Blog ini ditujukan kepada seluruh ummat Islam yang cinta kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Para Sahabat RA, Auliya', Habaib, Ulama', dan sejarah kebudayaan Islam.

Senin, 05 Desember 2011

Sayyid Qutb

Nama lengkapnya adalah Sayyid Qutb Ibrahim Husain Syadzili. Dia dilahirkan pada tanggal 9 Oktober 1906 M. di kota Asyut, salah satu daerah di Mesir. Dia merupakan anak tertua dari lima bersaudara, dua laki-laki dan tiga perempuan.

Ayahnya bernama al-Haj Qutb Ibrahim, ia termasuk anggota Partai Nasionalis Musthafa Kamil sekaligus pengelola majalah al-Liwâ`, salah satu majalah yang berkembang pada saat itu. Qutb muda adalah seorang yang sangat pandai. Konon, pada usianya yang relatif muda, dia telah berhasil menghafal al-Qur`an diluar kepala pada umurnya yang ke-10 tahun. Pendidikan dasarnya dia peroleh dari sekolah pemerintah selain yang dia dapatkan dari sekolah Kuttâb (TPA).

Pada tahun 1918 M, dia berhasil menamatkan pendidikan dasarnya. Pada tahun 1921 Sayyid Qutb berangkat ke Kairo untuk melanjutkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiyah. Pada masa mudanya, ia pindah ke Helwan untuk tinggal bersama pamannya, Ahmad Husain Ustman yang merupakan seorang jurnalis. Pada tahun 1925 M, ia masuk ke institusi diklat keguruan, dan lulus tiga tahun kemudian. Lalu ia melanjutkan jenjang perguruannya di Universitas Dâr al-‘Ulûm hingga memporelah gelar sarjana (Lc) dalam bidang sastra sekaligus diploma pendidikan.

Dalam kesehariannya, ia bekerja sebagai tenaga pengajar di Universitas tersebut. Selain itu, ia juga diangkat sebagai penilik pada Kementerian Pendidkan dan Pengajaran Mesir, hingga akhirnya ia menjabat sebagai inspektur. Sayyid Qutb bekerja dalam Kementerian tersebut hanya beberapa tahun saja. Beliau kemudian mengundurkan diri setelah melihat adanya ketidak cocokan terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang pendidikan karena terlalu tunduk oleh pemerintah Inggris.

Pada waktu bekerja dalam pendidikan tersebut, beliau mendapatkan kesempatan belajar ke U.S.A untuk kuliah di Wilson’s Teacher College dan Stanford University dan berhasil memperoleh gelar M.A di bidang pendidikann. Beliau tinggal di Amerika selama dua setengah tahun, dan hilir mudik antara Washington dan California. Melalui pengamatan langsung terhadap peradaban dan kebudayaan yang berkembang di Amerika, Sayyid Qutb melihat bahwa sekalipun Barat telah berhasil meraih kemajuan pesat dalam bidang sains dan teknologi, namun sesungguhnya ia merupakan peradaban yang rapuh karena kosong dari nilai-nilai spiritual.

Dari pengalaman yang diperoleh selama belajar di Barat inilah yang kemudian memunculkan paradigma baru dalam pemikiran Sayyid Qutb. Atau, bisa juga dikatakan sebagai titik tolak kerangka berfikir sang pembaharu masa depan. Sepulangnya dari belajar di negeri Barat, Sayyid Qutb langsung bergabung dalam keangotaan gerakan Ikhwân al-Muslimîn yang dipelopori oleh Hasan al-Banna. Dan dia juga banyak menulis secara terang-terangan tentang masalah keislaman.

Dari organisasi inilah beliau lantas banyak menyerap pemikiran-pemikiran Hasan al-Banna dan Abu al-A’la al-Maududi. Sayyid Qutb memandang Metode Penafsiran Sayyid Quthb

Ikhwan al-Muslimin sebagai satu gerakan yang bertujuan untuk mewujudkan kembali syari’at politik Islam dan juga merupakan medan yang luas untuk menjalankan Syariat Islam yang menyeluruh. Selain itu, dia juga meyakini bahwa gerakan ini adalah gerakan yang tidak tertandingi dalam hal kesanggupannya menghadang zionisme, salibisme dan kolonialisme.

Sepanjang hayatnya, Sayyid Qutb telah menghasilkan lebih dari dua puluh buah karya dalam berbagai bidang. Penulisan buku-bukunya juga sangat berhubungan erat dengan perjalanan hidupnya. Sebagai contoh, pada era sebelum tahun 1940-an, beliau banyak menulis buku-buku sastra yang hampa akan unsur-unsur agama. Hal ini terlihat pada karyanya yang berjudul “Muhimmat al-Syi’r fi al-Hayâh” pada tahun 1933 dan “Naqd Mustaqbal al-Tsaqâfah fî Misr” pada tahun 1939.

Pada tahun 1940-an, Sayyid Qutb mulai menerapkan unsur-unsur agama di dalam karyanya. Hal itu terlihat pada karya beliau selanjutnya yang berjudul “al-Tashwîr al-Fanni fi al-Qur`an” (1945) dan “Masyâhid al-Qiyâmah fi al-Qur`an”.

Pada tahun 1950-an, Sayyid Qutb mulai membicarakan soal keadilan, kemasyarakatan dan fikrah Islam yang suci menerusi ‘al-Adalah al-Ijtima’iyyah fi al-Islam dan ‘Ma’rakah al-Islam wa ar-Ra’s al-Maliyyah’. Selain itu, beliau turut menghasilkan “Fî Zhilâl al-Qur`ân’” dan “Dirâsat Islâmiyyah”. Semasa dalam penjara, yaitu mulai dari tahun 1954 hingga 1966, Sayyid Qutb masih terus menghasilkan karya-karyanya. Di antara buku-buku yang berhasil ia tulis dalam penjara adalah “Hâdza al-Dîn”, “al-Mustaqbal li Hâdza al-Dîn”, “Khashâ`is al-Tashawwur al-Islâmi wa Muqawwimâtihi’ al-Islâm wa Musykilah al-Hadhârah” dan “Fî Zhilal al-Qur`ân’ (lanjutannya).

Pada tahun 1965, Sayyid Qutb divonis hukuman mati atas tuduhan perencanaan menggulingkan pemerintahan Gamal Abdul Nasher. Menurut sebuah sumber, sebelum dilakukan eksekusi, Gamal Abdul Nasher pernah meminta Sayyid Qutb untuk meminta maaf atas tindakan yang hendak dilakukannya, namun permintaan tersebut ditolak oleh Sayyid Qutb.

Kerangka Pemikiran Sayyid Qutb

Dalam kitabnya yang berjudul “Sayyid Qutb: Khulâshatuhu wa Manhâju Harakâtihi", Muhammad Taufiq Barakat membagi fase pemikiran Sayyid Qutb menjadi tiga tahap:

1. Tahap pemikiran sebelum mempunyai orientasi Islam;
2. Tahap mempunyai orientasi Islam secara umum;
3. Tahap pemikiran berorientasi Islam militan.

Pada fase ketiga inilah, Sayyid Qutb sudah mulai merasakan adanya keengganan dan rasa muak terhadap westernisasi, kolonialisme dan juga terhadap penguasa Mesir. Masa-masa inilah yang kemudian menjadikan beliau aktif dalam memperjuangnkan Islam dan menolak segala bentuk westernisasi yang kala itu sering digembor-gemborkan oleh para pemikir Islam lainnya yang silau akan kegemilingan budaya-budaya Barat.

Dalam pandangannya, Islam adalah way of life yang komprehansif. Islam adalah ruh kehidupan yang mengatur sekaligus memberikan solusi atas problem sosial-kemasyarakatan. Al-Qur`an dalam tataran umat Islam dianggap sebagai acuan pertama dalam pengambilan hukum maupun mengatur pola hidup masyarakat karena telah dianggap sebagai prinsip utama dalam agama Islam, maka sudah menjadi sebuah keharusan jika al-Qur`an dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada. Berdasar atas asumsi itulah, Sayyid Qutb mencoba melakukan pendekatan baru dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an agar dapat menjawab segala macam bentuk permasalahan. Adapun pemikiran beliau yang sangat mendasar adalah keharusan kembali kepada Allah dan kepada tatanan kehidupan yang telah digambarkan-Nya dalam al-Quran, jika manusia menginginkan sebuah kebahagiaan, kesejahteraan, keharmonisan dan keadilan dalam mengarungi kehidupan dunia ini.

Meski tidak dipungkiri bahwa al-Qur`an telah diturunkan sejak berabad-abad lamanya di zaman Rasulullah dan menggambarkan tentang kejadian masa itu dan sebelumnya sebagaimana yang terkandung dalam Qashash al-Qur`an, namun ajaran-ajaran yang dikandung dalam al-Qur`an adalah ajaran yang relevan yang dapat diterapkan di segala tempat dan zaman. Maka, tak salah jika kejadian-kejadian masa turunnya al-Qur`an adalah dianggap sebagai cetak biru perjalanan sejarah umat manusia pada fase berikutnya. Dan tidak heran jika penafsiran-penafsiran yang telah diusahakan oleh ulama klasik perlu disesuaikan kembali dalam masa sekarang. Berangkat dari itu, Sayyid Qutb mencoba membuat terobosan terbaru dalam menafsirkan al-Qur`an yang berangkat dari realita masyarakat dan kemudian meluruskan apa yang dianggap tidak benar yang tejadi dalam realita tersebut.

Motivasi Penulisan Tafsir Fî Zhilâl al-Qur`ân

Kondisi Mesir kala itu sedang porak poranda ketika Sayyid Qutb telah kembali dari perhelatannya menempuh ilmu di negeri Barat. Saat itu, Mesir sedang mengalami krisis politik yang mengakibatkan terjadinya kudeta militer pada bulan Juli 1952. Pada saat itulah, Sayyid Qutb memulai mengembangkan pemikirannya yang lebih mengedepankan terhadap kritik sosial dan politik. Oleh karenanya, tak heran memang jika kita melihat upaya-upaya yang dilakukan Sayyid Qutb dalam tafsirnya lebih cenderung mengangkat terma sosial-kemasyarakatan. Salah satu karya terbesar beliau yang sangat terkenal adalah karya tafsir al-Qur`an yang diberi nama Fî Zhilâl al-Qur`ân. Tafsir ini lebih cenderung membahas tentang logika konsep negara Islam sebagaimana yang didengungkan oleh pengikut Ikhwan al-Muslimin lainnya seperti halnya Abu al-A’la al-Maududi.

Secara singkat, sebenarnya Sayyid Qutb memulai menulis tafsirnya atas permintaan rekannya yang bernama Dr. Said Ramadhan yang merupakan redaktur majalah al-Muslimûn yang ia terbitkan di Kairo dan Damaskus. Dia meminta Sayyid Qutb untuk mengisi rubrik khusus mengenai penafsiran al-Qur`an yang akan diterbitkan satu kali dalam sebulan. Sayyid Qutb menyambut baik permintaan rekannya tersebut dan mengisi rubrik itu yang kemudian diberi nama Fî Zhilâl al-Qur`ân. Adapun mengenai tulisan yang pertama yang dimuat adalah penafsiran surat al-Fâtihah, lantas dilanjutkan dengan surat al-Baqarah. Namun, hanya beberapa edisi saja tulisan itu berlangsung yang kemudian Sayyid Qutb berinisiatif menghentikan penulisan itu dengan maksud hendak menyusun satu kitab tafsir sendiri yang diberi nama Fî Zhilâl al-Qur`ân, sama halnya dengan rubrik yang beliau asuh. Karya beliau lantas dicetak dan didistribusikan oleh penerbit al-Bâb al-Halabi. Akan tetapi penulisan tafsir tersebut tidak langsung serta merta dalam bentuk 30 juz. Setiap juz kitab tersebut terbit dalam dua bulan sekali, meski ada yang kurang dalam dua bulan dan sisa-sisa juz itu beliau selesaikan ketika berada dalam tahanan.

Sekilas tentang Corak Penafsiran Sayyid Qutb

Bisa dikatakan kitab Fî Zhlilâl al-Qur`ân yang dikarang oleh Sayyid Qutb termasuk salah satu kitab tafsir yang mempunyai terobosan baru dalam malakukan penafsiran al-Qur`an. Hal ini dikarenakan tafsir beliau selain mengusung pemikiran-pemikiran kelompok yang berorientasi untuk kejayaan Islam, juga mempunyai metodologi tersendiri dalam menafsirkan al-Qur`an. Termasuk di antaranya adalah melakukan pembaharuan dalam bidang penafsiran dan di satu sisi beliau mengesampingkan pembahasan yang dirasa kurang begitu penting. Salah satu yang menonjol dari corak penafsiran beliau adalah mengetengahkan segi sastra untuk melakukan pendekatan dalam menafsirkan al-Qur`an.

Sisi sastra beliau terlihat jelas ketika kita menjulurkan pandangan kita ke tafsirnya, bahkan dapat kita lihat pada barisan pertama. Akan tetapi, semua pemahaman ushlûb al-Qur`ân, karakteristik ungkapan serta dzauq yang diusung semuanya bermuara untuk menunjukkan sisi hidayah al-Qur`an dan pokok-pokok ajarannya, yang ditujukan untuk memberikan pendekatan pada jiwa para pembacanya. Melalui pendekatan semacam ini diharapkan Allah dapat memberikan manfaat serta hidayah-Nya. Karena pada dasanya, hidayah merupakan hakikat dari al-Qur`an itu sendiri. Hidayah juga merupakan tabiat serta esensi al-Qur`an. Menurutnya, al-Qur`an adalah kitab dakwah, undang-undang yang komplit serta ajaran kehidupan. Dan Allah telah menjadikannya sebagai kunci bagi setiap sesuatu yang masih tertutup dan obat bagi segala penyakit. Pandangan seperti ini beliau sarikan dari firman Allah yang berbunyi, “Dan kami turunkan dari al-Qur`an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman...” dan firman Allah; “Sesungguhnya al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus...”.

Sejak pada barisan pertama dalam kitab tafsirnya, Sayyid Qutb sudah menampakkan karakterisktik seni yang terdapat dalam al-Qur`an. Dalam permulaan surat al-Baqarah misalnya, akan kita temukan gaya yang dipakai al-Qur`an dalam mengajak masayarakat Madinah dengan gaya yang khas dan singkat. Dengan hanya beberapa ayat saja dapat menampakkan gambaran yang jelas dan rinci tanpa harus memperpanjang kalam yang dalam ilmu balaghah disebut dengan ithnâb, namun di balik gambaran yang singkat ini tidak meninggalkan sisi keindahan suara dan keserasian irama.

Mengenai klarifikasi metodologi penafsiran, Dr. Abdul Hay al-Farmawy seorang guru besar Tafsir dan Ilmu-ilmu al-Qur`an Universitas al-Azhar membagi corak penafsirkan al-Qur`an menjadi tiga bentuk; yaitu tahlîly, maudhû’i dan ijmâli muqârin. Dilihat dari corak penafsiran yang terdapat yang tafsir Fî Zhilâl al-Qur`ân dapat digolongkan ke dalam jenis tafsir tahlîli. Artinya, seorang penafsir menjelaskan kandungan ayat dari berbagai aspek yang ada dan menjelaskan ayat per ayat dalam setiap surat sesuai dengan urutan yang terdapat dalam mushaf.

Menurut Issa Boullata, seperti yang dikutip oleh Antony H. Johns, pendekatan yang dipakai oleh Sayyid Qutb dalam menghampiri al-Qur`an adalah pendekatan tashwîr (deskriptif) yaitu suatu gaya penghampiran yang berusaha menampilkan pesan al-Qur`an sebagai gambaran pesan yang hadir, yang hidup dan konkrit sehingga dapat menimbulkan pemahaman “aktual” bagi pembacanya dan memberi dorongan yang kuat untuk berbuat. Oleh karena itu, menurut Sayyid Qutb, qashash yang terdapat dalam al-Qur`an merupakan penuturan drama kehidupan yang senantiasa terjadi dalam perjalanan hidup manusia. Ajaran-ajaran yang terkandung dalam cerita tidak akan pernah kering dari relevansi makna untuk dapat diambil sebagai tuntunan hidup manusia. Dengan demikian, segala pesan yang terdapat dalam al-Qur`an akan selalu relevan uuntuk dibawa dalam zaman sekarang.

Mengaca dari metode tashwîr yang dilakukan oleh Sayyid Qutb, bisa dikatakan bahwa tafsir Fî Zhilâl al-Qur`ân dapat digolongkan ke dalam tafsir al-Adabi al-Ijtimâ’i (sastra-budaya dan kemasyarakatan). Hal ini mengingat back-ground beliau yang merupakan seorang sastrawan hingga beliau bisa merasakan keindahan bahasa serta nilai-nilai yang dibawa al-Qur`an yang memang kaya dengan gaya bahasa yang sangat tinggi.

Pandangan Sayyid Qutb terhadap Naskh dan Mansûkh

Fenomena naskh dan mansûkh dalam al-Qur`an memang telah terjadi silang pendapat dalam kalangan ulama Islam sendiri. Di satu pihak ada yang menerimanya dan di pihak lain ada yang menolaknya dengan beberapa argumentasi mereka masing-masing. Dalam hal ini, Sayyid Qutb termasuk ke dalam kelompok yang menerima adanya naskh dalam al-Qur`an. Ini dapat dilihat ketika beliau menafsirkan kandungan ayat 106 surat al-Baqarah. Beliau mengemukakan bahwa pada ayat itu al-Qur`an secara umum menandaskan adannya peralihan sebagian perintah ataupun hukum seiring dengan perkembangan masayarakat muslim, dan secara khusus ayat tersebut menggambarkan tentang peralihan qiblat. Adanya pergantian sebagian ketentuan sebagian hukum adalah untuk kepentingan dan kemashlahatan manusia, serta untuk merealisasikan kebaikan yang jauh lebih besar sesuai tuntutan perkembangan masyarakat. Selain itu, Allah sebagai Sang Pencipta memang mempunyai hak prerogatif melakukan hal tersebut.

Sayyid Qutb melihat naskh dari perspektif ganda, yaitu perspektif Tuhan dan manusia. Seakan-akan dia mengatakan, terjadinya naskh merupakan kemauan Tuhan dan untuk kepentingan manusia. Selain itu, naskh juga sesuai dengan watak ajaran Islam yang evolutif dan lebih mengedepankan kemaslahatan umat.

Memang diakui, naskh terkait dengan dinamika kemaslahatan manusia. Namun, tidak menjadi persoalan, mengigat kondisi masyarakat pada risalah Nabi merupakan contoh bagi perkembangan masyarakat manusia sepanjang masa. Hal ini akan bisa sesuai dengan al-Qur`an sendiri yang selalu aktual dalam menghadapi perkembangan masa. Dengan demikian gerak sejarah manusia tidak akan keluar dari dinamika masyarakat Arab pada masa Nabi. Oleh karena itu, menurut Sayyid Qutb sendiri gambaran seluruh persoalan sejarah umat manusia telah ditemukan jawabannya dalam teks suci melalu pemahaman baku masyarakat masa risalah. Atas asumsi itulah, Sayyid Qutb disebut sebagai pemikir Fundamentalisme Islam; pemikir yang mempunyai romantisme terhadap masa lalu Islam (klasik), dan secara singkat dia ingin mewujudkan gambaran masyarakat masa lalu ke dalam masa sekarang dan yang akan datang.

Contoh penafsiran Sayyid Qutb dalam Tafsir Fî Zhilâl al-Qur`ân

Ayat 65 surat al-Anfâl
Banyak sekali ulama yang mengatakan bahwa ayat ini mengalami proses naskh. Maka dari itu mereka berpendapat bahwa, dahulu perbandingan pada saat bertempur dengan kaum kafir adalah satu banding sepuluh. Artinya, satu kaum muslimin diwajibkan menumpas sepuluh orang kafir. Lalu datanglah ayat berikutnya yang berisi tentang keringanan yang diberikan oleh Allah kepada orang Islam berupa satu orang Islam melawan dua oang kafir. Inilah model penafsiran ulama-ulama klasik. Sayyid Qutb mencoba menghadirkannya dalam zaman sekarang. Beliau berpendapat, ayat ini berbicara mengenai taksiran kekuatan pasukan muslim menghadapi pasukan kafir dalam pandanagan Tuhan. Namun inti dari semua itu adalah untuk menentramkan jiwa kaum muslimin agar tidak cepat gentar dan patah semangat dalam menghadapi pasukan musuh yang berjumlah besar. Menurut Sayyid Qutb, dari ayat ini dapat diambil pelajar tentang mentalitas umat Islam. Kemenangan bukanlah terletak pada banyaknya jumlah, melainkan pada mentalitasnya. Meski berjumlah sedikit, umat Islam dapat memperoleh kemenangan, asalkan mempunyai militansi dan semangat juang yang gigih.

(Sumber: http://www.mediamuslim.net)
Penulis Muhammad Mishbah adalah mahasiswa tingkat terakhir program S1 Univesitas al-Azhar Jurusan Tafsir dan Ulum al-Qur'an

0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons