Blog ini ditujukan kepada seluruh ummat Islam yang cinta kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Para Sahabat RA, Auliya', Habaib, Ulama', dan sejarah kebudayaan Islam.

Kamis, 08 Desember 2011

Mengenal Wali Allah yg Tertutupi

Kisah Hikmah Penyejuk jiwa :Almarhum KH. Ahmad Asrory RA ; diceritakan oleh ustaz imam subekti.

SEPUTAR KEMATIAN KYAI MAHMUD

Awal 1998. Masa itu berjalan kebiaasaan rutin, setiap hari Minggu pagi, YAI RA menyempatkan diri menghormat menemui para tetamu, atau diistilahkan dengan sebutan “Majlis Sowanan”. Tempatnya di Ndalem Sepuh – Ponpes RM Jatipurwo Surabaya. Isi majlis itu : satu demi satu tamu “matur” (bertanya/melapor/mengeluhkan) kepada YAI RA. Berbagai hal yang dimaturkan para tamu, untuk memohon Dawuh jawaban tuntunan dari Beliau RA ; mulai dari masalah pribadi/rumah tangga, masalah pekerjaan, sampai masalah jamaah atau ummat. Tapi ada satu hal yang hampir selalu muncul dimaturkan ke Beliau RA, yakni konfirmasi tentang kesiapan Panitya/Pengurus Jamaah dari tempat/daerah yang bakal ketempatan acara Majlis Mubaya’ah/Haul/Manaqiban dsb, sesuai jadwal tahunan yang telah tersusun.


Alkisah, pada suatu hari Minggu, Pengurus Jamaah Lamongan mematurkan tentang kesiapan Majlis Mubaya’ah untuk jadwal hari Selasa pagi pada pekan berikutnya. Jadi dari hari Minggu itu, ada Selasa depan – lalu Selasa berikutnya lagi. Setelah dimaturkan, YAI RA lantas Dawuh (dalam bahasa Jawa kromo, yang terjemah lebih kurang dalam bhs Indonesianya sbb) :

“Ooh, Iya. Kebetulan. Saya mau memberitahu kalau pada Selasa itu, saya tidak bisa untuk hadir. Bagaimana kalau diundurkan dua hari, jadi hari Kamis?“

Spontan salah satu Pengurus Lamongan menjawab : “Yaa, Yai. Insya Allah Kamis, siap”.

Tapi kemudian YAI RA menimpali :

“Jangan diputusi sendiri dulu. Jangan mentang-mentang karena Pengurus, karena berbesar hati di depan saya, terus mutusi sendiri. Jangan. Sekarang Sampean pulang. Rembug dulu dengan yang ketempatan, juga dengan semua yang terkait di sana. Duduk jadi Pengurus itu begitu. Yang “sumeleh”. Semakin dibutuhkan orang, justru semakin bisa jadi wadah. Begitu.”

Kemudian YAI RA meneruskan Dawuhnya :

“Yaa? Begitu saja yaa ..? Ya sudah. Minggu depan, saya minta Sampean datang ke sini lagi. Saya tunggu laporannya, bagaimana hasil musyawarahnya.”

Pada hari Minggu berikutnya, benar, Pengurus datang, sowan dan melaporkan bahwa hasil musyawarahnya menyetujui jika diundur menjadi hari Kamis. Kemudian YAI RA Dawuh :

“Itu tempatnya di mana?”

“Di Lamongan Selatan, Yai” jawab Pengurus

“Seingat saya, saya koq sering mendatangi jadwal Lamongan yang Selatan itu. Malah, yang Lamongan Utara, ingat saya sih, jarang. Sudah lama sekali saya tidak ke Lamongan Utara. Sampai kangen, saya. Yaapa? Apa bisa, khusus untuk jadwal yang ini, saya yang minta, dipindah ditempatkan di daerah Lamongan Utara?”

Pengurus tampak sejenak bingung. Mereka saling menoleh dan berbisik, lantas salah satu memberanikan diri matur : “Inggih Yai. Akan kami pindah, ganti yang Lamongan Utara”

Lantas YAI RA malah balik bertanya :

“Lha, terus … ? Apa siap tempat baru di Utara itu, ketempatan acara? Waktunya kan sudah dekat, tinggal 3-4 hari? Apa tidak “keteteran” bagi yang mau ketempatan?”

3 Orang Pengurus yang datang itu benar-benar diam “klekep”, gak bisa jawab. Mereka jadi seperti “matikutu” dengan pola didikan YAI RA yang sarat maneuver seperti itu. Tapi akhirnya Beliau RA memberikan solusi, dengan Dawuh :

“Begini saja, sudah. Sekarang saya yang memutuskan. Tolong rembug lagi, untuk memilih salah satu tempat di Lamongan Utara. Pelaksanaanya saya tunda pada Kamisnya lagi. Jadi, kamis depan ini – Kamisnya lagi. Sudah. Itu keputusan saya.”

Dalam sowanan pada hari Minggu berikutnya, Si 3 orang pengurus itu datang lagi. Kepada mereka, YAI RA bertanya :

“Sudah dirembug? Jadi di mana tempat di Utara yang dipilih?”

Jawab mereka : “Sampun, Yai. Jadi di Masjid sebelah Zawiyahnya Kyai Mahmud”.

Karena dilihat di Majlis sowanan itu juga tampak hadir Kyai Mahmud yang disebut-sebut mau ketempatan itu, Beliau RA sambil setengah bercanda memecah ketegangan, Dawuh :

“Lha itu kan, ada Mahmud. Yaa, Mud … Marmuuud … He..he..he.. Siap ta kamu, Mud?

Spontan Kyai Kyai Mahmud menjawab : “Ngih, Yai. Alhamdulillah. Nyuwun berkah Yai. Insya Allah siap.”

Beliau RA lalu menegaskan :

“Ya begitu. Bagus. Untuk Ke Allah itu, “ kudu kendel” (harus berbesar hati). Siap Yai, begitu”

Tibalah saatnya hari Kamis yang dinanti-nantikan. Seperti biasanya, YAI RA berangkat pagi ba’da Shubuh dari Ndalem Kedinding Surabaya, menuju Gresik untuk sejenak transit, sekaligus mengajak dari teman “Orong-Orong” (sebelum dijuluki “Al-Khidmah”) yang memang sudah siap untuk diajak ikut serta “Nderek” Yai.

Waktu itu, tempat transitnya di salah satu ruko di Multi Sarana Plaza – Gresik, tempat yang sudah biasa dijadikan jujugan. Oleh pemiliknya, di ruko tersebut memang dikondisikan untuk lantai 2-nya disiapkan khusus buat istirahat YAI RA. Sedangkan pendereknya siap menunggu di bawah.

Pada kebiasaan sebelum-sebelumnya, kalau lokasi acaranya di Lamongan, YAI RA turun dari lantai 2 itu sekitar pukul 06.00 atau paling lambat 06.30. Namun syahdan, tidak biasanya, Kamis itu, hingga pukul 07.30 YAI RA belum juga tampak turun. Dua orang penderek yang menunggu di bawah, gelisah. “Tidak biasanya Yai begini”. Tapi juga tidak berani “ngapa-ngapain”. Tetap menunggu saja.

Pada sekitar jam 08.00, YAI RA turun dan langsung mengajak berangkat. Sambil berjalan menuju mobil, sempat Beliau berbasa-basi dengan salah satu pendereknya : “Saya telat, yaa Fulan? Gak apa-apa wis. Enggak, koq, Insya Allah”. Si penderek cuma senyum, gak berani jawab apa-apa, dan merasa bahwa toh tidak paham apa maksudnya dan kenapanya.

YAI RA sampai di lokasi acara pada sekitar pukul 09.15. Apa yang kemudian kita saksikan, atas apa yang terjadi di lokasi, saat Beliau RA rawuh? Seluruh jamaah yang hadir, yang jumlahnya ribuan itu, menangis histeris, sambil melihat dan membukakan jalan bagi YAI RA, yang terus berjalan dengan langkah cepat menuju Peimaman Masjid.

Kenapa jamaah pada menangis histeris? Sub-haanallaaHh Wa Inna LillaaaHh. Ternyata, Kamis pagi jam 08.00 hari itu, di tempat acara itu, Sang Shahibul-Bait, KYAI MAHMUD, WAFAT, DIPANGGIL OLEH ALLAH, SECARA MENDADAK. Saat Beliau RA berjalan, dari turun mobil menuju ke dalam Masjid, beberapa Panitya sempat berusaha mengejar untuk maksud mau matur menceritakan yang tengah terjadi. Tapi, antara tidak berani dan memang tidak ada kesempatan karena begitu cepatnya langkah YAI RA.

Lagi-lagi Sub-haanallaaHh, saat YAI RA melihat bahwa di peimaman ada peti jenazah, wajah Beliau sedikit pun tidak menampakkan perasaan kaget samasekali. Beliau RA langsung Dawuh :
“Ayo, sudah. Kita sholati … !!” Dan Beliau RA sendiri yang mengimami, kemudian memimpin tahlil serta doa, dengan diikuti dan diamini oleh sekian ribu jamaah itu.

Selesai sholat jenazah, tanpa kata-kata lagi, YAI RA mengajak jamaah untuk langsung ber-Mubaaya’ah. Dan seusai prosesi Mubaya’ah, YAI RA meminta agar jenazah langsung dibawa ke makam. Tempat makam yang telah disiapkan ternyata tidak jauh, yakni di belakang Masjid. Beliau RA juga ikut berjalan mengiring jenazah ke pemakaman. Setelah selesai semuanya, maka Beliau RA sendiri yang memimpin melakukan Talqin untuk Almarhum, juga memimpin tahlil sampai lengkap dengan doanya.

Pengakuan dari salah satu penderek Beliau sewaktu perjalanan pulang seusai itu : “Seumur-umur, baru ini saya menyaksikan jenazah, yang sejak sholat jenazah, proses pemakaman, sampai talqin hingga selesai, Yai sendiri yang memimpin.”

Secara tampak dlohir, Almarhum Kyai Mahmud ini orang “biasa-biasa saja”. Beliau salah satu Imam Khususi, tapi tampilan dan “gawan” dirinya tidak tampak sebagai seorang Kyai. Kesana-kemari seringkali jalan kaki dengan memakai “gamparan” (sandal japit dari kayu). Dalam pergaulan juga biasa. Seringkali tampak mengajak atau diajak bercanda teman muda-muda penderek Yai, dan mereka tanpa ada beban rasa sungkan atau kecanggungan. Tapi yang pasti, dari statement yang sering diucapkannya, tampak bahwa keyakinannya kepada Gurunya luar biasa.

Barangkali memang Kyai Mahmud ini bukan “orang sembarangan” di mata Allah. Dan bukankah kisah tentang kematiannya ini bukti yang sudah bukan isyarat lagi (?). Maka benarlah apa yang pernah di-Dawuhkan YAI RA, ketika menirukan Dawuh dari Ibnu Atho’illah RA : “Mahasuci Allah, Dzat Yang Menutupi atau Menyembunyikan keistimewaan-keistimewaan yang diberikan kepada hamba-Nya yang dipilih-Nya, melalui cara, justru, menampakkan sifat-sifat manusiawi (basyariyah)-nya.”

Terakhir, yang mencengangkan lagi, ialah jika kita runtut kisah di atas dari awal. Kenapa YAI RA waktu dimaturi awal itu terus meminta untuk ditunda dari Selasa ke Kamis? lantas ditunda lagi ke Kamis berikutnya? Juga meminta untuk dipindahkan lokasinya dari Lamongan Selatan ke Utara? Dan orang-orang Panitya dan Pengurus diminta musyawarah untuk menentukan lokasinya sendiri, tapi kemudian, Sub-haanallah, keputusan mereka akhirnya memilih tempat di Kyai Mahmud, sehingga itu seolah memang bukan pilihan atau keputusan dari YAI RA? Dan, ini hanya copy-paste dari Dawuh YAI RA yang telah tertulis pada bagian cerita di atas, tapi mungkin makna yang kita tangkap jadi sudah beda, setelah semuanya terjadi :

“Ya begitu. Bagus. Untuk Ke Allah itu, “ kudu kendel” (harus berbesar hati)”.

0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons