Sosok ulama yang satu ini digolongkan sebagai salah seorang tokoh pemuda yang mendahului zamannya. Karena selain sebagai mubaligh ia juga dikenal sebagai “pembalap” yang gemar bermotor di jalanan. Hampir setiap perjalanan tugasnya, dia lebih suka mengendarai HD (Harley Davidson), termasuk ketika menghadiri Muktamar NU ke-13 di Menes tahun 1938. Surabaya-Menes yang berjarak ratusan kilometer itu ditempuh dengan bersepeda motor. Di waktu senggang, Abdullah Ubaid suka memainkan gambus kegemarannya. Konon, Bismillaah tawakkalnaa billaah, lagu berirama kasidah itu merupakan ciptaannya.
Abdullah Ubaid lahir di Kawatan V Surabaya, pada hari Jumat 4 Jumada al-Tsaniyah 1318 H/ 1899 M. Ia adalah anak kedua dari pasangan Muhammad Ali bin Kiai Muhyiddin (Surabaya) bin Raden Onggo Yogyakarta dengan Syafi’ah binti Kiai Yasin, Pasuruan. Kiai Muhammad Ali, ayah dari Abdullah Ubaid, dikenal sebagai ualam ternama di Surabaya. Kiai Ali wafat ketika Abdullah Ubaid masih berumur sebelas tahun. Kemudian Abdullah Ubaid diasuh oleh K.H. M. Yasin, Pasuruan, sahabat karib ayahnya, ayah angkat yang kelak menjadi mertuanya.
Abdullah Ubaid mengenyam pendidikan sama seperti pendidikan yang dijalani oleh anak muda saat itu, dari pesantren ke pesantren lainnya. Oleh Kiai yasin ia dimasukkan ke Madrasah Al-Chairiyah, yaitu madrasah yang didirikan oleh Sayid Abdullah Zaini Dahlan atas usaha orang-orang Arab. Di madrasah ini ia mendapatkan ilmu pendidikan dari Kiai Yasin sendiri dan juga dari Sayid Ahmad Assegaf, kepala guru Madrasah Jamiyah Chair Jakarta.
Setelah tamat dari Madrasah Al-Chairiyah, Abdullah Ubaid kembali ke Pasuruan belajar kitab pada ayah angkatnya. Kemudian paa usia 14 tahun ia dikirim ke Tebuireng, bersama dengan putra Kiai Yasin, Muhammad, untuk meneruskan pendidikan pada Hadhratusysyaikh K.H. Hasyim Asy’ari. Di pesantren inilah Abdullah Ubaid berteman akrab dengan Mahfudz Siddiq dari Jember.
Sekembalinya dari Tebuireng pada tahun 1919 dia diangkat menjadi guru di Madrasah Nahdlatul Wathan dan juga diminta mengajar di Madrasah Al-Chairiyah, tempat belajar sebelumnya, yang bahasa pengentarnya menggunakan bahasa Arab. Selain itu, Abdullah Ubaid masih sempat mengelola pengajian di langgar kecil peninggalan ayahnya di Kawatan, Surabaya.
Abdullah Ubaid mampu memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan Nahdlatul Wathan, ketika ia berperan di dalamnya baik sebagai guru maupun sebagai penggeraknya yang dapat membuka cabang-cabang di beberapa kota di luar Surabaya.
Abdullah Ubaid diambil menantu oleh kiainya, K.H. Yasin pengasuh pesantren Pasuruan. Kiai yaisn tertarik dengan kecerdasan, bakat-bakat kepemimpinan dan keahliannya menguntai kata-kata dakwah. Dan ia merupakan satu-satunya mubaligh yang mendapat kesempatan mengisi pengajian rutin di NIROM, radio milik Pemerintah Hindia Belanda. Baginya radio merupakan media yang efektif untuk menyampaikan pesan-pesan dakwahnya yang dapat didengar oleh kalangan luas, tak peduli milik siapa.
Pengakuan terhadap kearifan dan kehebatan Abdullah Ubaid tidak hanya datang dari kalangan masyarakat, tetapi juga dari kalangan Hindia Belanda. Maka ketika K.H. Abdullah wafat, pemerintah Belanda tidak keberatan di radio ini dikumandangkan tahlilan dan doa bersama untuk mengantar kepergian sang pengasuh rubrik siraman rohani itu.
Abdullah Ubaid memiliki peran yang sangat penting dengan berdirinya Gerakan Pemuda Ansor. Awalnya organisasi ini bernama Syubbanul Wathan dengan pengurus pertamanya Abdullah Ubaid sebagai ketua, Thohir Bakri sebagai wakil ketua, dan Abdurrahim sebagai sekretaris.
Organisasi ini lahir bersamaan dengan munculnya kesadaran nasionalisme di kalangan pemuda bangsa. Kala itu, pada 1920-an telah berdiri organisasi pemuda yang bercorak kedaerahan, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Minahasa dan jong-jong lainnya.
Nama-nama seperti Abdullah Ubaid, Mahfudz Siddiq, dan Thohir Bakri tak dapat dipisahkan dari sejarah gerakan pemuda dalam NU dan gerakan pemuda Islam pada umumnya. Hampir seluruh hidupnya disumbangkan untuk kemajuan gerakan pemuda. Upaya membangkitkan kesadaran di kalangan generasi muda tidak hanya melalui lisan, tetapi juga melalui penerbitan. Semangat berhimpun dan bergerak di kalangan generasi muda disampaikan melalui tulisan-tulisannya yang lantang, melalui majalah Berita Nahdlatul Ulama dan majalah Kemudi. Abdullah Ubaid termasuk salah seorang pemimpin penerbitan majalah tersebut sebagai Ketua Sidang Pegarang.
Usaha yang tak kenal lelah ini, akhirnya berbuah hasil, pada tahun 1924 Abdullah Ubaid berhasil mendirikan organisasi pemuda Syubbanul Wathan. Kemudian pada tahun 1932 mendirikan BANO (Barisan Ansor Nahdlatul Oelama), yang kemudian menjadi ANO (Ansor Nahdlatul Oelama), dan seterusnya GP( Gerakan Pemuda) Ansor, hingga sekarang.
Peran utama Abdullah Ubaid dalam pergerakan pemuda adalah usahanya membangun dan membangkitkan semangat pemuda untuk bersama-sama dengan pemuda kekuatan bangsa lainnya, mempersatukan kekuatan pemuda untuk memperjuangkan hak-haknya yang terjajah di negerinya sendiri.
Musibah di Pekalongan
Selain dikenal sebagai pendiri organisasi pemuda, guru, dan mubaligh berprestasi, K.H. Abdullah Ubaid juga aktif sebagai pengurus HBNO (Hoofd Bestenur Nahdlatul Oelama) sebagai ketua bagian Onderwys.
Bersama K.H. Ridlwan Abdullah yang mewakili Syuriah, Abdullah menghadiri Muktamar NU ke-13 di Menes, Banten, Jawa Barat yang berlangsung 16 Juni 1938. beliau mewakili Tanfidziyah NO Cabang Surabaya. Abdullah Ubaid berangkat dari Surabaya dengan mengendarai sepeda motor Harley Davidson menuju Menes yang berjarak ratusan kilometer. Mungkin karena kelelahan atau tanda-tanda Tuhan telah tiba, Kiai Abdullah merasa sakit-sakitan selama mengikuti muktamar. Usai mengikuti muktamar, beliau dapat musibah di daerah Pekalongan. HD-nya selip dan oleng karena jalan licin sehingga dia terjatuh.
Sejak saat itulah, kondisi kesehatan Kiai Abdullah terus menurun. Pada hari Kamis 20 Jumada al-Tsaniyah 1357 H bertepatan dengan 8 Agustus 1938, Kiai Abdullah Ubaid berpulang ke rahmatullah, hingga wafatnya, Abdullah Ubaid masih menjabat Voorzetter HBNO, Vice Voorzetter PBANO, A’wan Dakwah HBNO, Administrateur Majalah Berita Nahdlatul Oelama, dan masih banyak lagi jabatan lainnya.
K.H. Abdullah Ubaid wafat dalam usian muda (39 tahun), meninggalkan seorang istri dan tujuh putra-putrinya yang masih kecil-kecil. Anak bungsunya, Ali Ubaid, sewaktu ditinggal ayahnya, baru berusia 33 hari. Putra-putrinya yang masing-masing Nadzifah (meninggal ketika kecil), Anisah (meninggal menjelang nikah) Lutfi (meninggal ketika kecil), M. Yunus Ubaid (pensiunan perwira Angkatan Udara, tinggal di Singasari, Malang), K.H. Zakky Ubaid (Mustasyar NU Pasuruan), K.H. Shobih Ubaid (Jakarta), dan K.H. Ali Ubaid (Jakarta).
Sepeninggal K.H. Abdullah Ubaid, Ny, Syafi’ah dengan tabah menggantikan kedudukan suaminya, menanggung segala keperluan keluarga, termasuk biaya dan arah pendidikan anak-anak. Berat memang memang tanggung jawab Ny. Syafi’ah.
K.H. Ali Ubaid tidak dapat membayangkan sulitnya kehidupan orang tuanya kala itu. Dia berkali-kali mengucapkan kata syukur atas keuletan, ketabahan, dan ketegaran sikap sang ibu sehingga mampu mengantarkan anak-anaknya mencapai harapan yang dicita-citakan, termasuk keinginan mengikuti khiththah perjuangan sang ayah. (zar)
Disarikan dari Buku Karisma Ulama Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU
Jumat, 22 Juli 2011
K.H. Abdullah Ubaid: Pendiri Ansor Yang Gemar Bersepeda Motor
22.33
Achmad Fahrizal Zulfani Al Hanif
No comments
0 komentar:
Posting Komentar