Blog ini ditujukan kepada seluruh ummat Islam yang cinta kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Para Sahabat RA, Auliya', Habaib, Ulama', dan sejarah kebudayaan Islam.

Sabtu, 19 November 2011

ULAMA' LOKAL KH. MUNSYARIF KARAS

Pageblug Dahsyat di Kala itu
Kyai kharismatik yang luar biasa di daerah Lasem di kala itu adalah sayyid Ibrahim. Mbah sambu, itulah orangnya. Lasem di saat itu merupakan kadipaten, yang saat ini sudah tidak menjadi kadipaten. Ketika itu, datanglah musim paceklik dengan panas yang sangat luar biasa. Dan anehnya, hampir semua orang mulai dari daerah Lasem hingga sampai daerah kecamatan Sedan, menderita penyakit yang sangat sulit sekali untuk di sembuhkan. Bahkan, tobib dan dokter pada waktu itu, tidak sanggup untuk menyembuhkan penyakit yang melanda daerah sepanjang Lasem sampai kecamatan Sedan.
Banyak orang menyebutnya dengan penyakit “pageblug” [1], yakni penyakit panas yang di idap seseorang kemudian meninggal dunia lah orang yang menderita penyakit tersebut. Misalkan, di pagi hari seseorang menderita penyakit tersebut, dan siangnya pun meninggal seketika, begitu pula ketika seseorang menderita panas di siang hari, pasti sorenya meninggal, begitu seterusnya. Sungguh tragis bukan, sudah jatuh masih tertimpa tangga. Di jaman yang serba sulit dan di landa penyakit aneh yang belum di temukan penawarnya. Bingung bukan kepalang yang dirasakan warga Lasem hingga kecamatan Sedan di saat itu.
Tersebar berita penyakit yang melanda di kala itu. Berita tersebut mencuat hingga terdengar sampai ke telinga bupati Lasem. Sehingga, akhirnya pun bupati membuat sayembara “ barang siapa yang sanggup mengatasi penyakit tersebut, maka akan memperoleh hadiah yang sangat besar”. Berlomba-lomba orang di kala itu untuk mencari penawar penyakit pegembeleng. Mbah sambu pun, ikut berikhtiar dalam mengatasi penyakit tersebut. Namun, beliau sama sekali tidak tergiur dengan yang namanya hadiah. Berikhtiarlah beliau hingga sampai pada puncak spiritualitas yang tinggi. Dhuriyahnya Mbah sambu adalah KH., Ja’far-KH. Jumali-KH. Munsyarif, begitulah dhuriahnya. Mbah sambu merupakan tokoh masyarakat/kyai yang pertama kali babat tanah Lasem. Maqamnya saat ini berada di sebelah samping barat laut masjid Jami’ Lasem, dan setiap tahunnya pun di adakan haul. Yaitu do’a yang dikerjakan bersama untuk mendo’akan para pejuang Islam di jaman dulu, yang telah membawa Islam terang benderang saat ini.
Akhirnya, dengan usaha yang mentok penyakit tersebut belum bisa teratasi. Dan akhirnya pun beliau memasrahkan semuanya pada Allah. Melalui usaha batin yang beliau kerjakan, dan tanpa henti-hentinya untuk mencoba, akhirnya pun penyakit tersebut bisa teratasi dengan usaha yang sungguh-sungguh dari beliau dengan jalan meminta petunjuk pada Allah. Ketika sedikit demi sedikit beliau mengobati warga yang terkena penyakit, akhirnya berhasil juga. Dan sedikit demi sedikit warga sembuh berkat bantuan dari beliau.
Hingga pada akhirnya beberapa bulan kemudian, penyakit tersebut bisa diobati, dan teratasilah penyakit yang mengerikan itu. Jeda beberapa minggu datanglah bupati Lasem, mendengar penyakit aneh yang melanda tersebut sudah teratasi. Bapak bupati, menanyakan pada warga sekitar, siapakah yang bisa mencari penawar penyakit aneh yang telah melanda daerah Lasem dan sekitarnya.
Warga pun mengatakan bahwasanya semua ini adalah berkat kesungguhan mbah Sambu yang tiada henti berusaha demi kesembuhan warga desa Lasem dan sekitarnya. Mendengar hal tersebut, bapak bupati Lasem berkenan untuk menemui beliau guna bersilaturahmi pada beliau. Dan akhirnya, ketika sudah berbincang-bincang cukup lama. Bapak bupati menyudahi pertemuan, dan dihadiahilah mbah sambu tanah yang cukup luas, entah berapa luas tanah yang di berikan di waktu itu.
Yang jelas tanah yang di berikan bapak bupati Lasem cukup luas, karena saat ini tanah tersebut di bangun masjid Lasem yang saat ini berdiri gagah dan kokoh, serta di bangun beberapa maqam di sekitarnya di daerah Lasem.
Banyak kerajaan berdiri di akhir kejayaan walisongo di tanah Jawa. Lasem yang mayoritas penduduknya adalah orang cina dan berkeyakinan konghucu merupakan masyarakat terbanyak yang menduduki tanah Lasem pada 500 tahun silam. Lasem di kala itu berada di bawah naungan kerajaan Brawijaya. Pada suatu ketika terjadilah perang sengit antara kerajaan Brawijaya dan kerajaan Lasem. Perang tersebut di latar belakangi karena saking luasnya tanah Lasem di saat itu. Sehingga membuat kerajaan Brawijaya tergiur untuk menguasai tanah Lasem di kala itu. Namun, hal tersebut sama sekali tidak membuat hati gentar para masyarakat muslim di Lasem saat itu. Mereka berjuang untuk mempertahankan tanah Lasem. Ketika itu masyarakat cina pun berat sekali untuk mengulurkan tangannya dalam mendukung perjuangan Kadipaten Lasem melawan kerajaan Brawijaya. Perang pun berlangsung sengit hingga beberapa saat mbah Sambu melepaskan panahnya yang ketika itu tepat mengenai sasaran, yaitu mengenai paying yang di kenakan oleh raja Brawijaya tat kala peperangan berlangsung, sehingga membuat pasukan Brawijaya minder yang akhirnya memutuskan untuk kembali dan menyerah pada kadipaten Lasem. Sehingga Adipati Lasem menghadiahi setengah dari luas tanah Lasem seluruhnya.

Keadaan Masyarakat Karas di Kala Dulu
Perjalanan mbah sambu dalam mensyiarkan agama Islam di Lasem, lambat laun menuai hasil yang sangat luar biasa. Hal itu terbukti, dari banyaknya masyarakat Lasem yang berpindah ke Islam.
Beralih ke desa Karas, begitulah orang-orang menyebutnya. Konon daerah karas dulunya orang-orangnya relatif agak keras. Sehingga, lahirlah nama Karas sebagai julukannya. Namun, hal tersebut sangat berlawanan sekali dengan fakta yang nampak saat ini, yang hampir semua warga desa karas adalah baik-baik. Karas merupakan desa kecil yang berada di kecamatan Sedan kabupaten Rembang. Yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Di jauh hari sekitar 150 tahun silam, desa Karas adalah sebuah desa yang sangat rimbun, dan bahkan bisa dikatakan sebagai hutan. Karena saking banyaknya pohon-pohon yang hidup memenuhi ranah Karas di masa itu. Pun Karas adalah salah satu daerah jajahan Belanda yang saat itu berkuasa di Sedan.
Belanda pada saat itu berkuasa di tanah Karas dengan mendirikan suatu pabrik yang saat ini masih berdiri yang berada di Desa Ngandang Kecamatan Sale Kabupaten Rembang yang berada di sebelah selatan desa Karas. Saat itu Belanda mendirikan pabrik peralatan rumah tangga seperti piring, sendok, garpu, mangkuk dan lain-lain. Dulunya alat tersebut hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang berada. Karena peralatan tersebut relatif mahal harganya, hingga tidak terjangkau oleh saku para penduduk sekitar di kala itu.
Di samping hal tersebut, desa Karas dulunya, jika kita telisik dari segi keagamaanya, sungguh sangat kurang. Hampir separuh lebih masyarakat sekitar sama sekali tidak mengenal apa yang namanya Islam. Sehingga masyarakat sangat fanatik sekali, karena belum sampainya dakwah Islam pada masyarakat daerah sekitar Karas. Hingga hanya segelintir orang saja yang pada saat itu beragama Islam. Bahkan, konon ketika seseorang mengumandangkan adzan, saking fanatiknya mereka bilang bahwa suara adzan bagaikan ‘gonggongan anjing’ yang telah mencuat, menggerogoti telinga ucap mereka para penduduk sekitar desa Karas.
Terlepas dari itu, ketika itu akses jalan yang sungguh sangat sulit, hingga menerobos jalan setapak, semak-semak di lakukan oleh orang-orang pada saat itu, dan di tambah dengan penjagaan yang super ketat dari pasukan Belanda. Hingga keadaan yang serba sulit tersebut, menjadikan keadaan semakin tertekan dirasakan kebanyakan penduduk saat itu.
Masjid di waktu dulu hanya ada satu[2], pun letaknya sangat jauh yang berada di kecamatan Sedan. Saat ini namanya Masjid Jami’ Sidorejo.Yang memakan jarak 5 Km dengan ditempuh melalui jalan kaki. Sungguh ironis bukan? Perjuangan kaum muslim saat itu untuk mendirikan shalat Jum’at mereka harus tertatih-tatih serta berhati-hati untuk sampai ke Masjid Jami’, guna menghindari pengawasan pasukan belanda yang super ketat.
Di kala itu akses untuk menuju ke Masjid yaitu harus melewati pingir-pinggir sungai dan lereng gunung Kunci[3] yang terletak di sebelah barat desa Karas. Gunung yang menjulang ke utara tersebut di jadikan akses jalan untuk menuju ke Masjid Jami’ Sidorejo. Hingga jalan setapak yang sangat jarang sekali di lewati oleh orang, bahkan sama sekali tidak pernah dilewati oleh seseorang tetap mereka terobos. Demi menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim yang ta’at menjalankan perintah agama.
Sungguh merupakan hal yang sulit sekali berjuang untuk mendirikan sholat Jum’at di masjid harus bersusah payah seperti itu. Menerobos bahaya yang sangat tinggi risikonya. Dengan keterbatasan alat transportasi, serta hanya mengandalkan fisik hal tersebut tidak menjadikan kecil hati bagi warga sekitar desa Karas.
Tak tahu kenapa pemerintahan di kala itu hanya membangun sebuah masjid saja dan tidak berani untuk membangun masjid dibanyak desa. Mungkin karena mereka semua berada di bawah tekanan pemerintahan belanda, sehingga mau tidak mau mereka harus tunduk, patuh, serta ta’at pada pemerintahan Belanda yang berkuasa di Karas saat itu.

Ahyauddinal Islam KH. Munsyarif
Jikalau disetiap desa terdapat satu masjid tentu tidak akan menyulitkan warga untuk menempuh perjalanan ke masjid. Namun, jika masyarakat tetap nekat untuk mendirikan masjid, tentu masalahnya akan semakin rumit, karena telah menentang pemerintahan belanda. Sudah barang tentu pasukan belanda akan meluluh lantahkan masjid yang telah susah payah mereka dirikan, itu kalau mereka nekat mendirikan masjid.
Tetapi hal tersebut sama sekali tidak mengurungkan niat luhur sesosok kyai yang saat itu merupakan seseorang yang memulai babat tanah Karas. Beliau adalah KH. Munsyarif, yang hampir setiap orang bahkan semua penduduk Karas belum mengetahui betapa keras dan semangatnya beliau dalam menegakkan agama Islam di tanah Karas pada saat itu. Beliau berdakwah dengan tujuan “Akhyauddinal Islam”, ngurip-ngurip agama Islam[4].
Karena sudah hampir 150 tahun lebih, dan setelah di lakukan penelusuran lebih lanjut, ternyata sesosok kyai bernama KH. Munsyarif, berasal dari daerah tuyuhan yang merupakan kecamatan Pamotan kabupaten Rembang saat ini, yang terletak di sebelah barat desa Karas. KH. Munsyarif adalah mbah dari mbahnya Mbah Asyhari Manaf, yang saat ini adalah seorang kyai di Karas pimpinan Masjid Al-Munsyarif Karas. Sungguh amat sangat jauh sekali jarak antara Mbah Asyhari Manaf dengan KH. Munsyarif. Konon Mbah Asyhari Manaf memperoleh cerita tersebut dari ayahnya yang bernama K.H. Manaf. Dan KH. Manaf pun memperoleh cerita tersebut dari mbahnya. Namun, Mbah Asyhari Manaf paham akan cerita KH. Munsyarif, yang sudah sekian lama terkubur sejarahnya yang hampir semua warga desa Karas saat ini belum banyak mengetahui.
Namun, dengan di adakannya haul setiap hari Jum’at Legi setelah shalat Jum’at para jama’ah shalat Jum’at berbondong-bondong ke makam untuk mendo’akan KH. Munsyarif. Dan hal itu saat ini sudah menjadi rutinitas warga desa Karas untuk mendo’akan para pejuang Islam di desa Karas. Terlepas dari itu semua, daerah Karas yang saat itu sungguh sangat rimbun sekali bahkan hanya sedikit penghuni yang ada di desa tersebut.
Jikalau di saat itu tidak ada pelopor seperti halnya KH. Munsyarif, sudah pasti masyarakat desa Karas tidak akan menikmati betapa indahnya Islam, bisa saja masyarakat desa Karas akan buta tentang Islam. Bahkan bisa saja mereka masih tetap dalam keprimitifan dan tidak mengenal agama sama sekali. Sungguh na’as bukan?.
Masih di bawah tekanan belanda, melihat kesusahan para warga desa Karas untuk mendirikan masjid, timbulah niat kuat yang terdorong dari hati terdalam KH. Munsyarif untuk mendirikan sebuah masjid yang tidak begitu besar dan berada tidak jauh dari rumahnya. Konon beliau memiliki tanah yang cukup luas. Pun tanah tersebut adalah hibah dari mbah yahya[5].
Di dirikanlah masjid berukuran sedang yang hanya beratapkan anyaman daun kelapa dan daun rotan. Dengan bertembok anyaman bambu yang telah di anyam sedemikian rupa, hingga menyerupai asbes yang tersedia saat ini. Begitu pula penutup pintu yang pada saat itu menggunakan anyaman daun rotan, guna menghindari serangan ayam kampung yang masuk ke dalam masjid supaya tidak jadi masuk ke dalam masjid dan akhirnya terlepas dari ancaman kotorannya.[6]
Meskipun, hanya sebatas bahan berbahan alami, hal itu tak menjadikan penghambat bagi KH. Munsyarif untuk tetap mendirikan masjid, dan akhirnya pun jadilah masjid yang sungguh sangat sederhana, dibandingkan dengan masjid yang ada pada saat ini. Masjid yang dibuat tersebut menyerupai gubug reog yang tak akan kuat menahan terpaan angin. Sehingga para pasukan belanda sama sekali tidak menyangka bahwasanya gubug reog tersebut adalah masjid warga Karas saat itu. Yang saat ini menjadi Masjid Jami’ Karas yaitu masjid Al-Munsyarif, yang kini berdiri gagah nan luar biasa dengan desain yang sedemikian rupa menakjubkan.
Walaupun di kala itu dengan keterbatasan yang ada. Para muslimin yang hidup di desa Karas memanfaatkan masjid tersebut untuk menunaikan kewajiban mereka sebagai kaum muslim yang taat pada Rabb nya. Bermodal masjid sederhana nan kecil, dimulailah dakwah beliau dalam menegakan agama Islam di desa Karas saat itu. Alasan beliau berdakwah di Karas, karena Karas saat itu fanatik sekali orangnya serta menghidupkan Islam.
Beliau berdakwah dengan sangat sederhana sekali, dan secara sembunyi-sembunyi, seperti halnya dakwah yang dikerjakan oleh Rasulullah pertama kali. Target KH. Munsyarif adalah masyarakat sekitar rumah dan desa yang berada di sekitar desa Karas. Namun, kendati demikian tidak mudah di saat itu. Sungguh banyak sekali hambatan dan rintangan yang beliau hadapi. Setelah beberapa bulan tanpa rasa putus asa, akhirnya, dakwah yang selama ini dikerjakan beliau menuai hasil yang cukup memuaskan, meski masih ada segelintir orang yang belum sadar, dan masih berpegang teguh pada keyakinan mereka.
Sungguh,keadaan yang sangat sulit sekali. Dihadapkan pada ketatnya pengawasan pasukan belanda yang saat itu mengawasi gerak-gerik masyarakat desa Karas, di tambah lagi dengan keprimitifan masyarakat sekitar desa Karas. Hal tersebut di atas sama sekali tidak menciutkan niat mulia beliau untuk berdakwah menegakkan agama Islam di desa Karas.
Di waktu itu merupakan waktu yang sangat sulit sekali untuk mengelabui pasukan belanda. Apalagi untuk memberontak pasukan belanda, sungguh hal yang mustahil,dan konyol. Sama sekali tidak ada celah untuk itu. Bagaikan kutuk marani sunduk . Hanya orang bodoh saja lah yang mau menyetorkan nyawanya dengan sia-sia kepada pasukan belanda.
Hari silih berganti menjadi minggu, minggu pun berganti menjadi bulan, dan bulan pun berganti menjadi tahun. Ketika KH. Munsyarif telah mendirikan masjid yang sederhana beratapkan anyaman daun kelapa serta anyaman daun rotan, masyarakat tak henti-hentinya menjadikan masjid sederhana tersebut sebagai ranah untuk memperkokoh ukhuwah, dan mendirikan jama’ah.
Ketika itu, di siang hari dan telah masuk waktu duhur, muadzin mengumandangkan adzannya, hinga terdengar dari kejauhan sana, sampai ke daerah sekitar desa Karas. Dan lagi-lagi ketika warga sekitar kdesa Karas mendengar seruan adzan, mereka melontarkan kata ‘anjingnya sudah menggaung’ ungkap mereka yang tinggal di sekitar desa Karas[7].
Hal yang semacam itu sama sekali tidak di permasalahkan oleh masyarakaat warga Karas, karena mereka memaklumi bahwasanya mereka belum mengetahui apakah Islam itu sejatinya.
Sedikit demi sedikit dakwah KH. Munsyarif masuk dalam ranah sekitar desa Karas, dan mereka pun menyambut dengan baik. Mungkin karena warga yang berada di sekitar Karas tersebut telah merindukan apa yang namanya ketenangan hati. Maka mereka menyambut kedatangan KH. Munsyarif saat itu. Sungguh sangat luar biasa, mereka tertarik pada ajaran Islam, dan akhirnya pun hampir 80% masyarakat di sekitar desa Karas telah beragama Islam, dan hanya sedikit gelintir orang saja yang masih mempertahankan keyakinan mereka.
Kalau kita refleksikan perjuangan KH. Munsyarif dalam berdakwah, sungguh sangat manjur sekali beliau dalam berdakwah. Dengan lisan yang cakap dan halus hal tersebut mudah bagi KH. Munsyarif untuk berdakwah kepada masyarakat sekitar desa Karas. Dengan waktu yang relatif singkat, beliau menunjukkan kepiawaiannya dalam berdakwah mengajak umat masuk dalam agama Islam tanpa suatu paksaan apapun, untuk selalu berbuat kebajikan, dan saling ingat-mengingatkan dalam kebaikan pula. Dan kini masjid yang mulanya hanya di kunjungi oleh masrakat warga desa Karas akhirnya masyarakat sekitar desa Karas berduyun-duyun untuk mengadakan shalat berjama’ah tatkala adzan berkumandang.
Ketika dakwah beliau sudah menuai kesuksesan, beliau mendirikan pondok pesantren yang sederhana pula, seperti halnya masjid yang dibangunnya. Pondok pesantrennya sungguh sederhana sekali hanya berbentuk rumah ysng tinggi yang memakai alas kayu. Ya hampir seperti pagupon[8].
Beda sekali dengan pondok pesantren yang saat ini banyak sekali didirikan, yang berkamar-kamar serta bertingkat- tingkat. Hingga mampu menampung ratusan bahkan ribuan santri dalam tiap periodenya. Tapi pondok pesantren yang didirikan sungguh lain. Namun meskipun tidak seberapa besar pondok pesantren yang di bangun oleh beliau, banyak juga santri dari desa Karas sendiri, desa sekitar Karas hingga daerah di luar Karas. Bahkan, santri beliau yang menjadi kyai diantaranya adalah K. Syakur-Jatirogo, Mbah Sarbani- Karang asem, Mbah Ustman-Sedan. Konon, gubug reog yang berada di sisi maqam mbah Hamzah Syato’[9] adalah rumah Mbah Ustman. Yang sampai saat ini tak seorang pun yang berani membongkar rumah tua tersebut. Suatu hari ketika rumah tersebut mau dirobohkan keluarlah Harimau dari rumah tua tersebut. Hingga sangat ketakutan sekali bagi orang yang mau membongkar rumah tua tersebut.
Dulunya KH. Munsyarif berguru pada ayahnya sendiri di usia kecil hngga remajanya. Dan di usia mudanya beliau mondok di Surabaya di pondok Ndresmo. Keseharian beliau adalah mengaji kitab Ikhya’ Ulumuddin dan Tafsir Jalalain.Ulama’ se-era beliau adalah Mbah Ghazali, beliau adalah orang daerah sarang yang telah mendirikan masjid Al- Ghazaliyah. Mbah Sungeb, beliau adalah buyut dari KH. Maemun Zubair sarang[10].
Ketika itu KH. Munsyarif sungguh sangat anti belanda sekali. Beliau sangat wira’i. pun dalam hal apapun. Bahkan makan pun tidak akan mau dengan memakai sendok, piring dan lain-lainnya. Sangat wira’i sekali beliau hanya cukup dengan daun pohon jati atau daun pisang sebagai alas yang di gunakan dalam makan beliau. Hingga suatu ketika tatkala beliau akan makan bersama dengan santri-santrinya. Ada seorang santri [11]yang mengkritik beliau di kala itu. Lho mbah kyai, “panjenengan dahar kaleh cowek, niku ndamelane kaleh campuran blotong lho mbah”. “Ora nang, iki mengko tak teleme’i karo godong gedang” ungkap mbah Munsyarif kala itu.
Kalau kita melihat cerita tersebut, sungguh sangat wira’i dan hati-hati sekali beliau dalam suatu hal apapun termasuk dalam makan, yang mungkin banyak orang mengira bahwa makan adalah suatu yang biasa yang sama sekali tidak ada adab di dalamnya. Kalau hal tersebut di terapkan dalam kekinian, hampir tidak ada orang yang bisa menjalani hal tersebut seperti apa yang di kerjakan oleh KH. Munsyarif di kala itu.
Padahal kalau kita melihat, di jaman dulu sudah ada peralatan yang cukup modern yang telah banyak di produksi oleh belanda saat itu. Yang hargaya lambat laun terjangkau oleh saku jkebanyakan warga. Bahkan, di waktu itu ada sebagian kecil perahu di laut yang telah menggunakan mesin diesel yang pada saat itu merupakan buatan belanda. Yang hampir sebagian besar perahu melaju dengan layar, tanpa adanya mesin diesel.
Karena saking antinya beliau dengan belanda apapun barang buatan Belanda, beliau tidak akan memakai sama sekali. Hingga akhirnya ketika beliau menginginkan untuk berangkat Haji ke Mekah, beliau tidak mau menggunakan diesel. Sama sekali tidak mau.
Berhaji ke- Al-Mukarramah
Belanda di kala itu berhasil memproduksi peralatan yang cukup canggih berbagai perlengkapan rumah tangga, hingga sampai yang namanya diesel. Dan saat itu diesel digunakan sebagai alat bantu untuk menghidupkan aliran listrik dan sebagai mesin di perahu, yang saat itu masyarakat kebanyakan masih menggunakan layar sebagai alat untuk berlayar.
Hampir sebagian masyarakat di waktu itu telah memakai diesel untuk mempermudah mereka dalam berlayar mengarungi laut. Perahu di kala dulu di pakai sebagai alat transportasi ke berbagai daerah, bahkan ada juga yang di pakai untuk perjalanan menuju Al-Mukarramah Mekah, guna untuk berhaji. keadaan masyarakat saat itu sudah mulai membaik karena adanya mesin diesel yang telah di luncurkan oleh belanda.
Hal ini sungguh berbeda dengan KH. Munsyarif. Ketika waktu dulu saat beliau berangkat haji. Beliau berhaji dengan menempuh perjalanan laut, yang di kala itu sungguh memakan waktu yang amat lama sekali dan tentunya berbahaya. Beliau dengan berlayar menggunakan perahu dengan peralatan yang seadanya (layar) hanya mengandalkan angin lah selama perjalanan beliau ke mekah.
Hal tersebut sama sekali tak menyurutkan niat beliau untuk menunaikan ibadah haji di mekah. Hingga berlayar dengan perahu layar pun beliau lakukan. Konon, Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun dalam perjalanan menuju mekah dengan berlayar[12].
Namun dikala itu waktu yang dibutuhkan cukup singkat yaitu selama 7 bulan lamanya. Jikalau kita mengetahui waktu yang dibutuhkan untuk berhaji adalah 7 bulan, tentu kita akan enggan sekali untuk menunaikan ibadah haji di saat itu. Waktu 7 bulan di mulai dari keberangkatan beliau hingga kepulangan beliau dari mekah.
Tak terbayang oleh kita betapa keras perjuangan beliau dalam menunaikan ibadah haji di mekah. Sangat berbeda sekali dengan keadaan saat ini yang sangat mudah dalam semua hal tentunya dalam hal transportasi. Yang hanya memakan beberapa jam saja dalam keberangkatan menuju ke mekah. KH. Munsyarif sama sekali tidak ingin memakai apa yang namanya barang buatan belanda,bisa di katakan beliau sangat anti belanda sekali. Pun barang tersebut sangat luar biasa.
Beliau hanya menginginkan untuk memakai peralatan seadanya yang benar-benar tersedia oleh alam dan murni. Dengan memanfaatkan angin kencang yang berhembus di lautan serta mengikuti arah laju mata angin beliau hanya mengikutinya, dan pada akhirnya juga sampai ke Mekah. Luar biasa sekali perjuangan beliau dalam mengarungi lautan untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim.
Melihat bahaya yang sangat sering terjadi di lautan luas, hal tersebut tentu sangat bahaya sekali. Namun bahaya yang menghinggapi KH. Munsyarif sama sekali tidak pernah beliau risaukan dalam menjalankan kewajibannya. Karena beliau yakin bahwasanya Allah akan memberikan kemudahan kepada hambanya yang akan mengerjakan kebaikan. Berkaca pada perjuangan beliau, apakah kita mampu untuk berwira’I seperti halnya beliau?, sungguh merupakan hal yang sulit sekali, melihat realita saat ini yang serba modern dan canggih.
Sulit sekali bukan jika kita tidak mengikuti apa yang sudah modern di kala itu, namun dengan pandangan lain KH. Munsyarif memilih dengan caranya sendiri. Yaitu dengan berhaji mengaruhi samudra lautan luas dengan berbekal peralatan seadanya dan hanya mengandalkan kemurnian alam tanpa bantuan perlatan modern apapun.

Hembusan Terakhir KH. Munsyarif
Beberapa tahun kemudian, desa karas yang saat itu hanya sedikit sekali penduduk yang memeluk agama islam, akhirnya lambat laun bertambah banyak. Hampir sebagian besar penduduk desa karas beragama islam, setelah beberapa tahun berkat kesungguhan dakwah dari beliau KH. Munsyarif.
Tidak bisa dibayangkan jikalau dahulu masyarakat desa karas tidak ada seseorang yang menerangi cahaya Islam. Tentu sampai sekarang masyarakat desa karas tetap akan masih berada dalam jaman yang gelap gulita, tiada cahaya terang pun yang Nampak yang bisa di nikmati. Kini cahaya yang terang benderang sudah dirasakan oleh semua warga masyarakat desa karas dan sekitarnya.
Masyarakat desa karas sungguh merasakan betapa luar biasanya, indahnya, serta nikmatnya Islam itu sendiri. Suatu kenikmatan yang sungguh tiada ternilai harganya dan kenikamatan tersebut tak akan mampu untuk di beli dengan suatau apapun. Sungguh luar biasa Islam tersebut dirasakan oleh masyarakat.
Saat itu masjid yang dulunya hanya terbalut oleh anyaman daun kelapa dan dan beratapkan rotan, akhirnya sedikit demi sedikit di perbaharui oleh warga. Namun tidak seindah yang ada saat ini. Ya masih sederhana, namun sudah lumayan dari sebelumnya. Dan meski masjid tersebut tergolong tidak terlalu besar, masjid jami’ karas terus di gunakan untuk pengajian dan jama’ah shalat fardhu lima waktu.
Jama’ah yang berkunjung ke masjid karas tidak hanya warga karas, namun sudah meliputi warga sekitar desa karas yaitu desa Mbalong, bulu, ngampel, karas geneng, watu celeng dll. Masjid jami’ karas juga di pergunakan oleh warga untuk shalat Jum’at. Warga desa karas sudah tidak lagi harus berjalan jauh menelusuri semak-semak dan lereng gunung, bahkan pinggir sungai. Ketika hari Jum’at mereka datang berduyun-duyun untuk melaksanakan shalat jum’at.
Serta yang tak kalah penting santri KH. Munsyarif yang tinggal di pondok samping masjid, ikut serta meramaikan Masjid. Jeda beberapa tahun, pengawasan pasukan belanda sudah tidak begitu ketat. Namun, meskipun demikian para warga desa karas juga masih berhati-hati untuk tetap waspada.
Setelah sekian lama dalam dakwah KH. Munsyarif di karas, sungguh membawa dampak yang luar biasa. Konon, dakwah beliau sukses dalam babat tanah karas. Karena hampir sebagian besar warga karas sudah mengenal agama Islam, dan akhirnya pun mereka bermassal berbondong-bondong masuk Islam.
Namun, semakin lama umur beliau juga semakin bertambah, dan di usia senjanya sebelum beliau wafat sempat beliau berwejangan kepada santrinya untuk menyembelih kerbau yang sudah lama beliau pelihara, ketika beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Mendengar ucapan yang terucap dari lisan beliau, menjadikan sedih yang bukan main yang menimpa para santri. Dan ketika beliau wafat, kerbau yang tadinya merumput di hutan sebelah selatan desa karas akhirnya pulang sendiri tanpa di cari oleh santri yang biasa menggembala kerbau beliau. Tiba-tiba kerbau tersebut datang dengan sendirinya ketika beliau menghembuskan nafas terakhirnya[13].

[1] KH. Abdul Khalim, beliau adalah wakil pengasuh Masjid Al-Munsyarif. Wawancara pada malam minggu tanggal 4 Juni 2011 diserambi depan rumah beliau.

[2] KH. Abdul Khalim, beliau adalah wakil pengasuh Masjid Al-Munsyarif. Wawancara pada hari minggu tanggal 15 Mei 2011, di kediaman beliau.

[3] Gunung yang ada di daerah sedan yang banyak dihuni oleh orang saat ini, warga menyebutnya dengan desa koplok.
[4] Mbah Asyhari Manaf, beliau adalah pengasuh masjid Al-Munsyarif. Wawancara hari minggu tanggal 12 Juni 2011, di kediaman beliau desa Karas
[5] Mbah Asyhari Manaf, beliau adalah pengasuh masjid Al-Munsyarif. Wawancara hari minggu tanggal 12 Juni 2011, di kediaman beliau desa Karas
[6] K. Asyhari Abu, beliau adalah kyai yang berada di desa Mbalong. Cerita beliau pada hari senin tanggal 16 Mei 2011, di serambi Masjid Al-Munsyarif setelah jama’ah shalat duhur.

[7] KH. Abdul Khalim, beliau adalah wakil pengasuh Masjid Al-Munsyarif. Wawancara pada hari minggu tanggal 15 Mei 2011.
[8] Pagupon: rumah/tempat di mana burung dara tinggal.
[9] Kyai yang pertama kali babat tanah di daerah sedan.
[10] Mbah. Asyhari Manaf, beliau adalah pengasuh masjid Al-Munsyarif. Wawancara hari minggu tanggal 12 Juni 2011, di kediaman K. asyhari desa Karas.
[11] KH. Maemun Zubair, ceramah beliau dalam rangka maulid Nabi Muhammad SAW, pada hari minggu tanggal 27 Februari 2011 di masjid Jami’ Al-Munsyarif desa Karas. Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Al-Anwar Sarang.
[12] KH. Maemun Zubair, ceramah beliau dalam rangka maulid Nabi Muhammad SAW, pada hari minggu tanggal 27 Februari 2011 di masjid Jami’ Al-Munsyarif desa Karas. Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Al-Anwar Sarang.
[13] Mbah. Asyhari Manaf, beliau adalah pengasuh masjid Al-Munsyarif. Wawancara pada hari selasa 17 Mei 2011.

0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons