Blog ini ditujukan kepada seluruh ummat Islam yang cinta kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Para Sahabat RA, Auliya', Habaib, Ulama', dan sejarah kebudayaan Islam.

Selasa, 19 Juli 2011

KH. Ihsan Dahlan Jampes

Masa remaja hobi judi dan wayang. Semalam suntuk harus ditemani kopi dan sigaret. Namun dari sanalah lahir kitab tasawuf yang menjadi acuan di banyak negeri.

Bakri menyuruh kawan-kawannya menyingkir. Di lokasi perjudian itu, kawan-kawan Bakri sudah bermain beberapa putaran. Tapi sial, mereka kalah. Uang menipis. Hanya tersisa untuk satu kali permainan. Maka begitu Bakri datang, ia segera mengambil alih, kawan-kawannya dimintanya minggir untuk menyaksikan saja.

Karena Bakri sudah berpengalaman, dalam permainan kali ini pun mudah saja buat Bakri meraih kemenangan. Dan betul, Bakri menang. Uang hasil meja judi itu dia bagi-bagikan ke kawan-kawan yang kalah tempur tadi. Masing-masing dia beri sejumlah uang yang telah ludes di tempat adu untung itu.

Kegemaran Bakri berlaga di medan judi terus berlanjut meski Bakri adalah putra seorang kiai, dan tinggal di dalam pesantren. Bakri tak lain adalah nama kecil KH Ihsan Muhammad Dahlan asal Jampes, Kediri, Jawa Timur. Dia lahir pada 1901 dan meninggal pada 15 September 1952. Siraj al-Thalibin, kitab karangannya yang merupakan komentar atas Minhaj al-Abidin karya sufi besar Imam al-Ghazali, hingga sekarang menjadi bacaan rutin di pesantren-pesantren Nusantara, bahkan di sejumlah negeri mancanegara.

Tapi, memang begitulah Kiai Ihsan remaja--yang waktu itu masih menyandang nama Bakri. Bakri sangat hobi sekaligus jago dalam hal judi-menjudi. “Ia sangat mahir,” tulis Busro Abd. Mughni dalam Syekh Ihsan Muhammad Dahlan terbitan tahun 1982. Hobi Bakri ini tak ayal membuat Ny. Istianah, sang nenek, jengkel bukan kepalang. Ny. Istianah tak henti-henti menasehati dan memarahi Bakri setiap kali mendapatkannya pulang bermain dengan kawan-kawannya.

Dasar bandel, Bakri tak menghentikan hobinya itu. Mau tak mau Ny. Istianah harus memikirkan cara ampuh untuk membuat sang cucu kapok. Ny. Istianah pun mendapat gagasan: mengajak Bakri berziarah ke makam leluhur. Dalam silsilah keluarga, Ny. Istianah adalah cucu Kiai Yahuda, yang terhitung masih keturunan Panembahan Senopati--pendiri kerajaan Mataram. Makam Kiai Yahuda ada di Desa Nogosari, Lorog, Pacitan, Jawa Timur.

Ke sanalah kemudian Bakri dibawa sang nenek. Bersama KH Dahlan (ayah Bakri) dan KH Khazin (paman Bakri), Ny. Istianah menghadapkan Bakri pada makam “Mbah Yahuda”. Di sana, Ny. Istianah berdoa kepada Allah dengan perantaraan (wasilah) orang-orang suci agar jalan keluar segera diperoleh.

Begitu sungguh-sungguhnya Ny. Istianah memanjatkan permintaan, hingga salah satu doanya berbunyi demikian, “Apabila Bakri ini tidak dapat berhenti atau menghentikan segala kenakalannya, maka kami minta kepada Allah untuk mengambilnya saja sekarang ini, jangan beri ia umur panjang.” Ekstrem mungkin. Namun ada efeknya juga bagi Bakri. Beberapa hari selepas ziarah, Bakri bemimpi didatangi seorang kakek lanjut usia.

“Wahai cucuku, sanggupkah engkau menghentikan segala perbuatanmu yang tercela itu?” kata sang kakek sembari menenteng sebuah batu besar yang kemudian diarahkan ke atas kepala Bakri. “Jika engkau tidak sanggup maka batu ini akan menghancurkan kepalamu?”

“Ada hubungan apa saya dengan kakek?” timpal Bakri. “Terus atau berhenti, semua itu adalah urusan dan tanggung jawab saya sendiri. Tak seorang pun berhak mempersoalkannya.”

Bum!!! Batu itu pun dilepaskan sang kakek, dan mengena tepat di kepala Bakri. Tak pelak, hancurlah kepala Bakri, semua isi kepalanya terburai. Seketika Bakri terbangun, berucap istigfar berulang-ulang. Bakri lalu lari menuju kamar sang nenek,, dan melaporkan mimpinya itu.

Semenjak itu, Bakri berjanji untuk menyetop kesenangannya bertempur di papan permainan adu nasib. Ya, bukan hukuman cambuk ternyata yang bikin Bakri jera. Bakri dibuat kapok hanya setelah mengalami dua peristiwa: ziarah makam leluhur dan mimpi.

KIAI IHSAN REMAJA alias Bakri masih punya hobi lain selain judi. Dan kecanduan Bakri terhadap kegemaran ini pun tak kalah tinggi kadarnya. Yaitu, wayang. Di daerah mana pun ada pertunjukan wayang, Bakri senantiasa tak pernah absen menonton. Dalang pemula maupun dalang terkenal, tak dia pilih-pilih, semua dia saksikan. Sampai-sampai dia paham betul jalan cerita dan karakter tokoh dunia pewayangan. Bakri juga mengoleksi anak-anak wayang sembari sesekali melakonkannya di depan teman-teman sendiri laiknya dalang profesional.

Saking hafalnya cerita-cerita pewayangan, Bakri tahu betul jika ada dalang yang lakonnya menyalahi aturan. Pernah suatu ketika Bakri memprotes seorang dalang asal desa sebelah, Gampengprejo. Bakri melihat lakon si dalang keluar pakem. Bakri langsung menegur si dalang, padahal pertunjukan sedang berlangsung. Dalang menyangkal. Terjadilah debat. Tapi kemudian, karena sadar sedang live, mereka sepakat menunda perdebatan usai pertunjukan.

Kehidupan Kiai Ihsan remaja memang penuh warna-warni lokal yang khas, dan itu tak mengurangi kedalamannya dalam mengulas persoalan agama. Kitabnya Siraj al-Thalibin mendapat apresiasi tinggi umat Islam di berbagai negara. KH Sulaiman Faqih, seorang kiai asal Banjar, Jawa Barat, mendapat sebuah kisah tentang kesohoran karya Kiai Ihsan. Waktu itu Kiai Sulaiman sedang melakukan ibadah haji di Mekah, dan bertemu dengan H Muhsin, seorang sahabatnya asal Singapura.

H Muhsin bercerita bahwa dia baru saja bertemu dengan seorang tua dari Mesir. H Muhsin mengenakan kopiah hitam, seperti kebanyakan kopiah yang dipakai orang Indonesia.

“Anda dari Jawa?” tanya orang tua dari Mesir itu.

“Bukan. Saya dari Singapura, sebelah Jawa,” jawab H Muhsin.

“Kenalkah Anda dengan Syekh Ihsan Jampes, pengarang Siraj al-Thalibin?”

“Oh, kenal dan tahu benar saya dengan pengarang kitab itu. Sebab antara tahun 1935 sampai 1945 saya belajar di hadapan pengarang kitab tersebut.”

Orang tua dari Mesir itu langsung merangkul dan mencium H Muhsin. “Ahlan wa sahlan. Berbahagialah saya, bertemu dengan saudaraku yang saleh, murid muallif (pengarang) Siraj al-Thalibin.”

KARYA Kiai Ihsan begitu dikenal di berbagai negeri, tapi Kiai Ihsan sendiri sebenarnya bukanlah tipe seorang pelancong, yang sering melakukan kontak dengan berbagai jaringan ulama lintas negara. Berbagai ilmu pengetahuan agama yang dimiliki Kiai Ihsan atawa Bakri pun diperolehnya melalui belajar dari pesantren ke pesantren di bumi Jawa. Mula-mula, Bakri hanya memperoleh pendidikan agama melalui keluarga, terutama nenek dan ayahnya. Tapi kemudian dia menjelajahi berbagai pesantren.

Pesantren pertama yang disinggahi Bakri adalah pesantren Bendo, Pare, Kediri. Pesantren ini diasuh oleh pamannya sendiri, KH Khazin. Setelah beberapa waktu, Bakri pindah ke pesantren Jamsaren, Salatiga, Jawa Tengah. Kemudian juga pesantren KH Dahlan, Semarang, Jawa Tengah; pesantren Mangkang, Semarang; pesantren Pundun, Magelang, Jawa Tengah. Begitu pula, dia singgah di pesantren Gondanglegi, Nganjuk, Jawa Timur, untuk belajar Ilmu Arudh (ilmu tentang syair), dan pesantren Bangkalan, Madura asuhan KH Khalil guna mendalami Ilmu Nahwu dan Sharaf (ilmu gramatika bahasa Arab).

Hampir setiap tinggal di pesantren, Bakri tak betah lama. Paling-paling cuma satu-dua bulan. Di pesantren Bangkalan, misalnya, dia hanya sanggup tinggal dua bulan. Di pesantren Jamsaren, cuma satu bulan. Nah, yang lebih singkat lagi di pesantren KH Shaleh Darat, Semarang; dia hanya singgah selama 20 hari.

Di pesantren-pesantren tersebut, Bakri sepertinya hanya ingin memperolehijazah bagi kitab-kitab yang dia kehendaki. Ijazah adalah semacam restu kiai yang menandakan bahwa seorang murid sudah dianggap berhasil menyerap ilmu sang kiai terhadap suatu kitab tertentu. Tradisi ini memang sudah lama berlaku di lingkungan pesantren.

Kiai Ihsan nyaris tidak pernah melawat ke luar pulau. Kalaupun pernah, itu pun ketika dia harus melaksanakan rukun Islam kelima, haji. Yaitu pada 1926, di mana dia resmi mendapat nama H Ihsan sebagai ganti nama kecilnya: Bakri. Selebihnya, Kiai Ihsan lebih banyak tinggal mengajar di pesantren sang ayah.

Apalagi semenjak pada 1932, yakni ketika Kiai Ihsan menjadi pengasuh pesantren Jampes tersebut, semakin banyaklah waktunya dihabiskan dindalem-nya, di sebelah Sungai Brantas itu. Hari-hari Kiai Ihsan adalah mengajar, membaca, menulis. Bacaannya tidak hanya meliputi pengetahuan agama, melainkan beraneka ragam baik bacaan berbahasa Arab maupun Melayu. Kiai Ihsan suka membaca koran.

Sehari-semalam barangkali hanya beberapa jam saja yang digunakan Kiai Ihsan untuk tidur. Sebab, malam-malam, Kiai Ihsan lebih sering terjaga. Selepas mengaji, mengajar santri-santrinya, Kiai Ihsan akan langsung menuju ruangan, duduk di belakang meja, melakukan muthala'ah (meneliti kitab-kitab). Di saat seperti ini, Kiai Ihsan harus ditemani kopi dan rokok. Ini tak boleh ketinggalan meski sejumlah ulama menilai kedua hal tersebut haram atau makruh. Justru sembari menikmati minuman hitam dan tembakau itulah dari tangan Kiai Ihsan lahir karya-karya genius.

Lihatlah sejumlah kitab yang sudah ditulis Kiai Ihsan. Siraj al-Thalibin, yang disusun sekitar 1932-33 sebagai syarah atau komentar panjang atas karya Al-Ghazali, sangat dalam membahas persoalan-persoalan tasawuf. Tebalnya nyaris seribu halaman, dibagi dalam dua juz. Sebelumnya, pada 1930, Kiai Ihsan sudah menulis sebuah kitab di bidang Ilmu Falak (Astronomi) berjudul Tashrih al-Ibarat. Ini merupakan syarah atas Natijat al-Miqat karya KH Ahmad Dahlan Semarang. Tipis saja, 48 halaman.

Kiai Ihsan juga mengarang Manahij al-Imdad setebal seribu halaman lebih, serta sejumlah kitab lain, termasuk Irsyad al-Ikhwan fi Syurb al-Qahwah wa al-Dukhan. Karya yang disebut terakhir ini khusus menjelaskan posisi hukum Islam atas dua kenikmatan favorit Kiai Ihsan: kopi dan rokok. Setebal 53 halaman. Disusun dengan sistem nazhaman (syair).

Melalui kitab tersebut, barangkali Kiai Ihsan mau berargumen mengapa ia tetap ngopi dan ngerokok, malah terkesan dia enggan meninggalkan keduanya. Namun, nyatanya Kiai Ihsan sekadar memetakan ulama yang melarang dan yang membolehkan.

Ulama yang mengharamkan kebanyakan beralasan, “Itu berbahaya,mudhirrah.” Sementara, ulama yang membolehkan punya argumen. “Tidak berbahaya, justru membuat tubuh lebih segar dan giat.”

Kiai Ihsan betul-betul tidak memberikan keputusan tegas mengenai argumen mana yang lebih kuat. Hanya, dalam kehidupan sehari-hari, setiap malam hingga fajar, di sebelah timur Sunga Berantas itu, sembari memelototi deretan huruf di atas lembaran kertas kuning, Kiai Ihsan terus menghisap tembakau dan menyerubut kopi kental. Dan tahu-tahu, dia telah menelurkan kitab-kitab bermutu tinggi.*


sumber : http://mujtabahamdi.blogspot.com

0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons