Blog ini ditujukan kepada seluruh ummat Islam yang cinta kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Para Sahabat RA, Auliya', Habaib, Ulama', dan sejarah kebudayaan Islam.

Selasa, 26 Juli 2011

KH Muhammad Dahlan; Pendukung Lahirnya Muslimat NU

Nahdlatul Ulama (NU) dikenal sebagai organisasi sosial keagamaan yang bersifat tradisional. Meski begitu, bukan berarti dalam NU tidak ada upaya pembaruan, karena tampilnya NU sendiri justru merupakan sebuah gerakan pembaruan di lingkungan kaum santri.

Perubahan dan pembaruan yang terjadi di lingkungan NU, antara lain digagas oleh KH Wahid Hasyim. Akan tetapi, di samping beliau, ada lagi seorang tokoh pembaruan NU yang juga amat berpengaruh yakni KH Muhammad Dahlan.

Kalau Kiai Wahid membolehkan hakim wanita, maka dalam NU Kiai Dahlan mempelopori berdirinya organisasi Wanita NU yakni Muslimat. Bahkan dengan kegigihannya, ia meyakinkan KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah, yang akhirnya didukung seluruh Nahdliyin.

Muhammad Dahlan adalah putera ketiga dari lima bersaudara, lahir pada tanggal 2 Juni 1909, di desa Mandaran Rejo, Kotamadya Pasuruan, Jawa Timur. Ayah-ibu Dahlan, Abdul Hamid dan Chamsiyah, termasuk orangtua yang sangat disiplin menanamkan ketaatan beragama kepada putera-puterinya. Disamping bimbingan dan arahan dari kedua orangtuanya, dasar-dasar pendidikan yang kemudian banyak mewarnai corak kepribadian Dahlan didapatnya dari Pesantren Siwalan Panji di Sidoarjo dan Pesantren Tebu Ireng di Jombang. Di kedua pesantren itulah ia bertemu dengan tokoh besar NU lainnya seperti KH A Wahid Hasyim dan KH Masykur.

Dahlan memanfaatkan sebagian masa kanak-kanak dan remajanya menekuni pengetahuan keagamaan dan menjalani praktek belajar bermasyarakat. Ketika masih dalam usia belasan tahun, Dahlan telah mengenyam pendidikan di Makkah.

Bersama kakak sulungnya, dengan rajin ia mengikuti kelompok-kelompok pengajian sebagaimana para ulama terdahulu yang mengukuti pengajian di sekitar halaman Masjid Al-Harram Makkah. Di kota suci itu ia belajar berbagai ilmu keagamaan dan mengenal dunia luar secara umum yang kelak menjadi bekal dalam membangun negerinya terutama ketika berkiprah di NU.

Tampilnya Dahlan di gelanggang pergerakan dimulai tahun 1930. Dialah tokoh yang merintis terbentuknya organisasi NU cabang Bangil, dan sekaligus menjadi ketuanya. Lima tahun kemudian ia terpilih menjadi ketua NU cabang Pasuruan. Berkat kepemimpinan dan integritas kepribadian yang dimilikinya, pada tahun 1936 ia dipercayai menjadi Konsul NU Daerah (wilayah) Jawa Timur yang berkedudukan di Pasuruan.

‘Melobi’ pendirian Muslimat NU
Dahlan ia adalah seorang organisator yang ulet dan mahir berargumentasi. Bintangnya makin bersinar saat ia menghadiri kongres NU XIII di Menes, Banten pada tanggal 11-16 Juni 1938. Sejarah mencatat bahwa kongres NU di Menes merupakan forum yang memiliki arti tersendiri bagi proses terbentuknya organisasi Muslimat NU. Dalam kongres tersebut, untuk pertama kalinya muncul usulan tentang perlunya wanita NU mendapatkan hak yang sama dengan kaum lelaki dalam menerima didikan agama melalui organisasi NU.

Usul disetujui. Dan sejak itu, kaum wanita secara resmi diterima menjadi anggota NU meski sifat keanggotannya hanya sebagai pendengar dan pengikut saja, tanpa boleh menduduki kursi kepengurusan. Itu terus berlangsung hingga Kongres NU XV di Surabaya tahun 1940.

Dalam kongres tersebut terjadi pembahasan yang cukup sengit tentang usulan Muslimat yang hendak menjadi bagian tersendiri dengan mempunyai kepengurusan tersendiri dalam tubuh NU. Dahlan termasuk pihak yang gigih memperjuangkan agar usulan tersebut bisa diterima. Begitu tajamnya pro-kontra menyangkut penerimaan usulan tersebut, hingga kongres sepakat menyerahkan perkara itu kepada PB Syuriah untuk diputuskan.

Sehari sebelum kongres ditutup, kata sepakat belum didapat. Dahlan-lah yang berupaya membuat semacam pernyataan penerimaan Muslimat untuk ditandatangani KH Hasyim Asyari dan KH A Wahab Hasbullah. Dengan adanya secarik kertas tanda persetujuan kedua tokoh besar NU itu, proses penerimaan dapat berjalan dengan lancar.

Bersama A Aziz Dijar, Dahlan pulalah yang terlibat secara penuh dalam penyusunan peraturan khusus yang menjadi cikal bakal Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muslimat NU di kemudian hari.

Bersamaan dengan hari penutupan kongres NU XVI, organisasi Muslimat NU secara resmi dibentuk, tepatnya tanggal 29 Maret 1946. Sebagai ketuanya dipilih Chadidjah Dahlan asal Pasuruan, yang tak lain adalah isteri Dahlan.

Kiprah Dahlan di pentas nasional berawal tahun 1941 dengan menjadi anggota Dewan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang berkedudukan di Surabaya. Tahun 1945 ketika Masyumi didirikan, ia menjadi anggota Dewan Pimpinan Partai hingga tahun 1952, saat NU memisahkan diri dari Partai Masyumi. Dahlan juga sempat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat di Yogyakarta pada tahun 1946.

Pada kongres NU XX di Surabaya tahun 1954, ia terpilih sebagai Ketua Umum Tanfidziah Nahdlatul Ulama. Melalui partai yang dipimpinnya, ia juga duduk sebagai anggota konstituante hingga tahun 1959. Setahun kemudian, DPR-Gotong Royong dibentuk dan Dahlan diangkat menjadi anggotanya. Namun pengangkatan itu ditolaknya dengan alasan pembentukan lembaga tersebut tidak memberi kesempatan kepada golongan oposisi.

Melalui Keputusan Presiden nomor 171/1967 tanggal 11 Oktober 1967, Dahlan diberi kepercayaan untuk memangku jabatan Menteri Agama dalam Kabinet Pembangunan I hingga tahin 1971. Selepas menjadi menteri, ia duduk sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung sampai wafatnya.

Ketika mulai menjabat sebagai Menteri Agama, kerukunan antar umat beragama tidak begitu baik keadaannya. Setelah PKI dinyatakan sebagai partai terlarang, banyak orang makin rajin mengunjungi rumah-rumah ibadah, semata-mata agar tidak dituduh sebagai anggota PKI. Keadaan tersebut mendorong masing-masing penganut agama (golongan Islam dan Kristen) gencar melakukan kegiatan penyebaran agama.

Hubungan antar pemeluk agama berubah menjadi ketegangan, manakala golongan yang satu secara atraktif menyebarkan agamanya kepada golongan yang lain. Ketegangan tidak jarang berlanjut menjadi bentrokan fisik. Di Ujungpandang, sebuah gereja dirusak akibat adanya seorang pemuka Kristen di kota tersebut yang menghina Nabi Muhammad.

Dahlan lantas mengambil prakarsa mengadakan Musyawarah Antar Agama tanggal 30 November 1967, agar peristiwa-peristiwa intoleransi antar agama tidak terulang lagi. Musyawarah antara lain dihadiri oleh DR TB Simatupang, Ben Mang Reng Say, Mr AM Tambunan mewakili golongan Kristen dan KH Masykur, M Natsir, DR HM Rasyidi mewakili golongan Islam.

Menteri Agama KH M Dahlan yang memimpin pertemuan mengajukan pokok-pokok rencana persetujuan, yang intinya agar propaganda agama tidak dilakukan dengan tujuan meningkatkan jumlah pemeluk masing-masing agama, namun dilaksanakan untuk memperdalam pemahaman dan pengamalan tentang agamanya masing-masing.

Memprakarsai penyelenggaraan MTQ
Di bidang keilmuan, Dahlan terlihat menonjol pada disiplin ilmu fikih yang ditunjang dengan koleksi kitab-kitab yang dimilikinya. Hal itu menyebabkan Dahlan sangat moderat dalam memandang perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan imam-imam madzhab. Ia nampak tidak kaku dengan pendapat madzhab tertentu dalam menentukan suatu hukum, sejauh pendapat itu dinilainya cukup argumentatif.

Sebagai Menteri Agama, Dahlan bersama Prof KH Ibrahim Hosen adalah pemrakarsa penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat nasional yang untuk pertama kalinya diadakan di Ujungpandang. Bersama KH Zaini Miftah, KH Ali Masyhar dan Prof DR HA Mukti Ali pada 23 Januari 1970 mereka membentuk Yayasan Ihya Ulumuddin, merintis berdirinya Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ), sebuah perguruan tinggi yang secara khusus mengajarkan seni baca dan menghafal Alquran.

Kebiasaan Kiai Dahlan yang tidak pernah ditinggalkan semenjak menetap di Pasuruan hingga pindah ke Jakarta adalah membaca Kitab Dalail Khairat selepas shalat Subuh hingga menjelang shalat dhuha atau sesudah shalat Maghrib sampai shalat Isya.

Pada tanggal 1 Februari 1997, selesai membaca kitab seperti hari-hari biasanya, KH Muhammad Dahlan berpulang ke Rahmatullah. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, sebagai wujud dari pengakuan pemerintah atas jasa-jasanya dalam turut serta membangun bangsa Indonesia.

Sumber: www.nu.or.id

0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons