Blog ini ditujukan kepada seluruh ummat Islam yang cinta kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Para Sahabat RA, Auliya', Habaib, Ulama', dan sejarah kebudayaan Islam.

Minggu, 13 November 2011

SEJARAH ILMU NAHWU

Pada zaman Jahiliyyah, kebiasaan orang-orang Arab ketika mereka berucap atau berkomunikasi dengan orang lain, mereka melakukannya dengan tabiat masing-masing, dan lafazh-lafazh yang muncul, terbentuk dengan peraturan yang telah ditetapkan mereka, di mana para junior belajar kepada senior, para anak belajar bahasa dari orang tuanya dan seterusnya.

Namun ketika Islam datang dan menyebar ke negeri Persia dan Romawi, terjadinya pernikahan orang Arab dengan orang non Arab, serta terjadi perdagangan dan pendidikan, menjadikan Bahasa Arab bercampur baur dengan bahasa non Arab. Orang yang fasih bahasanya menjadi jelek dan banyak terjadi salah ucap, sehingga keindahan Bahasa Arab menjadi hilang.

Dari kondisi inilah mendorong adanya pembuatan kaidah-kaidah yang disimpulkan dari ucapan orang Arab yang fasih yang bisa dijadikan rujukan dalam mengharakati bahasa Arab, sehingga muncullah ilmu pertama yang dibuat untuk menyelamatkan Bahasa Arab dari kerusakan, yang disebut dengan ilmu Nahwu.

Adapun orang yang pertama kali menyusun kaidah Bahasa Arab adalah Abul Aswad Ad-Duali dari Bani Kinaanah atas dasar perintah Khalifah Sayyidinaa ‘Ali Bin Abi Thalib Karomallohu Wajhah.

Terdapat suatu kisah yang dinukil dari Abul Aswad Ad-Duali, bahwasanya ketika ia sedang berjalan-jalan dengan anak perempuannya pada malam hari, sang anak mendongakkan wajahnya ke langit dan memikirkan tentang indahnya serta bagusnya bintang-bintang.

Kemudian ia berkata,“Apakah yang paling indah di langit?”.

Dengan mengkasrah hamzah, yang menunjukkan kalimat tanya. Kemudian sang ayah mengatakan,“Wahai anakku, Bintang- bintangnya”.

Namun sang anak menyanggah dengan mengatakan, “Sesungguhnya aku ingin mengungkapkan kekaguman”.

Maka sang ayah mengatakan, kalau begitu ucapkanlah, " ما أحسن السماء Betapa indahnya langit”. Bukan, ما أحسن السماء“Apakah yang paling indah di langit?”. Dengan memfathahkan hamzah…

Dikisahkan pula dari Abul Aswad Ad-Duali, ketika ia melewati seseorang yang sedang membaca al-Qur’an, ia mendengar sang qari’ membaca surat At-Taubah ayat 3 dengan ucapan, " annallaha barii'un minal musyrikiina wa rasulihi" Dengan mengkasrahkan huruf lam pada kata rasuulihi yang seharusnya di dhommah. Menjadikan artinya “… Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya..”

Hal ini menyebabkan arti dari kalimat tersebut menjadi rusak dan menyesatkan. Seharusnya kalimat tersebut adalah, “ annallaha barii'un minal musyrikina wa rasuluhu, Sesungguhnya Allah dan Rasul- Nya berlepas diri dari orang- orang musyrikin.”

Ket: Dahulu kala tulisan arab tidak seperti sekarang ini, dahulu tidak ada titiknya (untuk huruf Ba’, Ta’, dsb) dan tidak ada harokatnya. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan Islam, maka titik, harokat, dsb dijadikan sebagai sejenis alat bantu untuk membaca bagi orang yang bukan Arab Asli (Ajam).

Karena mendengar perkataan ini, Abul Aswad Ad-Duali menjadi ketakutan, ia takut keindahan Bahasa Arab menjadi rusak dan gagahnya Bahasa Arab ini menjadi hilang, padahal hal tersebut terjadi di awal mula daulah Islam.

Kemudian hal ini disadari oleh khalifah Ali Bin Abi Thalib, sehingga ia memperbaiki keadaan ini dengan membuat pembagian kata, bab Inna dan saudaranya, bentuk Idhofah (penyandaran), kalimat Ta’ajjub (kekaguman), kata tanya dan lainnya,

kemudian Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Abul Aswad Adduali, " unhu hadzan nahwa, Ikutilah jalan ini”.

Dari kalimat inilah, ilmu kaidah Bahasa Arab disebut dengan ilmu nahwu. (Arti nahwu secara bahasa adalah arah).

Kemudian Abul Aswad Ad-Duali melaksanakan tugasnya dan menambahi kaidah tersebut dengan bab-bab lainnya sampai terkumpul bab-bab yang mencukupi.

Kemudian, dari Abul Aswad Ad-Duali inilah muncul ulama-ulama Bahasa Arab lainnya, seperti Abu Amru bin ‘alaai, kemudian al Kholil al Farahidi al Bashri (peletak ilmu arudh dan penulis mu’jam pertama), sampai ke Sibawaih dan Kisai (pakar ilmu nahwu, dan menjadi rujukan dalam kaidah Bahasa Arab).

Seiring dengan berjalannya waktu, kaidah Bahasa Arab terpecah belah menjadi dua mazhab, yakni mazhab Basrah dan Kuufi (padahal kedua-duanya bukan termasuk daerah Jazirah Arab).

Kedua mazhab ini tidak henti- hentinya tersebar sampai akhirnya mereka membaguskan pembukuan ilmu nahwu sampai kepada kita sekarang.

Demikianlah sejarah awal terbentuknya ilmu nahwu, di mana kata nahwu ternyata berasal dari ucapan Khalifah Ali bin Abi Thalib, sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons