“Insya Allah orang yang mencintai akan mengikuti semua sunnah yang dicintai.”
Sabtu Pagi itu, 20 Maret, di bilangan Kompleks Bulog, Bekasi, yang tampak bersahaja, rumah-rumah, yang asri, rimbun dengan pepohonan, terlihat masih sepi. Hanya beberapa gelintir orang berlalu lalang, melintasi jalanan trotoar.
Setelah melewati beberapa blok, tibalah mobil tim alKisah di sebuah rumah besar dengan halaman yang luas dan tertata apik. Dari luar, rumah itu tampak sepi, namun beberapa mobil memenuhi halaman parkir, hingga meluber ke jalan raya kompleks.
Terdengar sayup-sayup alunan shalawat yang diiringi tetabuhan hadrah, “Assalamu’alaika ya... Zainal Anbiya’...”
Begitu memasuki bagian per bagian kediaman Bapak Joko Susanto, pemilik rumah yang digelar Maulid, terlihat puluhan kaum bapak dan ibu telah duduk rapi di halaman yang telah dipasangi karpet dan tenda. Mereka khidmat mengikuti alunan shalawat.
Tampak di atas panggung sesosok pria paruh baya bergamis putih dan berkopiah putih. Ia pun tampak khidmat mengikuti shalawat.
Tak berapa lama, bagian terpenting acara Maulid pun dimulai, pembacaan Maulid Simthud Durar. Dipimpin sosok pria bergamis putih tadi, pembacaan Maulid karangan ulama besar Hadhramaut, Yaman, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, berlangsung syahdu. Apalagi pada bagian mahallul qiyam. Pria tadi melantunkan kidung penuh kerinduan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW. Tak sedikit jama’ah yang menitikkan air mata....
Demikianlah acara Maulid di kediaman Bapak Joko Santoso pertengahan Maret lalu. Sementara yang memimpin pembacaan Maulid tersebut adalah Ir. Habib Husin Mulachela.
Ia adalah sosok yang tak asing di kalangan habaib dan muhibbin. Berpuluh-puluh majelis ta’lim telah dibinanya. Beratus-ratus santri diasuh dan dididiknya. Perjalanan dakwahnya telah melintasi banyak pulau dan bahkan negara. Satu misi yang selalu diembannya yaitu cinta Rasulullah.
“Insya Allah orang yang mencintai akan mengikuti semua sunnah yang dicintai,” begitu katanya suatu ketika kepada alKisah.
Karena itu, di bulan-bulan Maulid seperti sekarang ini, jadwal dakwahnya sangat padat. Dari pagi hingga malam hari.
Sementara hari-hari biasa, jadwal dakwahnya pun selalu penuh. Mulai dari pengajian para pejabat, pengajian para artis, hingga masyarakat umum biasa.
“Saya tidak bisa menghitung berapa persisnya pengajian yang saya bina. Pokoknya, paling sedikit dalam sehari ada tiga undangan untuk berdakwah,” ujar putra kesembilan dari 12 bersaudara itu.
Dakwah memang sudah menjadi panggilan hidupnya. Barangkali karena hal itu merupakan turunan dari orangtuanya, Habib Abdul Kadir bin Umar Mulachela, seorang ustadz yang mengajar di lembaga pendidikan Yayasan Diponegoro, Pasar Kliwon, Solo. Ia sendiri menghabiskan pendidikan dasar dan menengah di Yayasan Diponegoro, sementara pendidikan menengah atasnya ia selesaikan di SMA Negeri I Solo. Adapun pendidikan agama ia peroleh dari Habib Anis bin Alwi bin Ali Al-Habsyi, seorang ulama terkenal di Solo.
Lulus sebagai sarjana teknik sipil Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, ia bekerja di bidang pembangunan perumahan sebagai direktur proyek. Sepuluh tahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji. “Entah mengapa, ketika menunaikan ibadah haji itu saya ingin melihat rumah Rasulullah SAW. Tapi, sampai di Tanah Suci niat itu nyaris terkubur. Ternyata tak mudah menemukan rumah bersejarah itu,” tuturnya.
Suatu malam, masih di Tanah Suci, ia bermimpi bertemu Rasulullah SAW, yang sosoknya hanya seberkas cahaya terang. “Katanya mau ke rumah?” tegur sosok bercahaya itu.
Ia pun langsung berlutut lalu memeluk cahaya itu. Tapi, ketika terbangun, yang ia peluk Habib Anis, yang tidur di sebelahnya. “Ajaib, setelah bermimpi, saya menemukan rumah Rasul dengan mudah,” tuturnya.
Ihya ‘Ulumiddin
Pulang dari Tanah Suci, semangatnya untuk berdakwah menggebu-gebu. “Niat itu saya sampaikan kepada Habib Anis, tapi ia tidak menjawab, bahkan mengajak saya ke Surabaya. Barulah setelah saya sampai di Jakarta, ia menelepon agar segera membuka majelis ta’lim.
Saya bingung, harus mulai dari mana. Apalagi ketika Habib Anis hanya memberi kitab Ihya ‘Ulumiddin dalam huruf dan bahasa Arab,” tuturnya. Wajar jika kemudian ia ragu.
Namun, Habib Anis, yang juga kakak sepersusuan ayahnya dan saudara misan ibunya, mampu meyakinkannya untuk mendirikan majelis ta’lim di rumahnya. Bahkan Habib Anis sendiri yang membukanya. “Hari itu, 26 Rabi’ul Awwal 1419 H atau 20 Juli 1998, jam 17.00 WIB, majelis ta’lim itu dibuka di rumah saya. Jama’ahnya sekitar 60 orang, saya dibantu oleh Habib Ali Alhamid, salah seorang murid Sayid Muhammad bin Alawy Al-Maliky. Acaranya, selain membaca Maulid Simthud Durar, juga membahas kitab Ihya ‘Ulumiddin,” kata Habib Husin.
Beberapa waktu kemudian, majelis ta’lim itu berkembang dan mulai dikenal di kawasan Jakarta Selatan.
Suatu hari, Habib Husin dipanggil oleh Habib Anis. “Ia minta saya membina majelis ta’lim asuhan Ustaz Amir Hamzah di Warung Buncit, Jakarta Selatan. Awalnya saya ragu, karena di sana yang dibaca manaqib Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, sedangkan saya setiap malam Jum’at selalu membaca Simthud Durar. Tapi Kiai Munir, ulama sepuh di Warung Buncit, tetap minta saya mengisi di majelis ta’lim itu. Akhirnya disepakati, saya membaca Simthud Durar, setelah itu Ustaz Amir Hamzah membaca manaqib Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani. Dan majelis ta’lim itu pun berlangsung meriah,” ujarnya.
Sejak itu, Habib Husin Mulachela dikenal sebagai dai yang laris. Gaya bicaranya yang bersemangat, dan cara berdakwahnya yang lugas, membuat daftar majelis ta’lim yang harus dikunjunginya semakin panjang. Kemudian ia mendirikan Majelis Ta’lim Simthud Durar di Ciganjur, Jakarta Selatan.
Dengan jama’ah tak kurang dari 500 orang, setiap Ahad majelis ini mengaji hadits. “Padahal, dulu, kawasan ini dikenal sebagai tempat peredaran narkoba. Alhamdulillah sekarang bersih dari pengaruh negatif itu,” katanya.
Ia juga menggelar pengajian Ihya ‘Ulumiddin di rumahnya. Selain itu, setiap 35 hari, tepatnya pada Jum’at Legi, ia selalu menghadiri acara Legian di Masjid Riyadh, Pasar Kliwon, Solo, yang digelar oleh gurunya, Habib Anis. “Kami berkumpul untuk membaca Maulid Simthud Durar. Tapi, sebelumnya saya keliling beberapa desa di beberapa kabupaten di Jawa, seperti Purwokerto, Purbalingga, Wonosobo, sampai Magelang, mengunjungi masjid-masjid terpencil dan berdakwah,” tuturnya.
Kebiasaan itu ia lakukan sesuai nasihat Habib Anis. Ia memang sangat dekat dengan ulama besar yang berwibawa tersebut, dan selalu terinspirasi untuk mengikuti nasihat dan jejak langkahnya. “Sejak kecil saya dekat dengan Habib Anis. Bahkan di majelis ta’lim, saya selalu duduk dekat beliau. Ayah saya, sebelum meninggal, juga berpesan agar mengikuti jejak Habib Anis,” katanya.
Kedekatan itu semakin lengkap manakala ia mempersunting kemenakan Habib Anis, Shaleha binti Yahya Mulachela, sebagai istrinya. “Bagi saya, Habib Anis bukan hanya seorang guru, tapi juga ayah, yang selalu siap memberi teguran dan nasihat saat kita memerlukannya,” kata Habib Husin, yang sedang berupaya menyalin Maulid Simthud Durar dengan huruf braille sehingga bisa dibaca oleh saudara-saudara kita yang tunanetra.
Hingga kini, kitab karya ulama besar Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi itu menjadi kitab utama yang dibacakannya di setiap ta’limnya, dan juga menjadi kitab rujukan utama di Pesantren Majelis Khair, pesantren yang didirikannya di Pondok Bitung, Sukaharja, Bogor.
0 komentar:
Posting Komentar