung, Moncek, Gilang, Karang Cempaka, dan sebagainya. Pada umumnya mereka datang dengan berjalan kaki, satu dua ada yang naik kuda dan hanya seorang yang naik sepeda motor yaitu yang dari Karang Cempaka, karena dia tergolong orang kaya pada zamannya. Kemudian tempat ini menjadi pesantren sampai sekarang dan dikenal dengan sebutan Latee. Konon, kata Latee diambil dari nama pemilik asal tanah tersebut.
Beliau dikenal sangat rajin mengajar membaca Al‐Qur'an dengan baik. Untuk itu ilmu Tajwid tidak lupa diajarkannya juga pada para santri. Dalam mengajar Al‐Qur'an beliau menerapkan sistem sorogan, yaitu santri satu persatu membaca dan kiai mendengarkannya serta membetulkan apabila ada bacaan yang salah dan kurang baik. Ini dilaksanakan setiap harisampai santri menyelesaikan 30 juz. Sesudah itu santri yang telah lulus di‐“wisuda”. Mereka diharuskan berpidato dalam bahasa Arab yang beliau susun sendiri. Dengan demikian beliau banyak mengambil manfaat. Setiap hari, selama bertatahun tahun, dari sumber yang beraneka ragam menginformasikan isi Al‐Qur'an kepada beliau. Sekalipun beliau tidak hafal sepenuhnya, tetapi topik‐topik dan pokok bahasan yang ada dalam Al‐Qur’an beliau hafal dan tentu memahami isinya. Setiap waktu shalat eliau membaca Surat‐Surat dalam juz Amma semisal Surat Al‐A'la, Al‐Ghasyiyah, At‐Takatsur, Al‐Humazah, Al‐Ma'un dan lain sebagainya. Khusus pada Shalat Subuh hari Jum’at beliau suka membaca Surat As‐Sajadah pada rakaat pertama dan surah Al‐Insan pada rakaat kedua. Sedangkan pada Shalat Isya' Malam jum'at beliau suka membaca Surat Al‐Jumu'ah pada rakaat pertama dan Surat Al‐Munafiqun pada rakaat kedua. Itu dibaca secara tuntas dari awal sampai akhir surah. Dari itu pola hidup yang beliau perlihatkan sehari‐hari sesuai dengan apa yang beliau pahami dari Al‐Qur'an dan Al‐Hadits. Pada saat itu tantangan modernisasi belum begitu kuat dan globalisasi belum seperti sekarang.
Menurut salah seorang informan, beliau lebih mengutamakan bacaan yang baik dari pada menghafal seluruh isi Al‐Qur'an. Bahkan terkesan beliau kurang setuju pada santri yang akan menghafalkan seluruh isi Al‐Qur'an. Barangkali hal ini disebabkan karena bacaan para santri menurut pemikiran beliau masih kurang baik dan terutama beliau khawatir kalau‐kalau setelah di masyarakat dilupakannya sebagian saja oleh mereka. Pada saat itu, Annuqayah dikenal dengan santrinya yang pandai dan baik dalam membaca Al‐Qur'an di samping baik dalam tata kramanya. Beruntunglah Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, karena dahulu alumni‐alumni Annuqayah mengajar membaca Al‐Qur'an dengan baik. Mereka itu antara lain K.H. Dhofir Munawwar, KH Ihsan Munawwar, K. Musta’ien dan K. Mahalli.
Selain beliau dikenal sangat rajin mengajar Al‐Qur'an, beliau sangat senang juga mengajar ilmu‐ilmu alat, khususnya ilmu sharraf. Untuk itu beliau sendiri mengajar para santri senior yang kemudian mereka itulah yang melanjutkan mengajar pada junior‐junior mereka. Beliau banyakmeninggalkan kitab yang berhubungan dengan ilmu ini, bahkan bukan hanya kitab‐kitab nahwu dan sharraf yang beliau tinggalkan, tetapi juga kitab balaghah, 'arudl dan qawafi.
Beliau juga tidak lupa mengajarkan ilmu‐ilmu agama yang lain, bahkan dalam ilmu tauhid untuk kebutuhan para santri, beliau memudahkan untuk mempelajari ilmu ini dengan menadzamkannya. Kitab Qatrul Ghaits peninggalan ayah beliau yang berupa tulisan tangan dengan dilengkapi syakal dan arti bagi mufradat yang dianggap sulit, beliau nazham‐kan untuk diajarkan pada santri‐santri beliau. Ilmu fiqh dan tasawuf juga beliau ajarkan di samping matan hadits. Nampaknya beliau sangat senang dan antusias mengajar kitab Al‐Hikam. Beliau sering menulis istighasah yang terdapat pada akhir kitab tersebut serta dibagi‐bagikan kepada sebagian santri kalong yang terdiri dari anggota masyarakat. Untuk Hadits beliau meninggalkan empat kitab syarah Al‐Arba’în an‐Nawâwiyah yang merupakan kitab hadits permulaan yang sangat penting untuk dipelajari. Di samping itu beliau suka mengajar kitab Al‐Jâmi'ush Shaghîr sehingga beliau sangat lancar membaca kode‐kode yang selalu terdapat pada setiap akhir hadits.
Setelah santri bertambah banyak, beliau dibantu oleh santri‐santri senior. Lahanpun harus diperluas dan madrasah diadakan. Madrasah ini hanya mengajarkan ilmu‐ilmu agama. Ada beberapa santri senior yang sangat beliau cintai dan dikader untuk mengembangkan perjuangan beliau. Dalam perkembangan selanjutnya mereka menjadi tokoh‐tokoh masyarakat yang sebagian mendirikan atau mengasuh pesantren yang terus berkembang sampai saat ini. Sebagai contoh di Banyuangi K.H. Ali Mufi, di Jember K.H. Syamsul Arifin Karangharjo, K.H. Bakar Dukuh Mencek, K.H. Munir Kemuning, di Situbondo K.H. Dhafir Munawwar dan di beberapa desa dan kecamatan-kecamatan Kabupaten Sumenep semisal di kecamatan Guluk‐guluk K.H. Idrisi, di kecamatan Ganding K.H. Hasyim Thabrani, di kecamatan Lenteng K.H. Syamsul Arifin, di kecamatan Bluto K.H. Raudlah, di kecamatan Pragaan K.H. Jauhari dan K.H. Ali, di kecamatan Dasuk K.H. Abdul Mannan dan lain sebagainya. Visi makro pendidikan yang beliau idam‐idamkan adalah masyarakat Islam lewat pengkaderan santri‐santri di pesantren, sesuai dengan paham ayah beliau yaitu Ahlussunnah Wal Jamâ'ah Madzhab Syafi'i.
Beliau sangat pemberani. Pada waktu penjajahan Jepang beliau tetap mengadakan pengajian umum dan hataman Al‐Qur'an, sekalipun hal tersebut dilarang oleh penjajah Jepang. Sewaktu Belanda ingin menguasai kembali daerah‐daerah di Sumenep Madura, beliau bergerilya dan memimpin organisasi Sabilillah untuk kawasan Sumenep. Beliau dicari‐cari oleh penjajah Belanda. Dan innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn pada tanggal 20 Muharram 1368 bertepatan dengan 3 September 1947 beliau dieksekusi oleh penjajah Belanda di lapangan Guluk‐guluk.
Semasa beliau masih hidup, beberapa waktu setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945, pada saat harapan‐harapan keagamaan mulai tumbuh mekar di dada para pejuang yang benar‐benar ikhlas li i'lâ'i kalimâtillâh, beliau mencalonkan dan terpilih sebagai kepala desa Guluk‐guluk. Pada waktu itu hal ini sangat wajar karena beliau dikenal orang di samping kepiawaiannya dalam ilmu‐ilmu agama juga mempunyai sifat sosial yang sangat tinggi.Bengkok atau tanah catoh dalam istilah Madura sebagai ganti gaji pegawai pemerintah hanya beliau gunakan seperlunya, sebagian beliau berikan garapannya pada orang‐orang yang beliau anggap pantas untuk memanfaatkannya. Pada masa hidupnya seperti di sebutkan di atas, beliau mengadakan pengajian umum untuk tokoh‐tokoh masyarakat di Pondok Pesantren Latee dan perkumpulan-perkumpulan membaca burdah di hampir seluruh kampung di desa Guluk‐guluk. Dikala ada tetangga sakit beliau mengajak beberapa orang santri untuk membacakan burdah dengan doa semoga ia akan segera sembuh atau segera diambil oleh Tuhan jika sudah tiba waktunya. Beliau juga sangat senang bersilaturrahmi terutama pada famili‐famili beliau.
Sebagai tokoh masyarakat dan guru agama, penampilan beliau agak perlente, sarung dan baju yang beliau kenakan hanya yang baik‐baik saja. Beliau tentunya selalu ingat terhadap hadits yang mengatakan tentang Jibril sewaktu mengajar tentang agama. Namun demikian beliau tidak senang terhadap dunia dan rela apa adanya. Konon, diwaktu beliau mempunyai uang, beliau menyewa dokar dan membawa anak‐anak beliau ke pasar untuk membelikan sesuatu, sehingga uang itu habis untuk kepentingan keluarga. Demikian juga waktu beliau meninggal, beliau tidak meninggalkan harta untuk istri beliau. Menurut penuturan istri beliau yang dinikahi sepeninggal istri beliau yang pertama, segala pakaian yang beliau tingggalkan habis dicuri maling sewaktu masih tinggal bersama ibu mertuanya, sehingga harus memulai kehidupannya dari nol dalam keadaan miskin. Tetapi alhamdulillâh selanjutnya semua dikaruniai kelebihan oleh Allah sehingga yang pantas terucap hanya syukur, syukur dan syukur kepada‐Nya. (Hz)
Sumber : Buku Sejarah, Visi dan Misi Pondok Pesantren Annuqayah
© KH. A. BasithAS., BA., 2008
Senin, 10 September 2012
K.H. Abdullah As‐Sajjad
20.01
Achmad Fahrizal Zulfani Al Hanif
No comments
0 komentar:
Posting Komentar