Duka itu tiba mendadak saat perjuangan terasa panjang...
MALAM pukul 24.37 WIB, terdengar jeritan histeris dari kediaman KH Abd Haq Zaini. Abdul Hafidz, santri Nurul Jadid sekaligus hadam (pembantu) keluarga Kiai Abdul Haq, malam itu menangis tersedu-sedu sambil menggoyang-goyangkan sesosok tubuh berbaju koko warna merah hati yang tergeletak di lantai rumah. Sementara Saili, kawan Hafidz, hanya bisa terdiam sambil meneruskan pijatannya pada dada pria tersebut. Begitu pula seorang santri lainnya yang terus memijat-mijat kaki pria tersebut.
Mendengar jeritan Hafidz, Ny Hj Nuri Firdausiyah, istri Kiai Abdul Haq yang tengah terlelap seketika terjaga dan langsung menemui Hafidz.
“Kenapa tidak dibawa ke dokter,” tegur Nyai Fir.
“Beliau menolak, Nyai,” jawab Hafidz panik.
“Tolong panggil Kiai Zuhri dan Faiz,” kata Nyai Fir pada Hafidz sambil duduk dan memijat-mijat tubuh pria yang tergelatak di depannya.
Beberapa menit kemudian, KH Moh Zuhri Zaini, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid datang. Beliau langsung duduk dan mulai memijat dada pria tersebut sambil berdoa. Detik demi detik berjalan. Menit demi menit pun berlalu. Namun tiada reaksi dari tubuh pria tersebut. Saat Kiai Zuhri memeriksa detak jantung pria yang tergelatak dengan wajah tenang itu, seketika wajah Kiai Zuri berubah duka.
“Inna lillahi wa inna ilaihi rajiuun,” kata Kiai Zuhri pelan, diiringi hujan air mata seluruh orang yang mengelilingi pria yang tak lain adalah KH. Abd haq Zaini, Lc., Ketua Yayasan Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton Probolinggo. Beliau wafat tepat pukul 12.55 WIB, Senin 18 Mei 2009.
***
KIAI Abd Haq Zaini adalah putra ke enam dari pasangan KH Zaini Mun’im dan Nyai Hj Nafi’ah asal Madura. Beliau memiliki lima orang kakak, yaitu KH Moh Hasyim Zaini, KH Abdul Wahid Zaini, Ny Hj Aisyah, KH Fadlurrahman, KH Moh Zuhri Zaini, dan memiliki seorang adik laki-laki bernama KH Nur Chotim Zaini.
Semasa hidupnya, Kiai Abd Haq adalah sosok pria yang sehat dan senang olah raga. Hampir setiap hari selepas subuh, beliau bersama istri tercinta senantiasa menyempatkan diri berolahraga ringan. Berjalan-jalan menghirup segarnya embun pagi di sekitar pesantren Nurul Jadid, sambil menyapa para petani yang mencangkul sawah di pinggiran pesantren.
“Beliau sakit keras hingga opname hanya sekali, sekitar satu bulan lalu di rumah sakit Graha Sehat Kraksaan, Probolinggo. Itu pun sekedar sakit tipus karena kecapekan,” kata Faiz Ahz, putra sulung Kiai Abd Haq.
Menurut Faiz, semasa hidup, ayahandanya hanya punya penyakit diabetes. “Beliau tidak punya penyakit jantung dan sesak nafas. Beliau wafat tidak dalam kondisi sakit,” lanjutnya.
Pendapat Faiz itu dibenarkan Abdul Hafidz. Menurut hadam Kiai Abdul Haq ini, sore hari sebelum duka menyapa, kondisi Kiai Abdul Haq nampak sehat. Setelah sholat isya’, Hafidz yang saat itu badannya kurang sehat diajak Kiai Abdul Haq untuk menghadiri undangan pengajian di dua tempat. Pertama, di daerah sekitar Kabupaten Situbondo. Kedua, menghadiri Haul Habib Jakfar bin Syech Abu Bakar di Pajarakan, Probolinggo.
Usai menghadiri dua acara tersebut, Kiai Abdul Haq bergegas pulang. Tiba di tengah perjalanan, beliau mengeluh kepada Hafidz.
“Badan saya kok tidak enak, Fidz,” keluh Kiai Abd Haq
“Ada apa, Kiai,” tanya Hafid
“Entahlah,” jawab Kiai, yang saat itu pula muntah dengan erangan yang keras. Melihatnya Hafidz panik. Namun Kiai Abdul Haq malah menyarankan agar Hafidz tenang. Dengan senyum berat, beliau menyarankan agar Hafidz bisa segera menuju kediaman beliau.
Saat itu Hafidz punya rencana untuk langsung ke rumah sakit. Namun Kiai Abd Haq memaksa untuk segera tiba di rumah.
Menjelang tiba di rumah, Kiai Abd Haq muntah untuk kedua kalinya. Kedua belah tangannya menjadi dingin. Hafidz pun makin panik. Namun sekali lagi Kiai Abdul Haq mengatakan agar Hafidz tenang.
“Demikianlah... duka ini benar-benar mendadak,” kata Hafidz berkaca-kaca.
***
KH Abdul Haq Zaini, lahir pada tanggal 5 Mei 1953 di Tanjung, Paiton Probolinggo. Ra (Gus) Abdul Haq kecil lahir dalam keadaan tidak normal. “Tubuhnya terbungkus semacam kulit tipis,” kata Ratib (61) santri senior Pondok Pesantren Nurul Jadid.
Melihat keganjilan tersebut, lanjut Ratib, ayahandanya berdoa kepada Allah agar bayi Ra Abdul Haq bisa tumbuh normal. Seiring doa ayahandanya, akhirnya telinga Ra Abdul Haq kecil mulai keluar dari kulit yang membungkus seluruh tubuhnya. Kemudian perlahan-lahan menjadi normal sebagaimana layaknya anak kecil lainnya. “Hanya saja, di ujung bagian telinga kanannya berlubang,” kata Ratib.
Sejak kecil, Ra Abdul Haq senang olah raga. Salah satunya adalah pencak silat. Saat itu beliau berniat berguru kepada ayahandanya. Namun karena tingginya tingkat kesibukan ayahandanya, ia dianjurkan untuk berguru pada orang lain.
Selain gemar olah raga, saat remaja Ra Abdul Haq dikenal sebagai pemuda yang sangat pandai bergaul dengan orang lain. “Ia paling mudah akrab dengan para santri, dan tidak membeda-bedakannya,” kata Ratib yang pernah menjadi guru Ra Abdul Haq di Madrasah Aliyah Nurul Jadid.
Dalam pendidikan, Ra Abdul Haq acapkali tidak masuk sekolah. Beliau lebih senang bermain bersama kawan-kawannya. Namun demikian, nilai ujiannya di sekolah senantiasa baik mulai dari MI, MTs hingga MA.
Selain dikenal cerdas, Ra Abdul Haq juga dikenal sebagai anak yang memiliki budi pekerti yang baik. “Beliau selalu memperhatikan materi yang diberikan guru dengan seksama. Beliau juga selalu hormat kepada guru-gurunya,” kata Ratib.
Perhatian terhadap Akhlak tersebut senantiasa Ra Abdul Haq jaga hingga menjadi Ketua Yayasan Pondok Pesantren Nurul Jadid. Di balik wajah beliau yang keras, bibir beliau senantiasa mengembang tulus bila bertemu dengan para santri, dan juga orang lain.
Kebiasaan bermurah hati kepada orang lain itu, terinspirasi dari kakak kandung beliau, KH Moh Hasyim Zaini. Menurut almarhum Kiai Hasyim bersikap murah hati kepada setiap orang adalah bagian dari latihan kesabaran.
“Setinggi apa pun kitab (ilmu) seseorang, ujungnya adalah tingkah laku,” pesan Kiai Abdul Haq kepada Hafidz, dua hari sebelum beliau wafat.
***
PADA tahun 1986, Kiai Abdul Haq terpilih menjadi Kepala Biro Kepesantrenan Nurul Jadid. Menurut Faizin Syamweil, sebagai Kepala Biro Kepesantrenan beliau lebih senang menempatkan diri sebagai mitra kerja dengan para pengurus pesantren dari pada sebagai salah satu dari jajaran pengasuh.
Sikap Kiai Abdul Haq itu membawa angin segar dalam tubuh biro kepesantrenan. Roda organisasi berjalan dinamis. Para pengurus menjadi lebih leluasa berdiskusi dengan pemimpinnya, dan mereka menjadi lebih bersemangat dalam bekerja.
“Hanya saja, gaya kiai yang leluasa itu tak jarang menjadikan kawan-kawan terjebak dan kebablasan menganggap Kiai Abdul Haq sebagai kawan,” kenang Faizin, kepala Biro Kepesantren Pondok Pesantren Nurul Jadid.
Namun demikian, lanjut Faizin, Kiai Abdul Haq merasa senang. Karena tujuan beliau bersikap demikian adalah agar para pengurus bisa berterus terang saat menyampaikan sesuatu kepada beliau.
Meski Kiai Abdul Haq dikenal akrab dengan para pengurus pesantren, namun pada saat tertentu di mana beliau dituntut untuk menjadi salah seorang dari jajaran pengasuh, maka beliau pun menjadi sosok kiai yang sangat disegani oleh para pengurus pesantren.
Sebagai Kepala Biro Kepesantrenan, Kiai Abdul Haq tak jemu-jemu melakukan kaderisasi kepada para pengurus biro kepesantrenan. Misalkan, bila muncul persoalan di antara santri, beliau tak langsung menanganinya. Biasanya persoalan itu diberikan terlebih dahulu kepada pengurus. Ini beliau lakukan, selain untuk menjalankan job discription masing-masing bagian dalam biro kepesantrenan, juga untuk melihat sejauh mana kemampuan para pengurus pesantren bisa meredakan pelbagai persoalan yang muncul di antara santri.
Lebih jauh, sebagai seorang Kepala Biro Kepesantrenan, tak jarang beliau terjun langsung di lapangan. Misalkan saat menerima laporan bahwa debit air yang mengaliri kamar mandi para santri menurun, Kiai Abdul Haq segera melakukan cek kebenaran laporan tersebut. Setelah mengetahui bahwa laporan itu benar, beliau segera mengumpulkan para pengurus dan memberikan arahan tentang bagaimana menyelesaikannya.
Hal lain yang mengagumkan para pengurus pesantren adalah cara Kiai Abdul Haq menghadapi santri nakal yang telah direkomendasikan para pengurus untuk dikembalikan kepada orang tuanya. Menghadapi rekomendasi ini, tak jarang Kiai Abdul Haq menolak rekomendasi tesebut, dan memilih santri nakal itu untuk beliau bina secara langsung.
“Biasanya santri nakal itu beliau beri berbagai macam kegiatan. Misalkan menjadi sopir atau hadam (pembantu) beliau,” kata Faizin.
Dengan kegiatan yang bisa dipantau langsung, Kiai Abdul Haq bisa melakukan komunikasi lebih dalam dengan santri nakal tersebut. Lewat pendekatan ini, perlahan-lahan tingkat kenakalan santri nakal itu mereda.
Pendekatan yang beliau lakukan kepada para santri nakal itu, selain diilhami pendidikan dari ayahanda beliau, juga berangkat dari pengalaman Kiai Abdul Haq saat berkenalan dan berteman dengan pelbagai golongan masyarakat saat menempuh kuliah di Surabaya.
“Menurut kawan dekat beliau, dulu Kiai Abdul Haq sering meninggalkan bangku kuliah. Ini dilakukan selain untuk belajar hidup mandiri dengan bekerja, juga digunakan untuk menyelami kehidupan kelompok preman, sekaligus menyadarkan mereka,” kata Faizin
Sementara pendidikan yang diperoleh Kiai Abdul Haq dari ayahandanya adalah bersikap terbuka dan apa adanya.
“Menurut Kiai Abdul Haq sendiri, beliau senantiasa diajarkan untuk terbuka kepada ayandanya. Bahkan hingga pada persoalan pribadinya seperti studi di perguruan tinggi yang tak kunjung usai,” lanjut Faizin.
Saat itu Kiai Abdul Haq sempat menempuh kuliah di beberapa perguruan tinggi di Surabaya seperti Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel dan IKIP Surabaya. Namun dua-duanya tidak sempat diselesaikan sampai sarjana.
Melihat hal itu, ayahandanya mengutus kakaknya, alm KH Abdul Wahid Zaini untuk membujuknya agar bersedia menempuh pendidikan di Umul Quro, Makkah.
***
SETELAH wafatnya KH Abd Wahid Zaini pada tahun 2000, Kiai Abdul Haq dipercaya sebagai Ketua Yayasan Pondok Pesantren Nurul Jadid. Selama kurang lebih delapan tahun, tak sedikit hasil usaha beliau yang saat ini sudah bisa dinikmati, baik oleh santri, alumni dan masyarakat. Di antaranya adalah pendirian Sekolah tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES), SMK, penertiban keuangan pesantren, mekanisme pengangkatan guru dan dosen, pembangunan bank mu’amalat, pendirian P4NJ serta lainnya.
“Sebagai ketua Yayasan, beliau sangat bersemangat sekali. Terakhir adalah pembelian tanah yayasan seluas 1,3 hektar sebelah timur pesantren dan 2,3 hektar sebelah selatan KUA yang menurut rencana akan dijadikan pusat pendidikan,” kata Faizin.
Dalam bidang kemasyarakatan, Kiai Abdul Haq merupakan sosok yang memiliki kepedulian tinggi terhadap masyarakat sekitar pesantren. Misalkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kecil, beliau menjalin kerjasama dengan pemerintah dalam program penggemukan sapi.
“Bila ayahandanya dulu peduli terhadap ekonomi masyarakat sekitar lewat budidaya tembakau, maka Kiai Abdul Haq lewat program penggemukan sapi. Alhamdulillah hasilnya sangat signifikan,” jelas Faizin.
Lebih jauh, Kiai Abdul Haq juga dikenal sebagai sosok kiai yang tidak senang membeda-bedakan masyarakat karena golongan atau partai politik. Hal ini seperti tausyiah beliau yang disampaikan pada acara Istighosah, Jum’at 15 Mei 2009 di Masjid Jami Pondok Pesantren Nurul Jadid. Saat itu beliau sangat prihatin terhadap perilaku sebagian santri yang menganggap ‘liyan’ santri dari pesantren lain. Menurut beliau, tak patut santri Nurul Jadid menganggap beda santri dari pesantren lain.
“Santri Nurul Jadid jangan mengkotak-kotakan masyarakat. Bersatulah dengan santri dari pesantren lainnya. Karena kitab yang diajarkan sama, Sulam Taufiq,” pesan Kiai di hadapan para jama’ah Istighosah yang diselenggarakan setiap Sabtu Wage.
***
SEKITAR tahun 2002, Kiai Abdul Haq menjadi Ketua Dewan Syura Dewan Pengurus Cabang (DPC) Partai Kebangkitan Bangsa Probolinggo. Alasan beliau bersedia masuk dalam politik antara lain karena banyak kalangan yang meminta beliau untuk meneruskan tongkat estafet kakak kandungnya, KH Abd Wahid Zaini yang terbukti memberikan pencerahan kepada masyarakat.
Kiai Abdul Haq menjabat ketua Dewan Syura DPC PKB sebanyak dua kali. Pada tahap terakhir, sebenarnya beliau enggan. Namun desakan dari para kader partai tak jua mereda. Akhirnya beliau meberikan syarat, bila ada satu kader partai yang tidak sepakat beliau menjadi ketua dewan syura, maka beliau akan mengundurkan diri. Saat pemilihan digelar, ternyata Kiai Abdul Haq terpilih secara aklamasi. Karir terakhir politik Kiai Abdul Haq berada di PKNU.
Meski Kiai Abdul Haq terjun dalam dunia politik, beliau tak pernah sekali pun memaksa santri-santrinya untuk memilih salah satu partai politik. Beliau senantiasa membebaskan para santrinya menentukan pilihan mereka berdasarkan ukuran rasional dan hati nurani masing-masing.
***
SEBAGAI tokoh pesantren, Kiai Abdul Haq cukup dekat dengan mantan Presiden RI, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Terlebih setelah Gus Dur mengetahui bahwa Kiai Abdul Haq merupakan adik kandung sahabat kentalnya, KH Abdul Wahid Zaini.
Secara pemikiran, ada benang merah atau keselarasan antara Kiai Abdul Haq dengan Gus Dur. Salah satunya adalah usaha Kiai Abdul Haq menjaga ukhuwah islamiyah dan ukhuwwah wathoniah, yang senantiasa tergambar dalam petuah-petuah beliau, baik kepada para santrinya maupun sikap beliau kepada orang lain.
***
TUJUH hari ini, mendung duka masih menggelayuti Pondok Pesantren Nurul Jadid. Para santri, alumni, orang tua santri, para sahabat dan masyarakat datang silih berganti berkunjung ke makam Kiai Abdul Haq Zaini. Tak henti-hentinya untaian do’a mereka panjatkan, agar almarhum Kiai Abdul Haq senantiasa bahagia di akhirat nanti.
“Saya tak pernah merasa kehilangan Kiai Abdul Haq. Senyum beliau akan senantiasa ada bersama saya...” kata salah seorang santri yang enggan disebutkan namanya.*
Adib Minnanurrachim
0 komentar:
Posting Komentar