Sejak kecil putra pasangan Habib Umar bin Sholeh Bin Jindan dan Syarifah Shafiyah binti Abdurrahman Al-Munawar ini selalu mendapat perhatian yang mendalam dari orangtuanya, terutama dalam hal pendidikan agamanya. Selain mengikuti pendidikan formal sekolah dasar, ia, yang kelahiran Surabaya, 19 Januari 1977, dimasukkan sang ayah pada sebuah madrasah asuhan Ustadz Abdullah Bahmen di Ampel Menara, Surabaya.
Lepas dari sekolah dasar, karena kondisi ekonomi orangtuanya, Habib Sholeh tak sempat mengenyam pendidikan formal tingkat SLTP. “Ayah saya seorang pedagang. Penghasilan yang didapat tergolong minim, hingga ia tak mampu membiayai sekolah saya. Tapi saya melihat, beliau adalah seorang yang memiliki himmah yang luar biasa besar dalam mencetak diri saya agar besar dalam lingkungan ilmu,” kenangnya ihwal sosok sang ayah.
Maka, ayahnya pun menawarinya masuk Pesantren Al-Khairat, yang saat itu tengah dirintis pendiriannya oleh Habib Ahmad bin Hasan Vad’aq Bekasi. Kebetulan, secara pribadi ayahnya memang memiliki kedekatan hubungan dengan Habib Ahmad.
Setelah dibujuk, ia, bersama saudaranya yang bernama Hasan, diantar ayahnya ke Bekasi.
Sesampainya di Jakarta, Habib Sholeh kecil diajak ayahnya berziarah ke Luar Batang. Lewat doa-doa yang dipanjatkan, untuk kesekian kalinya tampak sekali harapan ayahnya pada dirinya saat itu begitu besar. Ia mendengar sendiri saat di hadapan makam Habib Husein bin Abubakar Alaydrus, Luar Batang, ayahnya memanjatkan doa ke hadirat Allah SWT dengan penuh kesungguhan agar dirinya dapat betah tinggal di pesantren, dan kemudian berseru, “Ya Habib Husein, aku titipkan kedua anakku ini kepada antum, karena antum adalah ahlul wilayah (pemuka para wali) Jakarta. Aku berharap, kedua anakku ini dapat betah dan kelak menjadi anak yang bermanfaat di dunia dan akhirat.”
Setelah membaca Ya-Sin dan tahlil bersama, sang ayah kembali mengulang ucapannya di atas, persis seperti ia mengucapkannya semula.
Hasil Berdagang
Pesantren Al-Khairat saat itu masih baru dibuka. Habib Sholeh tergolong santri generasi pertama di Al-Khairat. Waktu ia sampai di sana, tahun 1989, belum ada santri lain yang mondok.
Selama di sana, ia mendapat perhatian penuh dari Habib Ahmad. Selain belajar di siang harinya, setiap malam ia dibangunkan Habib Ahmad untuk shalat Tahajjud bersama. Di samping kepada Habib Ahmad, ia juga belajar bahasa Arab kepada putra Habib Ahmad, yaitu Ustadz Muhammad.
Kira-kira setahun setelah kedatangannya itu, Habib Nagib pun mulai mengajar di pesantren tersebut. Ia tak melewatkan kesempatan itu untuk turut mengaji kepada alumnus Abuya Al-Maliki yang kini menjadi pengasuh di pesantren Al-Khairat tersebut.
Di Al-Khairat ia tak lama, hanya sekitar setahun lebih. Karena sering sakit-sakitan, tahun 90 ia kembali pulang ke Surabaya.
Di Surabaya, kembali ia melanjutkan mengaji kepada Ustadz Abdullah Bahmen, khususnya dalam memperdalam ilmu alat bahasa Arab.
Setahun di Surabaya, tepatnya tahun 1991, ia kembali masuk pesantren. Kali itu ia memasuki Pesantren Sunniyah Salafiyah, asuhan Habib Taufiq bin Abdul Qadir Assegaf, yang ia jalani sampai tahun 1994.
Selepas dari pesantren, mengikuti jejak ayahnya, ia mulai belajar berdagang. Tapi, usaha dagangnya itu ia jalani tanpa sepengetahuan sang ayah.
Allah SWT menakdirkan nasib baik melekat dalam perjalanan hidupnya. Dari hasil perdagangannya itu, sampai tahun 1995, ia berhasil mengumpulkan uang sampai dua juta rupiah.
Saat itu ia memiliki keinginan kuat untuk berangkat menimba ilmu di Hadhramaut. Sayangnya, yang ia dengar, untuk berangkat ke sana harus tersedia uang minimal tiga juta rupiah.
Adab dan Akhlaq
Habib Sholeh kemudian berinisiatif pergi ke Jakarta, untuk menemui Habib Abdurrahman bin Syech Al-Attas, tokoh habaib sepuh saat ini yang dikenal sebagai salah satu pintu masuk bagi para pelajar Indonesia bila hendak berangkat ke Hadhramaut. Kepada Habib Abdurrahman, ia mengutarakan maksud hatinya sekaligus kondisi keuangannya.
Kebetulan pada saat itu Habib Abdurrahman tengah kedatangan tamu istimewa, yaitu Habib Hasan bin Abdullah Asy-Syathiri, pengasuh Rubath Tarim. Kepadanya, Habib Abdurrahman mengatakan, “Ya sudah, itu ada Habib Hasan, ente langsung bicara saja kepada Habib Hasan bagaimana baiknya.”
Setelah bertemu Habib Hasan, ia kembali mengutarakan niatnya itu.
Gayung bersambut, Habib Hasan mengatakan, “Baik, kamu saya terima untuk belajar di sana. Yang penting niatmu. Dengan niat yang baik sewaktu berangkat, insya Allah sewaktu pulangnya nanti mendapat manfaat yang besar. Kamu belajar dua tahun di sana sama dengan belajar di sini selama empat tahun.”
Saat itu Habib Hasan juga mengingatkan kepadanya perihal pentingnya ia menjaga adab dan akhlaq selama berada di Hadhramaut kelak, agar menjadi bekal bagi perjalanan hidup selanjutnya.
Habib Hasan mengisahkan, di masa ayahnya dulu, Habib Abdullah bin Umar Asy-Syathiri, ada seorang santri yang, ketika ingin keluar shalat Subuh berjama’ah di Masjid Ba’alawi, di tengah jalan bertemu seekor anjing. Rupanya ia terkejut dan merasa takut. Karena rasa takutnya itu ia mengambil sebuah batu dan melemparkannya ke anjing tersebut. Akibatnya, mata anjing itu terluka.
Ternyata, berita itu sampai ke telinga Habib Abdullah. Si santri pun dipanggil. Meski “hanya” karena tindakan kepada seekor anjing, Habib Abdullah menegur santri tersebut, “Engkau telah melakukan tindakan tak beradab….”
Dikisahkan, di kemudian hari di masa-masa akhir kehidupan santri itu, ia pernah dilempar batu oleh seseorang sampai melukai matanya, persis sebagaimana yang pernah ia lakukan dulu kepada anjing itu.
Senang dan Sedih
Hati Habib Sholeh begitu senang setelah diterima Habib Hasan. Ia pun segera bergegas pulang ke Surabaya untuk menemui ayahnya.
Ayahnya kaget bukan kepalang mendengar anaknya itu mau berangkat ke Hadhramaut. “Kamu dapat biaya dari mana, yang mau ngasih makan siapa? Terus terang, Abah tidak mampu.”
Habib Sholeh pun meyakinkan kepada ayahnya bahwa, bila seseorang punya niat yang baik, Allah pasti akan membantunya. “Sholeh percaya sama Allah, Bah,” ujarnya, dan kemudian menceritakan bahwa selama itu ia telah mengumpulkan uang dengan berdagang.
Saat itu kondisi orangtuanya memang benar-benar dalam keterbatasan. Jangankan untuk berangkat ke Hadhramaut, untuk berangkat ke Jakarta saja mereka tak punya ongkos yang cukup. Sementara itu ibunya pun hanya bisa menangis menyaksikan keadaannya saat itu.
Karena begitu terbatasnya dana yang ia miliki, untuk keberangkatannya ke Hadhramaut itu ia hanya membawa lima baju, sama dengan kebiasaannya kalau ia berangkat dari Surabaya ke Jakarta. Karena memang hanya sejumlah itulah baju miliknya yang layak ia bawa.
Dalam keadaan sakit batuk-batuk, ayahnya pun memaksakan diri untuk mengantarnya ke Jakarta.
Di Jakarta, sebelum keberangkatannya, ia sempat mengunjungi beberapa kerabatnya yang ada di Jakarta. Alhamdulillah, dari mereka ia mendapatkan sejumlah pemberian, yang terkumpul sampai 300 dolar, sebagai bekal dari mereka untuknya kelak selama di Hadhramaut.
Saat itu ia melihat, orangtuanya merasa senang, tapi sekaligus keberatan. Senang, karena anak mereka bisa menimba ilmu di negara leluhur. Tapi, tampak sekali hati mereka merasa berat untuk berpisah dan melepas kepergiannya itu.
“Jangan Pulang Dulu”
Awal tahun 1996, Habib Sholeh pun berangkat ke Hadhramaut dan menimba ilmu di Rubath Tarim.
Di bawah asuhan Habib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri, ia mempelajari berbagai cabang ilmu agama, baik kepada Habib Salim langsung maupun kepada kakak Habib Salim, yaitu Habib Hasan, juga kepada para guru lainnya di sana.
Selama di sana, hatinya merasa amat terkesan, terutama dengan teladan yang diberikan oleh guru-gurunya itu, serta perhatian yang mereka berikan kepadanya dan kepada segenap santri lainnya.
Pernah suatu saat ia sakit hingga sampai muntah darah. Saat itu Habib Salim sedang berada di Madinah. Mendengar berita tentang dirinya yang tengah sakit, Habib Salim segera menghubungi putranya, Habib Idrus bin Salim, agar segera membawanya ke rumah sakit.
Tak cukup sampai di situ, di rumah sakit ia pun benar-benar merasakan perhatian penuh diberikan kepadanya, terutama masalah makanannya. Masalah biaya, juga ditanggung oleh mereka. “Perhatian mereka sungguh amat mendalam, seperti perhatian orangtua kepada anaknya,” kata Habib Sholeh.
Kekagumannya juga sangat besar kepada Habib Hasan, sosok yang amat berkharisma dan memiliki wibawa besar di tengah penduduk Hadhramaut, yang selalu memanggil setiap muridnya dengan panggilan “Ya waladi” (wahai anakku).
Namun, baru beberapa bulan tinggal di negeri leluhurnya itu, Habib Sholeh mendapat kabar duka dari kampung halamannya. Sang ayah wafat, tepatnya pada hari Senin 22 April 1996.
Tak lama kemudian, ibunya mengghubunginya dan berharap sebaiknya ia segera pulang. Sebab, sejak wafatnya sang ayah, ibunya jadi sendirian dan terus merasa kepikiran kepada dirinya.
Habib Sholeh pun menyampaikan perihal harapan ibunya kepada Habib Salim.
Habib Salim tak mengizinkannya. “Jangan dulu pulang, kamu baru dua tahun di sini. Sayang kalau pembelajarannya harus berhenti sampai di sini,” kata Habib Salim kepadanya.
Sebagai seorang murid yang taat, ia menuruti perintah gurunya itu.
Sekitar tahun 1998, ia sempat menunaikan haji dan menyempatkan diri pula pulang ke Jakarta. Saat pulang ke Jakarta itulah ia dijodohkan dengan Syarifah Khadijah, yang tak lain putri sepupunya sendiri, Habib Abdillah Bin Jindan. Jadi, istrinya itu masih terhitung sebagai kemenakan misannya sendiri.
Karena akan segera berangkat kembali ke Hadhramaut, ia pun menikah secara sirri.
Hanya dua minggu ia sempat di tanah air. Ia pun kembali ke Hadhramaut menuntaskan pelajarannya sampai tahun 2000.
Berdakwah di Tanah Air
Tahun 2000, tak lama setelah kepulangannya kembali ke kampung halaman, ia segera dipercaya mengajar di Pesantren Al-Huda, Jln. K.H. Mas Mansur, Surabaya.
Beberapa tahun ia sempat mengajar di situ, sampai akhirnya tiba tawaran dari gurunya, Habib Taufiq Assegaf, untuk berdakwah di Banyuwangi. Pertimbangan gurunya saat itu, di Surabaya sudah banyak yang berdakwah. Maka, hendaknya ia masuk ke daerah-daerah yang lebih membutuhkan lagi dai-dai muda. Tawaran itu pun tak terlepas dari permintaan Habib Umar Assegaf, pemimpin Pesantren Habibullah Banyuwangi, yang meminta Habib Taufiq agar mengirim pengajar ke sana. Pesantren Habibullah sendiri saat itu diasuh oleh Habib Syekh Mulachela.
Habib Sholeh menyambut baik tawaran gurunya.
Awalnya, ia berangkat dulu sendirian. Karenanya, ia pun kembali berpisah dengan istrinya.
Setelah sekitar dua setengah tahun mengajar di sana, ia memutuskan untuk berdikari. Ia bertekad untuk membuka madrasah sendiri.
Saat itu ia bertemu Habib Salim Al-Bahr, yang berkenan meminjamkannya sebuah tempat, yaitu sebuah rumah dan sebuah bangunan, yang rupanya bekas tempat penangkaran sarang burung walet. “Antum pakai tempat ini sampai antum punya tempat sendiri nantinya,” kata Habib Salim kepada Habib Sholeh saat itu.
Dari rumah itulah ia mulai membuka madrasah. Dan karena madrasahnya merupakan perluasan dakwah dari pesantren Habib Taufiq, pengasuh Pesantren Sunniyah Salafiyah Pasuruan, ia pun menamai madrasah itu “Sunniyah Salafiyah”.
Beberapa tahun kemudian, ia juga aktif dalam perintisan pondok pesantren yang didirikan di atas tanah wakaf dari Haji Abdurrahman. Nama pesantren itu adalah “Sunniyah Salafiyah Tarim Al-Ghanna”.
Diberi nama “Sunniyah Salafiyah”, karena menginduk kepada pesantren Habib Taufiq Assegaf di Pasuruan. Sementara “Tarim Al-Ghanna” adalah nama yang diberikan gurunya saat menimba ilmu di Rubath Tarim Hadhramaut, Habib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri, saat kunjungannya ke Indonesia beberapa tahun silam.
Khutbah Basah Kuyup
Seiring berjalannya waktu, Habib Sholeh pun kemudian mendirikan madrasah khusus perempuan. Kini madrasah itu telah berkembang menjadi pondok pesantren putri, yang dikhususkan bagi santri perempuan.
Selain aktif mengasuh pesantren miliknya, Habib Sholeh pun berdakwah di beberapa tempat lainnya. Untuk majelis yang rutin di Banyuwangi, di antaranya di wilayah Muncar, dengan pembahasan syarah Ratib Al-Haddad, stiap malam Senin. Kemudian di Masjid Al-Hadi, juga majelis Maulid hari Jum’at subuh, yang sekarang dihadiri 100-an jama’ah. Jadwal dakwah rutinnya bukan hanya di Banyuwangi, tapi juga sampai Surabaya dan Bali.
Setiap Jum’at, ia pun aktif menyampaikan khutbah, yang jadwalnya telah terisi dalam setahun penuh.
Selain jadwal dakwah yang rutin, ia juga aktif menghadiri undangan-undangan dakwah pada setiap acara keagamaan. Sesekali ia juga terlibat dalam program dakwah bersama alumni Darul Musthafa, yang sering mengadakan perjalanan dakwah ke pedalaman.
Sebuah perjalanan dakwah yang menarik diceritakan Habib Sholeh saat ikut perjalanan dakwah di sekitar pedalaman Tenggarong, Kalimantan Timur.
Kawasan itu merupakan kawasan perkampungan di atas sungai. Rumah-rumah mereka bisa bergoyang kalau ombaknya datang. Bahkan masjid-masjidnya pun demikian.
Kalau malam diadakan majelis Maulid, perahu-perahu kecil yang ditumpangi penduduk berdatangan dan berkumpul di sebuah kawasan sungai. Mereka pun sama-sama mengikuti pembacaan Maulid dan mendengarkan mauizhah di atas sungai tersebut.
Suatu ketika, saat hendak memenuhi undangan khutbah Jum’at di daerah tersebut, ia menaiki sebuah perahu kecil, tiba-tiba dari kejauhan terlihat ada ombak mendekat. “Sungai di sana seperti laut. Luas, dan ombaknya besar-besar,” kisahnya.
Tak ayal, ketika ombak datang menerjang, perahu yang ditumpanginya pun terbalik. Habib Sholeh tercebur dan segera menyelamatkan diri. Akhirnya, ia pun harus berkhutbah dalam keadaan baju dan imamahnya basah kuyup.
Baldatushshiddiq
Belum lama ini, Habib Sholeh berkesempatan membeli sebidang tanah yang cukup luas. Di atas tanah itu kini tengah diupayakan berdirinya sebuah pesantren.
Dalam lawatannya ke Nusantara baru-baru ini, Habib Salim menamai pesantren yang akan didirikannya “Baldatushshiddiq”, artinya “Kota Ash-Shiddiq”.
Menurut keterangan Habib Salim, dulu kota Tarim sempat dinamai oleh Imam Umar Al-Muhdhar bin Abdurrahman Assegaf dengan nama seperti itu, lantaran pernah didoakan secara khusus oleh Sayyidina Abubakar Ash-Shiddiq. Sayyidina Abubakar pun sangat menyukai penduduk Tarim, yang aktif mendukungnya dalam memerangi kaum yang murtad.
Kini, ayah empat putri (Aisyah, Hasinah Syathiriyah, Zainab, Shafiyah) ini terus mengepakkan sayap dakwahnya di berbagai bidang. Di antaranya, lewat media radio. Nama stasiun radionya tersebut pun diberikan oleh Habib Salim, yaitu “Ash-Shiddiq”, mirip dengan nama pesantren yang tengah ia bangun. Untuk sementara waktu, studio radionya kini meminjam sebuah ruangan di kediaman Sayyid Hamid Al-Muhdhar, sebelum nantinya akan dipindahkan dalam satu kompleks dengan bangunan Pesantren Baldatushshiddiq. Sehari-harinya Radio Ash-Shiddiq aktif menyiarkan berbagai materi acara dakwah.
Dalam aktivitasnya, radio ini bekerja sama dengan beberapa radio dakwah lainnya di Jawa Timur. Kini, jaringan radio dakwah tersebut seakan membentuk sebuah komunitas radio.
Perangkat di stasiun Radio Ash-Shiddiq juga telah mendukung teknologi streaming, sehingga kegiatan dakwah di suatu daerah dapat diikuti pada beberapa daerah lainnya. Seperti pada kajian ta’lim malam Rabu oleh Habib Taufiq di Pasuruan, yang juga dapat diikuti dari Banyuwangi, Kraksan, Bangil, Lumajang.
Beberapa tahun terakhir, ia merintis sebuah majelis yang saat ini hanya ada di beberapa kota, yaitu Khatam Bukhari.
Sambutan masyarakat ternyata cukup besar. Padahal majelis Khatam Bukhari belum cukup familiar di tengah-tengah masyarakat Banyuwangi.
Dalam majelis Khatam Bukhari yang terakhir beberapa pekan yang lewat, seribu orang lebih turut hadir meramaikan acara tersebut.
Diposkan oleh: Ismail Yahya
0 komentar:
Posting Komentar